• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL DAN PRODUKTIVITAS PEMBIBITAN SAPI POTONG SISTEM KOMUNAL PADA PETERNAKAN RAKYAT DI KABUPATEN KEDIRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROFIL DAN PRODUKTIVITAS PEMBIBITAN SAPI POTONG SISTEM KOMUNAL PADA PETERNAKAN RAKYAT DI KABUPATEN KEDIRI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL DAN PRODUKTIVITAS PEMBIBITAN SAPI

POTONG SISTEM KOMUNAL PADA PETERNAKAN

RAKYAT DI KABUPATEN KEDIRI

(Profile and Productivity of Small Holder Beef Cattle Communal Rearing

System in Kediri District of East Java Province)

MURTIYENI1,E.JUARINI2dan B. WIBOWO2

1Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav. E59, Bogor 16151 2Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRACT

This research was conducted to determine the profile of farmers and cattle breeding productivity of small-scale farmers who are joined in a group where raising activities are undertaken communally. The study uses survey methods with in depth interviews of 23 farmers who are members of the core group in order to get information about their profile (age, education, experience and employment) and patterns of cattle raising (the breed of cattle reared, the population, services per conception and gender of calf) and also field observations (animal condition, housing, feed supply and the use of manure). The data was analyzed qualitatively (descriptively). The results showed that the average age of the farmers was 45.2 years, the majority had low-and middle education (47.8 low-and 43.5%), while the highly educated (8.0%) acted as motivators low-and organized the work program for the group. Majority (78.3%) farmers had experience of raising on average 9 years. Major cattle breed was Limousin followed by Crossbreds with 41.7 and 39.6% respectively while the Simmental and Brangus breeds of 16.7 and 2%. Service per conception (S/C) maintained an average of 1.6 (Limousine) 1.5, Crossbred 1.6 and Simmental 1.9), while sex of calf born to an average of 59.2% female and 41.7% male (Limousine 60 and 40%, Simmental 75 and 25%, and the Crossbreds gave equal numbers). Average weaning age of the calves was 5.7 months. Allocation of time used to take care of and look for animal feed 2 – 3 hours/day/farmer, the low time spent due to farmers using a motorcycle for the activity. The manure from all breeders of livestock was either used or sold as an organic fertilizer.

Key Words: Cattle, Breeds, Small Farmer, Communal

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil peternak dan produktivitas pembibitan sapi potong rakyat skala kecil yang tergabung dalam suatu kelompok dan aktivitas beternak secara komunal. Penelitian menggunakan metode survei melalui wawancara mendalam terhadap 23 orang peternak yang tergabung dalam kelompok inti untuk mendapatkan informasi tentang profil peternak (umur, pendidikan, pengalaman dan pekerjaan) dan ternak yang dipelihara (bangsa dan populasi, service per conception dan jenis kelamin pedet) serta observasi lapangan (kondisi ternak, kandang, pakan dan pemanfaatan kotoran). Data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan umur peternak 45,2 tahun, pendidikan mayoritas rendah dan sedang (47,8 dan 43,5%) sedangkan berpendidikan tinggi (8%) sebagai motivator dan mobilisator program kelompok. Jenis pekerjaan mayoritas (78,3%) petani dengan pengalaman beternak rataan 9 tahun. Bangsa sapi yang dipelihara mayoritas Limousine dan Cossbred masing-masing 41,7 dan 39,6% sedangkan bangsa Simmental dan Brangus sebanyak 16,7 dan 2%. Service per Conception (S/C) terhadap ternak yang masih dipelihara rataan 1,6 (Limousine 1,5; Simmental 1,6 dan Crossbred 1,9), sementara itu jenis kelamin betina dan jantan pedet yang dilahirkan rataan 61,7 dan 38,3% (Limousine 60 dan 40%, Simmental 75 dan 25%, Crossbred mempunyai nilai seimbang). Umur sapih rataan 5,7 bulan. Alokasi waktu yang dipergunakan untuk mengurus dan mencari pakan ternak 2 – 3 jam/hari/peternak. Untuk kotoran ternak seluruh peternak telah memanfaatkannya sebagai pupuk organik dan ada juga peternak yang menjualnya.

(2)

PENDAHULUAN

Konsumsi daging sapi setiap tahun menunjukkan peningkatan yang tajam. Kebutuhan yang tinggi tersebut menguras populasi ternak sapi dalam negeri akibat tingginya tingkat pemotongan dibandingkan tingkat kelahiran dan impor sapi bakalan. Pada tahun 2007, 2008 dan 2009 angka kelahiran sebesar 640.000 ekor, 742.000 ekor dan 353.000 ekor dan impor bakalan sapi sebesar 938.201 ekor, 763.239 ekor dan 341.794 ekor, sedangkan angka pemotongan sebanyak 1.885.950 ekor, 1.899.107 ekor dan 2.043.947 ekor (DITJENNAK. 2009). Tingginya kebutuhan sapi bakalan merupakan tantangan dan sekaligus sebagai peluang bagi para peternak rakyat. Pemeliharaan induk-anak sebagai penghasil bakalan (calf cow operation) kurang diminati oleh pengusaha/pemodal karena dibutuhkan waktu pemeliharaan cukup panjang dan secara ekonomis kurang menguntungkan. Berdasarkan hitungan ekonomis (GUNAWAN. 2003) usaha cow calf operation memberikan net present value (NPV) negatif atau sangat kecil. YUSRAN et al. (2005) melaporkan kisaran pendapatan tiap anggota dari hasil penjualan pedet yang telah dihasilkan pada sistem integrasi padi-sapi dalam program P3T di Bojonegoro dalam satu periode produksi pertama (17 bulan) hanya Rp. 325.000 - Rp.350.00 per anggota. Hasil analisis usaha guna mendapatkan satu ekor pedet sapi PO lepas sapih dengan mengacu pada pola Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA) mendapatkan keuntungan Rp.60.588/ekor/bulan (MARIYONO dan ROMJALI, 2007).

Menurut WIJONO (2004) bahwa 90% sapi potong dipelihara oleh peternak rakyat berskala kecil pada kondisi pemeliharaan secara konvensional sebagai peternak pembibit untuk menghasilkan pedet bakalan. Oleh karena itu peternakan rakyat termasuk menjadi salah satu tumpuan ekonomi bangsa dan yang selalu terus didorong karena sebagai ujung tombak perbaikan gizi dan pencerdas bangsa, menciptakan lapangan kerja yang potensial, membangun ekonomi terutama di pedesaan, mensejahterakan peternak sebagai produsen dan mencegah urbanisasi lebih besar. Penelitian ini bertujuan untuk melihat profil dan produktivitas pembibitan sapi rakyat skala kecil yang dikelola dengan sistem pemeliharaan ternak

secara komunal di lahan dataran tinggi di Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus – Oktober 2010 di kelompok Tani Ternak Gangsang Makmur, Desa Asmoro Bangun, Kecamatan Puncu, Kediri dengan sistem pemeliharaan ternak secara komunal. Penelitian menggunakan metode survei dengan mempersiapkan pertanyaan yang disusun dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Wawancara mendalam terhadap 23 orang peternak dari populasi kelompok inti untuk mendapatkan informasi profil peternak (umur, pendidikan, pengalaman dan pekerjaan), ternak yang dipelihara (bangsa dan produktivitas, service per conception dan jenis kelamin pedet) dan observasi langsung ke lokasi peternakan untuk memperoleh data kondisi ternak, kandang, lingkungan, pakan serta pemanfaatan kotoran. Data yang diperoleh diolah dan ditampilkan dalam bentuk tabel baik secara kualitatif maupun kuantitatif kemudian dianalisis serta di interpretasikan secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Profil aggota kelompok

Profil peternak sebagai SDM pertanian adalah salah satu faktor penting yang perlu diamati dalam proses produksi. Secara kualitas profil peternak dapat dilihat dari umur, pendidikan, pengalaman dan pekerjaan. Tabel 1. menunjukkan bahwa rata-rata umur peternak masih muda (45,2) tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi fisik peternak masih mendukung untuk bekerja lebih baik. Kelompok yang sudah mencapai tingkat madya dan berusia tua dinilai sudah tidak dinamis lagi malahan mengarah ke kelompok yang tidak efektif (SYAM, 2000 dalam S.WAHYUNI, 2003).

Pendidikan merupakan hal penting yang dapat mempengaruhi pola pikir dan daya tangkap terhadap hal-hal baru yang diterima. Peternak yang mempunyai pendidikan tinggi (8,7%) menjadi motivator, mobilisator dan juga menjadi komunikator untuk mejalin komunikasi dengan unit kerja pemerintahan

(3)

Tabel 1. Profil peternak Uraian Peternak (N = 23) Umur peternak Rata-rata (tahun) Terendah (tahun) Tertinggi (tahun) 45,2 27 64 Pendidikan SD (orang) SMP-SMA (orang) Perguruan tinggi (orang)

11 (47,8%) 10 (43,5%) 2 (8,7%) Pekerjaan Petani (orang) Pengusaha/pedagang (orang) PNS (orang) 18 (78,3%) 3 (13,0%) 2 (8,7%) Pengalaman Tertinggi (tahun) Terendah (tahun) Rataan (tahun) 20 6 9,06 maupun swasta terkait. Dari dua orang yang berpendidikan tinggi dimana satu orang menjadi ketua kelompok dan satu orang lagi duduk menjadi anggota pengurus kelompok. Beternak sapi merupakan pekerjaan sampingan utama bagi 82,6% peternak atau dapat juga disebut sebagai cabang usaha. Menurut SOEHADJI dalam SARAGIH (1994) jika tingkat pendapatan dari usaha ternak kurang dari 30% disebut usaha sambilan, jika berkisar 30 – 70% disebut sebagai cabang usaha, jika berkisar 70 – 100% sebagai usaha utama dan 100% sebagai usaha industri. Sebagai pekerjaan sampingan untuk mengurus dan mencari pakan membutuhkan waktu rataan 2 – 3 jam/hari. Rendahnya curahan waktu yang digunakan karena semua peternak telah menggunakan

kendaraan bermotor untuk transportasi dari rumah ke kandang dan mencari pakan ternak. Pengalaman peternak rataan 9,06 tahun, terendah 6 tahun dan tertinggi 20 tahun. Sebagian peternak adalah peternak pemula dengan rataan pengalaman beternak 9,06 tahun, namun demikian mempunyai kinerja yang baik dengan ditunjukkan rata-rata kondisi ternak yang cukup baik.

Bangsa dan populasi ternak

Tabel 2. menunjukkan bahwa jumlah sapi yang dipelihara dalam kelompok sebanyak 48 ekor yang berarti setiap peternak rata-rata memelihara 2 ekor. Dari jumlah tersebut proporsi sapi induk mendominasi dalam struktur populasi. Hal ini menggambarkan bahwa pembibitan (penghasil pedet) merupakan tujuan utama dalam budidaya sapi potong. HADI et al. dalam PRAJOGO et al. (2002) melaporkan bahwa pembibitan sapi rakyat umumnya berkisar 2 – 3 ekor/peternak dan kecilnya skala usaha pembibitan sapi rakyat karena terbatasnya modal dan tenaga kerja, sistem manajemen yang masih tradisional serta hanya merupakan usaha sampingan. Dari 48 ekor sapi yang dipelihara anggota kelompok, bangsa Limousine dan Crossbred merupakan sapi yang terbanyak dipelihara peternak karena cepat besar dan mudah dipelihara. Sapi Crossbred oleh peternak biasa disebut Urap yaitu sapi yang merupakan keturunan dari hasil kawin silang lebih dari dua bangsa, contohnya hasil persilangan PO dengan Limousine yang kemudian di IB dengan semen Simmental atau sebaliknya. Secara morfologis, hasil persilangan mempunyai warna kulit bulu beranekaragam, keturunan yang satu dengan yang lain berbeda seperti coklat-putih-hitam, coklat-putih, muka seperti PO, moncong hitam dan ada pula yang

Tabel 2. Sebaran bangsa dan populasi sapi

Sapi muda Anak

Bangsa sapi Induk

Jantan Betina Jantan Betina

Total ekor (%)

Limousine (ekor) 7 2 1 7 3 20 (41,7)

Simmental (ekor) 3 2 1 1 1 8 (16,7)

Brangus (ekor) 1 - - - - 1 (2,0)

Cross breed/Urap (ekor) 13 1 3 1 1 19 (39,6)

(4)

coklat muda. Harga sapi Urap lebih murah antara Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000 per ekor dibandingkan harga Limousine atau Simmental dengan ukuran berat yang sama. Peternak tidak memiliki preferensi jenis bangsa tertentu begitu pula jenis straw untuk IB yang diharapkan bisa berproduksi dengan baik.

Pola pemeliharaan ternak

Pola pemeliharaan ternak diutamakan untuk pembibitan dan penggemukan bagi sapi jantan yang kemudian dijual. Ternak dipelihara secara intensif didalam kandang dengan penyediaan pakan cut and carry. Beberapa peternak mempunyai kebiasaan menjemur sapinya yaitu dengan mengikat pada tiang kayu yang ditancapkan pada lahan kosong pada siang hari selama 2 – 3 jam per hari dan tanpa diberi pakan dan minum. Kegiatan tersebut adalah kebiasaan peternak yang berusia tua yang merupakan adat kebiasaan yang dilakukan peternak pendahulunya. Menurut peternak manfaat penjemuran agar bulu sapi menjadi lebih mengkilat, ternak mempunyai nafsu makan dan minum. Hal ini kemungkinan karena banyaknya penguapan pada tubuhnya maka sapi menjadi merasa haus, disamping itu tidak disediakannya pakan dan minum selama penjemuran maka sapi mempunyai nafsu makan dan minum tinggi.

Penjualan ternak tidak ditentukan umur dan besarnya tetapi berdasarkan kebutuhan seperti untuk beli motor, biaya sekolah, membetulkan rumah, untuk tambah beli lahan pertanian. Berdasarkan analisis bahwa usaha pembibitan sapi potong secara finansial memberikan keuntungan jauh lebih kecil dibandingkan usaha penggemukan. Di Wonosobo BCR pembibitan induk PFH × semen Simmental 1,003, sedangkan usaha penggemukan peranakan induk PFH × semen Simmental 1,170. Demikian pula BCR usaha di Grobokan, induk PFH x semen Simmental sebesar 0,730 sementara itu induk PO × semen Simmental 1,150 (HADI dan ILHAM. 2000). Meskipun dari beberapa analisa menunjukkan BCR yang rendah, tetapi menurut anggota kelompok peternak Gangsang Makmur bahwa pola pembibitan dianggap masih menguntungkan karena peternak tidak mengeluarkan biaya secara tunai (‘zero input’) dan jika ada sangat

kecil terutama untuk membeli garam dan dedak, sementara tenaga kerja yang dikeluarkan dianggap sebagai tabungan berupa pedet dari hasil keturunan sapinya yang setelah dijual akan memberikan hasil yang relatif besar.

Kandang

Kandang komunal dibangun di atas tanah milik desa seluas 2300 m2 dengan sistem sewa sebesar Rp 750.000 (tujuh ratus limapuluh ribu rupiah) per tahun yang ditanggung bersama. Di atas tanah tersebut dibangun kandang sebanyak 12 bangunan dengan ukuran 12 × 4 m. Setiap bangunan dipergunakan untuk 2 peternak sehingga setiap peternak memiliki luas kandang 4 × 6 m dan dari luas tersebut dapat diisi 4 ekor sapi. Kandang dibuat secara terbuka (tanpa dinding) menggunakan atap genting dan bahan tiang dari kayu lokal. Kelompok membangun 2 unit bangunan secara bersama yaitu tempat penampungan pakan sekaligus untuk tempat chopper dan sebuah ruangan yang mempunyai multi fungsi sebagai tempat pertemuan dan pos jaga malam. Kandang dibangun pada tahun 2002 dengan biaya kandang sebesar Rp. 700.000/peternak. Tabel 3 menunjukkan bahwa kondisi kandang umumnya kurang baik, hal ini bisa dimaklumi karena usia kandang yang sudah cukup lama dan belum pernah diperbaiki.

Tabel 3. Kondisi kandang dan lingkungan

Uraian Baik (%) Agak baik (%) Kurang baik (%) Tempat pakan 8,7 39,1 52,2 Lantai kandang - 13,1 86,9 Kebersihan - 26,1 73,9 Penampungan kotoran - 8,7 91,3

Tempat pakan ada yang menggunakan bahan dari bambu, kayu dan bambu, kayu atau semen. Tempat pakan dari bambu sebanyak 52,2% dan kondisi umumnya sudah rusak sehingga pakan banyak yang terbuang dan hal ini dapat mengurangi efisiensi penggunaan pakan. Sedangkan tempat pakan dari kayu dan bambu dan kayu saja (39,1%) yang kondisinya masih agak baik jika dibandingkan dari bahan bambu. Tempat pakan yang kondisinya masih

(5)

baik (8,7%) dibuat dari semen/beton. Lantai kandang awalnya dari semen, tetapi sebagian besar saat ini sudah rusak dan lantai bergelombang yang bisa mengganggu kenyamanan ternak.

Untuk kebersihan kandang hampir semua peternak kurang memperhatikan karena tidak setiap hari dibersihkan. Hal ini berbeda dengan peternak sapi perah dimana sangat memerlukan kebersihan agar susu yang dihasilkan tidak cepat rusak. Kebersihan kandang tetap diperlukan untuk menjaga kesehatan ternak. Penampungan kotoran dan sisa pakan tersedia pada setiap kandang meskipun kondisinya rata-rata kurang baik.

Penyediaan pakan

Sistem pemeliharaan sapi yang dilakukan kelompok ternak sudah secara intensif yaitu ternak dipelihara di kandang sepanjang siang dan malam, tetapi sistem pemberian pakan masih sederhana. Pola pemeliharaan secara intensif banyak dilakukan petani peternak di Jawa, Madura dan Bali (SUGENG dalam SURYANA. 2009). Ketersediaan pakan cukup namun kualitasnya rendah. Hal ini dapat dilihat dari hasil penggemukan yang pernah dilakukan kelompok bahwa peningkatan ADG hanya mencapai 0,2 – 0,7 kg/hari (SUSILA, 2010. komunikasi langsung). Sumber pakan cukup tersedia di lingkungan tersebut terutama sumber pakan dari limbah pertanian yaitu tebon jagung, klobot, daun singkong, daun ubi jalar dan daun kacang/rendeng. Limbah perkebunan dari daun tebu (pucuk tebu, momol yaitu sebagian pupus dari pucuk tebu, kletekan/sembretan daun tebu dan sogol/tunas tebu yang di-afkir) mempunyai potensi yang sangat besar namun belum dimanfaatkan secara optimal. Daun tebu kering (wafer) dapat digunakan sebagai bank pakan untuk mencukupi kebutuhan pakan musim kemarau. Sedangkan sumber pakan dari rumput (rumput gajah) ditanam pada tanggul dan diantara tanaman hutan dengan luas lahan 16 ha yang pengadaannya merupakan bantuan dari Dinas Kehewanan dan Perikanan setempat dan diperuntukkan oleh masyarakat peternak termasuk anggota kelompok peternak Gangsang Makmur. Demikian juga leguminosa dari daun tanaman tahunan cukup tersedia.

Pemberian dedak padi/jagung dan garam masing-masing hanya segemgam/hari yang dicampur dengan satu ember air (5 l). Dedak-garam berfungsi sebagai perangsang agar sapi mau minum. Mutu pakan yang relatif rendah menyisakan pakan yang cukup banyak dan akhirnya terbuang bersama-sama faeces menjadi bahan kompos. Keterbatasan ketersediaan dana untuk pengadaan bahan pakan seperti dedak dan konsentrat merupakan salah satu kendala. Pakan tambahan dari limbah pertanian seperti dedak umumnya didatangkan dari luar karena lahan pertanian yang dibudidayakan merupakan dataran tinggi yang pada umumnya ditanami palawija.

Pada musim hujan peternak membutuhkan waktu rata-rata 2 – 3 jam/hari dan musim kemarau > 3 jam/hari untuk mengurus ternaknya. Rendahnya curahan waktu yang digunakan karena semua peternak telah menggunakan kendaraan bermotor untuk transportasi dari rumah kekandang dan mencari pakan ternak. Pada musim hujan dan musim panen palawija kebutuhan pakan ternak cukup terpenuhi dari sekitar lokasi kandang, namun pada musim kemarau curahan waktu untuk mencari pakan dan mengurus ternak > 3 jam/hari karena jarak mencari pakan bisa mencapai 5 – 10 km dari kandang. Bila dikalkulasi biaya BBM untuk mencari pakan dan merawat ternak rata-rata sebesar Rp. 1000 – 1500/orang/hari.

Service per conseption (S/C) dan jenis kelamin pedet

Sejak diterimanya program BLM tahun 2004 terdapat 17 ekor induk yang dapat ditelusuri mengenai catatan kebuntingan, jumlah melahirkan, Service per Conception (S/C), jenis kelamin anak yang telah dilahirkan dan catatan kebuntingan terhadap sapi yang masih ada di kandang (Tabel 4.)

Dalam keadaan bunting, beranak 1, 2, 3 dan 4 kali masing-masing secara berturut turut sebanyak 5, 7, 4, 1 dan 1 ekor. S/C adalah jumlah ternak yang di-IB dibagi jumlah ternak yang bunting. Hasil yang telah dicapai terhadap bangsa Limousine, Simmental dan Cross Breed (Urap) masing-masing sebesar 1,5; 1,6 dan 1,9 dengan rata-rata 1,7. Hasil tersebut secara keseluruhan lebih baik bila

(6)

dibandingkan dengan penelitian AFFANDY et al (2003) bahwa S/C pada sapi PO, Limousine × PO, Simmental × PO pada dataran tinggi sebesar 2,0 ± 1,6; 2,1 ± 1,0 dan 2,1 ± 1,1. Demikian pula S/C hasil penelitian didaerah Grobokan sebesar 2,6 (HADI dan ILHAM, 2000).

Keberhasilan IB di kelompok Gangsang Makmur dengan ditunjukkannya nilai S/C yang relatif rendah/baik tersebut antara lain disebabkan oleh: (1) Petugas inseminator juga menjadi anggota kelompok dan tempat tinggalnya ada di desa tersebut, sehingga petugas datang tepat waktu untuk melakuan IB; (2) Peternak tidak memikirkan uang kontan untuk biaya IB karena biaya ditalangi oleh keuangan kelompok dan dibayar bila peternak menjual sapinya. AFFANDY et al. (2003) dan YUSRAN et al. (2005) melaporkan bahwa daya beli peternak untuk straw unggul rendah sehingga masih ada peternak yang mengawinkan sapinya secara alami dengan sapi lokal; (3) Kondisi ternak umumnya baik karena kebutuhan hijauan pakan tercukupi. Menurut WINUGROHO (2002) kondisi tubuh induk erat hubungannya dengan status cadangan energi tubuhnya sedangkan cadangan energi tersebut erat hubungannya dengan gizi yang dikonsumsi sebelum bunting dan beranak. Hubungan antara kandungan nutrisi ransum dan cadangan energi tubuh induk mempengaruhi munculnya estrus; (4) Adanya kerjasama yang baik antar anggota kelompok dimana jika pemilik ternak tidak mengetahui

sapinya birahi maka peternak lain yang mengetahui akan menginformasikan ke pemilik ternak dan hal ini menjadi salah satu nilai positif pemeliharaan ternak secara kandang komunal.

Penelusuran hasil IB terhadap jenis kelamin anak untuk bangsa Limousin dan Simenal diperoleh anak jantan lebih banyak dari pada anak betina, sedangkan keturunan dari induk crossbred anak betina dan anak jantan yang dilahirkan seimbang. Secara keseluruhan jumlah anak betina yang dilahirkan sebanyak 61,7% sedangkan untuk anak jantan sebanyak 38,3% atau rasio kelamin 1,6 : 1. Pada umumnya peternak mengharapkan anak yang dilahirkan jantan karena harga pedet jantan lebih mahal dan jika dipelihara cepat besar dibandingkan pedet betina. Untuk itu disarankan menggunakan sexing semen, agar apa yang diinginkan petani tercapai.

PRASOJO et al. (2010) melaporkan bahwa hasil analisa terhadap 799 ekor jumlah kelahiran anak dari hasil IB ternyata pedet jantan lebih banyak dibandingkan dengan pedet betina yaitu 445 ekor (55,69%) vs 354 ekor (44,30%). Menurut DEMURAL dalam PRASOJO et al. (2010), beberapa faktor yang dapat mempengaruhi rasio kelamin anak antara lain tingkat seleksi, musim, umur dan faktor induk betina dan pejantan yang digunakan. Penerapan IB merupakan alternatif yang dianggap ideal dalam upaya peningkatan mutu genetis sapi potong pada peternakan rakyat.

Tabel 4. Service per conception dan jenis kelamin anak yang dilahirkan dari induk yang masih dipelihara

Bangsa sapi Uraian

Limousine Simmental Crossbred

Total/ rataan

Jumlah induk yang direkord (ekor) 5 4 8 17

Jumlah kelahiran (kali) 5 8 12* 25

Jumlah induk sedang bunting (ekor) 1 1 3 5

Jumlah IB (kali) 9 14 29 52

Service per Conception (S/C) 1,5 1,6 1,9 1,7

Jenis anak

Betina (%) 3 (60) 6 (75) 7 (50) 16 (61,7)

Jantan (%) 2 (40) 2 (25) 7 (50) 11 (38,3)

Umur sapih (bulan) 5,8 5,6 5,6 5,7

(7)

Umur sapih pedet rata-rata 5,7 bulan, lamanya umur sapih karena pedet dijadikan satu dengan induknya. Peternak merasa kasihan jika pedet dipisah sebelum pedet besar. Kebiasaan tersebut menyebabkan calving interval panjang dan pada akhirnya akan berpengaruh pada efisiensi reproduksi induk. Umur penyapihan pedet pada 12 dan 16 minggu tidak berpengaruh terhadap penampilan bobot hidup induk dan pedet pascasapih, bahkan penyapihan pedet umur 12 mg dengan sistem kandang individu ditingkat peternak menunjukkan tingkat APP, CL dan Cr lebih baik dibandingkan dengan penyapihan pedet umur 1 mg (AFFANDY et al. 2008). Demikian pula menurut WINUGROHO (2002) agar setiap induk dapat “partus” setiap tahun maka ternak harus bunting dalam 90 hari “post partus”. Estrus pertama post partus harus sekitar 35 hari sehingga induk mempunyai kesempatan kawin dua kali sebelum bunting (siklus estrus 21 hari).

Kotoran ternak

Pada umumnya peternak telah menggunakan kotoran sapi sebagai pupuk organik (kompos) untuk tanaman palawija atau lainnya. Menurut TIMORI et al. dalam RUBIYO et al. (2003) pupuk organik mengandung unsur mikro dan makro yang lengkap yang diperlukan tanaman dan dapat memperbaiki struktur tanah. Inovasi teknologi untuk mempercepat proses dekomposisi (EM4, Probion) telah pernah didapat dari kegiatan Primatani, tetapipeternak tidak mempraktekkan lagi karena bahan decomposer tersebut tidak tersedia dipasar lokal. Pupuk organik tidak diolah sehingga penggunaannya menunggu proses pembusukan secara alami. Kotoran bersama-sama dengan sisa pakan yang berupa daun dan batang lunak ditampung di belakang kandang, sedangkan yang berupa ranting-ranting dipisahkan. Pembongkaran pupuk kandang dilakukan setelah terjadi proses dekomposisi yang memerlukan waktu selama 4 sampai 6 bulan, pupuk tersebut siap digunakan baik untuk memupuk tanaman sendiri maupun dijual. Bila pupuk dijual, maka sistem penjualan tidak berdasarkan berat melainkan berdasarkan alat angkut yang digunakan. Harga 1 truk kompos (± 6 ton) dijual Rp 110.000.

KESIMPULAN

1. Pemeliharaan induk-anak sebagai penghasil bakalan yang dikelola dalam suatu kawasan (komunal) mempunyai prospek yang baik karena antar peternak saling berinteraksi. 2. Kehadiran anggota kelompok yang sekaligus

sebagai pelaksana IB sangat membantu keberhasilan IB di kelompok (S/C rendah). 3. Rasio kelahiran anak betina lebih banyak

dibandingkan dengan anak jantan.

4. Kotoran kandang telah dimanfaatkan sebagai pupuk organik meskipun diproses secara alami.

DAFTAR PUSTAKA

DITJENNAK 2009. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. AFFANDHY,L.,D.PAMUNGKAS dan D.RATNAWATI.

2008. Respons reproduksi sapi potong induk pada umur penyapihan pedet berbeda di kondisi peternakan rakyat di lahan kering. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 11 – 12 Nopember 2008. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 132 – 136. AFFANDHY, L., P. SITUMORANG, P.W. PRIHANDINI,

D.B.WIJONO dan A.RASYID. 2003. performan reproduksi dan pengelolaan sapi potong induk pada kondisi peternakan rakyat. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor. 29 – 30 September 2003. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 37 – 42.

GUNAWAN. 2003. Model dan strategi kerjasama penelitan agribisnis sapi potong dalam era globalisasi. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29 – 30 September 2003. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 278 – 283.

HADI, P.U. dan N. ILHAM. 2002. Problem dan prospek pengembangan usaha pembibitan sapi potong di Indonesia. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 21(4): 148 – 157. YUSRAN,M.A.,P.SANTOSO dan PURWANTO. 2005.

Pengkajian perkembangan sistem integrasi padi-sapi dalam program P3T di Jawa Timur. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor. 12 – 13 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 256 – 265. MARIYONO dan E.ROMJALI. 2007. Petunjuk Teknis

Teknologi Inovasi Pakan Murah untuk Usaha Pembibitan Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

(8)

RUBIYO, S. GUNTORO dan SUPRAPTO. 2003. Usahatani kopi Robusta dengan pemanfaatan kotoran kambing sebagai pupuk organik di Bali. J. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 6(1)

SARAGIH,B. 1994. Agribisnis Berbasis Peternakan. Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian. Institut Pertanian Bogor. CV Nasional, Jakarta.

SURYANA. 2009. Pengembangan usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian 28(29): 29 – 37.

WAHYUNI, S. 2003. Kinerja kelompok tani dalam sistem usaha tani padi dan metode pemberdayaannya. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian 22(1): 1 – 8.

WIJONO, D.B., MARIYONO dan P.W. PRIHANDINI. 2004. Pengaruh stratifikasi fenotipe terhadap laju pertumbuhan sapi potong pada kondisi

foundation stock. Pros. Seminar Nasional

Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor. 4 – 5 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 16 – 20.

WINUGROHO, M. 2002. Strategi pemberian pakan tambahan untuk memperbaiki efisiensi reproduksi induk sapi. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian 21(1): 19 – 23.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

‘They’re looking for us, then,’ Father Kreiner said, peering at the immobile Type 102, poking her as if to see what a walking TARDIS felt like, ‘the Doctor’s friends.’..

MajIis Majlis Mesyuarat Kerajaan dibahagikan kepada dua, Majlis Negeri.. yang mempunyai kuasa perundangan dan Jemaah Menteri yang mempunyai kuasa pe1aksanaan. MB Majlis

memahami dulu dan menerapkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku di daerah tersebut. Yang kedua adanya suatu kepentingan antara petugas dan narapidana, ini menjadi langkah

Faktor dukungan pada penilaian harga diri yang merupakan aspek dalam variabel dukungan so- sial memliki pengaruh signifikan terhadap faktor kelambanan dan kesenjangan waktu

Software ini digunakan dalam tugas akhir ini untuk menganalisis hasil dari daya dukung fondasi tiang bor tunggal maupun kelompok dengan memasukan data fondasi

Ada hubungan antara perilaku caring perawat dengan penerapan prinsip etik dalam asuhan keperawatan di Rumah Sakit Umum Daerah dr.. Bagi

Sebutkan fungsi tombol Zoom yang terletak di bagian kanan bawah pada Microsoft Word 2007.. Tombol Zoom digunakan untuk mengatur tampilan dokumen pada layar (besar