• Tidak ada hasil yang ditemukan

MOTIF TINDAKAN SOSIAL TERHADAP PARTISIPASI POLITIK BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT PEDESAAN ANNISA MAGHFIRAH I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MOTIF TINDAKAN SOSIAL TERHADAP PARTISIPASI POLITIK BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT PEDESAAN ANNISA MAGHFIRAH I"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

MOTIF TINDAKAN SOSIAL TERHADAP PARTISIPASI

POLITIK BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL

MASYARAKAT PEDESAAN

ANNISA MAGHFIRAH

I34100110

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2014

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Motif Tindakan Sosial terhadap Partisipasi Politik Berdasarkan Stratifikasi Sosial Masyarakat Pedesaan adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Annisa Maghfirah NIM I34100110

(3)

ANNISA MAGHFIRAH. Motif Tindakan Sosial terhadap Partisipasi Politik Berdasarkan Stratifikasi Sosial Masyarakat Pedesaan. Dibimbing oleh SOFYAN SJAF.

Bentuk-bentuk partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat dalam pemilihan memiliki 5 bentuk partisipasi politik, yaitu menggunakan hak pilih, mengikuti kampanye, menjadi panitia pemilihan, mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi, serta mengikuti proses penghitungan suara. Tingkat partisipasi masyarakat tinggi pada bentuk partisipasi penggunaan hak pilih, sedangkan tingkat partisipasi masyarakat pada bentuk-bentuk lainnya cenderung rendah. Tidak ada perbedaan bentuk-bentuk partisipasi politik antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Terdapat empat motif-motif tindakan sosial masyarakat pada partisipasi politik, yaitu rasional instrumental, rasional berorientasi nilai, afektif, dan tradisional. Tingkat kecenderungan motif yang tinggi adalah motif rasional berorientasi nilai pada masyarakat strata atas dan strata bawah serta motif tradisional pada masyarakat strata bawah, sedangkan motif-motif lainnya cenderung rendah. Motif rasional berorientasi nilai yang tinggi menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pemilihan dilandasi oleh nilai demokrasi yang melekat pada masyarakat. Motif tradisional yang tinggi pada strata bawah menunjukkan bahwa masyarakat strata bawah masih mengangkat nilai-nilai tradisional pada partisipasi politik.

Kata kunci: partisipasi politik, motif tindakan sosial, stratifikasi sosial

ABSTRACT

ANNISA MAGHFIRAH. Social Motives on Political Participation based on Social Stratification in Rural Communities. Supervised by SOFYAN SJAF.

Forms of political participation by the community in the selection has 5 forms which is participation in voting, campaign, election committee, persuading others to participate, and following the vote counting process. Participation in voting has high level, while participation in other forms tend to be low. There is not difference forms of political participation between the upper and lower stratum of community. There are four motives of social action on political participation, namely instrumental rational, value-oriented rational, affective, and traditional. The highest level motive in political participation is value-oriented rational in the upper and lower stratum of community and traditional motive on the lower stratum of community, while other motives tend to be low. Value-oriented rational motive, which is high, shows that the participation of community in the selection based on democracy-value in community. Traditional motive, which is high in the lower stratum in community, shows that community raise traditional-value in political participation.

(4)

MOTIF TINDAKAN SOSIAL TERHADAP PARTISIPASI

POLITIK BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL

MASYARAKAT PEDESAAN

ANNISA MAGHFIRAH

I34100110

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2014

(5)

NIM : I34100110 Disetujui oleh Dr Sofyan Sjaf Pembimbing Diketahui oleh Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen Tanggal Lulus : _______________________

(6)

Puji syukur yang sebesar-besarnya penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah yang telah dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi yang berjudul “MOTIF TINDAKAN SOSIAL TERHADAP PARTISIPASI POLITIK BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT PEDESAAN” dengan baik. Skripsi ini disusun dengan tujuan untuk melengkapi kewajiban dalam menempuh tugas belajar pada program Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan-bantuan moril dan material dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang terlibat. Pertama, ucapan terima kasih penulis kepada Bapak Dr. Sofyan Sjaf selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, tenaga, bimbingan, arahan, saran, dan kritik yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada orang tua tercinta, Bapak Khairuddin dan Ibu Iznanizmah, yang selalu melimpahkan kasih sayang, doa, serta motivasi kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibunda tercinta almh. Meichati Syam yang selalu menjadi sosok inspirasi bagi penulis. Tidak lupa terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman SKPM angkatan 47 yang selalu memberi semangat dan masukan untuk penulis dalam penulisan proposal penelitian ini. Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh pihak di Desa Pancawati Kec.Caringin Kab.Bogor yang sudah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Januari 2014

(7)

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Masalah Penelitian 3 Tujuan Penelitian 4 Kegunaan Penelitian 4 PENDEKATAN TEORITIS 5 Tinjauan Pustaka 5 Partisipasi Politik 5

Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik 5

Motif-Motif Tindakan Sosial 7

Stratifikasi Sosial 13

Masyarakat Pedesaan 14

Kerangka Pemikiran 14

Hipotesis Penelitian 16

Definisi Operasional 16

Bentuk Partisipasi Politik 16

Motif Tindakan Sosial 18

Stratifikasi Sosial 22

PENDEKATAN LAPANG 23

Lokasi dan Waktu Penelitian 23

Metode Penelitian 23

Teknik Sampling 24

Pengumpulan Data 25

Pengolahan dan Analisis Data 25

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 27

Kondisi Geografis dan Ekonomi 27

Karakteristik Responden dan Pelapisan pada Masyarakat 29

BENTUK-BENTUK PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT

BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL 39

Bentuk Partisipasi Penggunaan Hak Pilih 39

Bentuk Partisipasi dalam Kampanye 41

Bentuk Partisipasi sebagai Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) 42 Bentuk Partisipasi dalam Mempersuasi Pihak Lain untuk

Berpartisipasi 45

Bentuk Partisipasi dalam Proses Penghitungan Suara 47

(8)

Ikhtisar: Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Berdasarkan Stratifikasi

Sosial 49

PERBEDAAN MOTIF-MOTIF TINDAKAN SOSIAL DALAM PARTISIPASI POLITIK BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL 53 Motif Rasional Instrumental pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik 53 Motif Rasional Berorientasi Nilai pada Bentuk-Bentuk Partisipasi

Politik 56

Motif Afektif pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik 59 Motif Tradisional pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik 61 Ikhtisar: Motif-Motif Partisipasi Politik Masyarakat Berdasarkan

Stratifikasi Sosial 63

PENGARUH MOTIF-MOTIF TINDAKAN SOSIAL TERHADAP PERBEDAAN BENTUK PARTISIPASI POLITIK BERDASARKAN

STRATIFIKASI SOSIAL 65

Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik Penggunaan

Hak Pilih 65

Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik dalam

Kampanye 66

Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik sebagai Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau Kelompok Penyelenggara Pemungutan

Suara (KPPS) 67

Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik dalam Mempersuasi Pihak Lain untuk Berpartisipasi 68 Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik dalam Proses

Penghitungan Suara 69

Ikhtisar: Motif-Motif Tindakan Sosial pada Berbagai Bentuk

Partisipasi Politik 69 PENUTUP 73 Simpulan 73 Saran 74 DAFTAR PUSTAKA 75 LAMPIRAN 77

(9)

1. Luas dan persentase wilayah lahan berdasarkan berbagai bentuk penggunaan lahan di Desa Pancawati tahun 2012 27 2. Jumlah tenaga kerja berdasarkan jenis-jenis pekerjaan masyarakat Desa

Pancawati tahun 2012 28

3. Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi menggunakan

hak pilih berdasarkan stratifikasi sosial 39

4. Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi kampanye

berdasarkan stratifikasi sosial 41

5. Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi sebagai panitia pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial 43 6. Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi mempersuasi

pihak lain berdasarkan stratifikasi sosial 45

7. Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi proses penghitungan suara berdasarkan stratifikasi sosial 47 8. Tingkat partisipasi masyarakat dalam bentuk-bentuk partisipasi politik

berdasarkan stratifikasi sosial 49

9. Jumlah dan persentase motif rasional instrumental responden berdasarkan

stratifikasi sosial 53

10. Jumlah dan persentase motif rasional berorientasi nilai responden

berdasarkan stratifikasi sosial 56

11. Jumlah dan persentase motif afektif responden berdasarkan stratifikasi

sosial 59

12. Jumlah dan persentase motif tradisional responden berdasarkan

stratifikasi sosial 61

13. Tingkat kecenderungan motif-motif partisipasi politik masyarakat

berdasarkan stratifikasi sosial 63

14. Tingkat kecenderungan motif tindakan sosial pada bentuk-bentuk

(10)

1. Kerangka pemikiran penelitian 15

2. Metode pengambilan sampel 24

3. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin 29 4. Karakteristik responden berdasarkan kepemilikan aset atau barang

berharga 30

5. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan 31 6. Karakteristik responden berdasarkan pendapatan 31 7. Karakteristik responden berdasarkan pengeluaran 32 8. Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan Kepala Keluarga 33 9. Karakteristik responden berdasarkan kondisi rumah 33 10. Karakteristik responden berdasarkan jenis lantai bangunan tempat tinggal 34 11. Karakteristik responden berdasarkan jenis dinding bangunan tempat

tinggal 34

12. Karakteristik responden berdasarkan tempat mandi dan buang air besar 35 13. Karakteristik responden berdasarkan sumber air bersih untuk minum 36 14. Karakteristik responden berdasarkan sumber air bersih untuk kebutuhan

sehari-hari 36

15. Karakteristik responden berdasarkan bahan bakar (energi) untuk

memasak 37

16. Karakteristik responden berdasarkan jenis penanganan kesehatan 38

DAFTAR LAMPIRAN

1. Denah lokasi penelitian 77

2. Jadwal pelaksanaan penelitian 78

3. Daftar nama responden penelitian 79

4. Hasil uji korelasi Rank Spearman 81

(11)

Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang menganut paham demokrasi. Sebagai negara demokrasi, salah satu tugas pemerintahan adalah melibatkan masyarakat dalam pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik. Umumnya cara yang digunakan oleh pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam sistem politik adalah melalui pemilihan umum dalam memilih pemimpin negara atau pemimpin daerah. Pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, dinyatakan bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum sudah dijalankan di Indonesia sejak tahun 1955. Pesta demokrasi berupa pemilihan ini masih terus dijalankan sampai sekarang. Tidak hanya pemilihan umum, pemerintah juga melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang memberikan kesempatan kepada masyarakat masing-masing daerah untuk memilih kepala daerahnya sendiri.

Menurut Sastroatmodjo (1995), kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan adalah salah satu kegiatan partisipasi politik yang aktif. Bentuk kegiatan ini disebut aktif karena terjadi “masukan” politik. Pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah dapat dikatakan sebagai wadah yang diciptakan oleh pemerintah untuk masyarakat agar ikut berpartisipasi aktif dalam sistem pemerintahan. Sayangnya, terkadang wadah ini tidak dimanfaatkan oleh masyarakat secara baik. Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan meningkatnya angka golput (golongan putih) dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Semakin banyak masyarakat yang bersikap apatis dan tidak mau berpartisipasi dalam sistem politik di Indonesia. Salah satu contoh rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah adalah saat pemilihan Gubernur Jawa Barat yang baru saja diadakan pada bulan Februari 2013 yang lalu. Hasil pemilihan kepala daerah tersebut menunjukkan tingginya angka golput. Pasangan Cagub-Cawagub terpilih pun memperoleh suara yang lebih rendah daripada angka golput1.

Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah tidak terjadi pada seluruh wilayah Indonesia. Ada juga daerah-daerah yang menunjukkan semakin tingginya partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah. Salah satu daerah yang menunjukkan tingginya tingkat partisipasi adalah Kabupaten Temanggung. Pemilihan kepala daerah di Temanggung pada tahun 2008 menunjukkan bahwa 81.03% pemilih ikut berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah.

Perbedaan kecenderungan semakin tinggi dan semakin rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah menunjukkan bahwa

1

Gunernur terpilih memperoleh suara 6 515 313 (32.39%) suara, sedangkan angka golput mencapai 11 823 201 (36.3%). Sumber: Herdiana I. 2013.Golput Pilgub Jabar capai 36 persen.[Internet]. [dikutip 23 Juni 2013]. Dapat diunduh dari:

http://daerah.sindonews.com/read/2013/03/03/21/723605/golput-pilgub-jabar-capai-

(12)

masyarakat memiliki motif yang berbeda-beda dalam berpartisipasi politik. Mengacu pada pengkategorian motif tindakan sosial menurut Max Weber (1992), maka motif-motif yang mendorong partipasi politik masyarakat dalam pemilihan dapat dibagi menjadi 4, yaitu rasional instrumental, rasional berorientasi nilai, afektif, dan tradisional.

Salah satu contoh kasus yang menunjukkan perbedaan motif pada individu-individu dalam masyarakat dalam berpartisipasi pada Pemilu atau Pilkada adalah kasus yang diteliti oleh Bawono (2008) di Kabupaten Nganjuk. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat beberapa motif yang mendasari partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu. Motif-motif tersebut antara lain adalah kesadaran masyarakat akan hak dan kewajiban masyarakat sebagai warga negara, kemauan masyarakat untuk mencari pemimpin, menyalurkan aspirasinya untuk memilih wakil rakyat yang baik, memiliki ikatan emosional dengan partai dan calon yang bersangkutan, dan menginginkan perubahan ekonomi yang lebih baik. Penelitian tersebut juga menunjukkan beberapa motif yang mendasari masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya. Motif-motif tersebut antara lain adalah tidak memahami Pemilu, kepercayaan pemilih yang sudah menurun terhadap partai dan calon, tidak ingin terlibat dalam politik, dan lebih mengutamakan kepentingan mencari nafkah daripada ikut berpartisipasi dalam Pemilu. Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan motif yang mendasari masyarakat dalam berpartisipasi pada Pemilu atau Pilkada.

Motif-motif yang dimiliki masyarakat dapat menjadi dasar untuk berbagai bentuk partisipasi politik. Tidak hanya memberikan suara, masyarakat juga dapat terlibat dalam bentuk-bentuk partisipasi lainnya dalam pemilihan. Bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan dapat berupa pemberian sumbangan pada kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, dan setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan (Sari 2007). Hal ini menunjukkan pemilihan dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam berbagai bentuk partisipasi politik.

Perbedaan motif-motif yang mendasari bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat pada Pemilu atau Pilkada dapat diidentifikasi berdasarkan stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial pada umumnya diukur berdasarkan status sosial-ekonomi masyarakat. Masyarakat yang berbeda strata atau lapisan di dalam masyarakat diasumsikan cenderung memiliki motif yang berbeda dalam melakukan tindakan sosial, termasuk dalam berpartisipasi pada Pemilu atau Pilkada. Penelitian yang dilakukan oleh Bawono (2008) di Kabupaten Nganjuk juga menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh latar belakang pekerjaan dan pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan status sosial-ekonomi akan mempengaruhi individu dalam berpartisipasi. Dapat dikatakan juga bahwa perbedaan status sosial-ekonomi masyarakat berpengaruh terhadap perbedaan motif individu dalam berpartisipasi politik. Oleh karena itu, menarik untuk dikaji motif-motif yang mendasari partisipasi politik masyarakat berdasarkan stratifikasi sosial.

Salah satu kasus yang menjadi dasar pada penelitian ini adalah Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013. Pemilihan ini dijadikan dasar oleh peneliti karena pemilihan inilah yang terakhir kali dilaksanakan di Kabupaten Bogor. Karena pemilihan ini baru saja terjadi, diharapkan masyarakat masih dapat mengingat

(13)

partisipasi apa saja yang dilakukan pada pemilihan dan dapat mengidentifikasi motif-motif yang mendasari partisipasi tersebut.

Peneliti melakukan penelitian di lokasi yang memiliki tingkat partisipasi sedang. Motif-motif partisipasi politik masyarakat di wilayah yang memiliki tingkat partisipasi sedang dalam Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013 diharapkan dapat mewakili seluruh wilayah, baik wilayah yang memiliki partisipasi tinggi maupun wilayah yang memiliki partisipasi rendah. Pada penelitian ini, peneliti menganalisis motif-motif yang mendasari partisipasi politik masyarakat Desa Pancawati, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor berdasarkan stratifikasi sosial pada Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah, khususnya pada Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013.

Masalah Penelitian

Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah adalah hal yang sudah tidak asing lagi di masyarakat Indonesia, begitu juga pada masyarakat Desa Pancawati, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Melalui kegiatan pemilihan ini, masyarakat melakukan partisipasi politik. Berbagai bentuk partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat tidak terlepas dari motif-motif tindakan sosial. Perbedaan bentuk partisipasi politik dan motif partisipasi politik yang dimiliki masyarakat salah satunya dipengaruhi oleh stratifikasi sosial. Oleh karena itu, masalah utama yang dikaji pada penelitian ini adalah bagaimana motif-motif tindakan sosial yang mendasari berbagai bentuk partisipasi politik masyarakat Desa Pancawati pada pemilihan berdasarkan stratifikasi pada masyarakat?

Bentuk partisipasi politik pada pemilihan yang dilakukan oleh masyarakat tidak hanya berupa penggunaan hak suara, tetapi juga partisipasi dalam kampanye, pelaksanaan pemilihan, persuasi kepada pihak lain untuk berpartisipasi, dan penghitungan suara. Berbagai bentuk partisipasi politik ini dilakukan oleh masyarakat dari berbagai strata. Ada kecenderungan bahwa masyarakat yang memiliki status sosial-ekonomi yang berbeda atau berasal dari strata yang berbeda akan melakukan bentuk partisipasi politik yang berbeda. Oleh karena itu, perlu untuk dianalisis apakah bentuk-bentuk partisipasi politik pada pemilihan berbeda berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat pedesaan?

Bentuk-bentuk partisipasi politik yang dilakukan oleh setiap strata pada masyarakat tidak terlepas dari motif-motif tindakan sosial yang mendasarinya. Motif-motif tindakan sosial pada masyarakatlah yang menjadi dasar dilakukannya berbagai bentuk partisipasi politik pada pemilihan. Oleh karena itu, perlu untuk dianalisis apakah motif-motif tindakan sosial partisipasi politik pada pemilihan berbeda berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat pedesaan?

Motif-motif tindakan sosial yang mendasari masyarakat dalam berpartisipasi politik memiliki perbedaan. Setiap masyarakat memiliki alasannya masing-masing dalam melakukan partisipasi politik pada pemilihan. Salah satu hal yang menyebabkan perbedaan motif partisipasi politik pada masyarakat adalah perbedaan strata pada masyarakat. Masyarakat yang berada di strata atas memiliki motif-motif partisipasi politik yang berbeda dengan motif partisipasi politik yang dimiliki oleh masyarakat pada strata bawah. Perbedaan motif ini melandasi

(14)

berbagai bentuk partisipasi politik dalam pemilihan. Oleh karena itu, perlu untuk dianalisis apa motif-motif tindakan sosial yang mendasari bentuk-bentuk partisipasi politik pada pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat pedesaan?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian umum pada penelitian ini adalah menganalisis motif-motif tindakan sosial yang mendasari berbagai bentuk partisipasi politik masyarakat Desa Pancawati pada pemilihan berdasarkan stratifikasi pada masyarakat. Adapun tujuan-tujuan khusus pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis perbedaan bentuk-bentuk partisipasi politik pada pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat Desa Pancawati.

2. Menganalisis perbedaan motif-motif tindakan sosial partisipasi politik pada pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat Desa Pancawati.

3. Menganalisis perbedaan motif-motif tindakan sosial pada berbagai bentuk partisipasi politik dalam pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat Desa Pancawati.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi berbagai pihak, antara lain:

1. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah penelitian mengenai motif-motif yang mendasari partisipasi politik masyarakat pedesaan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan atau literatur bagi akademisi yang ingin meneliti lebih jauh mengenai motif-motif yang mendasari partisipasi politik masyarakat pedesaan berdasarkan stratifikasi sosial.

2. Bagi pembuat kebijakan atau pihak pemerintahan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu rujukan mengenai motif-motif partisipasi politik pada masyarakat pedesaan, yang selanjutnya dapat menjelaskan mengenai alasan tinggi atau rendahnya partisipasi politik masyarakat pedesaan pada Pilkada. Melalui hasil penelitian ini, pemerintah diharapkan dapat membuat kebijakan atau memberikan solusi untuk lebih meningkatkan partisipasi politik masyarakat pedesaan pada Pilkada.

3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai motif-motif yang mendasari partisipasi politik masyarakat pedesaan pada Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah berdasarkan stratifikasi pada masyarakat.

(15)

Tinjauan Pustaka Partisipasi Politik

Partisipasi politik diartikan dengan berbagai bentuk oleh para ahli. Dengan mengacu pendapat beberapa ahli, Soebagio (2008) menyatakan bahwa partisipasi politik memiliki substansi core political activity yang bersifat personal dari setiap warga negara secara sukarela untuk berperan serta dalam proses pemilihan umum untuk memilih para pejabat publik, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penetapan kebijakan publik. Tidak terlalu berbeda dengan pendapat Soebagio, dengan mengacu pada pendapat para ahli, Tarigan (2009) dalam tesisnya menyatakan bahwa partisipasi politik adalah suatu rangkaian kegiatan yang melibatkan peran serta masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung, yang bertujuan untuk memengaruhi kebijakan pemerintah yang menyangkut kepentingan masyarakat. Berdasarkan kedua pendapat tersebut, maka partisipasi politik dapat dinyatakan sebagai keterlibatan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam mempengaruhi keberlangsungan sistem pemerintahan.

Berdasarkan berbagai konsep partisipasi politik yang dikemukakan oleh para ahli, tidak dibedakan secara tegas apakah partisipasi politik tersebut bersifat otonom atau dimobilisasi. Definisi partisipasi politik yang dinyatakan Huntington dan Nelson (1994) pun tidak membedakan kedua sifat tersebut. Mengutip pendapat Huntington dan Nelson, Kamarudin (dalam Tarigan 2009) menyatakan bahwa sifat otonom dan mobilisasi tersebut tidak dibedakan karena beberapa alasan. Pertama, perbedaan antara keduanya lebih tajam dalam prinsip daripada di alam realitas. Kedua, dapat dikatakan semua sistem politik mencakup suatu campuran keduanya. Ketiga, hubungan keduanya bersifat dinamis, artinya bahwa partisipasi politik yang bersifat dimobilisasi karena faktor internalisasi pada akhirnya akan menjadi partisipasi yang bersifat otonom. Sebaliknya juga demikian, partisipasi politik yang bersifat otonom akan berubah menjadi dimobilisasi. Keempat, kedua bentuk partisipasi tersebut mempunyai konsekuensi penting bagi sistem politik. Partisipasi politik yang dimobilisasi atau otonom memberikan peluang-peluang kepemimpinan dan menimbulkan kekangan-kekangan terhadap pimpinan-pimpinan politik. Berdasarkan alasan-alasan ini, maka dapat dikatakan bahwa memang tidak perlu membedakan apakah partisipasi politik tersebut dimobilisasi atau otonom.

Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik

Partisipasi politik dapat diwujudkan dalam berbagai aktivitas. Perwujudan aktivitas yang terkait dengan partisipasi politik ini dapat dikatakan sebagai bentuk-bentuk partisipasi politik. Secara umum, bentuk-bentuk partisipasi politik di masyarakat pedesaan sama dengan bentuk partisipasi politik pada masyarakat perkotaan. Hanya saja partisipasi politik di perkotaan dapat dikatakan lebih kompleks daripada partisipasi masyarakat pedesaan. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil penelitian Wahyudi (2007) di Kota Semarang yang mengelaborasikan pendapat Rush dan Althof (1995) dan Roth dan Wilson (1981) tentang

(16)

bentuk-bentuk partisipasi politik. Penelitiannya menghasilkan suatu hierarkhi partisipasi politik yang khusus pada elit perempuan. Pada puncak hierarkhi, terdapat kategori aktivis, yaitu orang-orang yang memegang jabatan politik atau administrasi, dalam hal ini adalah KPU dan pengurus partai. Jenjang kedua dari hierarkhi partisipasi politik disebut dengan partisipan. Kategori ini diuraikan dalam bentuk pencalonan diri sebagai anggota legislatif, mengikuti kampanye, dan aktif dalam diskusi informal tentang pemilu. Kategori ketiga adalah pengamat. Bentuk partisipasi yang tergolong kategori pengamat ini adalah pemberian suara.

Berbeda dengan konteks perkotaan, bentuk-bentuk partisipasi politik pada masyarakat pedesaan cenderung lebih sederhana. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari (2007). Berdasarkan penelitian Sari di Desa Gadingsari-Yogyakarta, didapatkan bentuk-bentuk partisipasi politik aktif yang mencakup beberapa kegiatan, yaitu kegiatan masyarakat dalam mengajukan usul mengenai suatu kebijakan kepada pemerintah, mengajukan kritik dan saran untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut serta dalam kegiatan pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala desa.

Uraian tersebut di atas menunjukkan seluruh bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi dalam konteks perkotaan dan pedesaan. Uraian tersebut menunjukkan bahwa partisipasi politik dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah adalah bentuk yang paling umum terjadi. Partisipasi politik dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah adalah aktivitas partisipasi politik yang paling dapat “dijangkau” oleh masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Keikutsertaan atau partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah masih dapat dibagi lagi ke dalam beberapa bentuk partisipasi politik.

Bawono (2008) menyatakan bahwa bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu terlibat dalam kampanye, mengikuti penghitungan suara, dan menggunakan hak pilihnya. Selain Bawono, Sari (2007) juga menyatakan bentuk-bentuk partisipasi politik dalam kegiatan pemilihan. Bentuk-bentuk partisipasi politik dalam kegiatan pemilihan yang dinyatakan oleh Sari terdiri dari beberapa aktivitas, yaitu aktivitas pemberian suara, pemberian sumbangan pada kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, dan setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. Bentuk-bentuk partisipasi politik ini yang dijabarkan oleh Sari ini sesuai dengan bentuk-bentuk partisipasi politik aktif yang terjadi pada masyarakat Desa Gadingsari, Yogyakarta.

Hasil penelitian Tarigan (2009) menyatakan bentuk partisipasi politik lainnya dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Hasil penelitiannya di Kabupaten Temanggung menunjukkan bahwa bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat pada pemilihan kepala daerah adalah peran masyarakat dalam kampanye, keterlibatan dalam rapat dusun/desa/musrenbang, dan tingkat kehadiran dalam rapat-rapat tersebut. Tidak jauh berbeda dengan penelitian-penelitian yang dijabarkan sebelumnya, penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Zainuri (2007) juga menunjukkan beberapa bentuk partisipasi politik dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Hasil penelitiannya di Kudus menunjukkan bahwa bentuk partisipasi politik perempuan dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah terdiri dari berbagai bentuk, mulai dari penyaluran suara (hak pilih) saja sampai ikut serta mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

(17)

Beberapa kasus dan hasil penelitian yang telah dijabarkan di atas, maka bentuk partisipasi politik dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah pada masyarakat pedesaan yang paling jelas dan nyata adalah pemberian suara (penggunaan hak pilih). Selain penggunaan hak pilih, bentuk partisipasi politik lainnya yang dapat dikategorikan sebagai bentuk partisipasi politik masyarakat pedesaan dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah adalah keterlibatan masyarakat dalam kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada, dan mengikuti proses penghitungan suara.

Motif-Motif Tindakan Sosial

Perbedaan kecenderungan tinggi dan rendahnya partisipasi politik menunjukkan bahwa ada dorongan atau motivasi yang mempengaruhi partisipasi politik masyarakat. Dorongan-dorongan yang mempengaruhi partisipasi politik masyarakat ini dapat dikatakan sebagai motif-motif tindakan sosial. Weber mengemukakan bahwa terdapat 4 motif yang dapat mempengaruhi tindakan sosial individu, yaitu rasional instrumental, rasional berorientasi nilai, afektif, dan tradisional. Pada penelitian ini diasumsikan bahwa satu individu dapat memiliki beberapa motif dalam melakukan partisipasi politik.

a. Rasional Instrumental

Rasional instrumental adalah salah satu motif tindakan sosial menurut Max Weber yang menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh individu didasari oleh kerasionalan dan mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi dalam mencapai tujuan tertentu. Motif ini lebih mengarah pada motif yang didasari oleh hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi. Motif ini dapat dikaitkan dengan motif-motif yang mendasari partisipasi politik masyarakat pedesaan dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah.

Hasil penelitian Soebagio (2007) menunjukkan bahwa salah satu alasan menurunnya partisipasi politik dalam pemilihan umum adalah kenyataan Pemilu dan Pilkada langsung belum mampu menghasilkan perubahan berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini merupakan salah satu motif rasional instrumental yang mempengaruhi partisipasi politik. Tidak adanya perubahan kesejahteraan yang dirasakan oleh masyarakat menyebabkan partisipasi politik masyarakat menurun.

Hasil penelitian Bawono (2008) menunjukkan motif rasional instrumental yang berbeda. Penelitiannya tentang partisipasi politik di Kabupaten Nganjuk menunjukkan bahwa salah satu alasan masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum adalah karena masyarakat lebih mengutamakan kepentingan mencari nafkah daripada ikut berpartisipasi dalam Pemilu. Hal ini biasanya tejadi pada masyarakat yang tidak memiliki jam kerja yang pasti. Untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah, masyarakat harus meluangkan waktunya untuk mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS). Waktu yang digunakan masyarakat untuk datang ke TPS dan menggunakan hak pilihnya pasti mengorbankan waktunya untuk melakukan hal lain, misalnya bekerja. Walaupun pada umumnya pemilihan umum dilakukan pada hari libur atau hari yang diliburkan, namun hal tidak berpengaruh untuk masyarakat yang bekerja di sektor informal. Dengan mempertimbangkan aspek

(18)

ekonomi, masyarakat pasti cenderung memilih bekerja daripada mengikuti kegiatan pemilihan umum. Keuntungan atau pendapatan yang akan didapatkannya dari bekerja pasti lebih menggiurkan daripada harus pergi ke TPS dan menggunakan hak pilihnya.

Orientasi masyarakat yang lebih mengutamakan kepentingan mencari nafkah ini juga menyebabkan masyarakat tidak atau kurang terlibat dalam kampanye, menjadi panitia dalam suatu pemilihan, dan mengikuti proses penghitungan suara. Hal ini juga terkait dengan waktu dan tenaga yang lebih baik disalurkan masyarakat untuk bekerja. Fenomena ini menunjukkan bahwa aspek ekonomi akan mempengaruhi masyarakat dalam berpartisipasi politik di Pemilu atau Pilkada.

Bentuk lain yang dapat digolongkan sebagai contoh motif rasional instrumental adalah politik uang. Politik uang ini sudah merupakan hal umum dan tidak sedikit di Indonesia. Para calon-calon pemimpin yang akan dipilih masyarakat dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah memberikan “serangan fajar” kepada masyarakat. Calon-calon pemimpin akan memberikan uang kepada setiap rumah di suatu wilayah atau bantuan-bantuan fisik kepada suatu daerah. Bantuan fisik dan uang ini diharapkan dapat dibalas oleh masyarakat melalui suara yang ditujukan untuk si pemberi bantuan. Hal ini dapat menjadi salah satu alasan masyarakat untuk berpartisipasi di Pemillu atau Pilkada dalam bentuk penggunaan hak pilih.

Hasil-hasil penelitian dan penjelasan di atas menunjukkan bahwa partisipasi politik dipengaruhi oleh hal-hal yang berkaitan dengan aspek ekonomi. Motif yang berkaitan dengan aspek ekonomi ini disebut sebagai motif rasional instrumental. Dapat dikatakan bahwa motif rasional instrumental yang mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah terdiri dari tiga hal, yaitu sejauh mana hasil Pemilu atau Pilkada mampu menghasilkan perubahan pada pendapatan masyarakat, perubahan sumber penghasilan masyarakat, dan politik uang.

b. Rasional Berorientasi Nilai

Motif rasional berorientasi nilai masih terkait dengan kerasionalan individu dalam melakukan tindakan sosial. Motif rasional berorientasi nilai menyatakan bahwa individu melakukan tindakan sosial dengan motif yang rasional dan terkait dengan pengejaran nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai tersebut dapat berupa nilai-nilai dalam keluarga, kelompok, atau masyarakat. Motif ini dapat dikaitkan dengan partisipasi politik masyarakat pedesaan dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah.

Beberapa alasan yang dikemukakan oleh Soebagio (2007) terkait dengan mengapa partisipasi politik pada pemilihan umum menurun dapat digolongkan sebagai motif rasional berorientasi nilai. Alasan-alasan tersebut antara lain adalah: (1) menurunnya kinerja partai politik yang tidak memiliki platform politik yang realistis dan kader politik yang berkualitas serta komitmen politik yang berpihak kepada kepentingan publik, melainkan lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau golongannya; (2) merosotnya integritas moral aktor-aktor politik (elit politik) yang berperilaku koruptif dan lebih mengejar kekuasaan atau kedudukan daripada memperjuangkan aspirasi publik; (3) tidak terealisasikannya janji-janji yang dikampanyekan oleh elit politik kepada publik yang

(19)

mendukungnnya; (4) kurang netralnya penyelenggara Pemilu/Pilkada yang masih berpotensi melakukan keberpihakan kepada kontestan tertentu, di samping juga kurangnya intensitas sosialisasi Pemilu secara terprogram dan meluas. Tiga alasan tersebut menunjukkan bahwa ada nilai-nilai kejujuran yang dituntut oleh masyarakat. Ketika nilai kejujuran ini tidak dipenuhi oleh para calon pemimpin, maka masyarakat tidak lagi ingin berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada.

Penelitian lain dilakukan oleh Bawono (2008) di Kabupaten Nganjuk. Hasil penelitian Bawono tersebut menghasilkan beberapa alasan yang mempengaruhi tingkat partisipasi politik masyarakat. Di antara beberapa alasan yang dikemukakan, terdapat beberapa alasan yang dapat dihubungkan dengan motif rasional berorientasi nilai. Alasan-alasan tersebut antara lain adalah faktor kerumitan tentang sistem Pemilu, adanya sikap apatis masyarakat terhadap Pemilu, dan ketidakpahaman masyarakat terhadap Pemilu. Adanya sikap apatis masyarakat jelas menunjukkan bahwa ada nilai yang dianut oleh masyarakat. Dapat dikatakan bahwa sikap apatis ini timbul karena nilai-nilai yang terdapat pada masing-masing individu dalam masyarakat. Alasan yang terkait dengan kerumitan sistem Pemilu dan ketidakpahaman masyarakat terhadap Pemilu juga menunjukkan ada nilai yang dianut oleh masyarakat. Ketika ada hambatan bagi masyarakat untuk melakukan sesuatu, seperti kerumitan dan ketidakpahaman, maka masyarakat lebih memilih untuk tidak bertindak terkait dengan sesuatu tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2007) di Kota Semarang secara jelas menyatakan bahwa salah satu motif berpartisipasi elit politik perempuan di Kota Semarang dalam Pemilu legislatif tahun 2004 adalah rasional bernilai. Motif rasional bernilai yang dinyatakan oleh Wahyudi dengan mengacu pada Weber adalah motif partisipasi yang didasarkan pada pertimbangan rasional. Dalam kasus ini, bentuk motif rasional bernilai tersebut terwujud dalam partisipasi politik perempuan yang telah menilai secara objektif pilihannya. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa masyarakat berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada karena nilai yang dianut oleh masyarakat bahwa partisipasi tersebut adalah kewajiban sekaligus haknya sebagai warga negara. Masyarakat menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu atau Pilkada karena masyarakat ingin ikut melibatkan diri dalam menentukan siapa orang atau pihak yang tepat untuk berada dalam sistem pemerintahan.

Alasan partisipasi politik masyarakat yang dinyatakan oleh Wahyudi tersebut di atas dapat dikaitkan dengan beberapa hasil penelitian lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh Fenyapwain (2013) menunjukkan bahwa iklan politik Pemilukada di Minahasa mempunyai tingkat hubungan yang cukup kuat dan memberi sumbangan (kontribusi) yang kecil terhadap partisipasi pemilih pemula. Penelitian yang dilakukan oleh Gama dan Widarwati (2008) menunjukkan isu dan kebijakan politik kandidat kepala daerah dapat berpengaruh cukup tinggi terhadap perilaku pemilih ibu-ibu rumah tangga. Penelitian yang dilakukan Tarigan (2009) menunjukkan bahwa popularitas calon kepala daerah adalah salah satu aspek yang mampu mempengaruhi partisipasi politik masyarakat. Ketiga penelitian tersebut menunjukkan bahwa iklan politik, isu dan kebijakan politik kandidat kepala daerah, dan popularitas calon kepala daerah ikut menentukan partisipasi politik masyarakat. Penulis melihat tiga hal ini sebagai alasan yang berkaitan dengan motif rasional berorientasi nilai partisipasi politik

(20)

masyarakat. Ketika iklan politik, isu dan kebijakan kandidat, serta popularitas kandidat diketahui oleh masyarakat, maka masyarakat menjadikan tiga hal ini untuk menentukan siapa pihak yang berhak untuk dipilih. Ketiga hal tersebut dapat menjadikan masyarakat lebih mudah memilih kandidat secara objektif. Ketiga hal tersebut juga dapat menjadi bantuan bagi masyarakat agar meyakinkan pilihannya. Ketika masyarakat sudah yakin akan memilih siapa dan sudah merasakan keobjektifan pilihannya, maka masyarakat akan berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada untuk menggunakan hak suaranya.

Hasil penelitian lain yang terkait dengan motif rasional berorientasi nilai adalah penelitian yang dilakukan oleh Bawono (2008). Hasil penelitiannya di Jawa Timur menunjukkan bahwa masyarakat tidak berpartisipasi dalam pemilihan umum karena tidak ingin terlibat dalam politik. Ketidakinginan masyarakat untuk terlibat dalam hal-hal yang berkaitan dengan politik menunjukkan bahwa masyarakat memiliki nilai tersendiri dalam hal-hal yang berkaitan dengan politik. Hal ini dapat terjadi karena pengalaman dan pengetahuan yang kurang baik tentang hal-hal yang berkaitan dengan bidang politik.

Hasil-hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan beberapa motif rasional berorientasi nilai dalam partisipasi politik masyarakat pada Pemilu atau Pilkada. Berdasarkan motif ini, partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat didasari oleh rasionalitas dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat ini terkait dengan kewajiban dan hak masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya atau terlibat dalam Pemilu atau Pilkada. Nilai-nilai tersebut juga dapat dikaitkan dengan harapan masyarakat untuk mendapatkan pemimpin yang tepat melalui suaranya dalam Pemilu atau Pilkada. Selain itu, nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat yang terkait dengan bidang politik juga dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada.

c. Afektif

Motif tindakan sosial afektif adalah motif yang berkaitan dengan aspek perasaan atau emosi. Tindakan sosial yang dikaitkan dengan motif afektif adalah tindakan sosial yang dilakukan oleh individu atau masyarakat karena pelampiasan emosi atau perasaan. Emosi atau perasaan ini juga dapat menjadi motif bagi masyarakat pedesaan untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah.

Salah satu bentuk nyata bagaimana emosi atau perasaan mempengaruhi partisipasi politik adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Soebagio (2007). Hasil penelitian Soebagio menunjukkan bahwa salah satu alasan menurunnya partisipasi politik masyarakat pada pemilihan umum adalah kejenuhan pemilih karena sering adanya Pemilu atau Pilkada yang dipandang sebagai kegiatan seremonial berdemokrasi yang lebih menguntungkan bagi para elit politik. Kejenuhan masyarakat pada pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah juga dinyatakan oleh Bawono (2008) sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi politik masyarakat. Kejenuhan di sini menunjukkan bahwa emosi atau perasaan masyarakat dapat mempengaruhi berpartisipasi atau tidaknya masyarakat dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah.

Hasil penelitian Bawono (2008) juga menunjukkan bahwa alasan masyarakat untuk berpartisipasi dalam Pemilu adalah ikatan emosional antara masyarakat dengan partai dan calon yang bersangkutan dan kepercayaan pemilih

(21)

terhadap partai dan calon. Masyarakat yang sudah memiliki ikatan emosional dan kepercayaan terhadap suatu partai atau calon pemimpin tertentu cenderung akan berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada. Hal ini menunjukkan bahwa emosi atau perasaan masyarakat akan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada.

Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2007) tentang partisipasi elit politik perempuan di Kota Semarang dalam Pemilu Legislatif tahun 2004 secara jelas menyatakan bahwa salah satu motif partisipasi politik tersebut adalah motif yang afektual emosional. Motif ini didasari oleh bentuk kristalisasi nilai yang didapatkan dalam lingkungan politiknya. Berdasarkan motif ini, motif timbul sebagai akibat penilaian terhadap agama serta partai politik yang dipilih.

Penelitian lain yang terkait dengan motif afektif partisipasi politik adalah hasil penelitian Gama dan Widarwati (2008). Penelitiannya tentang perilaku pemilih partisipasi politik wanita menunjukkan bahwa hubungan antara perasaan emosional kandidat dan perilaku pemilih ibu-ibu rumah tangga cenderung tinggi. Citra kandidat kepala daerah cenderung mempengaruhi perilaku pemilih. Hal ini disebabkan oleh pemilih lebih tertarik pada figur yang memiliki kecerdasan, berwibawa, kharismatik, mempunyai daya tarik fisik dan psikologis, dan sebagainya. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa aspek emosi atau perasaan yang dimiliki oleh masyarakat terhadap kandidat akan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat.

Bentuk motif afektif lainnya ditunjukkan oleh hasil penelitian Tarigan (2009). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kondisi sosial politik dapat mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada. Kondisi sosial politik ini dikaitkan dengan perasaan atau emosi masyarakat. Tarigan menyatakan bahwa lingkungan sosial yang kondusif akan membuat orang dengan senang hati berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam beraktivitas politik. Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin baik kondisi sosial politik di masyarakat, maka partisipasi politik masyarakat pada pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah akan semakin tinggi.

Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bentuk-bentuk motif afektif yang mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dapat berupa ketertarikan masyarakat untuk berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada, ikatan atau hubungan emosional antara masyarakat dengan kandidat, dan kondisi sosial politik masyarakat yang kondusif. Bentuk-bentuk motif ini terkait dengan aspek emosi atau perasaan masyarakat. Motif-motif afektif ini dapat mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah.

d. Tradisional

Motif tradisional adalah motif yang terkait dengan tradisi dan adat istiadat. Tindakan sosial yang didasari oleh motif tradisional adalah tindakan sosial yang didasari oleh kepatuhan pada tradisi dan adat-istiadat. Tradisi dan adat-istiadat ini dapat juga dikaitkan dengan agama yang dianut oleh masyarakat. Jika dikaitkan dengan partisipasi politik masyarakat pedesaan pada pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah, maka partisipasi tersebut dilandasi oleh kepatuhan terhadap adat-istiadat atau tradisi masyarakat setempat.

(22)

Partisipasi politik yang didasari oleh motif tradisional dapat jelas terlihat pada kasus penelitian yang dilakukan oleh Zainuri (2007). Zainuri meneliti partisipasi politik perempuan di Kudus. Penelitian ini dikaitkan dengan perpsektif tradisi Islam lokal di Kudus. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa konstruksi tradisi Islam lokal Kudus menyebabkan perempuan Kudus merasa terhambat baik secara politis, sosial budaya, psikologis dan agama. Konstruksi sosial ini menyebabkan perempuan Kudus hanya berpartisipasi dalam menyalurkan suara saja selama pemilihan umum yang diselenggarakan sebelum masa reformasi. Kasus ini menunjukkan bahwa kepatuhan masyarakat terhadap agama (tradisi atau adat istiadat) yang dianut akan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada.

Beberapa penelitian lain juga mengaitkan antara partisipasi politik masyarakat terhadap tradisi atau adat-istiadat yang dianut oleh masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Bawono (2008) menyatakan bahwa salah satu aspek yang mempengaruhi persepsi, perilaku, dan partisipasi politik masyarakat pemilih adalah agama. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2007) menyatakan bahwa keyakinan, kultur, dan lingkungan politik memiliki ketertarikan satu sama lain dalam menentukan bentuk partisipasi politik elit politik perempuan. Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa agama, keyakinan, dan kultur akan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Sayangnya, para peneliti tersebut tidak menunjukkan secara gamblang tentang bagaimana agama, keyakinan, dan kultur mampu mempengaruhi partisipasi politik.

Penulis beranggapan bahwa agama, keyakinan, dan kultur yang dianut oleh masyarakat dapat mempengaruhi partisipasi politik masyarakat melalui berbagai cara. Salah satu cara adalah melalui partai dan kandidat yang akan dipilih oleh masyarakat. Pada umumnya, latar belakang agama yang dimiliki oleh kandidat akan menentukan partisipasi politik masyarakat pada Pemilu atau Pilkada. Jika kandidat memiliki agama yang sama dengan masyarakat, maka masyarakat akan cenderung untuk ikut berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada untuk mendukung kandidat tersebut. Bentuk partisipasi politik yang dilakukan dapat hanya berupa pemberian suara untuk kandidat, sampai mengikuti kampanye, bahkan membantu, kampanye yang dilakukan oleh kandidat.

Agama, keyakinan, dan kultur juga dapat mempengaruhi partisipasi politik masyarakat melalui orang yang berpengaruh dalam suatu budaya. Beberapa kasus menyatakan bahwa ikut serta atau tidaknya masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada dipengaruhi oleh orang yang dituakan oleh masyarakat. Hal ini biasanya terjadi pada masyarakat yang memiliki adat yang masih kental. Masyarakat adat akan berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada jika ketua adatnya mengatakan demikian. Dapat juga dikatakan bahwa masyarakat adat akan berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada jika ketua adatnya juga berpartisipasi.

Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa kepatuhan masyarakat terhadap tradisi, adat-isitiadat, dan agama akan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada. Tradisi, adat-isitiadat, dan agama tersebut dapat mempengaruhi masyarakat melalui berbagai cara. Ajaran yang dianut dalam suatu agama atau adat, latar belakang agama atau suku kandidat, dan orang yang berpengaruh dalam suatu budaya adalah jalan-jalan yang dapat menentukan bagaimana tradisi, adat-isitiadat, dan agama yang dianut oleh masyarakat dapat

(23)

mempengaruhi partisipasi politik masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa motif tradisional ikut mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah.

Stratifikasi Sosial

Stratifikasi sosial adalah konsep yang sudah sangat umum dalam ilmu sosiologi. Parsons (1940) mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai kedudukan yang berbeda dari individu-individu manusia yang menyusun sistem sosial tertentu dan perlakuan mereka sebagai hubungan yang superior dan inferior antara individu yang satu dengan individu lainnya dalam hal-hal yang terkait dengan bidang sosial tertentu. Bungin (2006) mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai struktur sosial yang berlapis-lapis di dalam masyarakat. Pengertian kedua ahli tersebut mengindikasikan bahwa stratifikasi sosial dapat diartikan sebagai pelapisan sosial yang terjadi pada masyarakat.

Berdasarkan konsep stratifikasi sosial yang digunakan oleh Parsons (1940), maka salah satu dasar pelapisan yang terdapat pada masyarakat adalah harta. Harta yang dimaksud oleh Parsons adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu dan dapat dipindahtangankan. Harta di sini tidak hanya terkait dengan obyek yang bersifat materi.Harta juga dapat dikatakan sebagai prestasi dan kekuasaan yang dimiliki oleh individu.

Dasar pelapisan harta ini dapat dikaitkan dengan pendapatan yang diterima oleh individu. Jika dilihat dari klasifikasi pendapatannnya, maka masyarakat dapat dibagi menjadi kelompok-kelompok berdasarkan mata pencaharian atau strategi nafkah. Hal ini sesuai dengan pengklasifikasi strata oleh Bungin (2006). Mengutip pendapat Bungin, maka stratifikasi sosial dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu atas (Upper Class), menengah (Middle Class), dan bawah (Lower Class). Kelas atas mewakili kelompok elit di masyarakat yang jumlahnya sangat terbatas. Kelas menengah mewakili kelompok profesional, kelompok pekerja, wiraswastawan, pedagang, dan kelompok fungsional lainnya. Kelas bawah mewakili kelompok pekerja kasar, buruh harian, buruh lepas, dan semacamnya.

Stratifikasi sosial juga dapat dikategorikan berdasarkan luasan tanah yang dimiliki oleh petani jika dikaitkan dengan kondisi pedesaan yang didominasi oleh pertanian. Penggolongan strata masyarakat berdasarkan kepemilikan lahan pertanian di pedesaan dicetuskan oleh Sajogyo (1978). Bayu (2000) menyatakan bahwa Sajogyo membagi penggolongan tersebut menjadi 3, yaitu petani gurem dengan pemilikan lahan kurang dari 0.5 hektar, petani kecil dengan pemilikan lahan dari 0.5 sampai 1 hektar, dan petani luas dengan pemilikan lahan lebih dari 1 hektar.

Ukuran lainnya yang dapat digunakan untuk melihat strata pada masyarakat pedesaan adalah ukuran dari Badan Pusat Statistika (BPS). Berdasarkan BPS, ada 14 kriteria atau ciri rumah tangga miskin. Indikator kemiskinan tersebut adalah luas lantai bangunan tempat tinggal, jenis lantai bangunan tempat tinggal, jenis dinding bangunan tempat tinggal, sumber air minum, penggunaan fasilitas buang air besar, jenis bahan bakar untuk masak sehari-hari, sumber penerangan rumah tangga, kepemilikan aset minimal senilai Rp500 000, frekuensi makan dalam sehari, pembelian pakaian baru dalam setahun, pembelian daging/ayam/susu dalam seminggu, kemampuan berobat ke puskesmas atau poliklinik, pendidikan

(24)

tertinggi kepala rumah tangga, dan bidang pekerjaan utama kepala rumah tangga (Lindiasari 2008).

Salah satu alat ukur strata yang juga dapat dijadikan acuan untuk mengklasifikasikan masyarakat berdasarkan strata adalah berdasarkan kepemilikan aset atau barang berharga yang dimiliki oleh masyarakat. Kepemilikan barang berharga atau aset inilah yang menjadi acuan bagi peneliti dalam menggolongkan masyarakat berdasarkan strata. Hal ini sesuai dengan pembagian strata menurut ahli-ahli yang sudah disebutkan sebelumnya dimana stratifikasi sosial pada masyarakat dilihat berdasarkan aspek ekonomi. Masyarakat yang tergolong strata bawah adalah masyarakat yang tidak memiliki barang berharga sampai memiliki maksimal 2 jenis barang berharga. Masyarakat yang tergolong strata atas adalah masyarakat yang minimal memiliki 3 jenis barang berharga. Barang berharga yang digunakan pada penelitian ini adalah televisi, VCD-DVD room, lemari es, mesin cuci, dan sepeda motor.

Masyarakat Pedesaan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sari (2007), Hayami dan Kikuchi mendefinisikan desa sebagai unit dasar dari kehidupan pedesaan di Asia, dimana desa mengandung arti sebagai desa alamiah atau dukuh tempat orang hidup dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi dan tidak memiliki keharusan untuk sama dengan unit administratif setempat dalam negara modern, walaupun pada kenyataanya hal tersebut sering kali terjadi. Desa yang didefinisikan oleh peneliti tersebut di atas lebih ditekankan pada adanya ikatan keluarga dan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi.

Definisi desa secara hukum dapat dilihat dari pengertian desa berdasarkan kebijakan pemerintah. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mendefinisikan desa sebagai kesamaan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Definisi desa ini menunjukkan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat yang memiliki pemerintahan sendiri.

Masyarakat desa atau masyarakat pedesaan dapat didefinisikasi sebagai masyarakat yang hidup di desa. Utomo dalam Sari (2007) menyatakan bahwa karakteristik yang dimiliki oleh masyarakat desa adalah masyarakat yang mengutamakan hubungan dan ikatan kekerabatan yang berasal dari suatu keluarga “pembuka desa” tertentu yang merintis terbentuknya suatu masyarakat gemeinschaft. Masyarakat desa dilingkupi oleh suasana kekeluargaan dan tolong-menolong.Masyarakat desa juga masih sangat tergantung pada tokoh-tokoh pemimpin yang ada, baik pemimpin formal maupun informal.

Kerangka Pemikiran

Pemilu dan Pilkada adalah wadah bagi masyarakat untuk terlibat dalam sistem politik di Indonesia. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam berbagai bentuk partisipasi politik pada pemilihan. Bentuk-bentuk partisipasi politik

(25)

masyarakat pada pemilihan dipengaruhi oleh motif-motif tindakan sosial yang berbeda. Analisis motif-motif yang mendasari berbagai bentuk partisipasi politik dapat dilakukan berdasarkan stratifikasi sosial (Gambar 1). Kerangka pemikiran pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Keterangan: = Berpengaruh = Konteks Penelitian

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Stratifikasi Sosial

 Strata atas  Strata bawah

Motif-Motif Tindakan Sosial

1. Rasional Instrumental

 Tingkat pengaruh pemilihan terhadap pendapatan masyarakat

 Tingkat pengaruh pemilihan terhadap sumber penghasilan masyarakat  Tingkat penerimaan politik uang 2. Rasional Berorientasi Nilai

 Tingkat kesadaran masyarakat akan kewajibannya mengikuti pemilihan  Tingkat pentingnya mendapatkan

pemimpin yang tepat bagi masyarakat  Tingkat internalisasi nilai demokrasi yang ada di dalam masyarakat terkait dengan hal-hal di bidang politik 3. Afektif

 Tingkat ketertarikan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan  Tingkat kedekatan emosional antara

masyarakat dengan kandidat

 Tingkat kekondusifan kondisi sosial politik masyarakat

4. Tradisional

 Tingkat internalisasi ajaran yang dianut dalam suatu agama atau adat  Tingkat kesesuaian antara latar

belakang agama atau suku kandidat dengan masyarakat

 Tingkat kepatuhan masyarakat kepada tokoh atau kelembagaan yang berpengaruh dalam suatu budaya

Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik dalam Pemilihan

1. Tingkat partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya 2. Tingkat keterlibatan masyarakat dalam kampanye 3. Tingkat keterlibatan masyarakat sebagai panitia pemilihan 4. Tingkat partisipasi masyarakat dalam mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi dalam Pilkada

5. Tingkat keterlibatan masyarakat pada proses penghitungan suara

(26)

Bentuk-bentuk partisipasi politik yang dapat dilakukan oleh masyarakat pada pemilihan adalah menggunakan hak pilihnya, terlibat dalam kampanye, terlibat dalam proses pelaksanaan pemilihan, mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi dalam Pilkada, dan terlibat pada proses penghitungan suara. Demi kebutuhan penelitian, peneliti menurunkan konsep bentuk-bentuk partisipasi politik ini ke dalam variabel-variabel yang dapat diukur. Variabel-variabel dalam konsep bentuk partisipasi politik ini adalah variabel dependen atau variabel yang dipengaruhi.

Bentuk-bentuk partisipasi politik pada pemilihan dipengaruhi oleh motif-motif tindakan sosial, yaitu rasional instrumental, rasional berorientasi nilai, afektif, dan tradisional. Motif-motif tindakan sosial ini diturunkan oleh peneliti menjadi variabel-variabel yang dapat diukur. Variabel yang diturunkan ini dijadikan variabel independen atau variabel yang mempengaruhi bentuk-bentuk partisipasi politik.

Motif-motif yang mendasari partisipasi politik pada masyarakat berbeda-beda antara individu yang satu dengan yang lain. Salah satu aspek yang membedakan motif-motif partisipasi politik ini adalah status sosial ekonomi atau stratifikasi sosial. Masyarakat dengan strata yang berbeda cenderung akan memiliki motif yang berbeda dalam berbagai bentuk partisipasi politik pada pemilihan. Oleh karena itu, peneliti menganalisis pengaruh variabel independen motif tindakan sosial terhadap variabel dependen bentuk-bentuk partisipasi politik dalam konteks masyarakat pedesaan berdasarkan stratifikasi sosial.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini dapat disajikan sebagai berikut:

1. Partisipasi politik masyarakat pedesaan pada setiap strata berbeda bentuk. 2. Bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat pada pemilihan berdasarkan

stratifikasi sosial dipengaruhi oleh motif-motif tindakan sosial yang berbeda.

3. Masyarakat yang berasal dari strata yang berbeda memiliki motif -motif tindakan sosial yang berbeda dalam mempengaruhi bentuk-bentuk partisipasi politik dalam pemilihan.

Definisi Operasional Bentuk Partisipasi Politik

Konsep bentuk partisipasi politik masyarakat pada Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah dapat diturunkan menjadi 5 variabel, yaitu:

1. Tingkat partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu partisipasi sangat tinggi (skor 4), partisipasi tinggi (skor 3), partisipasi rendah (skor 2), dan partisipasi sangat rendah (skor 1). Indikator untuk mengukur partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya adalah:

 Partisipasi masyarakat dalam mengikuti prosedur untuk menjadi pemilih pada pemilihan

(27)

 Partisipasi masyarakat dalam memberikan suara pada pemilihan Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang digunakan, maka tingkat partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:

Tinggi : skor 7 < x ≤ 8 Sedang : skor 6 ≤ x ≤ 7 Rendah : skor 4 ≤ x < 6

2. Tingkat keterlibatan masyarakat dalam kampanye. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu partisipasi sangat tinggi (skor 4), partisipasi tinggi (skor 3), partisipasi rendah (skor 2), dan partisipasi sangat rendah (skor 1). Indikator untuk mengukur keterlibatan masyarakat dalam kampanye adalah:

 Sumbangan tenaga masyarakat untuk pelaksanaan kampanye  Sumbangan waktu masyarakat untuk pelaksanaan kampanye  Sumbangan gagasan masyarakat untuk pelaksanaan kampanye

Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang digunakan, maka tingkat keterlibatan masyarakat dalam kampanye dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:

Tinggi : skor 9 < x ≤ 12 Sedang : skor 7 ≤ x ≤ 9 Rendah : skor 4 ≤ x < 7

3. Tingkat keterlibatan masyarakat sebagai panitia pemilihan. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu partisipasi sangat tinggi (skor 4), partisipasi tinggi (skor 3), partisipasi rendah (skor 2), dan partisipasi sangat rendah (skor 1). Indikator untuk mengukur keterlibatan masyarakat dalam proses pelaksanaan pemilihan adalah:

 Sumbangan tenaga masyarakat untuk mengadakan pemilihan di wilayahnya

 Sumbangan materi masyarakat untuk mengadakan pemilihan di wilayahnya

 Sumbangan waktu masyarakat untuk mengadakan pemilihan di wilayahnya

 Sumbangan gagasan masyarakat untuk mengadakan pemilihan di wilayahnya

Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang digunakan, maka tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses pelaksanaan pemilihan dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:

Tinggi : skor 12 < x ≤ 16 Sedang : skor 8 ≤ x ≤ 12 Rendah : skor 4 ≤ x < 8

4. Tingkat partisipasi masyarakat dalam mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi dalam Pemilu/Pilkada. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu partisipasi sangat tinggi (skor 4), partisipasi tinggi (skor 3), partisipasi rendah (skor 2), dan partisipasi sangat rendah (skor 1). Indikator

(28)

untuk mengukur partisipasi masyarakat dalam mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi dalam pemilihan adalah:

 Kegiatan masyarakat dalam mengajak orang lain untuk menggunakan hak suaranya dalam pemilihan

 Kegiatan masyarakat dalam mengajak orang lain untuk terlibat dalam kampanye kandidat

 Kegiatan masyarakat dalam mengajak orang lain untuk terlibat dalam dalam proses perencanaan sampai pelaksanaan pemilihan (menjadi panitia)

 Kegiatan masyarakat dalam mengajak orang lain untuk mengikuti proses penghitungan suara

Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang digunakan, maka tingkat partisipasi masyarakat dalam mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi dalam pemilihan dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu: Tinggi : skor 12 < x ≤ 16

Sedang : skor 8 ≤ x ≤ 12 Rendah : skor 4 ≤ x < 8

5. Tingkat keterlibatan masyarakat pada proses penghitungan suara. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu partisipasi sangat tinggi (skor 4), partisipasi tinggi (skor 3), partisipasi rendah (skor 2), dan partisipasi sangat rendah (skor 1). Indikator untuk mengukur keterlibatan masyarakat pada proses penghitungan suara adalah:

 Sumbangan tenaga masyarakat dalam proses penghitungan suara di TPS

 Sumbangan waktu masyarakat dalam melakukan proses penghitungan suara di TPS

 Sumbangan gagasan masyarakat dalam proses penghitungan suara di TPS

Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang digunakan, maka tingkat keterlibatan masyarakat pada proses penghitungan suara dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:

Tinggi : skor 9 < x ≤ 12 Sedang : skor 7 ≤ x ≤ 9 Rendah : skor 4 ≤ x < 7

Motif Tindakan Sosial

Konsep motif tindakan sosial masyarakat pada pemilihan terdiri dari 4 motif, yaitu:

1. Rasional instrumental. Variabel-variabel yang digunakan dalam motif rasional instrumental adalah:

a. Tingkat pengaruh pemilihan terhadap pendapatan masyarakat. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat berpengaruh (skor 4), berpengaruh (skor 3), tidak berpengaruh (skor 2), dan sangat tidak berpengaruh (skor 1). Indikator untuk mengukur pengaruh hasil pemilihan terhadap pendapatan masyarakat adalah:

 Penambahan pendapatan masyarakat karena adanya pelaksanaan pemilihan

(29)

 Penambahan proyek pada pekerjaan masyarakat karena adanya pelaksanaan pemilihan

b. Tingkat pengaruh pemilihan terhadap sumber penghasilan masyarakat. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat berpengaruh (skor 4), berpengaruh (skor 3), tidak berpengaruh (skor 2), dan sangat tidak berpengaruh (skor 1). Indikator untuk mengukur pengaruh pemilihan terhadap sumber penghasilan masyarakat adalah:  Penambahan sumber penghasilan masyarakat karena adanya

pelaksanaan pemilihan

 Penambahan jam kerja masyarakat karena adanya pelaksanaan pemilihan

c. Tingkat penerimaan politik uang. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat penting/mempengaruhi (skor 4), penting/mempengaruhi (skor 3), tidak penting/mempengaruhi (skor 2), dan sangat tidak penting/mempengaruhi (skor 1). Indikator untuk mengukur penerimaan masyarakat terhadap politik uang adalah:

 Sikap masyarakat terhadap bantuan yang diberikan partai atau kandidat kepada masyarakat pada saat-saat menjelang pemilihan

 Pengaruh bantuan yang diberikan kandidat terhadap partisipasi politik masyarakat

Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang digunakan, maka pengaruh motif rasional instrumental terhadap partisipasi masyarakat dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu:

Tinggi : skor 15 ≤ x ≤ 24 Rendah : skor 6 ≤ x < 15

2. Rasional berorientasi nilai. Variabel-variabel yang digunakan dalam motif rasional berorientasi nilai adalah:

a. Tingkat kesadaran masyarakat akan kewajibannya mengikuti pemilihan. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat penting (skor 4), penting (skor 3), tidak penting (skor 2), dan sangat tidak penting (skor 1).Indikator untuk mengukur kesadaran masyarakat akan kewajibannya mengikuti pemilihan adalah:

 Sikap masyarakat tentang pelaksanaan pemilihan

 Sikap masyarakat tentang pentingnya pelaksanaan pemilihan

 Sikap masyarakat tentang pentingnya suara mereka dalam pemilihan b. Tingkat pentingnya mendapatkan pemimpin yang tepat bagi masyarakat.

Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat penting (skor 4), penting (skor 3), tidak penting (skor 2), dan sangat tidak penting (skor 1). Indikator untuk mengukur harapan masyarakat untuk mendapatkan pemimpin yang tepat adalah:

 Waktu masyarakat dalam menentukan kandidat yang akan dipilih  Pencarian informasi oleh masyarakat terkait dengan kandidat-kandidat

dalam Pilkada sebelum menentukan kandidat yang akan dipilih

 Sikap masyarakat tentang pentingnya memilih kandidat yang tepat dalam pemilihan

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian Stratifikasi Sosial
Gambar 2 Metode pengambilan sampel
Tabel  1  Luas  dan  persentase  wilayah  lahan  berdasarkan  berbagai  bentuk  penggunaan lahan di Desa Pancawati tahun 2012
Tabel  2  menunjukkan  jumlah  dan  persentase  angkatan  kerja  di  Desa  Pancawati  berdasarkan  jenis pekerjaan atau  mata  pencaharian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bila kita melihat sebuah film atau program televisi sebenarnya kita melihat suatu kesatuan gambar yang dibangun melalui kumpulan dari shot-shot, scene,

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara frekuensi bermain video game kekerasan dengan perilaku agresif pada remaja.. Subjek penelitian ini adalah

[r]

Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa hama yang menyerang pada 13 galur dan empat varietas gandum di dataran rendah adalah jangkrik (Orthoptera:

[r]

Tampilan Rancang Bangun Dari Sistem Pajak Tol Otomatis Dengan RFID Dan Informasi Berbasis Android. Pengambilan Gambar

1) Performansi atau penampilan membaca berbeda sekali dengan kecakapan berbahasa yang lain. 2) Kalau pada tahun-tahun awal sekolah lanjutan membentuk suatu dasar bagi

ginjal normal dan ginjal sehat, maka pada konsentrasi glukosa darah kapiler lebih dari.. sekitar 10mmol/L, cukup glukosa yang difiltrasi ke tubulus ginjal