• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Desa Pasca Pemberlakuan Undang-Undang Desa (Studi Kasus pada Gampong Harapan Kota Lhokseumawe)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengaruh Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Desa Pasca Pemberlakuan Undang-Undang Desa (Studi Kasus pada Gampong Harapan Kota Lhokseumawe)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

97

Pengaruh Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Desa Pasca Pemberlakuan

Undang-Undang Desa (Studi Kasus pada Gampong Harapan Kota

Lhokseumawe)

MustazirRamli *1, Heru Fahlevi*2

1 Program Studi Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala

2 Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala

Corresponding Author: mustazirramli@gmail.com *1

ABSTRACT

This study aims to describe how the mechanisms and forms of accountability in financial management of the village. The study will also describe how the village government capacity in financial management responsibilities of the village with a case study in Gampong Harapan Kota Lhokseumawe. The research design is a case study with primary and secondary data sources. Primary data was collected through interviews and observations, while secondary data obtained by collecting documentation. Analysis of data using interactive data analysis methods, and to assure the validity of the data obtained, the researchers used a data source triangulation techniques and triangulation methods. The results showed that the financial management accountability mechanisms village in the Village of Hope has been realized well. Form of accountability at Gampong Harapan, namely accountability vertical and horizontal accountability. The capacity of the village government hopes very much supported by the existence of the village officials who understand the science of administration and accounting.

KEYWORDS : Village Financial Management, Accountability, Capacity village government.

1. Pendahuluan

Disahkannya UU Desa (Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa) telah menguatkan kembali bentuk pemberian otonomi dari pemerintah pusat kepada pemerintah desa (Widjaja, 2004: 12). Otonomi desa dapat diartikan sebagai hak, wewenang serta kewajiban yang dimiliki oleh pemerintah desa untuk dapat mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sesuai dengan kepentingan masyarakatnya (PATTIRO, 2015: 39). Salah satu hak desa yang dimaksud dalam UU Desa ialah hak untuk mengelola keuangan desa serta mendapatkan suntikan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita satu, 2016).

Namun, pemberian hak dan wewenang kepada pemerintah desa untuk mengelola keuangan desa belum seimbang dengan jumlah perangkat pemerintah desa yang memahami pengelolan

keuangan serta pertanggungjawaban keuangan desa (Setyoko, 2011). Kurangnya pemahaman akuntansi serta kemampuan yang dimiliki pemerintah desa dapat mengakibatkan kesalahan dalam pelaporan keuangan desa nantinya (Berita Satu, 2015). Padalah kegiatan pelaporan keuangan sangatlah penting guna mewujudkan akuntabilitas dan kepercayaan publik dalam pengelolaan keuangan desa.

Menumbuhkan kepercayaan publik terhadap kinerja pengelolaan keuangan pemerintah sebagai wujud akuntabilitas merupakan hal penting dewasa ini (Dubnick, 2003). Akuntabilitas merupakan mekanisme yang harus dijalankan oleh pejabat publik untuk menjelaskan dan memastikan bahwa tindakannya telah sesuai, etis, bertanggungjawab (Scott, 2000). Studi terdahulu menujukkan bahwa organisasi pemerintah belum mampu mewujudkan akuntabilitas walupun sudah

(2)

memiliki mekanisme yang jelas. Hal ini karena aparatur tidak mematuhi pelaksanaanya (Basri, 2014).

KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menemukan empat aspek potensi permasalahan dalam pengelolaan keuangan desa, yakni aspek regulasi dan kelembagaan; aspek tata laksana; aspek pengawasan; dan aspek sumber daya manusia (KPK, 2015). Persoalan lain yang sangat serius dalam pengelolaan keuangan desa adalah korupsi. Tindak korupsi sangat erat kaitanya dengan pengelolaan keuangan, korupsi juga berdampak pada buruknya akuntabilitas pejabat publik. Korupsi biasanya dapat terjadi akibat dari kurangnya pengawasan pada tingkat desa. (Rahman, 2011).

Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana mekanisme dan bentuk akuntabilitas pengelolaan keuangan desa serta menggambarkan bagaimana kapasitas dari pemerintah desa dalam mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan desa dengan studi kasus pada Pemerintah

Gampong1 Harapan Kota Lhokseumawe.

Pemilihan Gampong Harapan2 sebagai objek

penelitian dikarenakan gampong ini pernah mendapatkan predikat terbaik atas pengelolaan keuangan berdasarkan penilaian dan evaluasi dari tim BPM (Badan Pemberdayaan Masyarakat) sebelum adanya UU Desa.

Selanjutnya, penelitian ini akan

mendiskusikan secara singkat tentang teori dan penelitian terdahulu pada bagian kajian pustaka. Bagian ketiga merupakan penjelasan dari penggunaan metode penelitian. Selanjutnya bagian keempat yaitu temuan dilapangan serta diikuti dengan pembahasan. Terakhir, bagian kelima menyajikan kesimpulan penelitian, keterbatasan dan saran untuk studi lebih lanjut.

2. Kerangka Teoretis

Dalam Dalam Perwal 8/2015 (Peraturan Walikota Lhokseumawe Nomor 8 Tahun 2015

1Nama lain dari desa di Provinsi Aceh, sesuai Qanun Nomor 5 Tahun 2003. 2 Objek penelitian disamarkan berdasarkan permintaan Keuchik.

Tentang Pengelolaan keuangan Gampong)

dijelaskan bahwa pengelolaan keuangan gampong adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, hingga pertanggungjawaban keuangan. Ditambahkan pula bahwa pengelolaan keuangan gampong wajib memenuhi empat asas salah satunya adalah pengelolaan keuangan yang akuntabel. Sudarmaji (2009) menuturkan bahwa perwujudan pengelolaan keuangan yang akuntabel dapat dilihat dari kesesuaian antar perencanaan dan pertanggungjawaban keuangan.

Akuntabilitas hampir sama dengan

responsibilitas, akan tetapi akuntabilitas lebih mensyaratkan bahwa pengambil keputusan harus berperilaku sesuai dengan mandat yang diterimanya secara etis dan bertanggung jawab (Budiarjo, 1998;78). Sejalan dengan hal tersebut,

Mardiasmo (2002;21) menjelaskan bahwa

akuntabilitas merupakan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.

Konsep yang dikemukakan oleh J.B Ghartey (1987) dalam Sedarmayanti (2003) tentang akuntabilitas yaitu sebuah kegiatan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan pelayanan apa, siapa, kepada siapa, milik siapa, yang mana, dan bagaimana. Pertanyaan yang harus mendapatkan jawaban tersebut antara lain, apa yang harus dipertanggungjawabkan, mengapa pertanggungjawaban harus diserahkan, siapa yang bertanggungjawab terhadap berbagai kegiatan dalam masyarakat, apakah pertanggung- jawaban sudah berjalan seiring dengan kewenangan yang dimiliki (LAN dan BPKP, 2007). Selanjutnya Dixon, et al, (2006) menyatakan bahwa akuntabilitas publik dapat diwujudkan kedalam dua bentuk. Pertama vertical

accoutability (pertanggung jawaban kepada

otoritas tingkat yang lebih tinggi atau pemberi tugas). Kedua horizontal accountability

(3)

(pertanggungjawaban kepada masyarakat atau perwakilan masyarakat).

Beberapa penelitian terdahulu yang mengangkat isu akuntabilitas pada pemerintahan desa antara lain, penelitian Kloot dan Martin (2001) yang menemukan bahwa adanya perbedaan tingkat akuntabilitas antara perkotaan dan pedesaaan. Dijelaskan bahwa pada tingkat perkotaan kegiatan akuntabilitas merupakan hal yang penting untuk dilaksanakan sebagai upaya pemberian informasi kepada publik. Kondisi sebaliknya, akuntabilitas pada tingkat pedesaan kurang mendapat perhatian dari masyarakat. Hal ini dikarenakan budaya dari masyarakat desa yang cenderung mempercayai setiap tindakan yang telah dilakukan oleh pemerintah desa. Subroto (2008) yang meneliti tentang penerapan akuntabilitas pada pengelolaan ADD (Alokasi Dana Desa) menghasilkan bahwa penerapan akuntabilitas masih sebatas pertanggung jawaban fisik dilapangan, sedangkan pada sisi administrasi dinilai masih belum sepenuhnya dilakukan dengan aturan. Sejalan dengan hasil tersebut, Furqani (2010) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa akuntabilitas pengelolaan keuangan desa masih

sangat rendah karena kegiatan

pertanggungjawaban tidak melibatkan masyarakat

dan unsur legislatif desa/BPD (Badan

Permusyawaratan Desa).

Persoalan buruknya sistem administrasi pada tingkat pemerintah desa bisa dikarenakan tidak adanya sanksi yang diberikan kepada pemerintah desa apabila terlambat dalam menyampaikan laporan keuangan desa (Hupe dan Hill, 2007). Ditambahkan bahwa kendala utama dalam keterlambatan penyerahan laporan keuangan desa dikarenakan kemampuan kerja streetlevel

bureaucratsyang sangat terbatas. Padahal

kemampuan administrasi merupakan komponen penting dalam melaksanakan tugas pemerintahan (Hupe dan Hill, 2007). Penelitian Setyoko (2011) mengenai implementasi akuntabilitas vertikal dan horizontal pada pengelolaan keuangan desa

menemukan bahwa akuntabilitas pada

pemerintahan desa belum berhasil. Padahal pemerintah kabupaten telah menyusun sistem dan mekanisme pelaporan keuangan namun ternyata dalam pelaksanaannya belum dapat dilakukan dengan baik oleh pemerintah desa.

Sebaliknya, Sudarmaji (2009) menemukan bahwa pengelolaan keuangan dan administrasi pada desa sudah baik. Pemerintah desa dinilai mampu menuangkan dokumen perencanaan

keuangan dengan baik dan

mempertanngunjawabkannya kedalam bentuk peraturan desa tentang pertanggunjawaban APBDes. Senada hal itu, Sulumin (2015) menyatakan bahwa kegiatan pertanggung jawaban alokasi dana desa diberikan dengan baik kepada pemerintah daerah juga kepada masyarakat. Dijelaskan bahwa kepada pemerintah daerah dilakukan setiap bulan dan juga pada akhir tahun yang dilaksanakan secara struktural dari Kepala Desa kepada Camat, kemudian oleh Camat

diteruskan Kepada Bupati. Sedangkan

pertanggungjawaban kepada masyarakat diberikan secara transparan dan langsung melaui kegiatan musyawarah desa

3. Metodelogi Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang merupakan bagian dari

qualitative research (Basri, 2014). Studi kasus

digunakan untuk memahami tentang fenomena yang terjadi dalam pengelolaan keuangan gampong, kemudian mengakui dan menyelidiki hubungannya dalam akuntabilitas. Yin (2005:27) menjelaskan desain studi kasus memilki beberapa kelebihan antara lain mampu mengungkapkan hal-hal yang spesifik, unik serta hal-hal-hal-hal yang mendetail yang tidak dapat diungkap oleh studi yang lainnya.

Pengumpulan data dalam desain penelitian studi kasus dilakukan dengan beragam cara (multi

sources of data) diantaranya observasi, wawancara

dan dokumentasi (Creswell, 2013;67). Observasi dilakukan untuk mendapatkan pengalaman tentang bagaimana proses pengelolaan keuangan desa di

(4)

Gampong Harapan. Kemudian wawancara dilakukan secara indepth interview dengan informan yang telah ditentukan secara purposive

sampling meliputi aparat aur pemerintah Gampong

Harapan dan Tim dari BPM sebagai pendamping pemerintahan gampong, selanjutnyaTuha Peut dan Auditor juga di wawancarai guna mendapatkan pemahaman tentang fungsi pengawasan pada tingkat pemerintahan gampong. Wawancara dilakukan menggunakan pedoman wawancara semi terstruktur. Terakhir adalah dokumentasi untuk memudahkan penulis memperoleh dan menganalisa bahasa dan kata-kata tekstual dari informan (Bungin, 2007:122).

Analisis data menggunakan metode analisis data interaktif yang dicetuskan oleh Miles dan Huberman. Aktivitas analisis data dilakukan dengan tiga tahap, yaitu reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan/ verifikasi (Sugiyono, 2014;247). Kemudian untuk meyakinkan validitas data yang diperoleh, peneliti menggunakan teknik trianggulasi sumber data dan trianggulasi metode untuk menguji validitas data yang diperoleh

4. Hasil dan Pembahasan

Mekanisme dan Bentuk Akuntabilitas

Pengelolaan Keuangan Desa di Gampong Harapan Kota Lhokseumawe

Mekanisme akuntabilitas pengelolaan keuangan desa di Gampong Harapan ditandai dengan adanya pemberian sumber pendanaan keuangan bagi Pemerintahan Gampong Harapan. Pemberian sumber keuangan ini haruslah dapat dipertanggungjawabkan dengan baik kepada Pemerintah Kota Lhokseumawe (vertical) dan kepada Tuha Peut juga masyarakat gampong

(horizontal).

Walikota Lhokseumawe melalui perangkat daerah yaitu BPM (Badan Pemberdayaan

Masyarakat) mempunyai kewajiban untuk

memberi pembinaan dan pelatihan tentang pengelolaan keuangan desa kepada Keuchik serta perangkat gampong, pembinaan serta pelatihan diberikan agar pemerintah gampong dapat memahami dan mengerti bagaimana mengelola

keuangan desa dengan baik dan mempertanggung jawabkannya sesuai ketentuan

perundang-undangan. Sedangkan Camat bertugas

memfasilitasi pemerintah gampong pada setiap kegiatan pengelolaan keuangan gampong. Dalam menjalankan tugas pengelolaan keuangan gampong, Keuchik merupakan penanggung jawab utama. Akan tetapi dalam pelaksanaanya Keuchik dapat menunjuk sekretaris gampong sebagai koordinator pelaksana pengelolaan keuangan gampong. Kemudian sekretaris gampong dapat mengangkat seorang bendahara yang bertugas menatausahakan setiap kegiatan pengeluaran uang gampong.

Kegiatan pengelolaan keuangan gampong

khususnya dalam perencanaan dan

pertanggungjawaban harus melibatkan masyarakat dan lembaga legislatif gampong (Tuha Peut). Dalam perencanaan keuangan gampong dijelaskan bahwa keterlibatan masyarakat gampong sangat berguna dalam memberi kritik serta saran. Sedangkan Tuha peut berfungsi sebagai pengawas dan memberi persetujuan dalam kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah gampong baik dalam perencanaan maupun dalam pertanggungjawaban keuangan gampong.

Seperti yang diungkapkan oleh Dixon, et al (2006) bahwa akuntabilitas publik dapat memilki dua bentuk yaitu vertical accountability dan

horizontalaccountability. Secara vertikal kegiatan

pertanggung jawaban Gampong Harapan

ditujukan kepada Walikota Lhokseumawe

menggunakan Qanun pertanggung jawaban, sedangkan kepada BPM menggunkan laporan keuangan. Laporan keuangan diberikan secara triwulan dan tahunan sebagai sarana bagi pemerintah Kota Lhokseumawe untuk melakukan penilaian atas kinerja pengelolaan keuangan yang

dilakukan pemerintah Gampong Harapan.

Sementara itu, secara horizontal kegiatan pertanggungjawaban Gampong Harapan dilakukan kepada Tuha Peut yang melibatkan masyarakat gampong didalam sebuah musyawarah gampong, kegiatan pertanggungjawaban juga dilakukan

(5)

dengan cara menempelkan pengumuman agar memudahkan masyarakat mengakses informasi tersebut. Keterlibatan masyarakat gampong bertujuan untuk memberi legitimasi/ keabsahan atas segala kegiatan dalam pertanggungjawaban

pengelolaan keuangan desa di Gampong Harapan. Media akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal Gampong Harapan di rangkum dalam Tabel 1:

Tabel 1

Media Akuntabilitas Gampong Harapan

Vertikal Media Keterangan

Wali kota

Lhokseumawe •Qanun Pertanggung jawaban APBG •Disampaikan pada akhir tahun anggaran dan akhir masa jabatan Keuchik. Badan

Pemberdayaan Masyarakat (BPM), dan Camat

•Laporan realisasi triwulan •Laporan realisasi tahunan

•Disampaikan pertriwulan sebelum pencairan dana lanjutan. •Disampaikan pada akhir tahun mencakup perkembangan

pelaksanaan dan penyerapan dana, serta masalah yang dihadapi gampong.

Horizontal Media Keterangan

Tuha Peut •Laporan Pertanggung

jawaban APBG

•Disampaikan untuk dibahas dan disetujui hingga menjadi Qanun Pertanggungjawaban APBG

Masyarakat

Gampong ••Musyawarah Gampong Pengumuman Tertulis di Kantor Keuchik.

•Disampaikan secara lisan dalam musyawarah.

•Disampaikan dengan cara ditempel pada papan informasi gampong/ meunasah.

Sumber :Data Primer, 2016 (diolah)

Kapasitas Pemerintah Gampong Harapan

dalam Mempertanggung jawabkan

Pengelolaan Keuangan Gampong.

Dalam mempertanggung jawabkan

pengelolaan keuangan desa, Pemerintah Gampong Harapan memiliki sumber daya manusia yang kompeten baik dalam bidang ilmu administrasi dan akuntansi. Dapat diketahui bahwa sekretaris Gampong Harapan merupakan seorang sarjana ilmu administrasi negara sedangkan bendahara gampong adalah seorang lulusan diploma akuntansi. Selain itu guna meningkatkan kapasitas pemerintah gampong dalam mengelola keuangan, Pemerintah Kota Lhokseumawe juga telah memberikan pelatihan agar kualitas aparatur

gampong agar dalam mengelola dan

mempertanggungjawabkan keuangan gampong dapat meningkat.

Lebih lanjut, Keberhasilan Pemerintah Gampong Harapan dalam mengelola keuangan dan mempertanggungjawabkannya merupakan wujud nyata dari intellectualability dari seorang Keuchik. Berdasarkan hasil wawancara ditemukan

bahwa kepemimpinan dari Keuchik Gampong Harapan dinilai sangat berperan dalam pencapaian akuntabilitas pengelolaan keuangan pada gampong ini. Kepemimpinan keuchik dalam memilih anggota kerja yang kompeten dan memiliki kesungguhan dalam bekerja akan membantunya dalam tim yang ada akan bekerja dengan baik karena satu tujuan dan model pemikiran.

Pembahasan

Memahami bagaimana mekanisme

akuntabilitas pengelolaan keuangan desa di gampong Harapan dapat dilakukan dengan cara melihat apakah akuntabilitasitu sudah terkait dengan kejelasantugasdanperan dari Pemerintah Gampong Harapan dan apakah setiap kegiatan pengelolaan keuangan sudah memilki hasilakhir yang spesifik serta proses pelaksanan yang transparan.

Konsep dari J.B Ghartey (1987) dalam Sedarmayanti (2003;68) menjelaskan bahwa akuntabilitas ditujukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan

(6)

pelayanan apa, siapa, kepada siapa, milik siapa, yang mana, dan bagaimana. Pertanyaan yang harus mendapatkan jawaban tersebut antara lain, apa yang harus dipertanggung jawabkan, mengapa pertanggungjawaban harus diserahkan, siapa yang bertanggung jawab terhadap berbagai kegiatan, dan apakah pertanggungjawaban berjalan seiring dengan kewenangan yang dimiliki. Maka untuk memahami apakah akuntabilitas di gampong harapan sudah sesuai mekanisme digunakan konsep tersebut.

Apa yang harus dipertanggung jawabkan?.

Dalam pengelolaan keuangan desa yang harus dipertanggungjawabakan adalah pengelolaan keuangan tersebut. Pengelolaan keuangan desa dilakukan dengan beberapa tahapan seperti

perencanaan keuangan, pelaksanaan

penatausahaan dan pelaporan keuangan hingga pertanggungjawaban keuangan.

Dalam perencanaan keuangan misalnya, akuntabilitas dari Pemerintah Gampong Harapan adalah tersedianya dokumen perencanaan keuangan yang terukur. Dokumen perencanan keuangan merupakan awal kegiatan guna menegaskan apa yang akan dilakukan dalam satu tahun anggaran. Agar dokumen perencanaan keuangan dapat dikatakan akuntabel maka, Pemerintah Gampong Harapan harus memberikan ruangan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam sebuah musyawarah gampong. Keterlibatan

masyarakat sangat diperlukan untuk

mengakomodasikan kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana keuangan gampong.

Mengapa pertanggungjawaban harus

diserahkan?. Ketika Pemerintah Gampong

Harapan mendapatkan suntikan dana baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, maka disaat itupula pemerintah gampong merupakan sebuah entitas akuntansi. Sebuah entitas akuntansi mempunyai kewajiban untuk memberi pertanggungjawaban kepada pihak yang memberi dana. Oleh karena itu, Pemerintah Gampong Harapan harus dapat menyerahkan

laporan pertanggung jawabannya melalui kegiatan pelaporan keuangan.

Kegiatan pelaporan keuangan Gampong Harapan sejalan dengan konsep Governmental

Accounting Standards Board (GASB) pada

Concepts Statement No. 1 tentang Objectivites of

Financial Reporting. Konsep ini menyatakan

bahwa pelaporan keuangan pemerintah merupakan dasar dalam mewujudkan pemerintahan yang akuntabel dan sebagai media untuk menjawab

“hak ingin tahu” pihak yang berkepentingan

terhadap pelaporan keuangan tersebut. Dalam hal ini Pemerintah Gampong Harapan kepada Pemerintah Kota Lhokseumawe dan kepada masyarakatnya.

Siapa yang bertanggung jawab terhadap

berbagai kegiatan?. Setiap unsur dalam

Pemerintahan Gampong Harapan harus dapat bertanggungjawab (responsible) atas pelaksanaan tugas yang diembannya secara akuntabel. Walupun dalam pengelolaan keuangan gampong

Keuchik Gampong Harapan adalah

penanggungjawab utama pada setiap tahapan pengelolaan keuangan gampong. Keuchik sebagai pimpinan dalam organisasi pemerintah gampong dituntut dapat bertanggungjawab dan terlibat langsung atas pelaksanaan program pengelolaan keuangan gampong. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa, Keuchik dalam melaksanakan tugasnya selalu melakukan koordinasi dan kerjasama yang baik dengan Tuha Peut. Kemudian setiap program yang akan dilaksanakan merupakan hasil kesepakatan bersama yang sebelumnya telah dimusyawarahakan.

Dalam pertangungjawaban keuangan

gampong, Keuchik Gampong Harapan sudah memunaikan kewajibannya untuk menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan gampong pada setiap akhir tahun anggaran kepada Walikota Lhokseumawe. Selain itu, Keuchik juga dapat memberikan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada Tuha Peut setiap akhir tahun anggaran serta menyebarkan informasi tersebut secara tertulis kepada

(7)

masyarakat gampong melaui papan informasi gampong sesuai dengan pasal 51 Peraturan Walikota Lhokseumawe Nomor 8 Tahun 2015.

Apakah pertanggungjawaban berjalan seiring dengan kewenangan yang dimiliki?.

Pengelolaan keuangan desa di Gampong Harapan memang sudah sejalan dengan visi dan misi dari Keuchik. Keuchik memiliki komitmen dan integritas untuk membuat Gampong Harapan menjadi lebih baik. Dalam hal ini, Keuchik selalu berupaya menerapkan prinsip-prinsip dari pengelolan keuangan yang akuntabel. Seperti yang dijelaskan dalam BPKP (2007:7-8). Pertama, Keuchik mempunyai komitmen dalam melakukan pengelolaan keuangan yang akuntabel. Kedua, Keuchik secara konsisten melakukan pengelolaaan keuangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, Keuchik dapat menunjukkan pencapaian atas tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan yang berorientasi pada pencapaian visi misi serta manfaat yang diperoleh. Kemudian, diketahui bahwa Kota Lhokseumawe telah memberikan pelatihan dan bimbingan teknis pengelolaan keuangan agar mereka bisa memanfaatkan dana gampong dengan baik dan benar.

5. Kesimpulan, Keterbatasan, dan Saran

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan, Pertama, mekanisme akuntabilitas pengelolaan keuangan desa di Gampong Harapan sudah berjalan dengan baik. Kegiatan pelaporan dan pertanggung jawaban keuangan Gampong Harapan secara administrasi sudah diberikan sesuai dengan ketentuan. Laporan keuangan gampong seperti laporan realisasi dan laporan akhir penggunaan APBG telah disampaikan secara tepat waktu sebagai bentuk akuntabilitas vertical mereka

kepada Pemerintah Kota Lhokseumawe.

Kemudian secara horizontal, pertanggungjawaban

keuangan disampaikan didalam forum

musyawarah yang melibatkan Tuha Peut dan

masyarakat gampong, selain itu pertanggung jawaban juga diumumkan pada papan informasi di kantor Keuchik.

Kedua, kapasitas Pemerintah Gampong

Harapan dalam mempertangungjawabkan

pengelolaan keuangan desa dirasakan sangat bagus. Kinerja Pemerintah Gampong Harapan dalam mempertangungjawabkan keuangaan desa dapat baik karena didukung oleh kualitas SDM dan banyaknya pelatihan yang diikuti oleh aparatur gampong. Sementara itu, sosok Keuchik sebagai pimpinan dinilai sangat berperan dalam mewujudkan akuntabilitas pengelolaan keuangan desa di Gampong Harapan.

Saran

Saran untuk penelitian lanjutan adalah membandingkan antara gampong yang berhasil dengan gampong yang gagal atau dapat juga dengan membandingkan gampong yang memiliki karateristik yang berbeda dengan topik yang sama namun pada fokus yang berbeda. Terakhir, hasil dari penelitian ini tidak bias digeneralisasikan karena hanya berupa studi kasus pada satu desa. Oleh karena itu diharapkan untuk bijak dalam memahami setiap hasil dari penelitian ini.

Daftar Pustaka

Basri, Hasan., Siti Nabiha. (2014). accountability of Local Government: The Case Of Aceh Province, Indonesia. Jurnal Asia Pacific

Journal of Accounting and Finance. 3(1).

1-14.

Basri, Hasan. (2014). Using Qualitative Research In Accounting And Management Studies: Not A New Agenda. Jurnal International Conference on Global Trends in Academic

Research, June 2-3, 305-312.

Budiarjo, Miriam. (1998). Menggapai Kedaultan

Untuk Rakyat. Bandung: Mizan.

Bungin, H. M. Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Edisi

pertama Cetakan Ke-1. Jakarta: Kencana.

Creswell, John W. (2013). Research Desing: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan

(8)

Mixed. cetakan III. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Darise, Nurlan. (2008). Akuntansi Keuangan

Daerah (Akuntansi Sektor Publik). Jakarta:

Indeks.

Dixon. Ritchie, J., & Siwale, J. (2006). Microfinance:Accountability from The Grassroots. Jurnal Accounting Auditing &

Accountability. 19(3). 405–427.

Dubnick. (2003). Accountability and Ethics:

Reconsidering The Relationships.

International Journal of Organization

Theory and Behavior. 6(3). 405 – 441.

Hupe, P., & Hill, M. (2007). Street-Level Bureaucracy and Public Accountability.

JournalPublic Administration, 85(2). 219 -

229.

Kurniawan, Andri. (2010). Tugas dan Fungsi Keuchik dan Tuha Peut dalam Pemerintaan

Gampong. Jurnal Dinamika Hukum

UNSYIAH. 10(3). 301-314.

Kloot, L., & Martin, J. (2001). Local Government Accountability: Explaining The Differences.

Journal Accounting, Accountability and

Performance, 7(1): 51 - 72.

Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia. (2007). Akuntabilitas dan Good Governance, Modul 1-5, Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja

Instansi Pemerintah (AKIP). Jakarta: LAN

BPKP RI.

Mahmudi. (2009). Reformasi Keuangan Negara

dan Daerah Di Era Otonomi. Yogyakarta:

BPFE.

Mardiasmo, (2002). Otonomi dan Manajemen

Keuangan Daerah. Yogyakarta: Andi.

_________, (2006). Perwujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik melalui Akuntansi Sektor Publik: Suatu Sarana Good Governance. Jurnal Akuntansi Pemerintah, 2(1):1-17.

Miles, Matthew B., Huberman A. Michael. (1992).

Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber

Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI

Press.

Ndraha, Taliziduhu. (2005). Teori Budaya

Organisasi, Cetakan Pertama. Jakarta: PT.

Rineka Cipta.

Pemerintah Kota Lhokseumawe, Penyusunan, Petunjuk Umum Pelaksanaan APBG Tahun 2016. Lhokseumawe: BPM.

Pusat Telaah dan Informasi Regional. (2015).

Anotasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014

Tentang Desa. Jakarta: PATTIRO.

Republik Indonesia. Undang Undang Nomor 6

Tahun 2014 Tentang Desa.

__________, Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan

Keuangan Desa.

__________, Peraturan Walikota Lhokseumawe

Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan

Keuangan Gampong.

Robert G, Murdick. Ross Joel E. (1991). Sistem Informasi Untuk Manajemen Modern.

Penerjemah J. Djamil. Jakarta: Erlangga.

Scott. (2000). Accountability in The Regulatory State. Journal of Law and Society. 27(1). 38–60.

Sedarmayanti. (2003). Good Governance

(Kepemerintahan yang baik) Dalam Rangka

Otonomi Daerah. Bandung: Mandar Maju.

Sugiyono, (2014). Metode Penelitian Kuantitatif

Kualitatif dan R&D cetakan 20. Bandung:

Alfabeta.

Sulumin, Hasman Husin. (2015).

Pertanggungjawaban Penggunaan Alokasi Dana Desa Pada Pemerintahan Desa Di Kabupaten Donggala. e-Jurnal Katalogis,

3(1), 43-53.

Tim GTZ-USAID/CLEAN Urban. (2001).

Pengembangan Kapasitas bagi Pemerintahan

Daerah-Suatu Kerangka Kerja bagi

Pemerintah dan Dukungan Donor. Laporan

Akhir: Studi Pengkajian Kebutuhan

Pengembangan Kapasitas bagi Pemerintah

Daerah dan DPRD. www.gtzsfdm.or.id.

Widjaja, HAW. (2002). Otonomi Daerah dan

Daerah Otonom. Jakarta: Rajawali Pers.

__________, (2004). Otonomi Desa merupakan

Otonomi yang Asli, Bulat, dan Utuh. Jakarta:

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh Kepadatan yang berbeda terhadap pertumbuhan benih ikan nila Pandu ( O. niloticus ) dan juga untuk mengetahui kepadatan

Padasiklus I tingkat penerapan sebesar 67 % atau termasuk dalam kategori kurang baik dan meningkat pada sikulus II sebesar 92 % atau termasuk dalam kategori sangat

Kesimpulan : Tidak ada hubungan signifikan antara prestasi remaja SMA yang dikonsulkan ke Bimbingan dan Konseling dengan tingkat depresi karena perilaku turut menjadi

Karyawan atau pensiunan dapat melakukan pengobatan atau pengecekan kesehatan sebagai salah satu tunjangan dalam bidang kesehatan, dengan hanya menggunakan kartu

[r]

Studi analisis yang dilakukan oleh peneliti mengacu pada semiotika Roland Barthes, dimana mengupas makna dibalik tanda setiap lirik dalam lagu tersebut dengan peta tanda

Dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi, keselarasan tujuan organisasi dan individu dalam organisasi adalah penting. Balanced Scorecard merupakan salah satu

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh investasi, Tenaga Kerja, dan tingkat Pendidikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi di provinsi Jawa