PENGARUH PERMAINAN KARTU GAMBAR TERHADAP KEMAMPUAN BERHITUNG SISWA TUNAGRAHITA di SEKOLAH INKLUSI (SDN
SIDOSERMO 1) SURABAYA SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program
Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)
Fitri Yanuar Aini B07212050
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
PENGARUH PERMAINAN KARTU GAMBAR TERHADAP KEMAMPUAN BERHITUNG SISWA TUNAGRAHITA di SEKOLAH INKLUSI (SDN
SIDOSERMO 1 SURABAYA)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program
Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)
Fitri Yanuar Aini B07212050
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
INTISARI
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh permainan kartu gambar terhadap kemampuan berhitung anak tunagrahita. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan eskperimen. Subjek penelitian berjumlah 2 anak dengan kriteria inklusi usia 1 SD, sehat, dan memiliki IQ dalam rentang
50-70 (tunagrahita ringan), penelitian ini menggunakan teknik Single Subject Research.
Pemilihan modul (permainan kartu gambar) melalui expert jugment dengan dua ahli,
yaitu ahli psikologi pendidikan dan ahli psikologi klinis. Alat tes yang digunakan adalah lembar observasi kemampuan berhitung yang terdiri dari 6 aitem yang menggunakan penyekoran sesuai kemampuan subjek. Hasil penelitian menggunakan
teknik analisis visual grafik. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua
instrumen yaitu instrumen perlakuan (panduan pembelajaran) dan instrumen pengukuran berupa lembar observasi skala interaksi sosial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode permainan kartu gambar efektif untuk meningkatkan kemampuan berhitung anak tunagrahita.
ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the effect of drawing card game against the numeracy skills of children with intellectual challenges. This research is a quantitative research using experimentation. Subjects numbered 2 children with 1 SD age inclusion criteria, healthy, and has an IQ in the range of 50-70 (mild mental retardation), this study using the technique of Single Subject Research. Selection module (card game images) through expert jugment with two experts, namely educational psychologists and clinical psychologists. Assay used is observation sheet numeracy consisting of 6-item using appropriate scoring ability of the subject. The results using a visual graph analysis techniques. In this study, researchers used two instruments, namely instrument treatment (study guides) and measuring instruments in the form of social interaction scale observation sheet. The results showed that the method of a card game image effectively to improve the numeracy skills of children with intellectual challenges.
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Keaslian Penelitian ... 7
BAB II Kajian Pustaka ... 10
1. Kemampuan Berhitung Anak Tunagrahita Ringan ... 10
a. Definisi Tunagrahita ... 10
b. Karakteristik Tunagrahita ... 12
c. Tipe Tunagrahita ... 17
d. Faktor Penyebab Tunagrahita ... 19
e. Pendampingan Tunagrahita secara individual maupun klasikal 20 2. Kemampuan Berhitung ... 22
a. Pengertian Kemampuan ... 22
b. Pengertian Berhitung ... 23
c. Pengertian Bilangan dan Operasi Bilangan Bilangan ... 26
d. Kemampuan Kognitif anak usia 7-11 Tahun ... 28
3. Permainan Kartu Gambar ... 40
67
Hipotesis ... 43
BAB III METODE PENELITIAN ... 44
A. Variabel dan Definisi Operasional ... 44
1. Variabel Penelitian ... 44
2. Definisi Operasional ... 44
a. Variabel Kemampuan Berhitung ... 44
b. Variabel Permainan Kartu Gambar ... 45
B. Subjek Penelitian ... 45
C. Desain Eksperimen ... 46
D. Prosedur Eksperimen ... 51
E. Instrumen Penelitian ... 53
1. Alat Ukur ... 53
2. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 56
3. Validitas Eksperimen ... 59
F. Analisis Data ... 60
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 66
A. Deskripsi Subjek ... 66
B. Deskripsi Dan Reliabilitas Data ... 67
C. Hasil ... 68
D. Pembahasan ... 126
68
A. Kesimpulan ... 199
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar belakang
Peserta didik dalam dunia pendidikan dapat kita temui anak pada
umumnya dan anak berkebutuhan khusus. Anak pada umumnya adalah anak yang
mampu mengikuti semua kegiatan belajar mengajar tanpa harus mendapatkan
perhatian khusus. Sedangkan anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang
mengalami gangguan atau hambatan dalam proses kegiatan belajar mengajar dan
membutuhkan perhatian khusus baik dalam bidang akademik maupun non
akademik.
Amanat hak atas pendidikan bagi penyandang berkalinan atau ketunaan
ditetapkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 32 disebutkan bahwa: “Pendidikan khusus (pendidikan luar biasa)
merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosioinal, mental, sosial”
(UU Sisdiknas, 2003: 21)
Ketetapan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tersebut bagi anak
penyandang kelainan sangat berarti karena memberi landasan yang kuat bahwa
anak berkelainan perlu memperoleh kesempatan yang sama sebagaimana yang
diberikan kepada anak normal lainnya dalam hal pendidikan dan pengajaran.
Dengan memberikan kesempatan yang sama kepada anak berkelainan untuk
partisipasi pendidikan anak normal dengan anak berkebutuhan khusus. Untuk bisa
memberikan layanan pendidikan yang relevan dengan kebutuhannya, guru perlu
memahami sosok anak spesial, jenis, karakteristik, etiologi penyebab
berkebutuhan khusus, dampak psikologis serta prinsip-prinsip layanan pendidikan
anak berkebutuhan khusus. Hal ini dimaksudkan agar guru memiliki wawasan
yang tepat tentang keberadaan anak berkebutuhan khusus, dalam hal ini anak
tunagrahita sebagai sosok individu masih berpotensi dapat terlayani secara
maksimal.
Menurut Mumpuniarti (2007: 1) Salah satu penyebab problema belajar
pada subyek didik adalah hambatan mental. Penyebab dari problema belajar pada
mereka ada yang dapat diamati segera (observable) atau yang tidak dapat diamati
(unobservable). Pada anak yang penyebab dapat diamati akan segara dilabel
sebagai anak yang berkebutuhan khusus namun bagi penyebabnya tidak dapat
diamati akan menimbulkan problem pendekatan di dalam layanan pendidikan. Hal
itu dikarenakan perilakunya sehari-hari nampak seperti anak umumnya, tetapi
mengalami hambatan di bidang akademik.
Permasalahan utama anak tunagrahita ringan terletak pada masalah mental
atau psikis yaitu berkaitan dengan kemampuan intelektualnya di bawah rata-rata,
kemampuan berfikir rendah, perhatian juga daya ingatnya lemah, sukar berpikir
abstrak, maupun tanggapan yang cenderung konkret visual dan cenderung cepat
bosan. Mengingat berbagai kondisi atau hambatan yang dialami anak tunagrahita
tersebut sangat komplek, maka pendidikan disesuaikan dengan kondisi dan
matematika yang meliputi kualitas perencanaan pembelajaran, kualitas proses
pembelajaran, dan output yaitu prestasi belajar matematika. Matematika yang
diperuntukkan bagi siswa tunagrahita terutama adalah kemampuan berhitung.
Ada dua alasan pentingnya keterampilan berhitung, yaitu:: ”kemampuan
yang berharga untuk menentukan jawaban yang benar dalam tugas-tugas
pemecahan masalah; dan membantu siswa untuk menentukan jawaban yang
rasional dalam situasi kehidupan sehari-hari” (Mumpuniarti, 2007: 125).
Menurut Chaplin, ability (kemampuan, kecakapan, ketangkasan,
bakat, kesanggupan) merupakan tenaga (daya kekuatan) untuk melakukan
suatu perbuatan. Berhitung merupakan bagian dari matematika, yang sangat
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama konsep bilangan yang
merupakan dasar bagi pengembangan kemampuan matematika maupun
kesiapan untuk mengikuti pendidikan dasar (Depdiknas, 2007:1). Berhitung
berasal dari kata hitung yang berarti membilang (menjumlahkan,
mengurangi, membagi, memperbanyakkan dan sebagainya) (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 2002: 405).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan
berhitung merupakan kesanggupan untuk menjumlahkan, mengurangi, membagi
dan mengkali bilangan. Hal ini diawali dengan berhitung (menjumlah dan
mengurangi) bilangan sederhana seperti seputar angkat 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10 pada
Menurut hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang
dilaksanakan Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, jumlah penyandang
disabilitas di Indonesia sebanyak 6.008.661 orang. Dari jumlah tersebut sekitar
1.780.200 orang adalah penyandang disabilitas netra, 472.855 orang penyandang
disabilitas rungu wicara,402.817 orang penyandang disabilitas grahita/intelektual,
616.387 orang penyandang disabilitas tubuh, 170.120 orang penyandang
disabilitas yang sulit mengurus diri sendiri, dan sekitar 2.401.592 orang
mengalami disabilitas ganda.
Peneliti memilih di SD dikarenakan ditemui beberapa siswa tunagrahita
ringan yang masuk pada tahun ajaran baru dan duduk di bangku kelas 1
mengalami kesulitan dalam menerima pelajaran berhitung. Disini peneliti
menggunakan kartu gambar sebagai media untuk membantu kemampuan
berhitung siswa tunagrahita ringan.
Pada tahapan perkembangan konkret (usia 7-11 tahun) proses penalaran
anak mengarah pada kemampuan berpikir logis. Piaget menyebutnya logical
operation. Piaget mengemukakan “Intellectual operation is an internalized system
of actions that is fully reversible”, dimana anak membangun proses berpikir logis
yang dapat diaplikasikan pada masalah-masalah konkret.
Menurut Piaget, salah satu jenis pengetahuan yang dimiliki anak adalah
logical mathematicaal knowledge adalah pengetahuan yang diperoleh dari
aktivitas berpikir tentang suatu objek dan peristiwa. Seperti halnya dengan
jika anak memanipulasi objek namun berbeda cara membangunnya. Dalam proses
penemuannya, anak tidak secara langsung menemukan logical mathematicaal
knowledge, namun dibangun atas dasar pemahaman objek yang dimanipulasi.
Misalnya naka diberi pelatihan tentang bilangan 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10. Setiap
bilangan disertakan dengan objek tertentu, misalnya bola: bilangan 1 disertai
dengan 1 buah bola, bilangan 2 disertai 2 bola dan seterusnya. Pelatihan ini
dilakukan sedemikian rupa dengan menggunakan metode tertentu, sehingga anak
pada akhirnya memahami konsep bilangan 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10. Pemahaman ini
sudah berupa pemahaman simbolik terhadap makan bilangan. Pengetahuan ini
juga tidak diperoleh melalui aktivitas membaca dan mendengar, melainkan harus
dilakukan dengan memanipulasi objek.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk meneliti apakah
Permainan Kartu Gambar dapat meningkatkan kemampuan berhitung anak
tuna grahita. Dan penelitian yang akan dilakukan ini berjudul “Pengaruh
Permainan Kartu Gambar Terhadap Peningkatan Kemampuan Berhitung Anak
Tuna Grahita”.
b. Rumusan Masalah
Setelah melihat latar belakang yang ada dan agar penelitian ini tidak
terjadi kerancuan, maka penulis dapat membatasi dan merumuskan permasalahan
yang akan diangkat dalam penelitian ini sebagai berikut : Apakah Permainan
c. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Apakah Permainan Kartu
Gambar Dapat Meningkatkan Kemampuan Berhitung Anak Tunagrahita.
d. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan diadakanannya penelitian yang telah dipaparkan di
atas, maka manfaat penelitian ini, yaitu :
a. Manfaat secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembelajaran,
dalam rangka mengembangkan ilmu, khususnya Psikologi Pendidikan.
b. Manfaat secara praktis
1. Penelitian ini juga menjadi masukan agar para guru dapat
meningkatkan kemampuan berhitung anak tunagrahita ringan
melalui permainan kartu gambar.
2. Bagi para orang tua, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan
berhitung anak tunagrahita ringan melalui permainan kartu gambar.
3. Bagi para mahasiswa yang menempuh agar menjadi pengetahuan
baru tentang permainan kartu gambar yang dapat meningkatkan
e. Keaslian Penelitian
Mengkaji beberapa permasalahan yang telah dikemukakan dalam latar
belakang diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah
untuk membantu meningkatkan kemampuan kemampuan berhitung anak
tunagrahita ringan melalui permainan kartu gambar. Hal ini didukung dari
beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijadikan landasan penelitian yang
dilakukan. Berikut beberapa penelitian pendukung tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Suwarti dengan judul Penggunaan Kartu
Gambar Untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif Anak Dalam Mengenal
Konsep Bilangan Di Kelompok B Tk Rahayu Surabaya menunjukkan bahwa
media kartu gambar dapat meningkatkan kemampuan kognitif anak dalam
mengenal konsep bilangan pada anak kelompok B di TK Rahayu Surabaya.
Selain itu, penelitian Mei Setiorini, Abdul Huda dan Saichudin yang
berjudul Pengaruh Pemanfaatan Media Kartu Kata Bergambar Terhadap
Kemampuan Menulis Kalimat Siswa Tunarungu. Hasil penelitian ini bahwa
ada pengaruh penggunaan media kata kartu diilustrasikan pada hasil dari
kemampuan menulis kalimat pada siswa belajar.
Kemudian penelitian dari Viddynia Octrinava Mastur dengan judul
Pengaruh Permainan Aktif terhadap Kemampuan Berhitung pada Anak Usia
Prasekolah menunjukkan hasil terdapat pengaruh permainan aktif terhadap
Selanjutnya penelitian dari Nuryani Putri, Solihin Ichas Hamid, dan
Endah Silawati dengan judul Meningkatkan Kemampuan Berhitung Anak
Usia Dini Melalui Permainan Kartu Angka Modifikatif dengan hasil bahwa
kartu angka modifikatif dapat digunakan sebagai media pembelajaran yang
efektif untuk meningkatkan kemampuan berhitung anak TK.
Ada juga penelitian dari Afri Maiyuli dengan judul Peningkatan
Kemampuan Berhitung Anak Melalui Permainan Domino Di Taman
Kanak-Kanak Negeri Pembina Agam dengan hasil permainan domino dapat
meningkatkan kemampuan berhitung anak di Taman Kanak-kanak Negeri
Pembina Agam.
Beberapa penelitian internasional tentang permainan kartu gambar untuk
meningkatkan kemampuan berhitung, antara lain: oleh Annette R Baturo,
Stephen Norton dan Tom J Cooper, dengan judul The Mathematics of
Indigenous Card Games: Implications for Mathematics Teaching and
Learning menyatakan bahwa Pemahaman matematika siswa lebih
berkembang setelah mengikuti permainan ini.
Penelitian mengenai kemampuan berhitung ini dilakukan juga oleh
Omep dengan judul Early literacy and numeracy matters Geraldine French,
Early Childhood Specialist hasil penelitiannya menyatakan bahwa pentingnya
menanamkan kemampuan berhitung sejak dini.
Di lanjutkan penelitian dari Olatoye Mukaila Ayinde, dengan judul
Instructional Design Nettle yang menunjukkan bahwa permainan ini memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap kinerja peserta didik dalam matematika.
Juga ada penelitian dari Hedwig Gasteiger, dengan judul Opportunities
To Learn Mathematics While Playing Traditional Dice Games yang
menunjukkan bahwa terdapat perkembangan pembelajaran matematika di TK
secara berkelanjutan.
Dari beberapa penelitian terdahulu tentang upaya meningkatkan
kemampuan berhitung di atas, peneliti lebih tertarik dengan permainan kartu
gambar untuk meningkatkan kemampuan berhitung anak tunagrahita ringan.
Siswa akan bermain karu gambar dengan temannya, dalam satu permainan
siswa akan bermain kartu gambar sambil belajar meningkatkan kemampuan
berhitungnya.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah
dari segi subjek, penelitian ini menggunakan subjek yang telah menginjak
kelas 1 SD dan mengalami tunagrahita ringan. di mana penelitian yang
menggunakan permainan kartu gambar di Indonesia banyak dilakukan untuk
anak usia dini. Pada beberapa penelitian internasional, kartu gambar juga
BAB II
Kajian Pustaka
A.Kemampuan Berhitung Anak Tunagrahita Ringan
1. Anak Tunagrahita Ringan
a. Definisi Tunagrahita
Istilah intellectual disability digunakan untuk
menggantikan mental retardation, karena tampaknya lebih
manusiawi, dan istilah ini telah disepakati oleh para pendidik di
Amerika (Luckasson, dalam Omrod, 2011).
Para pendidik di Indonesia tampaknya lebih sepakat
menggunakan istilah anak tuna grahita. Intellectual Disability atau
anak tuna grahita menurut definisi The American Association and
Mental Retardation (AAMR) adalah “a disability characterized by
significant limitation both in intellectual functioning and in
adaptive behavior as expressed in conceptual, social and practical
adaptive skill. The disability originates before the age 18. A
complete and accurate understanding of mental retardation
involves realizing that mental retardation refers to a particular
state of functioning that begin in chilhood, has many dimensions
and is affected positively by individualized support” (AAMR Ad
Hoc Committe on Terminology and Classification, 2002)
Berdasarkan definisi tersebut, terdapat dua karakteristik
intelektual dan keterbatasan dalam perilaku adaptif seperti
berkomunikasi, merawat diri sendiri, dan keterampilan sosial.
Anak yang mengalami gangguan fungsi intelektual dan
keterbatasan keterampilan berinteraksi dengan orang lain dapat
diamati pada usia sebelum 18 tahun. Jika dipelajari secara cermat,
tanda-tandanya telah dapat dilihat sejak usia kanak-kanak.
Menurut Pandji dan Wardhani (2013) Tunagrahita adalah
individu yang memiliki tingkat integensiia yang berada dibawah
rata-rata dengan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi
perilaku yang muncul dalam masa perkembangan. Istilah seperti
cacat mental, dungu, bodoh, pandir, lemah pikiran adalah sebutan
yang lebih dulu dikenal sebelum kata tunagrahita. Grahita sendiri
artinya adalah pikiran dan Tuna adalah kerugian.
Menurut AAMD (American Association on Mental Defiency
: dalam Wikasanti, 2014), ketunagrahitaan mengacu pada fungsi
intelektual umum yang secara nyata (signifikan) berada dibawah
rata-rata (normal) bersama dengan kekurangan dalam tingkah laku
penyesuaian diri dan semua ini berlangsung (termanifestasi) pada
masa perkembangannya.
Tunagrahita merupakan salah satu bentuk gangguan pada anak
dan remaja yang dapat ditemui di berbagai tempat, yaitu suatu
keadaan di mana anak mengalami keterbelakangan dalam
kurang cakupnya mereka dalam memikirkan hal-hal yang bersifat
akademik, abstrak, cenderung sulit dan berbelit-belit hampir pada
segala aspek kehidupan serta mereka juga kurang memiliki
kemampuan dalam menyesuaikan diri (Amin, M, 1955). Anak
tunagrahita (retardasi mental) sangat membutuhkan layanan
pendidikan dan bimbingan secara khusus saat meniti tugas
perkembangan di dalam hidupnya.
Papalia (2001) mengemukakan bahwa tunagrahita adalah
kemampuan kognisi anak secara signifikan tidak berfungsi secara
normal yang diindikasikan melalui nilai IQ berkisar atau dibawah ι0.
Kemampuan beradaptasi sangat terbatas, seperti dalam
berkomunikasi, keterampilan sosial, merawat diri sertatampak diusia
18 tahun.
b. Karakteristik Tunagrahita
Karakteristik tunagrahita ringan (Mumpuniarti, 2000)
Karakteristik kognitif tunagrahita ringan adalah :
1. Mempunyai IQ berkisar 50-ι0.
2. Kapasitas belajarnya sangat terbatas terutama untuk hal-hal yang
abstrak, maka lebih banyak belajar dengan cara membeo (rote
learning) bukan dengan pengertian.
3. Kemampuan berpikir rendah, lambat perhatian dan ingatannya
4. Masih mampu untuk menulis, membaca, menghitung.
5. Mengalami kesulitan dalam konsentrasi, sukar untuk diajak fokus.
θ. Umur kecerdasannya apabila sudah dewasa sama dengan anak
normal yang berusia 12 tahun.
Karakteristik fisik tunagrahita ringan adalah anak tunagrahita
ringan nampak seperti anak normal, hanya sedikit mengalami
kelambatan dalam kemampuan sensomotorik.
Karakteristik sosial/perilaku adalah anak tunagrahita ringan
mampu bergaul, menyesuaikan di lingkungan yang tidak terbatas
pada keluarga saja, namun ada yang mampu mandiri dalam
masyarakat, mampu melakukan pekerjaan yang sederhana dan
melakukannya secara penuh sebagai orang dewasa.
Karakteristik emosi adalah anak tunagrahita ringan sukar
berpikir abstrak dan logis, kurang memiliki kemampuan analisis,
asosiasi lemah, fantasi lemah, kurang mampu mengendalikan
perasaan, mudah dipengaruhi, kepribadian kurang harmonis karena
tidak mampu menilai baik buruk. Tidak mampu mendeteksi
kesalahan pada dirinya, sehingga acuh tak acuh.
Karakteristik motorik adalah anak tunagrahita ringan
mengalami kelambatan dalam kemampuan sensorimotorik. Dalam
berbicaranya banyak yang lancar, tetapi perbendaharan kata masih
Selain itu, karakteristik anak tuna grahita adalah sebagai
berikut (Beirne-Smith, Ittenbatch dan Patton, 2002, dalam Eggen
dan kauchak, 2004) :
1. Memiliki pengetahuan umum yang sangat terbatas
2. Sangat sulit memahami ide-ide yang abstrak
3. Keterampilan menulis dan membaca sangat rendah
4. Strategi dalam upaya mengembangkan kemampuan
membaca dan belajar sangat rendah
5. Sangat sulit mentransfer ide tertentu ke dalam situasi
nyata
θ. Keterampilan motorik berkembang sangat lambat
ι. Keterampilan interpersonal sangat tidak matang
Kategori anak tunagrahita menurut tingkatan dan kemampuannya
dikemukakan oleh Santrock (2009) dan di
http://medicastore.com/penyakit/92ι/keterbelakangan_mental.html,
disajikan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel Kategori anak Tunagrahita
Tunagrahita dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok:
1. Anak tunagrahita mampu didik/tunagrahita ringan (IQ 50-ι0)
Anak tunagrahita mampu didik/tunagrahita ringan
program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki kemampuan yang
dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya tidak
maksimal.
Kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak
tunagrahita mampu didik adalah:
a. Membaca, menulis, mengeja dan berhitung
b. Menyesuaikan diri dan tidak menggantungkan diri pada orang
lain
c. Keterampilan sederhana untuk kepentingan kerja dikemudian
hari.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah anak tunagrahita
mampu didik berarti anak tunagrahita yang dapat dididik secara
sederhana dalam bidang-bidang akademis, sosial, dan pekerjaan.
2. Anak tunagrahita mampu latih/tunagrahita sedang (imbecil IQ
30-50)
Anak tunagrahita mampu latih/tunagrahita sedang
merupakan anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sedemikian
rendahnya sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program yang
diperuntukkan bagi anak tunagrahita mampu didik.
Kemampuan anak tunagrahita mampu latih yang perlu
diberdayakan yaitu:
a. Belajar mengurus diri sendiri (makan, pakaian, tidur, mandi
b. Belajar menyesuaikan dilingkungan rumah atau sekitarnya
c. Mempelajari kegunaan ekonomi dirumah, dibengkel kerja
(sheltered workshop) dan dilembaga khusus
Kesimpulan yang dapat diambil adalah anak tunagrahita
mampu latih berarti anak tunagrahita hanya dapat dilatih untuk
mengurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan sehari-hari
(activity daily living), serta melakukan fungsi sosial kemasyarakatan
menurut kemampuannya.
3. Anak tunagrahita mampu rawat (idiot IQ <30)
Anak tunagrahita mampu rawat merupakan anak
tunagrahitta yang memiliki kecerdasan sangat rendah sehingga ia
tidak mampu mengurus diri sendiri atau sosialisasi. Selain itu anak
tunagrahita mampu rawat adalah anak tunagrahita yang
membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia
tidak mampu terus hidup tanpa bantuan orang lain.
D. Faktor Penyebab Tunagrahita
Mengenai faktor penyebab ketunagrahitaan para ahli sudah
berusaha membaginya menjadi beberapa kelompok. Ada yang
membaginya menjadi dua gugus, yaitu indogen dan eksogen. Ada
juga yang membaginya berdasarkan waktu terjadinya penyebab,
disusun secara kronologis sebagai berikut faktor-faktor yang terjadi
lahir (natal), dan faktor-faktor yang terjadi setelah anak dilahirkan
(pos natal).
Penyebab terjadinya anak tunagrahita menurut Kirk (19ι0)
a. Faktor endogen (faktor yang dibawa sejak lahir) yaitu faktor
ketidak sempurnaan dalam memindahkan gen.
b. Faktor eksogen yaitu faktor yang terjadi akibat perubahan
patalogis dari perkembangan normal seperti mengalami penyakit
atau keadaan lainnya.
E. Pendampingan Tunagrahita secara individual maupun
klasikal
1. Rekomendasi untuk Sekolah
Berperan aktif dalam meningkatkan kualifikasi guru untuk
menangani anak berkebutuhan khusus dan memfasilitasi layanan
pendidikan khusus.
2. Rekomendasi untuk Guru
a. Guru di sekolah inklusif diharapkan lebih sedikit banyaknya
memahami konsep anak berkebutuhan khusus dan dapat
membekali diri melalui pelatihan-pelatihan mengenai
pendidikan inklusi dan konsep ABK, dengan memahami hal
tersebut diharapkan mempermudah guru untuk memberikan
pelayanan terhadap ABK sesuai dengan kebutuhan dan
b. Sebagai bahan evaluasi untuk guru khususnya, guru di sekolah
inklusi agar termotivasi untuk meningkatkan pelayanan
pendidikan yang baik dan sesuai bagi ABK, khususnya anak
tunagrahita yang ada di sekolah-sekolah inklusi.
3. Rekomendasi untuk Orang Tua
a. Orang tua ABK bersikap respontif terhadap pendidikan dan
perkembangan anak agar terciptanya perubahan dalam diri anak
melalui program-program sekoalh inklusi.
b. Adanya wadah/forum bagi perkumpulan orang tua ABK di
sekolah inklusi untuk berkerja sama dalam upaya mendidik
anaknya dan mengevaluasi kinerja guru mengenai pelayanan
anak tunagrahita di sekolah.
4. Pencegahan supaya anak tidak mengalami tunagrahita:
a. Pencegahan primer
Dilakukan untuk meningkatkan kesehatan calon anak yaitu
dengan imunisasi bagi anak dan ibu sebelum kehamilan, konseling
perkawinan, pemeriksaan kehamilan rutin, nutrisi yang baik,
persalinan oleh tenaga kesehatan, memperbaiki sanitasi dan gizi
keluarga, pendidikan kesehatan mengenai pola hidup sehat dan
program pengentasan kemiskinan.
b. Pencegahan sekunder
Dilakukan deteksi dini pada anak-anak yang mengalami
dengan cara konseling individu dengan program pembimbing
sekolah dan layanan intervensi krisis bagi keluarga yang
mengalami stress.
c. Pencegahan tersier
Dilakukan dengan memberikan informasi berupa
pendidikan kesehatan kepada orang tua dan anak mengenai
masalah kesehatan yang terjadi berulang kali dengan penekanan
pada kebutuhan gizi, kebersihan gigi, kebersihan tubuh, bahaya
alkohol, narkotik, dan zat adiktif serta merokok.
B. Kemampuan Berhitung
a. Pengertian Kemampuan
Didalam kamus bahasa Indonesia (2015), kemampuan berasal
dari kata “mampu” yang berarti kuasa (bisa, sanggup, melakukan
sesuatu, dapat, berada, kaya, mempunyai harta berlebihan).
Kemampuan adalah suatu kesanggupan dalam melakukan sesuatu.
Seseorang dikatakan mampu apabila ia bisa melakukan sesuatu yang
harus ia lakukan.
Menurut Chaplin (2011) ability (kemampuan, kecakapan,
ketangkasan, bakat, kesanggupan) merupakan tenaga (daya kekuatan)
untuk melakukan suatu perbuatan.
Kemampuan juga bisa disebut dengan kompetensi. Kata
kompetensi berasal dari bahasa Inggris “competence” yang berarti
serta wewenang. Jadi kata kompetensi dari kata competent yang berarti
memiliki kemampuan dan keterampilan dalam bidangnya sehingga ia
mempunyai kewenangan atau atoritas untuk melakukan sesuatu dalam
batas ilmunya tersebut.
Pengertian-pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa
kemampuan (ability) adalah kecakapan atau potensi menguasai suatu
keahlian yang merupakan bawaan sejak lahir atau merupakan hasil
latihan atau praktek dan digunakan untuk mengerjakan sesuatu yang
diwujudkan melalui tindakannya.
b. Pengertian Berhitung
Berhitung menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
melakukan hitungan (seperti menjumlahkan, mengurangi dan
sebagainya) (Departemen Pendidikan Nasional, 2005, 359).
Permainan berhitung merupakan bagian dari matematika,
diperlukan untuk menumbuh kembangkan ketrampilan berhitung yang
sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama konsep
bilangan yang merupakan juga dasar pagi pengembangan kemampuan
matematika maupun kesiapan untuk mengikuti pendidikan dasar
(Depdiknas, 200ι).
Keterampilan menghitung berkaitan dengan perkembangan
berpikir anak. anak sedang berada pada tahap berpikir kongkret saja.
Anak memahami bilangan tiga dari tiga buah jeruk. Ketrampilan
benda, menyebut angka, dan mengingat urutannya. Ini memang cukup
sulit bagi anak sehingga membutuhkan waktu lama baginya untuk
secara sungguhsungguh mengenal bilangan yang mewakili sejumlah
benda (Susilo,2011:109).
Hasan Alwi (2003:140) berpendapat bahwa berhitung berasal
dari kata hitung yang mempunyai makna keadaan, setelah mendapat
awalan ber- akan berubah menjadi makna yang menunjukkan suatu
kegiatan menghitung (menjumlahkan, mengurangi, membagi,
mengalikan dan sebagainya)´ Nyimas Aisyah (200ι:θ-5) menyatakan
bahwa kemampuan berhitung dalam pengertian yang luas, merupakan
salah satu kemampuan yang penting dalam kehidupan sehari-hari.
Dapat dikatakan bahwa dalam semua aktivitas kehidupan manusia
memerlukan kemampuan ini. Sedangkan menurut Peterson
menyarankan bahwa, untuk memberikan penekanan pada makna dan
pemahaman tersebut serta untuk mengembangkan kemampuan berpikir
dengan tingkat yang lebih tinggi, maka pemecahan masalah dalam
matematika tidak hanya merupakan bagian yang terintegrasi dalam
pembelajaran, melainkan harus menjadi dasar atau inti dari kegiatan.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa berhitung adalah suatu kegiatan atau sebuah cara menyenangkan
untuk belajar memahami konsep bilangan.
Matematika pada hakekatnya merupakan cara belajar untuk
seseorang dapat mengatur jalan pikirannya Suriasumantri (Ahmad
Susanto, 2011:98). Dalam kaitannya, salah satu cabang dari matematika
ialah berhitung. Berhitung merupakan dasar dari beberapa ilmu yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti, penambahan,
pengurangan, pembagian, ataupun perkalian. Untuk anak usia dini dapat
menambah dan mengurangi serta membandingkan sudah sangat baik
setelah anak memahami bilangan dan angka.
Keterampilan menghitung (arithmetic) diutamakan untuk anak
tunagrahita, karena itu sebagai bagian dari matematika yang
dasar.Matematika mempunyai cabang geometri, aljabar, termasuk
aritmatika. Aritmatika sebagai sub kategori dari matematika dan
menunjuk kepada pelajaran tentang bilangan, menghitung, tanda-tanda
hitung dan pengoperasian bilangan. Pada anak tunagrahita lebih
diutamakan pada aritmetika. Pada bidang matematika lainnya seperti
geometri, aljabar tergantung kondisi anak jika memungkinkan juga
diajarkan.
Semua kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari perlu
penggunakan matematika. Untuk itu, matematika yang dibelajarkan
bagi anak tunagrahita ringan juga menopang dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari. Bidang matematika itu antara lain : hitung
bilangan dan operasinya, bangun geometri, pengukuran serta
Belajar dengan menggunakan kemampuan intelektual di sekolah
terdapat dalam mata pelajaran matematika. Menurut Teori pembelajaran
Bruner dalam Pitadjeng (200θ: 29) belajar matematika adalah belajar
tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat
di dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan
antara konsepkonsep dan struktur-struktur matematika. Senada dengan
hal tersebut Sri Subarinah (200θ: 1) menyatakan bahwa matematika
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari struktur yang abstrak
dan pola hubungan yang ada di dalamnya. Menurut Antonius Cahya
Prihandoko (200θ: 10) matematika berkenaan dengan struktur-struktur,
hubungan-hubungan dan konsep-konsep abstrak yang dikembangkan
menurut aturan yang logis. Dengan demikian, belajar matematika
hakikatnya belajar tentang konsep, struktur konsep dan hubungan antara
konsep dan struktur konsep yang dipelajari.
Berdasarkan beberapa pendapat dari beberapa ahli tentang definisi
berhitung dapat disimpulkan bahwa berhitung adalah suatu proses
menjumlahkan, mengurangi, mengalikan dan membagi angka-angka
yang sesuai dengan tata cara yang sudah di tentukan
sebelumnya.
c. Pengertian Bilangan dan Operasi Bilangan Bilangan
Bilangan dan Operasi Bilangan Bilangan adalah konsep
matematika yang sangat penting untuk dikuasai oleh anak, karena akan
pada jenjang pendidikan formal berikutnya. Bilangan adalah suatu
obyek matematika yang sifatnya abstrak dan termasuk kedalam unsur
yang tidak didefinisikan (underfined term). Untuk menyatakan suatu
bilangan dinotasikan dengan lambang bilangan yang disebut angka.
Bilangan dengan angka menyatakan konsep yang berbeda, bilangan
berkenaan dengan nilai sedangkan angka bukan nilai melainkan suatu
notasi tertulis dari sebuah bilangan. Sedangkan yang dimaksud dengan
operasi bilangan pengerjaan pada nilai bilangan. Bilangan itu mewakili
banyaknya suatu benda (Sudaryanti, 200θ:1).
Fungsi utama pengenalan matematika ialah mengembangkan aspek
kecerdasan anak dengan menstimulasi otak untuk berpikir logis
matematik. Operasi bilangan termasuk dalam hubungan matematis,
setelah anak mampu berhitung, anak akan menyampaikanya secara
matematis.
Operasi bilangan atau yang disebut juga aritmetika yang asli
katanya dari bahasa Yunani α μό - arithnos yang berarti angka
merupakan cabang matematika yang mempelajari operasi dasar
bilangan. Operasi dasar aritmetika atau operasi dasar bilangan adalah
penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian
(http://id.wikipedia.org/wiki/Aritmetika).
Hal serupa dikemukakan pula oleh Sudaryanti (200θ:18) bahwa
operasi bilangan yang sangat dasar. Namun, untuk anak tunagrahita
ringaan kelas 1SD dapat menambah dan mengurang sudah sangat baik.
Operasi bilangan diperkenalkan pada anak setelah anak memahami
betul bilangan dan angka. Anak usia dini (tunagrahita kelas 1SD) dapat
memahami operasi bilangan dengan cara yang sangat sederhana
(Sudaryanti, 200θ:18).
Menurut Slamet Suyanto (2005:θ3), matematika bukan pelajaran
ingatan melainkan mengembangkan kemampuan berpikir. Jika anak
sudah mengenal bilangan dan memahami operasi bilangan maka anak
telah berpikir logis dan matematis, meskipun dengan cara yang sangat
sederhana.
Kemampuan anak tunagrahita saat kelas 1 SD, hampir sama
dengan anak usia dni. Pada anak usia dini kemampuan yang akan
dikembangkan diantaranya: (a) mengenali atau membilang angka; (b)
menyebut urutan bilangan; (c) menghitung benda; (d) menghitung
himpunan dengan nilai bilangan benda; (e) memberi nilai bilangan pada
suatu bilangan himpunan benda; (f) mengerjakan atau menyelesaikan
operasi penjumlahan dan pengurangan dengan menggunakan konsep
dari konkret ke abstrak. (Ahmad Susanto, 2011:θ2).
d. Kemampuan Kognitif anak usia 7-11 Tahun
Menurut Piaget sejalan dengan perkembangan anak. Pemikiran
anak secara konstan beradaptasi dalam situasi-situasi dan pengalaman
kategori mental yang sudah ada. Misalnya seekor anjing gembala Jerman
dan anjing terrier sama-sama masuk kedalam kategori anjing. Pada waktu
yang lain, anak harus mengubah kategori mental mereka untuk
mengakomodasi pengalaman-pengalaman baru mereka, misalnya seekor
kucing tidak dapat masuk ke dalam kategori anjing dan satu kategori baru
dibutuhkan, yakni kategori untuk kucing. Menurut Piaget, kedua proses
tersebut secara konstan berinteraksi sejalan dengan proses anak melalui
empat tahap perkembangan kognitif.
Salah satu perkembangan kognitif tersebut adalah Tahap operasional
konkret (usia ι-12). Pada tahap ini anak telah mengalami perkembangan
signifikan dan mampu mengatasi beberapa keterbatasan yang dialami
pada tahap sebelumnya. Mereka dapat memahami sudut pandang orang
lain dan semakin sedikit membuat kesalahan logika. Meskipun demikian,
menurut pengamatan Piaget, kemampuan baru ini umumnya
dihubungkan dengan informasi yang konkret, yakni pengalaman aktual
yang telah terjadi atau konsep-konsep yang memiliki arti yang dapat
dipahami oleh anak. Pada tahap ini anak masih membuat kesalahan
dalam berpikir saat diminta berpikir tentang ide-ide abstrak (patriotisme
atau pendidikan masa depan) atau hal-hal yang secara fisik tidak tampak.
Terlepas dari kekurangsempurnaan itu, pada tahun-tahun ini kemampuan
kognitif anak berkembang pesat. Anak akan memahami prinsip-prinsip
konservasi, konsep-konsep pemutar balikan serta hubungan sebab akibat.
pembagian, dan perkalian. Mereka dapat mengelompokkan benda-benda
(beringin adalah pohon, mawar adalah bunga) dan mengurutkan
benda-benda secara urut dari yang terkecil ke yang terbesar, dari yang berwarna
terang ke yang berwarna gelap, dari ke ukuran pendek ke ukuran tinggi.
(Wade dan Travis, 200ι)
Piaget mengemukakan bahwa semua pengetahuan adalah hasil
yang dibangun dari aktivitas yang dilakukan anak. Ada tiga jenis
pengetahuan yang dikemukakan oleh Piaget yaitu physical knowledge,
logical-mathematical knowledgedan social arbitrary knowledge.
1. Physical Knowledge
Physical Knowledge adalah pengetahuan yang berkaitan dengan
kepemilikan secara fisik, baik dalam bentuk objek maupun peristiwa,
seperti bentuk, ukuran, berat dan lain sebagainya. Anak meemiliki
pengetahuan mengenai benda fisik jika ia melakukan sesuatu terhadap
benda fisik tersebut, misalnya ketika anak memanipulasi pasir. Misalkan
saja anak bermain pasir, dan anak memasukkan pasir ke mulutnya,
menuangkan pasir ke dalam gelas ataupun melumurkan pasir ke tubuhnya.
Melalui kegitan tersebut maka anak menemukan dan membentuk
pengetahuan tentang pasir, dan pengalaman ini anak asimilasikan ke dalam
schematanya. Persyaratan membentuk physical knowledge adalah bahwa
anak harus mampu memanipulasi objek seperti anak memanipulasi pasir.
membaca, mengamati gambar atau mendengarkan orang berbicara. Karena
ini menggambarkan bentuk secara simbolik saja, namun harus melalui
manipulasi objek.
2. Logical Mathematicaal Knowledge
Logical Mathematicaal Knowledge adalah pengetahuan yang
diperoleh dari aktivitas berpikir tentang suatu objek dan peristiwa. Seperti
halnya dengan physical knowledge, logical mathematicaal knowledge
hanya dapat berkembang jika anak memanipulasi objek namun berbeda
cara membangunnya. Dalam proses penemuannya, anak tidak secara
langsung menemukan logical mathematicaal knowledge, namun dibangun
atas dasar pemahaman objek yang dimanipulasi. Misalnya naka diberi
pelatihan tentang bilangan 1,2,3,4,5,θ,ι,8,9,10. Setiap bilangan disertakan
dengan objek tertentu, misalnya bola: bilangan 1 disertai dengan 1 buah
bola, bilangan 2 disertai 2 bola dan seterusnya. Pelatihan ini dilakukan
sedemikian rupa dengan menggunakan metode tertentu, sehingga anak
pada akhirnya memahami konsep bilangan 1,2,3,4,5,θ,ι,8,9,10.
Pemahaman ini sudah berupa pemahaman simbolik terhadap makan
bilangan. Pengetahuan ini juga tidak diperoleh melalui aktivitas membaca
dan mendengar, melainkan harus dilakukan dengan memanipulasi objek.
3. Social Arbitrary Knowledge
Social Arbitrary Knowledge adalah pengetahuan yang diperoleh
tentang aturan, hukum, moral, etika, nilai dan sistem bahasa. Pengetahuan
tentang nilai kemanusiaan adalah pengetahuan yang meliputi semua sistem
dalam budaya, yang menjadiacuan berperilaku bagi komunitas
masyarakatnya. Social Arbitrary Knowledge tidak diperoleh seperti
pengetahuan physical knowledge dan logical mathematical knowledge,
akan tetapi diperoleh dari pola interaksi anak dengan limgkungan
budayanya. Anak mendapat pengasuhan dari orangtua atau berinteraksi
dengan orang-orang yang bermakana dalam proses perjalanan
kehidupannya, dalam hal ini disebut dengan proses enkulturasi. (Pandeirot,
Surna : 2014)
Piaget mengemukakan empat faktor yang berkaitan dengan
perkembangan kognitif yaitu :
1. Maturation and heredity
Piaget meyakini bahwa faktor hereditas memegang peran penting
dalam perkembangan kognitif, namun faktor hereditas saja tidak mungkin
menjadikan perkembangan kognitif dapat optimal. Kematangan
(maturation) adalah salah satu faktor yang turut menentukan
perkembangan kognitif. Kematangan berperan sebagai potensi dasar yang
memberi peluang dan berlangsung secara alamiah, dan perkembangan
kognitif itu sangat dipengaruhi oleh anak dalam memanipulasi
2. Active experience
Active experience adalah salah satu faktor dari empat faktor dalam
perkembangan kognitif. Masing-masing pengetahuan dibangun oleh anak
yaitu physical knowledge, logical mathematical knowledge, dan social
arbitrary knowledge. Bangunan pengetahuan ini mensyaratkan anak untuk
berinteraksi dengan lingkungannya. Active experience akan merangsang
terjadinya proses assimilation dan accomodation yang berdampak pada
perkembangan kognitif.
3. Social interaction
Faktor lain yang mempengaruhi perkembangan kognitif adalah
social interaction. Piaget berpendapat bahwa terjadinya pertukaran ide
atau pendapat diantara orang dalam masyarakat terutama orang-orang
yang dipandang signifikan dapat mempengaruhi perkembangan kognitif
anak. Perkembangan konsep atau schemata dapat diklasifikasikan sebagai:
a. Benda fisisk yang dapat ditangkap oleh indra (misalnya dapat
dilihat, didengar, diraba atau diamati)
b. Benda yang tidak dapat dilihat dan tidak tampak pengamatan
oleh mata.
Konsep pohon adalah sebuah benda fisik yang dapat dilihat,
sedangkan konsep kejujuran tidak dapat diamati oleh mata. Anak
mengembangkan kemampuannya dalam upaya memahami konsep tentang
demikian halnya ketika anak membangun pengetahuannya tentang apa
yang disebut kejujuran yang merupakan social arbitratry konowledge.
Pengetahuan ini harus dilalui anak melalui intraksinya dengan orang lain,
dimasyarakat dalam budayanya. Interaksi anak dengan lingkungan dapat
mendorong adanya ketidak seimbangan kognitif akibat upaya mempelajari
physical dan logical mathematical knowledge. Jika anak ditempatkan pada
lingkungan situasi tertentu dan terjadi konflik dalam konteks cara berpikir
dengan orang dewasa, konflik ini sebenarnya menggiring anak untuk
bertanya lebih jauh mengapa terjadi perbedaan pendapat dan inilah yang
menyebabkan diseuilibrium. Interaksi dengan teman sebaya, orang
dewasa, orang tua, dan orang lainnya akan memberi dampak signifikan
terhadap perkembangan kognitif anak.
4. General progression of equilibrium
Maturation, experience, dan social interaction tidaklah cukup
untuk menjelaskan perkembangan kognitif. Piaget mengemukakan dua hal
yang penting yaitu :
a. Adanya koordinasi adalah aspek penting dalam mengembangkan
keseimbangan.
b. Upaya membangun pengetahuan sebaiknya dilakukan melalui
trial and error dan regulasi diri. (Pandeirot, Surna : 2014)
e. The Stage of Concrete Operation
Pada tahapan perkembangan konkret (usia ι-11 tahun) proses
penalaran anak mengarah pada kemampuan berpikir logis. Piaget
menyebutnya logical operation. Piaget mengemukakan “Intellectual
operation is an internalized system of actions that is fully reversible”,
dimana anak membangun proses berpikir logis yang dapat diaplikasikan
pada masalah-masalah konkret. Tidak seperti halnya pada tahap
perkembangan praoperasional, anak pada tahapan operasi konkret tidak
memiliki area dan liquid. Jika anak dihadapkan dengan masalah
kesenjangan antara berpikir dan persepsi sebagaimana dengan masalah
conservation, anak pada tahapan operasi konkret telah menggunakan
kognisi dan logika dalam membuat keputusan yang berbeda dengan
keputusan yang bersifat perseptual.
Usia ι-11 tahun adalah periode dimana beroperasinya seluruh
aspek kognitif anak, dan mulai terbatasnya aktivitas intelektual yang
dilalui anak pada usia tahapan perkembangan praoperasional. Yang
menonjol pada tahapan perkembangan operasi konkret adalah muculnya
kemampuan berpikir transformasi. Hal penting lagi adalah diperolehnya
kemampuan dalam melakukan perhitungan dengan memahami makna
kuantitas atau jumlah secara lebih akurat. Hal ini menunjukkan telah
terjadi aktivitas mental anak, perilaku yang kooperatif, serta komunikasi
yang dialogis dan tidak egois. Inilah tahapan anak yang mulai memasuki
Aktivitas bernalar yang menunjukkan perkembangan fungsi schemata
telah tampak, terutama dalam membuat klasifikasi, konsep sebab akibat,
pemahaman ruang dan waktu, serta pemahaman tentang arah dan
kecepatan.
Pada tahap operasi kokret ini anak belum mencapai kemampuan
berpikir tahap tertinggi, tetapi merupkan awal munculnya kemampuan
berpikir yang mengarah pada logika yang masih berdasarkan realitas
faktual. Anak belum memiliki kemampuan memecahkan masalah yang
bersifat abstrak, dengan menguji hipotesis yang didasarkan pada masalah.
Anak masih murni verbal, artinya memecahkan masalah tidak didasarkan
pada fakta faktual dan juga belum memahami keterkaitan berbagai
variabel yang menjadi dasar dalam menganalisis masalah tertentu. Dapat
dikatakan bahwa tahap perkembangan praoperasional adalah transisi
antara berpikir pralogis ke tahap berpikir logis secara optimal.
Berikut ini akan dulas beberapa karakteristik dari tahapan berpikir
operasi konkret:
1. Egocentrism dan Socialization
Pada tahap perkembangan praoperasional, orientasi berpikir anak
didominasi oleh berpikir egosentris, kurang memiliki kemampuan untuk
mendengarkan kemampuan orang lain dan kurang tanggap terhapad
penilaian orang lain, serta senantiasa didasarkan pada pendapat diri
berorientasi hanya pada kebenaran pendapat sendiri, serta secara sadar
memeprtimbangkan pendapat orang lain, menghargai perbedaan pendapat,
menyadari bahwa perbedaaan itu pasti ada dan patut dihargai, dan juga
mencari pembenaran berdasarkan pertimbangan orang lain. Kemampuan
berbahasa telah dijadikan alat penting dalam upaya mengkomunikasikan
pendapatnya. Anak telah menyadari bahwa keseimbangan itu hanya
diperoleh melalui interaksi sosial yang diaplikasikan dalam perilaku sosial.
Komunikasi anak telah bersifat dialogis, bukan monologis, sehingga
terdapat pertukaran informasi yang konstruktif pada diri anak.
2. Centration
Pada tahap perkembangan operasi konkret, konsep berpikir anak
tidak lagi didasarkan pada cara pandang sendiri, melainkan juga atas dasar
pertimbangan dan pendapat orang lain. Anank telah mampu memahammi
perbedaan pendapat sendiri dengan pendapat orang lain, dan berupaya
mencari pemebenaran berdsaarkan pertimbangan orang lain. Sifatnya
adalah de centered yang artinya anak telah memiliki kemampuan konkret
yang mengarah pada solusi yang bersifat logis ke tahap pemecahan
masalah yang aktual dan nyata.
3. Transformation
Pada tahap perkembanagn operasi konkret, anak telah mencapai
tingkat berpikir yang secara fungsional telah memahami makna
termasuk masalah perubahan secara konkret dan menyadari makana dan
hubungan antara setiap tahapan dimana terjadi perubahan.
4. Reversibility
Tahap perkembangan berpikir operasi konkret telah ditandai juga
oleh kemampuan berpikir yang dapat memaknai secara benar sekalipun
benda tertentu diacak atau tidak berurutan tempatnya. Anak tidak
mengalami kesulitan jika diberi pemecahan masalah perhitungan,
sekalipun bilangan yang dijadikan perhitungan diacak dan anak akan
mampu memberi jawaban secara tepat. Begitu pula halnya jika anak
dihadapkan dengan konsep tentang isi volume benda cair yang diisi dalam
tabung yang bentuknya bebeda. Anak telah memiliki kemampuan untuk
memahami isi dan tidak dipengaruhi oleh tempat dimana benda cair itu
ditempatkan.
5. Conservation
Pada tahap perkembangan operasi konkret, anak telah memiliki
kemampuan berpikir logis dan memecahkan masalah yang bersifat
conservation. Kemampuan memahami keterkaitan antar fakta, mengikuti
perubahan, pembalikan bilangan, dan bilangan acak menandakan bahwa
anak telah berkembang dan memiliki kemampuan berpikir yang lebih
tinggi. Anak telah mampu memecahkan masalah perhitungan pada sekitar
Dasar pemikiran Bruner, yang mengarah pada perkembangan
intelektual, sangat mirip dengan dasar pemikiran piaget, tetapi ada
beberapa perbedaan yang penting dan cukup mendasar. Studi Piaget
terutama berkenaan dengan penjelasan mengenai apakah yang terjadi, dia
menjelaskan mekanisme apa yang terjadi didalam perkembangan
intelektual, terutama dalam rangka menjernihkan penjelasan mengenai hal
apa yang terjadi itu sendiri. Bruner,dilain pihak diliputi banyak pertanyaan
kepada dirinya sendiri bagaimana dan mengapa perkembangan intelektual
itu terjadi. Sementara Piaget menganggap bahwa proses pematangan yang
terjadi merupakan faktor yang paling utama sedangkan kebudayaan dan
pendidikan merupakan faktor penunjang, maka Bruner justru
menempatkan kedua faktor terakhir tersebut sebagai faktor yang paling
utama. Bruner tidak menyetujui pandangan Piaget yang menyatakan
bahwa motivator utama atau pengaruh utama terhadap pertumbuhan
intelektual adalah biologi, karena Bruner berpendapat bahwa apabila
perkembangan bilogi menekan seseorang ke arah perilaku yang lebih
dapat menyesuaikan diri, maka lingkungan pun akan menarik orang
tersebut ke arah yang sama. Disini Bruner menekankan bahwa dia hanya
melakukan studi terhadap anak tanpa menguji pengalaman mereka, dan
lingkungannya pun dibatasi untuk memberikan gambaran yang tak
lengkap. Piaget hanya menyatakan bahwa perkembangan intelektual
sedangkan Bruner lebih menekankan penguat kemampuan anak dan
menganggap bahwa lingkungan anaklah yang bertindak sebagai penguat.
Akan tetapi sama halnya dengan Piaget, Bruner yakin bahwa
perkembangan pada diri anak itu sendirilah yang memainkan peranan
aktif didalam perkembangan anak. Meskipun keluarga,sistem pendidikan,
dan teman-teman anak tersebut secara nyata juga mempenaruhi
perkembangan anak, namun anak membuat sendiri dunianya (Sense if the
world). (Hardy dan heyes, 1988)
C. Permainan Kartu Gambar
a. Pengertian Permainan Kartu Gambar
Kartu juga merupakan alat bantu yang menggunakan indra
penglihatan paling dominan. Kartu seringkali dimanfaatkan guru untuk
memberi penguatan pada siswa (drilling) mengenai suatu konsep Bahasa
tertentu ataupun untuk memberi kesempatan siswa mempraktekan aspek
Bahasa yang sudah dikenal oleh guru (Mahmuda, 2008).
Kartu bergambar merupakan media yang mempunyai peranan
penting untuk memperjelas pengertian dan gambar dapat di hindarkan
kesalahan pengertian antara apa yang dimaksud oleh guru dengan apa
yang di tangkap oleh siswa (Tang La, 2008).
Luquit (dalam Piaget, 2010: ι2) mengklasifikasikan gambar
sebagai permainan. Selain itu bahkan dalam bentuk awalnya tidak
mungkin terdapat asimulasi bebas terhadap realitas pada skema subyek.
tetapi pada waktu gambar merupakan sebuah persiapan bagi akomodasi
imitative, tetapi pada waktu lain adalah produk akomudasi tersebut.
Antara citra grafis dan citra internal (“model internal”luquet), terdapat
interaksi yang tak terkira banyaknya, karena kedua fenomena itu
langsung berasal dari imitasi. Dengan demikian, realisme gambar
melewati fase-fase yang berlainan. Luquet memakai frase “realism
kebetulan” untuk mengacu realism tulisan cakar ayam yang mangkanya
ditemukan pada saat sedang membuatnya. Lalu muncul “realisme
gagal,” atau fase ketidak mampuan sintetis, yang didalamnya unsure
salinan ditempatkan pada posisi sejajar, bukanya kordinasi keseluruha:
topi jahu diatas kepala, atau kancing diatas tubuh . Orang kerdil, salah
satu gambar anak-anak pertama yang paling lazim, melewati tahapan
yang sangat menarik: gambar “manusia berudu,” yang terdiri dari
kepala dilengkapi dengan anggota tubuh mirip garis (kaki), ataun
dengan lengan dan kaki, tetapi tanpa badan.
Realisme intelektual di ganti kan oleh realisme visual, yang
memunculkan dua karakteristik baru. Pertama, kini gambar hanya
menggambarkan apa yang kelihatan dari suatu perspektif tertentu.
Sebuah gambar tampak samping sekarang hanya memiliki satu matu,
dan lai-lain, sebagaimana terlihat dari samping, dan bagian-bagian
objek yang tersembunyi tidak lagi dihadirkan. Juga objek- objek pada
latar belakang secara berangsur-angsur dibuat mengecil (garis-garis
Kedua, objek dalam gambar diatur sesuai dengan perencanaan secara
keseluruhan (potongan-potongan koordinator), dan proporsi
geometrisnya (Piaget, 2010).
2. Pengaruh Permainan Kartu Gambar terhadap Kemampuan
Berhitung Anak Tunagrahita Ringan
Anak tunagrahita mampu didik/tunagrahita ringan merupakan
anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti pada program sekolah
biasa, tetapi ia masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan
melalui pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal.
Kartu bergambar merupakan media yang mempunyai peranan
penting untuk memperjelas pengertian dan gambar dapat di hindarkan
kesalahan pengertian antara apa yang dimaksud oleh guru dengan apa
yang di tangkap oleh siswa (Tang La, 2008).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan permainan kartu
gambar untuk meningkatkan kemampuan berhitung anak berkebutuhan
Berikut ini penjelasan berupa gambaran skema visual adalah sebagai
berikut.
Variabel X Variabel Y
Hipotesis
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti dapat menarik hipotesis yang
akan di ambil dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh Permainan Kartu
Gambar Terhadap Kemampuan Berhitung Anak Tunagrahita di SD “ sebagai
berikut :
Hipotesis akhir (Ha):
Kemampuan Berhitung Anak Tunagrahita Meningkat Melalui Permainan
Kartu Gambar.
Per ai a Kartu Ga bar
Ke a pua Berhitu g Dasar
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode
penelitian eksperimen. Metode penelitian eksperimen menurut
Sugiyono (2013) adalah sebuah metode penelitian yang digunakan
untuk mencari pengaruh perilaku tertentu terhadap yang lain, dalam
kondisi yang terkendalikan. Dalam penelitian eksperimen ada
perlakuan (treatment).
Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
dari dua variabel. Variabel-variabel tersebut adalah :
a. Variabel terikat : Kemampuan Berhitung
b. Variabel bebas : Permainan Kartu Gambar
2. Definisi Operasional
a. Variabel Kemampuan Berhitung
Kemampuan berhitung merupakan suatu aktivitas menghitung
mulai dari 1 sampai 10 yang dilakukan oleh siswa tunagrahita kelas 1
di SDN Sidosermo 1 Surabaya.
Instrumen pengumpulan data, alat ukur yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan lembar observasi sebagai instrumen
pengumpulan data yang utama. Lembar observasi tersebut dibuat
b. Variabel Permainan Kartu Gambar
Kartu bergambar merupakan alat yang digunakan untuk
membantu memperjelas suatu pengertian. Dalam permainan kartu
gambar ini subjek akan diberikan beberapa kartu gambar yang
berisikan tentang angka 1 sampai 10.
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian eksperimen ini
berjumlah 2 anak Tunagrahita kelas 1 di SDN Sidosermo 1. Subjek penelitian
yang akan digunakan dalam penelitian eksperimen ini ialah anak tunagrahita
yang dudukdikelas 1 SD. Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek
penelitian dari suatu populasi target yang akan diteliti (Notoatmodjo, 2010).
Kriteria inklusi dalam penelitian ini terdiri dari : 1) responden adalah anak
tunagrahita yang mampu berbahasa dan komunikasi, 2) responden yang orang
tuanya bersedia menandatangani surat ijin penelitian, dengan data sebagai
berikut :
1. Subjek pertama
Nama : ZR
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia :
Tempat Sekolah : SD Sidosermo 1
2. Subjek kedua
Nama : FH
Usia :
Tempat Sekolah : SD Sidosermo 1
C. Desain Eksperimen
Bentuk desain eksperimen ini adalah rancangan kasus tunggal (
single-case experimental design). Dalam single-case experimental, peneliti
mengobservasi perilaku satu individu utama (atau sejumlah kecil individu)
sepanjang penelitian (Creswell, 2013).
Desain eksperimen kasus tunggal (single-case experimental design)
merupakan sebuah desain penelitian untuk mengevaluasi efek suatu perlakuan
(intervensi) dengan kasus tunggal. Kasus tunggal dapat berupa beberapa
subjek dalam satu kelompok atau subjek yang diteliti adalah tunggal (N=1)
(Latipun, 2006).
Desain eksperimen kasus tunggal, baik sampel kelompok maupun N=1,
untuk kasus tertentu dianggap paling cocok untuk meneliti manusia, terutama
apabila perilaku yang diamati tidak mungkin diambil rata-ratanya. Dalam
beberapa kasus, rata-rata kelompok tidak dapat mencerminkan keadaan
perilaku individu di dalam kelompok itu. Dengan kata lain, rata-rata
kelompok tidak selalu mencerminkan keadaan individu-individu dalam
kelompoknya. Kasus-kasus khusus demikian jika hendak dieksperimen yang
paling memungkinkan adalah eksperimen kasus tunggal. Jadi di dalam
penelitian ini, peneliti m elakukan pengukuran yang sama dan berulang-ulang
terikat (dependen) dari hari ke hari. Peneliti memilih desain ini karena
penekanan dalam penelitian ini adalah “clinical setting” atau pada efek terapi.
Alasan lain yang mendasari pemakaian desain ini ialah jumlah subjek
penelitian yang sangat terbatas sehingga tidak dapat dilakukan komparasi
antar kelompok (Latipun : 2006).
Suatu desain eksperimen kasus tunggal (single-case experimental
design) diperlukan dan harus melakukan pengukuran keadaan awal sebagai
fungsi prates. Keadaan awal (baseline) merupakan pengukuran (beberapa)
aspek dari perilaku subjek selama beberapa waktu sebelum perlakuan.
Rentang waktu pengukuran untuk menetapkan baseline ini disebut fase
keadaan awal (baseline phase). Fase keadaan awal ini memiliki fungsi
deskriptif dan fungsi prediktif. Fungsi deskriptif (descriptive function) adalah
fungsi untuk meramalkan level performansi (perilaku) subjek juka tidak ada
intervensi. Baseline berfungsi sebagai landasan pembanding untuk menilai
keefektifan suatu perlakuan (Sunanto :2006).
Sumanto (1990; dalam Latipun, 2008) menjelaskan bahwa desain
eksperimen kasus tunggal dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu
A-B-A withdrawal, baseline majemuk dan perlakuan berganti-ganti. Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan desain A-B-A withdrawal. Yang
dimaksud dengan withdrawal design adalah meniadakan perlakuan untuk
melihat apakah perlakuan tersebut efektif. Rancangan ini menerapkan
observasi terus-menerus pada suatu individu utama. Target perilaku dari
utama yang menjadi garis dasar (baseline) untuk diteliti. Perilaku dasar ini
kemudian dinilai, di-treatment, sebelum pada akhirnya treatment tersebut
dihentikan di tahap akhir penelitian (Creswell, 2013). Pengertian baseline
(keadaan awal) ialah hasil pengukuran perilaku yang dilakukan sebelum
diberikannya sebuah perlakuan (intervensi), yang memungkinkan
dilakukannya pembandingan dan pengukuran terhadap efek-efek intervensi
(Sunanto, 2005).
Desain A-B-A withdrawal pada dasarnya melibatkan fase baseline (A)
dan fase perlakuan (B). withdrawal berarti menghentikan perlakuan dan
kembali kepada baseline. Ada sejumlah variasi desai A-B-A withdrawal,
yang paling sederhana dan sering digunakan dalam penelitian perilaku yaitu
desain A-B, A-B-A, dan A-B-A-B. Pada desain withdrawal ini, peneliti
menggunakan tipe variasi A-B-A, hal ini karena peneliti ingin melihat
seberapa besar peningkatan kemampuan interaksi sosial pada anak autis
(Latipun, 2006).
Desain A-B-A merupakan salah satu pengembangan dari desain dasar
A-B, desain A-B-A ini telah menunjukkan adanya hubungan sebab akibat
antara variabel terikat dan variabel bebas. Prosedur dasarnya tidak banyak
berbeda dengan desain A-B, hanya saja telah ada pengulangan fase baseline.
Mula-mula target behavior diukur secara kontinyu pada kondisi baseline (A1)
dengan periode waktu tertentu kemudian pada kondisi intervensi (B). berbeda
dengan desain A-B, pada desain A-B-A setelah pengukuran pada kondisi