• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Adsorpsi

Adsorpsi merupakan suatu proses penyerapan oleh padatan tertentu terhadap zat tertentu yang terjadi pada permukaan zat padat karena adanya gaya tarik atom atau molekul pada permukaan zat padat tanpa meresap kedalam. Proses adsorpsi dapat terjadi karena adanya gaya tarik atom atau molekul pada permukaan padatan yang tidak seimbang. Adanya gaya ini, padatan cenderung menarik molekul-molekul lain yang bersentuhan dengan permukaan padatan, baik fasa gas atau fasa larutan kedalam permukaannya. Akibatnya konsentrasi molekul pada permukaan menjadi lebih besar dari pada dalam fasa gas zat terlarut dalam larutan. Pada adsorpsi interaksi antara adsorben dengan adsorbat hanya terjadi pada permukaan adsorben (Tandy, E .2012).

2.1.1 Jenis – Jenis Adsorpsi

Berdasarkan interaksi molekular antara permukaan adsorben dengan adsorbat, adsorpsi dibagi menjadi 2 yaitu :

a. Adsorpsi Fisika

Adsorpsi fisika terjadi karena adanya gaya Van der Waals. Pada adsorpsi fisika, gaya tarik menarik antara molekul fluida dengan molekul pada permukaan padatan ( Intermolekuler ) lebih kecil dari pada gaya tarik menarik antar molekul fluida tersebut sehingga gaya tarik menarik antara adsorbat dengan permukaan adsorben relatif lemah pada adsorpsi fisika, adsorbat tidak terikat kuat dengan permukaan adsorben sehingga adsorbat dapat bergerak dari suatu bagian

(2)

permukaan ke permukaan lainnya dan pada permukaan yang ditinggalkan oleh adsorbat tersebut dapat digantikan oleh adsorbat lainnya. Keseimbangan antara permukaan padatan dengan molekul fluida biasanya cepat tercapai dan bersifat reversibel. Adsorpsi fisika memiliki kegunaan dalam hal penentuan luas permukaan dan ukuran pori.

b. Adsorpsi Kimia

Adsorpsi kimia terjadi karena adanya ikatan kimia yang terbentuk antara molekul adsorbat dengan permukaan adsorben. Ikatan kimia dapat berupa ikatan Kovalen / Ion. Ikatan yang terbentuk kuat sehingga spesi aslinya tidak dapat ditentukan. Karena kuatnya ikatan kimia yang terbentuk maka adsorbat tidak mudah terdesorpsi. Adsorpsi kimia diawali dengan adsorpsi fisik dimana adsorbat mendekat kepermukaan adsorben melalui gaya Van der Waals / Ikatan Hidrogen kemudian melekat pada permukaan dengan membentuk ikatan kimia yang biasa merupakan ikatan kovalen (Shofa, 2012).

2.1.2 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Adsorpsi

1. Jenis Adsorbat

a) Ukuran molekul adsorbat

Molekul-molekul yang diameternya lebih kecil atau sama dengan diameter pori adsorben maka akan lebih cepat teradsorpsi.

b) Kepolaran zat

Adsorpsi lebih kuat terjadi pada molekul polar dibandingkan dengan molekul nonpolar pada kondisi diameter yang sama.

2. Suhu

Pada saat molekul-molekul adsorbat menempel pada permukaan adsorben terjadi pembebasan sejumlah energi sehingga adsorpsi digolongkan bersifat eksoterm. Oleh karena proses adsorpsi adalah proses eksotermis, maka adsorpsi akan berkurang pada temperatur lebih tinggi. Jika terdapat reaksi antara kontaminan yang teradsorpsi dan permukaan adsorben antara 2 atau lebih

(3)

kontaminan kimia tersebut, maka laju reaksinya akan meningkat pada temperatur yang lebih tinggi.

3. Kelarutan Adsorbat

Jika sebuah molekul harus dipisahkan dari pelarut dan menjadi terikat pada permukaan karbon. Senyawa yang dapat larut mempunyai ikatan yang kuat terhadap pelarutnya sehingga lebih sulit teradsorpsi dari pada senyawa-senyawa yang tidak dapat larut.

4. Karakteristik Adsorben

Ukuran pori dan luas permukaan adsorben merupakan karakteristik penting adsorben. Ukuran pori berhubungan dengan luas permukaan, semakin kecil ukuran pori adsorben maka luas permukaan semakin tinggi, sehingga jumlah molekul yang teradsorpsi akan bertambah. Selain itu kemurnian adsorben juga merupakan karakterisasi penting dimana pada fungsinya adsorben yang lebih murni akan lebih diinginkan karena kemampuan adsorpsi yang lebih baik

(Lestari, F.2009).

5. Pengadukan

Pengadukan mempengaruhi proses adsorpsi. Jika interaksi antara adsorbat dan adsorben meningkat maka adsorpsi yang terjadi semakin cepat.

. 6. pH

pH untuk tempat adsorpsi berlangsung telah dibuktikan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap besar adsorpsi. Adsorpsi dari banyak senyawa-senyawa asam-asam organik didorong oleh pH yang tinggi. pH optimum untuk setiap proses adsorpsi dapat ditentukan (Yuliana, S .2008)

(4)

2.2 Adsorben

Adsorben merupakan bahan yang sangat berpori dan adsorpsi berlangsung terutama pada dinding-dinding pori atau pada letak-letak tertentu didalam partikelnya. Karena pori- porinya biasa kecil maka luas permukaan dalam mencapai beberapa orde besaran lebih besar dari permukaan luar dan bisa sampai 2000 m2/gr. Dalam kebanyakan hal komponen yang diadsorpsi melekat sedemikian kuat sehingga memungkinkan pemisahan komponen itu secara menyeluruh dari fluida tanpa terlalu banyak adsorpsi terhadap komponen lain sehingga memungkinkan adsorbat yang dihasilkan dalam bentuk terkonsentrasi atau hampir murni (Tandy, E. 2012).

2.2.1 Jenis – Jenis Adsorben

a. Adsorben tidak berpori ( Non- Porous Sorbent )

Adsorben tidak berpori dapat diperoleh dengan cara presipitasi deposit kristalin seperti BaSO4 atau penghalusan padatan kristal. Luas permukaan spesifiknya kecil tidak lebih dari 10 m2/g dan umumnya antara 0,1 s/d 1 m2/g. Adsorben yang tidak berpori seperti filter karet dan karbon hitam bergrafit adalah jenis adsorben tidak berpori yang telah mengalami perlakuan khusus sehingga luas permukaannya dapat mencapai ratusan m2/g.

b. Adsorben berpori ( Porous Sorbents )

Luas permukaan spesifik adsorben berpori berkisar antara 100 s/d 1000 m2/g. Biasanya digunakan sebagai penyangga katalis, dehidrator, dan penyeleksi komponen. Adsorben ini umumnya berbentuk granular.

Klasifikasi pori menurut International Union Of Pure and Applied Chemistry ( IUPAC) adalah :

a) Pori – pori berdiameter kecil (Mikropores d < 2 nm ) b) Pori – pori berdiameter sedang ( Mikropores 2 < d <50 nm) c) Pori – pori berdiameter besar ( Makropores d > 50 nm )

(5)

2.2.2 Kriteria Adsorben Untuk Menjadi Adsorben Komersil

Kriteria yang harus dipenuhi suatu adsorben untuk menjadi adsorben komersial adalah :

1. Memiliki permukaan dan unit massa yang besar sehingga kapasitas adsorpsi akan semakin besar pula.

2. Secara alamiah dapat berinteraksi dengan adsorbat pasangan. 3. Ketahanan struktur fisik yang tinggi.

4. Mudah diperoleh, harga tidak mahal, tidak korosif dan tidak beracun. 5. Tidak ada perubahan volume yang berarti selama proses adsorpsi. 6. Mudah dan ekonomis untuk diregenerasi ( Hendra, R. 2008).

Beberapa jenis adsorben berpori telah digunakan secara komersial antara lain silika gel, zeolit, karbon aktif, dan alumina. Seperti pada gambar 2.1 dibawah ini:

silika gel zeolite karbon aktif alumina

Gambar 2.1 Contoh Adsorben Komersial

2.3 Karbon Aktif

Karbon aktif secara komersial diketahui pertama kali karena penggunaannya sebagai Topeng Uap pada perang dunia I. Penerapan secara komersil arang kayu digunakan dalam sebuah pabrik gula di Inggris. Karbon aktif merupakan adsorben terbaik dalam sistem adsorpsi. Ini di karenakan arang aktif memiliki luas permukaan besar dan daya adsorpsi tinggi sehingga pemanfaatannya dapat optimal. Luas permukaan karbon aktif umumnya berkisar antara 300 – 3000 m2/g

(6)

dan ini terkait dengan struktur pori pada karbon aktif tersebut. Karbon aktif adalah material berpori dengan kandungan karbon 87% - 97% dan sisanya berupa hidrogen, oksigen, sulfur, dan material lain. Karbon aktif merupakan karbon yang telah diaktivasi sehingga terjadi pengembangan struktur pori yang bergantung pada metode aktivasi yang digunakan. Struktur pori menyebabkan ukuran molekul teradsorpsi terbatas, sedangkan bila ukuran partikel tidak masalah, kuantitas bahan yang diserap dibatasi oleh luas permukaan karbon aktif ( Austin, 1996).

Perbedaan antara karbon dan karbon aktif adalah pada bagian permukaannya. Bagian permukaan arang masih ditutupi oleh deposit hidrokarbon yang menghalangi keaktifannya, sementara bagian permukaan arang aktif relatif bebas dari deposit dan permukaannya lebih luas serta porinya terbuka sehingga dapat melakukan penyerapan. Kemampuan adsorpsi arang aktif tidak hanya bergantung pada luas permukaannya saja tetapi juga struktur pori-pori arang aktif (Wibowo, S. 2011). Kualitas arang aktif dapat dilihat dari Standar Nasional Indonesia pada tabel 2.1 dibawah ini :

Tabel.2.1 Standar kualitas arang aktif menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 1995

No. Uraian Persyaratan Kualitas

Butiran Serbuk 1 Bagian yang hilang pada Maks.15 Maks.25 Pemanasan 950oC (%)

2 Kadar Air (%) Maks.4,5 Maks.15

3 Kadar abu (%) Maks.2,5 Maks.10

4 Bagian tidak mengarang Min.750 Min.750 5 Daya serap terhadap I2, mg/g Min.80 Min.65 6 Karbon aktif murni (%) Min.25 -

7 Daya serap terhadap benzena (%) Min.60 Min120 8 Daya serap terhadap biru metilen, mg/g 0,45-0,55 0,3-0,35

9 Berat Jenis Curah, 9/ml - 90

10 Lolos mesh 325 (%) 90 -

11 Jarak mesh (%) 80 -

12 Kekerasan (%) Sumber : Anonim,1995

(7)

2.3.1 Jenis – Jenis Karbon Aktif

1. Karbon aktif untuk fasa cair

Karbon aktif untuk fasa cair biasanya berbentuk serbuk dan biasanya dibuat dari bahan yang memiliki berat jenis rendah seperti kayu, batu bara, lignit, dan bahan yang mengandung lignin seperti limbah hasil pertanian. Karbon aktif ini banyak digunakan untuk pemurnian larutan dan penghilangan rasa dan bau pada zat cair misalnya untuk penghilangan polutan berbahaya seperti gas amonia dan logam berbahaya pada proses pengolahan air.

2. Karbon aktif untuk fasa uap

Karbon aktif untuk fasa uap biasanya berbentuk butiran / granula. Karbon aktif jenis ini biasanya dibuat dari bahan yang memiliki berat jenis lebih besar seperti tempurung kelapa, batu bara, cangkang kemiri, dan residu minyak bumi. Karbon aktif jenis ini digunakan dalam adsorpsi gas dan uap misalnya adsorpsi emisi gas hasil pembakaran bahan bakar pada kendaraan seperti CO dan NOx (Shofa, 2012).

2.3.2 Kegunaan Arang Aktif

Terdapat beberapa kegunaan arang aktif yaitu : a. Untuk gas

1. Pemurnian gas

Desulfurisasi, menghilangkan gas racun, bau busuk, asap, menyerap racun. 2. Pengolahan LNG

Desulfurisasi dan penyaringan berbagai bahan mentah dan reaksi gas. 3. Katalisator

Reaksi katalisator atau pengangkut vinil klorida dan vinil asetat. 4. Lain- lain

(8)

b. Untuk zat cair

1. Industri obat dan makanan

Menyaring dan menghilangkan warna, bau, dan rasa yang tidak enak pada makanan.

2. Minuman ringan dan minuman keras

Menghilangkan warna dan bau pada arak / minuman keras dan minuman ringan.

3. Kimia perminyakan

Penyulingan bahan mentah, zat perantara. 4. Pembersih air

Menyaring dan menghilangkan bau, warna dan zat pencemar dalam air sebagai pelindung atau penukar resin dalam penyulingan air.

5. Pembersih air buangan

Mengatur dan membersihkan air buangan dan pencemaran. 6. Penambakan udang dan benur

Pemurnian, menghilangkan bau dan warna. 7. Pelarut yang digunakan kembali

Penarikan kembali berbagai pelarut sisa metanol, etil asetat, dan lain- lain (Kurniati, E. 2008).

2.3.3 Proses Pembuatan Arang Aktif

a. Dehidrasi

Dehidrasi merupakan proses penghilangan air dalam bahan baku karbon aktif dengan tujuan untuk menyempurnakan proses karbonisasi dan dilakukan dengan cara menjemur bahan baku dibawah sinar matahari / memanaskannya dalam oven.

b. Karbonisasi

(9)

1. Pada suhu 100 – 120oC terjadi penguapan air dan sampai suhu 270oC mulai terjadi peruraian selulosa. Distilat mengandung asam organik dan sedikit metanol. Asam cuka terbentuk pada suhu 200 – 270 oC.

2. Pada suhu 270 – 310oC reaksi eksotermik berlangsung dimana terjadi peruraian selulosa secara intensif menjadi larutan pirolignat, gas kayu dan sedikit tar. Asam merupakan asam organik dengan titik didih rendah seperti asam cuka dan metanol sedang gas kayu terdiri dari CO dan CO2.

3. Pada suhu 310 – 500oC terjadi peruraian lignin, dihasilkan lebih banyak tar sedangkan larutan pirolignat menurun, gas CO2 menurun sedangkan gas CO dan CH4 dan H2 meningkat.

4. Pada suhu 500- 1000o C merupakan tahap dari pemurnian arang atau kadar karbon (Sudrajat,1994).

Dari penjelasan diatas didapatkan bahwa pada proses karbonisasi berlangsung terdapat gas-gas yang terbakar seperti CO, CH4 dan H2, Formaldehid, Asam Formiat, dan Asam asetat serta gas-gas yang tidak terbakar seperti CO2, H2O dan tar cair akan dilepaskan (Borman, G, L. 1998).

c. Aktivasi

Proses aktivasi dilakukan untuk meningkatkan luas permukaan dan daya adsorpsi karbon aktif. Pada proses ini terjadi pelepasan hidrokarbon, tar, dan senyawa organik yang melekat pada karbon tersebut. Proses aktivasi terdapat 2 jenis yaitu :

1. Aktivasi Fisika

Pada aktivasi secara fisika, karbon dipanaskan pada suhu sekitar 800 – 1000oC dan dialirkan gas pengoksida seperti uap air, oksigen / CO2. Gas pengoksida akan bereaksi dengan karbon dan melepaskan karbon monoksida dan hidrogen untuk gas pengoksida berupa uap air. Senyawa-senyawa produk samping pun akan terlepas pada proses ini sehingga akan memperluas pori dan meningkatkan daya

(10)

adsorpsi. Klasifikasi karbon dengan uap air dan CO2 terjadi melalui reaksi bersifat endotermis berikut ini :

C + H2O → CO + H2 ( 117 kj/mol) C + CO2 → 2 CO ( 159 kj / mol )

Sedangkan aktivasi fisika dengan oksigen melalui reaksi bersifat eksotermis berikut ini :

C + O2 → CO2 ( -406 kj / mol )

Pada aktivasi fisika terjadi pengurangan massa karbon dalam jumlah yang besar karena adanya pembentukan struktur karbon. Namun pada aktivasi fisika seringkali terjadi kelebihan oksida eksternal sewaktu gas pengoksida berdifusi pada karbon sehingga terjadi pengurangan ukuran adsorben. Selain itu, reaksi sulit dikontrol (Marsh, 2006).

2.Aktivasi kimia

Menurut Ioannidou, O. dan Zabaniotou, A. (2006), proses aktivasi dilakukan dengan menggunakankan bahan kimia sebagai agen pengaktif. Aktivasi arang dilakukan dengan merendam arang kedalam larutan kimia seperti NaCl, ZnCl2, KOH, KCl, H3PO4, dan K2CO3 Sehingga bahan kimia akan meresap dan membuka permukaan arang yang semula tertutup oleh deposit tar dan volume kontraksi pada proses karbonisasi.

Pada proses aktivasi karbon atau arang dipanaskan dengan suhu tinggi dalam sistem tertutup tanpa udara sambil dialiri gas Inert. Saat ini terjadi proses lanjutan pemecahan atau peruraian sisa deposit tar dan senyawa hidrokarbon sisa karbonisasi keluar dari permukaan karbon sebagai akibat gas suhu tinggi dan adanya aliran gas inert, sehingga akan dihasilkan karbon dengan luas permukaan yang cukup luas atau disebut dengan arang aktif (Murat, B. 2012).

(11)

2.4. Kemiri

Tanaman kemiri (Alleurites Moluccana) termasuk suku Euphorbiacea. Ketinggian tanaman dapat mencapai 40 meter dan diameter batang bagian bawah dapat mencapai 1,25 meter. Tanaman kemiri ada yang berumah satu dan ada pula yang berumah dua. Disebut berumah satu jika pada satu pohon terdapat bunga jantan yang mengandung benang sari dan terdapat pula bunga betina yang mengandung putik. Disebut berumah dua jika pada satu pohon hanya terdapat bunga-bunga jantan saja, atau hanya terdapat bunga-bunga betina saja.

Buah kemiri termasuk buah batu, berbentuk bulat telur dan ada bagian yang menonjol kesamping. Daging buahnya kaku dan mengandung 1-2 biji yang diselimuti oleh kulit biji yang keras. Kemiri merupakan salah satu pohon serbaguna yang sudah dibudidayakan secara luas didunia. Tanaman kemiri banyak dibudidayakan diprovinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Kalimantan barat, Kalimantan selatan, Kalimantan timur, Bali , Sulawesi Selatan, Maluku, dan NTT (Sunanto, H. 1994).

2.5 Kegunaan Kemiri

Tanaman kemiri merupakan tanaman industri, sebab produk yang dihasilkan dapat dipakai untuk bahan berbagai barang industri. Kayunya yang ringan dapat digunakan untuk bahan pembuat perabot rumah tangga atau bahan industri lain seperti korek api dan kotak korek api. Batang kemiri juga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan bahan pulp ( bahan pembuatan kertas). Biji kemiri mempunyai tiga bagian, yaitu lapisan tipis pelapis biji, cangkang kemiri, dan biji dalam kemiri. Bagian biji dalam kemiri yang berwarna putih sangat banyak mempunyai manfaat diantaranya adalah sebagai bahan obat-obatan tradisional, sebagai rempah-rempah, dan untuk perawatan rambut khususnya untuk memanjangkan rambut. Didalam biji banyak sekali mengandung kadar minyak, minyak yang diekstrak dari bijinya berguna dalam industri untuk digunakan sebagai bahan campuran cat ( Ketaren, 1986 ).

(12)

Tempurung kemiri biasa dimanfaatkan untuk bahan bakar nyamuk. Berdasarkan penelitian tempurung kemiri dapat dibuat sebagai produk karbon aktif. Tempurung kemiri yang telah lama terpendam di tanah dapat dimanfaatkan sebagai sumber pupuk N, P dan K ( Sinaga. J. 2010 ). Gambar dan komponen kimia tempurung kemiri dapat dilihat pada gambar 2.2 dan tabel 2.2 dibawah ini :

Gambar.2.2 Tempurung kemiri

Tabel 2.2 Komponen kimia tempurung kemiri

No Komponen Kadar (%)

1 Holoselulosa 49,22

2 Pentosa 14,22

3 Lignin 54,46

4 Ekstraktif

- Kelarutan dalam air dingin 1.96 - Kelarutan dalam air panas 6,18 - Kelarutan dalam alkohol : Benzen (1 : 2) 2,69

5 Kelarutan dalam NaOH 1% 17,14

6 Abu 8,73

(13)

Lignin merupakan komponen kimia yang terkandung dalam tempurung kemiri dimana, Lignin merupakan komponen kimia yang dalam tumbuhan yang selalu bergabung dengan selulosa dan bukan merupakan karbohidrat, melainkan didominasi oleh gugus aromatis berupa fenil propana. Didalam struktur jaringan kayu, lignin terutama terdapat dalam lamela tengah dan dinding sel primer.

Zat ekstraktif merupakan komponen kimia non struktural didalam sel organ tumbuhan. Jumlah bahan ekstraktif yang terdapat dalam tumbuhan tergantung pada jenis tumbuhan dan letaknya dalam bagian tumbuhan. Komponen utama dari tempurung kemiri larut dalam air dingin yaitu: karbohidrat, protein, dan garam-garam organik. Komponen kimia yang larut dengan air panas yaitu: tanin, getah gula, bahan pewarna dan pati sedangkan komponen kimia yang larut dalam alkohol benzen yaitu: lilin, lemak, resin, minyak, dan tanin serta komponen lain yang tidak larut dalam eter. Abu merupakan komponen penyusun sel tumbuhan yang tidak larut dalam air / pelarut organik. Kandungan abu tempurung kemiri sangat tinggi yaitu 8,73% (Fengel, D, 1995).

2.6 Karakteristik Arang Aktif Tempurung Kemiri 2.6.1 Rendemen Arang aktif (%)

Rendemen merupakan karakteristik dari proses kualitas arang aktif yang dihasilkan. Dimana tujuan dari rendemen ini untuk mengetahui jumlah arang yang dihasilkan pada saat proses adsorpsi karbonisasi dan proses aktivasi.

Penentuan Rendemen (%) dapat dihitung dengan persamaan 2.3 sebagai berikut :

Rendemen arang aktif (%) = 𝛼𝛼

𝑏𝑏 × 100% (2.3)

Keterangan :

α = Berat sampel sebelum aktivasi (g) b = Berat sampel setelah diaktivasi (g)

(14)

2.6.2 Kadar Air ( %)

Salah satu sifat kimia dari arang aktif yang mempengaruhi kualitas arang aktif yaitu kadar air. Pengujian kadar air dilakukan dengan cara memanaskan arang aktif sebanyak 2 gram pada suhu 110oC selama 3 jam kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang hasilnya. Kadar air dihitung dengan persamaan 2.4 berikut :

Kadar air (%) =

𝑎𝑎−𝑏𝑏

𝑏𝑏

x 100 % (2.4)

Keterangan : α = berat sampel sebelum pemanasan (g) b = berat sampel sesudah pemanasan (g)

2.6.3 Kadar Abu (%)

Kadar abu dilakukan dengan cara memanaskan arang aktif sebanyak 2 gram didalam tanur pada suhu 750oC selama 6 jam lalu didinginkan dalam desikator selama 1 jam kemudian ditimbang. Kadar abu dapat dilihat pada persamaan 2.5 berikut :

Kadar abu (%) =

𝑎𝑎

𝑏𝑏

x 100%

(2.5) Keterangan :

α = berat sisa sampel (g)

b = berat awal sampel (g) ( Nur, R. 2013)

2.6.4 Scaning Electron Microscope (SEM)

Proses pengamatan mikroskopis menggunakan SEM dilakukan pada permukaan sampel dimana mula – mula sampel dilapisi dengan emas bercampur palladium dalam suatu ruangan (vacum evaporator) bertekanan 0,2 torr dengan menggunakan mesin JEOL JSM-6360LA-EXD JED-2200 series. Selanjutnya sampel disinari dengan pancaran elektron bertenaga 20 kV pada ruangan khusus

(15)

sehingga sampel mengeluarkan elektron sekunder dan elektron yang terpental dapat dideteksi oleh detektor scientor yang diperkuat dengan suatu rangkaian listrik yang menyebabkan timbulnya gambar CRT (Cathode Ray Tube) selama 4 menit. Kemudian coating dengan tebal lapisan 400 amstrong dimasukkan ke dalam spesimen chamber pada mesin SEM (JSM-35C) untuk dilakukan pemotretan. Hasil pemotretan dapat disesuaikan dengan perbesaran yang diinginkan (Harahap, M. 2012).

2.6.5 Particle Size Analyzer (PSA)

Seiring bertambahnya ilmu pengetahuan yang lebih mengarah pada era nanoteknologi. Para peneliti menggunakan Laser Diffraction (LAS), dimana metode ini dinilai lebih akurat untuk dibandingkan dengan metode analisa gambar maupun metode ayakan terutama sampel dalam orde nanometer/submikron. Salah satu contoh alat yang menggunakan metode LAS adalah Particle Size Analyzer (PSA) dimana metode LAS dibagi menjadi 2 yaitu :

• Metode basah, dimana metode ini menggunakan media pendispersi untuk mendispersikan material uji

• Metode kering, dimana metode ini memanfaatkan udara / aliran udara untuk melarukan partikel dan membawanya ke senzing zone.

Keunggulan dari Particle Size Analyzer (PSA) untuk mengetahui ukuran partikel antara lain yaitu :

1) Lebih akurat, pengukuran partikel dengan PSA lebih akurat dibandingkan dengan pengukuran partikel dengan alat lain seperti XRD/SEM. Hal ini dikarenakan partikel didispersikan kedalam media sehingga ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dan single particle.

2) Hasil pengukuran dalam bentuk distribusi sehingga dapat menggambarkan keseluruhan kondisi sample.

(16)

Pengukuran partikel dengan PSA biasanya menggunakan metode basah. Metode ini dinilai lebih akurat jika dibandingkan dengan metode kering. Pengukuran partikel dengan metode ayakan dan analisa gambar. Terutama untuk sampel dalam orde nanometer dan submicron yang biasanya memiliki kecenderungan aglomerasi yang tinggi. Hal ini dikarenakan partikel didispersi kedalam media sehingga partikel tidak saling beraglomerasi (menggumpal). Dengan demikian untuk partikel yang terukur adalah ukuran dari single particle. Selain itu hasil pengukuran dalam bentuk distribusi, sehingga hasil pengukuran dapat diasumsikan sudah menggambarkan keseluruhan kondisi sampel (http://digilib.unimed.ac.id/public/unimed-undegraduate_22379-Bab %2011) .

(17)

2.7 MINYAK

Minyak merupakan trigliserida tersusun atas tiga unit asam lemak, berwujud cair pada suhu kamar (25oC) dan lebih banyak mengndung asam lemak tidak jenuh sehingga mudah mengalami oksidasi. Minyak yang berbentuk padat biasa disebut dengan lemak. Minyak dapat bersumber dari tanaman, misalnya minyak zaitun, minyak jagung, dan minyak bunga matahari. Minyak dapat juga bersumber dari hewan, misalnya minyak ikan sarden, minyak ikan paus dan lain-lain (Ketaren,1986).

Syarat mutu minyak goreng dapat dilihat pada tabel 2.4 dibawah ini:

Tabel 2.3 : Syarat Mutu Minyak Goreng

No Kriteria Uji Persyaratan

1 Bau Normal

2 Rasa Normal

3 Warna Muda Jernih

4 Kadar Air Max. 0,3 %

5 Berat Jenis 0,9 gram/L

6 Asam Lemak Bebas Max. 0,3 % 7 Angka Peroksida Max. 2 meg/Kg

8 Angka Iodium 45-46

9 Angka Penyabunan 196-206

10 Titik Asap min 200oC

11 Indeks Bias 1,448-1,450 12 Cemaran Logam a. Besi Max. 1,5 mg/Kg b. Timbal Max. 0,1 mg/Kg c. Tembaga Max. 40 mg/Kg d. Seng Max. 0,05 mg/Kg e. Raksa Max. 0,1 mg/Kg f. Timah Max. 0,1 mg/Kg g. Arsen Max. 0,1 mg/Kg

(18)

2.8 . Komposisi Minyak Goreng Curah dan Minyak Goreng Kemasan

Minyak goreng curah berbeda dengan minyak goreng bermerek seperti Filma, Bimoli, Prima dan sebagainya. Karena minyak goreng bermerek dua kali penyaringan, sedangkan minyak goreng curah proses penyaringan hanya satu kali sehingga dari warnanya berbeda dengan minyak goreng bermerek yang lebih jernih dibanding minyak goreng curah. Begitu juga kandungan yang terdapat antara minyak curah dan minyak kemasan. Dari segi kandungan, minyak curah kadar lemaknya lebih tinggi dan juga kandungan asam oleat dibanding minyak kemasan. Namun tidak ada masalah menggunakan minyak curah, asalkan tidak berlebihan dan tidak digunakan berulang-ulang kali, sampai berwarna coklat pekat hingga kehitam-hitaman. Karena pemakaian berulang-ulang pada minyak makan, sangat tidak baik bagi kesehatan. Minyak curah hanya mengalami penyaringan sampai tahap olein. Dan masih mengandung soft stearin (minyak fraksi padat) pada tingkat tertentu. Oleh karena itu minyak curah biasanya lebih keruh dibandingkan minyak bermerek. Selain itu tingkat sanitasi dan kebersihannya kurang baik, tidak sebersih minyak bermerek. Tidak ada salahnya menggunakan minyak goreng curah, hanya saja kadar kebersihannya berbeda dengan minyak kemasan dan minyak kemasan kadar lemaknya lebih rendah. Minyak goreng kemasan umumnya melalui proses produksi lebih lama dibanding minyak curah karena mengalami beberapa proses. Proses produksi sedikit banyak mempengaruhi kualitas minyak goreng yang dihasilkan baik secara fisik maupun secara kandungan gizi (Dewi, M. T. I dan Hidayati, N. 2012).

Kerusakan minyak goreng dapat terjadi selama proses penggorengan, hal ini akan mempengaruhi kualitas minyak dan nilai gizi dari bahan pangan yang digoreng. Beberapa penyebab kerusakan pada minyak goreng yaitu:

1. Kerusakan karena hidrolisa dimana awal prosesnya terdapat di pabrik. Pada proses tersebut terjadi penguraian kimiawi yang dibantu oleh air dan berlangsung pada kondisi suhu tertentu. Air panas dan uap air pada suhu tertentu merupakan bahan pembantu dalam proses pengolahan yang kurang cermat mengakibatkan efek samping yang tidak diinginkan.

(19)

Berikut merupakan proses hidrolisis yang terjadi pada minyak goreng yang ditunjukkan pada gambar 2.3 berikut ini :

O ║

CH2OCR CH2OH

O O O

║ ║ ║

CH2OCR + H2O CH2OCR + RCOH

O O

║ ║

CH2OCR CH2OCR

Trigliserida Air Digliserida Asam Lemak Bebas

CH2OCR CH2OH

CHOH CHOH + Asam lemak bebas

O ║

CH2OCR2 CH2OH

Gambar 2.3. Reaksi hidrolisis pada minyak goreng ( Ketaren, 2008 )

2. Kerusakan karena oksidasi ini dapat terjadi karena otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam minyak. Otooksidasi ini dimulai dari pembentukan radikal bebas yang disebabkan karena faktor yang mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, dll. Akibat dari kerusakan minyak karena oksidasi dapat timbul bau tengik pada minyak maupun rasa dan aroma. Proses oksidasi minyak goreng ditunjukkan pada gambar 2.4 berikut ini :

(20)

H H H H H H H H Energi

R1- C – C = C – C – R2 R1 –C – C = C – C – R2 + H ( Panas + sinar) radikal bebas

H H H H H H H hidrogen yang Stabil + O2 R1 - C – C = C – C – R2 H H H H O-O H R1- C – C = C – C – R2 + Peroksida aktif H H H H H H H H H H R1- C – C = C – C – R2 + R1- C – C = C – C – R2 ` O- OH H

Hidroperoksida radikal bebas

Gambar 2.4. Proses oksidasi minyak goreng ( Winarno. 2002 ).

3. Kerusakan polimerisasi biasanya terbentuk pada saat minyak dipanaskan dimana dapat membentuk senyawa polimer yang menyerupai gum yang kental dan berbuih di dasar tempat penggorengan. Kerusakan karena hidrolisis terjadi akibat inteaksi antara air dengan lemak yang menyebabkan putusnya beberapa asam lemak dari minyak, yang menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol (Desminarti, S. 2007).

Asam lemak bebas adalah hasil reaksi antara air dan lemak. Meningkatnya persen dari asam lemak bebas pada waktu penggorengan adalah terutama jumlah uap dari makanan selama proses penggorengan dan suhu penggorengan. Asam lemak bebas dalam konsentrasi tinggi yang terikut dalam minyak sangat merugikan. Tingginya asam lemak bebas ini mengakibatkan rendemen dan kualitas minyak turun. Untuk itulah perlu dilakukan usaha pencegahan terbentuknya asam lemak bebas dalam minyak. Angka asam pada minyak dan lemak menunjukkan kandungan ALB yang mempengaruhi kualitas minyak dan lemak. Keberadaan asam lemak bebas dalam lemak / minyak biasanya dijadikan indikator awal terjadinya kerusakan lemak/ minyak karena proses hidrolisis yang

(21)

terjadi pada proses penggorengan. Pembentukan asam lemak bebas akan mempercepat kerusakan oksidatif lemak/ minyak karena asam lemak bebas lebih mudah teroksidasi. Angka asam ditentukan dengan reaksi penyabunan yaitu dengan cara mereaksikan lemak / minyak dengan basa KOH / NaOH (Kusnandar, F. 2010). Asam lemak berdasarkan kejenuhannya ditunjukkan pada tabel 2.4 dibawah ini :

Tabel 2.4 Asam lemak berdasarkan kejenuhannya

No. Jenis asam lemak Rumus molekul Sumber (asal) 1 Asam Lemak Jenuh

a. Asam Butirat CH3 (CH2)2COOH Lemak susu sapi b. Asam Palmitat CH3(CH2)14COOH Lemak hewani

dan nabati c. Asam Stearat CH3(CH2)16COOH Lemak hewani

dan nabati

2 Asam lemak tidak Jenuh

a. Asam Palmitoleat CH3(CH2)5CH=CH(CH2)7COOH Minyak kacang dan jagung b. Asam oleat CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH Lemak hewani

dan nabati c. Asam Linoleat CH3(CH3)4CH=CHCH2CH=CH Minyak biji

(CH2)7COOH kapas

d. Asam Linolenat CH3CH2CH=CHCH2CH=CH Minyak Perilla CH2 = CH(CH2)7COOH

Sumber: Ketaren,1986.

Air pada minyak goreng berada dalam bentuk koloid yang distabilkan adanya protein dalam minyak goreng, sehingga untuk meningkatkan kualitas minyak goreng maka keberadaan air harus direduksi seminim mungkin. Pelepasan molekul air pada minyak goreng dapat dilakukan dengan pemanasan akan tetapi perlakuan termal tersebut terhadap minyak goreng dapat menyebabkan

(22)

terputusnya ikatan trigliserida. Adanya air pada minyak goreng dapat menyebabkan terurainya bentuk trigliserida menjadi asam lemak bebas yang dapat bereaksi lebih lanjut menjadi aldehid dan keton yang merupakan salah satu penyebab terjadinya ketengikan pada minyak.

Massa jenis yang terdapat pada minyak goreng merupakan salah satu standar kualitas minyak, dimana massa jenis minyak goreng ini bergantung dari berat molekul penyusunnya dan derajat ketidak jenuhannya. Massa jenis minyak goreng bekas tergantung dari kadar air dan kadar kotoran yang tidak larut selama proses penggorengan dimana dengan menguji massa jenis dari minyak dapat diketahui tingkat kemurnian dan kejernihan dari minyak yang dihasilkan

Indeks bias merupakan suatu derajat penyimpangan dari cahaya yang dilewatkan pada suatu medium yang cerah. Indeks bias pada minyak dan lemak dipakai untuk pengenalan unsur kimia dan pengujian kemurnian minyak atau lemak. Refraktometer Abbe mempergunakan alat temperatur yang dipertahankan pada suhu 25oC. Untuk pengukuran indeks bias lemak yang bertitik cair tinggi, dilakukan pada temperatur 40oC dan 60oC. Selama pengukuran temperatur harus dikontrol dan dicatat. Indeks bias ini akan meningkat pada minyak atau lemak dengan rantai karbon yang panjang dan juga dengan terdapatnya sejumlah ikatan rangkap. Nilai indeks bias dari asam lemak juga akan bertambah dengan meningkatnya bobot molekul, selain dengan naiknya ketidakjenuhan dari asam-asam lemak tersebut (Handoko, 2009).

Gambar

Gambar 2.1 Contoh Adsorben Komersial
Tabel 2.2 Komponen kimia tempurung kemiri
Gambar 2.3. Reaksi hidrolisis pada minyak goreng ( Ketaren, 2008 )
Gambar 2.4. Proses oksidasi minyak goreng ( Winarno. 2002 ).

Referensi

Dokumen terkait

Untuk membuktikan apakah ada hubungan antara gaya kelekatan dengan penyesuaian sosial mahasiswa baru Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Tahun

10. Jika terjadi pelemahan posisi, apakah kita masih bisa melakukan sesuatu? Kenyataan bahwa meskipun sepanjang perjalanan negosiasi dan tidak ada kesepakatan tercapai adalah

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyebutkan bahwa gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak terhadap

Perdagangan nasional Indonesia sebagai penggerak utama perekonomian tidak hanya terbatas pada aktivitas perekonomian yang berkaitan dengan transaksi Barang dan/atau

Dalam workshop ini, kami fokuskan untuk mengoptimalkan kemampuan Excel anda untuk menangani pekerjaan – pekerjaan yang terkait dengan akuntansi keuangan dan

Dalam makalahnya yang lain mengenai gramatikalisasi, Fauziah (2012) meneliti verba bahasa Sunda resep ‘suka’ yang diprediksinya akan berkembang menjadi lebih gramatikal menjadi

Hasil KCKT menunjukkan bahwa fukoxantin merupakan pigmen yang relatif stabil selama proses pengeringan dibandingkan dengan klorofi l.. Pigmen ini selalu muncul pada semua

Ancaman pidana terhadap perbuatan yang disangkakan/ didakwakan kepada kepada tersangka/Terdakwa yang dikaitkan dengan maksud dan tujuan dari ketentuan Pasal 51