• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. PENDEKATAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. PENDEKATAN TEORITIS"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

II. PENDEKATAN TEORITIS

2.1. Tinjauan Pustaka

Sistem Pembinaan.

Sistem pembinaan dalam kajian ini, yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan, adalah suatu sistem atau mekanisme yang dilaksanakan sejak narapidana memasuki Lembaga Pemasyarakatan, masa pengenalan lingkungan, proses pembinaan dan pengakhiran masa hukuman (bebas). Sebagaimana menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995, tentang Pemasyarakatan, sistem pembinaan adalah sistem pemasyarakatan yang melaksanakan tata perlakuan yang lebih manusiawi dan normatif terhadap narapidana berasaskan Pancasila yang bercirikan ; rehabilitatif, korektif, edukatif dan integratif. Sistem kepenjaraan bercirikan ; balas dendam, penjeraan dan munculnya institusi rumah penjara, hal ini sudah tidak sesuai lagi dengan alam kemerdekaan yang berlandaskan Pancasila.

Sistem pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan dilaksanakan melalui tahap-tahap proses pemasyarakatan, meliputi ; tahap awal (tahap pertama), tahap lanjutan (tahap kedua dan ketiga) dan tahap akhir (tahap keempat).

Tahap Pertama.

Terhadap setiap narapidana yang masuk di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penelitian untuk mengetahui segala hal ikhwal perihal dirinya, termasuk : sebab-sebabnya ia melakukan pelanggaran dan segala keterangan mengenai dirinya yang dapat diperoleh dari keluarga, bekas majikan atau atasannya, teman sekerja, si korban dari perbuatannya, serta dari petugas instansi lain yang telah menangani perkaranya. Pembinaan tahap ini disebut pembinaan tahap awal, dimana kegiatan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perencanaan pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian yang waktunya dimulai pada saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) dari masa pidananya. Pembinaan tahap ini masih dilakukan dalam Lapas dan pengawasannya maksimum (maksimum security).

(2)

Tahap Kedua.

Jika proses pembinaan terhadap narapidana yang bersangkutan telah berlangsung selama-lamanya 1/3 (sepertiga) dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Tim Pengamat Pemasyarakatan sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain menunjukkan keinsyafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada peraturan tata tertib yang berlaku di Lembaga Pemasyarakatan, maka kepada narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan melalui pengawasan medium-security.

Tahap Ketiga.

Jika proses pembinaan terhadap narapidana telah dijalani ½ (setengah) dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) telah dicapai cukup kemajuan-kemajuan, baik secara fisik maupun mental dan juga segi keterampilannya, maka wadah proses pembinaannya diperluas dengan assimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari dua bagian, yaitu yang pertama waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan ½ (setengah) dari masa pidananya.

Pada tahap ini pembinaan masih dilaksanakan di dalam Lapas dan pengawasannya sudah memasuki tahap medium security. Tahap kedua dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua pertiga) masa pidananya. Dalam tahap lanjutan ini narapidana sudah memasuki tahap assimilasi dan selanjutnya dapat diberikan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas dengan pengawasan minimum security.

Tahap Keempat.

Jika proses pembinaan telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan. Pembinaan ini disebut pembinaan tahap akhir, yaitu kegiatan berupa perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan.

(3)

Pembinaan pada tahap ini terhadap narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat dan pembinaannya dilakukan di luar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang kemudian disebut pembimbingan klien pemasyarakatan. Pembimbingan adalah pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku profesional, kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan.

Dalam hal ini, sistem pembinaan yang akan dikaji dibatasi pada tahap lanjutan pembinaan, yaitu yang menekankan kepada pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian (keterampilan).

Sistem pembinaan adalah sistem pemasyarakatan yang dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan, sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995, disebutkan bahwa sistem pembinaan atau sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi perbuatannya sehingga dapat diterima oleh lingkungan masyarakatnya, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang bertanggung jawab.

Dalam rangka melaksanakan sistem pemasyarakatan yang utuh, maka sistem pembinaan pemasyarakatan itu menerapkan 6 (enam) azas, yaitu ; (1) pengayoman; (2) persamaan perlakuan dan pelayanan; (3) pendidikan dan pembimbingan; (4) penghormatan harkat dan martabat manusia; (5) kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan (6) terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Pengayoman dalam hal ini dimaksudkan sebagai perlakuan terhadap narapidana dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinaan diulanginya tindak pidana oleh narapidana, juga memberikan bekal hidup kepada narapidana agar menjadi warga yang berguna dalam masyarakat. Persamaan perlakuan dan pelayanan adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada narapidana tanpa membeda-bedakan orang. Sedangkan yang dimaksud ”pendidikan dan pembimbingan” adalah kegiatan berupa penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.

(4)

Penjelasan azas ”penghormatan harkat dan martabat manusia” adalah bahwa sebagai orang yang tersesat, harus tetap diperlakukan sebagai manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan ”kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan” disini adalah narapidana harus berada dalam lembaga pemasyarakatan untuk jangka waktu tertentu, sehingga negara mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di lembaga pemasyarakatan, narapidana tetap memperoleh hak-haknya yang lain, seperti layaknya manusia, dengan kata lain, hak perdatanya tetap dilindungi, seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan keterampilan, olah raga dan rekreasi.

Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu dalam azas ke 6 dijelaskan bahwa walaupun narapidana berada di lembaga pemasyarakatan tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat serta tidak boleh diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan dari anggota masyarakat yang bebas dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga melalui program cuti mengunjungi keluarga.

Kegiatan dalam sistem pembinaan pada garis besarnya meliputi ; (1) rehabilitasi; (2) pembinaan dan (3) pembimbingan. Rehabiliasi dilaksanakan dan diberikan kepada narapidana dengan kasus penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang. Upaya yang dilakukan berupa perawatan/perlakuan guna menghilangkan ketergantungannya terhadap narkoba, setelah itu kemudian baru diberikan pembinaan dan pembimbingan. Penanganan narapidana dengan kasus Narkoba akan berbeda dengan penanganan narapidana kasus lain (pencurian, perampokan, pembunuhan dan sebagainya).

Kemiskinan dan Narapidana Miskin.

Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi ekonomi, khususnya dalam hal pendapatan dan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntungan non material yang diterima oleh seseorang. Namun demikian, makna secara luas, kemiskinan juga sering didefinisikan sebagai kondisi yang ditandai oleh serba kekurangan, baik kekurangan pendidikan, penghasilan, pemenuhan

(5)

kebutuhan hidup sehari-hari, keadaan kesehatan yang buruk serta keterbatasan akses dalam memperoleh kondisi atau keadaan yang diinginkan. (Suharto, 2004)

Kemiskinan adalah menunjuk pada suatu kondisi keterbatasan dan ketidakcukupan yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang, sehingga mereka tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Sumodiningrat (1999), beranggapan bahwa kemiskinan disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Fakktor internal berasal dari dalam diri seseorang atau lingkungannya. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor di luar jangkauan individu yang menghambat seseorang untuk meraih kesempatan. Dengan perkataan lain, bukan karena seseorang tidak mau bekerja, tetapi struktur yang ada menjadi hambatan.

Dengan demikian kemiskinan yang dialami oleh komunitas narapidana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin bisa diketahui dari kondisi keterbatasan dan ketidakcukupan yang dialami narapidana keluarga miskin dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari selama berada di Lembaga Pemasyarakatan.

Pengertian narapidana miskin yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin adalah sebagai berikut :

a. Narapidana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, sebelum masuk Lapas, pada umumnya berpenghasilan rendah, karena pada umumnya banyak yang bekerja pada sektor non formal, seperti ; buruh, tukang ojek, serta pegawai rendahan, yang berpenghasilan dibawah Upah Minimun Regional (UMR), antara 500 ribu rupian sampai dengan 700 ribu rupiah perbulan.

b. Sebagian besar narapidana berpendidikan rendah, dari 485 orang narapidana, sebanyak 333 orang berpendidikan rendah (SD dan SMP) atau sebesar 66 %.

Lembaga Pemasyarakatan.

Kehidupan di dalam Lembaga Pemasyarakatan adalah merupakan miniatur dari kehidupan nyata di dalam masyarakat pada umumnya. Keberadaan penjara adalah sebuah tuntutan masyarakat agar masyarakat luas bisa bebas dari

(6)

kejahatan. Karena itu, harus ada lembaga khusus untuk menampung para penjahat. (Greenberg, David J. Rothman dalam Hamid Awaludin, 2001).

Di dalam penjara atau Lembaga Pemasyarakatan terjadi interaksi sosial antara sesama narapidana dan narapidana dengan petugas Pemasyarakatan yang dilakukan secara terus menerus dan berlangsung lama, sehingga membentuk atau menjadi ”warga komunitas”, dan ini menghasilkan proses simbiosis mutualisme di dalam komunitas penjara itu sendiri.

Lembaga Pemasyarakatan, yang selanjutnya disebut Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Konsep pemasyarakatan pertama kali dinyatakan oleh Dr. Sahardjo, SH pada tahun 1963, dengan arti pemasyarakatan adalah kebijaksanaan dalam perlakuan terhadap narapidana yang bersifat mengayomi para narapidana yang tersesat jalan dan memberikan bekal hidup bagi narapidana setelah kembali ke dalam masyarakat. Sedangkan Sistem Pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan terpidana yang didasarkan atas azas Pancasila dan memandang terpidana sebagai makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat. Dalam membina terpidana diperkembangkan hidup kejiwaannya, jasmaniahnya, pribadi serta kemasyarakatannya dan dalam penyelenggaraannya mengikutsertakan secara langsung dan tidak melepaskan hubungannya dengan masyarakat.

Di dalam penyelenggaraan sistem pemasyarakatan yang berdasarkan azas Pancasila, bahwa narapidana dipandang sebagai warga negara yang memiliki nilai yang sama dengan warga negara yang lainnya dalam hal tanggung jawab terhadap tercapainya tujuan bangsa. Narapidana harus diikutsertakan dalam pembangunan bangsa sehingga ia dapat berkarya seperti halnya seorang kepala keluarga. Dengan demikian ia dapat menghidupi diri dan keluarganya tanpa memberatkan pemerintah (masyarakat umum), disamping itu dengan karyanya juga dapat menambah secara langsung kemakmuran masyarakat sebagai imbalan terhadap perbuatannya yang telah merugikan dan melatih diri dalam keterampilan bekerja.

Lembaga Pemasyarakatan yang melaksanakan sistem pemasyarakatan tidak memandang narapidana sebagai seorang penjahat dan seolah-olah bukan manusia lagi. Narapidana adalah manusia biasa, seperti manusia lainnya. Hanya karena melanggar hukum dan dipidana oleh Hakim untuk menjalani

(7)

hukuman pidana, maka narapidana tidak boleh diasingkan dari kehidupan masyarakat, tetapi seharusnya lebih diintegrasikan ke dalamnya.

Dalam usaha pembangunan sistem pemasyarakatan, narapidana harus berinteraksi dengan masyarakat. Interaksi dimaksud adalah interaksi untuk saling membantu antara narapidana, lembaga pemasyarakatan dan masyarakat yang menampung hasil pembinaan lembaga untuk bekerja dan belajar bekerja. Artinya lembaga dan masyarakat mengajarkan narapidana untuk bekerja sambil belajar dan bekerja sambil menghasilkan sesuatu yang diperdagangkan, seperti : usaha-usaha pertanian, peternakan, perikanan percetakan, dan pembuatan bahan-bahan bangunan serta kerajinan tangan. Hasil dari usaha tersebut dapat digunakan untuk menggantikan biaya kehidupan narapidana, dan keluarga serta masyarakat sekitarnya.

Usaha pembinaan narapidana dimulai sejak hari pertama ia masuk dalam lembaga hingga saat ia dilepas dari lembaga. Selanjutnya dilakukan pembimbingan lanjutan yang diselenggarakan oleh instansi-instansi pemerintah atau swasta bila masih diperlukan.

Sistem Pemasyarakatan mulai dikenal sejak tanggal 27 April 1964, menurut Sahardjo, 1963, bahwa narapidana bukan orang hukuman, melainkan orang yang tersesat dan memiliki waktu serta kesempatan untuk bertobat, tobat dilaksanakan bukan melalui penyiksaaan, tetapi melalui metode dan proses pembinaan yang mengacu pada sistem pemasyarakatan, bentuk pembinaan yang dilaksanakan meliputi pemberian kegiatan pendidikan agama, pendidikan umum, kursus keterampilan, kegiatan olahraga, rekreasi, kesenian, pendidikan kepramukaan, kegiatan latihan kerja dan kegiatan asimilasi. Sedangkan pembinaan lanjut dilakukan di luar lembaga melalui bimbingan selama narapidana menjalani pidana bersyarat dan proses penelitian kemasyarakatan.

Dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan terdapat 3 hal yang saling berhubungan, yaitu manusia, pembinaan dan peraturan hukum. Manusia disini adalah narapidana sebagai anggota masyarakat yang sementara waktu dipisahkan dari komunitasnya di dalam masyarakat. Selama periode tertentu dan dalam proses pembinaan di lembaga pemasyarakatan, suatu saat narapidana tersebut akan kembali menjadi manusia dan anggota masyarakat yang baik dan taat kepada hukum.

(8)

Pembinaan dan potensi ekonomi.

Pembinaan biasanya dikaitkan dengan proses untuk memperbaiki dan mengembangkan kualitas manusia, yaitu melalui pendidikan, latihan dan bimbingan yang berhubungan dengan penanaman pengetahuan, nilai dan keterampilan. Usaha peningkatan kualitas diri diperlukan apabila seseorang atau kelompok ingin meningkatkan penguasaannya terhadap sesuatu yang sebelumnya kurang atau belum dipahaminya secara mendalam.

Seiring perkembangan jaman, pembinaan dalam sistem pemasyarakatan mulai berubah sejak dikeluarkannya Piagam Pemasyarakatan di Indonesia pada tahun 1964 dan disempurnakan oleh Surat Keputusan Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor KP.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1965. Berdasarkan surat tersebut bahwa arti pembinaan narapidana adalah memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian pembinaan yang demikian itu, sasaran yang perlu dibina adalah budi pekerti narapidana seperti membangkitkan rasa berharga pada diri sendiri dan diri orang lain, serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat. Selanjutnya mereka dapat mengembangkan potensinya sebagai manusia.

Pengertian pembinaan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti “Membangun atau pembaharuan”. (hal. 14). Membangun atau pembaharuan ini dapat diartikan sebagai upaya yang bersifat positif untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi ke arah tujuan yang diinginkan.

Mangunhardjana, 1986, memberikan pengertian pembinaan yang diterjemahkan dari bahasa Inggris “Training” sebagai berikut :

Pembinaan adalah suatu proses belajar dengan melepas hal-hal yang sudah dimiliki dan mempelajari hal-hal yang belum dimiliki dengan tujuan membantu orang menjalaninya, untuk membetulkan dan mengembangkan pengetahuan dan kecakapan yang sudah ada, serta mendapatkan pengetahuan dan kecakapan baru untuk mencapai tujuan hidup dan kerja yang seedang dijalaninya secara efektif. (hal. 12)

Dalam pengertian tersebut terkandung makna adanya proses untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan atau potensi yang dimilikinya agar mampu mencapai tujuan hidup atau kerja secara lebih efisien dan efektif

(9)

dari sebelumnya. Pengembangan pengetahuan ini dilakukan dengan cara mempelajari pengetahuan dan keterampilan.

Potensi, adalah sesuatu yang bisa dimanfaatkan atau didayagunakan. Sedangkan ekonomi menurut Mubyarto (dalam Sajogyo dan Martowijoyo, 2005) adalah suatu kegiatan produksi untuk memperoleh pendapatan bagi kehidupannya. Jadi, yang dimaksud dengan potensi ekonomi adalah unsur-unsur yang dapat memberi kekuatan bagi seseorang agar dapat beraktifitas ekonomi. Unsur-unsur tersebut diantaranya adalah pendidikan (formal dan informal), keterampilan dan waktu yang tersedia untuk melakukan sesuatu (bekerja). (Sadli dan Patmonodewo, dalam Ihromi 1995)

Potensi ekonomi narapidana adalah kemampuan yang dimiliki narapidana untuk menjalankan kegiatan ekonomi, sehingga dapat memberikan kontribusi secara ekonomi dalam keluarga. Tinggi rendahnya sangat tergantung pada tingkat pendidikan, serta keterampilan kerja yang dimiliki. Hal ini tergantung kepada sikap dan penerimaan masyarakat terhadap narapidana tersebut apabila bebas nanti, dan potensi peluang usaha dan bekerja yang akan dicapai.

Kepribadian.

Kepribadian memiliki banyak arti, bahkan sangat banyaknya boleh dikatakan jumlah definisi dan arti dari kepribadian adalah sejumlah orang yang menafsirkannya. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan dalam penyusunan teori, penelitian dan pengukurannya.

Kepribadian secara umum

Personality atau kepribadian berasal dari kata persona, kata persona merujuk pada topeng yang biasa digunakan para pemain sandiwara di Zaman Romawi. Secara umum kepribadian menunjuk pada bagaimana individu tampil dan menimbulkan kesan bagi individu-individu lainnya. Pada dasarnya definisi dari kepribadian secara umum ini adalah lemah karena hanya menilai perilaku yang dapat diamati saja dan tidak mengabaikan kemungkinan bahwa ciri-ciri ini bisa berubah tergantung pada situasi sekitarnya selain itu definisi ini disebut lemah karena sifatnya yang bersifat evaluatif (menilai), bagaimanapun pada

(10)

dasarnya kepribadian itu tidak dapat dinilai “baik” atau “buruk” karena bersifat netral.

Kepribadian menurut Psikologi

Untuk menjelaskan kepribadian menurut psikologi akan digunakan teori dari George Kelly (1963) yang memandang bahwa kepribadian sebagai cara yang unik dari individu dalam mengartikan pengalaman-pengalaman hidupnya. Sementara Gordon Allport (1955) merumuskan kepribadian sebagai “sesuatu” yang terdapat dalam diri individu yang membimbing dan memberi arah

kepada seluruh tingkah laku individu yang bersangkutan. (www : trescent.wordpress.com ; diakses, tanggal 13 Maret 2008)

Lebih detail tentang definisi kepribadian menurut Allport yaitu kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan tingkah laku dan pikiran individu secara khas.

Allport menggunakan istilah sistem psikofisik dengan maksud menunjukkan bahwa jiwa dan raga manusia adalah suatu sistem yang terpadu dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, serta diantara keduanya selalu terjadi interaksi dalam mengarahkan tingkah laku. Sedangkan istilah khas dalam batasan kepribadian Allport itu memiliki arti bahwa setiap individu memiliki kepribadiannya sendiri. Tidak ada dua orang yang berkepribadian sama, karena itu tidak ada dua orang yang berperilaku sama.

Dari sebagian besar teori kepribadian diatas, dapat kita ambil kesamaan sebagai berikut (E. Koswara, 1998):

1. Sebagian besar batasan melukiskan kerpibadian sebagai suatu struktur atau organisasi hipotesis, dan tingkah laku dilihat sebagai sesuatu yang diorganisasi dan diintegrasikan oleh kepribadian. Atau dengan kata lain kepribadian dipandang sebagai “organisasi” yang menjadi penentu atau pengarah tingkah laku kita.

2. Sebagian besar batasan menekankan perlunya memahami arti perbedaan - perbedaan individual. Dengan istilah kepribadian”, keunikan dari setiap individu ternyatakan. Dan melalui studi tentang kepribadian, sifat-sifat atau kumpulan sifat individu yang membedakannya dengan individu lain diharapkan dapat menjadi jelas atau dapat dipahami. Para teoris kepribadian memandang kepribadian sebagai sesuatu yang unik

(11)

dan atau khas pada diri setiap orang.

3. Sebagian besar batasan menekankan pentingnya melihat kepribadian dari sudut “sejarah hidup”, perkembangan, dan perspektif. Kepribadian, menurut teoris kepribadian, merepresentasikan proses keterlibatan subyek atau individu atas pengaruh-pengaruh internal dan eksternal yang mencakup faktor - faktor genetik atau biologis, pengalaman- pengalaman sosial, dan perubahan lingkungan. Atau dengan kata lain, corak dan keunikan kepribadian individu itu dipengaruhi oleh faktor- faktor bawaan dan lingkungan.

(www : trescent.wordpress.com ; diakses, tanggal 13 Maret 2008)

Sedangkan dalam kajian ini, kepribadian dimaksud adalah kemampuan narapidana untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan Lembaga Pemasyarakatan, sehingga mereka dapat mengikuti kegiatan pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan, agar memiliki kepribadian yang lebih baik dari sebelumnya.

Indikator keberhasilan pembinaan kepribadian, antara lain seperti :

1. Adanya perubahan perilaku narapidana ke arah yang lebih baik, yaitu tumbuhnya sikap menghargai diri sendiri, toleransi sesama narapidana dan petugas.

2. Tidak adanya keinginan atau niat untuk mencoba melarikan diri, membuat kericuhan dan melanggar peraturan serta ketentuan yang ada di dalam Lembaga Pemasyarakatan, sehingga terciptanya suasana aman dan nyaman dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan.

3. Banyaknya narapidana yang mengikuti kegiatan keagamaan, seperti pesantren bagi yang beragama Islam, acara-acara Kebaktian bagi yang beragama Kristen, serta kegiatan keagamaan lainnya.

4. Berkurangnya penghuni atau kapasitas isi Lembaga Pemasyarakatan, karena banyaknya narapidana yang memperoleh pembebasan.

Kemandirian.

Tujuan sistem pemasyarakatan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 UU No. 12 Th 1995 tentang Pemasyarakatan dinyatakan bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan

(12)

Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab serta mandiri.

Sebagaimana tujuan pembinaan yaitu menciptakan manusia mandiri, jadi kemandirian dalam kajian ini adalah bersatunya kembali Warga Binaan Pemasyarakatan (narapidana) dengan masyarakat, sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab, sehingga keberadaan mantan Warga Binaan di masyarakat nantinya diharapkan mau dan mampu untuk ikut membangun masyarakat dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat dalam pembangunan.

Indikator kemandirian dimaksud, antara lain :

1. Bagi narapidana yang telah memiliki keterampilan sebelum masuk Lembaga Pemasyarakatan :

a. Adanya peluang dan potensi ekonomi yang dapat diperoleh dengan menerapkan keterampilan yang dimiliki, dengan dipekerjakan pada bidang-bidang usaha ekonomi, seperti bidang percetakan, pertanian, peternakan dan sebagainya, sehingga mereka akan memperoleh premi atau pendapatan.

b. Dapat menularkan pengetahuan keterampilan yang dimiliki kepada sesama narapidana yang belum memiliki keterampilan tersebut, karena kegiatan ini merupakan salah satu unsur dalam upaya memperoleh pengurangan masa pidana (remisi), yaitu mengangkat mereka sebagai ”Pemuka Kerja”.

2. Bagi mereka yang belum / tidak memiliki pengetahuan keterampilan sebelum masuk Lembaga Pemasyarakatan :

a. Dapat memperoleh pengetahuan keterampilan, sehingga mereka pun diikutsertakan dalam kegiatan usaha ekonomi yang diselenggarakan Lembaga Pemasyarakatan, dan kepada mereka pun akan memperoleh premi atau pendapatan.

b. Meningkatnya motivasi dalam mengikuti kegiatan keterampilan kerja, sehingga mereka tidak menghabiskan waktunya di dalam Lembaga Pemasyarakatan secara sia-sia.

(13)

Motivasi

Motivasi manusia terdiri dari serangkaian ’motif’ yang melatarbelakangi, mendorong seseorang untuk bertindak, hal ini dapat dilihat dalam tingkah laku secara umum maupun secara khusus dalam interaksi sosial. Untuk mengetahui motivasi lebih jauh, banyak para ahli yang mengajukan pendapatnya, tetapi agar tidak terlalu beragam dan membingungkan, maka dalam kajian ini, konsep motivasi yang digunakan adalah sebagai berikut ; Motivasi adalah suatu dorongan dan usaha untuk memenuhi sesuatu atau memuaskan kebutuhan atau untuk mencapai suatu tujuan (Moekijat, 1984).

Motivasi merupakan suatu alat untuk mencapai keinginan manusia akan suatu tujuan. Alat tersebut banyak bentuknya antara lain niat yang ada dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu. Biasanya lingkungan dapat mempengaruhi seseorang sehingga timbullah niat untuk bertindak. Keinginan bisa disebut niat. Niat untuk melakukan tindakan dengan didasari inisiatif sendiri biasanya akan mencapai hasil yang maksimal, dengan tidak melupakan faktor-faktor pendukung yang ada di dalamnya seperti lingkungan teman, keluarga dan lain-lain. Bohar Suharto (1982), mengungkapkan bahwa motivasi merupakan suatu proses dari suatu inisiatif untuk menggerakan kesadaran seseorang untuk melakukan sesuatu yang didasarkan atas pengembangan potensinya.

Motivasi merupakan suatu proses yang mendorong seseorang untuk bertindak dan melakukan kegiatan yang telah direncanakannya, sebagaimana Lembaga Pemasyarakatan berusaha memotivasi narapidana untuk mengikuti kegiatan yang diselenggarakan.

Motivasi terdiri atas motivasi intrinsik dan motivasi ektrinsik. • Motivasi Intrinsik adalah motivasi yang timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri.

• Motivasi Ekstrinsik adalah motivasi yang timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian narapidana mau melakukan sesuatu atau belajar untuk mengikuti kegiatan pembinaan.

(14)

Motivasi adalah faktor yang mendorong orang untuk bertindak dengan cara tertentu. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa motivasi pada dasarnya adalah kondisi mental yang mendorong dilakukannya suatu tindakan (action atau activities) dan memberikan kekuatan (energy) yang mengarah kepada pencapaian kebutuhan, memberi kepuasan ataupun mengurangi ketidakseimbangan.

Oleh karena itu tidak akan ada motivasi, jika tidak dirasakan rangsangan-rangsangan terhadap hal semacam di atas yang akan menumbuhkan motivasi, dan motivasi yang telah tumbuh memang dapat menjadikan motor dan dorongan untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan atau pencapaian keseimbangan. Namun pada intinya bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk memacu atau memotivasi narapidana untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan Lembaga Pemasyarakatan, guna merubah dan meningkatkan potensi yang ada dalam dirinya, dilakukan berbagai cara, yaitu. melalui penyuluhan, pengarahan dan peraturan-peraturan

Pada dasarnya, setiap individu mempunyai keinginan, harapan, dan kebutuhan. Setiap kebutuhan dan keinginan senantiasa harus terpenuhi, bahkan dalam batas tertentu didalam upaya pemenuhan kebutuhan tersebut seringkali merupakan suatu tujuan. Jadi jika tujuan tercapai, maka kebutuhan dan keinginan akan terpenuhi. Sedangkan dorongan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan tersebut merupakan motivasi, sehingga semua tindakan yang dilakukan demi terpenuhinya kebutuhan dan keinginan tersebut akan memberikan pengaruh terhadap sikap dan perilakunya kearah yang lebih baik.

(15)

Pembinaan efektif.

Dalam konteks sistem pembinaan narapidana dengan orientasi yang berbasis di masyarakat (Community - Based corrections) menjadi pilihan yang efektif dalam sistem pemasyarakatan. Community - Based corrections merupakan suatu metode baru yang digunakan untuk mengintegrasikan narapidana kembali ke kehidupan masyarakat. Semua aktifitas yang mengarah ke usaha penyatuan komunitas untuk mengintegrasikan narapidana ke masyarakat.

Secara umum community-based corrections atau juga disebut sebagai Lembaga Pemasyarakatan Terbuka (Lapas Terbuka) dapat diterjemahkan sebagai metode pembinaan yang berbasis masyarakat, yaitu metode pembinaan yang baru yang berbeda dengan metode yang ada pada umumnya, yakni program non-institusi bagi narapidana/tahanan kriminal.

Melalui metode Community-based corrections (Lapas Terbuka) memungkinkan Warga Binaan Pemasyarakatan membina hubungan lebih baik, sehingga dapat mengembangkan hubungan baru yang lebih positif. Tujuan utama Community-based corrections (Lapas Terbuka) ini adalah untuk mempermudah narapidana berinteraksi kembali dengan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut maka penerapan Community-based corrections perlu didasarkan pada standar kriteria sebagai berikut :

1. Lokasi pembinaan yang memberikan kesempatan bagi narapidana untuk berinteraksi dengan masyarakat

2. Lingkungan yang memiliki standar pengawasan yang minimal.

3. Program pembinaan seperti pendidikan, pelatihan, konseling dan hubungan yang didasarkan kepada masyarakat

4. Diberikan kesempatan untuk menjalankan peran sebagai warga masyarakat, anggota keluarga, siswa, pekerja dan lain lain.

5. Diberikan kesempatan untuk menumbuhkan dan mengembangkan diri. Penerapan Community-based corrections (Lapas Terbuka) dapat dilakukan dengan memberdayakan Warga Binaan Pemasyarakatan (narapidana) melalui 3 upaya sebagai berikut :

(16)

1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan 2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering)

dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan ( input ) serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya.

3. Memberdayakan mengandung pola melindungi, dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah karena kurang berdaya menghadapi yang kuat.

Lembaga Pemasyarakatan Terbuka merupakan suatu sistem pembinaan dengan pengawasan minimum (Minimum Security) yang penghuninya telah memasuki tahap asimilasi dan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dimana diantaranya telah menjalani setengah dari masa pidananya dan sistem pembinaan serta bimbingan yang dilaksanakan mencerminkan situasi dan kondisi yang ada pada masyarakat sekitar. Hal ini dimaksudkan dalam rangka menciptakan kesiapan narapidana kembali ke tengah masyarakat ( integrasi ).

Pemberdayaan

Pemberdayaan adalah suatu upaya meningkatkan kemampuan terhadap individu, kelompok/komunitas dan masyarakat, agar menjadi lebih berdaya. Sebagaimana yang dikatakan Ife (1995) ; Pemberdayaan dalam arti luas menambah kekuasaan pada yang kurang beruntung secara struktural berdasakan kelas, jenis kelamin, dan ras untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Sedangkan pemberdayaan masyarakat menurut Usman (2004) adalah sebuah proses dalam bingkai usaha memperkuat apa yang lazim disebut Community self reliance atau kemandirian. Dalam proses ini masyarakat didampingi untuk membuat analisis masalah yang dihadapi, dibantu untuk menemukan alternatif solusi masalah tersebut, serta diperlihatkan strategi memanfaatkan berbagai resources yang dimiliki dan dikuasai.

(17)

Pengembangan masyarakat juga merupakan suatu gerakan yang dirancang guna meningkatkan taraf hidup keseluruhan masyarakat melalui partisipasi aktif dan inisiatif dari masyarakat.

Pemidanaan dalam Lembaga Pemasyarakatan

Sejalan dengan pemikiran bahwa pemidanaan bukanlah merupakan tujuan yang terakhir melainkan sebagai upaya pembinaan, maka adalah tepat sebagaimana yang dikatakan oleh Bambang Poernomo (1986) :

Pidana adalah suatu reaksi atas delik (punishment) dan berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan (sifat negatif) oleh negara atau lembaga negara terhadap pembuat delik. Nestapa hanya merupakan suatu tujuan yang terdekat saja, bukanlah suatu tujuan akhir yang dicita-citakan sesuai dengan upaya pembinaan (treatment).

Di dalam rancangan KUHP tahun 1968 dapat dijumpai gagasan tentang maksud dan tujuan pemidanaan, yaitu :

1. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat dan penduduk.

2. Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota yang berbudi baik dan berguna.

3. Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana

4. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Tujuan pemidanaan dari konsep KUHP tersebut kemudian ditinjau kembali, sebagaimana dirumuskan dalam Bab III Pasal 43 Buku Kesatu Rancangan KUHP baru pada tahun 1982 yang oleh Tim Pengkaji Bidang Hukum Pidana, disusun yaitu :

1. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

2. Untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna

3. Untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat

(18)

Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa pada hakikatnya warga binaan pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam sistem pembinaan yang terpadu. Perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan tersebut berdasarkan sistem kepenjaraan tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan.

Berdasarkan rumusan tersebut, maka telah diakui oleh undang-undang bahwa sistem penghukuman sudah tidak relevan lagi untuk difungsikan sebagai bagian dari sistem represif.

Sering dinyatakan oleh sebagian besar orang, bahwa hukuman merupakan suatu pembalasan atas kejahatan yang dilakukan, sehingga sangat wajar apabila dikenakan hukuman berupa pemidanaan. Terhadap pernyataan ini, Gerson W. Bawengan (1991), menyatakan ; Dengan landasan Pancasila, hukuman itu bukan merupakan pembalasan, bukan pula sekedar prevensi, tetapi harus membawa manfaat bagi masyarakat umum dan berguna bagi pribadi terhukum.

Dengan demikian, maka dalam proses menjalani hukuman si terpidana diharapkan dapat memperbaiki perilakunya dengan pembinaan-pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah/negara, sehingga pada akhirnya nanti ketika ia kembali ke masyarakat dapat diterima serta timbul kesadaran bagi dirinya untuk mentaati hukum dengan tingkat kesadaran yang telah terbentuk selama menjalani proses pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan.

Dalam proses pemidanaan tersebut, Lembaga Pemasyarakatan mendapat porsi besar dalam melaksanakan pemidanaan, setelah melalui proses perisidangan di pengadilan. Pada awalnya tujuan pemidanaan adalah penjeraan, membuat pelaku tindak pidana menjadi jera untuk melakukan tindak pidana lagi. Tujuan itu kemudian berkembang menjadi perlindungan hukum, baik kepada masyarakat (pihak yang dirugikan) maupun kepada pelaku tindak pidana (pihak yang merugikan), agar keduanya tidak melakukan tindakan hukum sendiri-sendiri. Berangkat dari upaya perlindungan hukum, maka pelaku tindak pidana dalam menjalani pidananya, juga mendapat perlakuan yang manusiawi, mendapat jaminan hukum yang memadai.

(19)

Namun demikian, kebanyakan orang, masih beranggapan bahwa Lembaga Pemasyarakatan masih menimbulkan kesan yang kurang menyenangkan atau bahkan menakutkan, karena di penjara seseorang tidak saja kehilangan kemerdekaannya, tetapi juga kehilangan keamanan dirinya (F.Cole ; 1986).

2.2. Kerangka Kajian

Pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin belum dilaksanakan secara maksimal. Hal tersebut dapat dilihat jumlah narapidana yang ada semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa hasil atau dampak terhadap pembinaan yang dilaksanakan kurang mencapai sasaran yang diharapkan, yaitu mengurangi jumlah narapidana dari tahun ke tahun. Hal lain juga yang tidak kalah pentingnya yaitu kurangnya perhatian dan dukungan dari masyarakat didalam pembinaan narapidana.

Perbaikan sistem pembinaan terhadap narapidana miskin di Lembaga Pemasyarakatan dalam upaya meningkatkan potensi ekonomi narapidana keluarga miskin guna memenuhi kebutuhan hidupnya dapat terwujud bila pelaksanaan sistem pembinaan dilakukan secara sungguh-sungguh sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku serta adanya perhatian dan dukungan dari masyarakat dan instansi terkait.

Untuk melihat sejauhmana sistem pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan serta gambaran dan kondisi narapidana keluarga miskin di dalam Lembaga Pemasyarakatan terhadap upaya peningkatan potensi ekonominya dalam mencukupi kebutuhan hidup dapat diuraikan dalam alur pemikiran pada Gambar 1.

(20)

Kerjasama dengan pihak terkait - Dinas Pendidikan - Dep. Agama - Perusahaan - Dan lainnya Karakteristik napi - Umur - Pendidikan - Motivasi - Perilaku . . Keterangan : = mempengaruhi Gambar 1 : Alur Pemikiran

Kerangka pemikiran di atas menerangkan, bahwa sistem pembinaan yang dilaksanakan oleh Lembaga Pemasyarakatan sangat dipengaruhi oleh narapidana yang ada di Lapas, berdasarkan karakteristik yang dimilikinya, antara lain, berdasarkan umur, tingkat pendidikan, motivasi dengan dukungan jenis pekerjaan yang sebelumnya digeluti oleh narapidana, serta perilaku terhadap jenis kejahatan yang membawanya masuk ke dalam Lembaga Pemasyarakatan, yang akan mempengaruhi terhadap pembinaan yang .dilaksanakan Lembaga Pemasyarakatan.

Narapidana yang berumur lebih mapan (tua), dengan sangat mudah akan menjadi panutan bagi narapidana lain yang berumur lebih muda, dan mereka biasanya diangkat oleh sesama narapidana sebagai tokoh atau sesepuh di lingkungan mereka, begitu pula oleh pihak Lapas biasanya mereka juga diangkat sebagai “Pemuka”. Kapasitas Lapas - Dana - Prasarana - Sarana Napi Bebas - Sumber penghasilan - Tatalaksana rumah tangga - Pengasuhan anak - Pembagian kerja Sistem Pembinaan Lapas

- Metode Pembinaan Kepribadian

- Metode Pembinaan Kemandirian

(21)

Untuk narapidana yang berumur mapan ini, biasanya sangat sulit untuk diajak untuk mengikuti kegiatan pembinaan kemandirian yang dilaksanakan di Lapas, sehingga perlu adanya pembinaan yang lebih tepat, dan biasanya mereka lebih mudah diarahkan untuk mengikuti pembinaan kepribadian, berupa kegiatan keagamaan, melalui pesantren yang ada dalam Lapas, Kebaktian di gereja dan sebagainya.

Narapidana yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi, juga biasanya sulit diajak mengikuti kegiatan pembinaan kemandirian, dan biasanya mereka sangat dihormati oleh sesama narapidana, bahkan juga oleh petugas, pada umumnya mereka tersangkut kasus korupsi.

Untuk memotivasi narapidana untuk mengikuti pembinaan di Lapas, biasanya pihak Lapas memanfaatkan intelektualitas mereka yang berpendidikan tinggi, untuk membantu mengajar atau memberikan pengetahuannya kepada narapidana lainnya, dengan mengangkat mereka sebagai “Pemuka” dengan imbalan mereka akan memperoleh remisi tambahan selain remisi yang ada.

Sistem pembinaan yang dilaksanakan Lembaga Pemasyarakatan akan sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan metode pembinaan yang dilaksanakan Lembaga Pemasyarakatan, tergantung bagaimana sistem yang dilaksanakan selama ini, apakah sudah sesuai kebutuhan narapidana dan dapat mencapai sasaran yang telah ditentukan. Untuk itu, perlu adanya strategi yang dapat menciptakan sistem pembinaan yang efektif agar sistem pembinaan yang dilaksanakan dapat mendukung terhadap upaya meningkatkan potensi ekonomi narapidana keluarga miskin, agar setelah bebas nanti narapidana dapat diterima kembali ke dalam lingkungan masyarakatnya.

Faktor-faktor lain yang sangat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan sistem pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, yaitu bagaimana kapasitas Lapas yang ada, baik dukungan dana, prasarana serta sarana yang ada, karena ketersediaan dana yang mencukupi, prasarana dan sarana yang memadai akan mempengaruhi terhadap keberhasilan pelaksanaan pembinaan yang dilaksanakan, terutama terhadap motivasi atau keinginan narapidana untuk mengikuti kegiatan tersebut.

Hal lain, yang tidak kalah pentingnya, bagaimana dukungan dari pihak terkait terhadap sistem pembinaan yang dilaksanakan di Lapas, yaitu melalui pemberian bantuan, baik tenaga pelatih, atau bahan baku dan perlengkapan

(22)

atau peralatan dalam peningkatan keterampilan kerja, sebagai upaya menciptakan tenaga kerja terampil.

Strategi disusun untuk menemukan sistem pembinaan yang efektif terhadap metode pembinaan melalui pemberian keterampilan kerja maupun pembentukan watak atau perilaku narapidana.

Metode pembinaan yang dilaksanakan bertujuan untuk mengatasi masalah pemenuhan kebutuhan hidup narapidana, baik selama berada di dalam Lapas maupun setelah keluar dari Lapas.

Sistem pembinaan yang dilaksanakan di Lapas, yaitu suatu tahapan proses kegiatan pembinaan, yang dilakukan sejak narapidana masuk ke dalam lingkungan Lapas sampai dengan keluar dari Lapas, terdiri dari tahap-tahap sebagai berikut :

Tahap pertama, dilakukan tahap penerimaan, pendaftaran dan registrasi narapidana untuk dicatat semua data tentang narapidana, tahap kedua yaitu tahap kegiatan pembinaan, berupa pemberian kegiatan pembentukan watak atau perilaku narapidana melalui pemberian kegiatan-kegiatan keagamaan, pendidikan, penyuluhan hukum, tukar pendapat (sharing), baik sesama narapidana maupun dengan petugas, tahap ini disebut metode pembinaan kepribadian. Sedangkan metode pembinaan kemandirian dilaksanakan berupa pemberian pelatihan keterampilan kerja.

Tahap akhir sistem pembinaan yang dilaksanakan, yaitu program integrasi sosial, berupa pemberian kesempatan bekerja di luar Lapas, di perusahaan-perusahaan, melalui program Bekerja dengan pihak ketiga, Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Cuti Bersyarat (CB), diberikan kepada narapidana yang telah menjalani 2/3 dari masa pidananya.

Dalam kajian ini, dibatasi pada tahap kedua, yaitu tahap yang melaksanakan metode pembinaan kepribadian dan metode pembinaan kemandirian, dengan tujuan agar selama mereka berada di dalam Lapas, dapat merubah, meningkatkan dan mengembangkan watak, perilaku yang lebih baik dibanding ketika sebelum mereka masuk Lapas, dan juga terhadap kemampuan kerja, berupa pemberian keterampilan kerja.

Referensi

Dokumen terkait

2.1. Mekanisme pengujian CBR di laboratorium ... Limbah kaleng minuman yang digunakan untuk stabilisasi tanah ... Diagram alir penelitian ... Pengambilan sampel tanah ... Limbah

 Bertanyadengan kalimat sendiri, menyatakan kalimat matematika, dan memilih kalimat matematika yang tepat dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan konsep

E-PURCHASING PPK 18 Pada halaman Detail Paket - tab Riwayat Paket, PPK dapat melihat proses ePurchasing produk Barang/Jasa Pemerintah yang telah dilaksanakan mulai dari paket

Mekanisme keracunan logam ada tiga kategori, yaitu dengan cara memblokir atau menghalangi kerja gugus fungsi biomolekul yang esensial untuk proses-proses biologis seperti protein

(1) Tujuan Pelatihan Gada Utama yaitu menghasilkan tenaga Satuan Pengaman yang memiliki sikap mental kepribadian, kesamaptaan fisik, dan memiliki pengetahuan serta

Pemanfaatan teknologi akustik pada pengoperasian bagan perahu belum optimal bahkan dapat dikatakan nelayan tidak mengetahui instrumen akustik sebagai alat bantu penangkapan ikan

Kereta api berat dikenal juga sebagai Heavy Rail Transit atau rapid transit, underground, subway, tube, elevated, atau metro adalah angkutan kereta api perkotaan

Hasil dari perhitungan VaR pada metode VaR simulasi Monte Carlo dan Varian - Kovarian dengan selang kepercayaan 80% dapat dilihat pada gambar 4. Gambar 6 Diagram