• Tidak ada hasil yang ditemukan

ProdukHukum PekerjaanUmum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ProdukHukum PekerjaanUmum"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL

NO. ISSN 1829-5568

P

PENDIDIKAN

ROFESIONAL

EFEKTIVITAS PEMELIHARAAN ASET

PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM RANGKA MENJAGA KETERSEDIAAN AIR WADUK PADA MUSIM KEMARAU

PENGGUNAAN ROAD HUMP SEBAGAI FASILITAS PENGENDALI KECEPATAN DALAM MENGURANGI KECELAKAAN LALU LINTAS

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) PADA KAWASAN PERDAGANGAN DI SEMARANG

(2)

Dari Redaksi

Jurnal Pendidikan Profesional merupakan wahana komunikasi bagi seluruh stake holder Pusat Pembinaan Keahlian dan Teknik Konstruksi (Pusbiktek), BPKSDM, Departemen Pekerjaan Umum.

Redaksi menerima sumbangan tulisan/artikel yang berkaitan dengan pendidikan profesional baik dari mitra kerjasama perguruan tinggi nasional, balai-balai, para profesional pendidikan, widyaiswara, karyasiswa dan segenap pihak pelaksana serta pemerhati pendidikan profesional. Tulisan disajikan dalam MS-Word dilengkapi tabel, grafik, gambar, foto sesuai kebutuhan. Tulisan ( satu eksemplar hard copy dan disket disampaikan ke alamat redaksi atau melalui e-mail : teknikkonstruksi@yahoo.co.id ( tulisan melalui e-mail, diharapkan mengirimkan draf melalui

Jurnal

Pendidikan Profesional

Diterbitkan Oleh:

Bidang Teknik Konstruksi

Pusat Pembinaan Keahlian dan Teknik Konstruksi, BPKSDM

Dep. Pekerjaan Umum

Pembina :

Kepala Pusbiktek, BPKSDM

Pemimpin Redaksi :

Ir. Heriyadi Dwijoyanto, Dipl. HE

Wakil Pemimpi Redaksi :

RM. Bambang Ari Amarto, ST

Penyunting :

Ir. Yaya Supriyatna, M.Eng.Sc Ir. Christian Handry Laihad, M.Pd Ir. Sudradjat, M.Eng

Redaktur Pelaksana :

Kiagus Mochamad Ali, ST., Sp1 Anjar Pramularsih, ST

Dewi Rahmawati, ST Iyan Hendrayanto, A.Md Ahmad Baharudin berjumpa kembali dengan Pembaca melalui Jurnal Pendidikan Profesional ini.

(3)

Ju

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

EFEKTIFITAS

PEMELIHARAAN ASET

Trijono, Muhammad Rahman *)

I. PENDAHULUAN `

1.1. Latar Belakang

Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Beragam usaha dari berbagai sektor terus dikembangkan dalam usaha pencapaian tujuan tersebut. Salah satu hasil pembangunan adalah berupa harta kekayaan negara, ada yang terlihat (berwujud/fisik) maupun tidak terlihat (tidak berwujud/non fisik), ada bergerak dan tidak bergerak, ada yang berasal dari alam maupun hasil olahan/rekayasa manuasia.

Dari pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa banyak hasil fisik pembangunan prasarana dan sarana yang dibangun

Pemerintah kurang lestari dan tidak terpelihara dengan baik. Salah satu indikatornya adalah pada saat Pemerintah melaksanakan restrukturisasi yang dilakukan BPPN terhadap aset yang dikelolanya, hampir selalu berujung pada penjualan aset, dan sebagian bernilai jual jauh lebih rendah dari perkiraan penilaian semula, serta banyaknya keluhan masyarakat terhadap pemanfaatan infrastruktur Pemerintah.

1.2. Perumusan Masalah

Aset Negara berupa hasil pembangunan prasarana dan sarana yang belum atau yang kurang terpelihara dengan baik, berpengaruh pada fungsionalnya maupun nilai ekonomisnya. Salah satu contoh asset negara berupa prasarana Jalan Nasional. Secara umum tingkat efektifitas pengelolaan jalan Nasional dipandang saat ini masih belum optimal.

Perumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana pengelolaan aset negara dapat terpelihara dengan efektif.

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan wacana tentang pentingnya pemeliharaan aset serta bagaimana aset tersebut seharusnya dipelihara, baik dari sisi fungsionalnya maupun dari sisi nilai ekonomisnya, yang

(4)

rn

sebagai pelaku distribusi memberikan harga yang lebih kompetitif, serta patuh terhadap ketentuan muat barang.

14. Ruang Lingkup Penulisan

Ruang lingkup penulisan makalah ini terbatas pada kajian tentang pemeliharaan aset, berdasar kebijakan/perundang-undangan atas pengelolaan aset Negara yang dikelola Pemerintah. Aset yang dimaksud beruwujud bangunan dalam hal ini produk Infrastruktur Pekerjaan Umum (I-PU), dengan studi kasus pada infrastruktur jalan.

II. PENGELOLAAN ASET

2.1. A s e t N e g a r a B e r d a s a r Peraturan/Perundangan

Dasar hukum utama dalam pengelolaan aset negara untuk pencapaian tujuan pembangunan adalah Undang Undang Dasar 1945 pasal 33 terutama ayat 2 dan 3, yaitu :

ayat 2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup oarang banyak dikuasai oleh negara.

ayat 3. Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Aset negara adalah bagian dari kekayaan negara yang terdiri dari barang bergerak dan barang tidak bergerak, yang dimiliki, dikuasai oleh instansi Pemerintah, yang sebagian atau seluruhnya dibeli atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari perolehan yang sah,

tidak termasuk kekayaan negara yang dipisahkan (dikelola BUMN) dan kekayaan Pemerintah Daerah.

Secara singkat dapat disebut ”barang milik negara/kekayaan negara” sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan RI No. KEP.225/MK/V/4/1971 pasal 1, Keputusan M e n t e r i K e u a n g a n R I N o . 3 5 0 / K M K . 0 3 / 1 9 9 4 d a n N o . 470/KMK.01/1994 serta Peraturan Pemerintah RI No. 6 Tahun 2006 Pasal 1, bahwa yang dimaksud aset negara atau barang milik negara adalah semua barang milik/kekayaan negara yang meliputi barang tidak bergerak (tanah dan atau bangunan) dan barang bergerak (inventaris) :

 yang sebagian atau seluruhnya dibeli atas beban APBN serta perolehan yang sah;  yang dimiliki/dikuasai oleh instansi

Pemerintah, lembaga Pemerintah non Departemen, badan-badan yang didirikan Pemerintah;

 tidak termasuk kekayaan negara yang dipisahkan dan dikelola BUMN serta bukan kekayaan Pemerintah Daerah. (sumber : Doli D, Siregar (2004), Manajemen Aset, PT Gramedia Pustaka Utama).

2.2. Aset Negara Dipandang Dari Konsep Hukum

Aset negara adalah segala benda, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dimiliki/dikuasai oleh negara.

(5)

Ju

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

Kondisi aset negara tersebut belum dimanfaatkan secara optimal dan tidak terpelihara (aset fisik) dengan baik.

2.3. Aset Dipandang Dari Konsep Manajemen

Dalam konsep manajemen, pengertian aset adalah sesuatu yang bernilai (an asset is an item of value, not only is it something worth having, it goes beyond pure possession giving a service to mankind).

Dalam pengelolaan aset terdapat proses yang meliputi :

 pengadaan;  pengoperasian;  pemeliharaan;  rehabilitasi, dan  pembuangan aset.

K e b e r a d a a n a s e t u n t u k mendukung/memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Siklus aset serta outcome pengelolaan aset digambarkan sebagai berikut (sumber : Trijoko (1 Agustus 2006), Overview Management Magister Asset, Pusbiktek PU):

Outcome dalam pengelolaan aset digambarkan sebagai berikut :

langsung, yaitu melalui BUMN dan Pemerintah Daerah.

Berkaitan dengan pengertian tersebut, tentunya sangat penting untuk diketahui potensi dan nilai serta manfaat harta kekayaan negara bagi kepentingan kemakmuran rakyat. Konsep hukum atas benda yang berwujud dan tidak berwujud yang mempunyai nilai disebut sebagai properti yaitu segala benda yang dapat dimiliki, yang bisa juga disebut aset sebagai dasar penilaian properti.

Properti dikelompokkan dalam 4 (empat jenis) properti, yaitu :

a.Penguasaan dan pemilikan tanah dan bangunan

b.Benda bergerak c.Kegiatan usaha

(6)

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

2.4. Pemeliharaan Aset

S a l a h s a t u i t e m s e b a g a i m a n a penggambaran diatas adalah pemeliharaan asset (asset maintenance). Perencanaan strategi pemeliharaan diperlukan untuk menjaga agar aset dapat mendukung kegiatan bisnis atau memberikan pelayanan secara terus-menerus. Pemeliharaan juga untuk memastikan bahwa aset terjaga sesuai umur dan nilainya.

Dalam Peraturan Pemerintah tentang P e n g e l o l a a n B a r a n g M i l i k Negara/Pemerintah No. 6 tahun 2006, dalam penjelasan pasal 32 disebutkan bahwa :

 Pengamanan fisik antara lain ditujukan untuk mencegah terjadinya penurunan fungsi barang, penurunan jumlah barang dan hilangnya barang;

 Pengamanan fisik untuk tanah dan bangunan antara lain dilakukan dengan

cara pemagaran dan pemasangan tanda batas tanah, sedangkan untuk selain tanah dan bangunan antara lain dilakukan dengan cara penyimpanan dan pemeliharaan.

PEMBAHASAN

3.1. Kondisi aset (infrastruktur jalan) saat ini

Banyak aset-aset negara dalam bidang ke-PU-an. Peninjauan asset negara dalam penulisan ini mengambil contoh kondisi infrastruktur jalan.

(7)

 Dengan dana pemeliharaan yang terbatas, dilakukan optimasi penanganan jalan dengan prinsip bahwa tidak ada 1 km jalan yang tidak dipelihara.

Jalan sebagaimana aset yang lain secara karakteristik mempunyai umur layak pakai tertentu. Untuk menjaga fungsinya diperlukan pemeliharaan. Adapun jenis pemeliharaannya sangat bervariasi tergantung kondisi medan, tipe jalan, kapasitas kendaraan yang lewat, dan sebagainya.

Tingkat pelayanan dan kapan pemeliharaan akan dilakukan, digambarkan dalam grafik sebagai berikut :

Ju

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

Isu-isu spesifik dalam penyelenggaraan jalan terkait dengan pemeliharaan :

 Beban prasarana jalan sangat berat dikarenakan lebih dari 80% angkutan barang menggunakan prasarana jalan.  Meningkatnya kerusakan jalan dan

jembatan akibat bencana alam pada akhir tahun 2005 dan awal 2006. Diperkirakan akan terjadi lagi pada akhir 2006.

 Pengendalian muatan lebih masih belum efektif terutama pada jalur ekonomi utama (Jalintim dan Pantura).

 Biaya pemeliharaan jalan secara hanya mampu untuk pemeliharaan rutin, seperti patching, penutupan lubang sementara, tetapi belum pada tahap ”nyaman dan aman” dilewati.

3.2. Analisis Pemeliharaan Aset Infrastruktur Jalan PU

Berdasarkan UU RI No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, pemeliharaan jalan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, dan masyarakat, dengan pemanfataan pelayanan jalan yang handal dan prima serta berpihak pada kepentingan masyarakat.

Konsep pendekatan penyelenggaraan pemeliharaan jalan :

 Menjaga fungsi jalan sebagai asset negara dalam melayani kebutuhan transportasi dengan memprioritaskan pemeliharaan dari pada pembangunan.

 Prinsip pemeliharaan jalan dalam rangka mempertahankan tingkat pelayanan jalan pada tingkat biaya total operasi kendaraan dan biaya konstruksi yang ekonomis.

DIAGRAM TINGKAT PELAYANAN VS UMUR JALAN & JENIS PENANGANAN

( sumber: Dirjen Bina Marga ( 5 Agustus 2006 ), Makalah MKUK, Kebijakan dan Program penyelangaraan Sektor Jalan, Pusbitek PU)

(8)

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

D a r i g a m b a r a n g r a f i k t e r s e b u t menunjukkan :

1.Fungsi jalan semakin menurun kinerja/fungsionalnya seiring dengan bertambahnya umur jalan.

2.Pemeliharaan rutin diperlukan untuk menjaga fungsi jalan tidak langsung menurun secara ekstrim fungsionalnya. 3.Diperlukan pemeliharaan berkala untuk

medayagunakan kembali fungsi jalan setelah umur tertentu.

4.Secara fisik daya guna jalan akan mendekati titik terendah sehingga diperlukan adanya peningkatan.

Salah satu hambatan dalam pemeliharaan j a l a n a d a l a h k e t i d a k t e r s e d i a a n dana/anggaran yang mencukupi . Untuk standard minimal saat ini, paling tidak diperlukan 50 juta rupiah per 1 km jalan per 1 tahun, sedangkan saat ini baru dapat dianggarkan 40%-nya (20 juta), sehingga dapat dimaklumi bahwa kondisi jalan saat ini banyak menuai keluhan dari pengguna jalan. Kondisi tersebut juga menyrupai dengan kondisi pembiayaan infrastruktur Indonesia secara makro, yang hanya mencapai 2,33% (2002) dari PDB dan kecenderungan terus menurun, yang idealnya untuk negara berkembang sebesar 5% ~6%.

Dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, ketersediaan infrastruktur di Indonesai masih jauh tertinggal. Sementara mereka berlomba-lomba dalam meningkatkan daya saingnya melalui upaya pengurangan biaya produksi dan distribusi, perlakukan pajak secara khusus dan pemberian insentif guna peningkatan efisiensi pengusahaan penyedia infrastruktur, kondisi di Indonesia cenderung sebaliknya.

Siklus pemeliharaan aset dalam kerangka kebijakan dari input sampai dengan implementasi digambarkan sebagai berikut :

D a l a m p e n g g a m b a r a n t e r s e b u t , pemeliharaan adalah sebuah proses yang berkesinambungan, sejak diadakannya aset. Untuk membuat program pemeliharaan yang handal (pada akhirnya dapat diterapkan) harus dipersiapkan data-data maupun kajian input sebagai berikut :  Kondisi aset (inventarisasi).

 Perencanaan pemeliharaan (yang diinginkan / rencana standard dalam hal : kualitas, perfoma, ketersediaan).

 Anggaran yang diperlukan.

(9)

Ju

Hasilnya berupa program kerja pemeliharaan yang dapat diterapkan (applicable) yang di dalamnya terdapat pula kebijakan yang diambil dan karena sebagai suatu siklus maka proses tersebut akan ditinjau secara menerus untuk p e n i n g k a t a n k i n e r j a (c o n t i n u o s improvement).

3.3. Teknis pelaksanaan pemeliharaan aset di lapangan

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pemeliharaan terhadap aset pemerintah belum memberikan hasil yang memuaskan. Keluhan masyarakat terhadap kualitas jalan hampir terjadi di semua wilayah di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah belum handalnya program pemeliharaan, disamping keterbatasan anggaran, skala prioritas dan sebagainya.

Secara teknis, kegiatan pemeliharaan di lapangan diuraikan sebagai berikut : 1.Inspeksi aset secara rutin (sebelum

dilakukannya pemeliharaan ) dan bertanggung jawab.

2.Pemeliharaan Rutin, meliputi :

3.Pemeliharaan Berkala (lebih tipikal sesuai jenis aset), misalnya :

4.Pencadangan biaya pemeliharaan pasca FHO

5.Peningkatan kualitas SDM yang handal d a l a m m e n g e l o l a m a n a j e m e n pemeliharaan.

Dalam pelaksanaan, inspeksi sering kali tidak dilakukan dengan tepat dan tidak lengkap, sehingga kesimpulan yang diambil kurang sempurna, padahal inspeksi adalah sumber data utama sebelum proses yang lain dilakukan. Untuk melakukan inspeksi yang dapat dipakai sebagai sumber

data diperlukan standard input dan keahlian Inspektor.

Pemeliharaan rutin (harian atau mingguan) serta pemeliharaan berkala berdasarkan hasil inspeksi sangat diperlukan. Dapat dibayangkan jika misalnya terjadi keretakan minor pada konstruksi tidak segera ditangani, dalam waktu singkat akan menjadi kerusakan besar yang akan semakin menurunkan fungsi, bahkan menjadikan tidak berfungsi, yang pada akhirnya sebenarnya bukan lagi pemeliharaan yang dilakukan tetapi pembangunan baru.

Selain teknis fisik diatas, penyusunan rencana anggaran biaya pemeliharaan (pasca konstruksi / FHO) dan penyediaan SDM yang mampu mengelola manajemen pemeliharaan sangat diperlukan.

Biaya untuk kegiatan manajemen pemeliharaan secara menyeluruh agar tepat guna mulai dari penyiapan sistem, sourcing SDM yang handal, sampai dengan realisasi pemeliharaan tentunya tidak akan cukup dengan perhitungan saat ini yang hanya sebesar Rp.50 juta/1 km/1 tahun, apalagi realisasi saat ini Rp.20 juta/1 km/1 tahun. Perhitungan biaya pemeliharaan sebagai suatu manajemen pemeliharaan harus sudah dihitung sejak investasi aset dibuat, sehingga nilai ekonomis pengadaan aset dapat diketahui sejak awal (tidak termasuk kegiatan strategis yang dilakukan Pemerintah untuk kepentingan tertentu, misalnya untuk menjaga kedaulatan negara, dll).

(10)

rn

Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan :

1.Kondisi riil saat ini aset negara (studi kasus : infrastruktur jalan) belum terpelihara dengan baik.

2.Belum ada peraturan perundangan yang mengatur lebih terinci mengenai pemeliharaan aset serta pola anggaran yang berbasis pada pemeliharaan aset. 3.Belum adanya pola manajemen

pemeliharaan aset yang handal dan dapat diterapkan di lapangan.

4.Pemeliharaan sangat diperlukan untuk tetap berfungsinya aset negara.

4.2. SARAN

Untuk mencapai sasaran pemeliharaan aset yang efektif diperlukan pengembangan dalam aspek Manajemen Pemeliharaan Aset, aspek Kebijakan Publik/Peraturan Perundangan-undangan serta percepatan program ”Road Fund” yaitu :

1.Aspek Manajemen Pemeliharaan Aset, meliputi :

1.1.Perencanaan pemeliharaan 1.2.Realisasi pemeliharaan

1 . 3 . M o n i t o r i n g d a n E v a l u a s i pemeliharaan

1.4.Pengukuran efektifitas pemeliharaan 1.5.Peningkatan kualitas SDM dalam

pengembangan berkelanjutan bidang pemeliharaan (continuous improvement)

1.6.Pengembangan sistem manajemen pemeliharaan

2.Aspek Kebijakan Publik / Peraturan Perundangan :

2.1.Kebijakan anggaran dan manajemen pemeliharaan

2.2.Kebijakan publik terkait SDM dan tertib hukum

 Kualitas/mutu (Quality)

 Perfoma/daya guna (Performance)  Ketersediaan volume atau waktu pemanfaatan (availability).

Apabila ketiga faktor tersebut digabung, dapat dirumuskan sebagai berikut :

Efektifitas = Quality x Perfomance x Availability

(sumber : Total Productive Maintenance, PT Wijaya Karya, 2006)

Monitoring pengukuran efektifitas pemeliharaan perlu dilakukan untuk memantau hasil pemeliharaan yang dilakukan dengan cara :

 Menentukan posisi awal/kondisi awal (saat ini)

 Menetapkan sasaran yang akan datang (bertahap meningkat sampai dengan batas optimal yang ingin dicapai)

 Pengukuran pencapaian Realisasi terhadap Rencana

Untuk menjadikan pemeliharaan efektif, manajemen pemeliharaan aset seharusnya dibakukan oleh Pengambil Keputusan sebagi suatu kebijakan yang jelas, berpola, sasaran jelas (memenuhi syarat akuntabilitas) dan berpihak pada kepentingan masyarakat (stakeholder). Pengkajian program pemeliharaan masih dalam pembahasan pemerintah dalam program ”Road Fund”.

IV. PENUTUP

(11)

Ju

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

3.Percepatan Program Road-Fund :

3.1.Road Fund merupakan alternatif pembiayaan pemeliharaan jalan dengan prinsip user-pay-principle / fee-for-services basis, melalui tarif dan pajak yang ditarik langsung dari sektor jalan. 3.2.Dana yang diperoleh dari pembebanan

biaya pengguna tersebut tidak lagi dimasukkan ke general budget pada anggaran pemerintah tetapi langsung ditransfer ke rekening road fund.

3.3.Road Fund digunakan untuk membiayai pemeliharaan jalan nasional, jalan provinsi sampai jalan kabupaten/kota yang melibatkan banyak instansi pengelola pada masing-masing tingkat kewenangan tersebut. 3.4.Road fund dikelola oleh institusi

independen untuk menghindari konflik kepentingan antar instansi yang terlibat, serta menjamin penyaluran dana berjalan dengan baik dan memiliki akuntabilitas publik.

Usulan pokok kebijakan yang diperlukan sesuai analisis SWOT (lampiran 1 ~ 3) adalah :

1.Peningkatan kualitas SDM 2.Penegakan hukum

3.Penerapan sistem manajemen pemeliharaan yang handal

4.Pengkajian nilai ekonomis dalam pemeliharaan

5.Pengalokasian anggaran pemeliharaan yang wajar

6.Tertib anggaran

LAMPIRAN LAMPIRAN 1. ANALISIS ”S W O T”

A L T E R N A T I F K E B I J A K A N BERDASARKAN ANALISIS “S W O T” Sasaran :

Efektifitas pemeliharaan sangat diperlukan untuk tetap berfungsinya aset negara :

1.Sesuaikan fungsi kelembagaan dengan peraturan yang ada

2.Lakukan kerjasama yang saling mendukung antara pemerintah, swasta dan masyarakat.

3.Tingkatkan kualitas SDM 4.Tertibkan penggunaan anggaran 5.Penegakan hukum

6.Buat sistem manajemen pemeliharaan 7.Hitung aspek ekonomis pemeliharaan

terhadap beban anggaran

8.Buat mekanisme koordinasi antara pemerintah, swasta dan masyarakat serta intra & antar departemen

9.Tetapkan anggaran pemeliharaan yang wajar

(12)

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

LAMPIRAN 3.

P E N I L A I A N A L T E R N A T I F KEBIJAKAN

(13)

Ju

Jaminan ketersediaan air tawar muncul sebagai masalah global akibat semakin meningkatnya pemanfaatan sumber sumber air yang terbatas jumlahnya oleh jumlah penduduk yang terus bertambah. Selain itu, makin berkurangnya ketersediaan sumber air akibat pengelolaan yang belum optimal dan perubahan tata guna lahan untuk kepentingan mencari nafkah dan tempat tinggal juga menjadi penyebabnya. Dampak keterbatasan air ini semakin lama semakin dirasakan oleh masyarakat pemakai ar seperti ketersediaan air tidak merata sepanjang tahun yang mengakibatkan kekeringan di musim kemarau dan terjadi kekurangan air (musim kemarau) untuk berbagai kepentingan misalnya air minum, pariwisata, pengendalian banjir, pertanian dan lain lain. Pengelolaan operasional waduk yang optimal merupakan antisipasi nyata dalam mendistribusikan air sehingga dapat mengurangi dampak yang menjadi ancaman serius bagi keberhasilan program ketahanan pangan, penyediaan air untuk

berbagai keperluan, kelestarian lingkungan hidup dan mengurangi meningkatnya korban manusia dan kerugian harta benda akibat bencana banjir, tanah longsor, kekeringan, erosi, abrasi, dan lainnya.

Dampak yang menjadi ancaman tersebut menambah terpuruknya perekonomian masyarakat Indonesia s e h i n g g a p r o g r a m p e n i n g k a t a n kesejahteraan masyarakat tidak dapat terwujud. Untuk itu sangat diperlukan pemahaman pentingnya kesadaran semua elemen masyarakat, swasta dalam pengelolaan air dan kesadaran pemerintah dalam menentukan kebijakan kebijakan pengembangan sumber daya air.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud pembuatan makalah secara akademis adalah supaya karyasiswa mampu menganalisis kebijakan dan strategi penyelenggaraan prasarana dalam rangka pengembangan sumber daya air setelah karyasiswa dibekali metodologi ilmiah dalam perumusan kebijakan dan strategi. Selain itu juga bertujuan agar karyasiswa dapat melakukan pengkajian identifikasi masalah dan melakukan pemecahan masalahnya sehingga didapatkan konsep usulan kebijakan yang dapat diambil dan tata cara teknis pengelolaan operasional wadu secara optimal dalam rangka upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

(14)

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

air waduk merupakan langkah penting dalam pengelolaan secara struktural dan non struktural.

1.3. Gambaran Umum Wilayah Yang Akan Dikaji

Studi Kasus pada Waduk Jatiluhur dimana Air waduk pada musim kemarau mengalami penurunan kuantitas dan kualitas air yang diindikasikan oleh : 1.Kekeringan panjang tahun ini sehingga

memerosokkan kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Citarum sebagai pemasok air Waduk Jatiluhur ke titik nadir, sebagai akibat perubahan tata guna lahan dan penanganan masih bersifat sektoral.

2.Rendahnya kesadaran masyarakat di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) dan potensi konflik masyarakat pengguna air yang bergantung pasokan air dari Sungai Citarum dan anak- anak sungainya.

3.Pendangkalan waduk akibat sedimentasi dan operasional waduk yang belum optimal.

1.4. Ruang Lingkup.

Maksud dari tulisan ini adalah untuk mengupayakan suatu sistem pengelolaan sumber daya air secara komprehensif khususnya air waduk untuk keperluan pertanian,air baku, pembangkit listrik tenaga air dan pengendalian banjir.

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menemukan langkah-langkah dan kebijakan kebijakan yang terkait dengan Sumber Daya Air Nasional untuk mengantisipasi menurunnya ketersediaan air waduk pada musim kemarau.

15.. Metodologi Penulisan.

Metodologi penulisan ini adalah studi literatur dari beberapa buku terkait masalah tersebut di atas sebagai data dalam penulisan,untuk lebih jelasnya secara skematis dapat dilihat pada flow chart sebagai alur pemikiran ,gambar 1.1 sebagai berikut :

(15)

Ju

Kebijakan publik adalah kebijakan pokok yang menjadi dasar hukum publik dalam suatu pengelolaan sumber daya air dan penanggulangan yang ditimbulkannya. K e b i j a k a n p u b l i k d i b u a t u n t u k menggerakkan, menghambat, melarang, mengarahkan tindakan swasta dan masyarakat serta dibuat untuk dapat menyusun kebijakan publik. Perlu memahami dasar-dasar dan konsep kebijakan publik dan mengerti cara melakukan analisa kebijakan.

2.2. Manajemen Strategis.

Manajemen strategi untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya air secara k o m p r e h e n s i f d a l a m u p a y a penanggulangan bencana bagi kehidupan manusia khususnya dengan cara pemantauan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Waduk dengan sistem periodik dan tergantung pada kondisi dana yang tersedia. 2.3. Kebijakan Pembangunan Wilayah. Kebijakan pembangunan wilayah adalah upaya mempercepat pembangunan dalam suatu wilayah atau daerah agar tercapai kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya alam secara optimal, efisien, efektif, sinergi dan sustainable dengan cara menggerakkan kegiatan-kegiatan ekonomi, perlindungan lingkungan, penyediaan infrastruktur dan peningkatan sumber daya manusia.

2.4. K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia.

Kebijakan pengembangan keembagaan sumber daya manusia adalah dengan meningkatkan aspek kualitas yaitu usaha kerja dan jasa yang dapat diberikan dalam proses produksi, sedangkan aspek

kuantitasnya yaitu manusia yang mampu bekerja untuk memberikan jasa atau kerja dalam pengelolaan sumber daya alam untuk meningkatkan tatanan kehidupan dan mengurangi dampak negatif dari proses kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS). BAB III. DESKRIPSI MASALAH

3.1. Identifikasi Masalah.

Penyebab utama krisis air adalah perilaku manusia guna mencukupi kebutuhan hidup yaitu perubahan tata guna lahan untuk keperluan mencari nafkah dan tempat tinggal , kerusakan lingkungan yang secara implisit menambah lajunya krisis air semakin dipercepat oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi secara alami maupun migrasi. Bencana kekeringan yang merupakan bukti penurunan daya dukung lingkungan dari waktu ke waktu cenderung meningkat . Fenomena otonomi daerah yang kurang dipandang sebagai suatu kesatuan kerja antara pusat,Propinsi dan Kabupaten/Kota berakibat pada kurangnya koordinasi Pengelolaan Sumber Air yang pada hakekatnya mempercepat terjadinya k r i s i s a i r, d a l a m h a l i n i d a p a t diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut :

1.Penurunan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Citarum sebagai pemasok air utama pada Waduk Jatiluhur ke titik nadir, sebagai akibat perubahan tata guna lahan, rendahnya kesadaran masyarakat di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS)

2.Potensi konflik masyarakat pengguna air yang bergantung pasokan air dari Sungai Citarum dan anak- anak sungainya. 3.Kurangnya koordinasi antar pemangku

kepentingan (Stake holders).

(16)

Citarum dan sungai lainnya, potensi yang belum terkendali dan terbuang ke laut + 5,45 miliar m3/tahun. (Gambar 3.3)

3.3. Keadaan yang Diinginkan.

Dengan adanya suatu pola pengelolaan sumber air secara terpadu diharapkan dapat mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah yang memerlukan keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air dan sumber air, serta dilakukan melalui koordinasi dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor,wilayah,dan para pemilik kepentingan dalam bidang sumber daya air,sehingga :

 Daya dukung daerah aliran sungai (DAS) meningkat dan keseimbangan air pada saat musim kemarau dan penghujan terpenuhi.

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

3.2. Perumusan Masalah.

Dari identifikasi masalah dapat dibuat perumusan masalah :

 Penurunan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Citarum sebagai pemasok air untuk Waduk Jatiluhur ,yang mengakibatkan keberadaan air tidak seimbang pada musim kemarau terjadi kekeringan pada musim penghujan menimbulkan kerusakan yang sangat hebat.

 Berkurangnya pasokan air untuk keperluan irigasi sehingga terjadi kegagalan panen , dalam hal ini apabila tidak ada penanganan secara terpadu akan terjadi konflik horizontal.

 Kebutuhan air baku untuk pelayanan daerah Jakarta yang dialirkan melalui bendung Curug berkurang ,demikian juga untuk daerah Cikampek.,lihat gambar 3.1 Skema Jaringan.

 Kurangnya koordinasi antar pemangku kepentingan(Stake holders) untuk penanganan daerah tangkapan air Sungai Citarum.

 Daya tampung waduk berkurang dan Operation dan Maintenance waduk belum opimal.

 Berkurangnya ketersediaan air dila dibandingkan dengan tingkat kebutuhan air, lihat lampiran Tabel 3.2 Neraca Air Sungai Citarum

 Potensi sumber daya air yang ada di daerah aliran Sungai (DAS) Citarum dan dari 74 sungai dan anaknya + 12,95 miliar m3/tahun, yang tediri dari potensi Sungai Citarum + 6 miliar m3/tahun (46,3 %) dan sungai lainnya + 6,95 miliar m3/tahun (53,7 %). Dalam pengendalian potensi sumber daya air dari Sungai

(17)

Ju

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

 Ketersediaan air untuk irigasi maupun pasokan air baku untuk keperluan air minum domestic maupun komersial dan PLTA terpenuhi.

 Dengan melakukan pemeliharaan (maintenance) waduk sesuai standar operation yang ditetapkan diharapkan kapasitas air waduk sesuai pada kondisi rencana

BAB IV. PEMBAHASAN MASALAH

4.1. Identifikasi Penyebab.

Dalam menyusun pola pengelolaan sumber daya air terutama upaya konservasi pada daerah aliran sungai (DAS), pihak-pihak terkait atau pemangku kepentingan (stake holders) dalam hal ini pemerintah pusat , daerah dan masyarakat, terbentur berbagai kendala yang menghambat proses penanganannya. Beberapa penyebab yang dapat terindentifikasi antara lain : 1.Kondisi toprografi, dan hidrologi yang

berpengaruh terhadap ketersediaan air. 2.Pembangunan yang ada masih bersifat

partial dan belum terpadu serta masih menitikberatkan pada program pengembangan sektoral.

3.Tuntutan kebutuhan akan pembangunan yang berwawasan kelestarian atas pengelolaan sumber daya air pada masa sekarang dan di masa yang akan datang.

4.2. Alternatif Pemecahan.

4.2.1 Upaya Konservasi

Siklus hidrologi pada gambar 4.1 menggambarkan bagaimana air ini berubah bentuk kembali dalam bentuk semula membuat keseimbangan terhadap alam,lingkungan serta memberi kehidupan bagi mahkluk-mahkluk yang hidup di bumi ini,untuk itu perlu dilindungi dan melestarikan sumber air beserta lingkungan keberadaannya terhadap kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam, termasuk kekeringan dan yang disebabkan o l e h t i n d a k a n m a n u s i a . U p a y a perlindungan dan pelestarian sumber air dijadikan dasar dalam rangka ketersediaan sumber air di musim kemarau yang dilakukan dengan :

a)Pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air di daerah tangkapan air. b)Perlindungan dan Pelestarian sumber air

dilaksanakan secara vegetatif dan teknik sipil melalui pendekatan sosial, ekonomi,dan budaya.

(18)

rn merupakan upaya perlindungan dan pelestarian yang dilakukan dengan atau melalui penanaman pepohonan atau tanaman yang sesuai pada daerah tangkapan air atau daerah sempadan sumber air. Sedang yang dimaksud dengan cara sipil teknis adalah upaya perlindungan dan pelestarian yang dilakukan melalui rekayasa teknis,seperti pembangunan bagunan penahan sediment, pembuatan teras (sengkedan) dan/atau perkuatan tebing sumber air. Pendekatan social, budaya dan ekonomi adalah bahwa dalam pelaksanaan perlindungan dan pelestarian sumber air harus dilakukan dengan memperhatikan kondisi social, budaya dan ekonomi masyarakat setempat hal ini sesuai dengan UU Sumber Daya Air Bab III Konservasi Sumber Daya Air, Pasal 21, ayat 4.

Peran masyarakat disekitar daerah aliran sungai maupun pemakai air diharapkan berpartisipasi untuk melakukan konservasi di daerah tangkapan air dan optimalisasi penggunaan air untuk irigasi dengan ciri pembangunan berbasis komunitas (Sumber : Dr.Sugimin Pranoto, 2006, Designing Community Based Development, MKUK Pusbiktek )

Strategi strategi untuk mendorong partisipasi masyarakat untuk diperkenalkan ke pembangunan berbasis komunitas adalah penting, hal ini didasarkan pada penciptaan insentif bagi organisasi untuk berinteraksi satu sama lain untuk mencapai hasil yang di inginkan. Ada 4 (empat) strategi yang digunakan untuk mendorong dukungan dukungan bagi pendekatan berbasis komunitas dan efektifitas

pekerjaan, strategi ini terdiri dari keterlibatan para pemangku kepentingan (stake holders),konsultasi dengan pelaku-pelaku yang berbeda,kegiatan-kegiatan perintisan,dan pembelajaran yang terstruktur.

Untuk melaksanakan perlindungan dan pelestarian dareah tangkapan air melibatkan peran masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya misalnya: GNPA (Gerakan Nasional Penyelamat Air) di tingkat Provinsi,Kabupaten/ Kota (Sumber : Ir.Siswoko,Dipl.HE, 2006,Kebijakan dan Program Penyelenggaraan Sektor Sumber Daya Air,MKUK Pusbiktek), Sedang dalam rangka penggunaan air irigasi melibatkan masyarakat pemakai air P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air).

4.2.2 Upaya Koordinasi

Aspek pengelolaan sumber daya air menurut Undang-Undang Sumber Daya Air No.7 Tahun 2004 antara lain konservasi sumber daya air. Otonomi Daerah dan Undang-Undang No.7 Tahun 2004 Sumber Daya air tidak terpisahkan dalam pelaksanaannya utamanya mengenai kewenangan dan tanggung jawab masing-masing Pemerintah untuk pelaksanaan konservasi daerah tangkapan air.

Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Pusat diantaranya sebagai berikut :

 Menetapkan kebijakan nasional sumber daya air

 Menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi,wilyah sungai lintas negara,dan wilayah sungai strategis nasional

(19)

Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Provinsi diantaranya sebagai berikut :  Menetapkan kebijakan pengelolaan

sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya.

 Menetapkan pola pengelolaan sumber air pada wilayah sungai lintas kabupaten  Menetapkan dan mengelola kawasan

lindung sumber air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.

Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah kabupaten/Kota diantaranya sebagai berikut :

 Menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya.  Menetapkan pola pengelolaan sumber air

pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota

 Menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.

 Dsb.

Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Desa diantaranya sebagai berikut :

 Menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayah desa yang belum dilaksanakan oleh masyarakat dan/atau pemerintah di atasnya dengan mempertimbangkan asas kemanfaatan umum

 Menjaga

efektivitas,efisiensi,kualitas,dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air yang menjadi

Konservasi sumber daya air dilakukan m e l a l u i k o o r d i n a s i d e n g a n mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor,wilayah,dan para pemilik kepentingan dalam bidang sumber daya air.

4.2.3 Pengoperasian Waduk

Waduk Jatiluhur merupakan waduk multi purpose tempat penyimpanan air untuk irigasi, air baku untuk keperluan domestik atau komersial,pembangkit tenaga listrik dan pariwisata.

Pedoman opersional untuk memenuhi berbagai kebutuhan air atau pengguna fungsional waduk yang menyajikan kurva pengaturan operasi waduk dalam bentuk grafik yang menunjukkan persyaratan elevasi permukaan air minimum pada setiap waktu guna memenuhi kebutuhan air untuk berbagai pemanfaatan dengan kondisi aliran yang ada.

Dengan ketersediaan air waduk, penggunaan air dapat dilakukan untuk semua pemanfaatan dalam batas-batas kurva pengaturan operasi waduk.

1.Langkah dasar pembuatan kurva pengatur waduk :

a)Sifat sifat waduk harus dipertimbangkan karena kapasitas waduk untuk penyimpanan air,akan memegang peran penting dalam penyiapan kurva p e n g a t u r a n o p e r a s i . S e b a g a i penampungan air ,waduk akan menunjukkan volume air yang dapat disimpan pada setiap ketinggian muka air.

(20)

tepat harus ditentukan untuk memenuhi kebutuhan air dari berbagaisektor t e r s e b u t . K e h i l a n g a n a i r s e p e r t i penguapan/evaporasi dan sebagainya harus dipertimbangkan dalam kebutuhan air.

c)Aliran yang masuk ke waduk(inflow) merupakan sumber air,oleh karena itu pengamatan yang cermat perlu dilakukan untuk berbagai macam aliran karena akan mempengaruhi volume air yang dapat ditampung oleh waduk.

2.Prosedure Pembuatan Kurva Pengaturan Operasi Waduk

a) Aliran yang air waduk minimum yang diperkenankan ditetapkan pada akhir bulan dari periode kritis, berikut volume air waduknya,dengan menggunakan lengkung elevasi muka air dan volume air waduk.

b)Berdasarkan elevasi muka air waduk m i n i m u m d a n v o l u m e n y a tersebut,dilakukan perhitungan (routing procedure) untuk mencari elevasi muka air waduk yang diharapkan pada setiap akhir bulan dan.berurutan.

Perhitungan elevasi muka air waduk dengan cara sebagai berikut :

 Hitung volume air waduk pada setiap akhir bulan dengan menambahkan volume air yang dapat ditampung untuk irigasi,air baku untuk domestik atau komersial dan lain-lain termasuk evaporasi (total evaporasi dikurangi curah hujan) membaca dari lengkung elevasi muka air dan volume air waduk

d)Proses perhitungan tersebut diulang sampai pada akhir bulan dari awal perhitungan ( periode kritis)

e)Jika ada volume air yang dapat ditampung ( aliran masuk ke waduk sama dengan aliran keluar , inflow = outflow ),perhitungan tersebut diatas tetap dilakukan.

Jika elevasi muka air waduk lebih dari elevasi muka air waduk maksimum (elevasi air penuh/ EAPh untuk setiap bulan,aliran masuk yang ada dialirkan keluar dan elevasi air waduk dipertahankan sesuai sesuai EAPh).

f ) D i b u a t k u r v a m u k a a i r y a n g memperlihatkan elevasi muka air waduk untuk setiap bulan dan dinamakan “ Kurva Pengaturan Operasi Waduk” g)Jika elevasi muka air waduk pada bulan

tertentu lebih rendah dari elevasi muka air minimum,maka akan terjadi kekurangan air,oleh karena itu pemberian air untuk air baku,pembangkit tenaga listrik dan irigasi harus dikurangi.

Pada saat elevasi muka air waduk turun dan terjadi keadaan darurat maka Pengelola dari Dep.PU atau Dinas PU harus membuat Pola Pemberian Air yang baru dengan dikonsultasikan bersama secara sinergi dengan instansi terkait.

3.Kurva Pengaturan Operasi Waduk

(21)

Ju

Kebijakan pemerintah dalam menyikapi persoalan yang terjadi didaerah aliran sungai (DAS) haruslah merupakan satu pendekatan yang bersifat terpadu, artinya dalam suatu pengelolaan di daerah aliran s u n g a i h a r u s m e m p u n y a i s u a t u perencanaan yang komprehensif dan melibatkan semua unsur terkait (stakeholder) dan juga dibuat sebuah aturan yang mengikat yang membuat masyarakat terkontrol dalam setiap tindakannya.

5.2. Penyesuaian Kebijakan.

Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) haruslah mendapat suatu pengawasan yang ketat, dimana setiap masyarakat yang akan membuat atau membangun di zona tersebut harus dikoordinasikan terlebih dahulu dengan instansi-instansi terkait. Dimana kebijakan-kebijakan tersebut disesuaikan dengan peraturan-peraturan yang ada. 5.3. Rencana Strategis.

Dalam suatu wilayah sungai yang akan dikembangkan haruslah dibuat suatu perencanaan yang terpadu dengan melibatkan semua pihak yang terkait sehingga lingkungan pantai tetap terpelihara dengan baik.

BAB VI. PENUTUP

6.1. Kesimpulan.

Dengan bertambahnya jumlah penduduk maka akan timbul banyak masalah yang berhubungan dengan keterbatasan sumber daya air. Agar tidak menimbulkan masalah yang berkepanjangan maka diperlukan suatu sistem pengelolaan sumber daya air yang terpadu dan komprehensif, khususnya yang berkaitan dengan konservasi daerah aliran sungai (DAS).

Keberhasilan dari konservasi daerah aliran sungai akan meningkatkan ketersediaan air dan kesejahteraan masyarakat, yang akan sangat menunjang pelaksanaan otonomi daerah dalam rangka mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peran serta masyarakat dalam rangka menjaga ketersediaan air waduk pada musim kemarau sangat dominan peranannya. Bentuk peran serta masyarakat tersebut adalah :

1.Masyarakat yang berada di sekitar DAS mengubah lahan perkebunannya dengan tanaman keras seperti jengkol, petai, durian dll.

2.Masyarakat tidak membangun rumah di pinggiran Sungai Citarum yang mengakibatkan penyempitan lebar sungai.

3.Pencanangan moto “Hemat air”.

4.Melaporkan ke pihak yang berwajib bila a d a o k n u m y a n g m e l a k u k a n pengerusakan alam yang akan berakibat terhadap perubahan sumber daya air. 5.Ikut menjaga infrastruktur yang telah

(22)

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

6.2. Rekomendasi.

 Perlu didorong peran aktif masyarakat dan segenap pemangku kepentingan untuk menjaga dan melakukan perlindungan terhadap kelestarian daerah tangkapan air secara bekelanjutan .  Koordinasi dengan instansi terkait agar

pelaksanaan lebih sinergi.

 Melakukan pemeliharaan waduk secara berkesinambungan agar daya tampung waduk sesuai rencana.

DAFTAR PUSTAKA

1.Undang-Undang Nomor 7, 2004. Sumber Daya Air

2.Siswoko,Ir,Dipl.HE, MKUK, 2006 Kebijakan Strategis dan Penyelenggaraan Sektor SDA.

3.Sugimin Pranoto,Dr, 2006, Designing Community Based Development, MKUK Pusbiktek.

4.Robert J.Kodoatie,Ph.D dan Roestam Sjarief,Phd,2005. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu.

5.Kliping Koran Pikiran Rakyat, April 2005

6.Jasa Tirta II Jatiluhur, 2002, Company Profile.

7.Bahan ajar MKUK 2006, Pusbik-tek,BPKSDM, Departemen Pekerjaan Umum.

(*) Karyasiswa Program Magister Teknik Perencanaan Lingkungan Permukiman Angkatan 2006, Kerjasama Pendidikan Pusbiktek Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya

(23)

Ju

PENGGUNAAN ROAD HUMP

SEBAGAI FASILITAS

Pada daerah tertentu seperti pada pemukiman yang padat, sekolah, persimpangan jalan dan daerah rawan lainnya, kecepatan kendaraan harus dikendalikan sebagai jaminan keselamatan lalu lintas. Pengendalian atau pengurangan kecepatan dapat berupa fasilitas seperti Road Hump atau disebut juga jendulan jalan yang umum disebut dengan istilah “polisi tidur”. Fenomena awal pembuatan road humps di kota-kota Indonesia mungkin sudah dimulai puluhan tahun lalu. Namun yang jelas, dalam dua tahun terakhir, road humps menjadi seperti trend. Ini dibuktikan dengan beberapa demo supir angkot, mereka mengeluhkan banyaknya road hump yang dipasang oleh masyarakat dengan jarak yang cukup rapat hal ini menyebabkan laju kendaraan menjadi lambat, bahkan para pedagang yang menggunakan gerobak dorong sering terlihat mengalami kesulitan atau kecelakaan karena jalan yang mereka lewati penuh dengan Road Hump .

Dengan adanya permasalahan diatas maka dalam laporan ini akan mengemukakan tentang road hump sebagai fasilitas pengendali kecepatan dalam mengurangi kecelakaan lalu lintas.

Dari hasil analisa laporan ini dapat disimpulkan bahwa Road Hump bisa mereduksi kecepatan hingga 20 % -25 % dan penurunan tingkat kecelakaan lalu lintas hingga 50%. Sehingga kenyamanan dan keselamatan lebih ditingkatkan serta kesejahteraan masyarakat lebih terjamin.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Terjadinya kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pejalan kaki dan berbagai jenis kendaraan terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan peningkatan prasarana dan sarana jalan serta jumlah kendaraan, terjadinya kecelakaan lalu lintas tersebut dapat disebabkan oleh faktor kendaraan, faktor pengemudi, faktor geometri jalan yang tidak sesuai, atau kombinasi dari beberapa faktor tersebut. Pada daerah tertentu seperti pada pemukiman yang padat, sekolah, persimpangan jalan dan daerah rawan lainnya, kecepatan kendaraan harus dikendalikan sebagai jaminan keselamatan lalu lintas. Pengendalian atau pengurangan kecepatan dapat berupa fasilitas seperti Road Hump atau disebut juga jendulan jalan yang umum disebut dengan istilah “polisi tidur”.

Sebenarnya tidak ada yang tidak tahu apa itu road humps. Setiap hari, khususnya kita yang berdomisili di permukiman dan sering melintasi jalan-jalan kecil atau di kampung, pasti pernah melewatinya. Bentuknya memang beraneka ragam, mulai dari yang besar, kecil, halus, kasar, bergelombang, trapesium. Bahan yang dipergunakan untuk road hump bisa terbuat dari aspal beton, paving blok atau kombinasinya. Letaknya ada di tengah jalan, dengan posisi melintang, seperti memang sengaja diletakkan atau dibuat untuk menghalangi laju kendaraan.

(24)

mereka mengeluhkan banyaknya road hump yang dipasang oleh masyarakat dengan jarak yang cukup rapat (8 10 m) hal ini menyebabkan laju kendaraan menjadi lambat, bahkan para pedagang yang menggunakan gerobak dorong sering terlihat mengalami kesulitan atau kecelakaan karena jalan yang mereka lewati penuh dengan road hump (Kompas, 2002).

Di belahan dunia lain, road humps telah lama menjadi bahan perdebatan yang cukup sengit. Direktur Pelayanan Ambulan di London menyatakan bahwa pemasangan road humps menjadi dilematis karena di satu sisi alat ini bertujuan untuk memberikan jaminan keselamatan, namun di sisi lain ternyata menghambat aksesibilitas ambulan yang akan membawa korban ke rumah sakit (Joe Murphy, 2003). Pihak lain yang memprotes eksistensi road humps adalah Association of British Drivers atau Asosiasi Pengemudi Inggris (ABD, 2002), atau organisasi lain di Amerika Serikat yang memberikan alasan bahwa road humps berefek buruk pada kesehatan orang tua dan penyandang cacat (RADA, 2002).

Dengan adanya permasalahan diatas maka dalam laporan ini akan mengemukakan tentang road hump sebagai fasilitas pengendali kecepatan dalam mengurangi kecelakaan lalu lintas.

1.2 Tujuan

Menurunkan kecepatan kendaraan pada suatu lokasi yang rawan kecelakaan serta meningkatkan keselamatan jalan khususnya bagi pejalan kaki.

13 Sasaran

Memberikan pemahaman kepada masyarakat pada umumnya dan pengendara kendaraan khususnya terhadap kinerja fasilitas pengendali kecepatan lalu lintas berupa road hump.

Berupa hasil reduksi kecepatan kendaraan dan kecelakaan lalu lintas akibat dibangunnya road hump.

1.5 Ruang Lingkup

Dalam pembahasan laporan ini dibatasi hanya pada pengaruh road hump terhadap kecepatan dan kecelakaan lalu lintas.

1.6 Metodologi

Literatuir yang digunakan dalam laporan ini adalah :

 Buku buku pendukung

 Hasil download dari Internet dan hasil penelitian Litbang Jalan

Bab II

Tinjauan Pustaka

2.1 Road Hump 2.1.1 Karakteristik

Road hump adalah fasilitas yang dirancang dalam bentuk gangguan geometrik vertikal. Pada prakteknya fasilitas ini dimaksudkan untuk memberikan efek paksaan bagi pengemudi untuk menurunkan kecepatan. Penurunan kecepatan ini dibutuhkan untuk mengantisipasi kondisi jalan yang kurang menguntungkan di depannya.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan :Implementasi fasilitas ini terbukti sangat efektif menurunkan tingkat kecepatan; -Fasilitas ini harus dirancang dan

diimplementasikan sesuai standar yang disyaratkan karena bila tidak justru dapat menciptakan potensi kecelakaan lalu lintas atau kerusakan kendaraan;

(25)

Ju

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

2.1.2 Kriteria

Jalur yang memotong suatu tata guna lahan yang memiliki tingkat aktifitas tinggi dan masih merupakan suatu sistem kegiatan, dengan intensitas penyebrangan (pedestrian crossing) yang tinggi.

Implementasi pada jalan lokal, tidak dibenarkan dipasang pada jalan arteri dan kolektor, dapat diimplementasikan untuk jalan searah maupun dua arah, baik terpisah (devided) maupun tidak terpisah (undevided).

2.1.3 Bahan

Material yang digunakan adalah bahan aspal beton

Dimensi

Dimensi yang digunakan adalah : - Panjang : 370 - 400 cm - Tinggi : 10 cm

Jenis rambu yang digunakan pada fasilitas ini meliputi :

- Peringatan jalan cembung.

Rambu No. 23, Keputusan Menteri Perhubungan No. KM. 61 Tahun 1993 tentang Rambu Rambu Lalu Lintas

Gambar 2.1 Jenis bahan Road Hump

(a)Paving Blok, (b) Aspal. (c) Beton, (d) Kombinasi

(26)

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

Larangan melebihi batas kecepatan tertentu

Rambu No. 9, Keputusan Menteri Perhubungan No. KM. 61 Tahun 1993 tentang Rambu Rambu Lalu Lintas

2.2 Road Hump ditinjau dari kultur budaya dan mamajemen Lalu Lintas.

Sebenarnya pembuatan Road Hump tidak terlepas dari bergesernya kultur budaya masyarakat di kota-kota di Indonesia, dari kultur tradisional yang sarat dengan tata krama, sopan santun, saling menghargai, gotong royong menjadi budaya urban yang cenderung egocentris termasuk dalam budaya berlalu lintas yang identik dengan efisiensi waktu dan kecepatan akses dan apabila budaya untuk menghargai orang lain seperti pejalan kaki dan penyebrang jalan dikalahkan oleh kebutuhan efisiensi waktu dan kecepatan itu maka hasilnya akan berakibat hingga kecelakaan. Masyarakat kemudian bereaksi dengan membuat tulisan-tulisan di sudut-sudut jalan : “Jalan Pelan-pelan” , “Banyak Anak-anak” , “Hati-hati”. Namun ketika peringatan tersebut tidak dihiraukan maka redaksi tulisan berubah menjadi keras seperti “ Ngebut Benjut “. Ketika itu dirasakan masih kurang, masyarakat menjadi lebih terpaksa dengan membangun road hump.

Dalam teori manajemen lalu lintas, road hump bertujuan memaksa pengendaraan u n t u k m e m p e r l a m b a t k e c e p a t a n kendaraannya. Efektifitas road hump Gambar 2.3 Rambu Larangan

melebihi batas kecepatan.

20 20

Gambar 2.4 Penempatan Road Hump

(27)

Ju

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

Gambar 2.6 Kerusakan Taper

2.4 Tata Letak Penempatan Road Hump 2.4.1 Penempatan road hump tegak lurus perkerasan jalan.

memang cukup ampuh. Namun efek samping yang dihasilkan adalah ketidaknyamanan pengendara, kerusakan kendaraan, sistem drinase yang terganggu hingga bahkan kecelakaan kendaraan yang diakibatkan keberadaan road hump itu sendiri. Hal ini sangat mungkin terjadi karena bentuk fisik yang tidak seragam, tidak mengikuti standar bakudengan pengerjaan secara swadaya masyarakat dengan tidak mengikuti kaidah-kaidah teknis yang tepat.

2.3 Jenis kerusakan pada Road Hump

2.3.1 Kerusakan pada chanal.

Penyebab kerusakan karena Road Hump tidak dilengkapi saluran pengalir air antara sisi Road Hump dengan kerb jalan

Gambar 2.5 Kerusakan chanal

2.3.2 Kerusakan akibat kualitas material Penyebab kerusakan pada bagian miring (taper) jendulan akibat kualitas material yang digunakan tidak memenuhi spesifikasi

Bahu jalan

Bahu jalan

Road Hump Perkerasan

jalan

Gambar 2.7

(28)

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

BAB III

Analisis dan Pembahasan

3.1 Pengaruh Road Hump terhadap kecepatan

Bahu jalan

Bahu jalan

Road Hump Perkerasn

jalan

Gambar 2.7 Penempatan Road Hump diagonal perkerasan Jalan

(29)

Ju

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

Dari kedua grafik tersebut diatas (Lokasi Indonesia & London) dapat dilihat bahwa adanya perbedaan kecepatan antara sebelum dan sesudah dipasang Road Hump. Kecepatan kendaraan lebih rendah setelah adanya Road Hump. Sehingga dapat dikatakan bahwa Road Hump merupakan fasilitas pengendali yang dapat mereduksi

(30)

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

Dari grafik tersebut diatas dapat dilihat bahwa adanya perbedaan antara sebelum dan sesudah dipasang Road Hump. Kecelakaan lalu lintas menurun setelah adanya Road Hump. Sehingga dapat dikatakan bahwa Road Hump merupakan fasilitas pengendali yang dapat mereduksi kecelakaan lalu lintas

Bab. IV

Kesimpulan dan Saran

4.1 Kesimpulan

Keberadaan Road Hump sebenarnya mempunyai dampak positif dan negatif. Dampak Negatif yang dihasilkan adalah ketidaknyamanan pengendara, kerusakan kendaraan, sistem drainase pembuangan air hujan yang terhambat dan berakibat banjir, hingga bahkan kecelakaan kendaraan akibat keberadaan road humps itu sendiri. Hal ini sangat mungkin terjadi karena bentuk fisiknya yang tidak seragam, tidak mengikuti standar baku. Sedangkan apabila dilihat dari dampak positifnya, ternyata Road Hump bisa mereduksi kecepatan hingga 20 % -25 % dan penurunan tingkat kecelakaan lalu lintas hingga 50%. Sehingga kenyamanan dan keselamatan lebih ditingkatkan serta kesejahteraan masyarakat lebih terjamin.

4.2 Saran

Sosialisasi kepada masyarakat tentang penerapan Road Hump, baik bentuk maupun dimensi yang sesuai dengan standar baku.

(31)

Ju

Oktarina Dwijayanti dan Retno Widjajanti(*)

Jurusan Perencanaan Wilayah Dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro

Semarang planning. Nowadays, the street vendors take place almost in the entire city, mostly in the city street vendors locating charactheristic in the city commercial area and to understand the connection between the location and the activity of the street vendors that take place in the location which show some specific character. Through the study, it has shown that the activity of the street vendors have the strong relationship with the main activity happens in the commercial area.

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan ekonomi di Indonesia, tidak hanya menumbuhkan dan mengembangkan industri-industri besar serta program-program resmi pemerintah, yang dikenal dengan sektor formal, namun juga menumbuhkan usaha-usaha kecil yang dikelola oleh pribadi-pribadi yang sangat bebas menentukan cara bagaimana dan dimana usaha mereka dijalankan yang diistilahkan dengan sektor ekonomi informal. Salah satu masalah yang paling sering muncul adalah kegiatan informal di bidang perdagangan, yaitu kegiatan pedagang kaki lima (PKL). Tidak berbeda dengan sektor ekonomi informal, PKL yang merupakan bagian di dalamnya juga selalu dikonotasikan dan dijadikan penyebab dari masalah kota yang ada. Kecenderungan PKL adalah tidak terlepas dari eksistensi sektor formal di daerah tersebut, dan dalam hal ini pemerintah pada umumnya hanya melakukan kegiatan sporadis dengan membebaskan jalanan dari kegiatan perdagangan liar, dimana hasilnya justru menciptakan masalah baru dan kebijakan yang lahir bukan untuk menyelesaikan akar masalah yang sebenarnya. Hal tersebut terjadi karena Pemerintah Kota tidak pernah menyediakan ruang bagi PKL dalam Rencana Tata Ruang Kota terutama di ruang-ruang fungsional kota dimana memiliki potensi untuk berkembangnya PKL.

(32)

sepanjang jalur bus. Hasil penelitian yang dikemukakan oleh Waworoentoe dalam Widjajanti (2000:28), PKL biasanya akan tumbuh berkembang pada ruang-ruang fungsional kota (pusat perdagangan/pusat p e r b e l a n j a a n / p e r t o k o a n , p u s a t r e k r e a s i / h i b u r a n , p a s a r , terminal/pemberhentian kendaraan umum, pusat pendidikan, pusat perkantoran). Keberadaan PKL yang umumnya berada di kota-kota besar yang padat penduduknya, juga muncul di Kota Semarang. Beberapa kawasan fungsional di Kota Semarang saat ini berkembang aktivitas PKL yang cukup pesat yang keberadaannya mulai menimbulkan permasalahan serius bagi lingkungan di sekitarnya. Salah satu kawasan fungsional dimana PKL berkembang dengan pesat adalah di kawasan jalan Kartini. Koridor Jalan Kartini, sesuai dengan RDTRK BWK I Kota Semarang 2000-2010 memiliki fungsi sebagai area perdagangan dan jasa. Namun sekarang citra Jalan Kartini lebih dikenal sebagai area PKL burung dan pakaian bekas. Perkembangan PKL muncul pada awalnya dikarenakan terdapat pasar burung Karimata yang memiliki skala pelayanan kota, sehingga berkembang PKL yang menjual dagangan sejenis. Hal ini terkait dengan yang dikemukakan oleh McGee (1977:20) bahwa PKL hadir di mana-mana dan bergerak sepanjang jalan-jalan menjual barangnya, mengerumuni sekitar pasar umum atau mereka berada di sepanjang tepi Semarang menjadikan aliran pengunjung ke kawasan ini cukup tinggi. Hal tersebut menjadikan daya tarik Kartini semakin besar untuk dijadikan lokasi berjualan bagi PKL. Kartini bagian barat yang berdekatan dengan Jl. Dr. Cipto. Berkembangnya area tersebut oleh PKL, menjadikan pada tahun 1999 pemerintah Kota Semarang m e n g e l u a r k a n k e b i j a k a n u n t u k memindahkan PKL dengan menyediakan kios-kios semi permanen di sebelah timur yang juga menempati area ruang hijau di bagian tengah jalan. Hal ini sesuai dengan SK Walikota Semarang No. 511.3/16 Tentang Penetapan Lahan/Lokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Wilayah Kota dari lokasi semula menjadikan muncul kembali pedagang liar di tempat semula. Sebagian pedagang yang menempati area larangan juga merupakan anggota pedagang yang sudah memiliki kios semi permanen tersebut. Istilahnya mereka membuka cabang ataupun menjadikan kios semi permanennya sebagai gudang. Pemkot dalam hal ini kurang memiliki pemahaman terhadap karakteristik berlokasi PKL dan karakteristik konsumennya.

(33)

Ju tetap dimanfaatkan seperti adanya bengkel, penjual jok, beberapa pedagang makanan dan tempat parkir kendaraan. Hal ini menjadikan sirkulasi pejalan kaki menjadi terganggu dan juga beberapa rumah yang trotoar depannya digunakan sebagai area berjualan. PKL juga meluas hingga ke Jl. Purwosari yang menempati pinggir jalan di tepi Kali Banger. Pemindahan lokasi yang tidak memperhatikan karakteristik berlokasi menyebabkan pedagang kembali ke lokasi semula sekaligus bertambah jumlahnya. Hal ini menyebabkan terjadinya kemacetan di Jalan Kartini. Kemacetan seringkali timbul di jalan tersebut, terutama pada waktu puncak ataupun hari libur. Parkir yang memenuhi trotoar hingga ke badan jalan ditambah pedagang dan pembeli yang melakukan transaksi hingga ke badan jalan, menjadikan lokasi tersebut menjadi tidak teratur dan mengganggu sirkulasi kendaraan.

Permasalahan PKL di koridor Jalan Kartini tersebut, keberadaannya semakin tidak terkendali dan lokasinya tidak tertata. Fungsi ruang yang ada juga menjadi berubah dan mengganggu kepentingan publik. Ruang yang seharusnya berfungsi s e b a g a i t a m a n k o t a d a n d a p a t mempercantik kota menjadi lokasi yang sangat tidak sedap dipandang, terlebih lokasi tersebut dilegalkan oleh pemerintah kota. Selain itu tempat berdagang pada RTH merupakan saluran air kota dari Simpang Lima dan kini didirikan bangunan permanen di atasnya. Faktor lokasi merupakan hal yang paling penting dalam permasalahan PKL. Lokasi yang strategis mempunyai andil yang sangat besar bagi pendapatan PKL (Alisjahbana, 2005:75). Munculnya pro dan kontra dalam penataan PKL, dikarenakan kurangnya pemahaman mengenai kondisi dan karakteristik PKL,

terutama karakteristik berlokasi. Karakteristik berlokasi ini adalah ciri khas dari lokasi PKL dan kecenderungannya beraktivitas pada lokasi tersebut yang membedakannya dengan lokasi yang lain, yang tidak hanya dilihat secara makro dalam kawasan Kartini, namun juga titik-titik lokasi/koridor yang diminati PKL. Pentingnya faktor lokasi sebagai akar permasalahan dalam pengaturan dan penertiban PKL menjadikan perlunya studi mengenai karakteristik berlokasi PKL. Dalam studi ini akan dikaji karakteristik PKL baik aktivitas maupun ruang serta persepsi pedagang dan pengunjung kawasan tersebut mengenai keberadaan PKL pada kawasan perdagangan Jalan Kartini.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukenali karakteristik berlokasi pedagang kaki lima (PKL) sesuai dengan aktivitasnya pada kawasan perdagangan Jalan Kartini.

Ruang Lingkup Wilayah Studi

Kawasan perdagangan Kartini berada di Kecamatan Semarang Timur dan merupakan bagian dari BWK I Kota Semarang. Jalan Kartini merupakan jalan kolektor sekunder dengan fungsi sebagai area perdagangan dan jasa yang dapat setiap koridor jalan memiliki karakteristik yang berbeda baik dari segi aktivitas, persebaran dan tempat usaha PKL maupun sektor formal yang ada.

(34)

mendominasi adalah ruko/pertokoan dan terdapat pasar Langgar. Jumlah PKL di lokasi ini cukup sedikit dibanding di lokasi lain pada kawasan tersebut.

 Jl. Kartini II, dengan batas Jl. Dr Cipto hingga jembatan Kali Banger. Aktivitas formal yang mendominasi adalah permukiman dan sebagian terdapat toko. PKL gelaran menempati seluruh median jalan dan bergerombol sangat padat.  Jl. Kartini III, dengan batas jembatan Kali

Banger hingga Jl. Barito. Terdapat pasar burung dan beberapa toko serta perumahan. PKL menempati seluruh median jalan dengan sarana kios.

 Jl. Purwosari, dimana terdapat PKL yang cukup banyak di trotoar sebagai luapan aktivitas PKL Kartini dan mendekati lingkungan permukiman.

Secara lebih jelas lokasi studi yang diteliti, dapat dilihat pada gambar berikut :

Metodologi Studi

Penelitian mengenai kajian karakteristik berlokasi PKL ini merupakan penelitian dengan pendekatan kuantitatif dimana menjadikan teori yang sudah diketahui sebelumnya sebagai dasar dalam merumuskan variabel-variabel penelitian, yang nantinya akan digunakan dalam proses pengumpulan data melalui penelitian survai (survey research). Dalam prosesnya, penelitian ini memerlukan baik metode

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

kuantitatif maupun kualitatif untuk mempertajam analisis dan memperoleh rumusan karakteristik berlokasi PKL. Selain itu penelitian ini merupakan jenis penelitian survai yang digunakan untuk tujuan penelitian deskriptif, dimana berusaha menjelaskan suatu karakteristik. Penelitian ini melibatkan baik PKL Kartini itu sendiri maupun pengunjung PKL. P e n e n t u a n s a m p e l k e p a d a P K L menggunakan teknik stratified random sampling, dimana populasi terbagi atas tingkat-tingkat atau strata, pengambilan sampel tidak boleh dilakukan secara random dan setiap strata harus diwakili sebagai sampel sehingga penyebaran dilakukan secara proporsional (Arikunto, 1997:115). Penentuan sampel kepada pengunjung PKL Kartini ini dilakukan dengan teknik accidental sampling, dimana

Referensi

Dokumen terkait

Relasi bersifat integrasi dan dialog sangat mungkin terjadi dalam hubungan antara sains dan agama di masa kini, sehingga memungkinkan bagi agama dan sains untuk mendiskusikan

Peralatan yang mengandung zat radioaktif yang melebihi aktivitas atau konsentrasi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini dapat dikecualikan dari kewajiban memiliki

Pohon Tengkawang dengan tinggi total yang paling besar memiliki produksi buah yang paling sedikit karena pohon ini terletak pada topografi lereng yang diduga

Interaksi obat yang terjadi pada tahap farmasetik  (sebelum obat diberikan pada pasien) Ex: pasien yang mau diberikan obat melalui infuse misalnya. Harus diketahui dulu gmn

Apakah anda terikat kontrak kerja dengan perusahaan tempat anda bekerja saat ini. Jika ya,

mendukung pengembangan teknologi dalam akti%itas operasional Amazon seperti& infrastruktur - dan ofware *evelopment  & memungkinkan setiap akti%itas operasional

Keanekaragaman flora (biodiversity) berarti keanekaragaman senyawa kimia (chemodiversity) yang kemungkinan terkandung di dalamnya baik yang berupa metabolisme primer

Besarnya koefisien determinasi antara pengetahuan siswa tentang mikrobiologi dengan pola hidup sehat siswa dalam keluarga sebesar 53,73% mengandung makna bahwa kenaikan