• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untitled Document

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Untitled Document"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

JURNAL FAKULTAS

PSIKOLOGI UNIVERSITAS

HKBP NOMMENSEN

JURNAL FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN Volume 1 Nomor 1 September 2015

Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar: Suatu Studi eksploratif pada mahasiswa Universitas HKBP Nommensen

Asina Christina Rosito, S.Psi, M.Sc

Mengenali Adhd (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) Dan Penanganannya Pada Anak Sejak Dini

Ervina Marimbun Rosmaida Siahaan, M.Psi, Psikolog

Orang Tua Sebagai Model Utama Bagi Perilaku Makan Sehat Pada Anak-Anak Nancy Naomi G.P. Aritonang, M.Psi, Psikolog

Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Well-being Karyawan in Pt. Intan Havea Industry, Medan

Nenny Ika Putri Simarmata, M.Psi, Psikolog

Perbedaan Sikap Jemaat Laki-laki dan perempuan Terhadap Efektivitas kepemimpinan pendeta perempuan di gereja batak karo protestan

Karina M. Brahmana, M.Psi, Psikolog

Gambaran Kecerdasan Spiritual (SQ) Mahasiswa Tingkat Akhir Universitas HKBP Nommensen Medan

Togi Fitri Afriani Ambarita, M.Psi, Psikolog

M A J A L A H I L M I A H

F A K U L T A S P S I K O L O G I - U N I V E R S I T A S H K B P N O M M E N S E N

(3)

JURNAL FAKULTAS PSIKOLOGI

Majalah Ilmiah Fakultas Psikologi Universitas HKBP Nommensen

Izin Penerbitan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia No. ISSN : 2460-7835

Penerbit : Universitas HKBP Nommensen Penasehat : Rektor, Dr.Ir. Sabam Malau Penanggungjawab : Dekan Fakultas Psikologi, Karina M. Brahmana, M.Psi Mitra Bestari : 1. Prof. Dr. Frieda Simangunsong, M.Ed

2. Drs. Aman Simaremare, MS 3. Prof. Dr. Albiner Siagian

Ketua Dewan Redaksi : Nenny Ika Putri, M.Psi Redaksi Pelaksana : 1. Nancy Naomi Aritonang, M.Psi

2. Hotpascaman Simbolon, M.Psi Anggota Dewan Redaksi : 1. Asina Christina Rosito, S.Psi, M.Sc

2. Togi Fitri A.Ambarita, M.Psi 3. Freddy Butarbutar, M.Psi

4. Ervina Sectioresti, M.Psi

5. Ervina Marimbun Siahaan, M.Psi 6. Karina M.Brahmana, M.Psi

Tata Usaha : 1. KTU, Marisi Pangaribuan, SE 2. Sondang Simanjuntak

Majalah ini terbit dua kali setahun : September dan Maret Biaya langganan satu tahun untuk wilayah Indonesia

Rp. 30.000,- dan US$5 untuk pelanggan luar negeri (tidak termasuk ongkos kirim) Biaya langganan dikirim dengan pos wesel, yang ditujukan kepada Pimpinan Redaksi

Petunjuk penulisan naskah dicantumkan pada halaman dalam Sampul di belakang majalah ini

(4)

JURNAL

Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar: Suatu Studi eksploratif pada mahasiswa Universitas HKBP Nommensen

Asina Rosito, S.Psi, M.Sc

Mengenali ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) Dan Penanganannya Pada Anak Sejak Dini

Ervina Marimbun Rosmaida Siahaan, M.Psi, Psikolog

Orang Tua Sebagai Model Utama Bagi Perilaku Makan Sehat Pada Anak-Anak Nancy Naomi GP Aritonang, M.Psi, Psikolog

Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Well-being Karyawan in Pt. Intan Havea Industry, Medan

Nenny Ika Simarmata, M.Psi, Psikolog

Perbedaan Sikap Jemaat Laki-laki dan perempuan Terhadap Efektivitas kepemimpinan pendeta perempuan di gereja batak karo protestan

Karina M Brahmana, M.Psi, Psikolog

(5)

PENGARUH KEPUASAN KERJA TERHADAP

WELL-BEING

KARYAWAN IN

Medan. The paper also studies wellbeing and job satisfaction levels in PT. Intan Havea Industry. Job Satisfaction was measured by the aspect from Smith, Kendal and Hullin (Luthans, 1998) and wellbeing was measured by the aspect from Riff (1989). Partisipant in this study were 108 employees in PT. Intan Havea Industry. There are two findings. First, result of correlation analysis showed that there is a positive relationship between job satisfaction and employee wellbeing. Second, the job satisfaction and wellbeing of

Semua orang menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Aristoteles (dalam Bertens,

1993) menyebutkan bahwa kebahagiaan merupakan tujuan utama dari eksistensi manusia

di dunia. Kebahagiaan itu sendiri dapat dicapai dengan terpenuhinya kebutuhan hidup dan

ada banyak cara yang ditempuh oleh masing-masing individu. Orang bekerja untuk

memperoleh penghasilan dan pencapaian karier. Kebahagiaan dapat diartikan sebagai

sebuah penilaian menyeluruh tentang kehidupan secara lengkap, yang meliputi aspek

kognitif dan afektif (Galati, Manzano & Sotgiu, 2006).

Aristotles dalam bukunya Nicomachean Ethic (1947 dalam Ryff, 1989)

menggambarkan kebahagiaan sebagai the highest of all good achievable, something final

and self-sufficient, and is the end of action. Watt 6 mengemukakan bahwa pada

dasarnya, dimensi kebahagiaan berangkat dari perasaan tidak enak atau buruk sampai

pada perasaan baik, bisa juga dari ketidakpuasan sampai pada perasaan puas. Sedangkan,

(6)

psychological well-being. Psychological well-being dalam pembahasan selanjutnya akan

penulis gunakan sebagai istilah dalam menggambarkan kebahagiaan.

Kebahagiaan merupakan indikator adanya psychological well-being pada diri

seseorang (Ryff, 1989). Hal ini mengarah pada well being dimana seseorang dikatakan

sejahtera bila mengisi hidupnya dengan hal-hal yang bermakna, bertujuan, dan berguna

bagi kesejahteraan diri sendiri dan orang lain.

Van Hoorn (2007) secara spesifik menyebutkan bahwa well-being terdiri dari dua

komponen yang terpisah, yaitu bagian afektif yang merupakan evaluasi hedonis melalui

emosi dan perasaan, serta bagian kognitif yang merupakan informasi berdasarkan

penilaian seseorang akan harapannya terhadap kehidupan ideal. O’Connor 99

menyebutkan bahwa istilah kepuasan hidup dapat juga mengacu pada PWB yaitu

merupakan penilaian individual akan kebahagiaan atau kepuasan yang menggambarkan

penilaian global atas keseluruhan aspek dalam hidup seseorang.

Well-being yang rendah telah menjadi permasalahan yang mengglobal di abad 21 ini.

Hal ini turut dipengaruhi oleh kondisi perekonomian dan perkembangan gaya hidup.

well-being yang rendah akan mempengaruhi motivasi karyawan dalam bekerja. Kondisi ini

sangat merugikan pemerintah maupun sektor swasta. Bisa dibayangkan kerugian yang

akan ditanggung oleh perusahaan ketika karyawan mengalami sakit, bolos ataupun izin

tidak masuk kerja. Hal ini tentu saja dapat mempengaruhi produktivitas kerja karyawan

dan juga perusahaan.

Peran dari karyawan sebagai Sumber Daya Manusia di dalam perusahaan merupakan

aset yang sangat berharga dan memegang peranan penting dalam meningkatkan

produktivitas perusahaan. Karyawan yang memiliki well –being yang tinggi cenderung

akan menghasilkan performance yang baik, begitu juga sebaliknya. Pavot & Diener (2004)

menyebutkan bahwa well-being merupakan salah satu prediktor kualitas hidup individu

karena well-being mempengaruhi keberhasilan individu dalam berbagai domain

kehidupan. Individu dengan well-being yang tinggi akan merasa lebih percaya diri, dapat

menjalin hubungan sosial dengan lebih baik, serta menunjukkan performansi kerja yang

lebih baik. Selain itu dalam keadaan yang penuh tekanan, individu dengan well-being yang

tinggi dapat melakukan adaptasi dan coping yang lebih efektif terhadap keadaan tersebut

(7)

ini menjadi penting karena sebagai seorang pekerja, seorang karyawan seringkali dituntut

untuk tampil prima di dalam pekerjaannya, serta harus siap sedia jika perusahaan

menginginkan karyawan untuk bekerja melebihi batas waktu jam kerja (lembur).

Buker (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara performance individual dengan performance organisasi, sehingga dengan

demikian well-being seorang individu akan memiliki implikasi penting bagi organisasi

secara keseluruhan. Dengan kata lain, kondisi well-being yang baik akan menentukan

seberapa efektif seorang individu untuk memberikan kontribusi terhadap masyarakat dan

menjadi karyawan yang produktif di dalam perusahaan. Selain itu, kehadiran psychological

well-being dalam diri seseorang akan membuat ia mampu untuk menjalankan fungsi

psikologisnya dengan lebih baik, termasuk dalam hal bekerja dan pencapaian prestasi

(Chow, 2007).

Lebih lanjut disebutkan bahwa well-being juga turut memberikan pengaruh

terhadap kemiskinan dan kemandegan pengembangan suatu negara. Issue mengenai

minimnya well-being tidak hanya menjadi permasalahan di sektor kesehatan semata-mata,

tetapi juga di sektor lainnya. Pada saat ini dunia juga sedang bergerak dalam

pencapaian Millennium Development Goal, dimana well-being adalah salah satu agenda

yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan juga sektor swasta. Oleh karena itu,

meningkatkan well-being individu dan masyarakat menjadi sangat penting dan

membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah.

Penelitian mengenai well-being telah banyak dilakukan sejak tahun 1967. Wilson

(1967) dalam penelitiannya menyatakan bahwa usia, kesehatan, tingkat pendidikan,

pendapatan, ekstrovert, optimistik, status pernikahan, jenis kelamin menjadi faktor

pendorong kebahagiaan seorang individu. Hal ini sedikit berbeda dengan penelitian

Rodgers (1976) yang menemukan bahwa usia, pendapatan dan pendidikan tidak

memberikan pengaruh terhadap tingkat kebahagiaan (well-being) seseorang. Berikutnya,

Carr, Sousa & Lybormirsky (2001) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa orang

yang memiliki kepribadian ekstravert, optimis, harga diri tinggi dan locus of control

internal dilaporkan memiliki tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup yang lebih tinggi.

Sementara Perez, Jeannie (2012) dalam penelitiannya di Filipina menyatakan

(8)

aspek dibandingkan dengan partisipan laki-laki, yaitu dalam hal pengalaman spritual,

hubungan positif dengan orang lain serta tujuan hidup (purpose in life). Wilson (dalam

Diener, Suh & Smith,1999) menyimpulkan bahwa pribadi yang bahagia adalah pribadi

yang bahagia, sehat, berpendidikan tinggi, memiliki pendapatan yang tinggi, ekstrovert,

optimis, religius, telah menikah dan memiliki self esteem yang tinggi.

Kebanyakan orang menghabiskan lebih banyak waktunya di tempat kerja. Dengan

demikian, pemahaman mengenai well being di tempat kerja akan sangat membantu pihak

perusahaan maupun pekerja itu sendiri (Blanchflower & Oswald, 1999).

Luthans (2005) menyatakan bahwa kepuasan kerja yang dirasakan oleh karyawan

turut menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi well-being karyawan tersebut.

Karyawan yang mengalami kepuasan dalam bekerja maka, akan merasa lebih senang dan

giat bekerja. Rasa senang yang dirasakan dalam bekerja akan menimbulkan well-being

pada karyawan tersebut. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka peneliti ingin meneliti

lebih lanjut mengenai seberapa besar pengaruh kepuasan kerja terhadap well-being

karyawan.

1.2. Rumusan Masalah

Berikut merupakan pertanyaan penelitian yang akan menjadi panduan dalam

penelitian ini, yaitu: Bagaimanakah pengaruh Kepuasan Kerja terhadap well-being

karyawan?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini sangat penting dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui seberapa

besar pengaruh Kepuasan Kerja terhadap well-being karyawan.

1.4. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konseptual di atas maka hipotesis yang diajukan dalam

penelitian ini adalah: H1: Ada hubungan positif antara kepuasan kerja dengan well-being

(9)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Well-being

2.1.1. Perkembangan pemikiran well-being

Peningkatan minat dalam penelitian mengenai well-being didasari oleh kesadaran

bahwa ilmu psikologi, sejak awal pembentukannya, lebih menaruh perhatian dan

pemikiran pada rasa ketidakbahagiaan dan gangguan-gangguan psikis yang dialami oleh

manusia daripada menaruh perhatian pada faktor-faktor yang dapat mendukung dan

mendorong timbulnya positive functioning pada diri manusia (Diener, 1984; Jahoda, 1958

dalam Riff, 1989).

Hingga saat ini, terdapat 2 paradigma dan perspektif besar mengenai well-being

yang diturunkan dari dua pandangan filsafat yang berbeda. Pandangan yang pertama,

disebut hedonic, memandang bahwa tujuan hidup yang utama adalah mendapatkan

kenikmatan yang optimal, atau dengan kata lain mencapai kebahagiaan. Pandangan yang

kedua, eudaimonic, menformulasikan well-being dalam konsep aktualisasi potensi manusia

dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Konsepsi well-being dalam pandangan

eudamonic berfokus pada realisasi diri, ekspresi diri, dan sejauh mana seorang individu

mampu mengaktualisasikan potensi dirinya.

Aktivitas eudaimonic yang dimaksud terlihat dalam penelitian yang dilakukan oleh

Baumeister dan Leary (1995); Myers (2000); Lucas, Diener dan Suh (1996); serta Ryff dan

Singer (1998) bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup dirasakan lebih besar ketikan

individu mengalami pengalaman membina hubungan dengan orang lain dan merasa

menjadi bagian dari suatu kelompok tertentu (relatedness dan belongingness), dapat

menerima dirinya sendiri, dan memiliki makna dan tujuan dari hidup yang mereka jalani

(Steger, Kashdan & Oishi, 2007).

Penelitian yang dilakukan oleh Kasser dan Ryan (1993, 1996); Oishi, Diener, Suh,

dan Lucas (1999); Ryan et al. (1999); Sheldon & Kasser (1995); Sheldon, Ryan, Deci, dan

Kasser (2004) menunjukkan bahwa mengejar dan mencapai sebuah tujuan yang paling

kongruen dengan nilai dan keyakinan diri berkontribusi dalam meningkatkan well-being

(Steger, Kashdan & Oishi, 2007). Selain itu, Sheldon dan Elliot (1999) menemukan bahwa

(10)

dan menciptakan hubungan yang baik dengan orang lain juga berpotensi untuk

meningkatkan well-being (Steger, Kashdan & Oishi, 2007).

2.1.2. Definisi well-being

Well-being merupakan suatu keadaan mental, intelektual, dan kematangan

psikologis (Andrews, 2006). Well-being diasosiasikan melalui pengalaman sebelumnya,

kesenangan, kebahagiaan, pengalaman spritual, dan personalisasi yang berkelanjutan.

Sementara Brough (2005) menyatakan bahwa psychological well being mencakup fungsi

mental untuk jangka pendek dan juga jangka panjang, terdiri dari afek positif dan moral

serta afek negatif seperti kecemasan, depresi dan fatigue.

Ryff dan Keyes (1995) memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai

well-being dalam pendapatnya yang tercantum pada kutipan berikut:

Comprehensive accounts of psychological well being need to probe people’s sense of whether their lives have purpose, they are realizing their given potential, what is the quality of their ties to others, and if they feel in charge of thir own lives Ryff & Keyes, 1995

Berdasarkan kutipan diatas, dapat disimpulkan bahwa Ryff dan Keyes (1995)

memandang well-being berdasarkan sejauh mana seorang individu memiliki tujuan dalam

hidupnya, apakah mereka menyadari potensi-potensi yang dimiliki, kualitas hubungannya

dengan orang lain, dan sejauh mana mereka merasa bertanggung jawab dengan hidupnya

sendiri.

Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa well-being

merupakan kondisi dimana individu memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan orang

lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, memiliki

tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih bermakna serta berusaha mengembangkan

dirinya.

2.1.3. Dimensi-dimensi well-being

Enam dimensi well-being yang dirumuskan oleh Ryff (dalam Ryff, 1989; Ryff dan

Keyes, 1995), yaitu:

(11)

Self-accptance berkaitan dengan penerimaan diri individu pada masa kini dan masa

lalunya. Seorang individu dikatakan memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi

penerimaan diri bila ia memiliki sikap yang positif terhadap dirinya sendiri,

menghargai dan menerima berbagai aspek yang ada pada dirinya, baik kualitas diri

yang baik maupun buruk. Sebaliknya, seseorang dikatakan memiliki nilai yang rendah

dalam dimensi penerimaan diri apabila ia merasa kurang puas terhadap dirinya sendiri,

merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupannya, dan berharap

menjadi orang yang berbeda dari dirinya sendiri.

2. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)

Individu yang memiliki hubungan yang positif dengan orang lain mampu membina

hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dengan orang lain. Selain itu, individu

tersebut memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan

empati, afeksi dan intimitas serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam

hubungan pribadi. Sementara seseorang yang kurang baik dalam dimensi hubungan

positif dengan orang lain ditandai dengan tingkah laku yang tertutup dalam

berhubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat, peduli dan terbuka

dengan orang lain, terisolasi dan merasa frustrasi dalam membina hubungan

interpersonal, serta tidak berkeinginan untuk berkompromi.

3. Otonomi (autonomy)

Ciri utama dari seorang individu yang memiliki otonomi yang baik antara lain dapat

menentukan segala sesuatu seorang diri (self-determining) dan mandiri. Ia mampu

mengambil keputusan tanpa tekanan dan campur tangan dari orang lain

4. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)

Seseorang yang baik dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan

kompetensi dalam mengatur lingkungan. Ia dapat mengendalikan berbagai aktivitas

eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi

kehidupan sehari-hari

5. Tujuan hidup (purpose in life)

Seseorang yang memiliki nilai tinggi dalam dimendi tujuan hidup memiliki rasa

(12)

masa kini, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup, serta memiliki tujuan

dan target yang ingin dicapai dalam hidup

6. Pertumbuhan pribadi (personal growth)

Seseorang yang memiliki pertumbuhan pribadi yang baik ditandai dengan adanya

perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang

diri sendiri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap

pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri

yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya

setiap waktu, serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki

pengetahuan yang bertambah.

2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi well-being

Beberapa faktor yang mempengaruhi well-being seseorang antara lain (Ryff, 1989;

Ryff & Keyes, 1995):

1. Usia

Dalam penelitiannya, Riff dan Keyes (1995) menemukan bahwa dimensi penguasaan

lingkungan dan dimensi otonomi mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia,

terutama dari dewasa muda hingga dewasa madya. Dimensi hubungan positif dengan

orang lain juga mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia. Sementara dimensi

tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi memperlihatkan penurunan seiring

bertambahnya usia, penurunan ini terutama terjadi pada dewasa madya hingga dewasa

akhir.

2. Jenis Kelamin

Penelitian Ryff (dalam Riff & Keyes, 1995) menemukan bahwa dibandingkan pria,

wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan

orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi.

(13)

Perbedaan kelas sosial juga mempengaruhi kondisi well-being individu. Individu yang

menempati kelas sosial yang tinggi memiliki perasaan yang lebih positif terhadap diri

sendiri serta memiliki keterarahan dalam hidup.

4. Budaya

Penelitian mengenai well-being yang dilakukan di Amerika dan Korea Selatan

menunjukkan bahwa responden di Korea Selatan memiliki skor yang lebih tinggi pada

dimensi hubungan positif dengan orang lain dan skor yang rendah pada dimensi

penerimaan diri. Hal ini disebabkan oleh orientasi budaya yang lebih bersifat kolektif

dan saling ketergantungan. Sebaliknya responden Amerika memiliki skor yang tinggi

dalam dimensi pertumbuhan pribadi (untuk responden wanita) dan dimensi tujuan

hidup (untuk responden pria), serta memiliki skor yang rendah dalam dimensi otonomi,

baik pria maupun wanita (Ryff, 1994).

2.2. Kepuasan Kerja

Pengertian kepuasan kerja telah banyak dikemukakan oleh para ahli, diantaranya

adalah Smith, Kendall dan Hullin (dalam Luthans, 1998) menyatakan kepuasan kerja

sebagai perasaan yang menyenangkan terhadap pekerjaan.

Licke (dalam Luthans, 1998) mendefenisikan kepuasan kerja sebagai:

a pleasureable or positive emotional state resulting from the appraisal of one’s job or job experience

Sementara Davis dan Newstro (1997) menyatakan kepuasan kerja sebagai perasaan

menyenangkan dan tidak menyenangkan yang dialami pekerja dalam pekerjaannya.

2.2.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepuasan Kerja

Wexley & Yulk (1984) menyatakan ada 3 faktor yang mempengaruhi pembentukan

kepuasan kerja yaitu:

a. Needs

Needs diartikan sebagai instrumen dalam pekerjaan yang digunakan pekerja untuk

memenuhi kebutuhan misalnya pengalaman kerja, usaha yang dicurahkan, kondisi kerja,

(14)

dikenal oleh atasannya oleh karena keahliannya dan menjadi bagian dari kelompok pekerja

lainnya

b. Values

Values diartikan sebagai kepercayaan individu tentang perilaku yang benar atau salah

serta hal yang diinginkan dan tidak diinginkan dalam memperoleh tujuan hidupnya. Values

mempengaruhi sikap pekerja terhadap jenis dan isi pekerjaannya

c. Personality trait

Personality trait adalah variabel-variabel dalam kepribadian individu yang

mempengaruhi aspirasi dan kesukaan terhadap pekerjaan. Contohnya. self esteem, self

monitoring dan locus of control.

2.2.2. Aspek-aspek di dalam kepuasan kerja

Smith, Kendall dan Hullin (dalam Luthans, 1998) menyebutkan 5 aspek kepuasan

kerja yaitu upah, pekerjaan itu sendiri, kesempatan promosi, pengawasan dan rekan

sekerja.

a. Upah

Upah yaitu jumlah uang yang diterima dan upah yang dianggap wajar. Gaji dan insentif

yang diterima pekerja adalah faktor yang sangat penting dalam perusahaan. Diasumsikan

uang tidak hanya membantu pekerja untuk memenuhi kebutuhan dasar saja tetapi juga

dapat merefleksikan seberapa adil perusahaan menilai kontribusi mereka dalam bekerja

b. Pekerjaan itu sendiri

Pekerjaan itu sendiri yaitu keadaan dimana tugas pekerjaan dianggap menarik,

memberikan kesempatan bertanggungjawab dan belajar. Feedbeck dan kemandirian

adalah faktor utama yang berhubungan dengan motivasi. Penelitian menunjukkan pekerja

mengalami kepuasan kerja apabila pekerjaan dianggap menarik, memberikan kesempatan

bertanggung jawab dan pekerjaan dinilai tidak membosankan

(15)

Kesempatan promosi yaitu tersedianya kesempatan untuk maju. Perusahaan

memberikan kesempatan promosi yang sama pada setiap pekerja dan dipilih pekerja yang

memiliki kemampuan yang paling baik.

d. Pengawasan

Pengawasan yaitu kemampuan supervisor untuk menunjukkan minat dan perhatian

terhadap pekerja. Ada dua dimensi pengawasan yaitu employee centeredness dan

participation atau influence. Employee centered yaitu pengawasan yang diukur melalui

kesejahteraan pekerja tanpa melibatkan pekerja dalam pengambilan keputusan dan

participation dimana supervisor melibatkan pekerja dalam mengambil suatu keputusan.

5. Rekan sekerja

Rekan sekerja yaitu keadaan dimana rekan sekerja menunjukkan sikap bersahabat dan

menolong. Pekerja harus mampu memberntuk tim yang solid sehingga dari tim karyawan

dapat memperoleh dukungan, kenyamanan dan bantuan dari pekerja lainnya.

2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual

Kebahagiaan mempunyai arti yang abstrak bagi masing-masing individu dan

ternyata hingga saat ini masih terdapat berbagai macam pandangan mengenai

kebahagiaan. Secara umum kebahagiaan merupakan penilaian menyeluruh seseorang atas

kehidupannya yang meliputi aspek afektif dan kognitif (Galati, Manzano & Sotgiu, 2006).

Diener, Scollon, dan Lucas (2003) menyebut kebahagiaan identik dengan subjective

well-being (SWB) dan lebih memilih untuk memakai istilah SWB karena lebih menekankan pada

penilaian individu sendiri dan bukanlah hasil dari penilaian ahli. Menurut Diener, Scollon,

dan Lucas (2003) SWB itu sendiri terdiri dari beberapa komponen penting, yaitu adanya

afek positif, ketiadaannya afek negatif, kepuasan hidup dan domain kepuasan. Keempat

komponen tersbut dapat digolongkan menjadi aspek afektif dan kognitif. Komponen afektif

menyatakan seberapa sering individu merasakan afeksi positif dan negatif, sedangkan

komponen kognitif merupakan penilaian individu atas hidupnya secara menyeluruh atau

yang disebut sebagai kepuasan hidup.

Selain itu, Luthans (2005) juga menyatakan bahwa kepuasan kerja yang dirasakan

(16)

tersebut. Karyawan yang mengalami kepuasan dalam bekerja, akan merasa lebih senang

dan giat bekerja. Rasa puas yang dirasakan dalam bekerja akan menimbulkan well-being

pada karyawan tersebut.

Figur 1. Kerangka Konseptual

III. METODE PENELITIAN

3.1. Identifikasi Variabel Penelitian

Penelitian ini mengukur beberapa variabel penelitian antara lain:

3.1.1. Variabel bebas: Kepuasan kerja

3.1.2. Variabel terikat: well-being

(17)

3.2. Definisi Operasional

Definisi kepuasan kerja adalah sikap seseorang pada saat melakukan penilaian

terhadap pekerjaannya dalam perusahaan. Kepuasan kerja karyawan diukur

menggunakan skala kepuasan kerja berdasarkan aspek-aspek di dalam kepuasan kerja

yang dikemukakan oleh Smith, Kendal dan Hullin (dalam Luthans, 1998). Adapun aspek –

aspek kepuasan kerja meliputi upah, pekerjaan itu sendiri, pengawasan, kesempatan

promosi dan rekan sekerja. Data kepuasan kerja ini diungkap melalui skala kepuasan kerja

yang disusun berdasarkan skala Likert yang terdiri dari empat pilihan (1=sangat tidak

setuju, 6= sangat setuju). Skor total merupakan petunjuk tinggi rendahnya kepuasan

kerja, semakin tinggi skor yang dicapai seseorang mengidentifikasikan semakin puas

karyawan tersebut dengan pekerjaannya.

Definisi well-being (Riff, 1995) dijelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi

psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan

kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif

dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan dan

terus bertumbuh secara personal.

3.3. Operasionalisasi Konstruk

Skala Kepuasan Kerja diukur menggunakan skala kepuasan kerja berdasarkan

aspek-aspek di dalam kepuasan kerja yang dikemukakan oleh Smith, Kendal dan Hullin (dalam

Luthans, 1998) berdasarkan aspek – aspek kepuasan kerja meliputi upah, pekerjaan itu

sendiri, pengawasan, kesempatan promosi dan rekan sekerja.

Skala well-being dikembangkan berdasarkan dimensi well-being dari Riff (1989) yaitu

Penerimaan diri, Hubungan positif dengan orang lain, Tujuan hidup, Pertumbuhan pribadi,

Penguasaan lingkungan dan otonomi. Alat ukur yang digunakan adalah The Scale of

Psychological Well-being (SPWB) yang dikonstruksi oleh Ryff (1989).

(18)

Populasi adalah seluruh subjek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi dibatasi

sebagai jumlah penduduk atau subjek paling sediki memiliki sifat yang sama (Hadi, 2004).

Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah karyawan yang bekerja di perusahaan

di wilayah Medan, Sumatera Utara yaitu PT. Intan Havea Industry, di Jalan Pulau Irian

KIM 1 Mabar, Medan. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 108 orang karyawan.

3.4.1. Karakteristik responden

Berdasarkan pemikiran yang telah dijabarkan pada sub bab sebelumnya, maka

karakteristik dari responden yang dapat mengikuti penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Telah bekerja minimal 2 tahun

b. Usia minimal 25 tahun (Seperti yang telah diutarakan pada bab sebelumnya

bahwa kebahagiaan seseorang tidaklah dipengaruhi oleh faktor usia (Argyle,

1999; Carr, 2004; Eddington & Shuman, 2005).

3.5. Teknik Pengambilan Sampel

Sampling merupakan pengambilan porsi dari populasi sebagai perwakilan dari

populasi (Kerlinger dan Lee, 2000). Teknik pengambilan sampel yang dilakukan termasuk

dalam non-random/non-probability sampling di mana seluruh individu di dalam populasi

tidak memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel (Kerlinger dan Lee, 2000).

Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quota sampling. Quota sampling

adalah cara untuk menetapkan sampel berdasarkan jatahnya sesuai dengan maksud dan

kapasitas yang dimungkinkan oleh peneliti. (Kumar, 1999).

3.6. Pengumpulan data

Pada penelitian ini data diambil dengan memakai instrumen kuesioner yang terdiri

dari dua bagian. Bagian pertama merupakan serangkaian pertanyaan mengenai

demografi responden seperti usia, jenis kelamin, jumlah anak, pendidikan terakhir, dan

masa kerja. Sedangkan pada bagian kedua terdiri dari dua bagian yang berisi

pernyataan-pernyataan mengenai variabel yang akan diteliti, yaitu Kepuasan Kerja dan well-being.

(19)

Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai metode untuk mengumpulkan data.

Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang harus dijawab oleh subjek dengan

menuliskan atau menandai jawaban yang dianggap tepat (Kumar, 1999). Peneliti memilih

kuesioner sebagai alat pengumpul data karena biayanya relatif mudah dan dapat

menjangkau subjek yang banyak dalam waktu singkat. Kuesioner juga memungkinkan

peneliti untuk menjaga anonimitas subjek, karena tidak semua subjek merasa aman dan

nyaman untuk membagi informasi yang mereka tulis di kuesioner tersebut. Selain itu,

kuesioner dapat menghindari interviewer bias, seperti kualitas interviewer, kualitas

interaksi, dan lain-lain (Kumar, 1999).

Kumar (1999) menyatakan bahwa kuesioner juga memiliki beberapa kelemahan,

antara lain: kuesioner hanya dapat diaplikasikan pada populasi yang dapat membaca dan

menulis, respon pengembalian yang rendah terutama bila diberikan secara individual,

subjek tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan klarifikasi dari pernyataan yang

tidak dimengerti oleh mereka, subjek memiliki cukup banyak waktu untuk berefleksi

sebelum memberikan jawaban, respon terhadap sebuah pertanyaan dapat dipengaruhi

oleh respon terhadap pertanyaan lain, subjek memiliki kemungkinan untuk berkonsultasi

dengan orang lain, jawaban yang diberikan oleh subjek tidak dapat ditambahkan dengan

informasi lain (Kumar, 1999).

3.6.1. Prosedur penelitian

Setelah melakukan persiapan (studi literatur, penetapan variabel, model penelitian,

pemilihan alat ukur dan penyusunan kuesioner), dilakukan uji coba alat ukur kepada 50

orang subjek yang sesuai dengan kriteria sampling untuk menguji validitas dan reliabilitas

alat ukur. Selanjutnya dilakukan uji normalitas untuk menentukan analisis statistik yang

digunakan. Apabila uji normalitas tercapai maka metode analisis regresi berganda akan

digunakan untuk menguji hipotesis.

(20)

Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Januari 2015 di PT. Intan Havea

Industry, KIM 1, Mabar, Medan.

3.7. Metode Pengolahan dan Analisis Data

3.7.1. Pengujian Validitas

Uji validitas dilakukan dengan mengukur korelasi Pearson’s Product Moment antara

variabel atau indikator dengan skor total variabel. Pengujian validitas dilakukan dengan

melihat nilai corrected item-total correlation. Apabila lebih besar dari 0.3 maka dianggap

bahwa indikator yang digunakan pada penelitian ini valid.

3.7.2. Pengujian Reliabilitas

Pada penelitian ini uji reliabilitas ini dilakukan dengan menggunakan teknik analisis

Cronbach Alpha. Menurut Kaplan dan Saccuzzo (1989) alat ukur yang konsisten dan akurat

memiliki alpha yang berkisar antara 0,70 – 0,80.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL

4.1.2. HASIL ANALISA REGRESI BERGANDA

Dari pengolahan data dengan menggunakan tekni k analisa regresi berganda,

terdapat beberapa informasi diperoleh. Dari tabel ANOVA berikut dapat dilihat bahwa

analisis varians menghasilkan angka F sebesar 13.034 dengan tingkat signifikansi 0.00.

Karena angka probabilitas 0.00 < 0.05, maka model regresi ini layak untuk digunakan

(21)

Tabel 4.1

ANOVAb

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

1 Regression 4639.577 1 4639.577 13.034 .000a

Residual 37732.970 106 355.971

Total 42372.546 107

a. Predictors: (Constant), kep kerja

b. Dependent Variable: wellbeing

Selanjutnya dari analisis regresi berganda diperoleh nilai R sebesar 0.331. Dengan

nilai R tersebut, menunjukkan bahwa variabel bebas yaitu kepuasan kerja memiliki

keeratan hubungan dengan wellbeing karyawan sebesar koefisien korelasi (r) = 0.331.

Besaran koefisien determinasi (r2)= 0.109 yang berarti bahwa 10% dari wellbeing dapat

dipengaruhi oleh Kepuasan kerja. Sisanya sebesar 90% dapat dijelaskan oleh faktor-faktor

lainnya.

a. Predictors: (Constant), kepuasan kerja

b. Dependent Variable: wellbeing

Tabel 4.2. Skor Kepuasan Kerja

Rumus Kategori Jumlah orang Persentil %

mean + st. deviation = 238.793 Tinggi 24 orang 22

(mean- st. deviation) -(mean + st. deviation) = 177.987 – 238.792

Sedang 70 orang 64

< mean – st. deviation = 177.987 Rendah 14 orang 12

Jumlah Subjek 108 orang

Ket: Kepuasan kerja PT. Intan Havea Industry berada pada level sedang.

Tabel 4.3. Skor Wellbeing

Rumus Kategori Jumlah orang Persentil %

(22)

(mean- st. deviation) -(mean + st. deviation) = 194.16- 233.96

Sedang 69 orang 63

< mean – st. deviation = 194.16 Rendah 22 orang 20

Jumlah Subjek 108 orang

Ket: Well-being karyawan PT. Intan Havea Industry berada pada level sedang.

4.2 Pembahasan

Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh informasi mengenai pengaruh

kepuasan kerja terhadap well-being karyawan. Variabel yang diduga mempengaruhi

well-being karyawan adalah kepuasan kerja.

Selanjutnya dari analisis regresi berganda diperoleh nilai R sebesar 0.331. Dengan

nilai R tersebut, menunjukkan bahwa variabel bebas yaitu kepuasan kerja memiliki

keeratan hubungan dengan wellbeing karyawan sebesar koefisien korelasi (r) = 0.331.

Koefisien korelasi (r) sebesar 0.331 dengan p=0.000 (p<0.01) menunjukkan adanya

hubungan antara kedua variabel, hasil penelitian juga menunjukkan adanya hubungan

positif antara kepuasan kerja dengan wellbeing karyawan, dimana semakin tinggi

kepuasan kerja maka semakin tinggi pula wellbeing karyawan, begitu juga sebaliknya.

Dengan demikian, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima.

Hal tersebut diatas sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa

kepuasan kerja memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap tingkat wellbeing

karyawan. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan yang positif antara kepuasan

kerja dengan kesejahteraan subjektif. Judge dan Locke (dalam Russel, 2008) menemukan

hubungan saling mempengaruhi antara kepuasan kerja dengan kesejahteraan subjektif

pada perawat. Penyebabnya adalah kesejahteraan yang dirasakan oleh individu

mempengaruhi mereka dalam mengumpulkan dan merecall informasi tentang pekerjaan

mereka. Individu yang bahagia cenderung menyimpan, mengevaluasi, dan merecall

informasi dengan cara yang berbeda dibanding dengan individu yang tidak bahagia. Di sisi

lain, kepuasan kerja juga mempengaruhi tingkat kesejahteraan seseorang karena pekerjaan

adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan seseorang dan mereka

(23)

Berdasarkan hasil korelasi antara variabel bebas dengan wellbeing, diketahui

bahwa variabel kepuasan kerja berhubungan positif dengan wellbeing karyawan.

Berdasarkan hasil analisis korelasi dapat diketahui bahwa kepuasan kerja memberikan

kontribusi sebesar 10% terhadap well-being karyawan. Sisanya sebesar 90% dipengaruhi

oleh faktor lain yaitu faktor demografi (status pernikahan, jenis kelamin dan pendapatan,

kepribadian, dukungan sosial, dan pengalaman hidup.

PT. Intan Havea Industry merupakan salah satu perusahaan yang menerapkan

praktik hubungan kerja kontrak sesuai dengan Pasal 59 UU No.13 Tahun 2003, yang

menyatakan bahwa apabila suatu pekerjaan berhubungan dengan produk baru, kegiatan

baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan maka penggunaan tenaga kerja

kontrak dapat dilakukan. PT. Intan Havea Industry saat ini memproduksi sarung tangan

dan proses produksinya dominan ditangani oleh karyawan kontrak, yakni sebesar 55%.

Bekerja merupakan salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dengan

demikian, karyawan tidak akan menolak untuk bekerja, walaupun berada dalam status

karyawan kontrak, selama mereka masih mendapatkan gaji untuk memenuhi

kebutuhannya.

Karyawan di PT. Intan Havea Industry bekerja bergantian berdasarkan system shift,

dengan demikian sistem kerja tersebut akan berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan

wellbeing karyawan tersebut. Variabel kepuasan kerja dan wellbeing berada pada level

sedang, tidak dalam kondisi yang ideal. Untuk menaikkan tingkat wellbeing dari

karyawan maka upaya yang dilakukan adalah fokus pada mengubah persepsi, keyakinan

dan sifat kepribadian seseorang. Dimana sifat kepribadian yang dimaksud adalah

mengubah temperamen dan emosi pribadi secara bertahap menjadi lebih matang.

Individu dengan kepribadian ekstravert akan tertarik pada hal-hal yang terjadi di

luar dirinya, seperti lingkungan fisik dan sosialnya. Penelitian Diener dkk. (1999)

mendapatkan bahwa kepribadian ekstavert secara signifikan akan memprediksi terjadinya

kesejahteraan individual. Orang-orang dengan kepribadian ekstravert biasanya memiliki

teman dan relasi sosial yang lebih banyak, merekapun memiliki sensitivitas yang lebih

besar mengenai penghargaan positif pada orang lain (Compton, 2005)

Campbell (dalam Compton, 2000) menyatakan bahwa kepribadian secara khusus

(24)

menyebabkan seseorang memiliki kontrol yang baik terhadap rasa marah, mempunyai

hubungan yang intim dan baik dengan orang lain, serta kapasitas produktif dalam

pekerjaan. Hal ini akan menolong individu untuk mengembangkan kemampuan hubungan

interpersonal yang baik dan menciptakan kepribadian yang sehat

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Terdapat hubungan positif antara kepuasan kerja dengan wellbeing karyawan di PT.

Intan Havea Industry, yang berarti bahwa semakin tinggi kepuasan kerja maka

akan semakin tinggi pula wellbeing karyawan, begitu juga sebaliknya

2. Kepuasan kerja karyawan di PT. Intan Havea Industry berada pada level sedang,

sementara tingkat wellbeing karyawan berada pada level sedang pula

3. Berdasarkan hasil analisis R Square sebesar 0.109, maka dapat disimpulkan

persentase kontribusi kepuasan kerja terhadap wellbeing karyawan sebesar 10%

5.2. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan, maka saran yang dapat diberikan

oleh peneliti adalah sebagai berikut:

1. Perusahaan

Perusahaan dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai bahan pertimbangan

dalam usaha pengembangan perusahaan di masa mendatang dengan memberikan

fokus lebih besar kepada kepuasan dan wellbeing karyawan. Meningkatkan

kepuasan dan wellbeing karyawan akan meningkatkan efisiensi biaya perusahaan

dan meningkatkan produktivitas dengan cara yang lebih murah

2. Kepada peneliti selanjutnya.

Peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian longitudinal terkait

(25)

pada faktor lain seperti faktor demografis, harga diri, dukungan sosial ataupun

(26)

DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian, Edisi Ervisi. Malang: UMM Press

Avey, James B, Luthans, Fred, Smith, Ronda. 2010. Impact of positive Psychological Capital on Employee Well-Being Over Time. Management Department Faculty Publications.

Baptiste, Nicole Renee 2007. Tighteing the Link between Employee Well-being and Performance: A nes Dimension for HRM, Management Decision. Vol 46. No.2.

Bandura, A. 1997. Self-efficacy: The exercise of control. New York: Freeman and Company.

Brough, P. 2005. A comparative investigation of the predictors of work- related psychological well-being within police, fire and ambulance workers. New Zealand Journal of Psychology.

Compton, W.C. 2005. Introduction to Positive Psychology. New York: Thomson Wodsworth.

Cetin, Fatih. 2011. The Effects of the Organizational Psychological Capital on the Attitudes of Commitment and Satisfaction: A Public Sample in Turkey. Europeam Journal of Social Sciences.

Chow, H., P.H. 2007. Psychological wellbeing and scholastic achievement among university

students in a canadian prairie city. Social Psychol Educ 10, 483–493. Juli 2009, 12.

Diener, E. 1984. Subjective well-being. Psychological Bulletin, 95, 542-575.

Diener, Suh,& Oishi. 1997. Recent Findings on Subjective Well-Being. Indian Journal of Clinical Psychology, March 1997. @www.psych.uiuc.edu

Diener, Suh & Smith. 1999. Subjective Well-Being: Three Decades of Progress. Psychological Bulletin by The American Association Association, Inc. Vol 125.No.2. 276- 302

Diener, Biswas- Diener, Tamir. 2004. The psychology of Subjective Well-Being. Daedalus; Spring 2004;133,2; Academic Research Library, pg 18. @www.psych.uiuc.edu

Galati, D., Manzano, M., Sotgiu, I. 2006. The subjective components of happiness and their

attainment: A cross-cultural comparison between Italy and Cuba. Social Science

Information. 45, 4.

(27)

Jimenez, Moreno, et al. 2008. Effect of work-family conflict on employess’s well-being: The moderating role of recovery experiences. IE Business School Working Paper. CO8-119-1, 01-04-2008

Kumar, R. 1999. Research methodology: A step-by-step guide for beginners. London: Sage Publications.

Luthans, Fred. 2002. Positive Organizational Behavior : Developing and Managing Psychological Strength. Academy of Management Executive.

Luthans, Fred.Avolio, Bruce J.,Fred O. Walumbwa, and weixing Li. 2005. The Psychological Capital if Chinese Workers: Exploring the Relationship with Performance. Management and Organizational Review.

Luthans, Fred,. Youseff, Carolyn M. 2007. Psychological Capital: Developing the Human Competitive Edge, Oxford, UK: Oxford University Press

Luthans, Fred, Norman, M.Steven, Bruce J. Avolio and, James B. Avey. 2008. The Mediating Role of Psychological Capital in the Supportive Organizational Climate Employee Performance Relationship. Journal of Organizational Behavior

Perez, A. Jeannie. 2012. Gender difference in Psychological Well-Being among Filipino College Student Samples. International Journal of Humanities and Social Sciences. Vol.2.No.13; July 2012.

Pavot & Diener. 2004. The Subjective Evaluation of Well-Being in Adulthood; Findings and Implication. Ageing International, Spring 2004, Vol 29. No.22. pg 113 - 135

Peterson, Suzannne J., Luthans, Fred, James B. Avolio, Fred O. Walumnwa dan Zhen Zhang. 2011. Psychological Capital and Employee Performance: A Latent Growth

Russell, J.E.A. 2008. Promoting Subjective Well-Being at Work. Journal of Career Assessment, 16: 118-132

Ryff, D. 1989. Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of Psychological Well-being. Journal of personality and Social psychology. 57. 1069-1081

Ryff,C.D.& Keyes,C. 1995. The structure of psychological well-being revisited. Journal of

Personality and Social psychology, 69 (4), 719 – 727

Ryff,C.D.& Singer, B. 1998. The contours of positive hyman health. Psychological Inquiry, 9, 1-28

(28)

Sahu, F.M & Rath, Sangeeta. 2003. Self-efficacy and Wellbeing in Working and Non-working Women: The Moderating Role of Involvement. Sage Journals. Psychology & Developing Societies. September 2003 15: 187-200,

Snyder, C.R., Harris, Cheri, John R. Anderson, Sharon A. Holleran, Lori M. Irving, Sandra T. Sigmon, Lauren Yoshinobu, June Gibb, Charyle Langelle dan Pat Harney. 1991. The Will and the Ways: Development and Validation of an Individual Differences Measure of Hope. Journal of Personality and Social Psychology.

Stajkovic, Alexander D, and Luthans, Fred. 1998. Social Cognitive Theory and Self Efficacy: Going Beyond Traditional Motivational and Behavioral Approaches, Organizational Dynamics.

Van Hoorn, A. 2007. A short introduction to subjective well-being: Its measurement, correlates and policy uses. January 28, 2009. ABI/INFORM Global (Proquest) database.

Yuehua & Shanggui. 2004. A study on general self-efficacy and subjective well-being of low SES-college students in a Chinese university. College Student Journal. Vol 38. Issue 4. Des 2004.

(29)

Gambar

Tabel 4.3. Skor Wellbeing

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Latar tempat yang akan digunakan dalam keperluan cerita ialah kota Bandung, tempat-tempat yang dijadikan fokus pembuatan Environment 3D ini antara lain, Alun-Alun

Ketika dilarutkan dalam atau dicampur dengan bahan lain dan dalam kondisi yang menyimpang dari yang disebutkan dalam EN374 silahkan hubungi suplier sarung tangan CE-resmi

Berdasarkan hasil dari analisis regresi linier berganda pada penelitian ini (hasil uji t) dinyatakan bahwa variabel reputasi perusahaan, kompensasi yang ditawarkan

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa melalui uji regresi berganda, terdapat nilai koefisien

Campur kode yang terdapat pada acara “Rumah Uya” di Trans 7, dapat diklasifikasikan ke dalam wujud campur kode berupa kata, frase, klausa, dan kalimat.. 4.2.1 Campur Kode

sikap pada pasien diabetes mellitus tentang upaya

Pada hari ini, Selasa tanggal Sembilan Belas bulan Juni tahun Dua Ribu Dua Belas (19-06-2012) pukul 09,00 WIB sampai dengan pukul 10.00 WIB bertempat di Ruang

Segala puji dan syukur hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, oleh karena anugerah penyertaan-Nya yang besar akhirknya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini