Risalah Perlemuan Ilmiah Penelilian dan Pengembangan T eknologi IsOlop dan RadiaSl; 2000
PENGARUH V AKSINASI DENGAN LARVA TIGA HAEMONCHUS
CONTORTUS IRADIASI TERHADAP RESPON
KEKEBALANPADADOMBA
Beriajaya* daD Sukardji P.**.Balai Penelitiwl Veteriner, Bogor
..Puslitbang Teknologi Isotop daD Radiasi, BATAN, Jakarta
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuml untuk mengetahui pengaruh vaksinasi dengan larva tiga cacing Haemonchus contoltusiradiasi terhadap respon kekebalan pacta domba. Sebwlyak 15 ekor domba jantan muda, jenis ekor tipis yang telah heros cacing dibagi menjadi 3 kelompok masing-masing 5 ekor. Kelompok satu divaksin dengan 50.000 larva tiga cacing H. contortus iradiasi sebanyak 3 kali dengan selang waktu 3 minggu dan 3 minggu kemudian ditantang per oral dengan 50.000 larva tiga cacing H. conto11us. Kelompok dua divaksin seperti kelompok satu tetapi tidak mendapat tantangan. Kelompok tiga tidak divaksin tetapi ditantang pacta hari yang sarna seperti kelompok satu. Pengarnatan dilakukan terhadap jumlah telur cacing, jumlah cacing dewasa, nilai total protein serum darah dan titer antibodi terhadap cacing H. conto11us. Hasil penelitian memperlihatkan adanya pengaruh Yallg tidak nyata (P>0,05) terhadap jumlah telur cacing, jumlah cacing dewasa dan titer antibodi, tetapi pengaruh yang nyata (P<0,05) terlihat pacta nilai total protein serum darah antara kelompok yang divaksin dengan kelompok yang tidak divaksin. Dalam penelitiall ini belum terlihat adanya kekebalan yang protektif dari vaksin larva tiga cacing H. contorlus iradiasi pada domba yang ditunjukkan dati jumlah cacing dewasa antara kelompok yang divaksin dan kelompok yang tidak divaksin.
Kata kunci: Haemonchus contorlus, larva iradiasi, domba, vaksin
ABSTRACT
The objective of this study was to detennine the effect of vaccination with irradiated third stage larvae of Haemonchus contortus on inunwIe responses in sheep. A number of 15 young male thin-tail sheep freed of wonns were divided into 3 groups of 5. The first group was vaccinated with 50.000 irradiated third larvae of H. contortus 3 times with an interval of 3 weeks and 3 weeks later was challenged with 50.000 third larvae of H. contortus. The second group was vaccinated as group I but without challenged. The third group was not vaccinated but challenged as group I. Observations were carried out on egg counts, wonn counts, total serum protein and mItibody titer agaillSt H. contortus. The results showed there was no significant differences (P>0.05) on egg counts, wonn counts and antibody titer, but a significant difference was seen on value of serum protein between vaccinated group mId non vaccinated group. The results showed no protective inununity which is showed in wonn counts of vaccinated mId non vaccinated groups.
Key words: Haemonchus contortus, irradiated larvae, sheep, vaccine
PENDAHULUAN
tarat penelitian (9, 10). Protein yang berasal dari ekstrakmembran salman pencemaan dan disebut Hll
kemungkinan dapat digunakan sebagai antigen karena mempunyai daya proteksi yang baik (11, 12, 13). Beberapa peneliti telall memanfaatkan telmik nuklir dengan card meradiasi larva tiga cacing H. contortu5', tetapi pengarull yang ditimbulkcw belum memuaskan (14,
15,16,17),
Tujuan dari penelitian ini adalall untuk mengetahui pengaruh vaksinasi dengan larva cacing H. contortus yang telah diradiasi terhadap respon kekebalan pacta domba yang diukur dari jumlah telur daD cacing dewasa, nilai total protein dalam serum daD titer antibodi. Cacing nematoda S.:11uran pencemaan yang banyak
menyeratlg temak domba dan karnbing adalall
Haemonchus contortus. Cacing ini terdapat di lambUlIg kelenjar datI banyak menghisap darall. Sebagai akibatnya hewan menjadi anaemia dcll1 terlilmt oedema di rallang bagian bawah (bottle jaw) (1). Temak domba dcw kambing Ulnumnya terserang cacing nematoda dari berbagai spesies dan cacing H. contortus merupakan spesies yang dolninan (2). Gejala yang Ulnum terlilmt
hewan menjadi kurus dan sering menimbulkan kematian terutama hewan muda (3, 4).
Kontrol terl1.1dap penyakit cacing yang Ulnumnya dilakukan di Indonesia menggunakan obat cacing (antelmintik) (5) dan perbaikan lnanajemen peternak.lI1 (6). Kelemahan penggunaarl antellnintik hila digunakan secata terns menerus dapat menimbulkan resistensi obat (7, 8) dan residu dalarn jaringan tubulI. Usaha penanggulangan penyakit cacing dengan menggtmakan vaksin merupakan pilihan yang terbaik tetapi sayangnya vaksin tersebut belmn ada dipasaran karena masih dalarn
BAHAN DAN METODA
Dewan percobaan
Lima belas ekor domba jantan yang berumur 4-5
bulan dan telal\ bebas dari infeksi cacing dibagi menjadi
3 kelompok rnasing-rnasing
5 ekor. Kelompok pertama
Risalah Pe,temuan Ilmiah Penelilian dan Pengemfungan leknologi lsalop dan Radlasi 2fXKJ
iradiasi sebanyak 3 kali dengan selang wakhl 3 minggu daD 3 minggu kemudian dilakllkan taI1tangan dengan 50.000 larva infektif. Kelompok kedua dilakukall vaksinasi seperti kelompok pertama tetapi tidak ditantang. Kelompok ketiga tidak divaksinasi tetapi ditangtang seperti kelompok pel1a1na.
ternyata berbeda nyata (P<O,O5). Rata-rata jwnlah telur cacing antara kelompok yang divaksin dan tanpa divaksin tidak berbeda nyata (P>O,O5), tetapi berbeda nyata (P<O,O5) dengan kelompok yang tidak ditantang. Larva cacing yang mendapat iradiasi mengalami peruballan dalam siklus hidupnya, dimana setelah menjadi cacing dewaS<1 mempunyai telur-telur yang steril (23). Telur-telur tersebut tidak mempunyai morula sehingga tidak dapat berkembang menjadi larva atau dengan kala lain telur-telur tersebut mati. Dari data ini belum terlilmt perbedaan jUInlall telur cacing antara kelompok yang divaksin dan tidak divaksin. Vaksinasi dengan larva iradiasi belum dapat merangsang kekebalan sehingga hewan tetap peka terhadap infeksi langtang.
Domba donor
Scbanyak 2 ekor domba jantan yang berumur 4-5 bulan digunakan sebagai donor. Domba tcrsebut diberi antelmintik 3 kali dengan sclang 3 Iwi untuk membebaskan dari ilueksi cacing. Sebanyak 5.000 larva infektif cacing Haemonchus contortus diberikan secara oral kepada domba donor. Setelah tiga minggu. domba tersebut mengllasilkml telur cacing dalam tinjanya. Tinja domba ditampung dengml tempat penmnpungan tinja yang diikat pada dt1erah sekitar anus. Tinja tersebut kemudian dibiakan UIltuk mendapatkan larva cacing. Pekerjaan ini harns diulang beberapa kali untuk
mendapat larva caGing dalmnjumlall banyak.
Tabel2. Rata-rata jumlah cacing dewasa dalam
abomasum domba dari masing-masing kelompok
Kelompok
Vaksin daD ditantang Vaksin tanpa
ditantang-Rata-rata 1515
837
1432
-Tanoa ~sin tetaoi ditan~g
lradiasi larva
Sebanyak saul juta larva cacing H. con/or/us dari pupukan tinja berasal dari domba donor yang ltanya diinfeksi cacing H. con/or/us diradiasi dengan menggunakan gallUna cell 220 dengan dosis 500 GY di Pusat Aplikasi lsotop daD Radiasi, Badan Tenaga Atom Nasional, Pasar Jumat, Jakarta. Larva yang telah diradiasi dalam keadr'lan masih segar digtmak.'1D unulk vaksinasi hewan. Proses ini diulang 3 kali karena vaksinasi dilakukaIl 3 kali.
Rata-rata jumlah cacing dewasa dan cacing muda dalam abomasum domba daTi setiap kelompok dapat dilihat dalam Tabel 2 dan 3. Rata-rata jumlah cacing dewasa antara kelompok yang divaksin dan tidak divaksin tidak berbeda nyata (p>O,O5), tetapi berbeda nyata dengan kelompok yang tidak ditantang. lradiasi larva cacing belum dapat membuat proteksi terltadap infeksi tantang karena tidak merangsang timbulnya kekebalan. Hal ini kemungkinan karena pemberian vaksin dilakukan tiga kali dengan selang waktu 3 minggu. Pemberian vaksin umurnnya dilakukan 2 kali dengan maksud untuk meningkatkan kekebalan dan
selang waktu yang terlalu lama (3 minggu)
memungkinkan kekebalan yang terbentuk akan turun kemmbali (24). Akibat dari iradiasi, sebagian larva tumbuh menjadi dewasa, tetapi tidak menghasilkan telur cacing yang dapat berkembang dan sebagian lagi tetap menjadi cacing muda atau proses perkembangannya lebih lama.
Pengamatan
Pengambilan sronpel berupa tinja 6 minggu
setelah tantangan dan serum daraJl dilakukan setiap
minggu. Tinja diperiksa untuk menentukan jumlah telur
cacing (18). Serum diperiksa untuk menentukan total
serum protein yang dilakukan menurut metoda Lowry et
al (19) daD titer antibodi dengan menggunakan ELISA
(20) dan antigen yang digunakan berasal dari larva
cacing (21). Lilna minggu setelah uji tantang semua
hewan diblmuh dan cacing H. contortus yang terdapat di dalam lambung kelenjar (abomasum) dilritung (22).
Tabel3. Jumlah cacing muda dalam abomasum domba
dari masing-masing kelompok
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelompok
Vaksin daD ditantangVaksin tanp:a
Qi!~~~
Rata-rata
2942 1148 1134 Hasil perllitungan jumlah telur cacing tiap gram
tinja 3 minggu setelall ditantang dapat dililmt dalmu Tabel I.
Tanpa v*~in tetapi ditantan~
Rata-rata jumlah telur cacing tiap gram tinja 5minggu setelah ditantang pad a domba yang
divaksin dengan larva iradiasi
Tabcl
Rata-rata jumlah cacing muda kelompok vaksin
tanpa ditantang dan kelompok tanpa vaksin tetapi
ditantang tidak berbeda nyata (P>O,O5),
tetapi berbeda
nyata (P<O,O5)
dengan kelompok vaksin daD ditantang.
Cacing muda merupakan bagian daTi pertumbuhan
cacing, dimana sebagian besar larva iradiasi hanya
tumbuh menjadi cacing muda atau perkembangannya
menjadi lambat. Pemotongan
hewan 5 minggu setelah
tantangan seharusnya sudah cukup untuk melihat
perkembangan cacing. Hal ini juga terlihat pada
KelompokVaksin dan ditantang Vaksin tanoa ditantang
Rata-rata 1944
62 1713
--Tanpa
v~sin teta~tantan~
Rata-rata jurnlah telur cacing antara ketiga
kelompok yang diperiksa 5 minggu setelah ditantang
Risa/ah PeltemlJan //miah Penelilian dan Pengembangan /ekn%gi /salOp dan Radia5~ 2(x)()
iradiasi sebanyak 3 kali dengan selang waktu 3 minggu daD 3 minggu kemudian dilaktlkan tantangan dengan 50.000 larva infektif. Kelompok kedua dilakukan vaksinasi seperti kelompok pertama tetapi tidak ditantang. Kelompok ketiga tidak divaksinasi tetapi ditangtang seperti kelompok pertama.
temyata berbeda nyata (P<O,O5). Rata-rata jumlah telur cacing antara kelompok yang divaksin dan tanpa divaksin tidak berbeda nyata (P>O,O5), tetapi berbeda nyata (P<O,O5) dengan kelompok yang tidak ditantang. Larva cacing yang mendapat iradiasi mengalami perubahan dalam sikIus hidupnya, dimana setelah menjadi cacing dewasa mempunyai telur-telur yang steril (23). Telur-telur tersebut tidal mempunyai morula sehingga tidak dapat berkembang menjadi larva atau dengan kata lain telur-telur tersebut mati. Dari data ini belum terlilmt perbedaan jwnlall telur cacing antara kelompok yang divaksin dan tidak divaksin. Vaksinasi dengan larva iradiasi belum dapat merangsang kekebalan sehingga hewan tetap peka terhadap infeksi tangtang.
Domba donor
Sebanyak 2 ekor domba jantan yang berurnur 4-5 bulan digunakan sebagai donor. Dornba tersebut diberi antelrnintik 3 kali dengan selang 3 lmri untuk rnernbebaskan dari iIlfeksi cacing. Sebanyak 5.000 larva infektif cacing Haemonchus con/or/us diberikan secara oral kepada dornba donor. Setelah tiga rninggu, dornba tersebut menglmsilkaxl telur cacing dalam tinjanya. Tinja domba ditampung dengan tempat penaxupungan tinja yang diikat pada dc'lerah sekitar anus. Tinja tersebut kemudian dibiakan untnk mendapc'ltkc'111 larva cacing. Pekerjaan ini Imrus diulaxlg beberapa kali untuk
mendapat larva cacing dalaxn jUlnlall banyak.
Tabel 2. Rata-rata jumlah cacing dewasa dalam abomasum domba dari masing-masing kelompok
Kelompok
Vaksin daD ditantang~aks~pa ditantan~
Rata-rata
1515
837
1432
Tanpa v~sin tetapi
ditantang-lradiasi larva
Sebanyak sanl juta larva cacing H. contortus dari pupukan tinja berasal dari domba donor yang hanya diinfeksi cacing H. contortus diradiasi dengan menggunakan ganuna cell 220 dengan dosis 500 GY di Pusat Aplikasi Isotop daD Radiasi, Badan Tefu1ga Atom Nasional, Pasar Jumat, Jakarta. Larva yang telah diradiasi dalam kead.1an masih segar digunakan unnlk vaksinasi hewan. Proses ini diulang 3 kali karena vaksinasi dilakukall 3 kali.
Rata-rata
jumlah cacing dewasa daD cacing muda
dalam abomasum domba dari setiap kelompok dapat
dilihat dalam Tabel 2 daD 3. Rata-rata jumlah cacing
dewasa antara kelompok yang divaksin daD tidak
divaksin tidak berbeda nyata (p>O,O5), tetapi berbeda
nyata dengan kelompok yang tidak ditantang. lradiasi
larva cacing belum dapat membuat proteksi terlmdap
infeksi tantang karena tidak merangsang timbulnya
kekebalan. Hal ini kemungkinan karena pemberian
vaksin dilakukan tiga kali dengan selang waktu 3
minggu. Pemberian vaksin umumnya dilakukan 2 kali
dengan maksud untuk meningkatkan kekebalan dan
selang waktu yang terlalu lama (3
minggu)
memungkinkan kekebalan yang terbentuk akan turun
kemmbali (24). Akibat daTi iradiasi, sebagian larva
tumbuh menjadi dewasa, tetapi tidak menghasilkan
telur
cacing yang dapat berkembang daD sebagian lagi tetap
menjadi cacing muda atau proses
perkembangannya
lebih
lama.
PengamatanPengmnbilan smnpel berupa tinja 6 minggu setelah tantangan daD serum darall dilakukan setiap minggu. Tinja diperiksa untuk menentukan jmnIah telur cacing (18). Serum diperiksa untuk menentukan total serum protein yang dilakukan menurut metoda Lowry et al (19) daD titer antibodi dengan menggunakan ELISA (20) d.w antigen yang digunakan berasal dari larva cacing (21). Lima minggu setelah uji tantang semua hewan dibunuh dan cacing H. contortus yang terdapat di dalam lambung kelenjar (abomasum) dilliumg (22).
Tabcl 3. Jumlah cacing muds dalam abomasum domba dari masing-masing kclompok
BASIL DAN PEMBABASAN
Hasil perllitungan jumJah telur cacing tiap gram tinja 3 minggu setelall ditantang dapat dilillat dalaJu Tabel I.
Tabcll. Rata-rata jumlah tclur cacing tiap grdm tinja 5
minggu sctelah ditantang pada domba yang
divaksin dcngan larva iradiasi
Rata-rata jumlah cacing muda kelompok vaksin
tanpa ditantang dan kelompok tanpa vaksin tetapi
ditantang tidak berbeda nyata (P>O,O5),
tetapi berbeda
nyata (P<O,O5)
dengan kelompok vaksin clan ditantang.
Cacing muda merupakan bagian dari pertumbullan
cacing, dimana sebagian besar larva iradiasi hanya
tumbuh menjadi cacing muda atau perkembangannya
menjadi lambat. Pemotongan
hewan 5 minggu setelah
tantangan seharusnya sudah cukup untuk melillat
perkembangan cacing. Hal ini juga terlihat pada
KelomDok
Rata-rata
1944 62 171.3 Vaksin daD ditantang
Vaksin tanpa ditantanJ!.
Tanoa vaksin tetaoi ditantang
Rata-rata jmnlah telur cacing antara ketiga
kelompok yang diperiksa 5 minggu setelah ditantang
Risa/ah Perlemuan //miah Penelilian dan Pengf'l77bangan r t'/inologi /solop dan Radiasi, 2fXXJ
kelompok yang tanpa vaksin tetapi ditantang.dimana setengall dari jumlah cacing yang berkembang ada.1all cacing mud:'l. Untuk mengurangi jmnlah cacing muda maka pemotongan hewan untuk keperluan perhitungan cacing hams lebih lama setelah hewan ditantang.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pernberian 50.000 larva iradiasi cacing H. contortus pacta dornba belurn rnenimbulkan daya proteksi terhadap infeksi tantangan. Selang pemberian vaksin selama 3 lninggu dan pengulangan vaksinasi sampai tiga kali tidak perlu dilakukan mengingat akibat dari itu kernungkinan daya proteksi hewan malahan tunm: Perlu diteliti lebih lanjut apakah dosis pernberian larva iradiasi sudah tepat sellingga dapat rnenirnbulkan respon kekebalan.
Tabel4. Rata-rata nilai total protein serum 5 minggu
setelah ditantang pad a domba yang divaksin
dengan larva iradiasi
Kelompok
Vaksin dan ditantang
Vaksin tanpa ditantan~
Rata-rata
9.738 6.860 5.766Tanpa vaksin tetapi ditantan~
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Penelitian Veteriner, Bogor yang telah memberi izin dan fasilitas sehingga penelitian ini terlaksana. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr Gozali Mukti, Ir Harison dan para teknisi di bagian Parasitologi dan Bioteknologi yang telah membantu penelitian ini.
DAFTARPUSTAKA
SOULSBY E.J.L. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Anilnals (7 ed). Bailliere, Tindall, London.
2.
BERIAJAYA and COPEMAN D B (1997) An
estimate
of seasonality
and intensity of infection
with gastrointestinal nematodes in sheep and
goats in West Java. Jurnal J/mu Ternak don
Veteriner
2: 270-276.
3.
BERIAJAYA and STEVENSON P. 1986. Reduced
productivity in small ruminant in Indonesia as a
result of gastrointestinal
nematode
infections. In
Livestock Production and Diseases in the
Tropics, (eds M.R. Jainudeen, M. Mahyuddin
and J.E. Hulm). Proceedings of tile 5 th
Conference Institute Tropical
Veterinary
Medicine, Kuala Lumpur, Malaysia.
Rata-rata nilai total protein senun yang diperiksa5 minggu setelah ditantang dapat dilihatdalam Tabel 4. Rata-rata nilai total protein antara kelompok yang divaksin daD yang tidt1k divaksin berbeda nyata (P<0,05). Pemberian VakSillasi dengan larva iradiasi meningkatkan nilai total protein serum. Peningkatan ini kemungkinan karena terbentuknya zat-zat seperti gamma globulin yang menyusun antibodi. Pemberian larva iradiasi merangsang timbulnya respon, tetapi apakah respon ilU protektif? Hal ini hams sejalan dengan data jWulall cacing dewasa dan titer antibodi.
Rata-rata titer antibodi daTi ketiga kelompok domba yang divaksin dengatl larva iradiasi dapat dilihat dalam Tabel 5. Titer atrtibodi ini tidt1k berbeda nyata (P>0,05) antara san! kelompok dengan kelompok yang lain. Pemberian vaksinasi dengan larva iradiasi akan menyebabkan kellaikan titer antibodi. Hal ini terlihat dati sampel yang dipeTiksa sebelum uji tantang dimana titer antibodi daTi kelompok hewan yang divaksin sedikit lebih tinggi walaupun tidak nyata perbedaannya (P>0,05) (15,24).
Antigen yang diberikatl berupa larva tiga cacing H. con/or/us yang telah diradiasi. Akibat daTi radiasi kemungkinan rantai asam atnino yang menyusun protein daTi antigen tersebut terputus selungga larva tersebut berkurang daya patogenitasnya. Hal ini terlillat pacta Tabel 1 daD 2, dilnana kelompok vaksin yang tidak ditantang menghasilkan jumlah telur dtw jumlah cacing yang sedikit. Pemberiatl larva yang berkurang daya patogenitasnya kemungkilkw akan menimbulkan respon. Dalam hal ini respon tersebut belum terlihat walaupun ke.1ompok yang divaksin dt111 ditantang memperlihatkan total protein serum yang lebih tinggi (Tabcl 4). Tidak timbulnya respon kekebalatl kemungkinan karcna dosis pcmberian larva iradiasi sebanyak 50.000 tcrlalu bcsar schingga perlu diteliti dosis yang tepat agar rcspon tcrscbut timbul. Selain itu selang pemberian dan banyaknya pemberian perlu juga diteliti schingga diketalmi secara tepat kapan vaksinasi l1anls diulang.
4.
HANDAYANI S.W. and GATENBY R.M. 1988.
Effects of management
system, legume feeding
and antIlelmintic treatment on tIle performance
of Iambs in North Smnatra. Tropical Animal
Health and Production 20: 122-128.
5. BERlAJA Y A. 1986. The significant importance of gastrointestinal nematodiasis on village sheep in an upland area of Garut, West Java. Penyakit
Hewan 88: 130-133.
BERIAJA Y A daD SUHARDONO. 1998.
Penanggulangan nematodiasis pada ruminansia kecil secara terpadu antara rnanajemen, nutrisi daD obat cacing. Pros. Seminar Nasional Peternakan don Veteriner. 18-19 Nopember 1'997. Bogor.
Tabel 5. Titer antibodi 5 minggu setelah ditantang pada domba yang divaksin dengan larva iradiasi
R/:sa/ah Pertemuan //miah Pene/itian dan Pengembangan leknologi /sotop dan Radias~ 2fXXJ
7.
WALLER P.J., ECHEVARRIA F., EDDI C.;MACIEL S., NARI S. and HANSEN J. W. 1995. Antheltnintic resistance of nematodes in sheep flocks in South Atnerica. r,'eterina,:v Record
136: 620.
16. SIVANATHAN
S.,
DUNCAN
J.L.
URQUHART G.M.
1984. Some
ililluencing immunization of sheep
ilTadiated Haemonchus contortus
v'eterinary
Parasitology 16: 113-123.
and
factors
withlarvae.
8.
WALLER
P.l.
1994. The development of
antllelmintic resistance in nuninant livestock.
Acta Tropica 56: 233-243.
7. BERIAJAYA, ADIWINATA G. dan
PARTODIHARDJO S. 1994. Sturn pendahuluan tentang larva cacing Haemonchus contortus yang diradiasi pacta kelinci. Risa/ah Pertemuan J/miah Ap/ikasi Isoto! don Radiasi do/am bidang Industri. Pertanian don Lingkungan. 14-15 Desember 1993. Jakarta.
9. MUNN E.A. 1993. Development of a vaccine against Haemonchus contortus. Parasitology
Today 9: 338-339.
10. MUNN E.A. 1997. Rational design of nematode
vaccines: hidden antigens. International Journal
for Parasitology 27: 359-366.
18. WHITLOCK H. V. 1948. Some modification of the
Mc Master helminth egg-counting
technique and
apparatus.
Journal of the Council for Scientific
and Industrial Research
21: 117-118.
SMITH T.S., MUNN E.A., GRAHAM M.,
TAVERNOR A.S. and GREENWOOD C.A.
1993. Purification mId evaluation of the integral membrane protein H II as a protective antigen against Haemonchus contortus. International Journal for Parasitology 23: 271-280.
1.9. LOWRY O.H., ROSENBORGH N.J., FARR A.L. and RANDALL R.J. 1.951.. Protein measurement with fol.in phenol reagent Journal of Biological Chemistry 1.93: 265-275.
20. MUKTI
M.R.
,
BERIAJA
Y A,
SURYONO,
PARTODIHARDJO S. 1994. Penggunaan
Enzyme Linked Immunosorbent Assay untuk
mendeteksi antibodi antilarva Haemonchus
contortus di dalaIn serum domba. Risalah
Pertemuan I/miah Ap/ikasi Isoto! don Radiasi
do/am bidang Industri, Pertanian don
Lingkungan. 14-15 Oesember
1993. Jakarta.
12. MUNN E.A., SMITH T.S., GRAHAM M.,
GREENWOOD C.A., T A VERNOR A. S. and COETZE G. 1993a. Vaccination of Merino
lambs against haemonchosis with
membrane-associated proteins from adults parasite. Parasitology 106: 63-66.
13. MUNN E.A., SMITH T.S., GRAHAM M.,
TAVERNOR A.S. and GREENWOOD C.A.
1993b. The potential value of integral membrane proteins in tile vaccination of Iambs against Haemonchus contortus. International Journalfor Parasitology 23: 261-269.
21. SMITH W.D. 1977. Antilarval antibodies in the
serum and abomasal mucus of
sheep
hyperinfected with Haemonchus contortus. Research in Veterinary ,S'cience 22: 334-338.
22. Manual of Veterinary Parasitological Laboratory
Teclmiques. 1971. Teclmical Bulletin No 18,
Her Majesty's Stationery
Office. London.
14. JARRETT W.F.H., JENNINGS F. W., McINTYREW.I.M., MULLIGAN W. and SHARP N.C.C. 1959. Studies on ilmnunity to Haemonchus contortus infection: Vaccination of sheep using a single dose of x-irradiated larvae. American Journal of f/eterina,:v Research 20(26): 527-530.
23. BITAKARAMIRE P.K. 1973. Prelimillal)' studies on tile immunization of cattle animal against Fasciolasis using gamma irradiated metacercarie of Fasciola gigantica. Isotop and Radiation in Parasitology III. Proc. Panel Kabete, 1971.
lAEA Viena : 23.
15. URQUHART G.M., JARRETT W.F.H., JENNINGS F. W., McINTYRE W.I.M. and MULLIGAN W. 1966. ImmlUuty to Haemonchus con/or/us infection: relationship between age and successful vaccination with irradiated larvae.
American Journal of ,,'eterinary Research 27:
1645-1648.
24. TIZARD I.R. 1995. lmmunologv. An introduction. Fourth Edition. Saunders College Publishing,
USA.
Risalah Pertemuan Ilmiah Penelitlan dan Pengembangan T eknologi Isotop dan RadiaSl; Z(X)()
DISKUSI
HARYANTO
NIZAR NASRULLAH
Apakah yang dimaksud dengan larva tiga, ap.1kah acta larva-larva lain, kalau acta mengclpa digunakml larva tiga untuk memvaksin domba ?
Mohon penjelasan apakah telur-telur cacing pada K2 tidak menjadi lebih gaIlas pada generasi berikutnya ?
SUKARDJI P. (BERlAJA Y A)
SUKARDJI P. (BERIAJA Y A)
Dari uraian tadi jelas bahwa cacing muda dan
cacing dewasa
menjadi rendah dan bentuk fisik cacing
kelihatan steril tidak mampu
lagi bereproduksi.
Kare",'! L3 adalall larva yang paling patogen/ganasdaD banyak ditemui di daun-dawl rumput untuk dilnakan domba. pada rase L3 itu yang paling patogen hams dirangsang (dilelnal1kan) dengan iradiasi dengan harapan dapat memberikan respon kekebalan yang optinml.
RIY ANTI S.
Penyakit apa saja yang mllmnnya menyerang pada domba daD temak nuninansia lain, dan sampai dimana kerugiannya ?
SUHARYONO
SUKARDJI P. (BERIAJA Y A)
1. Haemonchus contortus akan dimnbil telun1ya dalmn
upaya menentukan EPG, bagaimana cara
membedakan
telur dari cacing lainnya karena dalam
usus banyak
jenis cacing lainnya.
2. Pembuatan
vaksin pada wnumnya dilakukan di virus,
kalau penemtlan untuk parasit tentunya lama,
bagailnana caranya mempercepat
penemuan vaksin
tersebut "
1. Banyak penyakit yang menyerang domba/ternak ruminansia sehingga merugikan.
2. Penyakit yang menyerang hewan antara lain..
Distomatosis, scabies. kaskado. TBC, anthrax,
anaplasmois,
dU.
Kerugiannya : Menurunnya produksi dan kualitas daging sapi dengan kematian.
SUKARDJI P. (BERIAJA Y A)
BINT ARA H. SASANGKA
Menurut pengalaman
Saudara,
mana yang lebih
efektif pembuatan
vaksin dengan
bantuan iradiasi atau
metode
yang Iainnya ?
I. Karena sebelUlu penelitiml ini cacing telah dibersiltkml daTi ulbuh aDak domba yang akan dipakai penelitian, setelah bersih barn dipakai untuk penelitian. Jadi dalmu pemeliharaan karena tidak tercemar cacing lain.
2. Untuk vaksin virus dengan iradiasi memang sulit, dosis iradiasi optimc'llpun belUll1 banyak diketalmi, haI ini telaIl kalui konsultasikan ke Balitvet.
SUKARDn P. (BERIAJAYA)