Oleh: Udiyo Basuki
*Abstrak
Nilai-nilai universal hukum adat yang notabene merupakan karakter masyarakat sederhana (tradisional) masih dapat ditemukan keberadaannya di tengah dinamika masyarakat Indonesia yang sedang mengalami perubahan sosial berupa peralihan dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern (modernisasi). Nilai-nilai universal tersebut merupakan cermin perasaan kebenaran, keadilan dan sesuai dengan hati nurani rakyat, sehingga pemberdayaan nilai-nilai universal dimaksud mesti diupayakan.
A. Pendahuluan
Hukum tradisional dan hukum modern merupakan unsur-unsur yang menyusun tata hukum pada kebanyakan negara sedang berkembang. Negara-negara ini umumnya mewarisi suatu tata hukum yang pluralistis sifatnya, di mana sistem hukum tradisional berlaku berdampingan dengan sistem hukum modern.1
Keadaan yang demikian secara tidak terkecuali juga dijumpai dalam kehidupan hukum di Indonesia. Melalui Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, maka sistem hukum yang pluralistis pada jaman penjajahan dengan demikian juga masih berlaku untuk Indonesia hingga saat ini. Seperti diketahui, dalam pluralisme dan dualisme hukum Indonesia dapat dijumpai adanya tiga sistem hukum yang kedudukannya neben, yaitu hukum barat, hukum Islam dan hukum adat.2 Ketiga sistem hukum ini dalam perkembangannya saling bersaing
dan mempengaruhi satu sama lain.
*Penulis adalah dosen Ilmu Hukum pada Fakultas Syari'ah IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Saat ini tengah menempuh studi S2 pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada.
1Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1980),
p. 154.
2Pluralistis dan dualistis hukum ini sebenarnya berkait dengan berlakunya
Sejak kemerdekaan, keadaan di atas telah banyak menyita perhatian dan pertukaran pendapat di antara para ahli hukum Indonesia. Di luar perbincangan yang melibatkan hukum Islam, maka salah satu masalah yang menarik adalah pendapat mengenai pencirian hukum adat sebagai jenis hukum yang tidak lagi terikat kepada adat dan kebiasaan lama, melainkan merupakan suatu jenis hukum di Indonesia yang senantiasa menyesuaikan diri kepada tuntutan perkembangan masyarakat modern. Tetapi bagaimanapun juga tak dapat dihilangkan asosiasi orang tentang hukum adat ini dengan hukum asli bangsa Indonesia dan keaslian tersebut tidak dapat dilepaskan dari suatu susunan masyarakat yang masih berada dalam tahap pra-modern.3
Permasalahan tidak hanya berhenti di situ, tetapi berkembang hingga ke permasalahan bentuk hukum adat itu sendiri, karena sebagian ahli hukum berpendapat, bahwa istilah hukum adat hanya menunjuk pada hukum yang tidak tertulis saja, sedangkan sebagian ahli yang lain berpendapat bahwa hukum adat terdiri dari bagian yang tertulis juga.
Di luar berbagai permasalahan di atas, hukum adat sebagai
living law dalam masyarakat Indonesia dikenal memiliki sifat-sifat umum atau nilai-nilai universal terlepas dari adanya pembagian hukum adat menjadi sembilan belas daerah oleh Van Vollenhoven.4 Nilai-nilai
di Indonesia berlaku beberapa hukum perdata materiil, yaitu hukum adat (tidak tertulis), hukum perdata tertulis (Burgerlijk Wetboek/KUHPerdata dan Wetboek van Koephandel/KUHD) dan hukum Islam, terutama untuk hal nikah. Dualistis artinya terhadap satu rakyat Indonesia diberlakukan dua hukum, yaitu hukum adat (tidak tertulis) dan hukum tertulis, terutama hukum perdatanya.
3Satjipto Rahardjo, Hukum dan …, p. 15.
4Van Vollenhoven membagi Indonesia dalam sembilan belas wilayah
hukum adat yang sering disebut sebagai lingkaran atau lingkungan hukum (rechtskring) atas dasar perbedaan historis, keadaan sosial, letak geogrfis, iklim dan berbagai kriteria lainnya. Hanya saja pembagian wilayah hukum seperti di atas berangsur-angsur kurang tegas batas-batasnya dikarenakan faktor perkembangan jaman terutama kemajuan dalam bidang perhubungan. Sekarang perbedaan tersebut bukan merupakan hal yang prinsipil, melainkan hanya menunjuk perbedaan kedaerahan/lokal saja. Tentang pembagian sembilan belas wilayah hukum adat dengan berbagai komentar atas perkembangannya, periksa misalnya Soerojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), p. 86-87, Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1991), p. 59-63, Soleman Biasane Taneko, Hukum Adat Suatu Pengantar Awal dan
SOSIO-RELIGIA, Vol. 2, No. 2, Februari 2003
universal dimaksud adalah sifat religio-magis yaitu kepercayaan terhadap benda-benda, makhluk halus dan hal-hal gaib yang mempunyai kekuatan, sifat komunal yaitu sifat mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri, sifat kontan yaitu adanya prestasi dan kontra-prestasi yang dilakukan sekaligus bersama-sama pada satu waktu dan sifat konkret yaitu melakukan atau mengadakan suatu perbuatan hukum dengan konkret atau nyata.
Nilai-nilai tersebut sering disebut sebagai ciri atau karakter masyarakat sederhana (tradisional). Sementara itu, selama ini telah terjadi perubahan sosial yaitu peralihan dari masyarakat sederhana (tradisional) menjadi masyarakat modern. Nilai-nilai tradisional mengalami pergeseran karena adanya asimilasi dan alkulturasi dengan nilai-nilai baru sebagai karakter masyarakat modern, seperti tumbuhnya nilai individualistik, solidaritas organik dan meningkatnya warna heterogenitas dalam masyarakat.
Berdasarkan paparan di atas, maka perlu diadakan upaya-upaya pemberdayaan nilai-nilai universal hukum adat yang notabene merupakan karakter masyarakat sederhana (tradisional) menuju masyarakat modern. Oleh karena itu, tulisan ini hendak membahas keberadaan nilai-nilai universal hukum adat dan bagaimana upaya pemberdayaannya di tengah dinamika kehidupan masyarakat hukum Indonesia dengan asumsi dasar masyarakat Indonesia sebagai masyarakat pra-modern.
B. Nilai-nilai Universal Hukum Adat
Menurut F.D Holleman dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya yang berjudul "De Commune Trek in het Indonesische Rechtsleven"
menyimpulkan adanya empat sifat umum hukum adat yaitu sifat religio-magis (magisch-religieus), sifat komunal (commuun), sifat tunai (contant) dan
Prediksi Mendatang, (Bandung: Eresco, 1987), p. 44-50, Mudjiono, Sistem Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1997), p. 62-63, Muderis Zaini, Ikhtisar Tata Hukum Indonesia, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), p. 143-144, S. Wiratmo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1988), p. 85-86.
sifat kongkret (visual).5 Sifat-sifat tersebut diuraikan oleh para penulis
hukum adat sebagai berikut:
1. Religio-Magis
Religio magis pada hakekatnya merupakan pandangan hidup yang berpegang teguh pada prinsip bahwa seyogyanya kehidupan diselaraskan dengan keberadaan alam semesta sebagai bentuk kewajiban menjaga kelestariannya yang telah diciptakan oleh adanya kekuatan gaib. Hal ini dapat dilakukan dengan senantiasa berkelakuan baik dan tidak merusak tata keseimbangan alam.6
Keadaan di atas melahirkan suasana-suasana khas, seperti berikut:
a. Seakan-akan adanya ikatan gaib antara pemuka adat/sesepuh adat dengan para warga kebanyakan.
b. Adanya benda-benda atau tempat-tempat tertentu yang dianggap mempunyai kekuatan gaib.7
Sehingga religio-magis merupakan pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau cara berpikir seperti prelogika, animisme, pantangan, ilmu gaib dan lain-lain.8
Koentjaraningrat menyebutkan bahwa unsur-unsur religio-magis adalah:9
a. Kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus, roh-roh dan hantu-hantu yang menempati seluruh alam semesta dan khususnya
5Dikutip oleh beberapa penulis Hukum Adat diantaranya Bushar
Muhammad, Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), p. 52, Soleman Biasane Taneko, Hukum Adat …, p. 88, Iman Sudiyat, Asas-asas…, p. 35. Dalam uraian yang lebih panjang Ridwan Halim menyebut keempat nilai tersebut sebagai bagian dari citi khas batiniah masyarakat hukum adat. Ciri khas batiniah lainnya adalah sifat asosiatif dan simbolik. Sementara ciri khas lahiriahnya adalah sifat terikat kepada alam, isolatif, uniformitif, indiferensiasi dan konservatif. Dikutip dari Ridwan Halim, Hukum Adat dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985). p. 17-23.
6Disarikan dari Ibid., p. 19. 7Ibid., p. 19.
8Iman Sudiyat, Asas-asas …, p. 35.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 2, No. 2, Februari 2003
gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang dan benda-benda.
b. Kepercayaan kepada kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan khususnya terdapat dalam peristiwa-peristiwa, binatang-binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda serta suara-suara yang luar biasa.
c. Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan sebagai
magische kracht dalam berbagai perbuatan ilmu gaib untuk mencapai kemauan manusia atau untuk menolak bahaya gaib.
d. Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan keadaan kritis, bahaya gaib yang hanya dapat dihindari dengan berbagai pantangan.
Pendapat senada dikemukakan oleh Bushar Muhammad bahwa religio-magis merupakan kata majemuk yang mengandung pengertian kompleks yaitu bahwa pada dasarnya orang Indonesia berpikir, merasa dan bertindak didorong oleh kepercayaan (religi) kepada kekuatan gaib (magis) yang mengisi, menghuni seluruh alam semesta (dunia kosmos) dan terdapat pada orang, binatang, tumbuh-tumbuhan besar dan kecil, benda-benda dan semua kekuatan itu membawa alam semesta dalam suatu keseimbangan.
Keseimbangan semesta harus selalu dijaga dan apabila keseimbangan itu terganggu maka harus dipulihkan dengan melakukan upacara-upacara atau ritus.10
2. Komunal (
Commuun
)Komunal adalah sifat mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri.11 Manusia menurut hukum adat
merupakan makhluk dalam ikatan kemanusiaan yang kuat dengan rasa kebersamaan meliputi seluruh lapangan kehidupan. Sifat individualis seseorang terdesak karena masyarakat sebagai satu kesatuanlah yang memegang peranan menentukan sehingga pertimbangan dan keputusannya tidak dapat diabaikan. Ini berarti dalam hukum adat
10Bushar Muhammad, Asas-asas ..., p. 52. 11Iman Sudiyat, Asas-asas ..., p. 35.
kepentingan individu selalu diimbangi dengan kepentingan umum dan hak-hak individu selalu diimbangi dengan hak-hak umum.12
Berkaitan dengan hal ini, Soepomo menyatakan bahwa hak-hak subyektif, yaitu hak-hak perseorangan atas harta benda berfungsi sosial
artinya hak-hak itu tidak dapat digunakan secara bebas menurut kehendak pemilik hak itu, melainkan penggunaan hak harus dibenarkan oleh fungsi hak itu dalam golongan atau persekutuan yang bersangkutan dan masyarakat luas.13 Seperti orang yang mempunyai
pekarangan juga harus mengijinkan tetangganya berjalan melalui pekarangan tersebut untuk menuju ke jalan umum.
3. Kontan (
Tunai
)Sifat kontan atau tunai mengandung pengertian bahwa dengan suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat untuk mengucapkannya. Dengan demikian dalam hukum adat segala sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah timbang-terima secara kontan itu adalah di luar akibat hukum dan memang tidak bersangkut paut atau bersebab akibat menurut hukum.14 Contoh dalam hukum adat tentang
perbuatan yang kontan ini adalah perkawinan jujur,15 jual beli lepas,16
dan lain-lain.
12Soleman Biasane Taneko, Hukum Adat …, p. 89. 13Ibid., p. 89.
14Iman Sudiyat, Asas-asas ..., p. 37.
15Perkawinan jujur adalah perkawinan dengan penyerahan barang atau
uang dari pihak suami kepada kerabat isteri dengan maksud memasukkan isteri ke dalam clan suami, sehingga konsekuensinya anak yang akan lahir merupakan penerus keturunan clan suami. Muchlis Marwan dan Andri Astuti Prastowo, Hukum Adat, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 1998), p. 17-18.
16Jual beli lepas dalam hukum adat biasanya berkaitan dengan jual beli
tanah berupa penyerahan tanah tidak bersyarat untuk selamanya dengan pembayaran kontan. Jual lepas ini juga disebut adol run-temurun atau adol plas. Sri Wiyarti, Hukum Adat dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 1988), p. 113.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 2, No. 2, Februari 2003 4. Konkret (
Visual
)Di dalam alam pikiran hukum adat senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal yang dimaksudkan, diinginkan, dikehendaki atau dikerjakan ditrasnformasikan atau diberi ujud suatu benda, diberi tanda yang kelihatan, baik langsung maupun hanya menyerupai obyek yang dikehendaki berupa simbol atau benda magis.17
Contoh dari sifat atau corak konkret ini adalah panjer dalam maksud akan melakukan perjanjian jual beli atau pemindahan hak atas tanah, paningset dalam pertunangan atau akan melangsungkan perkawinan. Di beberapa daerah seseorang yang membalas dendam terhadap seseorang dilakukan dengan membuat patung, boneka atau benda lain lalu dimusnahkan atau dibakar. Jadi sifat kontan adalah sesuatu yang visual, kelihatan, terbuka, tidak tersembunyi, berwujud meskipun hanya menyerupai obyek yang dikehendaki.
C. Masyarakat, Modernisasi dan Hukum
Term "modern" secara bahasa berarti cara baru, model baru, kreasi baru, mutakhir18. Dalam disiplin sosiologi, masyarakat modern
sering dikontraskan dengan masyarakat tradisional. Term-term tersebut berkaitan dengan sejarah perkembangan peradaban manusia yang
biasanya dibagi menjadi beberapa fase perkembangan, diantaranya -menurut John Galtung- masyarakat primitif, masyarakat tradisional,
masyarakat modern dan post-modern. Di samping itu terdapat beberapa sosiolog yang membagi tipologi masyarakat dalam perkembangan peradaban secara garis besar menjadi masyarakat awal (early society) dan fase mutakhir (late society). Seperti August Comte membagi masyarakat awal dengan ciri teological society dan masyarakat mutakhir dengan ciri positive society, Sommier Mains mencirikan masyarakat awal dengan status dominated society dan masyarakat mutakhir dengan contract dominated society, F. Tonnies mencirikan masyarakat awal dengan gemeinschaft (cooperate society) atau masyarakat paguyuban dan
17Iman Sudiyat, Asas-asas …, p. 37-38.
18Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer,
masyarakat mutakhir dengan geselschaft (associated society) atau masyarakat patembayan.
Pembagian masyarakat tradisional (masyarakat sederhana) dan masyarakat modern merupakan upaya klasifikasi secara diadik atau dikotomik, yang juga mengacu kepada pembagian tipologi perkembangan masyarakat di atas. Secara umum masyarakat sederhana dicirikan sebagai masyarakat yang mempunyai solidaritas mekanik, ikatan emosional yang kuat (kolektif) dan tingkat homogenitas yang tinggi. Sedangkan masyarakat modern dicirikan sebagai masyarakat yang mempunyai solidaritas organik, ikatan rasional yang kuat atas perhitungan untung rugi dan masyarakat dengan heteroginitas yang tinggi.
Seperti halnya masyarakat manusia di dunia, masyarakat Indonesia juga berkembang sesuai dengan perkembangan jaman. Sehubungan dengan penahapan perkembangannya, melalui ciri-ciri struktur sosial dan budaya, Selo Sumardjan melakukan klasifikasi dan menghasilkan tiga bentuk masyarakat yaitu masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan yang sederhana, madya dan pra-modern atau modern.19
Menurut Selo Sumardjan masyarakat sederhana mempunyai ciri-ciri utama sebagai berikut:
1. Hubungan dalam keluarga dan masyarakat setempat amat kuat. 2. Organisasi sosial didasarkan pada adat yang berbentuk tradisi. 3. Kepercayaan pada kekuatan gaib yang mempengaruhi kehidupan
manusia, tetapi tidak dapat dikuasai olehnya.
4. Tidak ada lembaga-lembaga khusus untuk memberi pendidikan dalam bidang teknologi, keterampilan diwariskan oleh orang tua kepada anak sambil berpraktek dengan sedikit teori dan pengalaman, dan tidak adanya hasil pemikiran atau eksperimen. 5. Tingkat buta huruf yang tinggi.
19Soerjono Soekanto dan Soleman Biasane Taneko, Hukum Adat Indonesia,
(Jakarta: Rajawali, 1983), p. 388-390, Soleman Biasane Taneko, Hukum Adat…, p. 96-98.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 2, No. 2, Februari 2003
6. Hukum yang berlaku tidak tertulis, tidak komplek dan pokok-pokoknya diketahui dan dimengerti oleh semua anggota masyarakat yang telah dewasa.
7. Perekonomian sebagian besar meliputi produksi keperluan keluarga atau pasar setempat, uang sebagai alat pengukur dan penukar harga berperan terbatas.
8. Kegiatan ekonomi dan sosial yang memerlukan kerjasama orang banyak dilakukan secara tradisional dengan gotong royong tanpa hubungan kerja antara buruh dan majikan.
Sementara itu masyarakat madya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Hubungan dalam keluarga tetap kuat, tetapi hubungan dalam masyarakat setempat sudah mengendur dan menunjukkan gejala-gejala hubungan atas dasar perhitungan ekonomi.
2. Adat istiadat masih dihormati, tetapi sikap masyarakat mulai terbuka menerima pengaruh luar.
3. Dengan timbulnya rasionalitas cara berpikir, maka kepercayaan kepada kekuatan-kekuatan gaib baru timbul apabila orang sudah kehabisan akal untuk menanggulangi suatu masalah.
4. Timbul banyak lembaga pendidikan formal sampai tingkat lanjutan pertama.
5. Tingkat buta huruf menurun.
6. Hukum tertulis mulai mendampingi hukum tidak tertulis.
7. Perekonomian masyarakat memberi kesempatan lebih banyak pada produksi pasar, sehingga peran uang meningkat.
8. Gotong-royong sebagai keperluan sosial keluarga besar dan tetangga, sedangkan gotong-royong untuk keperluan umum sudah dilakukan atas dasar prestasi atau balas jasa.
Sedangkan masyarakat pra-modern dan modern mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Hubungan antara manusia didasarkan terutama atas kepentingan pribadi.
2. Hubungan dengan masyarakat sangat terbuka dan saling mempengaruhi, kecuali dalam rahasia penemuan baru dalam industri.
3. Kepercayaan kuat kepada manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sarana peningkatan kesejahteraan masyarakat.
4. Masyarakat terbagi atas berbagai profesi dengan keahlian masing-masing.
5. Tingkat pendidikan formal yang merata.
6. Hukum yang berlaku pada pokoknya hukum tertulis yang amat kompleks adanya.
7. Perekonomian pasar yang didasarkan atas penggunaan uang dan alat-alat pembayaran lain.
Apabila kita membuat kategori mengikuti klasifikasi di atas, maka didapat penggolongan hukum dalam tiga bentuk, yaitu masyarakat dengan hukum sederhana, masyarakat dengan hukum madya dan masyarakat dengan hukum pra-modern atau modern.20
Masyarakat dengan hukum sederhana mempunyai ciri hukum yang berlaku adalah hukum tidak tertulis, hukum bersifat tidak kompleks, pokok-pokok materi hukum diketahui oleh masyarakat. Masyarakat dengan hukum madya mempunyai ciri-ciri hukum yang berlaku adalah hukum tertulis berdampingan dengan hukum tidak tertulis, hukum bersifat sedikit kompleks, sedangkan masyarakat dengan hukum pra-modern dan modern mempunyai ciri-ciri hukum yang berlaku hukum tertulis dan bersifat sangat kompleks.
Penggolongan ini membantu penelaahan terhadap kedudukan hukum adat. Apabila hukum adat dianggap atau dipandang sebagai hukum tidak tertulis maka dengan melakukan penyederhanaan yang cukup besar dalam hal analisis, kelihatan hukum adat hanya akan ditemukan pada masyarakat sederhana dan sedikit pada masyarakat madya.21
Dengan melihat uraian di atas terlihat bahwa Indonesia termasuk dalam golongan masyarakat madya, yang menurut Soerjono Soekanto akan melahirkan hukum tradisional. Berlakunya hukum adat secara berdampingan dengan hukum tertulis tentunya akan memberikan iklim yang kondusif untuk terpeliharanya nilai-nilai universal hukum adat.
20Ibid., p. 100. 21Ibid., p. 102.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 2, No. 2, Februari 2003
D. Modernisasi dan Hukum Modern
Dalam mendefinisikan modern tidak selalu identik dengan apa yang didefinisikan oleh Barat modern. Dengan kata lain modernitas yang berasal dari Barat dapat diterima oleh masyarakat Indonesia itu sendiri. Modernitas sebagai suatu tatanan nilai baru masuk ke dalam budaya asli (indigenous) masyarakat Indonesia dengan proses asimilasi dan akulturasi, namun tidak menggantikan nilai-nilai budaya asli secara totalitas.
Perubahan sosial yang terjadi berupa peralihan dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern tersebut kemudian dinamakan sebagai modernisasi. Menurut Soerjono Soekanto, modernisasi merupakan suatu bentuk perubahan sosial yang terarah (direct change) yang didasarkan kepada suatu perencanaan yang biasanya disebut social planing. Menurutnya ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam modernisasi antara lain adalah:22
1. Cara berpikir yang ilmiah (scientific thinking) yang diinstitusionalisasikan dalam masyarakat.
2. Sistem administrasi negara yang baik dan benar-benar mewujudkan
bureaucrazy.
3. Adanya sistem pengumpulan data yang terarah dan teratur yang terpusat pada suatu lembaga atau badan tertentu.
4. Penciptaan iklim yang favourable dari masyarakat terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa. 5. Tingkat organisasi yang tinggi.
Dalam masyarakat modern tentunya berlaku pula hukum modern. Ciri-ciri hukum modern menurut Marc Galanter diantaranya adalah:23
1. Hukum modern terdiri dari peraturan-peraturan yang uniform dan konsisten dalam penerapannya. Penerapannya lebih bersifat teritorial daripada personal, artinya tidak membedakan agama, suku, kasta, dan jenis kelamin.
22Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: UI Press, 1969),
p. 273-275.
2. Bersifat transaksional, di mana hak dan kewajiban tumbuh dari transaksi-transaksi bukan buah dari keanggotan seseorang dalam suatu lingkungannya.
3. Hukum modern bersifat universal, maka pengaturan hal-hal yang khusus juga tidak terlepas dari standar yang berlaku umum. Dengan demikian penerapan hukum itu dapat dilaksanakan berulang kali sehingga hukum bersifat predictable.
4. Sistemnya hierarchi, terdapat jaringan penerapan hukum yang teratur dan bertingkat.
5. Diorganisasi secara birokratis.
6. Bersifat rasional, di mana prosedur-prosedur dapat diperoleh dari sumber-sumber tertulis dengan menggunakan teknik-teknik yang dapat dipelajari dan diteruskan kepada orang lain tanpa bakat-bakat non-rasional.
7. Profesional, artinya sistem hukum dijalankan oleh ahli-ahlinya sendiri.
8. Dapat diubah-ubah, artinya sistem ini tidak dianggap suci sehingga tidak dapat diubah.
9. Bersifat politis, di mana hukum dikaitkan dengan negara.
10.Tugas untuk menemukan hukum dan menerapkan hukum terpisah secara tersendiri, baik secara personal maupun tekniknya dari tugas-tugas lain yang dijalankan oleh pemerintah.
E. Nilai-nilai Universal Hukum Adat dan Masyarakat Modern
Nilai-nilai universal hukum adat ketika dihadapkan dengan nilai-nilai masyarakat modern seperti yang diuraikan di atas akan mengalami benturan-benturan sebagai berikut :
1. Religio-Magis
Dalam studi sosiologi agama terdapat pembagian fase-fase (horizon) keberagamaan manusia, diantaranya yaitu:24
24Fase-fase ini dianut oleh aliran pre-historis evolusionistis dalam sosiologi
agama. Syamsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat Pendekatan Sosiologi Agama, (Jakarta: Logos, 1997), p. 21-25.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 2, No. 2, Februari 2003
a. Horizon pertama adalah horizon primitif yaitu suatu tingkat kebudayaan yang meliputi cara hidup, praktik-praktik keagamaan dan adat istiadat dari manusia pemangku kebudayaan pengumpul makanan dan berburu. Dalam fase ini agama dikenal sebagai perasaan takut dan memuja benda-benda yang mempunyai kekuatan (mana).
b. Horizon kedua adalah horizon animisme bagi manusia berburu yang telah mempunyai tempat tinggal dan telah mengenal cocok tanam, yaitu kepercayaan terhadap makhluk halus yang mempunyai kekuatan.
c. Horizon ketiga adalah horizon pertanian yang cenderung memperorangkan roh-roh dan makhluk halus dalam horizon primitif dan animisme, biasanya dalam bentuk dewa-dewa.
d. Horizon keempat adalah tingkat kebudayaan bangsa-bangsa kuno yang telah mempunyai kebudayaan tinggi, yang menganut agama sebagai pantulan sistem politik dan sosial yang dianutnya, dengan adanya pendeta-pendeta yang dipercaya bertugas berhubungan dengan Tuhan.
e. Horizon kelima yaitu dalam masyarakat beradab yang telah mampu mengadakan renungan konseptual tentang moral dan agama, di mana muncul tokoh-tokoh besar seperti para Nabi (disebut juga horizon kenabian).
Sifat religio-magis dalam masyarakat Indonesia seperti yang telah dipaparkan di muka mengandung kepercayaan terhadap benda-benda, roh-roh makhluk halus yang mempunyai kekuatan. Oleh karenanya merupakan tingkat keberagamaan manusia dalam fase-fase sebelum fase agama besar (kenabian). Sedangkan dalam perkembangannya kepercayaan-kepercayaan tersebut telah tereliminasi dengan adanya agama-agama besar.
Dengan semakin terkikisnya unsur magis dan tergantikan oleh religi (agama besar) tersebut, maka hukum adat dikatakan mengandung unsur-unsur agama. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta tanggal 15-17 Januari 1975 bahwa hukum adat adalah hukum Indonesia
asli yang tidak tertulis dalam perundang-undangan Indonesia yang di sana-sini mengandung unsur agama.25
2. Komunal (
Commuun
)Sifat komun, kolektif atau solidaritas mekanik merupakan ciri masyarakat sederhana atau masyarakat tradisional. Dengan adanya peralihan menuju masyarakat modern yang cenderung individual dan menekankan solidaritas organik dan heterogen, terjadi akulturasi antara kedua meantsrem nilai tersebut.
Alkulturasi kedua nilai di atas tidak dapat mengeliminasi nilai-nilai lama, artinya bahwa nilai-nilai-nilai-nilai komun dan mengutamakan kepentingan bersama dalam masyarakat modern akan tetap bertahan, walaupun muncul nilai-nilai baru yang cenderung kepada pengutamaan kepentingan individu. Hal tersebut dikarenakan keduanya merupakan sifat dasar manusia sebagai makhluk individu dan sosial, yang selalu terjalin (merupakan antinomy) dan tidak dapat dipisahkan.
3. Kontan (
Tunai
)Sifat kontan yang ada dalam masyarakat adat juga tidak tereliminasi secara keseluruhan dalam masyarakat modern. Bahkan masyarakat modern lebih menekankan hal-hal yang bersifat praktis dan serba cepat dengan kemajuan teknologinya. Dengan demikian nilai ini justru berkembang dalam masyarakat modern.
4. Konkret (
Visual
)Sifat konkret dalam masyarakat adat dengan mewujudkan perkataan dan keinginan melalui hal yang berwujud benda, masih terdapat bahkan berkembang dalam masyarakat modern. Dari segi filosofis, dalam modernitas berkembang ide positifistik di mana segala sesuatu selalu dimanifestasikan dalam wujud materi dan konkret. Sifat konkret tersebut juga diwujudkan dalam transaksi-transaksi seperti adanya panjer, paningset dalam hukum adat yang masih berlaku di tengah masyarakat hingga sekarang.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 2, No. 2, Februari 2003
F. Pemberdayaan Nilai-nilai Universal Hukum Adat
Perkembangan masyarakat diikuti dengan perkembangan nilai-nilai. Sebagai masyarakat prismatik atau transisional Indonesia merasakan sekali gejala ini. Persaingan antara nilai-nilai yang mengakar di tengah masyarakat dengan nilai-nilai asing yang berdatangan kemudian akan menyebabkan adanya kebingungan sosial untuk memilih dan memilah berbagai nilai yang ada tadi.
Modernisasi atau perubahan masyarakat yang meliputi fase segala aspek kehidupan kini tengah berlangsung dan tidak dapat dihindarkan. Dalam modernisasi tersebut pergeseran dan perubahan nilai terjadi termasuk nilai-nilai universal hukum adat. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya pemberdayaan nilai-nilai universal tersebut menuju masyarakat modern. Hal ini didasarkan pada kenyataan nilai-nilai universal hukum adat merupakan cermin perasaan kebenaran, keadilan dan sesuai dengan hati nurani rakyat. Diantara upaya-upaya pemberdayaan tersebut adalah:
1. Memasukkan nilai-nilai universal hukum adat ke dalam sistem hukum positif.
Pembangunan hukum nasional yang mengacu kepada sistem hukum modern hendaknya mengadopsi nilai-nilai yang berkembang dalam budaya masyarakat Indonesia, baik nilai-nilai etika dan keagamaan, komunalitas dan kolektivitas dan lainnya.
Hal tersebut sesuai dengan adagium ubi societas ibi ius yang mengandung makna bahwa hukum yang berlaku di tengah suatu masyarakat hendaknya sesuai dengan corak dan masyarakat itu sendiri, yang diambil dari nilai yang mengakar dan membumi serta didukung oleh rasa keadilan masyarakat atau bangsa yang bersangkutan.26
2. Mengupayakan proses sosiali-sharing terhadap hukum privat, terutama hukum adat di mana hukum privat mengalami pergeseran menjadi wilayah hukum publik. Keadaan ini dapat terjadi baik
26Arah kebijakan Pemerintah dalam bidang hukum sebenarnya sangat
kondusif untuk upaya ini. Dalam ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN disebutkan adanya upaya menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat.
karena kesadaran kolektif masyarakat maupun karena ide welfare state
di mana negara semakin mengambil alih urusan kesejahteraan masyarakat.
Upaya yang dapat bercorak bottom up maupun top down ini sudah dilakukan oleh Pemerintah meskipun kadang-kadang pada dataran pelaksanaannya sering tidak atau belum sesuai dengan gagasan, pendapat atau cita-cita masyarakat.27
3. Memasukkan materi-materi hukum adat dalam pembangunan hukum nasional.
Hal ini didasari pada kenyataan bahwa keberlakuan hukum tidak hanya secara yuridis an sich, melainkan perlu diperhitungkan keberlakuan hukum secara sosiologis (hukum berlaku jika diterima dan diakui oleh masyarakat) dan keberlakuan hukum secara filosofis (sesuai dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat). Materi hukum adat sebagai living law yang hidup dalam masyarakat merupakan nilai-nilai yang telah inheren dan dianut oleh masyarakat yang tentunya sesuai dengan nilai-nilai filosofis masyarakat tersebut. Oleh karena itu memasukkan materi hukum adat ke dalam hukum nasional akan lebih menjamin keberlakuan hukum secara sosiologis dan filosofis.28
4. Sosialisasi, internalisasi hukum adat kepada seluruh anggota masyarakat terutama kepada generasi muda, baik melalui pendidikan formal, informal maupun nonformal, seperti dalam acara-acara (ritus) masyarakat adat, upacara adat dan sebagainya. Upaya ini ditujukan agar para generasi baru dapat memahami dan
27Misalnya dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang mempunyai spirit mendudukkan hukum tanah adat sejajar dengan hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat. Juga disyahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus untuk Nanggro Aceh Darussalam yang melegalkan berlakunya Syari'at Islam di Negeri Serambi Mekah yang sesuai dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat setempat.
28Dengan nada optimis Soepomo pada tahun 1947 menegaskan tentang
bagaimana kedudukan hukum adat di kemudian hari yang diantaranya menyatakan bahwa hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis akan banyak memberi bahan berharga dan menjadi sumber hukum baru dalam hal-hal yang belum atau tidak ditetapkan oleh Undang-undang. Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan ..., p. 65.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 2, No. 2, Februari 2003
menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam hukum adat yang kadang-kadang dipandang miring dengan sebelah mata dan dianggap sebagai sesuatu yang out of date.
5. Rekonstruksi kepercayaan terhadap benda-benda dan roh-roh (animisme dan dinamisme) menjadi kepercayaan (religi) kepada Tuhan yang Maha Esa sesuai dengan ajaran agama-agama "besar".
G. Penutup
Dari apa yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan nilai-nilai universal hukum adat masih ditemukan dan dapat dipertahankan di tengah masyarakat, seperti adanya sifat komunal dan kolektivitas yang inheren dalam masyarakat Indonesia, sifat kontan dan konkret dalam berbagai transaksi dan perbuatan hukum lainnya, serta sifat religius yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia yang didasarkan kepada agama-agama "besar".
Upaya-upaya pemberdayaan nilai-nilai universal hukum adat menuju masyarakat modern dapat dilakukan dengan memasukkan nilai-nilai universal hukum adat dalam sistem hukum positif, mengembangkan sosiali-sharing dalam hukum, memasukkan materi-materi hukum adat dalam pembangunan hukum nasional, sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai religio-magis menjadi nilai kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa.
Daftar Pustaka
Abdullah, Syamsuddin, Agama dan Masyarakat Pendekatan Sosiologi Agama, Jakarta: Logos, 1997.
Halim, Ridwan, Hukum Adat dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Marwan, Muchlis dan Andri Astuti Prastowo, Hukum Adat, Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 1998.
Mudjiono, Sistem Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1997.
Muhammad, Bushar, Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.
Partanto Pius A. dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.
Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1980. Soekanto, Soerjono dan Soleman Biasane Taneko, Hukum Adat
Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1983.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: UI Press, 1969. Sudiyat, Iman, Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Yogyakarta:
Liberty, 1991.
Taneko, Soleman Biasane, Hukum Adat Suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa Mendatang, Bandung: Eresco, 1987.
Wignjodipuro, Surojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1982.
Wiratmo, S., Pengantar Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1988.
Wiyanti, Sri, Hukum Adat dalam Pembinaan Hukum Nasional, Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 1998.
Zeini, Muderis, Ikhtisar Tata Hukum Indonesia, Surabaya: Usaha Nasional, 1988.