• Tidak ada hasil yang ditemukan

74 PEMBAKARAN BRIKET BIOMASSA CANGKANG KAKAO PENGARUH TEMPERATUR UDARA PREHEAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "74 PEMBAKARAN BRIKET BIOMASSA CANGKANG KAKAO PENGARUH TEMPERATUR UDARA PREHEAT"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

 

PEMBAKARAN BRIKET BIOMASSA CANGKANG KAKAO :

PENGARUH TEMPERATUR UDARA PREHEAT

 

M. Syamsiro1 dan Harwin Saptoadi2

1)

Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Janabadra

Jl. T.R. Mataram 57 Yogyakarta

E-mail : syamsiro@yahoo.co.id

2)

Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

Jl. Grafika Yogyakarta

e-mail : harwins@lycos.com

Abstract

National energy demands will rise but availability of energy resources decrease, so that it need to be done the action to prevent energy crisis including the development of energy based on biomass. Abundant biomass resources are available in Indonesia based on agricultural product. Several agricultural residue such as rice husk, rice straw, coconut shell, bagasse and cocoa shell are potential renewable energy resources. The objective of this research is to study the effect of preheat air temperature on combustion characteristic of biomass briquette from cocoa shell. Biomass materials were crushed until particle size of less than 1 mm were obtained. Five grams mixture of biomass and binder with composition of 70%:30% were briquetted in 16 mm

cylindrical mould and dried in an oven at 50°C for 5 hours. Combustion tests were conducted

in a combustion chamber at constant air velocity 0,3 m/s and constant wall temperature 350°C.

The results show that the increase of preheat air temperature will increase combustion rate dan gas temperature. This is affected by reaction kinetic that dominate the combustion at low temperature. The increase of preheat air temperature will decrease CO emission.

Keywords : biomass, briquette, cocoa shell, preheat air temperature, CO emission.

1. Pendahuluan

Pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk yang terus meningkat di Indonesia menyebabkan pertambahan konsumsi energi di segala sektor kehidupan seperti transportasi, listrik, dan industri. Hal ini mengingat pemakaian energi per kapita masih rendah dibandingkan dengan negara lainnya. Konsumsi per kapita

pada saat ini sekitar 3 SBM (setara barel minyak) yang setara dengan kurang lebih sepertiga konsumsi per kapita rerata negara ASEAN. Diperkirakan kebutuhan energi nasional akan meningkat dari 674 juta SBM tahun 2002 menjadi 1680 juta SBM pada tahun 2020, meningkat sekitar 2,5 kali lipat atau naik dengan laju pertumbuhan rerata tahunan sebesar 5,2% (KNRT, 2006). Sedangkan cadangan energi nasional semakin menipis apabila tidak ditemukan cadangan energi baru. Sehingga perlu dilakukan berbagai terobosan untuk mencegah terjadinya krisis energi.

(2)

dirumuskan oleh Badan Koordinasi Energi Nasional (BAKOREN) mulai tahun 1981 hingga yang terakhir tahun 1998 terdiri dari lima prinsip pokok, yaitu : diversifikasi energi, intensifikasi energi, konservasi energi, mekanisme pasar dan kebijakan lingkungan. Kemudian dilanjutkan dengan Kebijakan Energi Nasional tahun 2003 dengan kebijakan utama meliputi intensifikasi, diversifikasi, dan konservasi energi.

Kebijakan energi ini khususnya ditekankan pada usaha untuk menurunkan ketergantungan penggunaan energi hanya pada minyak bumi. Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional dirumuskan bahwa perlu adanya peningkatan pemanfaatan sumber energi baru dan sumber energi terbarukan. Sasaran Kebijakan Energi Nasional adalah tercapainya elastisitas energi lebih kecil dari 1 pada tahun 2025 dan terwujudnya energy mix yang optimal meliputi penggunaan minyak bumi menjadi kurang dari 20%. Termasuk di dalamnya adalah energi baru dan terbarukan (termasuk biomassa) menjadi lebih dari 5%.

Salah satu energi terbarukan yang mempunyai potensi besar di Indonesia adalah biomassa. Dalam Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Koservasi Energi (Energi Hijau) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral yang dimaksud energi biomasa meliputi kayu, limbah pertanian/perkebunan/hutan, komponen organik dari industri dan rumah tangga. Sebagai negara agraris, Indonesia mempunyai potensi energi biomassa yang besar. Pemanfaatan energi biomassa sudah sejak lama dilakukan dan termasuk energi tertua yang peranannya sangat besar khususnya di pedesaan. Diperkirakan kira-kira 35% dari total konsumsi energi nasional berasal dari biomassa. Energi yang dihasilkan telah digunakan untuk berbagai tujuan antara lain untuk kebutuhan rumah tangga (memasak dan industri rumah tangga), pengering hasil pertanian dan industri kayu, pembangkit listrik pada industri kayu dan gula.

Berdasarkan Statistik Energi Indonesia (DESDM, 2004) disebutkan bahwa potensi energi biomassa di Indonesia cukup besar mencapai 434.008 GWh. Beberapa jenis limbah biomassa memiliki potensi yang cukup besar seperti limbah kayu, sekam padi, jerami, ampas tebu, cangkang sawit, dan sampah kota. Potensi lain yang belum tergarap adalah limbah cangkang kakao. Berdasarkan data tahun 2003 luas areal lahan perkebunan kakao mencapai 801.332 Ha dengan produksi mencapai 512.251 ton (Deptan, 2003). Dengan jumlah areal lahan dan produksi kakao yang cukup besar di Indonesia menjadikan limbah ini mempunyai prospek cukup bagus di masa yang akan datang, sehingga perlu dikaji pemanfaatannya. Pemerintah melalui Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) juga telah menyusun roadmap pengembangan energi sektor bahan bakar padat dan gas dari biomassa baik jangka pendek, menengah maupun panjang. Dalam jangka pendek (2005-2010) pemerintah mendukung program karakterisasi biomassa di seluruh Indonesia berikut teknologi pembriketannya dan difokuskan dua hal yaitu pengurangan dampak lingkungan dan perbaikan efisiensi (KNRT, 2006).

2. Landasan Teori

2.1 Pembakaran Bahan Bakar Padat

(3)

 

2.1.1 Pengeringan

Tahap pertama yang terjadi adalah pengeringan, dimana ketika sebuah partikel dipanaskan dengan dikenai temperatur tinggi atau radiasi api, air dalam bentuk moisture di permukaan bahan bakar akan menguap, sedangkan yang berada di dalam akan mengalir keluar melalui pori-pori partikel dan menguap. Moisture dalam bahan bakar padat terdapat dalam dua bentuk, yaitu sebagai air bebas (free water) yang mengisi rongga pori-pori di dalam bahan bakar dan sebagai air terikat (bound water) yang terserap di permukaan ruang dalam struktur bahan bakar (Borman dan Ragland, 1998).

Waktu pengeringan adalah waktu yang diperlukan untuk memanaskan partikel sampai ke titik penguapan dan melepaskan air tersebut. Kesetimbangan energi pada partikel kecil menyatakan bahwa laju perubahan energi dalam partikel sama dengan laju kalor untuk menguapkan air ditambah laju perpindahan kalor ke partikel melalui konveksi dan radiasi (Borman dan Ragland, 1998) :

Laju perpindahan panas ke partikel, q, tergantung dari temperatur latar dapur Tb, yang diasumsikan sama dengan temperatur gas sekelilingnya.

2.1.2 Devolatilisasi

Proses pengeringan akan dilanjutkan dengan proses devolatilisasi/pirolisis. Setelah proses pengeringan, bahan bakar mulai mengalami dekomposisi, yaitu pecahnya ikatan kimia secara termal dan zat terbang (volatile matter) akan keluar dari partikel. Volatile matter adalah hasil dari proses devolatilisasi. Volatile matter terdiri dari gas-gas combustible dan non combustible serta hidrokarbon. Untuk partikel yang besar hasil devolatilisasi berpindah dari pusat partikel ke permukaan untuk kemudian keluar. Selama perpindahan ini, hasil devolatilisasi bisa retak, mengembun, membentuk polimer dan mungkin membentuk endapan karbon sepanjang lintasannya. Ketika volatile matter keluar dari pori-pori bahan bakar padat, oksigen luar tidak dapat menembus ke dalam partikel, sehingga proses devolatilisasi dapat diistilahkan sebagai tahap pirolisis.

Borman dan Ragland (1998) menyatakan laju devolatilisasi bahan bakar padat ditunjukkan dengan pendekatan persamaan reaksi orde pertama dengan konstanta laju Arrhenius :

(4)

dengan E = energi aktivasi, R) = konstanta gas universal, Tp = temperatur partikel briket, pyr adalah pirolisis, mv = massa volatile matter, mp = massa partikel bahan bakar, mc = massa char, dan

ma = massa abu.

2.1.3 Pembakaran Arang

Proses pengeringan dan devolatilisasi menyisakan arang. Laju pembakaran arang tergantung pada konsentrasi oksigen, temperatur gas, bilangan Reynolds, ukuran, dan porositas arang. Arang mempunyai porositas yang tinggi. Porositas arang kayu berkisar 0,9 (Borman dan Ragland, 1998). Untuk kebutuhan keteknikan, adalah lebih tepat menggunakan laju reaksi global (global reaction

rate) untuk menunjukkan laju pembakaran partikel arang (char). Laju reaksi global dirumuskan

dalam istilah laju reaksi massa arang per satuan luas permukaan luar dan per satuan konsentrasi oksigen di luar lapis batas partikel. Sehingga reaksi global bisa dituliskan sebagai berikut :

C + ½ O2 → CO (a)

dimana permukaan karbon juga bereaksi dengan karbondioksida dan uap air dengan reaksi reduksi sebagai berikut :

C + CO2 → 2CO (b)

C + H2O → CO + H2 (c)

Reaksi reduksi (b) dan (c) secara umum lebih lambat daripada reaksi oksidasi (a), dan untuk pembakaran biasanya hanya reaksi (a) yang diperhitungkan.

Untuk laju reaksi global dengan orde n pada oksigen, laju pembakaran arang adalah :

( )

dimana i adalah rasio stoikiometri mol karbon (Mc) per mol oksigen (

2

O

M ) (yaitu 2 untuk reaksi

(a), Ap adalah luas permukaan luar partikel, kc adalah konstanta laju kinetik,

ρ

O2adalah densitas

parsial oksigen pada permukaan partikel, dan n adalah orde reaksi.

2.2 Densifikasi Biomassa

Biomassa pada umumnya mempunyai densitas yang cukup rendah, sehingga akan mengalami kesulitan dalam penanganannya. Densifikasi biomassa menjadi briket bertujuan untuk meningkatkan densitas dan menurunkan persoalan penanganan seperti penyimpanan dan pengangkutan. Densifikasi menjadi sangat penting dikembangkan di negara-negara berkembang sebagai salah satu cara untuk peningkatan kualitas biomassa sebagai sumber energi. Secara umum densifikasi biomassa mempunyai beberapa keuntungan (Bhattacharya dkk, 1996) :

™ Menaikkan nilai kalori per unit volume.

™ Mudah disimpan dan diangkut.

(5)

 

Biomassa mempunyai energi kira-kira 1/3 energi batubara per unit massa dan 1/4 energi batubara per unit volume. Densifikasi dapat mengubahnya menjadi masing-masing 2/3 dan 3/4 (Bungay, 1981). Secara umum teknologi pembriketan dapat dibagi menjadi tiga (Grover dan Mishra, 1996) :

™ Pembriketan tekanan tinggi.

™ Pembriketan tekanan medium dengan pemanas.

™ Pembriketan tekanan rendah dengan bahan pengikat (binder).

Beberapa jenis bahan dapat digunakan sebagai pengikat diantaranya amilum/tepung kanji, tetes, dan aspal.

Karakteristik pembriketan dievaluasi diantaranya dengan melihat durabilitas, kekuatan mekanis, dan perilaku relaksasi. Wamukonya dan Jenkins (1995) meneliti durabilitas dan relaksasi pada serbuk kayu dan jerami. Chin dan Siddiqui (2000) telah meneliti perilaku relaksasi briket dari berbagai macam biomassa. Relaksasi sangat dipengaruhi oleh tekanan pembriketan. Semakin tinggi tekanan maka relaksasi akan semakin bertambah.

2.3 Emisi Pembakaran

Emisi yang dihasilkan dari pembakaran biomassa adalah CO2, CO, NOx, SOx, dan partikulat. Kwong dkk (2004) meneliti campuran serbuk batubara dan sekam padi untuk berbagai komposisi dan udara lebih (excess air). Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi penurunan emisi CO lebih dari 40% untuk campuran sekam padi 50%. Hal ini berarti sekam padi dapat menyempurnakan proses pembakaran. Konsentrasi CO juga menurun dengan penambahan excess air. Hasil optimal terjadi pada 30% excess air dan 10-20% campuran sekam padi.

Emisi CO campuran biomassa ampas tebu-sekam padi telah diteliti Jamradloedluk dkk (2004) dengan hasil emisi CO rata-rata terendah untuk rasio 40:60 yaitu sebesar 3,3 ppm dan tertinggi untuk rasio 20:80 sebesar 14,4 ppm. Moerman dan Prasad (1995) meneliti rasio CO/CO2 dari pembakaran kayu dalam tungku tipe downdraft. Rasio CO/CO2 untuk range pembakaran bersih (clean combustion) dapat diprediksi dengan simulasi dengan kesalahan 10% dibandingkan dengan data eksperimen. Pada pembakaran dengan excess air factor rendah diperoleh rasio yang tinggi. Kenaikan excess air factor akan menurunkan rasio, tetapi pada kenaikan sampai di atas 2 akan menaikkan kembali rasio CO/CO2.

Bhattacharya dkk (2002) meneliti emisi yang dihasilkan dari pembakaran kayu dan arang kayu pada berbagai macam tungku. Hasilnya menunjukkan bahwa faktor emisi CO berkisar antara 19-136 g/kg. Emisi terendah dihasilkan oleh tungku jenis RTFD Thailand dan tertinggi tungku jenis Nepal. Pratoto (2004) telah meneliti emisi dari pembakaran empty fruit bunch (EFB). Hasilnya menunjukkan bahwa faktor emisi CO berkisar antara 12-67 g/kg.

3. Metode Penelitian

(6)

70%:30%. Pengeringan briket menggunakan oven pada suhu 50°C selama kurang lebih 5 jam dan dihasilkan berat rata-rata briket 3,687 gram. Briket yang dihasilkan seperti ditunjukkan Gambar 2.

Tabel 1. Analisis proksimasi limbah cangkang kakao

Material 

Proximate Analysis(% berat, wet basis)

Nilai kalor 

(kJ/kg) 

Moisture  Volatile 

matter  Fixed carbon  Ash 

Cangkang kakao  16,1  49,9  20,5  13,5  16.998 

 

      Pengujian pembakaran dengan pengaruh temperatur udara preheat dilakukan dengan 3

variasi yaitu tanpa preheat, 60°C, dan 80°C. Laju aliran udara dijaga konstan 0,3 m/s. Dinding

ruang bakar juga dipertahankan pada temperatur 350°C dengan pemanasan LPG. Skema pengujian

ditunjukkan pada Gambar 1di bawah ini. Masukkan briket ke dalam tungku dan diletakkan pada cawan yang digantungkan dengan kawat dan dihubungkan ke timbangan digital. Pengukuran dilakukan sampai tidak terjadi lagi pengurangan massa yang berarti pembakaran telah selesai.

 

1. Blower udara 

2. Katup pengatur 

3. Saluran masuk pemanasan LPG 

4. Ruang preheater 

5. Ruang pembakaran 

6. Gas Analyser 

7. Kawat termokopel 

8. Digital termocouple reader 

9. Kawat penggantung briket 

10. Timbangan elektrik 

(7)

Gambar 1. Skema Alat Uji Pembakaran. 

 

Gambar 2. Briket cangkang kakao.

4. Hasil dan Pembahasan

Pengaruh temperatur udara preheat terhadap pengurangan massa dan laju pembakaran sesaat dapat dilihat pada Gambar 2. Sesuai dengan teori yang ada bahwa pembakaran biomassa dibagi menjadi 3 tahap. Pertama tahap pengeringan/pemanasan yang ditunjukkan dengan pengurangan massa yang lambat. Tahap kedua devolatilisasi yang ditunjukkan dengan pengurangan massa yang sangat cepat dan tahap ketiga pembakaran arang dengan pengurangan massa yang kembali menjadi lambat. Dari Gambar 2(a) terlihat bahwa semakin tinggi temperatur udara preheat maka pengurangan massa berlangsung semakin cepat. Hal ini disebabkan adanya suplai kalor tambahan secara konveksi dari udara masuk sehingga terjadi peningkatan perpindahan kalor ke briket dan menyebabkan proses devolatilisasi lebih cepat terjadi.  

 

        (a)           (b) 

Gambar 2. Hubungan temperatur udara preheat terhadap (a) pengurangan massa

dan (b) laju pembakaran sesaat.

 

Gambar  2(b)  menunjukkan  bahwa  semakin  tinggi  temperatur  udara  preheat  maka  laju 

pembakaran maksimumnya semakin tinggi dan cepat tercapai. Laju pembakaran rata‐rata ditunjukkan oleh 

Gambar 3(b). Semakin tinggi temperatur udara preheat maka laju pembakarannya rata‐ratanya semakin 

tinggi. Temperatur gas pembakaran mengalami sedikit kenaikan walaupun tidak begitu signifikan seperti 

(8)

50

Gambar 3. Hubungan temperatur udara preheat terhadap (a) temperatur

gas pembakaran dan (b) laju pembakaran rata-rata.

Emisi CO sebagai akibat perubahan temperatur udara preheat terlihat seperti Gambar 4(a). Kenaikan emisi CO secara cepat terjadi ketika terjadi pengurangan massa yang cepat. Hal ini berarti kenaikan emisi CO mulai terjadi pada tahap devolatilisasi untuk melepaskan zat terbang /

volatile matter. Kenaikan temperatur udara preheat akan mempercepat terjadinya kenaikan emisi

CO. Hal ini terjadi karena terjadi penambahan suplai kalor yang dibawa udara masuk, sehingga meningkatkan perpindahan kalor dari udara ke briket.

(9)

0

Gambar 4. (a) Emisi CO terhadap waktu dan (b) Faktor emisi CO pembakaran briket cangkang kakao pada

temperatur udara preheat yang berbeda.

Faktor emisi CO untuk pembakaran briket cangkang kakao karena pengaruh temperatur udara preheat ditunjukkan Gambar 4(b). Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa faktor emisi CO tidak mengalami banyak perubahan, hanya terjadi sedikit penurunan. Hal ini dimungkinkan terjadi karena adanya sedikit kenaikan temperatur gas sebagai akibat udara perheat.

5. Kesimpulan

Karakteristik pembakaran briket dari limbah cangkang kakao karena pengaruh temperatur udara preheat telah dikaji melalui eksperimen. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :

1. Temperatur gas pembakaran akan meningkat seiring dengan kenaikan temperatur udara

preheat.

2. Kenaikan temperatur udara preheat mengakibatkan kenaikan laju pembakaran.

(10)

6. Daftar Pustaka

Bhattacharya, S.C., Albina, D.O. dan Salam, P.A. (2002). Emission Factors of Wood and

Charcoal-Fired Cookstoves, Biomass and Bioenergy 23, pp. 453-469.

Bhattacharya, S.C., Leon, M.A., dan Rahman, M.M. (1996). A Study on Improved Biomass

Briquetting, Energy Program, SERD-AIT, Thailand.

Borman, G.L., dan Ragland, K.W. (1998). Combustion Engineering, McGraw-Hill Book Co., Singapore.

Bungay, H.R. (1981). Energy : The Biomass Options, John Wiley & Sons, New York.

Chin, O.C., dan Siddiqui, K.M. (2000). Characteristics of Some Biomass Briquettes Prepared

Under Modest Die Pressures, Biomass and Bioenergy 18, pp. 223-228.

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM). (2004). Statistik Energi Indonesia.

Departemen Pertanian (Deptan). (2003), Luas Areal dan Produksi Perkebunan Rakyat di

Indonesia.

Grover, P.D. dan Mishra, S.K. (1996). Biomass Briquetting : Technology and Practices, Field Document No. 46, FAO-Regional Wood Energy Development Program (RWEDP) In Asia, Bangkok.

Kementerian Negara Ristek (KNRT). (2006), Buku Putih Penelitian, Pengembangan dan

Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bidang Sumber Energi Baru dan Terbarukan untuk Mendukung Keamanan Ketersediaan Energi Tahun 2025, Jakarta.

Moerman, E. dan Prasad, K.K.(1995). Clean Combustion and Excess Air Factors, Selected Paper in Combustion Technologies for a Clean Environment, Gordon and Breach Publishers, Basel, pp. 467-477.

Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional.

Wamukonya, L., dan Jenkins, B. (1995), Durability and Relaxation of Sawdust and Wheat-Straw

Briquettes as Possible Fuels for Kenya, Biomass and Bioenergy Vol. 8, No. 3, pp.

175-179.

Gambar

Tabel 1. Analisis proksimasi limbah cangkang kakao
Gambar 1. Skema Alat Uji Pembakaran. 
Gambar 3. Hubungan temperatur udara preheat terhadap (a) temperatur
Gambar 4. (a) Emisi CO terhadap waktu dan (b) Faktor emisi CO pembakaran briket cangkang kakao pada

Referensi

Dokumen terkait

Transisi Demografi, Transisi Kesehatan, dan Pembangunan Ekonomi, “dalam: Aris Ananta”, Ciri Demografis Kualitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi, Lembaga Demografi dan

Berdasarkan hasil percobaan dapat dlihat bahwa untuk percobaan pertama dan kedua yang merupakan percobaan periode panjang 18,6 tahun, menghasilkan nilai amplitudo

Karya Tulis Ilmiah ini berjudul Hubungan Antara Perkalian Produk Kalsium dan Fosfat Serum dengan Penyakit Arteri Perifer Pada Pasien Hemodialisis Reguler.. Dalam penyelesaian

Dalam tingkatan ini tipe sistem yang digunakan, dinamakan sistem pendukung bagi eksekutif, yakni sistem informasi yang disajikan pada tingkat strategis didalam suatu organisasi

Tema mayor (utama) crita silat DIPSI mujudake tema masyarakat Jawa ora bisa uwal saka anane mitos. Crita silat DIPSI iki nggambarake panguripane masyarakat Jawa,

Faktor-faktor sosiogeografis yang menjadi inspirasi dalam penciptaan pantun Melayu, sehingga dapat digunakan untuk melihat perubahan alam Melayu sebagaimana hendak diketahui

Bagi belia yang telah keciciran daripada sistem pendidikan dan menyertai pasaran buruh, Kerajaan akan memastikan mereka mendapat peluang dan akses untuk mengikuti

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya dalam melakukan analisis kinerja keuangan dengan menggunakan Economic Value