• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK) PERKEBUNAN KAYU SUNGKAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK) PERKEBUNAN KAYU SUNGKAI"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK)

PERKEBUNAN KAYU SUNGKAI

(2)

DAFTAR ISI

1. Pendahuluan ... 2 a. Latar Belakang ... ... ... ... 2 b. Tujuan ... ... ... ... ... 3 2. Kemitraan Terpadu ... 4 a. Organisasi ... ... ... ... .... 4 b. Pola Kerjasama ... ... ... ... 6 c. Penyiapan Proyek ... ... ... ... 7 d. Mekanisme Proyek ... ... ... ... 8 e. Perjanjian Kerjasama ... ... ... ... 9 3. Aspek Pemasaran ... 11

a. Produksi Kayu Indonesia ... ... ... ....11

b. Kecenderungan Ekspor ... ... ... ...11

c. Peluang Ekspor ... ... ... ...12

d. Distribusi dan Pemasaran ... ... ... ..13

e. Penetapan Harga ... ... ... ...14

4. Aspek Produksi ... 15

a. Pengelolaan Teknis ... ... ... ...15

b. Teknik Silvikultur ... ... ... ...16

5. Aspek Keuangan ... 24

a. Rincian Biaya Budidaya Pohon Sungkai ... ... ...24

b. Struktur Biaya ... ... ... ...24

c. Analisa Penyusutan Investasi ... ... ...24

d. Analisa Total Penjualan ... ... ... ...24

e. Analisa Cash Flow dan Perhitungan Kriteria Kelayakan ... ...25

f. Analisa Laba Rugi ... ... ... ...25

g. Analisa Kepekaan ... ... ... ...25

h. Analisa Kelayakan Individual ... ... ...26

6. Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Lingkungan ... 29

a. Aspek Sosial Ekonomi ... ... ... ...29

b. Dampak Lingkungan ... ... ... ...30

7. Penutup ... 32

a. PKT Unggulan ... ... ... ...32

b. Implikasi terhadap Titik-Titik Kritis ... ... ...34

(3)

1. Pendahuluan

a. Latar Belakang

Kebijakan pemerintah dalam pengembangan kayu sungkai untuk sementara ini masih lebih menitik beratkan pada budidaya tanaman dalam kawasan hutan dengan pertimbangan bahwa potensi tegakan sungkai pada hutan-hutan produksi sudah semakin langka. Untuk mencari alternatif yang lebih efektif dan dapat menyertakan masyaran. Ada juga penanaman hutan yang berada di tanah kosong (alang-alang, belukar) dimana produktivitas dari lahan tersebut kurang dari 20 m 3 per hektarnya dari jenis komersial yang berdiameter di atas 30 cm.

Dengan tidak diperpanjangnya konsesi HPH yang dikelola perusahaan besar oleh Departemen Kehutanan dan Perkebunan karena sebagian besar (49%) perusahaan pemegang HPH tidak sehat, maka masyarakat setempat (melalui wadah koperasi) diprioritaskan untuk mengolah HPH eks perusahaan besar tersebut. Sehubungan dengan hal ini, pemerintah (dalam hal Ini Dep Hut Bun ) telah memberi kesempatan kepada koperasi untuk aktif mengelola HPH mini dengan luas minimal pengusahaan 50.000 hektar, terutama pada areal HPH yang sudah jatuh tempo dan izin usahanya tidak diperpanjang lagi/telah dicabut karena alasan inefesiensi. Berdasarkan potensi yang ada, pemberian izin kepada koperasi dalam mengelola HPH ini diarahkan kepada pengembangan HTI akan sangat mendukung program penekanan kepunahan hutan alam serta peningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah sekitar hutan yang bersangkutan.

Peranan kayu sungkai dalam penyediaan produk kayu pertukangan cukup besar, terutama untuk memenuhi pasokan kebutuhan kayu bagi industri meubel dan atau untuk industri playwood di dalam negeri yang berorientasi ekspor. Besarnya peranan kayu sungkai ini cukup beralasan, karena kayu sungkai memiliki beberapa keunggulan, diantaranya:

a. pohon kayu sungkai tumbuhnya tegak lurus.

b. bentuk batang kayu sungkai yang selindris sehingga menghasilkan

kayu yang lurus.

c. cabang-cabang kayu sungkai umumnya terdapat pada bagian atas

pohon sehingga batang kayu bebas dari luka-luka patahan cabang.

d. kayu sungkai memiliki struktur dan profil yang sangat ideal untuk

lapisas plywood dan kayu pertukangan untuk meubel.

e. kayu sungkai dalam kelompok kayu pertukangan termasuk kategori II

- III untuk kelas kuat dan kategori III untuk kelas awet, dengan berat jenis 0,36, dimana jenis kayu ini sangat cocok untuk industri plywood, bangunan, meubel, lantai dan dinding dari kayu, ukiran/kerajinan dan finir mewah.

(4)

menguasai pasar ekspor dan telamemiliki kemampuan teknologi silvikultur dan permanen hutan alam dan hutan buatan. Kemitraan yang saling membutuhkan dan saling menguntungkan merupakan landasan utama bagi pengembangan komodiiti ini. Dalam rangka menunjang pengembangan HTI sungkai ini diperlukan acuan yang dapat dimanfaatkan, baik oleh pengusaha kecil dan pengusaha besar serta perbankan, sehingga memudahkan semua pihak untuk mengimplementasikan proyek ini. Laporan Model Kelayakan Proyek Kemitraan Terpadu ini disusun untuk memenuhi tuntutan pihak-pihak yang akan bermitra dalam mengembangkan HTI sungkai.

b. Tujuan

Tujuan penulisan Model Kelayakan Proyek Kemitraan Terpadu HTI Sungkai adalah :

a. memberikan informasi kepada perbankan tentang model kemitraan

terpadu yang sesuai dan layak dibiayai dengan kredit perbankan, khususnya bagi komoditas tanaman sungkai;

b. Memberikan informasi dan acuan yang diharapkan dapat dimanfaatkan

oleh mitra pengusaha kecil (koperasi) dan pengusaha besar yang berminat mengembangkan HTI tanaman sungkai dengan pendekatan kemitraan terpadu;

c. Mendorong pengembangan budidaya tanaman sungkai sebagai

komoditas penghasil devisa negara;

d. Untuk mengkaji apakah pendekatan pengembangan tanaman sungkai

(5)

2. Kemitraan Terpadu

a. Organisasi

Proyek Kemitraan Terpadu (PKT) adalah suatu program kemitraan terpadu yang melibatkan usaha besar (inti), usaha kecil (plasma) dengan melibatkan bank sebagai pemberi kredit dalam suatu ikatan kerja sama yang dituangkan dalam nota kesepakatan. Tujuan PKT antara lain adalah untuk meningkatkan kelayakan plasma, meningkatkan keterkaitan dan kerjasama yang saling menguntungkan antara inti dan plasma, serta membantu bank dalam meningkatkan kredit usaha kecil secara lebih aman dan efisien.

Dalam melakukan kemitraan hubunga kemitraan, perusahaan inti (Industri Pengolahan atau Eksportir) dan petani plasma/usaha kecil mempunyai kedudukan hukum yang setara. Kemitraan dilaksanakan dengan disertai pembinaan oleh perusahaan inti, dimulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis dan pemasaran hasil produksi.

Proyek Kemitraan Terpadu ini merupakan kerjasama kemitraan dalam bidang usaha melibatkan tiga unsur, yaitu (1) Petani/Kelompok Tani atau usaha kecil, (2) Pengusaha Besar atau eksportir, dan (3) Bank pemberi KKPA.

Masing-masing pihak memiliki peranan di dalam PKT yang sesuai dengan bidang usahanya. Hubungan kerjasama antara kelompok petani/usaha kecil dengan Pengusaha Pengolahan atau eksportir dalam PKT, dibuat seperti halnya hubungan antara Plasma dengan Inti di dalam Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Petani/usaha kecil merupakan plasma dan Perusahaan Pengelolaan/Eksportir sebagai Inti. Kerjasama kemitraan ini kemudian menjadi terpadu dengan keikut sertaan pihak bank yang memberi bantuan pinjaman bagi pembiayaan usaha petani plasma. Proyek ini kemudian dikenal sebagai PKT yang disiapkan dengan mendasarkan pada adanya saling berkepentingan diantara semua pihak yang bermitra.

1. Petani Plasma

Sesuai keperluan, petani yang dapat ikut dalam proyek ini bisa terdiri atas (a) Petani yang akan menggunakan lahan usaha pertaniannya untuk penanaman dan perkebunan atau usaha kecil lain, (b) Petani /usaha kecil yang telah memiliki usaha tetapi dalam keadaan yang perlu ditingkatkan dalam untuk itu memerlukan bantuan modal.

Untuk kelompok (a), kegiatan proyek dimulai dari penyiapan lahan dan penanaman atau penyiapan usaha, sedangkan untuk kelompok (b), kegiatan dimulai dari telah adanya kebun atau usaha yang berjalan, dalam batas masih bisa ditingkatkan produktivitasnya dengan perbaikan pada aspek

(6)

Luas lahan atau skala usaha bisa bervariasi sesuai luasan atau skala yang dimiliki oleh masing-masing petani/usaha kecil. Pada setiap kelompok tani/kelompok usaha, ditunjuk seorang Ketua dan Sekretaris merangkap Bendahara. Tugas Ketua dan Sekretaris Kelompok adalah mengadakan koordinasi untuk pelaksanaan kegiatan yang harus dilakukan oleh para petani anggotanya, didalam mengadakan hubungan dengan pihak Koperasi dan instansi lainnya yang perlu, sesuai hasil kesepakatan anggota. Ketua kelompok wajib menyelenggarakan pertemuan kelompok secara rutin yang waktunya ditentukan berdasarkan kesepakatan kelompok.

2. Koperasi

Parapetani/usaha kecil plasma sebagai peserta suatu PKT, sebaiknya menjadi anggota suata koperasi primer di tempatnya. Koperasi bisa melakukan kegiatan-kegiatan untuk membantu plasma di dalam pembangunan kebun/usaha sesuai keperluannya. Fasilitas KKPA hanya bisa diperoleh melalui keanggotaan koperasi. Koperasi yang mengusahakan KKPA harus sudah berbadan hukum dan memiliki kemampuan serta fasilitas yang cukup baik untuk keperluan pengelolaan administrasi pinjaman KKPA para anggotanya. Jika menggunakan skim Kredit Usaha Kecil (KUK), kehadiran koperasi primer tidak merupakan keharusan

3. Perusahaan Besar dan Pengelola/Eksportir

Suatu Perusahaan dan Pengelola/Eksportir yang bersedia menjalin kerjasama sebagai inti dalam Proyek Kemitraan terpadu ini, harus memiliki kemampuan dan fasilitas pengolahan untuk bisa menlakukan ekspor, serta bersedia membeli seluruh produksi dari plasma untuk selanjutnya diolah di pabrik dan atau diekspor. Disamping ini, perusahaan inti perlu memberikan bimbingan teknis usaha dan membantu dalam pengadaan sarana produksi untuk keperluan petani plasma/usaha kecil.

Apabila Perusahaan Mitra tidak memiliki kemampuan cukup untuk mengadakan pembinaan teknis usaha, PKT tetap akan bisa dikembangkan dengan sekurang-kurangnya pihak Inti memiliki fasilitas pengolahan untuk diekspor, hal ini penting untuk memastikan adanya pemasaran bagi produksi petani atau plasma. Meskipun demikian petani plasma/usaha kecil dimungkinkan untuk mengolah hasil panennya, yang kemudian harus dijual kepada Perusahaan Inti.

Dalam hal perusahaan inti tidak bisa melakukan pembinaan teknis, kegiatan pembibingan harus dapat diadakan oleh Koperasi dengan memanfaatkan bantuan tenaga pihak Dinas Perkebunan atau lainnya yang dikoordinasikan oleh Koperasi. Apabila koperasi menggunakan tenaga Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), perlu mendapatkan persetujuan Dinas Perkebunan setempat dan koperasi memberikan bantuan biaya yang diperlukan.

(7)

Koperasi juga bisa memperkerjakan langsung tenaga-tenaga teknis yang memiliki keterampilan dibidang perkebunan/usaha untuk membimbing petani/usaha kecil dengan dibiayai sendiri oleh Koperasi. Tenaga-tenaga ini bisa diberi honorarium oleh Koperasi yang bisa kemudian dibebankan kepada petani, dari hasil penjualan secara proposional menurut besarnya produksi. Sehingga makin tinggi produksi kebun petani/usaha kecil, akan semakin besar pula honor yang diterimanya.

4. Bank

Bank berdasarkan adanya kelayakan usaha dalam kemitraan antara pihak Petani Plasma dengan Perusahaan Perkebunan dan Pengolahan/Eksportir sebagai inti, dapat kemudian melibatkan diri untuk biaya investasi dan modal kerja pembangunan atau perbaikan kebun.

Disamping mengadakan pengamatan terhadap kelayakan aspek-aspek budidaya/produksi yang diperlukan, termasuk kelayakan keuangan. Pihak bank di dalam mengadakan evaluasi, juga harus memastikan bagaimana pengelolaan kredit dan persyaratan lainnya yang diperlukan sehingga dapat menunjang keberhasilan proyek. Skim kredit yang akan digunakan untuk pembiayaan ini, bisa dipilih berdasarkan besarnya tingkat bunga yang sesuai dengan bentuk usaha tani ini, sehingga mengarah pada perolehannya pendapatan bersih petani yang paling besar.

Dalam pelaksanaanya, Bank harus dapat mengatur cara petani plasma akan mencairkan kredit dan mempergunakannya untuk keperluan operasional lapangan, dan bagaimana petani akan membayar angsuran pengembalian pokok pinjaman beserta bunganya. Untuk ini, bank agar membuat perjanjian kerjasama dengan pihak perusahaan inti, berdasarkan kesepakatan pihak petani/kelompok tani/koperasi. Perusahaan inti akan memotong uang hasil penjualan petani plasma/usaha kecil sejumlah yang disepakati bersama untuk dibayarkan langsung kepada bank. Besarnya potongan disesuaikan dengan rencana angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian kredit dibuat oleh pihak petani/Kelompok tani/koperasi. Perusahaan inti akan memotong uang hasil penjualan petani plasma/usaha kecil sejumlah yang disepakati bersama untuk dibayarkan langsung kepada Bank. Besarnya potongan disesuaikan dengan rencana angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian kredit dibuat oleh pihak petani plasma dengan bank.

b. Pola Kerjasama

Kemitraan antara petani/kelompok tani/koperasi dengan perusahaan mitra, dapat dibuat menurut dua pola yaitu :

(8)

Dengan bentuk kerja sama seperti ini, pemberian kredit yang berupa KKPA kepada petani plasma dilakukan dengan kedudukan Koperasi sebagai Channeling Agent, dan pengelolaannya langsung ditangani oleh Kelompok tani. Sedangkan masalah pembinaan harus bisa diberikan oleh Perusahaan Mitra.

b. Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani, melalui koperasinya mengadakan perjanjian yang dibuat antara Koperasi

(mewakili anggotanya) dengan perusahaan perkebunan/

pengolahan/eksportir.

Dalam bentuk kerjasama seperti ini, pemberian KKPA kepada petani plasma dilakukan dengan kedudukan koperasi sebagai Executing Agent. Masalah pembinaan teknis budidaya tanaman/pengelolaan usaha, apabila tidak dapat dilaksanakan oleh pihak Perusahaan Mitra, akan menjadi tanggung jawab koperasi.

c. Penyiapan Proyek

Untuk melihat bahwa PKT ini dikembangkan dengan sebaiknya dan dalam proses kegiatannya nanti memperoleh kelancaran dan keberhasilan, minimal dapat dilihat dari bagaimana PKT ini disiapkan. Kalau PKT ini akan mempergunakan KKPA untuk modal usaha plasma, perintisannya dimulai dari :

a. Adanya petani/pengusaha kecil yang telah menjadi anggota koperasi

dan lahan pemilikannya akan dijadikan kebun/tempat usaha atau

lahan kebun/usahanya sudah ada tetapi akan ditingkatkan

produktivitasnya. Petani/usaha kecil tersebut harus menghimpun diri dalam kelompok dengan anggota sekitar 25 petani/kelompok usaha.

(9)

Berdasarkan persetujuan bersama, yang didapatkan melalui pertemuan anggota kelompok, mereka bersedia atau berkeinginan

untuk bekerja sama dengan perusahaan perkebunan/

pengolahan/eksportir dan bersedia mengajukan permohonan kredit (KKPA) untuk keperluan peningkatan usaha;

b. Adanya perusahaan perkebunan/pengolahan dan eksportir, yang

bersedia menjadi mitra petani/usaha kecil, dan dapat membantu memberikan pembinaan teknik budidaya/produksi serta proses pemasarannya;

c. Dipertemukannya kelompok tani/usaha kecil dan pengusaha

perkebunan/pengolahan dan eksportir tersebut, untuk memperoleh kesepakatan di antara keduanya untuk bermitra. Prakarsa bisa dimulai dari salah satu pihak untuk mengadakan pendekatan, atau ada pihak yang akan membantu sebagai mediator, peran konsultan bisa dimanfaatkan untuk mengadakan identifikasi dan menghubungkan pihak kelompok tani/usaha kecil yang potensial dengan perusahaan yang dipilih memiliki kemampuan tinggi memberikan fasilitas yang diperlukan oleh pihak petani/usaha kecil;

d. Diperoleh dukungan untuk kemitraan yang melibatkan para

anggotanya oleh pihak koperasi. Koperasi harus memiliki kemampuan di dalam mengorganisasikan dan mengelola administrasi yang berkaitan dengan PKT ini. Apabila keterampilan koperasi kurang, untuk peningkatannya dapat diharapkan nantinya mendapat pembinaan dari perusahaan mitra. Koperasi kemudian mengadakan langkah-langkah yang berkaitan dengan formalitas PKT sesuai fungsinya. Dalam kaitannya dengan penggunaan KKPA, Koperasi harus mendapatkan persetujuan dari para anggotanya, apakah akan beritndak sebagai badan pelaksana (executing agent) atau badan penyalur (channeling agent);

e. Diperolehnya rekomendasi tentang pengembangan PKT ini oleh pihak

instansi pemerintah setempat yang berkaitan (Dinas Perkebunan, Dinas Koperasi, Kantor Badan Pertanahan, dan Pemda);

f. Lahan yang akan digunakan untuk perkebunan/usaha dalam PKT ini,

harus jelas statusnya kepemilikannya bahwa sudah/atau akan bisa diberikan sertifikat dan buka merupakan lahan yang masih belum jelas statusnya yang benar ditanami/tempat usaha. Untuk itu perlu adanya kejelasan dari pihak Kantor Badan Pertanahan dan pihak Departemen Kehutanan dan Perkebunan.

d. Mekanisme Proyek

(10)

Bank pelaksana akan menilai kelayakan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip bank teknis. Jika proyek layak untuk dikembangkan, perlu dibuat suatu nota kesepakatan (Memorandum of Understanding = MoU) yang mengikat hak dan kewajiban masing-masing pihak yang bermitra (inti, Plasma/Koperasi dan Bank). Sesuai dengan nota kesepakatan, atas kuasa koperasi atau plasma, kredit perbankan dapat dialihkan dari rekening koperasi/plasma ke rekening inti untuk selanjutnya disalurkan ke plasma dalam bentuk sarana produksi, dana pekerjaan fisik, dan lain-lain. Dengan demikian plasma tidak akan menerima uang tunai dari perbankan, tetapi yang diterima adalah sarana produksi pertanian yang penyalurannya dapat melalui inti atau koperasi. Petani plasma melaksanakan proses produksi. Hasil tanaman plasma dijual ke inti dengan harga yang telah disepakati dalam MoU. Perusahaan inti akan memotong sebagian hasil penjualan plasma untuk diserahkan kepada bank sebagai angsuran pinjaman dan sisanya dikembalikan ke petani sebagai pendapatan bersih.

e. Perjanjian Kerjasama

Untuk meresmikan kerja sama kemitraan ini, perlu dikukuhkan dalam suatu surat perjanjian kerjasama yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bekerjasama berdasarkan kesepakatan mereka. Dalam perjanjian kerjasama itu dicantumkan kesepakatan apa yang akan menjadi kewajiban dan hak dari masing-masing pihak yang menjalin kerja sama kemitraan itu.

(11)

Perjanjian tersebut memuat ketentuan yang menyangkut kewajiban pihak Mitra Perusahaan (Inti) dan petani/usaha kecil (plasma) antara lain sebagai berikut :

1. Kewajiban Perusahaan Perkebunan/Pengolahan/Eksportir sebagai mitra (inti)

a. Memberikan bantuan pembinaan budidaya/produksi dan penaganan

hasil;

b. Membantu petani di dalam menyiapkan kebun, pengadaan sarana

produksi (bibit, pupuk dan obat-obatan), penanaman serta

pemeliharaan kebun/usaha;

c. Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan pasca

panen untuk mencapai mutu yang tinggi;

d. Melakukan pembelian produksi petani plasma; dan

e. Membantu petani plasma dan bank di dalam masalah pelunasan kredit

bank (KKPA) dan bunganya, serta bertindak sebagai avalis dalam rangka pemberian kredit bank untuk petani plasma.

2. Kewajiban petani peserta sebagai plasma

a. Menyediakan lahan pemilikannya untuk budidaya;;

b. Menghimpun diri secara berkelompok dengan petani tetangganya yang

lahan usahanya berdekatan dan sama-sama ditanami;

c. Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan

pasca-panen untuk mencapai mutu hasil yang diharapkan;

d. Menggunakan sarana produksi dengan sepenuhnya seperti yang

disediakan dalam rencana pada waktu mengajukan permintaan kredit;

e. Menyediakan sarana produksi lainnya, sesuai rekomendasi budidaya

oleh pihak Dinas Perkebunan/instansi terkait setempat yang tidak termasuk di dalam rencana waktu mengajukan permintaan kredit;

f. Melaksanakan pemungutan hasil (panen) dan mengadakan perawatan

sesuai petunjuk Perusahaan Mitra untuk kemudian seluruh hasil panen dijual kepada Perusahaan Mitra ; dan

g. Pada saat pernjualan hasil petani akan menerima pembayaran harga

produk sesuai kesepakatan dalam perjanjian dengan terlebih dahulu dipotong sejumlah kewajiban petani melunasi angsuran kredit bank dan pembayaran bunganya.

(12)

3. Aspek Pemasaran

a. Produksi Kayu Indonesia

Produksi Kayu Indonesia pada dasarnya ditujukan untuk memenuhi pemintaan konsumsi dalam negeri disamping untuk ekspor dengan tujuan memperoleh devisa. Berbagai jenis kayu dan derivatnya dihasilkan Indonesia, namun rincian perkembangan produk masing-masing tersebut relatif sulit digambarkan, karena pencatatan yang teratur mengenai hal tersebut belum dapat dilaksanakan.

Data Produksi Kayu Indonesia yang tercatat menurut kelompoknya secara umum dapat dipilah menjadi Kayu Bulat Gergajian dan Kayu Lapis. Selama 10 tahun terakhir, produksi dari berbagai jenis tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1.

Perkembangan Produksi Kayu Bulat, Gergaji dan Kayu Lapis Dalam 10 Tahun Terakhir (M3)

No Tahun Kayu Bulat Kayu

Gergajian Kayu Lapis

1. 1988/1989 27.760.196 10.237.500 6.026.678 2. 1989/1990 24.409.000 3.919.249 8.843.000 3. 1990/1991 25.312.000 3.117.000 9.415.000 4. 1991/1992 23.892.000 3.006.046 9.123.500 5. 1992/1993 28.267.000 3.534.356 9.874.000 6. 1994/1995 26.848.010 2.224.000 9.924.000 7. 1995/1996 24.027.277 1.729.839 8.066.400 8. 1995/1996 24.850.061 2.014.193 9.122.401 9. 1996/1997 26.069.282 3.426.740 10.947.633 10. 1997/1998 29.149.419 2.613.542 6.709.863

Dari Tabel 3.1 dapat dilihat bahwa produksi kayu bulat, walaupun berfluktuasi namun menunjukkan trend menaik. Sementara itu produksi kayu gergajian menurun. Sedangkan produksi kayu lapis memperlihatkan jumlah yang relatif konstan selama 10 tahun terakhir.

b. Kecenderungan Ekspor

Sebagaimana dijelaskan di atas, produksi berbagai produk kehutanan Indonesia, selain dimaksudkan untuk memenuhi permintaan konsumsi dalam negeri juga ditujukan untuk menghasilkan devisa melalui ekspor. Selama 5

tahun terakhir, yakni 1994/1995 sampai dengan Oktober 1998,

perkembangan volume ekspor dan devisa yang dihasilkan atas beberapa produk kayu, dapat dilihat pada Tabel 3.2.

(13)

Tabel 3.2.

Volume Devisa Ekspor Beberapa Produk Kayu Indonesia Keadaan s.d. Tahun 1998

No Produk Tahun

1994/95 1995/96 1996/97 1997/98 1998/99

1. Kayu Lapis :

- Volume (ribu M3) 7.333,09 8.333,83 9.366,57 4.800,74 1.865,48

- Devisa (ribu US$) 3.372.870 3.854.180 4.429.480 2.320.380 377.168

2. Kayu Gergajian :

- Volume (ribu M3) 2,37 0,80 0,06 0,01 2,71

- Devisa (ribu US$) 2,04 0,85 0,05 0,04 49,06

3. Wood Working

- Volume (ribu M3) 648,76 649,10 206,83 842,46 1.241,16

- Devisa (ribu US$) 418.240 456.620 143.410 563.990 251.309

4. Mebel & Barang Jadi :

- Volume (ribu M3) PM PM PM PM

- Devisa (ribu US$) 402.435 458.720 547.464 505.562

Sumber: Ditjen PH. Departemen Kehutanan dan Perkebunan.

Dari data pada Tabel 3.2, dapat dilihat bahwa untuk produk kayu lapis menunjukkan volume ekspor dan nilai devisa yang dihasilkan sampai dengan tahun 1996/97 menunjukkan trend yang meningkat sementara tahun 1997/98 menurun secara drastis. Sementara itu, produk kayu gergajian menunjukkan trend yang terus menurun slama 5 tahun terakhir.

Di sisi lain wood working serta mebel dan barang jadi dari kayu dalam kurun waktu yang lama, baik volume maupun nilai devisa yang dihasilkan menunjukkan trend yang terus meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa kedua jenis produk ini memiliki potensi dan peluang untuk berkembang cukup besar. Untuk menghasilkan jenis produk ini, salah satu kayu sangat potensial dan diminati konsumen luar negeri adalah kayu sungkai

c. Peluang Ekspor

Dengan semakin terbatasnya sumber daya kehutanan dunia yang dapat menghasilkan kayu dan hasil olahannya, dan dengan adanya program pengembangan HTI dengan berbagai jenis kayu termasuk kayu sungkai, maka Indonesi berpotensi dan berpeluang untuk melakukan ekspor komoditas ini.

(14)

serat kayu yang menarik. Oleh karena itu, pengembangan budidaya kayu sungkai juga berarti mengembangkan ekspor dan menghasilkan devisa.

d. Distribusi dan Pemasaran

Saluran distribusi kayu sungkai yang dihasilkan budidaya/Hutan Tanaman Industri adalah sebagai berikut :

Dari ketiga saluran distribusi yang ada, pola kedua yakni dari produsen ke pengumpul kecil lalu ke konsumen akhir, merupakan pola yang dominan terjadi. Sedangkan saluran ke dua dan ke tiga walaupun ada, tetapi dalam jumlah yang terbatas, karena pada dasarnya kayu sungkai lebih mengarah kepada usaha ekspor kayu ke beberapa negara.

(15)

e. Penetapan Harga

Harga jual kayu sungkai ditetapkan berdasarkan pola kemitraan usaha yang closed system, dimana petani peserta proyek/plasma diharuskan menjual hasil produksi kayu sungkainya kepada pihak inti (mitra) Besarnya satuan harga disepakati melalui nota kesepakatan/perjanjian kerjasama dengan besarnya berpedoman pada harga pasar dan atau berpatokan pada biaya produksi ditambah keuntungan petani minimal sebesar 10% dari biaya produksi.

Hal dimaksud untuk memperbesar marjin pasar yang dapat dinikmati oleh petani/peserta proyek dengan harga yang lebih adil antara perolehan perusahaan Inti dari ekspornya dengan harga yang diterima peserta. Dalam proyek kemitraan ini diasumsikan harga penjualan kayu sungkai dari petani peserta proyek ke perusahaan inti adalah Rp. 400.000 per batang.

(16)

4. Aspek Produksi

a. Pengelolaan Teknis

Kegiatan perencanaan HTI meliputi pengadaan Citra Landsat dan hasil penafsirannya serta penyusunan Studi Kelayakan. Analisa Mengenai Dampak Lingkungan Rencana Karya Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (RPKHTI) dan Rencana Karya Tahunan (RKT). Semua kegiatan perencanaan ini dimaksudkan agar Pembangunan dan Pengusahaan HTI dalam teknis operasionalnya mengarah pada bisnis profesional yang akrab masyarakat dan akrab lingkungan. Kegiatan Pembagunan dan Pengusahaan HTI ini dirancang untuk jangka pengusahaan per 12 tahun/siklus produksi (Gambar 4.1)

Penataan Batas

Kegiatan penataan batas terdiri dari penataan batas luar dan penataan dalam

(penataan batas areal kerja) yang meliputi penataan batas

fungsi/peruntukan areal, blok Rencana Kerja Tahun (RKT) dan petak kerja. Tata batas luar kegiatannya meliputi pembuatan traceirintis batas, pemancangan pal batas, pengukuran dan pemetaan serta pengukuhan secara adminitrasit/hukum dengan pembuatan Berita Acara Tata Batas. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memperoleh ketegasan batas wilayah kerja, baik secara administratif maupun kewenangan hukum, sehingga tidak terjadi tumpang peruntukan lahan/wilayah kerja.

Untuk batas fungsi/peruntukan areal, kecuali areal sungai dan sempadannya, penataan juga harus segera diselesaikan agar sejak awal kegiatan pembangunan dan pengusahaan HTI tidak terjadi kesimpang siuran peruntukan lahan serta telah dapat dilakukan pembinaan secara jelas sesuai

(17)

fungsi dan peruntukannya. Sedangkan penataan batas sungai dan sempadannya, dan areal efektif penanaman dilakukan pada tahun RKT yang bersangkutan. Dalam hal ini areal efektif penanaman akan dibagi ke dalam blok-blok karya tahunan tanamanan. (RKT) atas dasar kelestarian produksi. Setiap blok karya tahunan dibagi dalam petak-petak 2083 hektar dan kemudian dibagi lagi ke dalam petak-petak 50 hektar yang merupakan unit kelompok terkecil dalam pengelolaan dan pengusahaan tanaman. Rancangan petak kerja pembangunan dan pengusahaan HTI serta proyeksi volume kegiatan penataan batas selama jangka pengusahaan secara rinci, dibuat secara detail dengan skala peta/gambar tertentu sehingga mudah dimonitor pelaksanaannya.

Pembukaan Wilayah Hutan (PWH)

Kegiatan PWH meliputi pembangunan Base Camp, Logpond/TPK dan prasarana angkutan. Kegiatan ini dilakukan agar semua kegiatan operasional dalam pembangunan dan pengusahaan HTI dapat dijalankan dengan lancar, mudah dan efisien. Karena itu kegiatan ini harus diselesaikan sebelum semua kegiatan yang bersangkutan dimulai.

Pembangunan Base Camp diproyeksikan sesuai dengan jadual tahunan. Sedangkan pembangunan jalan angkutan dan TPK/Log pon diproyeksikan hanya satu kali yang selanjutnya dipelihara secara terus menerus. Dalam pembangunan Base Camp dan Logpond/TPK didahului dengan kegiatan penyiapan lahan yang luasnya, untuk Base Camp dialokasikan 5 Ha dan untuk Log pond/TPK 10 Ha ( di luar areal kerja).

Pembangunan jalan akan dilaksanakan secara mekanis dengan spefikasi sebagai berikut :

a. Jalan Utama : Kerapatan 5 m/ha, lebar daerah jalan (DMJ) selain

parit/selokan 15 m , dan dipadatkan

b. Jalan Cabang : Kerapatan 15 m/ha, DMJ 10 m , dan dipadatkan

c. Jalan ranting : Kerapatan 30 m/ha, DMJ 5 m

b. Teknik Silvikultur

Penyiapan lahan pada setiap siklus selalu dihadapkan dengan kondisi hutan bekas tebangan atau semak belukar yang umumnya masih mempunyai tegakan pohon baik tingkat semai, tiang pancang maupun pohon. Berikutnya pekerjaan akan lebih mudah. Karena tanggul/perakaran pohon relatif telah bersih .

(18)

penumbangan (cutting), semua kayu yang masih berdiri, kecuali jenis-jenis kayu yang dilindungi, (3) pembakaran (burning) setelah semua kayu berdiameter > 20 cm dimanfaatkan , (4) pencicangan sisa-sisa kayu dan tunggak, (5) penumpukan (pilling) sisa-sisa kayu dan tunggak yang telah dicincang ke perbatasan dengan sempadan sungai dan jika masih tersisa, dirumpuk di lahan tanaman dengan sistem jalur Timur - Barat dan tidak menganggu titik tanaman. Semua kegiatan dalam land clearing tersebut harus dilakukan pada setiap siklus.

Adapun kegiatan pengolahan lahan (land prepation) mencakup (1) pembajakan (plowing) (2) Pembalikan tanah sampai kedalaman 30 cm, serta (3) penggaruan atau penghancuran bongkahan tanah (harrowing). Areal efektif penanaman HTI berada pada lahan dengan kelas lereng 1 (0 - 8 %) seluas 2.083 Ha dan kelas lereng 2 ( 8 - 15%). Rancangan pelaksanaan pengolahan lahan adalah untuk lahan berkelas lereng 1 dilaksanakan secara total pada seluruh lahan tanaman, sedangkan untuk areal berkelas lereng 2 dilaksanakan dengan sistem cemplongan.

Teknis pelaksanaan kegiatan penyiapan lahan ini dilaksanakan dengan sistem semi-mekanis dengan proyeksi volumenya per tahun 2.083 ha per tahun selama jangka pengusahaan 12 tahun. Total luas areal budidaya 25.000 Ha. Penyiapan lahan (land clearing) pada siklus produksi pertama terdiri dari empat kegiatan inti yaitu (1) imas/menebas, (2) menumbang dan menumpuk, (3) merencek dan rumpuk jalur, serta (4) pengolahan tanah Rincian kegiatan dari masing-masing tahapan adalah sebagai berikut :

a. Imas

Imas adalah kegiatan memotong, dan menebas semak belukar yang tumbuh di areal persiapan lahan tanam dengan cara manual menggunakan parang (untuk diameter kayu < 10 cm). Hasil penebasan dikumpulkan dan dibiarkan mengering/membusuk di lokasi

penumpukan, yang selanjutnya dipergunakan sebagai bahan

kompos/mulsa (penyiapan lahan tanpa bakar) b. Menumbang

Menumbang adalah merobohkan dan membongkar akar pohon yang berdiameter lebih dari 10 cm. Pohon yang mempunyai diameter lebih dari 20 cm diusahakan untuk digunakan semaksimal mungkin untuk bahan bangunan dan sarana HTI. Hal ini ditunjukkan untuk

memaksimalkan pemanfaatan kayu. Kegiatan ini bertujuan

(19)

c. Merencek

Cabang dan ranting pohon yang telah ditumbang lalu dipotong dan

dicincang (direncek) untuk mempercepat pembusukan dan

mempermudah perumpukan, serta mempermudah pembentukan jalur tanam.

d. Membuat Pancang Jalur Tanam/Pancang Kepala

Jalur tanam dibuat menurut jarak antar barisan tanaman (gawangan). Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pembersihan jalur tanam dari hasil rencekan.

e. Membersihkan Jalur Tanam

Hasil rencekan ditempatkan pada lahan di antara jalur tanaman, dengan jarak 1 meter di kiri-kanan pancang. Dengan demikian diperoleh 2 meter jalur yang bersih dari potongan-potongan kayu. f. Pengolahan Tanah

Pengolahan tanah dilakukan secara mekanis pada lahan yang mempunyai kelerengan kurang dari 8% dan dilakukan secara manual pada lahan yang mempunyai kelerengan antara 8 - 15 %. Pengolahan secara mekanis pada kemiringan lahan kurang dari 8 % adalah dengan pembajakan (plowing) dan perataan (harrowing) jalur tanam. Pengolahan lahan secara manual pada lahan dengan kelerengan 8 - 15 % adalah dengan pengolahan tanah cemplongan yang berukuran 60 x 60 x 60 cm.

Pembibitan

Seperti telah diuraikan di muka, bahwa tidak semua benih dari berbagai jenis tanaman untuk reboisasi dapat secara langsung ditanam di lapangan, tetapi terlebih dahulu disemaikan. Pengadaan bibit/semai hasil analisis kesesuaian jenis, yang didasarkan pada kesesuaian lahan, kesesuaian industri, dan kesesuaian manajemen pembangunan dan pengusahaan HTI menetapkan sungkai adalah jenis adalah jenis tanaman yang menggunakan bibit tanaman stek.

Untuk memperoleh kualitas bibit yang baik, diasumsikan bahwa bibit yang digunakan dalam proyek PKT - HTI ini adalah berasal dari kebun bibit yang telah memperoleh rekomendasi dari instansi yang berwenang. Harga bibit siap tanam diasumsikan Rp. 3.000 per batang.

(20)

Penanaman

a. Mengukur Jarak Tanam Dan Pemasangan Ajir

1. Membuat pedoman jarak tanam atau ajir induk dengan jarak

100 x 100 meter menurut arah Utara (350 derajat) dan Selatan (180 derajat ) di dalam blok kerja yang telah ditentukan.

2. Setelah ajir induk ditentukan, selanjutnya mengisi barisan

dengan menggunakan alat bantu tali baja kecil 100 meter yang telah ditandai per 3 meter, mengikuti pedoman yang telah dibentuk (ajir induk)

b. Membuat Lubang Penanam

1. Lubang tanaman dibuat dengan ukuran 25 x 25 cm dengan alat

cangkul - Lubang dibuat pada titik pancang 3 x 2 meter (ditandai dengan ajir)

2. Sebelum membuat lubang ajir dicabut terlebih dahulu,

perhatikan titik pancangnya setelah itu dibuat lubang pada titik pancang. Pancang diletakkan di samping tanaman harus tetap tegak.

c. Memupuk Lubang

1. Sebelum penanaman, lubang dipupuk dengan pupuk dasar yang

sesuai dengan kebutuhan masing-masing land sistem. - Pupuk diberikan secara merata di dasar lubang tanam.

2. Setelah diberi pupuk dasar dibiarkan 2 sampai 3 hari

selanjutnya baru dilaksanakan penanaman. d. Penanaman Bibit

1. Penanaman Menggunakan alat cangkul.

2. Letakkan bibit tepat pada tengah lubang, kemudian timbun

dengan tanah sampai batas kurang 0,5 cm dari akar. Tanah ditekan dengan tangan sementara tangan kiri memegang bibit agar posisi tepat berdiri lurus, mantap dan kuat. Penimbunan selanjutnya dilaksanakan secara hati-hati dan tanah dipadatkan secara bertahap .

3. Apabila kondisi bibit agak lemas karena stres atau shock akibat

pemindahan ke lapangan, maka bibit tersebut disanggah dengan kayu bekas ajir.

Pemeliharaan a. Penyulaman

Penyulaman ditunjukkan untuk mengganti tanaman yang mati. Proses penyulaman seperti pada penanaman yaitu dengan membuat lubang

(21)

tanam pada tanaman yang mati dan menggantikan dengan tanaman baru yang sehat. Kegiatan penyulaman dilakukan setelah tanaman berumur 2 minggu. Intesitas penyulaman ini diperkirakan akan terjadi sekitar 10 % (persen tumbuh tanaman 90%) dari jumlah seluruh tanaman.

b. Buka Piringan Dan Pengemburan Tanah

Pembersihan segala bentuk gulma ( tanaman penganggu) di sekeliling tanaman.

1. Areal yang dibersihkan untuk umur tanaman

kurang dari 1 tahun radiusnya 50 cm dari tanaman, sedangkan tanaman lebih dari 1 tahun 100 cm dari tanaman.

2. Menggemburkan tanah di sekitar tanaman umur

kurang dari 1 tahun dengan radius 100 cm, kemudian tanahnya ditimbun ke batang tanaman. c. Pembebasan Tumbuhan Pengganggu dan Pendangiran

Kegiatan ini dilakukan hingga tanaman berumur 2 tahun (tahun ke -2). Selama tahun berjalan dilakukan 3 bulan sekali (4 kali) , yaitu saat tanaman berumur 3, 6, 9 dan 12 bulan. Sedangkan dalam tanaman tahun ke-1 dilakukan 2 kali, yaitu sekitar umur tanaman 17 serta 23 bulan, dan dalam tahun ke-2 dilakukan satu kali, sekitar umur tanaman 3 bulan. Caranya adalah :

1). Pada umur 3 bulan.

Seluruh lahan penanaman dibersihkan dari segala bentuk gulma dan liana dengan cara mencabutnya; selain itu tanah di sekeliling tanaman dengan radius 50 cm digemburkan dan kemudian ditumpukkan ke batang tanaman.

2). Tanaman umur 6 bulan.

Sama seperti tanaman umur 3 bulan (poin a) ditambah dengan penebasan tumbuhan bawah yang harus menggunakan parang. 3). Tanaman umur 9 bulan

Dilakukan penebasan tumbuhan bawah di seluruh lahan tanaman dengan menggunakan parang serta pembebasan

(22)

4). Tanaman umur 12 bulan, 17, 23 dan 30.

Pembersihan tumbuhan bawah dilakukan dengan menggunakan herbisida (kimiawi) dengan dosis 4 - 5 l/ha yang dicampurkan pada air 15 liter kemudian disemprotkan keseluruh tumbuhan bawah dilahan tanaman secara berhati-hati, sehingga tidak mengenai tanaman HTI. Selain itu pada umur 17 bulan tanaman juga didangir dengan radius 75 cm.

5). Pemupukan Tanaman

Pemberian pupuk ini dilakukan dengan cara menyebarkannya secara merata di lubang tanam. Kegiatan ini dilakukan 2 - 3 hari sebelum penanaman. Jumlah pupuk yang diberikan tergantung pada jenis senyawa pupuk yang akan dipakai serta kemampuan land sistem yang membentuk lahan tanam. Hal ini dapat dihitung dengan skenario, bahwa kemampuan land sistem dari lahan tanaman dalam menyediakan unsur utama N, P, dan K akan direkayasa minimal ke kondisi sedang (kriteria LPT Bogor). Dengan skenario ini jika senyawa pupuk yang dipakai untuk

menjadikan kemampuan Land Sistem LT T1/1 dalam

menyediakan unsur-unsur utama yang dimaksud masing-masing adalah Urea, TSP dan KCl, maka pupuk yang harus diaduk diberikan pada setiap lubang tanaman di Land sistem L1T1/1 terdiri dari 24 gram Urea, 0,6 gram TSP dan 1,7 gram KCl yang diaduk secara merata. Selanjutnya jumlah senyawa pupuk Urea, TSP, dan KCl yang harus diberikan pada setiap lubang tanaman agar kemampuan setiap Land system menyediakan unsur utama N, P dan K mencapai kondisi sedang.

o Untuk tanaman yang berumur di bawah satu tahun dipupuk

Urea, TSP dan KCl dua kali yaitu pada umur 3 bulan dan 12 bulan dengan jumlah pupuk urea 25 gram/pokok, pupuk TSP 50 gram/pokok, dan pupuk KCl 25 gram/pokok.

o Untuk tanaman yang berumur 1 dan 2 tahun diberikan

pemupukan sebanyak 1 kali per tahun, yaitu pada awal musim hujan dengan dosis : pupuk urea 50 gram/pokok, pupuk TSP 75 gram/pokok dan pupuk KCl 50 gram/pokok. Pupuk diberikan setelah pekerjaan pembukaan piringan Urea dan KCl dicampur secara merata, kemudian ditaburkan pada 1/2 lingkaran tanaman dengan jarak dari tanaman 50 cm untuk tanaman berumur kurang dari 1 tahun, dan 75 cm untuk tanaman berumur di atas 1 tahun. TSP ditaburkan pada 1/2 lingkaran yang tersisa, dengan cara seperti tersebut di atas.

(23)

6). Penjarangan

Penjarangan ditujukan untuk memberikan ruang tumbuh bagi tanaman yang tajuknya saling berhimpitan sehingga tanaman dimungkinkan tumbuh kearah luar/batangnya membesar. Kegiatan ini dilakukan pada umur tahun tanam ke - 8 sebanyak 1.667 pohon dan pada tahun ke -10 dengan jumlah pohon yang tebang/dijarangi 1.550 pohon/ha)

7). Perlindungan dan Pengamanan Hutan

o Tujuan kegiatan adalah melindungi hutan dari gangguan

hama dan penyakit tanaman, serta gangguan lain (baik dari hewan maupun manusia). Kegiatan ini bersifat pencegahan dan pemberantasan. Upaya perlindungan yang dilakukan antara lain pelaksanaan teknik silvikultur

yang konsisten, penyuluhan, pengadaan sarana

pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan, pengadaan sarana dan penanggulangan hama dan penyakit.

o Untuk pemantauan bahaya kebakaran hutan dibuat

menara pengamat kebakaran di lokasi tanaman. Menara pengawas diletakkan di lokasi yang mempunyai ketinggian yang relatif lebih tinggi pada areal tanam, sehingga pengamatan dapat menjangkau lokasi yang luas.

o Pemantauan hama dan penyakit tanaman dilakukan

dengan pemantauan secara kontinyu terhadap tegakan tanaman. Setiap tenaga pengamatan hama direncanakan menangani 400 Ha tanaman yang harus di pantau

sepanjang tahun dengan intensitas pengamatan

maksimum dua bulan sekali untuk setiap lokasi. Jenis-jenis hama/penyakit yang diperkirakan akan muncul dan perlu dikendalikan pada tanaman Titi adalah penggerak batang, busuk pangkal, penggorok daun dan damping off di persemaian, sedangkan hama/penyakit untuk tanaman beruang adalah penggerak batang.

Pemanenan

Produksi kayu terdiri dari hasil kayu (akhir dan hasil antara yaitu dari hasil penjarangan. Jumlah kayu yang dihasilkan diprediksi dengan menggunakan asumsi :

(24)

3. Titi umur 12 tahun dilaksanakan tebang habis mempunyai diameter rata-rata 25 cm dan tinggi rata-rata 3,5 cm.

Dari proyeksi seperti di atas maka produksi kayu pada titi pertama yakni tahun ke-8 sebanyak 1.677 pohon perhektar kayu pada titi umur 10 tahun sebanyak 1.550 pohon per hektar, serta pada titi umur tahun ke 12 sebanyak 83 pohon. Dengan demikian total pada satu siklus HTI kayu sungkai berjumlah 3.300 pohon.

Timber crusing merupakan tahap pemanenan hasil HTI yang bertujuan untuk menginvestasikan potensi kayu akan ditebang, sehingga dilakukan pada semua areal (100%). Pelaksanaan kegiatan ini adalah satu tahun sebelum

kegiatan pemanenan dilakukan dengan tahapan kegiatan meliputi

pembuatan babakan tebangan, penebangan, pengangkutan, pengukuran dan penomoran (Gambar 4.2)

(25)

5. Aspek Keuangan

a. Rincian Biaya Budidaya Pohon Sungkai

Perhitungan biaya proyek berdasarkan biaya satuan pembangunan HTI yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI No.666/KPTS-II/1997 tanggal 10 Oktober Tahun 1997 yang telah disesuaikan dengan kondisi harga pada bulan November tahun 1999.

Perhitungan biaya per ha pada tahun ke-0 menurut KPTS tersebut dapat

diikuti dalam Tabel Lampiran 1. Secara ringkas biaya tahun ke 0 tersebut

adalah sebagai berikut :

 Total biaya per Ha tahun ke 0 = Rp. 5.144.667

 Untuk areal seluas 2803 Ha = Rp. 10.716.340.667

b. Struktur Biaya

Pada tahun ke 0 struktur biaya proyek adalah sebagai berikut (Lampiran 2):

 Kredit per ha = Rp. 5.114.667

 Dana sendiri = Rp. 917.560

 Kredit total proyek (2803 ha ) sebesar = Rp. 10.716.340.667

 Dana sendiri untuk total proyek = Rp. 2.571.921.760

Dana sendiri berasal dari penjualan kayu yang berasal dari 50% area HTI yang masih produktif. Dana sendiri tersebut digunakan untuk membayar

bunga dalam masa tenggang atau masa konstruksi (grace period).

c. Analisa Penyusutan Investasi

Penyusutan investasi dianggap sama besarnya dengan angsuran pokok

pinjaman yang dalam Lampiran 4 Tabel Cash Flow terdapat pada tahun ke-8

sebesar Rp. 124.980.000 yang merupakan pula investasi tahun yang bersangkutan, yaitu ketika proyek untuk pertama kali menjual hasil

penjarangan yang pertama dengan total penjualan sebesar Rp.

1.360.615.000 yang jauh lebih besar dari pada total investasi pada tahun yang bersangkutan.

d. Analisa Total Penjualan

Total penjualan proyek ini didapat dari hasil penjarangan pada tahun ke-8 , tahun ke-10 dan tebang habis pada tahun ke -12. Tetapi ternyata proyek telah mampu memenuhi kewajibannya ke bank hanya dari hasil tebangan penjaringan pada tahun ke-8 tersebut dimana total penjualan Rp.

(26)

tebang habis pada tahun ke-12 diperkirakan sebesar Rp. 345.778.000.000

(Lampiran 3).

Dengan demikian secara finansial proyek ini sangat layak untuk dilaksanakan. Bahkan sekalipun biaya proyek meningkat 10% sementara itu produkitvitas turun sebesar 10% kriteria kelayakan proyek masih memberikan gambaran kelayakan yang sangat baik.

e. Analisa Cash Flow dan Perhitungan Kriteria Kelayakan

Dari hasil kajian cash flow untuk menghitung kriteria kelayakan untuk total proyek hasil perhitungan memberikan tingkat kelayakan proyek sebagai berikut :

a. IRR = 75,75%

b. NPV = Rp. 193.171.187.939 c. Net B/C = 14,27

d. PAY - BACK PERIOD = 8 TAHUN

Secara rinci dapat diikuti pada Lampiran 4.

f. Analisa Laba Rugi

Dari tabel yang terdapat dalam Lampiran 5, hasil Laba - Rugi menunjukkan

bahwa profit on sales sebesar 85%. Pendapatan bersih setelah pajak sebesar Rp. 1.152.814.913.705 dari luasan 2083 Ha. Dengan demikian upaya untuk mengalokasikan sumber daya alam berupa HTI kepada Koperasi primer jelas mampu meningkatkan pendapatan masyarakat luas secara sangat nyata. Sejalan dengan itu adanya peranan perbankan dalam menyalurkan kredit berbunga pasar dalam sektor HTI merupakan keuntungan yang sangat besar bagi perbaikan image internasional terhadap pelestarian hutan melalui eksploitasi hutan dengan konsep keseimbangan alam. BEP menghasilkan nilai rupiah sebesar Rp. 207.694.784.199 dengan demikian proyek ini relatif sangat aman, karena angka BEP yang jauh lebih rendah dari total penjualan pada tahun yang bersangkutan.

g. Analisa Kepekaan

Pada Lampiran 6 dicantumkan analisa kepekaan proyek yang hasilnya

memperhatikan kriteria kelayakan sebagai berikut : a. IRR = 77%

b. NPV = Rp. 164.935.273.671 c. Net B/C = 72

d. PAY - BACK PERIOD = 8 TAHUN

Analisa kesepakatan atas dasar asumsi bahwa total penjualan lebih kecil 10% dari analisa pokok. Analisa cash flow ini juga dikonfirmasikan oleh

(27)

analisa Laba-Rugi untuk kepekaan dimana profit on sales tetap sebesar 85% relatif tidak berubah dari Laba-Rugi analisa pokok. Pendapatan bersih setelah pajak, sebesar Rp. 1.037.162.587.705, sedangkan BEP-nya sebesar Rp. 187.285.586.970

Seperti telah disinggung dalam bab-bab sebelumnya bahwa proyek ini diharapkan menumbuhkan minat bank untuk membantu pengembangan HTI dengan pola pelaksanaan kredit yang aman untuk bank tetapi juga applicable untuk proyek. Ke ikut sertaan bank sangat ditunjang dengan adanya sumber daya yang dapat menanggung beban finansial selama masa konstruksi. Hanya dengan adanya sumber daya ini, maka koperasi sangat tertolong untuk mendapatkan bantuan bank. Dengan demikian ketetapan Departemen Kehutanan dan Perkebunan bahwa koperasi berhak menolak tawaran lokasi HTI yang tidak produktif merupakan kondisi/persyaratan yang sangat applicable untuk terlaksananya perkreditan dalam sektor kehutanan/HTI ini.

h. Analisa Kelayakan Individual

Setelah terbukti bahwa total proyek dengan jenis kredit Usaha Kecil dengan bunga pasar sebesar 24% ternyata layak untuk dilaksanakan maka pertanyaan berikutnya apakah untuk secara individual juga layak untuk skala kecil Usaha Kecil yang dimaksud :

No Kriteria Uraian

1. Total areal HTI yang dikuasai

Koperasi a/n para anggota 50.000 Ha

2. Luas areal hutan yang masih

Produktif Diperhitungkan seluas 25.000 Ha

3. Luas areal yang akan ditanami

Pohon kayu sungkai Diperhitungkan seluas 25.000 Ha

4. Rata-rata hak luas

pengusahaan kayu sungkai yang diperuntukkan bagi per anggota Koperasi

Diperhitungkan seluas 4 Ha 5. Jumlah Kredit Usaha Kecil

(KUK) per anggota untuk Per 4 Ha - Tahun ke 1 = Rp. 20.578.667 - Tahun ke 2 = Rp. 4.000.000 - Tahun ke 3 = Rp. 3.454.000 - Tahun ke 4 = Rp. 1.854.000 - Tahun ke 5 = Rp. 927.000 - Tahun ke 6 = Rp. 463.000 - Tahun ke 7 = Rp. 632.500 - Tahun ke 8 = Rp. 240.000 (untuk penjarangan ke 1) - Tahun ke 9 = Rp. 0

(28)

- Tahun ke 11 = Rp. 0 (tidak perlu biaya lagi)

- Tahun ke 12 = Rp. 270.000 Total Keseluruhan untuk 4 Ha = 33.418.651

Dengan demikian per anggota masih menerima kredit untuk yang termasuk kategori

Kredit untuk Usaha Kecil (KUK) 6. Beban bunga di masa-masa

konstruksi (grace period)

Akan ditanggung oleh koperasi primer yang bersangkutan dari hasi penjualan kayu dari hutan masih produktif

7. Total Penjualan Penjualan pertama kali didapat oleh para

anggota yaitu ketika dilaksanakan

penebangan yang pertama (penjarangan pertama) untuk sebanyak 1.663 pohon yang dijual dengan harga Rp. 400.000 per pohon. Dengan demikian total penjualan pada tahun ke-8 = Rp.2.612.800.000 per 4 Ha pengusahaan.

8. Pelunasan Kredit per anggota Kredit Usaha Kecil ini akan dilunasi

sekaligus yaitu ketika proyek menghasilkan kayu untuk pertama kali pada tahun ke-8 (lihat lampiran 8)

9. Manfaat Proyek Terlepas dari sangat layaknya proyek ini

untuk dilaksanakan bilamana ditinjau dari kriteria kelayakan proyeknya di atas, mak proyek ini dpat dijadikan jembatan

penghubung bagi/antara perbankan dengan sektor kecil yang bergerak di sektor kehutanan, melalui pelaksanaan kebijakan pemerintah untuk menjadikan koperasi primer yang berada di sekitar HPH yang telah jatuh tempo untuk mengambil alih dan meneruskan usaha HPH tersebut, dan sebagai pengejawatan kebijakan sektor kehutanan untuk berpihak kepada ekonomi kerakyatan. Dan ternyata skim kredit Usaha Kecil yang berbunga pasar (=24% per tahun) dalam laporan ini

membuktikan bahwa jenis kredit berbunga pasar dapat dimanfaatkan oleh koperasi beserta anggotanya untuk membantu mengembangkan HTI. Dengan demikian

(29)

pelaksanaan KUK dan MK PKT ini akan aman dan menguntungkan bank nya, mempercepat pencapaian kesejahteraan masyarakat kecil di sekitar HPH yang telah jatuh tempo, berpotensi peningkatan devisa karena kayu sungkai sangat diperlukan untuk industri meubel dan industri plywood.

(30)

6. Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Lingkungan

a. Aspek Sosial Ekonomi

Analisa ekonomi terdiri dari identifikasi dan justifikasi kepentingan masyarakat terhadap keberadaan proyek HTI sungkai milik koperasi masyarakat setempat. Pembangunan HTI sungkai menghasilkan berbagai keuntungan yang dapat dinikmati oleh Masyarakat yaitu

1. perluasan lapangan kerja;

2. pertumbuhan produk domestik bruto;

3. prasarana yang dibangun dapat dimanfaatkan bagi pengembangan

wilayah (penduduk setempat);

4. kenaikan tingkat pendapatan masyarakat baik sebagai peserta

maupun tenaga kerja proyek. Manfaat Ekonomi

Pembangunan HTI sungkai yang direncanankan, apabila seluruh tanaman telah menghasilkan maka diperkirakan produksi kayu dari hasil penjarangan I mencapai rata-rata 1.667 pohon/ha, hasil penjarangan II 1.550 pohon/ha dan panen akhir 83 pohon/ha. Kayu hasil penjarangan dan akhir masa daur dipergunakan untuk bahan baku industri pengolahan kayu/plywood dan meubel. Di samping itu, pada saat dimulainya penanaman sungkai (land clearing), karena areal yang dimanfaatkan untuk HTI ini adalah areal hutan produksi tetap (HPT) eks HPH yang tidak diperpanjang izinnya oleh pemerintah menghasilkan kayu hasil tebangan hutam alam yang tidak sedikit.

Dengan dibangunnya HTI sungkai ini, banyak manfaat yang dapat diperoleh masyarakat setempat, seperti terbukanya lapangan kerja yang secara langsung akan meningkatkan pendapatan masyarakat tersebut. Dengan demikian daya beli atau kemampuan ekonomi cenderung meningkat.

Manfaat Sosial

Untuk merealisasikan rencana pembangunan HTI sungkai ini diperlukan kerjasama dan saling membantu, terutama dengan aparat desa dan kepala adat setempat, Pemerintah Daerah, Dinas Kehutanan dalam rangka memberikan penyuluhan tentang pembangunan HTI sungkai. Penduduk yang selama ini banyak melakukan sistem pertanian ladang berpindah akan dapat dijadikan petani menetap dalam kegiatan pembangunan HTI yang akan memberikan penghasilan lebih baik. Dengan dapat memberikan kondisi sosial ekonomi yang berwawasan lingukungan, maka secara langsung kerusakan hutan dapat dicegah, dan mereka (petani peladang berpindah) tidak perlu kembali ke sistem pertanian peladangan berpindah.

(31)

Lingkungan Sosial Ekonomi

Pembangunan HTI sungkai akan berpengaruh langsung kepada

pembangunan ekonomi wilayah setempat (regional). Penduduk setempat umumnya terdiri dari masyarakat petani tradisional dan banyak melakukan cara-cara membuka ladang berpindah akan beralih pada cara bertani menetap. Pembukaan areal HTI akan menyediakan lahan untuk mereka berusaha tani dan memberikan bimbingan cara bertani dengan teknologi yang memadai, yaitu mengikutsertakan mereka dalam agro kehutanan atau penanaman tumpang sari, dan mengikut sertakan secara langsung dalam pembangunan HTI.

Dengan demikian, disamping meningkatkan ilmu dan teknologi dalam bidang budidaya/silvikultur juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Konsesi HPHTI yang diberikan kepada masyarakat setempat dengan wadah koperasi selama 35 tahun operasional dan dalam jangka operasional selanjutnya menyediakan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja cukup banyak, baik berasal dari penduduk setempat maupun pendatang dari luar daerah.

Dengan meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar lokasi HTI, maka kebutuhan masyarakat akan meningkat pula dan bervariasi terhadap permintaan barang dan jasa. Diperkirakan setelah 8 tahun (penjarangan I) pembangunan HTI akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, baik di dalam maupun sekitar ruang lingkupnya secara nyata, dengan asumsi sebagai berikut :

1. Perhubungan antara desa akan bertambah dan lebih baik dari pada

sebelumnya, dengan berfungsinya jalan-jalan yang dibangun di dalam areal HTI dan diluar areal yang menuju ke desa-desa lainnya.

2. Akan terjadi peningkatan sarana umum dan sarana pendidikan serta

pelatihan tenaga kerja untum memperoleh keterampilan, semacam BLK dalam upaya menyerap tenaga kerja yang potensial dari masyarakat setempat untuk bekerja di HTI sungkai.

3. Akan terjadi peningkatan kegiatan ekonomi dan pembangunan wilayah

setempat, seperti dalam bidang agribisnis, perdagangan dan jasa lainnya. Berkat adanya transformasi yang ikut menjalin keterkaitan dengan pembangunan HTI.

b. Dampak Lingkungan

Sejalan dengan kebijaksanaan kembali (reboisasi), alternatif yang terbaik adalah penanaman pohon-pohon yang berkualitas baik dan menghasilkan untuk bahan baku industri perkayuan/plywood. Dengan dibangunnya HTI

(32)

memperbaiki lingkungan fisik maupun biologi serta keseimbangan lingkungan biosfer dalam ruang lingkup yang luas.

Dampak negatif yang mungkin timbul sebagai akibat sampingan dari pembukaan areal untuk HTI sungkai dapat diantisipasi hingga sekecil mungkin, antara lain dengan upaya :

a. Melindungi tata air, dengan meninggalkan jalur-jalur hijau yang

optimal pada areal kiri-kanan aliran sungai dan yang merupakan sumber mata air;

b. Melindungi tanah permukaan dari terjadinya erosi dan tanah longsor;

c. Melindungi plasma nutfah, jenis pohon perdu lainnya serta mengurangi

ketergantungan kehidupan satwa (fauna) dengan tetap

(33)

7. Penutup

a. PKT Unggulan

Sebagai produk yang diharapkan dapat membantu perbankan dalam meningkatkan KUK, maka PKT Budidaya Tanaman Sungkai ini layak untuk dilaksanakan bank karena memiliki unsur-unsur keunggulan sebagai berikut :

1). Bisnis yang "on line"

Seperti yang telah disajikan dalam Bab V, jelas bahwa Model Kelayakan PKT Budidaya Tanaman Sungkai merupakan kemitraan usaha antara Petani dengan Lembaga Pengumpul (Koperasi Primer atau Swasta) yang disertai jaminan kesinambungan pembelian sungkai dari Usaha Besar pada bisnis yang "on line". Dalam model ini keamanan terhadap kebutuhan faktor produksi dan pemasaran produk sungkai yang dihasilkan UK dijamin dalam bentuk "sharing" antara Lembaga Penjamin Kredit, kemitraan antara petani dengan lembaga penampungan (koperasi dan atau swasta), serta kepastian pembayaran oleh Lembaga Penampung ini.

2). Menghadirkan Kegiatan Pendampingan

Untuk menunjang keberhasilan Model Kelayakan PKT ini, Lembaga Pengumpul yang diposisikan sebagai INTI menyediakan bantuan teknis yang profesional (bermutu) secara berkesinambungan. Misalnya untuk masalah yang menyangkut budidaya, tentang bagaimana menghasilkan panen yang bermutu, tentang cara penanganan hasil. Bantuan pendampingan ini dimulai semenjak pelaksanaan proses rekruitmen plasma dan pelaksanaan pelatihan untuk UK, dalam tahapan pembangunan fisik, tahapan proses produksi dan penjualan. Bantuan pedampingan tersebut ditujukan untuk kepentingan UK maupun untuk kepentingan Lembaga Pengumpul atau INTInya sendiri. Juga

bagi kepentingan pengamanan kredit Bank baik dalam rangka

penggunaannya maupun proses pengembaliannya. 3). Adanya Jaminan Kesinambungan Pasar

Kelancaran pemasaran hasil produksi sungkai dalam Model Kelayakan PKT Budidaya Tanaman Sungkai ini tercermin adanya jaminan yang sepenuhnya dalam pembelian hasil produksi sungkai petani plasma dari koperasi primer dan atau perusahaan swasta yang kedua-duanya dapat berfungsi sebagai pengumpul/pembelin

(34)

"Financial Rate of Return (FRR)" yang relatif lebih besar suku bunga kredit bank menyebabkan Model Kelayakan PKT ini layak dilaksanakan dan dikembangkan dengan menggunakan kredit berbungan pasar (KUK).

5). Adanya Potensi Penjaminan Kredit Yang Relatif Lengkap

Untuk penjaminan pengamanan kredit yang digunakan dalam pelaksanaan Model Kelayakan PKT ini, dapat dihadirkan berperannya :

a. Lembaga penjaminan kredit.

b. Kegiatan kelompok guna mengembangkan tabungan dan pemupukan

modal yang dikaitkan dengan kredit. Pengembangan tabungan sebagai salah satu alat pengamanan kredit, dapat dikaitkan dengan besarnya potensi hasil analisa "net csh flow" maupun Laba - Rugi.

6). Proses Pemanfaatan dan Penggunaan Kredit Yang Aman

Model Kelayakan PKT ini merumuskan mekanisme pencairan dan penggunaan atas dana kredit yang disesuaikan dengan jadwal dan kebutuhan proyek.

7). Cash Flow Sebagai Alat Pengontrol Pengembalian Kredit

Pengembalian kredit dapat didasarkan, disesuaikan dan mengacu kepada perkembangan dan kekuatan cash flow unit usaha yang bersangkutan.

8). Adanya Potensi Kegiatan Kelompok Yang Berkaitan Dengan Kredit Dengan mendasarkan kepada model yang telah diuraikan di atas memungkinkan pembentukan kelompok sedini mungkin, yaitu ketika Lembaga Pengumpul bersama dengan para petani bawang merah unggul dan ketika UK sebagai calon debitur sedang mengikuti pelatihan (sebelum mereka menjadi calon nominatif). Pembentukan dan mengaktifkan kegiatan kelompok tersebut ditujukan antara lain untuk kegiatan simpan-pinjam. Dari sebagian dana simpanan tersebut, secara potensial dapat digunakan sebagai dana untuk membantu proses pengembalian angsuran pokok dan bunga (bilamana diperlukan) atau untuk jenis kegiatan produktif lainnya.

9). Transparansi Pada Setiap Tahapan Pelaksanaan Proyek

Dengan mengikut sertakan UK sejak sedini mungkin dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek, akan terbentuk dan tercipta pula aspek transparansi yang sangat diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan proyek dan proses perkreditannya.

(35)

10). Daya Replikasi Yang Tinggi

Proyek ini mempunyai potensi untuk dikembangkan hampir di seluruh propinsi, karena sumber daya alam (lahan, air ), tenaga kerja, dan modal serta program pendampingan relatif dapat disediakan.

11). Nota Kesepakatan

Suatu hal yang menggambarkan keunggulan Model Kelayakan PKT Budidaya Tanaman Sungkai ini, dapat dituangkan dalam bentuk Nota Kesepakatan dalam lampiran.

b. Implikasi terhadap Titik-Titik Kritis 1). Program Pendampingan Yang Jelas

Sehubungan dengan masih ada kemungkinan munculnya permasalahan terutama pada saat proyek dan kredit masuk dalam tahapan pelaksanaan dan tahapan mengangsur, maka perlu diusahakan agar UK yang telah direkrut dan merupakan calon nominatif semaksimal mungkin dapat diikut sertakan dalam perencanaan(ide dan pengembangannya) sedini mungkin. Maksud dan tujuan mengikut sertakan mereka sedini mungkin yaitu agar mulai dari proses perencanaan para UK benar-benar dapat memahami perlunya kesungguhan dalam melaksanakan proyek sesuai dengan yang diminta oleh persyaratan pasar, teknis, dan finansial maka kemitraan akan berjalan secara berkesinambungan.

2). Pemahaman Titik-titik Rawan Dan Transparansi

Proses pemahaman terhadap titik-titik rawan baik yang terdapat dalam pelaksanakan proses pemasaran bawang merah, penerapan teknologi produksi dan penanganan produksi serta aspek keuangan, perlu didasarkan atas suatu dokumen kesepahaman umum dan atau nota kesepekatan yang rinci dan diuraikan dalam bentuk yang sangat mudah dipahami oleh para UK (anggota plasma).

(36)

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa hasil Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan pada pekerja pengelasan di Kecamatan Mertoyudan Kabupaten Magelang menunjukkan ada hubungan bermakna antara

Tahap ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah hipotesis dapat diterima atau ditolak. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis korelasional yaitu teknik

Sistim pemasaran pada saluran ini tidak langsung dimana nelayan dan armada kapal menjual ikan ke pedagang besar dan pedagang kecil, dengan cara pedagang langsung

Hasil penelitian ini berupa aplikasi pembelajaran doa harian untuk anak usia dini pada smartphone berbasis Android yang menyajikan doa harian dalam bentuk elemen

Sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 11 Tahun 2008 Tentang

Hasil juga menunjukkan bawahan di PT Futurefood Wahana Industri memiliki tingkat kesiapan yang berbeda-beda seperti, Informan 2 (Diah) bagian manajer administrasi yang

Tujuan penelitian ini adalah (a) untuk mengetahui asal usul nenek moyang Tionghoa (b) untuk mengetahui kebudayaan yang dibawa oleh etnis Tionghoa di Kecamatan Sinaboi Kabupaten

Selain itu pemilihan informan dalam penelitian yang akan dilakukan ini disesuaikan dengan tujuan, dan permasalahan penelitian tentang partisipasi