• Tidak ada hasil yang ditemukan

M01330

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " M01330"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Paradigma Baru Pendidikan di Era Otonomi Daerah (Hakekat, Karakteristik, dan Implikasi)

Dr. Wasitohadi, M.Pd

Dosen UKSW, Jln. Diponegoro No.52-60 Salatiga,50711 Email: adi_wasito02@yahoo.co.id

Abstract

Paradigm of education refers to model, pattern, sample or the framework of thinking that is used as a way to perceive dan describe a phenomenon of education. In terms of management, a new paradigm of education emphasizes on the application of democracy principles, the role of the public, distribution, and fairness, and pays attention to the potential and diversity of the region. In terms of education, a new paradigm of education demands the curriculum to be able to accomodate diversity, education process that is oriented on the value of democracy, the development of the right and left hemisphere in a balance way, the balanced existence between academic achievement and humanity development orientation, emphasizes more on the learner-centered of learning process, and portfolio-based assessment system. The enactment of a new paradigm of education with such characteristics impacts the organization system of education in the region and learning system. Organization of education in region should become more profesional, dinamic, and empowered that assure services to school. A school is no longer positioned as subordination, but become an autonomous school and as the main unit of educational activities. The educational bureaucracies and other elements are more as a support service unit, which helps and encourages school to develop. In terms of learning, the learners are seen as a subject. Therefore, the initiatives, potentials, backgrounds and characteristics diversity of the learners should be considered in learning process.

Key word : paradigm of education, new paradigm of education, organization of

education, learning system

1. Pendahuluan

(2)

Gagasan perlunya paradigma baru pendidikan dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor. Selain karena akumulasi dampak kebijakan pendidikan masa lalu, juga disebabkan oleh tantangan dan kebutuhan global serta menguatnya tuntutan gerakan reformasi di Indonesia (Tilaar, 2004: 2) Gerakan reformasi di Indonesia menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan tersebut telah menumbuhkan kesadaran akan hak otonomi bagi daerah, yang lalu menumbuhkan pemikiran tentang perlunya penerapan sistem desentralisasi pendidikan. Tentu saja, penerapan sistem tersebut mempunyai implikasi yang mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan, salah satunya adalah perubahan pada manajemen pendidikan, dari berbasis pusat menjadi berbasis daerah.

Dengan kata lain, manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi. Dalam era otonomi, daerah diberi tanggung jawab yang semakin besar untuk mengatur dan melaksanakan kewenangannya di bidang pendidikan atas prakarsa sendiri. Sementara itu, ada tuntutan agar manajemen pendidikan didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan, dan memperhatikan potensi serta keanekaragaman daerah. Karena itu, penyesuaian tersebut juga menuntut adanya perubahan/ pergeseran paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru pendidikan.

Secara ideal, berlakunya paradigma baru pendidikan akan berimplikasi dan berdampak positif terhadap sistem dan praksis pendidikan. Sistem pendidikan hingga praksis pendidikannya, baik di tingkat pusat, daerah maupun satuan pendidikan, mestinya merupakan penerapan dari paradigma baru pendidikan tersebut. Dengan demikian, penerapan paradigma baru pendidikan diasumsikan dapat berdampak positif bagi kemajuan pendidikan di daerah.

(3)

2. Hakikat Paradigma Pendidikan

Secara etimologis, istilah paradigma (paradigm) berasal dari bahasa Yunani ”para deigma”, dari kata ”para”, yang berarti di samping, di sebelah dan ”dekynai” yang berarti model, contoh, ideal (Bagus, 2002:779; Dagun, 1997: 777). Sebagai suatu konsep, istilah paradigma pertama kali dipopulerkan oleh ilmuwan Amerika, Thomas Kuhn. Menurutnya, seorang ilmuwan selalu bekerja dengan paradigma tertentu. Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science), di mana ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma secara rinci dan mendalam. Dalam tahap ini seorang ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya.

Selain itu, dengan paradigma memungkinkan sang ilmuwan untuk memecahkan kesulitan yang dihadapi dalam rangka ilmunya, sampai muncul banyak anomali yang tak dapat diterangkan dengan teorinya. Jika anomali semakin banyak dan kualitasnya semakin tinggi, maka bisa timbul krisis. Dalam krisis inilah paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Dengan begitu sang ilmuwan sudah keluar dari ilmu normal. Untuk mengatasi krisis itu sang ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan suatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya. Jika yang terakhir ini terjadi, berarti telah terjadi revolusi paradigmatik terhadap ilmu tersebut.

Pengertian “paradigma” itu sendiri kurang jelas, karena pelbagai pengertian yang dikemukakan Thomas Kuhn, kadang terasa tidak begitu konsisten satu sama lain. Meskipun demikian, Verhaak dan Imam (1989:165) menyimpulkan bahwa paradigma merupakan cara pandang terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi atau praktek ilmiah konkret. Paradigma adalah asumsi-asumsi dasar yang terkandung atau tersirat dalam satu atau sejumlah teori dominan. Asumsi-asumsi dasar ini membentuk kerangka keyakinan (belief framework) dan merupakan konstelasi komitmen intelektual suatu masyarakat

(4)

percobaan yang unggul, yang lazimnya telah membuktikan kebolehannya dalam menghasilkan terobosan-terobosan keilmuan yang krusial, dan diteladani oleh warga masyarakat ilmuwan (Wilardjo,1999:72).

Sementara itu, Hardiyanto (1999:102) mengartikan paradigma sebagai kerangka berfikir dan tuladan representatif. Sedangkan Bagus (2002:779) memberi empat arti paradigma, yaitu: (1) cara memandang sesuatu; (2) dalam ilmu pengetahuan berarti model, pola, dan ideal yang digunakan untuk memandang dan menjelaskan suatu fenomena; (3) totalitas premis-premis teoretis dan metodologis yang menentukan atau mendefinisikan suatu studi ilmiah konkret; dan (4) dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.

Dari uraian di atas, tampak ada berbagai pengertian paradigma, yang satu sama lain tidak selalu sama. Berhubung dengan itu, Wilardjo (1999:73) meyakini bahwa adanya kekurangjelasan pengertian atau kelenturan konseptual mengenai paradigma an sich tak ada salahnya. Bahkan, bagi Hardiyanto (1999:103), dengan mengacu pada pendapat Thomas Kuhn dan para ahli lainnya, rumusan paradigma itu dapat berkembang, meskipun inti pengertiannya sendiri dianggapnya tidak berbeda.

Selanjutnya, bila berbagai pengertian paradigma di atas dianalisis, dapat disimpulkan apa hakekat paradigma itu, paling tidak dari segi substansi dan fungsinya. Dari segi substansi, paradigma menunjuk pada: (a) model, pola, ideal, contoh atau kerangka berfikir yang digunakan sebagai cara untuk memandang dan menjelaskan suatu fenomena; (b) berisi seperangkat asumsi-asumsi dasar mengenai obyek penelitian, nilai, cara kerja, dan validitas dari ilmu; dan (c) kerangka keyakinan, yang merupakan komitmen, konsensus, yang diteladani dan digunakan oleh komunitas ilmuwan. Dari segi fungsinya, paradigma berfungsi sebagai dasar, acuan, kiblat, atau pedoman, dan menentukan cara untuk melihat persoalan dan bagaimana menyelesaikannya.

(5)

penelitian, nilai, cara kerja, dan validitas dari ilmu pendidikan. Paradigma pendidikan itu membentuk kerangka keyakinan, yang merupakan komitmen, konsensus, yang diteladani dan digunakan oleh komunitas ilmuwan bidang pendidikan serta berfungsi sebagai dasar, acuan, kiblat, atau pedoman, dan menentukan cara untuk melihat persoalan pendidikan dan bagaimana menyelesaikannya.

3. Karakteristik Paradigma Baru Pendidikan

Para ahli pendidikan menggunakan kriteria yang berbeda-beda dalam menjelaskan karakteristik paradigma baru pendidikan. Surakhmad (1999), menggunakan lima kriteria. Dari segi manajemen, paradigma baru berbasis pada kekuatan masyarakat dan mengutamakan kemandirian. Dari segi orientasi pendidikan, dalam paradigma baru digalakkan nilai demokrasi, keteraturan dan kepastian hukum, serta mengutamakan kemajuan. Sedangkan dari segi sikap dan pandangan kependidikan, karakteristiknya adalah menghargai keberagaman, hak-hak asasi manusia, pendidikan yang motivatif, merangsang dan menghargai kreativitas dan inovasi, serta merangsang kerjasama secara terbuka dan fleksibel. Dari segi metodologi, paradigma baru menekankan pada pengembangan dan pemanfaatan iptek. Sedangkan dari segi program kurikuler, paradigma baru menggunakan program kurikuler yang dinamis, riel dan kontekstual.

Sementara itu, Tilaar (2004:63) mengkonstruksi paradigma baru pendidikan dengan bertolak dari empat kriteria. Dari segi popularisasi pendidikan, karakteristik paradigma baru pendidikan adalah: (a) bahwa pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang dibutuhkan rakyat banyak; (b) partisipasi keluarga dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan semakin ditingkatkan; serta (c) investasi pendidikan sektor pemerintah ditingkatkan dan dijadikan komitmen politik. Dari sudut sistematisasi pendidikan, karakteristiknya meliputi: (a) pengembangan dan pemantapan sisdiknas diprioritaskan kepada pemberdayaan lembaga dengan memberi otonomi yang luas; dan (b) mengembangkan sisdiknas yang terbuka bagi keragaman dalam pelaksanaan.

(6)

dan (b) pendidikan dan pelatihan tenaga-tenaga profesional dalam berbagai tingkat diorientasikan terutama pada kebutuhan daerah dan kebutuhan pasar kerja di daerah. Sedangkan dari segi politisasi pendidikan, karakteristik paradigma baru, meliputi: (a) pendidikan nasional ikut serta dalam mendidik manusia Indonesia sebagai insan politik yang demokratis, yang sadar akan hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang bertanggung jawab; dan (b) masyarakat, termasuk keluarga, bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan.

Pendapat lain menyatakan bahwa paradigma baru menekankan pada penerapan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Sementara, Jalal & Supriadi (2001:5) menyatakan bahwa perubahan paradigma pendidikan, meliputi perubahan: (1) dari sentralistik ke desentralistik; (2) dari kebijakan top down ke kebijakan bottom up; (3) dari orientasi pengembangan parsial ke orientasi

pengembangan holistik; (4) dari peran pemerintah sangat dominan ke meningkatnya peranserta masyarakat; serta (5) dari lemahnya peran institusi non sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat.

Agak berbeda dengan itu, dalam buku Depdiknas (2002:10), selain hal tersebut, juga ditegaskan tiga paradigma baru pendidikan lainnya, yaitu dari “birokrasi berlebihan” ke “debirokratisasi”, dari “manajemen tertutup” (closed management) ke “manajemen terbuka” (open management), dan pengembangan

pendidikan, yang semula biayanya terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah, berubah ke sebagian besar menjadi tanggung jawab orang tua peserta didik dan masyarakat (stakeholders)”.

(7)

keputusan oleh organisasi tingkat yang lebih rendah maka akan cenderung memperoleh keputusan yang lebih baik.

Kedua, kebijakan bottom up. Di era otonomi, sebagian besar pengembangan pendidikan dilakukan dengan pendekatan “dari bawah ke atas” (bottom up approach) secara partisipatif, yang dilaksanakan dengan melibatkan

semua pihak dan memperhatikan dinamika, prakarsa dan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karena itu, dalam penyusunan perencanaan pembangunan, diperlukan koordinasi antar instansi Pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan, melalui forum Musrenbang tingkat kelurahan, kecamatan, dan kota, serta forum Satuan Kerja Perangkat Daerah.

Ketiga, orientasi pengembangan holistik. Setelah reformasi, orientasi pengembangan pendidikan bersifat holistik. Pendidikan diarahkan untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum (Jalal & Supriadi, 2001:5). Menurut Suparno (2003:100), pendidikan holistik dipengaruhi oleh pandangan filsafat holisme, yang cirinya adalah keterkaitan (connectedness), keutuhan (wholeness), dan proses menjadi (being).

Keempat, meningkatnya peranserta masyarakat. Sesudah otonomi, ada perluasan peluang bagi peran serta masyarakat dalam pendidikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, untuk mendorong partisipasi masyarakat, di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Dewan Pendidikan, sedangkan di tingkat sekolah dibentuk Komite Sekolah. Kelima, pemberdayaan peran institusi masyarakat. Dalam era otonomi, masyarakat diberdayakan dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang berfungsi mendidik masyarakat. Berbagai institusi kemasyarakatan ditingkatkan wawasan, sikap, kemampuan, dan komitmennya sehingga dapat berperan secara aktif dan bertanggung jawab dalam pendidikan.

(8)

jawab dalam desentralisasi. Di samping itu juga dilakukan deregulasi, dalam arti pengurangan aturan-aturan kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan kondisi, potensi, prospek sekolah, dan kepentingan masyarakat (stakeholders) untuk berpartisipasi terhadap sekolah, dalam bentuk gagasan penyempurnaan kurikulum, peningkatan mutu guru, dana dan sarana serta prasarana sekolah.

Ketujuh, manajemen terbuka. Dalam era reformasi, diterapkan manajemen terbuka mulai dari pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan sampai pada evaluasi, bahkan perbaikan kebijakan. Seluruh sumber daya yang digunakan dalam pendidikan dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada seluruh kelompok masyarakat (stakeholders), dan selanjutnya terbuka untuk menerima kritikan perbaikan apabila ditemukan hal-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Ke delapan, pengembangan pendidikan sebagian besar menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders). Kemajuan pendidikan tingkat Kabupaten/Kota akan banyak bergantung pada partisipasi orang tua siswa dan masyarakat serta pemerintah Kabupaten/Kota masing-masing, di samping proyek-proyek khusus, dan juga kemudahan dan pengendalian mutu dan hal-hal kepentingan nasional lainnya dari Depdiknas, dan dari Dinas Provinsi.

Sementara itu, dari segi pendidikan, paradigma baru terkait dengan banyak aspek. Pada aspek kurikulum, paradigma baru menuntut kurikulum yang dapat mengakomodasi keragaman. Sistem pengembangan kurikulum menjadi lebih demokratis melalui diversifikasi kurikulum untuk melayani peserta didik dan potensi daerah yang beragam. Satuan pendidikan memiliki kebebasan untuk mengembangkan kurikulumnya sendiri sesuai ciri satuan pendidikan dan karakteristik lingkungannya masing-masing, sepanjang kurikulum itu memenuhi standar isi dan standar kompetensi lulusan (Depdiknas, 2007).

(9)

lingkungan belajar yang demokratis di mana setiap orang berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan, sebagai latihan dan persiapan untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat yang lebih besar (Knight, 1982:68).

Sementara, Suyanto (2006:126) menyatakan bahwa dalam paradigma baru pendidikan berorientasi pada pengembangan belahan otak kanan dan kiri secara seimbang. Sementara, Armstrong (2006), mengemukakan bahwa dalam upaya perbaikan sekolah, mestinya orientasi pengembangan prestasi akademik dengan orientasi pengembangan kemanusiaan perlu diperhatikan secara seimbang. Dalam orientasi pengembangan prestasi akademik, tujuan utama pendidikan sekolah adalah sekedar untuk melatih siswa agar lulus tes dan memperoleh peringkat yang baik, bukan agar mereka menerima dan mengolah gagasan-gagasan yang diterimanya, sehingga bermakna untuk kehidupan.

Sementara itu, orientasi pengembangan kemanusiaan mempunyai perspektif yang secara substansi lebih luas daripada wacana pengembangan prestasi akademik (Armstrong, 2006:36). Asumsi yang diyakini, antara lain: (a) menjadi manusia utuh adalah aspek belajar yang penting; (b) proses yang penuh makna, terus menerus dan bersifat kualitatif; (c) kurikulum yang luwes; (d) berorientasi individu; (e) memberi pilihan-pilihan yang bermakna pada siswa; (f) menghargai masa lalu, kini dan masa depan setiap siswa; dan (g) mendasarkan validitas pada kekayaan pengalaman manusia.

Dari aspek orientasi pembelajaran, paradigma baru menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (White,2010:17; Fennimore, 1995:215). Dengan demikian, berkembangnya potensi peserta didik secara optimal merupakan sasaran utama pendidikan. Optimal, menurut Muhadjir (2003:34) menunjuk pada perkembangan yang disesuaikan dengan kemampuan subyek masing-masing, bukan penyesuaian dengan tujuan atau target yang hendak dicapai. Pendidikan yang berorientasi pada peserta didik mempunyai tiga arti, yaitu (a) peserta didik diperlakukan sebagai subyek; (b) pendidikan diselenggarakan sesuai dengan perkembangan dan kemampuan peserta didik; dan (c) pendidikan itu mengembangkan peserta didik secara utuh (Suparno, 2002:24).

(10)

dipandang sebagai makhluk sadar, yang mampu mengalami, berfikir, mengambil keputusan dan bertindak. Manusia dipandang sebagai makhluk yang mempunyai potensi, tujuan hidup, nilai-nilai, pilihan, persepsi terhadap dirinya sendiri dan orang lain, serta tanggung jawab. Cara pandang semacam ini akan berdampak pada pandangan tentang belajar, desain pembelajaran, mengajar, pembelajaran, maupun evaluasi hasil belajar.

Dalam paradigma konstruktivistik, belajar adalah proses pengkonstruksian atau pembentukan pengetahuan yang bermakna pada diri masing-masing peserta didik. Tujuan belajar adalah pengembangan konsep dan pemahaman yang mendalam tentang obyek belajar tertentu. Hal itu dilakukan melalui proses penataan materi belajar sendiri dan pengembangan struktur konseptual melalui refleksi dan abstraksi. Jadi, yang utama adalah bagaimana siswa menghasilkan pemahaman dan makna sendiri tentang segala sesuatu yang mereka pelajari. Guru bukan lagi sebagai ”mesin pemindah pengetahuan”, tetapi lebih sebagai fasilitator yang membantu pemahaman peserta didik.

Demikianlah berbagai karakteristik paradigma baru pendidikan, baik dari segi manajemen maupun pendidikannya. Dalam perkembangannya, jiwa dan semangat paradigma baru pendidikan tersebut tercermin dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Dalam UU tersebut, dikemukakan prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan, meliputi:

(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.

(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.

(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.

(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.

(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

(11)

bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan jauh lebih demokratis dan berorientasi pada teori, sistem dan praksis pendidikan yang semakin mengedepankan nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai global-universal. Implikasinya, dalam hubungannya dengan pendidikan prinsip-prinsip tersebut akan berdampak pada kandungan, proses dan manajemen sistem pendidikan, menyangkut semua komponen sistem pendidikan.

4. Implikasi Berlakunya Paradigma baru Pendidikan

Berlakunya paradigma baru pendidikan yang lebih mengedepankan nilai-nilai demokrasi dan global-universal memiliki implikasi pada semua komponen sistem pendidikan, di antaranya pada perubahan desain organisasi pendidikan di daerah dan sistem pembelajaran. Sagala (2008), menyatakan bahwa berlakunya paradigma baru menuntut organisasi pendidikan yang lebih profesional, dinamis, dan berdaya yang mengedepankan pelayanan pada sekolah. Sekolah tak lagi diposisikan sebagai subordinasi, tetapi menjadi sekolah yang otonom dan sebagai unit utama kegiatan pendidikan (Depdiknas, 2001:28; Cotton,1992:5; Slamet P.H., 2002:12). Dalam hal ini, jajaran birokrasi kependidikan dan unsur-unsur lainnya lebih sebagai unit pelayanan pendukung, yang membantu dan mendorong sekolah untuk berkembang.

Tuntutan otonomi semacam itu, memerlukan penataan kembali terhadap struktur organisasi pendidikan di daerah dan sekolah. Dengan kata lain, perlu ada transformasi organisasi. Edward Deming (Syafaruddin, 2002:32), menyatakan bahwa transformasi organisasi merupakan salah satu dasar bagi perbaikan mutu berkelanjutan. Transformasi organisasi menuntut perubahan dalam nilai-niai yang dianut organisasi, di samping pembenahan terhadap proses kerja dan struktur kewenangan dalam organisasi. Tanpa itu, struktur organisasi sekolah yang sentralistik cenderung mengakibatkan adanya kebekuan dan lemahnya kepemimpinan kepala sekolah.

(12)

lapis-lapis manajemen yang rumit, yang membuat sekolah lamban dalam beradaptasi dan mengantisipasi terhadap perubahan-perubahan. Organisasi sekolah harus dibuat lebih datar agar lebih responsif dan antisipatif, tidak saja terhadap isu-isu strategis yang dihadapi oleh sekolah, tetapi juga terhadap perubahan-perubahan sosial secara umum.

Dalam struktur organisasi semacam itu, jarak guru dengan kepala sekolah tidak terlalu jauh, sehingga komunikasi intensif dapat dijalin antar segenap komponen sekolah. Peran kepala sekolah bukan lagi diatur atau mengikuti apa yang diputuskan birokrasi, tetapi memiliki otonomi lebih besar untuk mengatur sekolahnya. Dampak positif yang diharapkan adalah mendukung terwujudnya sekolah yang mandiri.

Sementara itu, implikasinya pada proses pendidikan, peserta didik dipandang sebagai subyek. Oleh karena itu prakarsa, potensi, keragaman latar belakang dan karakteristik peserta didik harus dipertimbangkan dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik, serta memberikan keteladanan.

Selain itu, proses pembelajaran harus memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai semua kompetensi yang diharapkan. Pemberdayaan ini diarahkan untuk mendorong individu belajar sepanjang hayat dan mewujudkan masyarakat belajar. Proses pembelajaran dilandasi oleh prinsip: (1) berpusat pada peserta didik, (2) mengembangkan kreativitas peserta didik, (3) menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang, (4) mengembangkan beragam kemampuan yang bermuatan nilai, dan (5) menyediakan pengalaman yang beragam, dan (6) belajar melalui berbuat (Depdiknas, 2003).

DAFTAR PUSTAKA

Armstrong,T. (2006). The best schools. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development.

Azra, A. (2002). Paradigma baru pendidikan nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

(13)

Dagun, S.M. (1997). Kamus besar ilmu pengetahuan. Jakarta: LPKN.

Depdiknas.(2001).Desentralisasi pendidikan. Jakarta: Komisi Nasional Pendidikan.

________.(2002). Memiliki wawasan tentang model-model perencanaan tingkat Kabupaten/Kota. Materi Pelatihan Terpadu untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota.

________. (2002). Menyerasikan perencanaan pendidikan tingkat mikro dan makro.

Fennimore, B. (1995). Student-centered classroom management. New York: Delmar Publishers.

Hardiyanto. (1999). ITU- Apakah paradigma? Salatiga: LP3K Sinode.

Jalal, F. & Supriadi, D. (Ed.). (2001). Reformasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Knight, G.R. (1982). Issues and alternatives in educational philosophy. Michigan: Andrews Press, Berrien Springs.

Kotter, J. P. (1996). Leading change. Boston: Harvard Business School Press. Kuhn, T. (1970). The structure of scientific revolutions. Chicago: The University

of Chicago Press.

Muhadjir, N. (2003). Ilmu pendidikan dan perubahan sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Sagala,S.(2008). Budaya dan reinventing organisasi pendidikan. Bandung: Alfabeto.

Sudarsono.(1999). Paradigma baru pendidikan Indonesia dalam abad 21. Yogyakarta: Seminar Pendidikan Nasional Tahun 1999.

Sulasmono, B.S.(2004). Paradigma baru itu bernama konstruktivisme. News letter Akademia, Dewan Pendidikan Kota Salatiga, 4, 3-4.

Sumarno. (2000). Menuju manajemen pendidikan berbasis sekolah. Pusat Studi Kebijakan Pendidikan Lembaga Penelitian UNY.

Suparno, P., et al. (2002). Reformasi pendidikan: Sebuah rekomendasi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

_______.(2007). Filsafat Konstruktivisme. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Surakhmad, W. (1999). Perkembangan perguruan tinggi dalam perspektif mondial kemutlakan peralihan paradigma universitas masa depan. Yogyakarta: Makalah seminar.

Suyanto.(2006). Paradigma baru pendidikan: Antara moralitas dan kebangsaan. Yogyakarta: UNY Press.

Syafaruddin. (2002). Manajemen mutu terpadu dalam pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

_________.(2004). Paradigma baru pendidikan nasional. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Verhaak,C. & Imam, R.H. (1989). Filsafat ilmu pengetahuan. Jakarta : PT.Gramedia.

White,C.J.& Harbauqh, A. (2010). Learner-centered instruction. California: Sage Publications, Inc.

Wilardjo, L. (1999). Paradigma dalam ilmu-ilmu kealaman. Salatiga: LP3K Sinode.

(14)

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Banyak dari kami para penyandang disabilitas yang beralih untuk menggunakan transportasi publik online karena memang pelayanan yang lebih bagus, dengan tarif

Untuk mengetahui kelimpahan beberapa megabentos, terutama yang memiliki nilai ekonomis penting dan bisa dijadikan indikator dari kesehatan terumbu karang, dilakukan metode

Dilihat secara lebih jauh sesungguhnya secara umum bisa dikatakan bahwa kebangkitan Post Modern merupakan perkembangan pemikiran falsafat baru di dunia Barat yang

Dari lampiran 1 dapat dilaporkan bahwa suku Moraceae merupakan salah satu suku dari jenis-jenis tanaman koleksi di Kebun Raya Purwodadi yang paling banyak diparasiti

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan, baik berupa materil maupun support selama

FFA ini dipisahkan dengan trigliserida sehingga produk utama dialirkan menuju reaktor esterifikasi 2 (R-02). Reaksi yang terjadi merupakan reaksi eksotermis sehingga

Meski begitu masih ada 43 KK yang memilih untuk tetap tinggal di Desa Ketapang dengan berbagai alasan, pertama karena uang ganti rugi yang diberikan tidak cukup untuk membeli

Upstream Industri versus Downstream Industri – Regulasi Tata Kelola Industri Kelapa Sawit – INDONESIA v.s MALAYSIA.. Ekspansi besar – besaran perusahaan kelapa sawit di Malaysia,