MODEL CGE AGROINDUSTRI
Sumber data utama yang digunakan untuk membangun Model CGE Agro-industri adalah Tabel Input-Output (I-O) tingkat nasional tahun 2003. Untuk melengkapi data tersebut, juga digunakan data Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM) tingkat nasional tahun 2003 serta beberapa sumber data lainnya, seperti nilai elastisitas, investasi, produk domestik bruto, dan lain-lain. Penyusunan data dasar diawali dengan pemilihan komoditas, industri, rumah tangga, sumber komoditas (ekspor atau impor), jenis tenaga kerja dan input-input lainnya. Untuk memadukan agregasi sektor yang digunakan dalam Tabel I-O dan SNSE dilakukan mapping (pemetaan) antar sektor yang ter-dapat pada dua sumber data utama tersebut. Bab ini menjelaskan bagaimana membangun data dasar model CGE Agroindustri Indonesia (CGE AGRINDO) dengan menggunakan sumber data terbaru yang relevan dengan kondisi per-ekonomian Indonesia saat ini.
5.1. Tabel Input-Output Indonesia Tahun 2003
Tabel I-O Nasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tabel I-O tahun 2003 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Tabel I-O 2003 yang dipublikasikan oleh BPS terdiri dari 2 sub grup tabel, yaitu tabel dasar dan tabel analisis. Tabel dasar terdiri dari tabel transaksi total atas dasar harga konsumen, tabel transaksi total atas dasar harga produsen, tabel transaksi domestik atas dasar harga konsumen, tabel transaksi domestik atas dasar harga produsen dan tabel transaksi impor atas dasar harga produsen. Tabel analisis
diperoleh dari tabel dasar setelah dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Tabel ini meliputi tabel koefisien input, matriks kebalikan total atas dasar harga produsen dan matriks kebalikan domestik atas dasar harga produsen.
5.1.1. Struktur Input-Output
Struktur detail dari Tabel I-O dapat dilihat pada Gambar 22. Matriks yang terdapat pada Tabel I-O terdiri dari matriks penyerapan input di tiap industri, matriks produk bersama dan matriks pajak bersama. Kolom dari matriks penye-rapan menunjukkan enam pelaku ekonomi yaitu produsen domestik, investor, rumah tangga, ekspor, pemerintah dan inventori. Semua data yang tertera pada Tabel I-O dihitung dalam nilai rupiah.
Baris pada Gambar 22 menunjukkan asal dari pembelian komoditas yang dilakukan oleh pelaku ekonomi pada setiap kolom yang meliputi aliran bahan baku, margin, pajak, tenaga kerja, modal, tanah dan biaya lainnya. Aliran bahan baku dasar pada kolom pertama dan kedua menunjukkan aliran komoditas impor dan domestik yang digunakan oleh industri sebagai input atau pembentukan modal. Sebagai contoh, V1BAS (kolom pertama dan baris pertama) adalah nilai dari bahan baku (input antara) dari komoditas c, sumber s yang digunakan oleh setiap industri i pada produksinya. Selanjutnya aliran komoditas ke kolom ketiga menunjukkan komoditas yang dikonsumsi oleh rumah tangga (V3BAS). Aliran komoditas ke kolom keempat, lima dan enam menunjukkan nilai komoditas yang diekspor (V4BAS), dikonsumsi pemerintah (V5BAS) dan menambah atau mengu-rangi inventaris (V6BAS). Disini dapat dilihat bahwa hubungan antar komoditas pada Tabel I-O menunjukkan hubungan sektoral antar industri dan hubungan aggregat dari pelaku-pelaku ekonomi dalam ekonomi makro.
Matriks Penyerapan
1 2 3 4 5 6
Produsen Investor Rumah
Tangga Ekspor Pemerintah Inventori
Size ← I → ← I → ← 1 → ← 1 → ← 1 → ← 1 → Aliran Bahan Baku ↑ CxS ↓
V1BAS V2BAS V3BAS V4BAS V5BAS V6BAS
Margin ↑ CxSxM
↓
V1MAR V2MAR V3MAR V4MAR V5MAR n/a
Pajak
↑ CxS
↓
V1TAX V2TAX V3TAX V4TAX V5TAX n/a
Tenaga Kerja
↑ O ↓
V1LAB C=Jumlah komoditas I =Jumlah industri Modal ↑ 1 ↓ V1CAP
S= Jumlah sumber komoditas O=Jumlah jenis pekerjaan M=Jumlah margin Tanah ↑ 1 ↓ V1LND Biaya lainnya ↑ 1 ↓ V1OCT Matriks Produk Bersama Pajak Impor Ukuran ← I → Ukuran ← I → ↑ C ↓ MAKE ↑ C ↓ V0TAR
Gambar 22. Data Input-Output pada Model Keseimbangan Umum Sumber: Horridge et al. (1998) dan Oktaviani (2000)
Alur margin dari baris kedua adalah biaya margin komoditas yang diguna-kan oleh produsen, investor, rumah tangga, pemerintah dan biaya margin komo-ditas ekspor. Pajak dimatrikskan pada baris ketiga menunjukkan pajak-pajak ko-moditas, seperti yang dikonsumsi oleh produsen, investor, rumah tangga dan pe-merintah, dan pada akhirnya pajak ekspor. Baris-baris tenaga kerja, modal, lahan, dan biaya-biaya lainnya mencatat penggunaan faktor primer untuk masing-masing
industri pada kolom pertama, mengindikasikan pengembalian pada faktor-faktor input ini seperti yang digunakan pada tiap sektor.
Dua matriks akhir adalah gabungan dari matriks produksi dan matriks pa-jak impor. Gabungan matriks produksi menunjukkan komposisi komoditas dari output tiap-tiap industri. Studi ini mengasumsikan bahwa sebuah industri dapat memproduksi sebuah komoditas. Matriks bea impor mencatat pembayaran bea impor atas tiap komoditas yang diimpor oleh setiap industri.
5.1.2. Agregasi dan Disagregasi Sektor Ekonomi
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka sektor ekonomi yang tercakup dalam penelitian ini terdiri dari 38 sektor. Sektor-sektor tersebut dapat dikategori-kan ke dalam empat kelompok besar yaitu sektor pertanian, pertambangan, industri, dan jasa-jasa. Sektor pertanian yang merupakan fokus perhatian dalam penelitian ini dikelompokkan kedalam 19 sektor, yang merupakan hasil agregasi dan disagregasi dari 23 sektor yang terdapat dalam Tabel I-O 2003 klasifikasi 66 sektor. Sektor-sektor yang termasuk kedalam sektor pertanian meliputi aktivitas pertanian tanaman pangan (padi, kedelai, jagung, ubi kayu, sayur-sayuran dan buah-buahan, serta tanaman bahan makanan lainnya), perkebunan (karet, tebu, kelapa, kelapa sawit, tembakau, kopi, teh, kakao, dan tanaman perkebunan lainnya), kehutanan, peternakan, dan perikanan. Adapun sektor pertambangan diperoleh dari agregasi tiga sektor atau aktivitas, yaitu: (1) penambangan batu bara dan bijih logam, (2) penambangan minyak, gas dan panas bumi, serta (3) pe-nambangan dan penggalian lainnya.
Sektor industri yang menjadi fokus perhatian penelitian ini dikategorikan kedalam 10 sektor, yang merupakan sektor industri pengolahan hasil pertanian
(agroindustri). Kesepuluh sektor industri tersebut adalah: (1) industri pengolahan hasil peternakan, (2) industri pengolahan hasil perikanan, (3) industri minyak dan lemak, (4) beras (industri penggilingan padi), (5) industri tepung segala jenis, (6) industri gula, (7) industri rokok, (8) industri bambu, kayu dan rotan, (9) indus-tri pupuk dan pestisida, serta (10) indusindus-tri pengolahan karet. Pemilihan sektor industri ini didasarkan atas beberapa pertimbangan. Pertama, agroindustri yang tercakup kedalam 10 industri prioritas pembangunan industri nasional seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 7/2005 tentang Rencana Pem-bangunan Jangka Menengah Nasional. Kesepuluh industri prioritas ini selanjut-nya dijabarkan lebih lanjut oleh Departemen Perindustrian sebagai kebijakan nasional pembangunan industri. Kedua, agroindustri yang berbahan baku sektor pertanian terpilih. Ketiga, agroindustri yang mempunyai prospek untuk dikem-bangkan di masa datang, berdasarkan sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), nilai ekspor dan penyerapan angkatan kerja.
Kelompok keempat adalah sektor jasa-jasa yang terdiri dari tujuh sektor sebagai hasil agregasi, yaitu: (1) sektor listrik, gas dan air bersih, (2) sektor bangunan, (3) sektor perdagangan, hotel dan restoran, (4) sektor jasa transportasi, (5) sektor lembaga keuangan, (6) sektor pemerintahan umum dan pertahanan, serta (7) sektor jasa lainnya.
Berdasarkan proses agregasi dan disagregasi tersebut di atas, maka 38 sektor ekonomi yang terpilih dalam penelitian ini adalah: (1) padi, (2) kedelai, (3) jagung, (4) ubi kayu, (5) sayur-sayuran dan buah-buahan, (6) tanaman pangan lainnya, (7) karet, (8) tebu, (9) kelapa, (10) kelapa sawit, (11) tembakau, (12) kopi, (13) teh, (14) kakao, (15) tanaman perkebunan lainnya, (16) tanaman
lainnya, (17) peternakan, (18) kehutanan, (19) perikanan, (20) pertambangan, (21) industri pengolahan hasil peternakan, (22) industri pengolahan hasil pe-rikanan, (23) industri minyak dan lemak, (24) beras (industri penggilingan padi), (25) industri tepung segala jenis, (26) industri gula, (27) industri rokok, (28) industri bambu, kayu dan rotan, (29) industri pupuk dan pestisida, (30) industri pengolahan karet, (31) industri lainnya, (32) listrik, gas dan air
ber-sih, (33) bangunan, (34) perdagangan, hotel dan restoran, (35) jasa transportasi, (36) lembaga keuangan, (37) pemerintahan umum dan pertahanan, dan (38) jasa lainnya.
Untuk memadukan hasil agregasi sektor ekonomi yang digunakan dalam penelitian dengan Tabel I-O 2003, maka dilakukan mapping (pemetaan) antara sektor ekonomi yang terdapat dalam penelitian (38 sektor) dan sektor ekonomi yang terdapat pada Tabel I-O 2003 (66 sektor). Namun karena tidak seluruh sektor ekonomi dalam penelitian sesuai dengan klasifikasi sektor ekonomi pada Tabel I-O 2003, maka perlu dilakukan disagregasi sektor ekonomi terlebih dahulu. Sektor-sektor tersebut adalah: (1) sektor kedelai, (2) sektor ubi kayu, (3) sektor kakao, (4) sektor industri pengolahan hasil peternakan, (5) sektor industri pengolahan hasil perikanan, dan (6) sektor industri pengolahan karet. Disagregasi sektor dilakukan berdasarkan share nilai masing-masing sub sektor pada setiap sektor yang akan didisagregasi pada Tabel I-O 2000.
Sektor kedelai (sektor 2 dalam penelitian) termasuk kedalam sektor 2 pada Tabel I-O 2003 yaitu sektor tanaman kacang-kacangan. Sektor ini merupakan agregasi dari sektor 6-8 Tabel I-O 2000, yang meliputi sektor kacang tanah (sektor 6), sektor kedelai (sektor 7), dan sektor kacang-kacangan lainnya
(sektor 8). Dengan demikian, sektor 2 pada Tabel I-O 2003 dapat didisagregasi menjadi sektor kedelai (dengan menggunakan share sektor 7 Tabel I-O 2000) dan sektor tanaman kacang-kacangan lainnya (dengan menggunakan share sektor 6 dan sektor 8 pada Tabel I-O 2000). Penentuan share untuk disagregasi sektor tanaman kacang-kacangan disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Share untuk Disagregasi Sektor Tanaman Kacang-kacangan
Kode
I-O 2000 Nama Sektor
Nilai Output (Milyar Rp) Share (%) 6 Kacang tanah 3 553 623,29 50,51 7 Kedelai 2 397 887,08 34,08 8 Kacang-kacangan lainnya 1 083 988,39 15,41 Total 7 035 498,76 100,00 Sumber: BPS (2000).
Berdasarkan share yang tertuang pada Tabel 5, maka sektor tanaman kacang-kacangan (sektor 2 pada Tabel I-O 2003) dapat didisagregasi menjadi sektor kedelai (sektor 2) dengan share 34,08 persen dan sektor tanaman kacang-kacangan lainnya (sektor 3) dengan share 65,92 persen.
Sektor ubi kayu (sektor 4 dalam penelitian) termasuk kedalam sektor 4 pada Tabel I-O 2003 yaitu sektor tanaman umbi-umbian. Sektor ini merupakan agregasi dari sektor 3-5 Tabel I-O 2000, yang meliputi sektor ketela pohon/ubi kayu (sektor 3), sektor ubi jalar (sektor 4), dan sektor umbi-umbian lainnya (sektor 5). Dengan demikian, sektor 4 pada Tabel I-O 2003 dapat didisagregasi menjadi sektor ubi kayu (dengan menggunakan share sektor 3 pada Tabel I-O 2000) dan sektor tanaman umbi-umbian lainnya (dengan menggunakan share sektor 4 dan sektor 5 pada Tabel I-O 2000). Penentuan share untuk disagregasi sektor tanaman umbi-umbian disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Share untuk Disagregasi Sektor Tanaman Umbi-umbian
Kode
I-O 2000 Nama Sektor
Nilai Output (Milyar Rp)
Share (%)
3 Ketela pohon (ubi kayu) 4 880 492.85 33,24
4 Ubi jalar 936 991.22 6,38
5 Umbi-umbian lainnya 8 865 024.73 60,38
Total 14 682 508.80 100,00
Sumber: BPS (2000).
Berdasarkan share yang tertuang pada Tabel 6, maka sektor tanaman umbi-umbian (sektor 4 pada Tabel I-O 2003) dapat didisagregasi menjadi sektor ubi kayu (sektor 5) dengan share 33,24 persen dan sektor tanaman umbi-umbian lainnya (sektor 6) dengan share 66,76 persen.
Sektor kakao (sektor 14 dalam penelitian) termasuk kedalam sektor 16 pada Tabel I-O 2003 yaitu sektor tanaman perkebunan lainnya. Sektor ini meru-pakan agregasi dari sektor 21-23 Tabel I-O 2000, yang meliputi sektor kakao (sektor 21), sektor jambu mete (sektor 22), dan sektor hasil perkebunan lainnya (sektor 23). Dengan demikian, sektor 16 pada Tabel I-O 2003 dapat didisagregasi menjadi sektor kakao (dengan menggunakan share sektor 21 pada Tabel I-O 2000) dan sektor tanaman perkebunan lainnya (dengan menggunakan share sektor 22-23 pada Tabel I-O 2000). Penentuan share untuk disagregasi sektor tanaman perkebunan lainnya disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Share untuk Disagregasi Sektor Tanaman Perkebunan Lainnya
Kode
I-O 2000 Nama Sektor
Nilai Output (Milyar Rp) Share (%) 21 Kakao 2 040 205,88 28,47 22 Jambu Mete 2 171 333,10 30,29
23 Hasil perkebunan lainnya 2 955 832,51 41,24
Total 7 167 371,48 100,00
Berdasarkan share yang tertuang pada Tabel 7, maka sektor tanaman perkebunan lainnya (sektor 16 Tabel I-O 2003) dapat didisagregasi menjadi sektor kakao (sektor 18) dengan share 28,47 persen dan sektor tanaman perkebunan lainnya (sektor 19) dengan share 71,53 persen.
Sektor industri pengolahan hasil peternakan (sektor 21 dalam penelitian) dan sektor industri pengolahan hasil perikanan (sektor 22 dalam penelitian) termasuk kedalam sektor 27 pada Tabel I-O 2003 yaitu sektor industri pengolahan dan pengawetan makanan. Sektor ini merupakan agregasi dari sektor 50-54 Tabel I-O 2000, yang meliputi sektor daging olahan dan awetan (sektor 50), sektor mi-numan dan makanan terbuat dari susu (sektor 51), sektor buah-buahan dan sayur-sayuran olahan dan awetan (sektor 52), sektor ikan kering dan ikan asin (sektor 53), serta sektor ikan olahan dan awetan (sektor 54). Dengan demikian, sektor 27 pada Tabel I-O 2003 dapat didisagregasi menjadi tiga sektor, yaitu sektor industri pengolahan hasil peternakan (dengan menggunakan share sektor 50-51 Tabel I-O 2000), sektor industri pengolahan hasil perikanan (dengan menggunakan share sektor 53-54 Tabel I-O 2000), dan sektor industri pengolahan dan pengawetan makanan lainnya (dengan menggunakan share sektor 52 pada Tabel I-O 2000). Penentuan share untuk disagregasi sektor industri pengolahan dan pengawetan makanan disajikan pada Tabel 8. Berdasarkan share yang tertuang pada Tabel 8, maka sektor industri pengolahan dan pengawetan makanan (sektor 27 Tabel I-O 2003) dapat didisagregasi menjadi sektor industri pengolahan hasil peternakan (sektor 30) dengan share 25,89 persen, sektor industri pengolahan hasil perikanan (sektor 31) dengan share 67,74 persen, dan sektor industri pengolahan dan pengawetan makanan lainnya (sektor 32) dengan share 6,37 persen.
Tabel 8. Share untuk Disagregasi Sektor Industri Pengolahan dan Pengawetan Makanan
Kode
I-O 2000 Nama Sektor
Nilai Output (Milyar Rp)
Share (%)
50 Daging olahan dan awetan 421 631 1,04
51 Makanan dan minuman terbuat dari susu 10 085 798 24,85 52 Buah-buahan dan sayur-sayuran
olahan dan awetan 2 583 894 6,37
53 Ikan kering dan ikan asin 7 801 811 19,22
54 Ikan olahan dan awetan 19 692 463 48,52
Total 40 585 597 100,00
Sumber: BPS (2000).
Sektor industri pengolahan karet (sektor 30 dalam penelitian) termasuk kedalam sektor 42 pada Tabel I-O 2003 yaitu sektor industri barang karet dan plastik. Sektor ini merupakan agregasi dari sektor 106-109 Tabel I-O 2000, yang meliputi sektor karet remah dan karet asap (sektor 106), sektor ban (sektor 107), sektor barang-barang lainnya dari karet (sektor 108), dan sektor barang-barang plastik (sektor 109). Dengan demikian, sektor 42 pada Tabel I-O 2003 dapat di-disagregasi menjadi sektor industri pengolahan karet (dengan menggunakan share sektor 106-108 Tabel I-O 2000), dan sektor industri barang plastik (dengan meng-gunakan share sektor 109 Tabel I-O 2000). Penentuan share untuk disagregasi sektor industri barang karet dan plastik disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Share untuk Disagregasi Sektor Industri Barang Karet dan Plastik
Kode
I-O 2000 Nama Sektor
Nilai Output (Milyar Rp)
Share (%)
106 Karet remah dan karet asap 10 160 746,75 17,69
107 Ban 8 853 889,64 15,42
108 Barang-barang lainnya dari karet 7 375 711,61 12,84 109 Barang-barang plastik 31 041 927,57 54,05
Total 57 432 275,57 100,00
Berdasarkan share yang tertuang pada Tabel 9, maka sektor industri barang karet dan plastik (sektor 42 Tabel I-O 2003) dapat didisagregasi menjadi sektor industri pengolahan karet (sektor 47) dengan share 45,95 persen, dan sektor industri barang plastik (sektor 48) dengan share 54,05 persen.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka jumlah sektor yang terdapat pada Tabel I-O 2003 telah mengalami perubahan dari 66 sektor menjadi 72 sektor. Agregasi terhadap 72 sektor yang terdapat pada Tabel I-O 2003 ini ke dalam 38 sektor dalam penelitian disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Agregasi Sektor Ekonomi yang Diteliti (38 Sektor) berdasarkan Tabel I-O Tahun 2003 Klasifikasi 72 sektor
No. Klasisifikasi 72 Sektor No. Agregasi 38 Sektor Ekonomi
yang Diteliti
1 Padi 1 Padi
2 Kedelai 2 Kedelai
3 Tanaman kacang-kacangan lainnya 6 Tanaman bahan makanan lainnya
4 Jagung 3 Jagung
5 Ubi kayu 4 Ubi kayu
6 Tanaman umbi-umbian lainnya 6 Tanaman bahan makanan lainnya 7 Sayur-sayuran dan buah-buahan 5 Sayur-sayuran dan buah-buahan 8 Tanaman bahan makanan lainnya 6 Tanaman bahan makanan lainnya
9 Karet 7 Karet
10 Tebu 8 Tebu
11 Kelapa 9 Kelapa
12 Kelapa sawit 10 Kelapa sawit
13 Tembakau 11 Tembakau
14 Kopi 12 Kopi
15 Teh 13 Teh
16 Cengkeh 15 Tanaman perkebunan lainnya
17 Hasil tanaman serat 15 Tanaman perkebunan lainnya
18 Kakao 14 Kakao
19 Tanaman perkebunan lainnya 15 Tanaman perkebunan lainnya 20 Tanaman lainnya 16 Tanaman lainnya
21 Peternakan 17 Peternakan
22 Pemotongan hewan 17 Peternakan 23 Unggas dan hasil-hasilnya 17 Peternakan
24 Kayu 18 Kehutanan
25 Hasil hutan lainnya 18 Kehutanan
Tabel 10. Lanjutan
No. Klasisifikasi 72 Sektor No. Agregasi 38 Sektor Ekonomi
yang Diteliti
27 Penambangan batubara dan bijih
logam 20 Pertambangan
28 Penambangan minyak, gas dan
panas bumi 20 Pertambangan
29 Penambangan dan penggalian
lainnya 20 Pertambangan
30 Industri pengolahan hasil
peternakan 21
Industri pengolahan hasil peternakan
31 Industri pengolahan hasil perikanan 22 Industri pengolahan hasil perikanan 32 Industri pengolahan dan
pengawetan makanan lainnya 31 Industri lainnya
33 Industri minyak dan lemak 23 Industri minyak dan lemak 34 Industri penggilingan padi 24 Beras (Industri penggilingan padi) 35 Industri tepung, segala jenis 25 Industri tepung, segala jenis 36 Industri gula 26 Industri gula
37 Industri makanan lainnya 31 Industri lainnya 38 Industri minuman 31 Industri lainnya 39 Industri rokok 27 Industri rokok 40 Industri pemintalan 31 Industri lainnya 41 Industri tekstil, pakaian dan kulit 31 Industri lainnya
42 Industri bambu, kayu dan rotan 28 Industri bambu, kayu dan rotan 43 Industri kertas, barang dari kertas
dan karton 31 Industri lainnya
44 Industri pupuk dan pestisida 29 Industri pupuk dan pestisida 45 Industri kimia 31 Industri lainnya
46 Pengilangan minyak bumi 20 Pertambangan
47 Industri pengolahan karet 30 Industri pengolahan karet 48 Industri barang plastik 31 Industri lainnya
49 Industri barang-barang dari mineral
bukan logam 31 Industri lainnya
50 Industri semen 31 Industri lainnya 51 Industri dasar besi dan baja 31 Industri lainnya 52 Industri logam dasar bukan besi 31 Industri lainnya 53 Industri barang dari logam 31 Industri lainnya 54 Industri mesin, alat-alat dan
perlengkapan listrik 31 Industri lainnya 55 Industri alat pengangkutan dan
perbaikannya 31 Industri lainnya 56 Industri barang lain yang belum
digolongkan dimanapun 31 Industri lainnya
57 Listrik, gas dan air bersih 32 Listrik, gas dan air bersih
Tabel 10. Lanjutan
No. Klasisifikasi 72 Sektor No. Agregasi 38 Sektor Ekonomi
yang Diteliti
59 Perdagangan 34 Perdagangan, hotel dan restoran 60 Restoran dan hotel 34 Perdagangan, hotel dan restoran 61 Angkutan kereta api 35 Jasa transportasi
62 Angkutan darat 35 Jasa transportasi 63 Angkutan air 35 Jasa transportasi 64 Angkutan udara 35 Jasa transportasi 65 Jasa penunjang angkutan 35 Jasa transportasi
66 Komunikasi 38 Jasa lainnya
67 Lembaga keuangan 36 Lembaga keuangan 68 Usaha bangunan dan jasa
perusahaan 33 Bangunan
69 Pemerintahaan umum dan
pertahanan 37
Pemerintahaan umum dan pertahanan
70 Jasa sosial kemasyarakatan 38 Jasa lainnya
71 Jasa lainnya 38 Jasa lainnya
72 Kegiatan yang tdk jelas
batasannya 38 Jasa lainnya
5.1.3. Keterkaitan antar Sektor Ekonomi
Seperti yang telah dikemukakan pada uraian sebelumnya, bahwa Tabel I-O merupakan sajian statistik yang menggambarkan transaksi dan keterkaitan antar sektor ekonomi secara komprehensif, konsisten dan terpadu. Di satu sisi, Tabel I-O menggambarkan seberapa besar produk barang dan jasa suatu sektor digunakan oleh sektor lain dan untuk konsumsi akhir. Di sisi lain, Tabel I-O menjelaskan ba-gaimana suatu sektor dibangun atau disusun dari sektor-sektor lainnya dan kom-posisi dari faktor-faktor produksi. Oleh karena itu, bentuk penyajian Tabel I-O adalah matriks, dimana masing-masing barisnya menunjukkan bagaimana output suatu sektor dialokasikan untuk memenuhi permintaan antara dan permintaan akhir, sedangkan masing-masing kolomnya menunjukkan pemakaian input antara dan input primer oleh suatu sektor dalam proses produksinya.
Berdasarkan Tabel I-O yang disajikan pada Gambar 20, maka dapat dibuat dua persamaan neraca yang berimbang sebagai berikut:
Baris: x fi Xi i n n j ij , 1,2,..., 1 = ∀ = +
∑
= ...(5.1) Kolom: x v m X j n n i j j j ij , 1,2,..., 1 = ∀ = + +∑
= ...(5.2)dimana xij adalah nilai aliran barang atau jasa dari sektor i ke sektor j, fi adalah total konsumsi akhir, vj adalah nilai tambah dan mj adalah impor. Definisi neraca berimbang adalah jumlah produksi (keluaran) sama dengan jumlah masukan.
Aliran antar sektor ekonomi dapat ditransformasi menjadi koefisien-koefi-sien sebagai berikut:
aij = xij/Xj ...(5.3) atau:
xij = aij Xj ...(5.4) Dengan memasukkan persamaan (5.4) ke dalam persamaan (5.1) akan didapat:
n i X f X a n j i i j ij , 1,2,..., 1 = ∀ = +
∑
= ...(5.5)Dalam notasi matriks, persamaan (5.5) dapat ditulis sebagai berikut:
AX + f = X ...(5.6) dimana aij ∈ Anxn, fi ∈ fnx1, dan Xi ∈ Xnx1.
Dengan memanipulasi persamaan (5.6) didapat hubungan dasar dari Tabel I-O: (I-A)-1 f = X ...(5.7) dimana (1-A)-1 dinamakan sebagai matriks kebalikan dari Leontief. Matriks ini mengandung informasi penting tentang bagaimana kenaikan produksi dari suatu sektor akan menyebabkan berkembangnya sektor-sektor lainnya. Matriks
kebalikan Leontief menerangkan seluruh dampak dari perubahan produksi suatu sektor terhadap total produksi sektor-sektor lainnya ke dalam koefisien-koefisien yang disebut sebagai multiplier (αij). Multiplier ini adalah angka-angka yang ter-dapat dalam matriks (I-A)-1.
Dengan menggunakan unsur matriks kebalikan Leontief tersebut di atas, maka dapat dihitung indeks keterkaitan antar sektor dalam suatu perekonomian. Terdapat dua bentuk keterkaitan yaitu keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage).
Keterkaitan ke depan diartikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk mendorong pertumbuhan produksi sektor-sektor lain yang memakai input dari sektor ini. Rumus yang digunakan untuk menghitung indeks keterkaitan ke depan adalah:
∑∑
∑
= = = = n i n j ij n j ij i n FL 1 1 1 α α ...(5.8)dimana: FLi = indeks keterkaitan ke depan (forward linkage) sektor i αij = unsur matriks kebalikan Leontief
Sektor i dikatakan mempunyai keterkaitan ke depan yang tinggi apabila nilai FLi lebih besar dari satu.
Keterkaitan ke belakang diartikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk meningkatkan pertumbuhan sektor/industri hulunya. Rumus yang digunakan untuk menghitung indeks keterkaitan ke belakang adalah:
∑ ∑
∑
= = = = n i n j ij n i ij j n BL 1 1 1 α α ...(5.9)dimana: BLj = indeks keterkaitan ke belakang (backward linkage) sektor j αij = unsur matriks kebalikan Leontief
Sektor j dikatakan mempunyai keterkaitan ke belakang yang tinggi apabila BLj mempunyai nilai lebih besar dari satu.
Berdasarkan rumus pada persamaan (5.8) dan persamaan (5.9) tersebut di atas, maka dapat dihitung indeks keterkaitan ke depan dan keterkaitan ke belakang dari 38 sektor ekonomi yang diteliti seperti yang disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Indeks Keterkaitan ke Depan dan ke Belakang Sektor Ekonomi yang Diteliti
No. Sektor Ekonomi yang Diteliti
Indeks Keterkaitan ke Depan Indeks Keterkaitan ke Belakang 1 Padi 1.26 0.73 2 Kedelai 0.64 0.65 3 Jagung 0.70 0.73 4 Ubi kayu 0.59 0.63
5 Sayur-sayuran dan buah-buahan 0.61 0.66
6 Tanaman bahan makanan lainnya 0.78 0.64
7 Karet 0.77 0.86 8 Tebu 0.94 0.86 9 Kelapa 0.63 0.77 10 Kelapa sawit 0.78 0.93 11 Tembakau 0.60 1.17 12 Kopi 0.58 0.98 13 T e h 0.57 0.75 14 Kakao 0.59 0.83
15 Tanaman perkebunan lainnya 0.67 0.80
16 Tanaman lainnya 0.90 0.83
17 Peternakan 1.18 1.16
18 Kehutanan 0.74 0.77
19 Perikanan 0.87 0.81
20 Pertambangan 1.67 0.76
21 Industri pengolahan hasil peternakan 0.62 1.32 22 Industri pengolahan hasil perikanan 0.71 1.32
23 Industri minyak dan lemak 0.68 1.19
24 Beras (Industri penggilingan padi) 0.65 1.20
25 Industri tepung segala jenis 1.04 1.33
26 Industri gula 0.59 1.25
Tabel 11. Lanjutan
No. Sektor Ekonomi yang Diteliti
Indeks Keterkaitan ke Depan Indeks Keterkaitan ke Belakang
28 Industri bambu, kayu dan rotan 0.73 1.16
29 Industri pupuk dan pestisida 1.49 1.38
30 Industri pengolahan karet 0.78 1.39
31 Industri lainnya 4.65 1.27
32 Listrik, gas dan air bersih 0.88 1.28
33 Bangunan 1.19 1.24
34 Perdagangan, hotel dan restoran 2.60 1.05
35 Jasa transportasi 1.64 1.33
36 Lembaga keuangan 1.09 0.86
37 Pemerintahan umum dan pertahanan 0.58 1.03
38 Jasa lainnya 1.36 1.07
Sumber: Diolah dari Tabel I-O tahun 2003 (BPS, 2004).
Pada Tabel 11 nampak bahwa sebagian besar sektor pertanian mempunyai keterkaitan ke depan yang rendah, kecuali untuk sektor padi dan sektor peter-nakan. Hal ini dapat dilihat dari nilai indeks keterkaitan ke depan yang lebih kecil dari satu. Demikian juga halnya dengan sektor industri, dimana sebagian besar sektor industri mempunyai keterkaitan ke depan yang rendah, kecuali pada indus-tri tepung segala jenis, indusindus-tri pupuk dan pestisida, dan indusindus-tri lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar sektor pertanian dan sektor industri mem-punyai kemampuan yang relatif rendah dalam mendorong pertumbuhan sektor-sektor lain yang memakai input sektor-sektor yang bersangkutan. Sementara itu, sektor-sektor lembaga keuangan mempunyai keterkaitan ke depan yang tinggi, yang di-tunjukkan oleh nilai indeks keterkaitan ke depan yang lebih besar dari satu.
Sebagian besar sektor pertanian juga mempunyai indeks keterkaitan ke belakang yang rendah, kecuali sektor tembakau dan sektor peternakan. Demikian juga halnya untuk sektor lembaga keuangan, dimana sektor ini mempunyai indeks keterkaitan ke belakang yang lebih kecil dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar sektor pertanian dan sektor lembaga keuangan mempunyai ke-mampuan yang relatif rendah dalam menumbuhkan sektor/industri hulunya. Kondisi sebaliknya terjadi pada sektor industri, dimana seluruh sektor industri mempunyai keterkaitan ke belakang yang tinggi, yang ditunjukkan oleh nilai indeks keterkaitan ke belakang yang lebih besar dari satu. Hal ini berarti sektor industri mempunyai kemampuan yang besar dalam menumbuhkan sektor/industri hulunya.
Keterkaitan antar sektor ekonomi juga dapat dilihat dari besarnya pangsa input antara yang digunakan. Keterkaitan ke depan dapat dilihat dari besarnya pangsa input antara sektor yang bersangkutan yang digunakan oleh sektor lain dalam proses produksinya. Sebaliknya, keterkaitan ke belakang dapat dilihat dari pangsa input antara sektor lain yang digunakan oleh sektor yang bersangkutan. Pangsa input antara sektor ekonomi yang diteliti secara lengkap disajikan pada Lampiran 1.
5.2. Sistem Neraca Sosial Ekonomi
Badan Pusat Statistik (BPS) secara periodik mengeluarkan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM) untuk Indonesia. SNSE menyediakan informasi mengenai keadaan sosial-ekonomi makro Indone-sia, yang tidak hanya meliputi informasi Tabel I-O tetapi juga informasi mengenai distribusi pendapatan untuk semua faktor produksi, pendapatan rumah tangga, dan pola pengeluaran rumah tangga (BPS, 2005). Dibandingkan dengan Tabel I-O standar, sebuah Tabel SNSE tidak hanya mengidentifikasi struktur produksi tetapi juga bermanfaat dalam menjelaskan distribusi pendapatan, tenaga kerja, dan aku-mulasi modal (Jemio dan Jansen, 1993).
Pada Tabel SNSE, kolom-kolom menunjukkan pendapatan yang diperoleh masing-masing faktor produksi, institusi, sektor produksi, dan sektor lainnya. Sementara itu baris-baris menunjukkan sisi pengeluaran dari klasifikasi sektor ini. Penyederhanaan dari SNSE dapat dilihat pada Tabel 12.
SNSE Indonesia tahun 2003 dikeluarkan dalam dua kelompok sektoral, yaitu versi 23 x 23 dan 102 x 102. Pengelompokan sektor produksi pada SNSE berbeda dengan pengelompokan pada Tabel I-O. Untuk menggabungkan data dari SNSE dan Tabel I-O diperlukan pengelompokkan sektor antar keduanya (Oktaviani, 2000). Pengelompokan sektor dalam penelitian, Tabel I-O 2003 dan SNSE 2003 disajikan pada Tabel 13.
Tabel 12. Tabel SNSE Secara Sederhana
P E N G E L U A R A N
1 2 3 4 5
Neraca Lainnya Faktor Produksi Institusi termasuk
Rumah Tangga
Aktivitas Produksi
Neraca Modal Luar Negeri
Total 1 Faktor Produksi Distribusi Pendapatan Faktor Penerimaan Faktor Produksi 2 Institusi termasuk Rumah Tangga Distribusi Pendapatan terhadap RT dan Institusi Lainnya
Transfer, Pajak dan Subsidi Penerimaan Institusi dari Luar Negeri Pendapatan Institusi 3 Aktivitas Produksi Permintaan Barang dan Jasa Institusi
Permintaan antar
Industri Formasi Modal Ekspor
Pendapatan Kotor
Neraca Modal Tabungan Institusi Tabungan
Agregat 4
Luar Negeri Impor Barang dan
Jasa Institusi Aktivitas Produksi Impor Barang Impor pada Barang Investasi Total Pengeluaran dari Luar Negeri P E N E R I M A A N 5 Total Pengeluaran Faktor Produksi Pengeluaran
Institusi Output Kotor
Aggregate Investasi Total Penerimaan dari Luar Negeri Sumber: Thorbecke (1985) 151
Tabel 13. Pengelompokan Sektor Ekonomi yang Diteliti dari Tabel Input-Output Tahun 2003 dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi Tahun 2003
No. Sektor ekonomi yang diteliti (38 Sektor) I-O 2003 (72 Sektor) SNSE 2003 (23 Sektor) 1. Padi 1 1 2. Kedelai 2 1 3. Jagung 4 1 4. Ubi kayu 5 1
5. Sayur-sayuran dan buah-buahan 7 1
6. Tanaman bahan makanan lainnya 3, 6, 8 1
7. Karet 9 2 8. Tebu 10 2 9. Kelapa 11 2 10. Kelapa sawit 12 2 11. Tembakau 13 2 12. Kopi 14 2 13. Teh 15 2 14. Kakao 18 2
15. Tanaman perkebunan lainnya 16-17, 19 2
16. Tanaman lainnya 20 2
17. Peternakan 21-23 3
18. Kehutanan 24-25 4
19. Perikanan 26 5
20. Pertambangan 27-29 6, 7
21. Industri pengolahan hasil peternakan 30 8 22. Industri pengolahan hasil perikanan 31 8
23. Industri minyak dan lemak 33 8
24. Beras (Industri penggilingan padi) 34 8
25. Industri tepung segala jenis 35 8
26. Industri gula 36 8
27. Industri rokok 39 8
28. Industri bambu, kayu dan rotan 42 10
29. Industri pupuk dan pestisida 44 12
30. Industri pengolahan karet 47 11
31. Industri lainnya 32, 37-38, 40-41,
43, 45-46, 48-56 9, 11
32. Listrik, gas dan air bersih 57 13
33. Bangunan 58, 68 14, 21
34. Perdagangan, hotel dan restoran 59-60 15, 16, 17
35. Jasa transportasi 61-65 18, 19
36. Lembaga keuangan 67 20
37. Pemerintahan umum dan pertahanan 69 22
5.3. Klasifikasi Rumah Tangga
Dalam penelitian ini, rumah tangga didisagregasi mengikuti pengelompo-kan pada SNSE 2003 menjadi delapan kelompok rumah tangga berdasarpengelompo-kan lokasi dan jenis pekerjaan, yaitu lima kelompok rumah tangga di perdesaan (rural) dan tiga kelompok rumah tangga di perkotaan (urban).
Lima kelompok rumah tangga perdesaan (rural) tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Rural 1 adalah rumah tangga buruh pertanian di perdesaan. (2) Rural 2 adalah rumah tangga pengusaha pertanian di perdesaan.
(3) Rural 3 adalah rumah tangga bukan pertanian golongan rendah di perdesaan, yaitu pengusaha bebas golongan rendah, tenaga tata usaha (TU), pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, dan buruh kasar. (4) Rural 4 adalah bukan angkatan kerja (BAK) di perdesaan, yang meliputi
bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas di perdesaan.
(5) Rural 5 adalah rumah tangga bukan pertanian golongan atas di perdesaan, meliputi pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, mana-jer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas.
Tiga kelompok rumah tangga perkotaan (urban) adalah sebagai berikut: (1) Urban 1 adalah rumah tangga bukan pertanian golongan bawah di perkotaan,
yang meliputi pengusaha bebas golongan rendah, tenaga TU, pedagang ke-liling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan dan buruh kasar. (2) Urban 2 adalah bukan angkatan kerja (BAK) di perkotaan, meliputi bukan
(3) Urban 3 adalah rumah tangga bukan pertanian golongan atas di perkotaan, seperti pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas.
Pengeluaran delapan kelompok rumah tangga tersebut terhadap masing-masing sektor disajikan pada Tabel 14.
5.4. Klasifikasi Tenaga Kerja
Sebuah model keseimbangan umum membutuhkan informasi mengenai pengeluaran tenaga kerja pada setiap sektor berdasarkan jenis pekerjaan. Klasifi-kasi tenaga kerja yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti kategori yang ditemukan pada Tabel SNSE 2003. Pada tabel tersebut tenaga kerja dikategorikan menjadi 4 kelompok besar yaitu tenaga kerja pertanian, operator, tata usaha dan profesional. Pada penelitian ini, tenaga kerja pertanian dan operator dikelompok-kan lagi menjadi tenaga kerja tidak terdidik (unskilled), sedangdikelompok-kan tata usaha dan profesional dikelompokkan menjadi tenaga kerja terdidik (skilled). Untuk mengetahui upah berdasarkan jenis pekerjaannya dibutuhkan data yang berasal dari data SNSE. Pengeluaran upah tenaga kerja berdasarkan jenis pekerjaan yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 15.
Tabel 14. Pengeluaran Kelompok Rumah Tangga terhadap Sektor-sektor Perekonomian dalam Model CGE Agrindo (Miliar Rupiah)
Kelompok Rumah Tangga Sektor
Rural 1 Rural 2 Rural 3 Rural 4 Rural 5 Urban 1 Urban 2 Urban 3
1. Padi 0 0 0 0 0 0 0 0
2. Kedelai 52 182 100 40 71 162 59 193
3. Jagung 395 1374 760 300 535 1224 447 1 462
4. Ubi kayu 296 1027 568 224 400 915 334 1 093
5. Sayur-sayuran dan buah-buahan 3 577 12 436 6 875 2 712 4 843 11 077 4 041 13 227
6. Tanaman bahan makanan lainnya 718 2 495 1 379 544 972 2 222 811 2 653
7. Karet 0 0 0 0 0 0 0 0 8. Tebu 1 3 1 1 1 2 1 3 9. Kelapa 398 1 385 766 302 539 1 234 450 1 473 10. Kelapa sawit 0 0 0 0 0 0 0 0 11. Tembakau 6 20 11 4 8 18 7 22 12. Kopi 42 148 82 32 58 132 48 157 13. Teh 6 21 12 5 8 19 7 22 14. Kakao 10 36 20 8 14 32 12 38
15. Tanaman perkebunan lainnya 29 102 57 22 40 91 33 109
16. Tanaman lainnya 127 442 244 96 172 393 143 470 17. Peternakan 3 227 11 219 6 202 2 447 4 370 9 994 3645 11 934 18. Kehutanan 111 385 213 84 150 343 125 410 19. Perikanan 2 187 7 602 4 203 1 658 2 961 6 772 2 470 8 087 20. Pertambangan 117 408 226 89 159 364 133 434 155
Tabel 14. Lanjutan
Kelompok Rumah Tangga Sektor
Rural 1 Rural 2 Rural 3 Rural 4 Rural 5 Urban 1 Urban 2 Urban 3
21. Industri pengolahan hasil peternakan 552 1 918 1 060 418 747 1 709 623 2040
22. Industri pengolahan hasil perikanan 1 444 5 019 2 774 1 094 1 955 4 470 1631 5338
23. Industri minyak dan lemak 1 987 6 908 3 819 1 506 2 690 6 153 2244 7347
24. Beras (Industri penggilingan padi) 3 858 13 413 7 415 2 925 5 224 11948 4358 14267
25. Industri tepung segala jenis 1 720 5 979 3 305 1 304 2 329 5326 1943 6359
26. Industri gula 690 2 400 1 327 523 935 2138 780 2553
27. Industri rokok 3 228 11 222 6 204 2 447 4 371 9996 3646 11936
28. Industri bambu, kayu dan rotan 409 1421 786 310 554 1266 462 1512
29. Industri pupuk dan pestisida 86 301 166 66 117 268 98 320
30. Industri pengolahan karet 633 2200 1 216 480 857 1960 715 2340
31. Industri lainnya 20 933 72 776 40 231 15 870 28 345 64826 23647 77410
32. Listrik, gas dan air bersih 1 577 5481 3 030 1 195 2 135 4883 1781 5831
33. Bangunan 4 822 16 765 9 268 3 656 6 530 14934 5447 17833
34. Perdagangan, hotel dan restoran 14 382 50 000 27 641 10 903 19 474 44538 16246 53184
35. Jasa transportasi 6 012 20 901 11 554 4 558 8 141 18618 6791 22232
36. Lembaga keuangan 2 739 9 524 5 265 2 077 3 709 8483 3094 10130
37. Pemerintahan umum dan pertahanan 133 463 256 101 180 413 151 493
38. Jasa lainnya 8 964 31 164 17 228 6 796 12 138 27 760 10 126 33148
Sumber: Badan Pusat Statistik (Diolah dari Tabel I-O, 2003 dan SNSE, 2003)
Tabel 15. Pembayaran Upah Tiap Sektor Berdasarkan Jenis Pekerjaan, Tahun 2003 (Miliar Rupiah)
Sektor Terdidik Tidak Terdidik
1. Padi 8 854.75 49.62
2. Kedelai 714.12 4.00
3. Jagung 2 414.94 13.53
4. Ubi kayu 677.02 3.79
5. Sayur-sayuran dan buah-buahan 12 760.94 71.51 6. Tanaman bahan makanan lainnya 2 754.29 15.43
7. Karet 6 565.34 207.68 8. Tebu 1 500.97 47.48 9. Kelapa 1 593.55 50.41 10. Kelapa sawit 3 606.50 114.08 11. Tembakau 590.85 18.69 12. Kopi 441.25 13.96 13. Teh 242.46 7.67 14. Kakao 263.83 8.35
15. Tanaman perkebunan lainnya 1 237.62 39.15
16. Tanaman lainnya 4 938.99 156.23
17. Peternakan 18 434.90 1 363.17
18. Kehutanan 3 479.93 449.96
19. Perikanan 8 732.53 309.58
20. Pertambangan 12 918.14 6 405.04
21. Industri pengolahan hasil peternakan 756.68 212.52 22. Industri pengolahan hasil perikanan 1 979.81 556.06 23. Industri minyak dan lemak 8501.04 2 387.63 24. Beras (Industri penggilingan padi) 2 389.10 671.01 25. Industri tepung segala jenis 5 491.95 1 542.49
26. Industri gula 532.34 149.51
27. Industri rokok 2 068.50 580.97
28. Industri bambu, kayu dan rotan 8 186.78 637.14 29. Industri pupuk dan pestisida 1 605.98 634.66 30. Industri pengolahan karet 3 512.62 1 413.86
31. Industri lainnya 91 358.91 31 749.02
32. Listrik, gas dan air bersih 2 362.42 2 100.94
33. Bangunan 45 698.41 21 091.18
34. Perdagangan, hotel dan restoran 4 552.89 90 784.44
35. Jasa transportasi 14 648.64 7 707.43
36. Lembaga keuangan 377.77 22 305.42
37. Pemerintahan umum dan pertahanan 2 156.90 5 4078.27
38. Jasa lainnya 14 956.35 75 398.19
5.5. Pendapatan atas Lahan dan Modal
Model CGE-AGRINDO juga membutuhkan informasi mengenai penda-patan atas lahan dan modal per sektor. Informasi mengenai pembagian pen-dapatan atas lahan dan kapital tidak tersedia pada Tabel I-O, melainkan terdapat pada matriks SNSE. Pada SNSE, faktor produksi dibagi menjadi lebih rinci, diantaranya adalah tenaga kerja, lahan, perumahan, dan modal lainnya di daerah perdesaaan dan modal-modal lainnya di sekitar perkotaan, modal swasta, modal pemerintah dan modal asing.
Untuk memperoleh data pendapatan lahan dan modal ini diperlukan pengelompokan sektor antara SNSE dan Tabel I-O yang diaplikasikan untuk men-dapatkan proporsi lahan dan modal pada 38 sektor yang terdapat pada penelitian. Setelah proposi pendapatan lahan dan kapital diperoleh, nilai tersebut dikalikan dengan nilai total dari surplus usaha (sektor 202 pada Tabel I-O) dan biaya depre-siasi (sektor 203 pada Tabel I-O). Pembayaran terhadap faktor produksi lahan dan kapital pada tahun 2003 disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Pendapatan Lahan dan Modal Tahun 2003 (Miliar Rupiah)
Sektor Lahan Modal
1. Padi 23 605.39 26 954.54
2. Kedelai 2 100.07 2 398.03
3. Jagung 7 171.74 8 189.27
4. Ubi kayu 2 333.17 2 664.20
5. Sayur-sayuran dan buah-buahan 20 160.01 23 020.33 6. Tanaman bahan makanan lainnya 8 794.72 10 042.52
7. Karet 2 319.93 1 986.61 8. Tebu 1 388.62 1 189.11 9. Kelapa 3 667.03 3 140.17 10. Kelapa sawit 3 991.79 3 418.26 11. Tembakau 311.71 266.92 12. Kopi 673.94 577.11 13. Teh 224.23 192.01
Tabel 16. Lanjutan
Sektor Lahan Modal
14. Kakao 817.44 699.99
15. Tanaman perkebunan lainnya 3 105.99 2 659.74
16. Tanaman lainnya 4 762.56 4 078.30
17. Peternakan 9 073.32 21 525.91
18. Kehutanan 7 261.08 7 412.91
19. Perikanan 27 540.95 8 883.55
20. Pertambangan 0.00 148 129.58
21. Industri pengolahan hasil peternakan 0.00 2 811.11 22. Industri pengolahan hasil perikanan 0.00 7 355.15
23. Industri minyak dan lemak 0.00 14 351.65
24. Beras (Industri penggilingan padi) 0.00 8 168.61 25. Industri tepung segala jenis 0.00 14 500.32
26. Industri gula 0.00 1 494.37
27. Industri rokok 0.00 6 409.19
28. Industri bambu, kayu dan rotan 0.00 21 353.05 29. Industri pupuk dan pestisida 0.00 4 455.22
30. Industri pengolahan karet 0.00 8 294.15
31.Industri lainnya 0.00 272 894.19
32. Listrik, gas dan air bersih 0.00 17 709.72
33. Bangunan 0.00 119 625.04
34. Perdagangan, hotel dan restoran 0.00 221 927.69
35. Jasa transportasi 0.00 53 784.80
36. Lembaga keuangan 0.00 66 238.34
37. Pemerintahan umum dan pertahanan 0.00 6 959.26
38. Jasa lainnya 0.00 7 9541.38
Sumber: Badan Pusat Statistik (Diolah dari Tabel I-O, 2003 dan SNSE, 2003)
5.6. Penyusunan Matriks-Matriks Pajak
Data pajak yang diperlukan dalam model keseimbangan umum adalah pajak pendapatan pada setiap sektor berdasarkan sumber dan pengguna. Akan tetapi belum ada publikasi mengenai pajak pendapatan pada setiap sektor. Beberapa data perpajakan memang telah diterbitkan oleh Badan Pusat Statistisk dan Bank Indonesia dalam laporannya, tetapi data tersebut tidak meliputi pajak pendapatan per sektor.
Sistem perpajakan di Indonesia meliputi pajak penghasilan, pajak per-tambahan nilai (PPN) barang mewah, pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, cukai, bea masuk, pajak/pungutan ekspor, dan pajak lainnya. Besarnya penerimaan pemerintah dari pajak tersebut disajikan pada Tabel 17.
Table 17. Penerimaan Perpajakan Pemerintah, Tahun 2003
Tipe Penerimaan Perpajakan
Nilai (Miliar Rupiah)
Pangsa (%)
1. Pajak Dalam Negeri 241 692.20 95.12
a. Pajak Penghasilan 120 924.80 47.59
b. Pajak Pertambahan Nilai 80 789.90 31.80
c. Pajak Bumi dan Bangunan 7 523.60 2.96
d. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 2 401.70 0.95
e. Cukai 27 945.60 11.00
f. Pajak Lainnya 2 106.60 0.83
2. Pajak Perdagangan Internasional 12 397.80 4.88
a. Bea Masuk 8 022.80 3.16
b. Pajak/Pungutan Ekspor 4.375.00 1.72
Total Penerimaan Perpajakan 254 090.00 100.00
Sumber: Bank Indonesia (2004)
Nilai pajak berdasarkan sektor (komoditas) diperlukan sebagai data dasar pada model keseimbangan umum. Data ini diturunkan dari pajak tidak langsung yang terdapat pada Tabel I-O. Di sini diasumsikan bahwa satu industri hanya memproduksi satu komoditas, sehingga pajak berbasiskan industri sama dengan pajak berbasiskan komoditas.
Pembayaran pajak tidak langsung dan permintaan komoditas oleh peng-guna dihitung berdasarkan nilai yang terdapat pada matriks pajak dan nilai dasar dari pembelian oleh setiap pengguna. Asumsi yang digunakan adalah bahwa ting-kat pajak tidak langsung yang dikenakan pada setiap komoditas yang dibeli oleh
pengguna adalah sama. Dengan demikian besarnya pajak tidak langsung pada komoditas domestik dapat dihitung berdasarkan rumus:
DomTaxRc = DomTaxc
Salesc c ∈COM ………...…..…………..(5.10) dimana:
DomTaxc = pajak tidak langsung pada setiap komoditas. Salesc = total pembelian komoditas c oleh setiap pengguna
Total pembelian diperoleh dengan cara menjumlahkan pembelian komoditas pada semua pengguna pada matriks absorpsi (penyerapan).
Besarnya penarikan pajak domestik tidak langsung dari setiap pengguna berdasarkan komoditas dapat dihitung berdasarkan rumus:
TaxRe vcisk = VBAScisk * DomTaxRc ...(5.11)
c ∈COM,i ∈ IND, k ∈USER,s = DOM
dimana:
VBAScisk = Nilai dasar komoditas domestik c (dinilai berdasarkan pada
harga di tingkat produsen) oleh pengguna k seperti yang terdapat pada Tabel I-O.
Pada komoditas impor, pajak penjualan impor komoditas c dapat dihitung berdasarkan: Im pTaxR c = Im pTax c Vimpc ...(5.12) dimana: Im pTax
c = Pajak penjualan impor berdasarkan komoditas
Vimpc = Total nilai dasar impor barang c oleh setiap pengguna
Selanjutnya, pendapatan dari pajak impor pada setiap pengguna berdasar-kan komoditas dapat dihitung dengan menggunaberdasar-kan rumus :
Im pTax Re v cis k = VBAS cis k * Im pTaxR c………...…….(5.13) c ∈COM,i ∈ IND, k ∈USER, s = IMP
5.7. Elastisitas dan Parameter Lain
Selain data dasar yang telah dikemukan di atas, model keseimbangan umum juga membutuhkan data parameter elastisitas dan beberapa parameter behavioural. Parameter elastisitas yang digunakan dalam model ini adalah elas-tisitas Armington, elaselas-tisitas substitusi tenaga kerja, elaselas-tisitas substitusi untuk input primer, elastisitas permintaan ekspor dan elastisitas pengeluaran. Parameter lain yang diperlukan adalah parameter yang berhubungan dengan investasi. Idealnya parameter-parameter tersebut diperoleh dari data time series yang kemu-dian diestimasi dengan menggunakan alat analisis ekonometrika. Namun demi-kian karena adanya keterbatasan data di lapangan, menyebabkan sebagian besar dari nilai parameter tersebut diperoleh dari hasil studi terdahulu, baik studi yang dilakukan di Indonesia maupun studi yang dilalukan di negara lain yang kemudian diaplikasikan pada model Indonesia. Berikut akan dijelaskan masing-masing be-saran parameter elastisitas dan parameter lainnya yang digunakan dalam model.
(1) Elastisitas Armington
Armington telah mengemukakan teori mengenai permintaan barang dalam aktivitas perdagangan internasional. Dalam teori yang dikembangkannya, Armington memperkenalkan asumsi bahwa produk yang diperdagangkan secara internasional berbeda berdasarkan lokasi produksinya. Armington lebih jauh mengasumsikan bahwa dalam suatu negara, setiap industri hanya menghasilkan satu produk dan bahwa produk ini berbeda dari produk industri yang sama dari negara lain. Dari sudut pandang konsumen, produk suatu industri yang berasal dari berbagai negara merupakan sekelompok barang yang dapat saling bersubstitusi (Lloyd dan Zhang, 2005). Tingkat substitusi di antara barang yang
dihasilkan oleh industri domestik dan industri di negara lain besifat tidak sem-purna (imperfect of substitution) (Kapuscinski dan Warr, 1999). Derajat substitusi di antara kedua barang tersebut selanjutnya dikenal secara luas sebagai elastisitas substitusi Armington atau disingkat elastisitas Armington.
Asumsi Armington terhadap produk yang terdeferensiasi secara nasional telah diadopsi secara luas dalam model CGE untuk mendefenisikan permintaan barang-barang domestik dan barang-barang impor. Dalam penelitian ini, nilai elastisitas Armington untuk tiap komoditas mengikuti model DyREC yang dikembangkan oleh Oktaviani et al. (2007), dimana elastisitas Armington di-estimasi dengan menggunakan data time series yang tersedia. Untuk meng-estimasi elastisitas Armington diperlukan data volume dan harga barang impor serta data produksi dan harga barang domestik. Selanjutnya data ini dianalisis dengan model logaritma ganda (DLM) dan model penyesuaian parsial (PAM). Nilai parameter elastisitas tersebut disajikan pada Tabel 18.
(2) Elastisitas Permintaan Ekspor
Elastisitas permintaan ekspor menunjukkan respon permintaan komoditas ekspor terhadap perubahan harganya di pasar internasional. Pada perekonomian internasional, Indonesia diasumsikan sebagai negara kecil, sehingga ekspor Indonesia tidak akan mempengaruhi harga dunia. Dalam penelitian ini, nilai elastisitas permintaan ekspor mengikuti model DyREC yang dikembangkan oleh Oktaviani et al. (2007), yang diestimasi dengan menggunakan data volume dan nilai ekspor. Elastisitas permintaan ekspor masing-masing sektor/komoditas disa-jikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Parameter Elastisitas yang Digunakan dalam Model Elastisitas Sektor/Komoditas Armington Permintaan Ekspor Substitusi Input Primer Substitusi TK 1. Padi 4.87 -1.40 0.71 0.50 2. Kedelai 4.87 -1.40 0.71 0.50 3. Jagung 4.87 -1.40 0.71 0.50 4. Ubi kayu 4.87 -1.40 0.71 0.50
5. Sayur-sayuran dan
buah-buahan 4.87 -1.40 0.71 0.50
6. Tanaman bahan makanan
lainnya 4.87 -1.40 0.71 0.50 7. Karet 1.74 -0.98 0.71 0.50 8. Tebu 1.74 -0.98 0.71 0.50 9. Kelapa 1.74 -0.98 0.71 0.50 10. Kelapa sawit 1.74 -0.98 0.71 0.50 11. Tembakau 1.74 -0.98 0.71 0.50 12. Kopi 1.74 -0.98 0.71 0.50 13. Teh. 1.74 -0.98 0.71 0.50 14. Kakao 1.74 -0.98 0.71 0.50
15. Tanaman perkebunan lainnya 1.74 -0.98 0.71 0.50
16. Tanaman lainnya 4.87 -1.40 0.71 0.50
17. Peternakan 0.06 -0.96 0.71 0.50
18. Kehutanan 1.79 -0.36 0.71 0.50
19. Perikanan 0.06 -1.11 0.71 0.50
20. Pertambangan 1.20 -0.58 1.21 0.44
21. Industri pengolahan hasil
peternakan 0.59 -1.39 1.21 0.04
22. Industri pengolahan hasil
perikanan 0.59 -1.39 1.21 0.04
23. Industri minyak dan lemak 0.59 -1.39 1.21 0.04 24. Beras (Industri penggilingan
padi) 0.59 -1.39 1.21 0.04
25. Industri tepung segala jenis 0.59 -1.39 1.21 0.04
26. Industri gula 0.59 -1.39 1.21 0.04
27. Industri rokok 0.59 -1.39 1.21 0.04
28. Industri bambu, kayu dan
rotan 1.05 -1.19 1.21 0.04
29. Industri pupuk dan pestisida 0.53 -0.13 1.21 0.04 30. Industri pengolahan karet 0.53 -0.13 1.21 0.04
31. Industri lainnya 0.72 -0.56 1.21 0.04
Tabel 18. Lanjutan Elastisitas Sektor/Komoditas Armington Permintaan Ekspor Substitusi Input Primer Substitusi TK 33. Bangunan 1.90 -3.78 0.25 0.20
34. Perdag., hotel dan restoran 1.90 -3.79 0.76 0.50
35. Jasa transportasi 1.90 -3.78 1.47 0.07
36. Lembaga keuangan 1.90 -3.78 0.34 0.50
37. Pemerintahan umum dan
pertahanan 1.90 -3.79 0.34 0.50
38. Jasa lainnya 1.90 -3.79 0.34 0.50
Sumber: Oktaviani et al. (2007, dimodifikasi).
(3) Elastisitas Substitusi Input Primer
Elastisitas substitusi input primer menunjukkan bagaimana respon dari setiap input pada setiap sektor akibat perubahan harga input. Pada fungsi pro-duksi CES, faktor primer disubstitusi sesamanya dengan elastisitas substitusi yang konstan. Nilai yang sama juga diberlakukan untuk semua faktor yang saling ber-pasangan. Biasanya nilai yang digunakan untuk elastisitas ini adalah 0.5. Kisaran nilai 0.5 tersebut telah digunakan dalam model ORANI, ORANI-F dan ORANI-G pada perekonomian Australia (Dixon et al., 1982; Horridge et al., 1993; Horridge et al., 1997). Penentuan nilai elastisitas substitusi input primer dalam penelitian ini mengikuti model DyREC yang dikembangkan oleh Oktaviani et al. (2007). Adapun nilai elastisitas substitusi input primer masing-masing sektor/komoditas disajikan pada Tabel 18.
(4) Elastisitas Substitusi Tenaga Kerja
Nilai elastisitas substitusi tenaga kerja menunjukkan respon dari peru-bahan tenaga kerja pada berbagai jenis pekerjaan akibat adanya peruperu-bahan upah. Penelitian khusus yang telah dilakukan untuk memperkirakan besaran nilai
elastisitas substitusi antar pekerjaan di Indonesia cukup sulit untuk ditemukan. Sebagian besar studi yang menggunakan model CGE di Indonesia mengadopsinya dari studi-studi sebelumnya untuk negara lain. Pada konstruksi data dasar model INDOF misalnya, Oktaviani (2000) menggunakan angka 0.5 untuk seluruh sektor penelitiaannya. Angka ini diperoleh dari studi Horridge et al. (1993) untuk model CGE perekonomian Australia. Angka yang sama juga telah digunakan oleh Buetre (1996) untuk model perekonomian Philippina. Oleh karena itu, penentuan nilai elastisitas substitusi antar jenis pekerjaan di Indonesia yang digunakan pada model ini mengikuti metode yang digunakan oleh Oktaviani et al. (2000). Elastisitas substitisi tenaga kerja pada masing-masing sektor yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 18.
(5) Elastisitas Pengeluaran
Seperti yang pernah dikemukakan sebelumnya, bahwa penelitian ini men-coba untuk menangkap bagaimana dampak peningkatan produktivitas industri pertanian terhadap pendapatan rumah tangga. Oleh sebab itu, rumah tangga dalam penelitian ini dibagi ke dalam delapan kelompok pendapatan. Pengelom-pokan tersebut mengikuti pengelomPengelom-pokan SNSE 2003. Dengan demikian elas-tisitas pengeluaran dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan jenis rumah tangga. Besaran nilai elastisitas pengeluaran masing-masing rumah tangga ber-dasarkan sektor mengikuti nilai yang terdapat pada SUSENAS tahun 2002. Adapun besaran nilai tersebut disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Parameter Elastisitas Pengeluaran Rumah Tangga yang digunakan dalam Model
Sektor Rural1 Rural2 Rural3 Rural4 Rural5 Urban1 Urban2 Urban3 1 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 2 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 3 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 4 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 5 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 6 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 7 0.855 0.949 0.885 0.896 0.956 0.693 0.677 0.671 8 0.855 0.949 0.885 0.896 0.956 0.693 0.677 0.671 9 0.855 0.949 0.885 0.896 0.956 0.693 0.677 0.671 10 0.855 0.949 0.885 0.896 0.956 0.693 0.677 0.671 11 0.855 0.949 0.885 0.896 0.956 0.693 0.677 0.671 12 0.855 0.949 0.885 0.896 0.956 0.693 0.677 0.671 13 0.855 0.949 0.885 0.896 0.956 0.693 0.677 0.671 14 0.855 0.949 0.885 0.896 0.956 0.693 0.677 0.671 15 0.855 0.949 0.885 0.896 0.956 0.693 0.677 0.671 16 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 17 1.770 1.965 1.832 1.854 1.979 1.839 1.796 1.780 18 0.536 0.595 0.554 0.561 0.599 0.943 0.921 0.913 19 0.990 0.990 0.990 0.990 0.990 0.990 0.990 0.990 20 0.536 0.595 0.554 0.561 0.599 0.943 0.921 0.913 21 0.690 0.765 0.713 0.722 0.771 1.241 1.212 1.201 22 0.690 0.765 0.713 0.722 0.771 1.241 1.212 1.201 23 0.664 0.737 0.687 0.695 0.742 0.656 0.640 0.635 24 0.690 0.765 0.713 0.722 0.771 1.241 1.212 1.201 25 0.690 0.765 0.713 0.722 0.771 1.241 1.212 1.201 26 0.690 0.765 0.713 0.722 0.771 1.241 1.212 1.201 27 0.664 0.737 0.687 0.695 0.742 0.656 0.640 0.635 28 1.107 1.229 1.145 1.159 1.237 0.831 0.811 0.804 29 0.664 0.737 0.687 0.695 0.742 0.656 0.640 0.635 30 0.664 0.737 0.687 0.695 0.742 0.656 0.640 0.635 31 0.664 0.737 0.687 0.695 0.742 0.656 0.640 0.635 32 0.536 0.595 0.554 0.561 0.599 0.943 0.921 0.913 33 0.690 0.765 0.713 0.722 0.771 1.241 1.212 1.201 34 0.987 1.095 1.021 1.033 1.103 0.854 0.834 0.827 35 0.949 1.053 0.982 0.994 1.061 1.294 1.263 1.253 36 0.664 0.737 0.687 0.695 0.742 0.656 0.640 0.635 37 0.804 0.892 0.832 0.841 0.898 0.955 0.933 0.925 38 1.309 1.452 1.354 1.370 1.463 1.052 1.027 1.018 Sumber: SUSENAS tahun 2002
(6) Elastisitas Upah dan Trend Tenaga Kerja
Sebuah model recursive dynamic membutuhkan data elastisitas upah dan data aktual/trend tenaga kerja. Sayangnya data tersebut tidak tersedia di Indo-nesia, sehingga nilai-nilai tersebut diambil dari nilai yang digunakan pada model DyREC (Oktaviani et al., 2007), yaitu sebesar 0.80 untuk elastisitas tenaga kerja dan 0.0097 untuk aktual/trend tenaga kerja.
(7) Parameter Investasi
Parameter investasi (BETA_Ri) menunjukkan hubungan antara tingkat pengembalian modal dan modal di tiap industri. Dalam penelitian ini parameter investasi yang digunakan adalah 5, mengikuti parameter investasi yang terdapat pada model ORANI-F (Horridge et al., 1993).
(8) Tingkat Depresiasi Faktor dan Nilai Depresiasi
Tingkat depresiasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 10 persen. Nilai tersebut mengikuti nilai yang terdapat pada model ORANI-F (Horridge et al., 1993). Adapun besaran nilai untuk depresiasi faktor sebesar 0.9 (diperoleh dari 1 dikurangi tingkat depresiasi). Nilai yang sama juga digunakan oleh Buetre (1996) pada model Philipina.
(9) Rasio Investasi Modal
Rasio investasi modal yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 0.1375. Nilai ini diperoleh dari beberapa alternatif nilai rasio investasi modal yang digunakan dalam memperbaharui data dasar tahun 1995-2000 (Susanti, 2002). Dengan menggunakan angka 0.1375, persentase perubahan GDP Riil dan investasi hampir sama dengan perubahan aktualnya.
(10) Stok Kapital pada Setiap Industri
Stok kapital awal pada setiap industri dibutuhkan untuk menggambarkan
keseimbangan awal perekonomian. Dalam model keseimbangan umum data stok kapital awal digunakan untuk menentukan nilai tingkat pertumbuhan (growth rate), tingkat pengembalian kotor (gross rate of return) dan stok kapital pada periode yang akan datang di setiap industri. Namun demikian data stok kapital awal di setiap industri tidak tersedia pada Tabel I-O, sehingga nilai tersebut diperoleh dengan cara mengikuti perhitungan yang digunakan pada penelitian terdahulu.
Secara umum terdapat tiga alternatif yang dapat digunakan untuk menghitung nilai stok kapital awal (Oktaviani, 2000). Ketiga cara perhitungan tersebut disajikan pada Gambar 23.
Gambar 23. Perhitungan nilai Stok Kapital Sumber: Oktaviani (2000)
& Nilai
depresiasi
Tingkat depresiasi Nilai stok kapital
Rasio
investasi-kapital Investasi
Tingkat depresiasi, investasi
Nilai stok kapital periode yang akan datang Tingkat pertumbuhan Nilai kapital Tingkat depresiasi Investasi Tingkat pengembalian
kotor (Gross rate of return) &
& &
Keterangan Data is
pre-specified Data tersedia, kecuali yang berhuruf tebal bold letter
Data dihitung
Baris pertama pada Gambar 23 menunjukkan bahwa nilai stok kapital dapat dihitung berdasarkan nilai tingkat depresiasi dan nilai depresiasi pada setiap industri. Adapun rumus untuk menghitung stok kapital awal adalah:
V0CAPi = VDEPi/(1-DEPi) ………...………....……(5.14) dimana:
V0CAPi = Nilai stok kapital awal VDEPi = Nilai depresiasi 1-DEPi = Tingkat depresiasi
Baris kedua pada Gambar 23 menunjukkan cara perhitungan stok kapital awal berdasarkan nilai rasio investasi kapital dan data investasi. Melalui cara ini nilai kapital stok awal dapat diperoleh dengan mengikuti rumus:
V0CAPi = V2TOTi/R_Ti ...(5.15) dimana:
V0CAPi = Nilai stok kapital awal
V2TOTi = Nilai investasi pada setiap industri
R_Ti = Rasio investasi kapital pada setiap industri
Dari persamaan (5.14) dan (5.15), persamaan yang paling mungkin untuk diterapkan pada kasus Indonesia adalah persamaan (5.15), dimana pada per-samaan ini diasumsikan bahwa nilai rasio investasi kapital pada setiap industri sama (Oktaviani, 2000). Persamaan (5.14) tidak digunakan dalam penelitian ini, walaupun data depresiasi pada setiap industri tersedia pada Tabel I-O. Tidak di-gunakannya cara ini karena hasil yang diperoleh dari persamaan (5.14) terutama pada nilai pertumbuhan kapital tidak realistis (Oktaviani, 2000).
(11) Tingkat Pengembalian Kotor (The Gross Rate of Return)
Perhitungan nilai tingkat pengembalian kotor (termasuk risiko) pada setiap industri dalam penelitian ini mengikuti cara perhitungan yang telah dilakukan oleh Oktaviani (2000) dalam model INDOF. Adapun rumus yang digunakan adalah:
dimana:
GROSSRRi = Tingkat pengembalian kotor, termasuk risiko, pada industri i
V1CAPi = Sewa kapital pada industri i
V2TOTi = Total kapital yang dihasilkan setiap industri X1GROWIi = Pertumbuhan kapital pada setiap industri DEPi = Depresiasi faktor pada industri i
Nilai X1GROWIi dan V0CAPFi dihitung berdasarkan rumus: X1GROWI(i)=V0CAPF(i)/V0CAP(i)
V0CAPF(i)=DEP(i)*V0CAP(i)+V2TOT(i) ...(5.17)
(12) Trend Investment/Kapital dan Maximum/Trend Investment/Kapital Ratio
Mengingat data investment/kapital tidak tersedia di Indonesia, maka dalam penelitian ini nilai yang digunakan untuk kedua parameter tersebut mengikuti nilai yang terdapat dalam model ORANIGRD pada perekonomian Australia. Nilai trend investment yang digunakan pada model ORANIGRD adalah 0.08 dan nilai maximum/trend investment capital ratio adalah 4.00.
(13) Elastisitas Investasi
Secara teoritis suatu fungsi investasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah suku bunga, risiko usaha, infrastruktur, kebijakan pemerintah, kepastian hukum dan faktor-faktor non ekonomi lainnya. Akan tetapi di Indo-nesia belum ada penelitian mengenai seberapa besar pengaruh dari ketiga faktor tersebut terhadap investasi, sekaligus besaran elastisitasnya.
Nilai elastisitas investasi dalam penelitian ini mengikuti penghitungan nilai elastisitas investasi yang dilakukan oleh Ratnawati et al. (2004) dengan membangun model investasi sebagai fungsi dari suku bunga dalam bentuk model double-log. Nilai elastisitas investasi terhadap suku bunga yang dihasilkan dari
0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 1 18 35 52 69 86 103 120
L og I L og r Lin ear (L og I) Lin ear (Log r)
penghitungan tersebut adalah -8.63. Dari model tersebut terlihat bahwa suku bunga berpengaruh secara nyata terhadap investasi pada taraf nyata 7 persen (α=7%), meskipun nilai R kuadrat yang dihasilkan hanya sebesar 9.4 persen. Kecilnya nilai R kuadrat tersebut disebabkan oleh fluktuasi nilai investasi yang besar sementara fluktuasi suku bunga kecil bahkan cenderung mendatar (Gambar 24). Di samping itu, seperti yang telah dijelaskan di atas, variasi investasi tidak hanya ditentukan oleh suku bunga tetapi juga dipengaruhi oleh variasi faktor-faktor lainnya.
Gambar 24. Trend Investasi dan Suku Bunga di Indonesia tahun 1993-2002 Sumber: Ratnawati et al. (2004).
5.8. Prosedur yang Digunakan untuk Membangun Data Dasar
Model Keseimbangan Umum Agroindustri
Pada penelitian ini prosedur yang digunakan untuk membangun data dasar pada model keseimbangan umum Agroindustri Indonesia (CGE AGRINDO) sebagian besar mengikuti prosedur yang telah dilakukan oleh Oktaviani (2000). Namun demikian ada beberapa modifikasi yang dilakukan, yaitu dalam hal
pemilihan industri dan komoditas, pembagian rumah tangga menjadi beberapa golongan dan jenis tenaga kerja.
Pembangunan data dasar dimulai dengan mencari data Tabel I-O dan SNSE terbaru, yaitu Tabel I-O tahun 2003 dan SNSE tahun 2003. Setelah data tersebut tersedia prosedur berikutnya adalah sebagai berikut:
5.8.1. Membangun Data Dasar
Pada tahap ini dibuat terlebih dahulu file .xls yang kemudian dikonversi menjadi file .csv sebagai raw data model CGE AGRINDO. Dalam file .csv, ukuran matriks, jenis matriks, file header dan nama lengkap dari masing-masing file tersebut harus dibuat secara lengkap dan jelas. Adapun langkah-langkah untuk membuat file .csv adalah sebagai berikut:
1. Menghapus baris jumlah input antara dan nilai tambah kotor yang terdapat pada Tabel I-O, baik pada Tabel I-O total, domestik maupun impor. Dihapuskannya baris ini adalah untuk menghilangkan masalah perhitungan ganda pada nilai input.
2. Menghapus nilai total permintaan antara, total permintaan akhir, total per-mintaan, total impor, margin perdagangan besar, margin perdagangan kecil, biaya transportasi dan margin perdagangan total dan biaya trasportasi total pada kolom yang terdapat pada Tabel I-O (tabel total, domestik dan impor). Dihapuskannya nilai yang terdapat pada matriks permintaan adalah untuk menghilangkan masalah perhitungan ganda, sedangkan dihapuskannya nilai matriks margin dikarenakan nilai-nilai yang terdapat pada matriks tersebut bernilai nol.