JURNAL FAKULTAS
PSIKOLOGI UNIVERSITAS
HKBP NOMMENSEN
JURNAL FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN Volume 1 Nomor 1 September 2015
Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar: Suatu Studi eksploratif pada mahasiswa Universitas HKBP Nommensen
Asina Christina Rosito, S.Psi, M.Sc
Mengenali Adhd (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) Dan Penanganannya Pada Anak Sejak Dini
Ervina Marimbun Rosmaida Siahaan, M.Psi, Psikolog
Orang Tua Sebagai Model Utama Bagi Perilaku Makan Sehat Pada Anak-Anak Nancy Naomi G.P. Aritonang, M.Psi, Psikolog
Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Well-being Karyawan in Pt. Intan Havea Industry, Medan
Nenny Ika Putri Simarmata, M.Psi, Psikolog
Perbedaan Sikap Jemaat Laki-laki dan perempuan Terhadap Efektivitas kepemimpinan pendeta perempuan di gereja batak karo protestan
Karina M. Brahmana, M.Psi, Psikolog
Gambaran Kecerdasan Spiritual (SQ) Mahasiswa Tingkat Akhir Universitas HKBP Nommensen Medan
Togi Fitri Afriani Ambarita, M.Psi, Psikolog
M A J A L A H I L M I A H
F A K U L T A S P S I K O L O G I - U N I V E R S I T A S H K B P N O M M E N S E N
JURNAL FAKULTAS PSIKOLOGI
Majalah Ilmiah Fakultas Psikologi Universitas HKBP Nommensen
Izin Penerbitan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia No. ISSN : 2460-7835
Penerbit : Universitas HKBP Nommensen Penasehat : Rektor, Dr.Ir. Sabam Malau Penanggungjawab : Dekan Fakultas Psikologi, Karina M. Brahmana, M.Psi Mitra Bestari : 1. Prof. Dr. Frieda Simangunsong, M.Ed
2. Drs. Aman Simaremare, MS 3. Prof. Dr. Albiner Siagian
Ketua Dewan Redaksi : Nenny Ika Putri, M.Psi Redaksi Pelaksana : 1. Nancy Naomi Aritonang, M.Psi
2. Hotpascaman Simbolon, M.Psi Anggota Dewan Redaksi : 1. Asina Christina Rosito, S.Psi, M.Sc
2. Togi Fitri A.Ambarita, M.Psi 3. Freddy Butarbutar, M.Psi
4. Ervina Sectioresti, M.Psi
5. Ervina Marimbun Siahaan, M.Psi 6. Karina M.Brahmana, M.Psi
Tata Usaha : 1. KTU, Marisi Pangaribuan, SE 2. Sondang Simanjuntak
Majalah ini terbit dua kali setahun : September dan Maret Biaya langganan satu tahun untuk wilayah Indonesia
Rp. 30.000,- dan US$5 untuk pelanggan luar negeri (tidak termasuk ongkos kirim) Biaya langganan dikirim dengan pos wesel, yang ditujukan kepada Pimpinan Redaksi
Petunjuk penulisan naskah dicantumkan pada halaman dalam Sampul di belakang majalah ini
JURNAL
Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar: Suatu Studi eksploratif pada mahasiswa Universitas HKBP Nommensen
Asina Rosito, S.Psi, M.Sc
Mengenali ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) Dan Penanganannya Pada Anak Sejak Dini
Ervina Marimbun Rosmaida Siahaan, M.Psi, Psikolog
Orang Tua Sebagai Model Utama Bagi Perilaku Makan Sehat Pada Anak-Anak Nancy Naomi GP Aritonang, M.Psi, Psikolog
Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Well-being Karyawan in Pt. Intan Havea Industry, Medan
Nenny Ika Simarmata, M.Psi, Psikolog
Perbedaan Sikap Jemaat Laki-laki dan perempuan Terhadap Efektivitas kepemimpinan pendeta perempuan di gereja batak karo protestan
Karina M Brahmana, M.Psi, Psikolog
PENGARUH KEPUASAN KERJA TERHADAP
WELL-BEING
KARYAWAN IN
Medan. The paper also studies wellbeing and job satisfaction levels in PT. Intan Havea Industry. Job Satisfaction was measured by the aspect from Smith, Kendal and Hullin (Luthans, 1998) and wellbeing was measured by the aspect from Riff (1989). Partisipant in this study were 108 employees in PT. Intan Havea Industry. There are two findings. First, result of correlation analysis showed that there is a positive relationship between job satisfaction and employee wellbeing. Second, the job satisfaction and wellbeing ofSemua orang menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Aristoteles (dalam Bertens,
1993) menyebutkan bahwa kebahagiaan merupakan tujuan utama dari eksistensi manusia
di dunia. Kebahagiaan itu sendiri dapat dicapai dengan terpenuhinya kebutuhan hidup dan
ada banyak cara yang ditempuh oleh masing-masing individu. Orang bekerja untuk
memperoleh penghasilan dan pencapaian karier. Kebahagiaan dapat diartikan sebagai
sebuah penilaian menyeluruh tentang kehidupan secara lengkap, yang meliputi aspek
kognitif dan afektif (Galati, Manzano & Sotgiu, 2006).
Aristotles dalam bukunya Nicomachean Ethic (1947 dalam Ryff, 1989)
menggambarkan kebahagiaan sebagai the highest of all good achievable, something final
and self-sufficient, and is the end of action. Watt 6 mengemukakan bahwa pada
dasarnya, dimensi kebahagiaan berangkat dari perasaan tidak enak atau buruk sampai
pada perasaan baik, bisa juga dari ketidakpuasan sampai pada perasaan puas. Sedangkan,
psychological well-being. Psychological well-being dalam pembahasan selanjutnya akan
penulis gunakan sebagai istilah dalam menggambarkan kebahagiaan.
Kebahagiaan merupakan indikator adanya psychological well-being pada diri
seseorang (Ryff, 1989). Hal ini mengarah pada well being dimana seseorang dikatakan
sejahtera bila mengisi hidupnya dengan hal-hal yang bermakna, bertujuan, dan berguna
bagi kesejahteraan diri sendiri dan orang lain.
Van Hoorn (2007) secara spesifik menyebutkan bahwa well-being terdiri dari dua
komponen yang terpisah, yaitu bagian afektif yang merupakan evaluasi hedonis melalui
emosi dan perasaan, serta bagian kognitif yang merupakan informasi berdasarkan
penilaian seseorang akan harapannya terhadap kehidupan ideal. O’Connor 99
menyebutkan bahwa istilah kepuasan hidup dapat juga mengacu pada PWB yaitu
merupakan penilaian individual akan kebahagiaan atau kepuasan yang menggambarkan
penilaian global atas keseluruhan aspek dalam hidup seseorang.
Well-being yang rendah telah menjadi permasalahan yang mengglobal di abad 21 ini.
Hal ini turut dipengaruhi oleh kondisi perekonomian dan perkembangan gaya hidup.
well-being yang rendah akan mempengaruhi motivasi karyawan dalam bekerja. Kondisi ini
sangat merugikan pemerintah maupun sektor swasta. Bisa dibayangkan kerugian yang
akan ditanggung oleh perusahaan ketika karyawan mengalami sakit, bolos ataupun izin
tidak masuk kerja. Hal ini tentu saja dapat mempengaruhi produktivitas kerja karyawan
dan juga perusahaan.
Peran dari karyawan sebagai Sumber Daya Manusia di dalam perusahaan merupakan
aset yang sangat berharga dan memegang peranan penting dalam meningkatkan
produktivitas perusahaan. Karyawan yang memiliki well –being yang tinggi cenderung
akan menghasilkan performance yang baik, begitu juga sebaliknya. Pavot & Diener (2004)
menyebutkan bahwa well-being merupakan salah satu prediktor kualitas hidup individu
karena well-being mempengaruhi keberhasilan individu dalam berbagai domain
kehidupan. Individu dengan well-being yang tinggi akan merasa lebih percaya diri, dapat
menjalin hubungan sosial dengan lebih baik, serta menunjukkan performansi kerja yang
lebih baik. Selain itu dalam keadaan yang penuh tekanan, individu dengan well-being yang
tinggi dapat melakukan adaptasi dan coping yang lebih efektif terhadap keadaan tersebut
ini menjadi penting karena sebagai seorang pekerja, seorang karyawan seringkali dituntut
untuk tampil prima di dalam pekerjaannya, serta harus siap sedia jika perusahaan
menginginkan karyawan untuk bekerja melebihi batas waktu jam kerja (lembur).
Buker (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara performance individual dengan performance organisasi, sehingga dengan
demikian well-being seorang individu akan memiliki implikasi penting bagi organisasi
secara keseluruhan. Dengan kata lain, kondisi well-being yang baik akan menentukan
seberapa efektif seorang individu untuk memberikan kontribusi terhadap masyarakat dan
menjadi karyawan yang produktif di dalam perusahaan. Selain itu, kehadiran psychological
well-being dalam diri seseorang akan membuat ia mampu untuk menjalankan fungsi
psikologisnya dengan lebih baik, termasuk dalam hal bekerja dan pencapaian prestasi
(Chow, 2007).
Lebih lanjut disebutkan bahwa well-being juga turut memberikan pengaruh
terhadap kemiskinan dan kemandegan pengembangan suatu negara. Issue mengenai
minimnya well-being tidak hanya menjadi permasalahan di sektor kesehatan semata-mata,
tetapi juga di sektor lainnya. Pada saat ini dunia juga sedang bergerak dalam
pencapaian Millennium Development Goal, dimana well-being adalah salah satu agenda
yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan juga sektor swasta. Oleh karena itu,
meningkatkan well-being individu dan masyarakat menjadi sangat penting dan
membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah.
Penelitian mengenai well-being telah banyak dilakukan sejak tahun 1967. Wilson
(1967) dalam penelitiannya menyatakan bahwa usia, kesehatan, tingkat pendidikan,
pendapatan, ekstrovert, optimistik, status pernikahan, jenis kelamin menjadi faktor
pendorong kebahagiaan seorang individu. Hal ini sedikit berbeda dengan penelitian
Rodgers (1976) yang menemukan bahwa usia, pendapatan dan pendidikan tidak
memberikan pengaruh terhadap tingkat kebahagiaan (well-being) seseorang. Berikutnya,
Carr, Sousa & Lybormirsky (2001) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa orang
yang memiliki kepribadian ekstravert, optimis, harga diri tinggi dan locus of control
internal dilaporkan memiliki tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup yang lebih tinggi.
Sementara Perez, Jeannie (2012) dalam penelitiannya di Filipina menyatakan
aspek dibandingkan dengan partisipan laki-laki, yaitu dalam hal pengalaman spritual,
hubungan positif dengan orang lain serta tujuan hidup (purpose in life). Wilson (dalam
Diener, Suh & Smith,1999) menyimpulkan bahwa pribadi yang bahagia adalah pribadi
yang bahagia, sehat, berpendidikan tinggi, memiliki pendapatan yang tinggi, ekstrovert,
optimis, religius, telah menikah dan memiliki self esteem yang tinggi.
Kebanyakan orang menghabiskan lebih banyak waktunya di tempat kerja. Dengan
demikian, pemahaman mengenai well being di tempat kerja akan sangat membantu pihak
perusahaan maupun pekerja itu sendiri (Blanchflower & Oswald, 1999).
Luthans (2005) menyatakan bahwa kepuasan kerja yang dirasakan oleh karyawan
turut menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi well-being karyawan tersebut.
Karyawan yang mengalami kepuasan dalam bekerja maka, akan merasa lebih senang dan
giat bekerja. Rasa senang yang dirasakan dalam bekerja akan menimbulkan well-being
pada karyawan tersebut. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka peneliti ingin meneliti
lebih lanjut mengenai seberapa besar pengaruh kepuasan kerja terhadap well-being
karyawan.
1.2. Rumusan Masalah
Berikut merupakan pertanyaan penelitian yang akan menjadi panduan dalam
penelitian ini, yaitu: Bagaimanakah pengaruh Kepuasan Kerja terhadap well-being
karyawan?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini sangat penting dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui seberapa
besar pengaruh Kepuasan Kerja terhadap well-being karyawan.
1.4. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konseptual di atas maka hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah: H1: Ada hubungan positif antara kepuasan kerja dengan well-being
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Well-being
2.1.1. Perkembangan pemikiran well-being
Peningkatan minat dalam penelitian mengenai well-being didasari oleh kesadaran
bahwa ilmu psikologi, sejak awal pembentukannya, lebih menaruh perhatian dan
pemikiran pada rasa ketidakbahagiaan dan gangguan-gangguan psikis yang dialami oleh
manusia daripada menaruh perhatian pada faktor-faktor yang dapat mendukung dan
mendorong timbulnya positive functioning pada diri manusia (Diener, 1984; Jahoda, 1958
dalam Riff, 1989).
Hingga saat ini, terdapat 2 paradigma dan perspektif besar mengenai well-being
yang diturunkan dari dua pandangan filsafat yang berbeda. Pandangan yang pertama,
disebut hedonic, memandang bahwa tujuan hidup yang utama adalah mendapatkan
kenikmatan yang optimal, atau dengan kata lain mencapai kebahagiaan. Pandangan yang
kedua, eudaimonic, menformulasikan well-being dalam konsep aktualisasi potensi manusia
dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Konsepsi well-being dalam pandangan
eudamonic berfokus pada realisasi diri, ekspresi diri, dan sejauh mana seorang individu
mampu mengaktualisasikan potensi dirinya.
Aktivitas eudaimonic yang dimaksud terlihat dalam penelitian yang dilakukan oleh
Baumeister dan Leary (1995); Myers (2000); Lucas, Diener dan Suh (1996); serta Ryff dan
Singer (1998) bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup dirasakan lebih besar ketikan
individu mengalami pengalaman membina hubungan dengan orang lain dan merasa
menjadi bagian dari suatu kelompok tertentu (relatedness dan belongingness), dapat
menerima dirinya sendiri, dan memiliki makna dan tujuan dari hidup yang mereka jalani
(Steger, Kashdan & Oishi, 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Kasser dan Ryan (1993, 1996); Oishi, Diener, Suh,
dan Lucas (1999); Ryan et al. (1999); Sheldon & Kasser (1995); Sheldon, Ryan, Deci, dan
Kasser (2004) menunjukkan bahwa mengejar dan mencapai sebuah tujuan yang paling
kongruen dengan nilai dan keyakinan diri berkontribusi dalam meningkatkan well-being
(Steger, Kashdan & Oishi, 2007). Selain itu, Sheldon dan Elliot (1999) menemukan bahwa
dan menciptakan hubungan yang baik dengan orang lain juga berpotensi untuk
meningkatkan well-being (Steger, Kashdan & Oishi, 2007).
2.1.2. Definisi well-being
Well-being merupakan suatu keadaan mental, intelektual, dan kematangan
psikologis (Andrews, 2006). Well-being diasosiasikan melalui pengalaman sebelumnya,
kesenangan, kebahagiaan, pengalaman spritual, dan personalisasi yang berkelanjutan.
Sementara Brough (2005) menyatakan bahwa psychological well being mencakup fungsi
mental untuk jangka pendek dan juga jangka panjang, terdiri dari afek positif dan moral
serta afek negatif seperti kecemasan, depresi dan fatigue.
Ryff dan Keyes (1995) memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai
well-being dalam pendapatnya yang tercantum pada kutipan berikut:
Comprehensive accounts of psychological well being need to probe people’s sense of whether their lives have purpose, they are realizing their given potential, what is the quality of their ties to others, and if they feel in charge of thir own lives Ryff & Keyes, 1995
Berdasarkan kutipan diatas, dapat disimpulkan bahwa Ryff dan Keyes (1995)
memandang well-being berdasarkan sejauh mana seorang individu memiliki tujuan dalam
hidupnya, apakah mereka menyadari potensi-potensi yang dimiliki, kualitas hubungannya
dengan orang lain, dan sejauh mana mereka merasa bertanggung jawab dengan hidupnya
sendiri.
Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa well-being
merupakan kondisi dimana individu memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan orang
lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, memiliki
tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih bermakna serta berusaha mengembangkan
dirinya.
2.1.3. Dimensi-dimensi well-being
Enam dimensi well-being yang dirumuskan oleh Ryff (dalam Ryff, 1989; Ryff dan
Keyes, 1995), yaitu:
Self-accptance berkaitan dengan penerimaan diri individu pada masa kini dan masa
lalunya. Seorang individu dikatakan memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi
penerimaan diri bila ia memiliki sikap yang positif terhadap dirinya sendiri,
menghargai dan menerima berbagai aspek yang ada pada dirinya, baik kualitas diri
yang baik maupun buruk. Sebaliknya, seseorang dikatakan memiliki nilai yang rendah
dalam dimensi penerimaan diri apabila ia merasa kurang puas terhadap dirinya sendiri,
merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupannya, dan berharap
menjadi orang yang berbeda dari dirinya sendiri.
2. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)
Individu yang memiliki hubungan yang positif dengan orang lain mampu membina
hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dengan orang lain. Selain itu, individu
tersebut memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan
empati, afeksi dan intimitas serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam
hubungan pribadi. Sementara seseorang yang kurang baik dalam dimensi hubungan
positif dengan orang lain ditandai dengan tingkah laku yang tertutup dalam
berhubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat, peduli dan terbuka
dengan orang lain, terisolasi dan merasa frustrasi dalam membina hubungan
interpersonal, serta tidak berkeinginan untuk berkompromi.
3. Otonomi (autonomy)
Ciri utama dari seorang individu yang memiliki otonomi yang baik antara lain dapat
menentukan segala sesuatu seorang diri (self-determining) dan mandiri. Ia mampu
mengambil keputusan tanpa tekanan dan campur tangan dari orang lain
4. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)
Seseorang yang baik dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan
kompetensi dalam mengatur lingkungan. Ia dapat mengendalikan berbagai aktivitas
eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi
kehidupan sehari-hari
5. Tujuan hidup (purpose in life)
Seseorang yang memiliki nilai tinggi dalam dimendi tujuan hidup memiliki rasa
masa kini, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup, serta memiliki tujuan
dan target yang ingin dicapai dalam hidup
6. Pertumbuhan pribadi (personal growth)
Seseorang yang memiliki pertumbuhan pribadi yang baik ditandai dengan adanya
perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang
diri sendiri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap
pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri
yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya
setiap waktu, serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki
pengetahuan yang bertambah.
2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi well-being
Beberapa faktor yang mempengaruhi well-being seseorang antara lain (Ryff, 1989;
Ryff & Keyes, 1995):
1. Usia
Dalam penelitiannya, Riff dan Keyes (1995) menemukan bahwa dimensi penguasaan
lingkungan dan dimensi otonomi mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia,
terutama dari dewasa muda hingga dewasa madya. Dimensi hubungan positif dengan
orang lain juga mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia. Sementara dimensi
tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi memperlihatkan penurunan seiring
bertambahnya usia, penurunan ini terutama terjadi pada dewasa madya hingga dewasa
akhir.
2. Jenis Kelamin
Penelitian Ryff (dalam Riff & Keyes, 1995) menemukan bahwa dibandingkan pria,
wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan
orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi.
Perbedaan kelas sosial juga mempengaruhi kondisi well-being individu. Individu yang
menempati kelas sosial yang tinggi memiliki perasaan yang lebih positif terhadap diri
sendiri serta memiliki keterarahan dalam hidup.
4. Budaya
Penelitian mengenai well-being yang dilakukan di Amerika dan Korea Selatan
menunjukkan bahwa responden di Korea Selatan memiliki skor yang lebih tinggi pada
dimensi hubungan positif dengan orang lain dan skor yang rendah pada dimensi
penerimaan diri. Hal ini disebabkan oleh orientasi budaya yang lebih bersifat kolektif
dan saling ketergantungan. Sebaliknya responden Amerika memiliki skor yang tinggi
dalam dimensi pertumbuhan pribadi (untuk responden wanita) dan dimensi tujuan
hidup (untuk responden pria), serta memiliki skor yang rendah dalam dimensi otonomi,
baik pria maupun wanita (Ryff, 1994).
2.2. Kepuasan Kerja
Pengertian kepuasan kerja telah banyak dikemukakan oleh para ahli, diantaranya
adalah Smith, Kendall dan Hullin (dalam Luthans, 1998) menyatakan kepuasan kerja
sebagai perasaan yang menyenangkan terhadap pekerjaan.
Licke (dalam Luthans, 1998) mendefenisikan kepuasan kerja sebagai:
a pleasureable or positive emotional state resulting from the appraisal of one’s job or job experience
Sementara Davis dan Newstro (1997) menyatakan kepuasan kerja sebagai perasaan
menyenangkan dan tidak menyenangkan yang dialami pekerja dalam pekerjaannya.
2.2.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepuasan Kerja
Wexley & Yulk (1984) menyatakan ada 3 faktor yang mempengaruhi pembentukan
kepuasan kerja yaitu:
a. Needs
Needs diartikan sebagai instrumen dalam pekerjaan yang digunakan pekerja untuk
memenuhi kebutuhan misalnya pengalaman kerja, usaha yang dicurahkan, kondisi kerja,
dikenal oleh atasannya oleh karena keahliannya dan menjadi bagian dari kelompok pekerja
lainnya
b. Values
Values diartikan sebagai kepercayaan individu tentang perilaku yang benar atau salah
serta hal yang diinginkan dan tidak diinginkan dalam memperoleh tujuan hidupnya. Values
mempengaruhi sikap pekerja terhadap jenis dan isi pekerjaannya
c. Personality trait
Personality trait adalah variabel-variabel dalam kepribadian individu yang
mempengaruhi aspirasi dan kesukaan terhadap pekerjaan. Contohnya. self esteem, self
monitoring dan locus of control.
2.2.2. Aspek-aspek di dalam kepuasan kerja
Smith, Kendall dan Hullin (dalam Luthans, 1998) menyebutkan 5 aspek kepuasan
kerja yaitu upah, pekerjaan itu sendiri, kesempatan promosi, pengawasan dan rekan
sekerja.
a. Upah
Upah yaitu jumlah uang yang diterima dan upah yang dianggap wajar. Gaji dan insentif
yang diterima pekerja adalah faktor yang sangat penting dalam perusahaan. Diasumsikan
uang tidak hanya membantu pekerja untuk memenuhi kebutuhan dasar saja tetapi juga
dapat merefleksikan seberapa adil perusahaan menilai kontribusi mereka dalam bekerja
b. Pekerjaan itu sendiri
Pekerjaan itu sendiri yaitu keadaan dimana tugas pekerjaan dianggap menarik,
memberikan kesempatan bertanggungjawab dan belajar. Feedbeck dan kemandirian
adalah faktor utama yang berhubungan dengan motivasi. Penelitian menunjukkan pekerja
mengalami kepuasan kerja apabila pekerjaan dianggap menarik, memberikan kesempatan
bertanggung jawab dan pekerjaan dinilai tidak membosankan
Kesempatan promosi yaitu tersedianya kesempatan untuk maju. Perusahaan
memberikan kesempatan promosi yang sama pada setiap pekerja dan dipilih pekerja yang
memiliki kemampuan yang paling baik.
d. Pengawasan
Pengawasan yaitu kemampuan supervisor untuk menunjukkan minat dan perhatian
terhadap pekerja. Ada dua dimensi pengawasan yaitu employee centeredness dan
participation atau influence. Employee centered yaitu pengawasan yang diukur melalui
kesejahteraan pekerja tanpa melibatkan pekerja dalam pengambilan keputusan dan
participation dimana supervisor melibatkan pekerja dalam mengambil suatu keputusan.
5. Rekan sekerja
Rekan sekerja yaitu keadaan dimana rekan sekerja menunjukkan sikap bersahabat dan
menolong. Pekerja harus mampu memberntuk tim yang solid sehingga dari tim karyawan
dapat memperoleh dukungan, kenyamanan dan bantuan dari pekerja lainnya.
2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual
Kebahagiaan mempunyai arti yang abstrak bagi masing-masing individu dan
ternyata hingga saat ini masih terdapat berbagai macam pandangan mengenai
kebahagiaan. Secara umum kebahagiaan merupakan penilaian menyeluruh seseorang atas
kehidupannya yang meliputi aspek afektif dan kognitif (Galati, Manzano & Sotgiu, 2006).
Diener, Scollon, dan Lucas (2003) menyebut kebahagiaan identik dengan subjective
well-being (SWB) dan lebih memilih untuk memakai istilah SWB karena lebih menekankan pada
penilaian individu sendiri dan bukanlah hasil dari penilaian ahli. Menurut Diener, Scollon,
dan Lucas (2003) SWB itu sendiri terdiri dari beberapa komponen penting, yaitu adanya
afek positif, ketiadaannya afek negatif, kepuasan hidup dan domain kepuasan. Keempat
komponen tersbut dapat digolongkan menjadi aspek afektif dan kognitif. Komponen afektif
menyatakan seberapa sering individu merasakan afeksi positif dan negatif, sedangkan
komponen kognitif merupakan penilaian individu atas hidupnya secara menyeluruh atau
yang disebut sebagai kepuasan hidup.
Selain itu, Luthans (2005) juga menyatakan bahwa kepuasan kerja yang dirasakan
tersebut. Karyawan yang mengalami kepuasan dalam bekerja, akan merasa lebih senang
dan giat bekerja. Rasa puas yang dirasakan dalam bekerja akan menimbulkan well-being
pada karyawan tersebut.
Figur 1. Kerangka Konseptual
III. METODE PENELITIAN
3.1. Identifikasi Variabel Penelitian
Penelitian ini mengukur beberapa variabel penelitian antara lain:
3.1.1. Variabel bebas: Kepuasan kerja
3.1.2. Variabel terikat: well-being
3.2. Definisi Operasional
Definisi kepuasan kerja adalah sikap seseorang pada saat melakukan penilaian
terhadap pekerjaannya dalam perusahaan. Kepuasan kerja karyawan diukur
menggunakan skala kepuasan kerja berdasarkan aspek-aspek di dalam kepuasan kerja
yang dikemukakan oleh Smith, Kendal dan Hullin (dalam Luthans, 1998). Adapun aspek –
aspek kepuasan kerja meliputi upah, pekerjaan itu sendiri, pengawasan, kesempatan
promosi dan rekan sekerja. Data kepuasan kerja ini diungkap melalui skala kepuasan kerja
yang disusun berdasarkan skala Likert yang terdiri dari empat pilihan (1=sangat tidak
setuju, 6= sangat setuju). Skor total merupakan petunjuk tinggi rendahnya kepuasan
kerja, semakin tinggi skor yang dicapai seseorang mengidentifikasikan semakin puas
karyawan tersebut dengan pekerjaannya.
Definisi well-being (Riff, 1995) dijelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi
psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan
kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif
dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan dan
terus bertumbuh secara personal.
3.3. Operasionalisasi Konstruk
Skala Kepuasan Kerja diukur menggunakan skala kepuasan kerja berdasarkan
aspek-aspek di dalam kepuasan kerja yang dikemukakan oleh Smith, Kendal dan Hullin (dalam
Luthans, 1998) berdasarkan aspek – aspek kepuasan kerja meliputi upah, pekerjaan itu
sendiri, pengawasan, kesempatan promosi dan rekan sekerja.
Skala well-being dikembangkan berdasarkan dimensi well-being dari Riff (1989) yaitu
Penerimaan diri, Hubungan positif dengan orang lain, Tujuan hidup, Pertumbuhan pribadi,
Penguasaan lingkungan dan otonomi. Alat ukur yang digunakan adalah The Scale of
Psychological Well-being (SPWB) yang dikonstruksi oleh Ryff (1989).
Populasi adalah seluruh subjek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi dibatasi
sebagai jumlah penduduk atau subjek paling sediki memiliki sifat yang sama (Hadi, 2004).
Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah karyawan yang bekerja di perusahaan
di wilayah Medan, Sumatera Utara yaitu PT. Intan Havea Industry, di Jalan Pulau Irian
KIM 1 Mabar, Medan. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 108 orang karyawan.
3.4.1. Karakteristik responden
Berdasarkan pemikiran yang telah dijabarkan pada sub bab sebelumnya, maka
karakteristik dari responden yang dapat mengikuti penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Telah bekerja minimal 2 tahun
b. Usia minimal 25 tahun (Seperti yang telah diutarakan pada bab sebelumnya
bahwa kebahagiaan seseorang tidaklah dipengaruhi oleh faktor usia (Argyle,
1999; Carr, 2004; Eddington & Shuman, 2005).
3.5. Teknik Pengambilan Sampel
Sampling merupakan pengambilan porsi dari populasi sebagai perwakilan dari
populasi (Kerlinger dan Lee, 2000). Teknik pengambilan sampel yang dilakukan termasuk
dalam non-random/non-probability sampling di mana seluruh individu di dalam populasi
tidak memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel (Kerlinger dan Lee, 2000).
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quota sampling. Quota sampling
adalah cara untuk menetapkan sampel berdasarkan jatahnya sesuai dengan maksud dan
kapasitas yang dimungkinkan oleh peneliti. (Kumar, 1999).
3.6. Pengumpulan data
Pada penelitian ini data diambil dengan memakai instrumen kuesioner yang terdiri
dari dua bagian. Bagian pertama merupakan serangkaian pertanyaan mengenai
demografi responden seperti usia, jenis kelamin, jumlah anak, pendidikan terakhir, dan
masa kerja. Sedangkan pada bagian kedua terdiri dari dua bagian yang berisi
pernyataan-pernyataan mengenai variabel yang akan diteliti, yaitu Kepuasan Kerja dan well-being.
Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai metode untuk mengumpulkan data.
Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang harus dijawab oleh subjek dengan
menuliskan atau menandai jawaban yang dianggap tepat (Kumar, 1999). Peneliti memilih
kuesioner sebagai alat pengumpul data karena biayanya relatif mudah dan dapat
menjangkau subjek yang banyak dalam waktu singkat. Kuesioner juga memungkinkan
peneliti untuk menjaga anonimitas subjek, karena tidak semua subjek merasa aman dan
nyaman untuk membagi informasi yang mereka tulis di kuesioner tersebut. Selain itu,
kuesioner dapat menghindari interviewer bias, seperti kualitas interviewer, kualitas
interaksi, dan lain-lain (Kumar, 1999).
Kumar (1999) menyatakan bahwa kuesioner juga memiliki beberapa kelemahan,
antara lain: kuesioner hanya dapat diaplikasikan pada populasi yang dapat membaca dan
menulis, respon pengembalian yang rendah terutama bila diberikan secara individual,
subjek tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan klarifikasi dari pernyataan yang
tidak dimengerti oleh mereka, subjek memiliki cukup banyak waktu untuk berefleksi
sebelum memberikan jawaban, respon terhadap sebuah pertanyaan dapat dipengaruhi
oleh respon terhadap pertanyaan lain, subjek memiliki kemungkinan untuk berkonsultasi
dengan orang lain, jawaban yang diberikan oleh subjek tidak dapat ditambahkan dengan
informasi lain (Kumar, 1999).
3.6.1. Prosedur penelitian
Setelah melakukan persiapan (studi literatur, penetapan variabel, model penelitian,
pemilihan alat ukur dan penyusunan kuesioner), dilakukan uji coba alat ukur kepada 50
orang subjek yang sesuai dengan kriteria sampling untuk menguji validitas dan reliabilitas
alat ukur. Selanjutnya dilakukan uji normalitas untuk menentukan analisis statistik yang
digunakan. Apabila uji normalitas tercapai maka metode analisis regresi berganda akan
digunakan untuk menguji hipotesis.
Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Januari 2015 di PT. Intan Havea
Industry, KIM 1, Mabar, Medan.
3.7. Metode Pengolahan dan Analisis Data
3.7.1. Pengujian Validitas
Uji validitas dilakukan dengan mengukur korelasi Pearson’s Product Moment antara
variabel atau indikator dengan skor total variabel. Pengujian validitas dilakukan dengan
melihat nilai corrected item-total correlation. Apabila lebih besar dari 0.3 maka dianggap
bahwa indikator yang digunakan pada penelitian ini valid.
3.7.2. Pengujian Reliabilitas
Pada penelitian ini uji reliabilitas ini dilakukan dengan menggunakan teknik analisis
Cronbach Alpha. Menurut Kaplan dan Saccuzzo (1989) alat ukur yang konsisten dan akurat
memiliki alpha yang berkisar antara 0,70 – 0,80.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. HASIL
4.1.2. HASIL ANALISA REGRESI BERGANDA
Dari pengolahan data dengan menggunakan tekni k analisa regresi berganda,
terdapat beberapa informasi diperoleh. Dari tabel ANOVA berikut dapat dilihat bahwa
analisis varians menghasilkan angka F sebesar 13.034 dengan tingkat signifikansi 0.00.
Karena angka probabilitas 0.00 < 0.05, maka model regresi ini layak untuk digunakan
Tabel 4.1
ANOVAb
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1 Regression 4639.577 1 4639.577 13.034 .000a
Residual 37732.970 106 355.971
Total 42372.546 107
a. Predictors: (Constant), kep kerja
b. Dependent Variable: wellbeing
Selanjutnya dari analisis regresi berganda diperoleh nilai R sebesar 0.331. Dengan
nilai R tersebut, menunjukkan bahwa variabel bebas yaitu kepuasan kerja memiliki
keeratan hubungan dengan wellbeing karyawan sebesar koefisien korelasi (r) = 0.331.
Besaran koefisien determinasi (r2)= 0.109 yang berarti bahwa 10% dari wellbeing dapat
dipengaruhi oleh Kepuasan kerja. Sisanya sebesar 90% dapat dijelaskan oleh faktor-faktor
lainnya.
a. Predictors: (Constant), kepuasan kerja
b. Dependent Variable: wellbeing
Tabel 4.2. Skor Kepuasan Kerja
Rumus Kategori Jumlah orang Persentil %
mean + st. deviation = 238.793 Tinggi 24 orang 22
(mean- st. deviation) -(mean + st. deviation) = 177.987 – 238.792
Sedang 70 orang 64
< mean – st. deviation = 177.987 Rendah 14 orang 12
Jumlah Subjek 108 orang
Ket: Kepuasan kerja PT. Intan Havea Industry berada pada level sedang.
Tabel 4.3. Skor Wellbeing
Rumus Kategori Jumlah orang Persentil %
(mean- st. deviation) -(mean + st. deviation) = 194.16- 233.96
Sedang 69 orang 63
< mean – st. deviation = 194.16 Rendah 22 orang 20
Jumlah Subjek 108 orang
Ket: Well-being karyawan PT. Intan Havea Industry berada pada level sedang.
4.2 Pembahasan
Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh informasi mengenai pengaruh
kepuasan kerja terhadap well-being karyawan. Variabel yang diduga mempengaruhi
well-being karyawan adalah kepuasan kerja.
Selanjutnya dari analisis regresi berganda diperoleh nilai R sebesar 0.331. Dengan
nilai R tersebut, menunjukkan bahwa variabel bebas yaitu kepuasan kerja memiliki
keeratan hubungan dengan wellbeing karyawan sebesar koefisien korelasi (r) = 0.331.
Koefisien korelasi (r) sebesar 0.331 dengan p=0.000 (p<0.01) menunjukkan adanya
hubungan antara kedua variabel, hasil penelitian juga menunjukkan adanya hubungan
positif antara kepuasan kerja dengan wellbeing karyawan, dimana semakin tinggi
kepuasan kerja maka semakin tinggi pula wellbeing karyawan, begitu juga sebaliknya.
Dengan demikian, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima.
Hal tersebut diatas sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa
kepuasan kerja memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap tingkat wellbeing
karyawan. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan yang positif antara kepuasan
kerja dengan kesejahteraan subjektif. Judge dan Locke (dalam Russel, 2008) menemukan
hubungan saling mempengaruhi antara kepuasan kerja dengan kesejahteraan subjektif
pada perawat. Penyebabnya adalah kesejahteraan yang dirasakan oleh individu
mempengaruhi mereka dalam mengumpulkan dan merecall informasi tentang pekerjaan
mereka. Individu yang bahagia cenderung menyimpan, mengevaluasi, dan merecall
informasi dengan cara yang berbeda dibanding dengan individu yang tidak bahagia. Di sisi
lain, kepuasan kerja juga mempengaruhi tingkat kesejahteraan seseorang karena pekerjaan
adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan seseorang dan mereka
Berdasarkan hasil korelasi antara variabel bebas dengan wellbeing, diketahui
bahwa variabel kepuasan kerja berhubungan positif dengan wellbeing karyawan.
Berdasarkan hasil analisis korelasi dapat diketahui bahwa kepuasan kerja memberikan
kontribusi sebesar 10% terhadap well-being karyawan. Sisanya sebesar 90% dipengaruhi
oleh faktor lain yaitu faktor demografi (status pernikahan, jenis kelamin dan pendapatan,
kepribadian, dukungan sosial, dan pengalaman hidup.
PT. Intan Havea Industry merupakan salah satu perusahaan yang menerapkan
praktik hubungan kerja kontrak sesuai dengan Pasal 59 UU No.13 Tahun 2003, yang
menyatakan bahwa apabila suatu pekerjaan berhubungan dengan produk baru, kegiatan
baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan maka penggunaan tenaga kerja
kontrak dapat dilakukan. PT. Intan Havea Industry saat ini memproduksi sarung tangan
dan proses produksinya dominan ditangani oleh karyawan kontrak, yakni sebesar 55%.
Bekerja merupakan salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dengan
demikian, karyawan tidak akan menolak untuk bekerja, walaupun berada dalam status
karyawan kontrak, selama mereka masih mendapatkan gaji untuk memenuhi
kebutuhannya.
Karyawan di PT. Intan Havea Industry bekerja bergantian berdasarkan system shift,
dengan demikian sistem kerja tersebut akan berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan
wellbeing karyawan tersebut. Variabel kepuasan kerja dan wellbeing berada pada level
sedang, tidak dalam kondisi yang ideal. Untuk menaikkan tingkat wellbeing dari
karyawan maka upaya yang dilakukan adalah fokus pada mengubah persepsi, keyakinan
dan sifat kepribadian seseorang. Dimana sifat kepribadian yang dimaksud adalah
mengubah temperamen dan emosi pribadi secara bertahap menjadi lebih matang.
Individu dengan kepribadian ekstravert akan tertarik pada hal-hal yang terjadi di
luar dirinya, seperti lingkungan fisik dan sosialnya. Penelitian Diener dkk. (1999)
mendapatkan bahwa kepribadian ekstavert secara signifikan akan memprediksi terjadinya
kesejahteraan individual. Orang-orang dengan kepribadian ekstravert biasanya memiliki
teman dan relasi sosial yang lebih banyak, merekapun memiliki sensitivitas yang lebih
besar mengenai penghargaan positif pada orang lain (Compton, 2005)
Campbell (dalam Compton, 2000) menyatakan bahwa kepribadian secara khusus
menyebabkan seseorang memiliki kontrol yang baik terhadap rasa marah, mempunyai
hubungan yang intim dan baik dengan orang lain, serta kapasitas produktif dalam
pekerjaan. Hal ini akan menolong individu untuk mengembangkan kemampuan hubungan
interpersonal yang baik dan menciptakan kepribadian yang sehat
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Terdapat hubungan positif antara kepuasan kerja dengan wellbeing karyawan di PT.
Intan Havea Industry, yang berarti bahwa semakin tinggi kepuasan kerja maka
akan semakin tinggi pula wellbeing karyawan, begitu juga sebaliknya
2. Kepuasan kerja karyawan di PT. Intan Havea Industry berada pada level sedang,
sementara tingkat wellbeing karyawan berada pada level sedang pula
3. Berdasarkan hasil analisis R Square sebesar 0.109, maka dapat disimpulkan
persentase kontribusi kepuasan kerja terhadap wellbeing karyawan sebesar 10%
5.2. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan, maka saran yang dapat diberikan
oleh peneliti adalah sebagai berikut:
1. Perusahaan
Perusahaan dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai bahan pertimbangan
dalam usaha pengembangan perusahaan di masa mendatang dengan memberikan
fokus lebih besar kepada kepuasan dan wellbeing karyawan. Meningkatkan
kepuasan dan wellbeing karyawan akan meningkatkan efisiensi biaya perusahaan
dan meningkatkan produktivitas dengan cara yang lebih murah
2. Kepada peneliti selanjutnya.
Peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian longitudinal terkait
pada faktor lain seperti faktor demografis, harga diri, dukungan sosial ataupun
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian, Edisi Ervisi. Malang: UMM Press
Avey, James B, Luthans, Fred, Smith, Ronda. 2010. Impact of positive Psychological Capital on Employee Well-Being Over Time. Management Department Faculty Publications.
Baptiste, Nicole Renee 2007. Tighteing the Link between Employee Well-being and Performance: A nes Dimension for HRM, Management Decision. Vol 46. No.2.
Bandura, A. 1997. Self-efficacy: The exercise of control. New York: Freeman and Company.
Brough, P. 2005. A comparative investigation of the predictors of work- related psychological well-being within police, fire and ambulance workers. New Zealand Journal of Psychology.
Compton, W.C. 2005. Introduction to Positive Psychology. New York: Thomson Wodsworth.
Cetin, Fatih. 2011. The Effects of the Organizational Psychological Capital on the Attitudes of Commitment and Satisfaction: A Public Sample in Turkey. Europeam Journal of Social Sciences.
Chow, H., P.H. 2007. Psychological wellbeing and scholastic achievement among university
students in a canadian prairie city. Social Psychol Educ 10, 483–493. Juli 2009, 12.
Diener, E. 1984. Subjective well-being. Psychological Bulletin, 95, 542-575.
Diener, Suh,& Oishi. 1997. Recent Findings on Subjective Well-Being. Indian Journal of Clinical Psychology, March 1997. @www.psych.uiuc.edu
Diener, Suh & Smith. 1999. Subjective Well-Being: Three Decades of Progress. Psychological Bulletin by The American Association Association, Inc. Vol 125.No.2. 276- 302
Diener, Biswas- Diener, Tamir. 2004. The psychology of Subjective Well-Being. Daedalus; Spring 2004;133,2; Academic Research Library, pg 18. @www.psych.uiuc.edu
Galati, D., Manzano, M., Sotgiu, I. 2006. The subjective components of happiness and their
attainment: A cross-cultural comparison between Italy and Cuba. Social Science
Information. 45, 4.
Jimenez, Moreno, et al. 2008. Effect of work-family conflict on employess’s well-being: The moderating role of recovery experiences. IE Business School Working Paper. CO8-119-1, 01-04-2008
Kumar, R. 1999. Research methodology: A step-by-step guide for beginners. London: Sage Publications.
Luthans, Fred. 2002. Positive Organizational Behavior : Developing and Managing Psychological Strength. Academy of Management Executive.
Luthans, Fred.Avolio, Bruce J.,Fred O. Walumbwa, and weixing Li. 2005. The Psychological Capital if Chinese Workers: Exploring the Relationship with Performance. Management and Organizational Review.
Luthans, Fred,. Youseff, Carolyn M. 2007. Psychological Capital: Developing the Human Competitive Edge, Oxford, UK: Oxford University Press
Luthans, Fred, Norman, M.Steven, Bruce J. Avolio and, James B. Avey. 2008. The Mediating Role of Psychological Capital in the Supportive Organizational Climate Employee Performance Relationship. Journal of Organizational Behavior
Perez, A. Jeannie. 2012. Gender difference in Psychological Well-Being among Filipino College Student Samples. International Journal of Humanities and Social Sciences. Vol.2.No.13; July 2012.
Pavot & Diener. 2004. The Subjective Evaluation of Well-Being in Adulthood; Findings and Implication. Ageing International, Spring 2004, Vol 29. No.22. pg 113 - 135
Peterson, Suzannne J., Luthans, Fred, James B. Avolio, Fred O. Walumnwa dan Zhen Zhang. 2011. Psychological Capital and Employee Performance: A Latent Growth
Russell, J.E.A. 2008. Promoting Subjective Well-Being at Work. Journal of Career Assessment, 16: 118-132
Ryff, D. 1989. Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of Psychological Well-being. Journal of personality and Social psychology. 57. 1069-1081
Ryff,C.D.& Keyes,C. 1995. The structure of psychological well-being revisited. Journal of
Personality and Social psychology, 69 (4), 719 – 727
Ryff,C.D.& Singer, B. 1998. The contours of positive hyman health. Psychological Inquiry, 9, 1-28
Sahu, F.M & Rath, Sangeeta. 2003. Self-efficacy and Wellbeing in Working and Non-working Women: The Moderating Role of Involvement. Sage Journals. Psychology & Developing Societies. September 2003 15: 187-200,
Snyder, C.R., Harris, Cheri, John R. Anderson, Sharon A. Holleran, Lori M. Irving, Sandra T. Sigmon, Lauren Yoshinobu, June Gibb, Charyle Langelle dan Pat Harney. 1991. The Will and the Ways: Development and Validation of an Individual Differences Measure of Hope. Journal of Personality and Social Psychology.
Stajkovic, Alexander D, and Luthans, Fred. 1998. Social Cognitive Theory and Self Efficacy: Going Beyond Traditional Motivational and Behavioral Approaches, Organizational Dynamics.
Van Hoorn, A. 2007. A short introduction to subjective well-being: Its measurement, correlates and policy uses. January 28, 2009. ABI/INFORM Global (Proquest) database.
Yuehua & Shanggui. 2004. A study on general self-efficacy and subjective well-being of low SES-college students in a Chinese university. College Student Journal. Vol 38. Issue 4. Des 2004.