• Tidak ada hasil yang ditemukan

SERAT DEWA RUCI : KONSEP MANUNGGALING KAWULA GUSTI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SERAT DEWA RUCI : KONSEP MANUNGGALING KAWULA GUSTI"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

SERAT DEWA RUCI : KONSEP MANUNGGALING KAWULA GUSTI

TRI ULFA SUSILA

2611414001

Jurusan Bahasa Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, Indonesia

Info Artikel

________________ SejarahArtikel:

________________ Keywords:

Serat Dewa Ruci, Konsep Manunggaling Kawula Gusti

____________________

Abstrak

___________________________________________________________________

Penjabaran konsep Manunggaling Kawula Gusti dalam hubungnannya dengan Dzat Illahiah adalah keselarasan dalam mencapai sebuah kesatuan antara apa yang dilakukan dengan apa yang ada dalam hatinya bentuk manembahing rasa. Jadi bukanlah manusia bisa berada sekedar dekat dengan Tuhan. Hal ini menuntut kepada manusia untuk lebih dalam menghayati dengan seksama dan sungguh-sungguh tentang hal-hal praktek penyembahan atau ibadah terhadap Tuhan. Dia harus tahu betul makna dan tujuan dari penyembahannya hingga terjadi satunga rasa dan tahu ada apa di balik semua rahasia alam semesta hingga kadunungan atau Dzat Illahiah.

Kisah perjalanan Bima. Anak kedua dari Pandu yang mancari air suci Tirta Pawira, mengisyaratkan bahwa untuk mencapai kesempurnaan atau yang dilambangkan dengan Tirta Pawira tidaklah semudah membalik telapak tangan, akan tetapi melalui ritual dan laku yang kompleks hingga akhirnya ia mendapat wejangan dari Dewa Ruci yaitu Dzat Illahiah yang menempati sukma sejatinya.

(2)

Pendahuluan

Tentang hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya, orang Jawa menyatakan bahwa Tuhan menyatu dengan ciptaanNya. Persatuan antara Tuhan dan ciptaanNya itu digambarkan sebagai “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”, seperti keris masuk ke dalam sarungnya, seperti sarung memasukki kerisnya. Meski ciptaanNya selalu berubah (dumadi), Tuhan tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada ciptaanNya.

Berdsarkan pengertian bahwa Tuhan bersatu dengan ciptaanNya itu, maka orang Jawa pun berusaha untuk mencari dan membuktikan kebenaran Tuhan. Mereka

menggambarkan usaha pencariannya

dengan memanfaatkan system symbol untuk memudahkan pemahaman.

Konsep manunggaling kawula gusti merupakan sebuah tingkatan ajaran paling tinggi dalam hidup masyarakat Jawa. Ajaran manunggaling kawula gusti ini sangat pas untuk bekal hidup jaman ini

dimana orang hanya dibiasakan

menggunakan otak kiri/ kognisi yang menarik manusia kepada hitung-hitungan

tambah dan kurang, konsumerisme,

hedoisme, normative yang hanya ragawi dan kasat mata tanpa hati sejati. Akibatnya orang ingin cepat memperoleh hasil secara instant dan mengabaikan proses. Orang

hanya terpaku pada bagaimana

mendapatkan untung banyak namun tidak bersedia untuk rugi. Hal ini disadari atau

tidak berpengaruh terhadap aspek

keagamaan, persaingan, kalah-menang, pembenaran diri, egoism yang berbuntut pada konflik dengan kedok agama, suku dan ras, penguasaan sumber daya alam tanpa ada kemauan untuk melestarikan dan berbagi.

Konsep manunggaling kawula gusti itu sendiri tidak serta membuat manusia bersatu dengan Tuhan pada artian yang sebenarya. Karena konsep yang demikian dapat menimbulkan praduga bermacam-macam. Mungkin dikemudian hari konsep ini dapat disalah artikan oleh beberapa orang yang menganggap dirinya Tuhan karena merasa telah mengerti dan mencapai konsep manunggaling kawula gusti ini. Piwulang manunggaling kawula gusti ini adalah ajaran Jawa tentang tanggapan diri pribadi manusia sebagai ciptaan atas belas kasih atau welas asih Tuhan (Pencipta) yang berkenan menyertai setiap hati sejati manusia.

Kisah Dewa Ruci merupakan proses pemahaman akan jati diri manusia sebagaimana Tuhan telah menciptakannya, dan merupakan manifestasi tuntutan Illahi tergadap ummat manusia sepanjang zaman. Dalam kisah Dewa Ruci menggambarkan kehidupan manusia dalam usaha ikhtiar

(3)

Dumadi), bahkan tujuan akhir adalah

bersatunya manusia dengan Tuhan

(Manunggaling kawula gusti).

Kisah Dewa Ruci memberikan gambaran bahwa untuk mengenali diriya, manusia harus melalui tahapan-tahapan yang harus dilalui, yakni: Syariat (sembah raga), Tarekat (sembah kalbu), Hakekat (sembah jiwa) dan Makrifat (sembah rasa). Hal ini tergambarkan dalam perjalanan Bima mencari air kehidupan, ia harus melalui rintangan, sampai akhirnya bertemu dengan dewa Ruci untuk mendapatkan

“Ngelmu Kasampurnan Dumadi”..

Penelitian terdahulu yang

mendukung penelitian ini di antaranya : 1. SERAT DEWA RUCI 9Studi Pemikiran

Tasawuf Yasadipura I) oleh Edwin

2. Nilai-nilai Pendidikan dalam Serat

Dewa Ruci dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam oleh Iwa Koswara.

3. Kajian Semiotik dan Nilai Pendidikan

Karakter Serat Dewa Ruci oleh Mahatma

Zat Akhdiyat.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, Sumber data dalam penelitian ini adalah Serat Dewa Ruci. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah observasi, teknik

pustaka, dan teknik catat. Instrumen penelitian ini menggunakan human instrumen dan dibantu dengan alat bantu lainnya seperti nota pencatat dan alat tulis. Dalam penelitian ini pengolahan data dilakukan dengan teknik analisis deskriptif. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis historis dan hermeneutic sastra. Hermeneutic sastra merupakan system penafsiran terhadap suatu teks untuk meamahami makna ataupun symbol-simbol yang terkandung di dalamnya.

(4)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Istilah manunggaling kawula Gusti bersumber dari bahasa Arab yaitu wihdatul

wujud yang berarti baginya yang ada hanya

satu, sedangkan dalam kontekss budaya Jawa paham wihdatul wujud lebih dikenal dengan manunggaling kawula Gusti. Dalam khasanah Islam maupun tradisi local sejak zaman dahulu kala selalu menimbulkan kontroversi, konsep manunggaling kawula

Gusti merupakan konsep yang amat rumit

dan sulit untuk dipahami, khususnya bagi kaum awam. Padahal konsepini sangat penting untuk bisa dipahami oleh siapapun, khususnya mereka yang ingin lebih mendekatkan diri dan berserah kepada Allah.

Menurut Priyo Prabowo (2003:109)

wihdatul wujud adalah upaya manusia untuk

dekat bahkan menyatu dengan Tuhan. Menurut Purwadi (2004:9) wihdatul wujud adalah penyatuan eujud tunggal tiada terpisah abdi dalem dengan pencipta.

Wihdatul wujud merupakan suatu keadaan

di mana seseorang merasa bersatu dengan Tuhan bagaikan bertindak, merasa, berfikir seperti apa yang dikehendaki Allah (mulkhan, 2000:27)

Wihdatul wujud adalah kepercayaan bahwa

seluruh yang maujud atau ada itu pada prinsipnya hanyalah satu dalam segala arti yang tidak dapat diduakan. Hal ini satu

maujud itulah Tuhan dimana segala bentuk keragaman yang tampak dan kasat mata dianggap tidak ada. Mereka percaya bahwa seluruh hal lain di dunia tidak ada kesuali gambaran atau bayangan dari Yang Saty yaitu Tuhan itu sendiri (Mulkhan, 2000:34)

Menurut Simuh (2004:47) konsep

manunggaling kawula Gusti diterangkan

“Minggah pamoring kawula lan Gusti iku,

kaya dene paesan karo sing ngilo. Wayangan kang ana sajroning pangilon, iya iku jenenge kawula”. Yang berarti:

kesatuan manusia dengan Tuhan ibarat cermin dengan orang tercermin. Baying-bayang yang bercermin itulah manusia. Oleh karena itu, uraian dalam kepustakaan

Islam Kejawen, yang menyangkut

hubungan manusia dengan Tuhan,

umumnya mengandung rumusan yang saling tumpang tindih. Tuhan dilukiskan memiliki sifat-sifat yang sama dengan manusia dan manusia digambarkan sama dengan Tuhan.

Manunggal dalam bahasa Jawa berasal dari

kata tunggal, satu. Manunggal berarti menyatu. Jadi manunggaling kawula Gusti berarti manunggal atau menyatunya seorang hamba dengan penciptanya, dalam arti menyatunya kehendak dari seorang hamba dengan kehendak penciptanya.

Manunggaling kawula Gusti berarti suasana

batin seorang hamba yang merasa sangat cinta dan dekat dengan Tuhan sehingga dia

(5)

merasa lebur dan menyatu dengan Tuhan. Ibarat leburnya gula dan air, menyatunya api dan besi, yang di antara keduanya bisa dibedakan, tetapi tidak bisa lagi dipisahkan. Ketika besi telah menjadi merah karena dibakar api, besi dan api telah menyaatu. Siapa menyentuh api, akan terkena besi dan siapa yang memegang besi akan tersentuh api (Komaruddin Hidayat, 2010:17)

Menurut Hadiwijono dalam Dhanu Priyo Prabowo (2003:131) Manunggaling kawula

Gusti adalah keadaan yang tidak ada lagi

perbedaan antara yang menyembah dan yang disembah. Menurut Jalaludin Rumi

dalam Sri Muryanto (2004:36),

Manunggaling kawula Gusti adalah

lenyapnya kedirian, karena adanya kesatuan (manunggal yang smepurna dengan sang kekasih, Tuhan adalah tumpuan dan harapan hidup, tiada yang lainnya.

Pada saat tercapainya puncak kemabukan cinta, maka akan terjadi perkawinan jiwa anatara sang Khaliq dengan makhluknya, dimana terjadi sintesa antara pecinta dan yang dicinta yang terwujud dalam kondisi bersatu atau fana’ (lebur dalam diri Tuhan), menurut Rumi antara manusia dan Tuhan tidak terpisahkan lagi, karena sudah

manunggal, tapi tidak berarti manusia telah

menjadi atau sama dengan Tuhan, karena Tuhan adalah sang pencipta (Sri Muryanto, 2004:36-37).

Dhanu Priyo Prabowo (2003:136): “Semua ungkapan kemanunggalan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengajarkan bahwa di dalam pertemuan manusia dengan Tuhan tersebut, manusia menjadi Tuhan. Berbagai istilah itu harus dipandang sebagai pengungkapan pengalaman mistis, karena manusia diserbu oleh keagungan dan keindahan Tuhan serta sedemikian dalam kesatuan, seolah-olah hapuslah dirinya (fana)”

Pengertian konsep Manunggaling kawula

Gusti dapat dengan mudah dipahami dan

sekaligus sukar dimengerti. Karena manusia dikatakan bukan Tuhan tetapi bukan Tuhan, dikatakan Tuhan tetapi kelihantannya sama dengan Tuhan. Ungkapan manunggaling

kawula Gusti, tidaklah dimaskudkan

sebagai hamba sama dengan Tuhan (Dhanu Priyo Prabowo, 2003:137). Kesatuan manusia dengan Tuhan dalam konsep

manunggaling kawula Gusti sulit

dirumuskan dengan kata-kata yang tepat, yang memiliki pengertian tunggal dan jelas. Konsep manunggaling kawula Gusti hanya dapat diterangkan dengan rumusan kata-kata yang tegas mengarah kesuatu pengertian.

Dari beberapa pengertian tentang konsep

wihdatul wujud dapat disimpulkan bahwa wihdatul wujud adalah suatu keadaan di

mana seseorang merasa bersatu dengan Tuhan. Dalam pertemuan manusia dengan

(6)

Tuhan. Dalam konsep manunggaling kawula Gusti tidak dimaksudkan hamba

sama dengan Tuhan. Berbagai istilah itu harus dipandang sebagai pengungkapan mistik, karena manusia terlena oleh keagungan dan kebesaran Tuhan sehingga dilarutkan dalam kesatuan, seolah-olah hapuslah dirinya (fana).

Menurut Simuh (1988:362), ada beberapa istilah yang menunjukan kesamaan dengan ajaran di atas antara lain: ilmu ma’rifat, ilmu kasampurnaan, ilmu kassunyatan, ilmu sangkan paraning dumadi. Di dalam ilmu ma’rifat terdapat pengetahuan yaitu ilmu mengetahui seyakin-yakinnya, di sini diartikan mengenal kepada Allah baik sifat_Nya, dan asma_Nya pula. Dikenal pula ilmu kasempurnaan, di dalam ilmu ini membuat manusia menjadi lebih sempurna, ini terpengaruh oleh paham tasawuf bahwa penghayatan ma;rifat kepada tuhan disebut

insan kamil, selanjutnya ilmu sangkan paran, yaitu apabila mengenal Tuhan maka

mengenal asal kejadian masnua yang berasal dari Tuhan dan akan kembali juga kepad_Nya. Dengan ini Tuhan merupakan

sangkan paraning dumadi atau asal dan

tempat kembali semua kejadian.

Kisah Dewa Ruci memberikan gambaran bahwa untuk mendalami dan meresapi konsep Manunggalling Kawula

Guust itu sendiri, manusia harus melalui

tahapan-tahapan yang harus dilalui, yakni :

Syariat (sembah raga), Tarekat (sembah

kalbu), Hakekat (sembah jiwa) dan Makrifat (sembah rasa). Hal ini tergambarkan dalam perjalanan Bima mencari air kehidupan, ia harus melalui rintangan, sampai akhirnya

bertemu dengan dewa Ruci untuk

mendapatkan “Ngelmu Kasampurnan

Dumadi”. Syariat

Syariat dalam bahasa Jawa disebut sarengat atau laku raga, sembah raga,

merupakan pijakan awal bagi seseorang untuk menempuh laku perjalanan menuju

manusia sempurna, yaitu dengan

mengerjakan amalan-amalan badaniah ataupun lahiriah dari segala hukum agama. Amalan-amalan itu menyangkut hubungan manuisa dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Di samping amalan-amalan seperti itu, dalam kaitan hubungan manusia dengan manusia, orang yang menjalani syariat, di antaranya kepada orang tua, guru, pimpinan, dan raja, ia hormat serta taat. Segala perintahnya dilaksanakan. Dalam pergaulan ia bersikap jujur, lemah lembut, sabar, kasih-mengasihi, dan beramal soleh. Sedangkan konsep Syariat di dalam Serat Dewa Ruci adalah sebagai berikut:

Di dalam serat Dewa Ruci ini terdapat empat tahapan menuju Tuhan, yang keempatnya dianggap sebagai sebuah anak

(7)

tangga yang akan mengantarkan seseorang menuju puncak kemakrifatan. Keempat tahapan tersebut adalah syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Ke empat anak tangga ini saling berkesinambungan dan juga saling terkait antara satu dengan yang lain. dan untuk mencapai puncak tidak ada jalan lain selain harus melewati anak tangga tersebut satu tahap demi satu tahap, dengan tanpa melewati satupun anak tangga. Anak tangga yang merupakan awal atau menjadi pintu gerbang utama menuju puncak adalah

Syariat. Dalam menyelami lau syariat,

hampir dalam tradisi sufi para penempuh jalan ruhani harus dibimbing oleh seorang guru spiritual yang akan membawa menuju puncak hakikat. Dalam Serat Dewa Ruci hal tersebut juga nampak pada usaha Bima untuk berguru pada Resi Druna.

Seorang guru yang baik

diamanatkan dalam Serat Dewa Ruci sebagai berikut: “Pratingkah angayawara,

tapaning raga runting, denira amrih kamuksan, tanpa tutur sinareki, wuk tapanira, dene kang lestari iku, tapa iku minangka, ragining sariraki, ilmu iku iya

kang minangka ula.”(Pupuh

Dhandhanggula) Artinya:

Bertingkah seenaknya sendiri, bertapa dengan merusak diri, dalam mendapat kamuksan, tanpa berkata, gagalah pertapaannya, sedangkan yang lestari itu,

bertapa sebagai ragi untuk dirimu sendiri, sedangkan ilmu itu sendiri merupakan lauknya.

Dari kutipan di atas menunjukan bahwa seorang guru wajib untuk dihormati, disembah karena dari jasa gurulah kita belajar menjadi manusia yang sempurna. Guru merupakan pintu gerbang yang akan mengantarkan kita pada tujuan kita masing-masing. Dari gurulah kita belajar bagaimana kesempurnaan hidup hingga akhir hayat, yang memberi petunjuk tentang kebaikan dan dialah yang memberikan nasihat ketika seseorang sedang bersusah hati. Di dalam Serat Wulangreh, keberadaan guru yang benar-benar arif dan berpengalaman di dalam menempuh perjalanan kehidupan kerohanian sangatlah penting. Di dalam Pupuh Dhandhanggula, pada 16 dijelaskan bahwa mematuhi perintah guru tidak boleh bosan. Amalan selalu dilaksanakanatas perintah guru. Oleh sebab itu, keberadaan guru sangat penting. Masyarakat Jawa memberi tempat yang terhormat kepada guru.

Dalam Serat Dewa Rusi diceriakan bahwa Bima diperintahkan gurunya untuk mencari air kehidupan. Hal ini dijelaskan pada awal pupuh Dhandhanggula Serat Dewa Ruci. Kisah perjalanan Bima dalam mencari air kehidupan mengisyaratkan bahwa dalam mendalami ilmu agama, seseorang harus berbaik sangka, tidak boleh

(8)

ada ragu-ragu, tidak takut terhadap kesulitan serta memiliki tekad yang bulat.

Laku Bima dalam tahap Syariat tersebut adalah gambaran bagi manusia agar mempunyai rasa bakti, patuh dan setia kepada semua guru. Seorang siswa yang tidak berbakti, patuh dan setia kepada guru tidak akan bermanfaat di dalam masyarakat.

Tarekat

Tarekat dalam bahasa Jawa laku

budi, sembah cipta adalah tahap perjalanan

menuju manusia sempurna yang lebih maju. Amalan pada tahap ini lebih banyak

menyangkut hubungan dengan Tuhan

daripada hubungan manusia dengan

manusia ataupun dengan lingkungan alam sekitarnya. Pada tingkat ini seseorang akan menyesali terhadap segala dosa yang dilakukan. Kepada gurunya ia berserah diri sebagai mayat.

Dalam ajaran Serat Dewa Ruci yang berkakitan dengan Tarekat sebagai berikut: Tokoh Bima digambarkan sebagai murid yang sangat taat. Kepercayaannya dan keyakinannya pada sang guru sedemikian kuatnya. Sehingga apa yang diperintahkan oleh sang guru maka akan langsung dikerjakan Bima. Dalam pencarian air kehidupan, Bima diperintahkan sang Drona untuk mencari air kehidupan tersebut di dalam gunung Candradimuka. Sebagai wujud ketaatan seorang guru kepada

gurunya, berangkatlah sang Bima menuju gunung Candradimuka. Sesampainya di dalam gunung, Bima tak juga menemukan air yang dimaksud gurunya. Karena kesal diobrak abriklah seluruh isi gunung tersebut. Tanpa diduga, di dalam gunung ternyata tinggalah dua raksasa bernama Rukmuka dan Rukmakala. Karena merasa diganggu oleh sang Bima kedua raksasa tersebut pada akhirnya bertarung melawan Bima. Terjadilah perkelahian, namun dalam perkelahian dua raksasa tersebut kalah. Keduanya ditendang, dibanting ke atas batu dan seketika meledak hancur lebur.

Raksasa tersebut sebenarnya

merupakan sebuah kiasan simbolik. Rukmuka menggambarkan bentuk nafsu pancaindra yang cenderung membawa kesesatan manusia, sedangkan Rukmakala melambangkan alam pikiran manusia yang sering lepas kendali sampai membahayakan dirinya atau orang lain. inilah gambaran

pembelajaran bahwa manusia untuk

mencapai tujuannya selalu menghadapi

ancaman, tantangan, hambatan dan

gangguan.

Kegagalan Bima dalam memperoleh air kehidupan tidak membuatnya menyerah, malah sebaliknya. Dia kembali kepada sang Guru dengan keyakinan dan ketaatan yang semakin bertambah. Tekadnya semakin besar dalam mencari air kehidupan yang diperintahkan gurunya. Dalam kisah

(9)

tersebut mengandung peristiwa bahwa seseorang yang menjalani laku tarekat, akan semakin bertambah keimanannya maka akan semakin besar pula godaannya. Adapun tempat tirta prawita (air kehidupan) di dasar laut memberi makna

bahwa untuk sampai pada tingkat

makrifatullah memang sukar, jauh dan dalam.

Menurut Ki Darmonosunarso,

peritiwa nyebur ing telenging samudro itu dinamakan sebagai suatu perbuatan atau lambang perjuangan manusia melepaskan jati diri dari cengkraman hawa nafsu birahi. Bima dalam proses pencarian air kehidupan telah melepaskan semua yang ia miliki, hingga dia sendiri berani mati demi mendapatkan air kehidupan tersebut. ikut matinya Bima bersama Nemburnawa ini menandakan bahwa Bima mengalami mati

sajroning ngaurip demi harapan urip sajroning mati. Dalam hal ini, yang

mengalami kematian hanya raga. Sedang jiwa tau sukma yang menghidupi raga, selama hayat dikandung badan tidak mengalami kematian, tetapi kembali kepada sli, yaitu Yang Maha Pencipta semseta alam. Perjalanan ruh Bima inilah yang mensiratkan pemebelajaran hidup.

Dari uraian di atas menjelaskan bahwa sikap sabar dan berpasrah diri secara total merupakan ajaran penting yang harus

dijalankan oleh seseorang yang ingin mendapatkan sesuatu yang diharapkan.

Hakikat

Hakikat (Jawa laku manah, sembah

jiwa) adalah tahap perjalanan yang

sempurna (pupating laku). Berbeda dengan dua tahap sebelumnya, dalam hal bersuci tidak seperti pada tahap syariat yakni wudhu atau mandi juga tidak seperti pada tahap tarekat yang caranya dengan menundukan hawa nafsu. Dalam tahap hakikat, cara bersucinya dengan awas emut (selalu waspada dan dengan sholat, berdoa, berdzikir, atau menyebut nama Tuhan secara terus menerus). Tahap ini biasa disebut keadaan mati dalam hidup dan hidup dalam kematian. Sast tercapainya tingkatan hakikat terjadi dalam suasana yang terang benderang gemerlapan dalam rasa lupa-lupa ingat, antara sadar dan tidak sadar. Dalam keadaan seperti muncul Nyala Sejati atau Nur Illahi. Adapun bagian Serat Dewa Ruci yang berkaitan dengan tahap hakikat sebagai berikut:

Setelah Bima menjalankan banyak laku maka hatinya menjadi bersih. Dengan hati yang bersih ini ia kemudian melihat Tuhannya lewat dirinya. Penglihatan atas diri Bima ini dilambangkan dengan masuknya tokoh utama ini ke dalam Dewa Ruci.

(10)

Puncak kisah Dewa Ruci ialah ketika Bima bertemu dengan wujudnya sendiri, penjelmaan yang Maha Kuasa. Bima menemukan apa yang dicarinya sebagai air kehidupan, sangkan paran, asal usul dirinya dijelaskannya satu pengertian dari dunia wayang itu untuk memahami berbagai realitas usaha, manusia dalam

mencapai persekutuan dengan yang

Illhi,sampai pada masalah kekuasaan. Dalam Serat Dewa Ruci, Tuhan dilambangkan sebagai makhluk yang sangat kecil sekaligus sangat besar. Karena ia kecil maka ia dapat melihat seluruh semesta dengan terang bendenrang dalam warna-warni. Karena ia besar, maka ia adalah muara dari segala sesuatu seperti samudra yang menjadi muara dari segala aliran sungai, seperti raksasa tempat bertabur segala planet dan bintang. Dalam pandangan ini Tuhan dianggap sebagai yang terbesar, tak terbatas, dan sebagai seluruh alam semseta, dan sekaligus kecil sehingga dapat dimiliki oleh seseorang.

Persitiwa masuknya Bima ke dalam badan Dewa Ruci melamangkan bahwa Bima mulai berusaha untuk mengenali dirinya sendiri. dengan memandang Tuhannya di dalam kehidupan kekal, Bima telah mulai memperoleh kebahagiaan. Di dalam Serat Dewa Ruci itu sendiri Tuhan dapat dikenali melalui jati diri, hati atau aspek batiniah (weru sangkan paraning

dumadi). Dengan kata lain bahwa

kesempurnaan hidup dapat ditemukan pada diri sendiri setelah mampu mengalahkan hawa nafsu dengan prihatin, mengekang diri, pengenalan diri, keuletan dan keteguhan hati serta disiplin yang kuat. Pengenalan diri lewat symbol yang demikian secara filosofis sebagai realisasi bahwa Bima telah mencapai tahap hakikat.

Hakikat Tuhan dalam serat Dewa Ruci disebut Hyang Suskma atau jiwa semesta yang bersifat spiritual. Hyang

Suskma adalah wujud ketuhanan yang tidak

berbentuk, tnampak, dan hanya ditemukan oleh orang yang berhati ssuci dan waspada.

Hyang Suskma adalah wujud tertinggi dari

seala yang ada.

Keadaan yang dialami oleh Bima yang mencerminkan bahwa dirinya telah mencapai tahap makrifat, di anataranya ia merasakan: keadaan dirinya dengan Tuhannya bagaikan air dengan ombak, nikmat dan bermanfaat, segala yang dimaksud olehnya tercapai, hidup dan mati ada bedanya, serta berseri bagaikan sinar bulan purnama menyinari bumi.

Konsep manunggaling kawula gusti dalam serat Dewa Ruci disebutkan dalam pupuh kutipan berikut:

Sarta nugraha satuhu, yen wruh ing paworireki, woring Gusti lan Kawula, sarta panuwunireki, Suksma kang sinedya ana, dening ta warnanireki.

(11)

Wus aneng sira nggonipun Lir wayang sariraneki Barang saparipolanya

Saking dhadhalang kang kardi Kang minangka panggung jagad Kelir kang kinarya ngringgit. Pamolahing wayang iku Saking dhalang kang akardi Tumindhak sarta pangucap Dhalang wisesa akardi Tan antara moring karsa Jer iku datanpa warni Warna wus aneng sireku Upama paesan jati

Ingkang angilo Hyang Suksma Wayanganira puniki

Kang aneng jroning papaesan Jenenging kakwula iki

Uraian di atas menerangkan bahwa

kehidupan manusia merupakan

pencerminan Tuhan, karena sangat dekatnya hubungan manusia dengan tuhan (jating

rasa) penglihatan dan pendengaran manusia

menjadi penglihatan dan pendengaranNya. Kedekatan itu juga menggambarkan badan lahir dan badan batin, hamba dengan Tuhan bagaikan api dengan asapnya, bagaikan air dengan ombak, bagaikan minyak di atas air susu.

Konsep manunggaling kawula gusti yang tekandung di dalam serat Dewa Ruci sebenarnya tetap menganggap bahwa Tuhan tetap dipahami sebagai zat yang hakiki. Dengan kata lain dalam Serat Dewa Ruci tetap berpandangan hamba dengan zat Tuhannya tetap berbeda. Yang mendekati

kesamaan hanyalah dalam sifatnya. Dalam keadaan manunggal, manusia memiliki sifat Illahi

Bima setelah mengetahui,

menghayati, dan mengalami manunggal

sempurna dnegan Tuhannya karena

mendapatkan wejangan dari Dewa Ruci, ia hatinya terang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar. Bima kembali kepada alam dunia semula. Keadaan hati yang terang benderang bagaikan kuncup yang sedang mekar secara filosifis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.

(12)

PENUTUP

Dari analisis di atas maka dapat di

ambil kesimpulan bahwa Konsep

manunggaling kawula gusti yang tekandung di dalam serat Dewa Ruci sebenarnya tetap menganggap bahwa Tuhan tetap dipahami sebagai zat yang hakiki. Dengan kata lain dalam Serat Dewa Ruci tetap berpandangan hamba dengan zat Tuhannya tetap berbeda. Yang mendekati kesamaan hanyalah dalam sifatnya. Dalam keadaan manunggal, manusia memiliki sifat Illahi

.

DAFTAR PUSTAKA

Edwin, 2011. SERAT DEWA RUCI (Studi

Pemikiran Tasawuf Yasadipura I).

Surakarta: Skripsi Universitas Sebelas Maret

Koswara, Iwa. 2007. Nilai-Nilai

Pendidikan dalam Serat Dewa Ruci dan Relevansinya dengan

Pendidikan Islam. Yogyakarta:

Skripsi UIN Sunan Kalijaga

Akhdiyat, Muhatma Zat. 2015. Kajian

Semiotik dan Nilai

PendidikanKarakter Serat Dewa Ruci. Surakarta: Tesis Universitas

Sebelas Maret.

Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen R. Ng.

Ranggawarsita. Jakarta: UI Press

Prabowo, Dhanu Priyo. 2003. Pengaruh

Islam dalam Karya-karya R.Ng.

Ranggawarsita. Yogyakarta:

Narasi

Purwadi. 2004. Tasawuf Muslim Jawa. Yogyakarta: Pustaka

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kami panjatkan kepada Alloh S.W.T karena atas rahmat dan karunia-Nya Badan Penjaminan Mutu (BPM) Universitas Respati Yogyakarta (UNRIYO) telah

Konsentrasi zat warna RB5 yang digunakan yaitu 10 mg/l. Percobaan degradasi zat warna dilakukan dengan variasi membran SB tanpa Ag dan TiO 2 , dengan TiO 2 saja dan

Sel yang mengekspres eiMT didapati menunjukkan tahap pertumbuhan yang lebih tinggi berbanding sel jenis liar di dalam media yang mengandungi kesemua ion logam serta mampu

Pendinginan pipa gas dengan temperatur tinggi oleh lingkungan luar yang lebih dingin (air sungai) menyebabkan kondensasi itu terjadi di lokasi-lokasi yang tidak mendapat

Analisis materi yang akan disampaikan dalam pembelajaran haruslah mengacu pada standar kompetensi dan kompetensi dasar yang tercantum dalam keanekaragaman

Tingkat Persetujuan reponden terhadap tipe usaha BUMDes berbasis padat modal melalui potensi dan kebutuhan desa 3 = Baik 2 = Sedang 1 = Tidak Baik Kepemilikan BUMdes

Mataram Universitas Mataram 0002067402 AGUS DWI CATUR Publikasi Ilmiah Jurnal Internasional 0004097707 SATUTIK RAHAYU Buku Ajar (ISBN). 0006127208 I GEDE BAWA SUSANA Publikasi

Sampel yang digunakan pada penelitian ini yaitu buah cabe jawa ( Piper retrofractum Vahl .) diperoleh dari Kebun Percobaan Manoko-Lembang, yang sudah kering