• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PERMAINAN KARTU GAMBAR TERHADAP KEMAMPUAN BERHITUNG SISWA TUNAGRAHITA DI SEKOLAH INKLUSI (SDN SIDOSERMO 1) SURABAYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PERMAINAN KARTU GAMBAR TERHADAP KEMAMPUAN BERHITUNG SISWA TUNAGRAHITA DI SEKOLAH INKLUSI (SDN SIDOSERMO 1) SURABAYA."

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PERMAINAN KARTU GAMBAR TERHADAP KEMAMPUAN BERHITUNG SISWA TUNAGRAHITA di SEKOLAH INKLUSI (SDN

SIDOSERMO 1) SURABAYA SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program

Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Fitri Yanuar Aini B07212050

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)

PENGARUH PERMAINAN KARTU GAMBAR TERHADAP KEMAMPUAN BERHITUNG SISWA TUNAGRAHITA di SEKOLAH INKLUSI (SDN

SIDOSERMO 1 SURABAYA)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program

Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Fitri Yanuar Aini B07212050

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(3)
(4)
(5)
(6)

 

INTISARI

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh permainan kartu gambar terhadap kemampuan berhitung anak tunagrahita. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan eskperimen. Subjek penelitian berjumlah 2 anak dengan kriteria inklusi usia 1 SD, sehat, dan memiliki IQ dalam rentang

50-70 (tunagrahita ringan), penelitian ini menggunakan teknik Single Subject Research.

Pemilihan modul (permainan kartu gambar) melalui expert jugment dengan dua ahli,

yaitu ahli psikologi pendidikan dan ahli psikologi klinis. Alat tes yang digunakan adalah lembar observasi kemampuan berhitung yang terdiri dari 6 aitem yang menggunakan penyekoran sesuai kemampuan subjek. Hasil penelitian menggunakan

teknik analisis visual grafik.  Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua

instrumen yaitu instrumen perlakuan (panduan pembelajaran) dan instrumen pengukuran berupa lembar observasi skala interaksi sosial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode permainan kartu gambar efektif untuk meningkatkan kemampuan berhitung anak tunagrahita.

(7)

 

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the effect of drawing card game against the numeracy skills of children with intellectual challenges. This research is a quantitative research using experimentation. Subjects numbered 2 children with 1 SD age inclusion criteria, healthy, and has an IQ in the range of 50-70 (mild mental retardation), this study using the technique of Single Subject Research. Selection module (card game images) through expert jugment with two experts, namely educational psychologists and clinical psychologists. Assay used is observation sheet numeracy consisting of 6-item using appropriate scoring ability of the subject. The results using a visual graph analysis techniques. In this study, researchers used two instruments, namely instrument treatment (study guides) and measuring instruments in the form of social interaction scale observation sheet. The results showed that the method of a card game image effectively to improve the numeracy skills of children with intellectual challenges.

(8)

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Keaslian Penelitian ... 7

BAB II Kajian Pustaka ... 10

1. Kemampuan Berhitung Anak Tunagrahita Ringan ... 10

a. Definisi Tunagrahita ... 10

b. Karakteristik Tunagrahita ... 12

c. Tipe Tunagrahita ... 17

d. Faktor Penyebab Tunagrahita ... 19

e. Pendampingan Tunagrahita secara individual maupun klasikal 20 2. Kemampuan Berhitung ... 22

a. Pengertian Kemampuan ... 22

b. Pengertian Berhitung ... 23

c. Pengertian Bilangan dan Operasi Bilangan Bilangan ... 26

d. Kemampuan Kognitif anak usia 7-11 Tahun ... 28

3. Permainan Kartu Gambar ... 40

(9)

67

Hipotesis ... 43

BAB III METODE PENELITIAN ... 44

A. Variabel dan Definisi Operasional ... 44

1. Variabel Penelitian ... 44

2. Definisi Operasional ... 44

a. Variabel Kemampuan Berhitung ... 44

b. Variabel Permainan Kartu Gambar ... 45

B. Subjek Penelitian ... 45

C. Desain Eksperimen ... 46

D. Prosedur Eksperimen ... 51

E. Instrumen Penelitian ... 53

1. Alat Ukur ... 53

2. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 56

3. Validitas Eksperimen ... 59

F. Analisis Data ... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 66

A. Deskripsi Subjek ... 66

B. Deskripsi Dan Reliabilitas Data ... 67

C. Hasil ... 68

D. Pembahasan ... 126

(10)

68

A. Kesimpulan ... 199

(11)

   

BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar belakang

Peserta didik dalam dunia pendidikan dapat kita temui anak pada

umumnya dan anak berkebutuhan khusus. Anak pada umumnya adalah anak yang

mampu mengikuti semua kegiatan belajar mengajar tanpa harus mendapatkan

perhatian khusus. Sedangkan anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang

mengalami gangguan atau hambatan dalam proses kegiatan belajar mengajar dan

membutuhkan perhatian khusus baik dalam bidang akademik maupun non

akademik.

Amanat hak atas pendidikan bagi penyandang berkalinan atau ketunaan

ditetapkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional Pasal 32 disebutkan bahwa: “Pendidikan khusus (pendidikan luar biasa)

merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam

mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosioinal, mental, sosial”

(UU Sisdiknas, 2003: 21)

Ketetapan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tersebut bagi anak

penyandang kelainan sangat berarti karena memberi landasan yang kuat bahwa

anak berkelainan perlu memperoleh kesempatan yang sama sebagaimana yang

diberikan kepada anak normal lainnya dalam hal pendidikan dan pengajaran.

Dengan memberikan kesempatan yang sama kepada anak berkelainan untuk

(12)

   

partisipasi pendidikan anak normal dengan anak berkebutuhan khusus. Untuk bisa

memberikan layanan pendidikan yang relevan dengan kebutuhannya, guru perlu

memahami sosok anak spesial, jenis, karakteristik, etiologi penyebab

berkebutuhan khusus, dampak psikologis serta prinsip-prinsip layanan pendidikan

anak berkebutuhan khusus. Hal ini dimaksudkan agar guru memiliki wawasan

yang tepat tentang keberadaan anak berkebutuhan khusus, dalam hal ini anak

tunagrahita sebagai sosok individu masih berpotensi dapat terlayani secara

maksimal.

Menurut Mumpuniarti (2007: 1) Salah satu penyebab problema belajar

pada subyek didik adalah hambatan mental. Penyebab dari problema belajar pada

mereka ada yang dapat diamati segera (observable) atau yang tidak dapat diamati

(unobservable). Pada anak yang penyebab dapat diamati akan segara dilabel

sebagai anak yang berkebutuhan khusus namun bagi penyebabnya tidak dapat

diamati akan menimbulkan problem pendekatan di dalam layanan pendidikan. Hal

itu dikarenakan perilakunya sehari-hari nampak seperti anak umumnya, tetapi

mengalami hambatan di bidang akademik.

Permasalahan utama anak tunagrahita ringan terletak pada masalah mental

atau psikis yaitu berkaitan dengan kemampuan intelektualnya di bawah rata-rata,

kemampuan berfikir rendah, perhatian juga daya ingatnya lemah, sukar berpikir

abstrak, maupun tanggapan yang cenderung konkret visual dan cenderung cepat

bosan. Mengingat berbagai kondisi atau hambatan yang dialami anak tunagrahita

tersebut sangat komplek, maka pendidikan disesuaikan dengan kondisi dan

(13)

   

matematika yang meliputi kualitas perencanaan pembelajaran, kualitas proses

pembelajaran, dan output yaitu prestasi belajar matematika. Matematika yang

diperuntukkan bagi siswa tunagrahita terutama adalah kemampuan berhitung.

Ada dua alasan pentingnya keterampilan berhitung, yaitu:: ”kemampuan

yang berharga untuk menentukan jawaban yang benar dalam tugas-tugas

pemecahan masalah; dan membantu siswa untuk menentukan jawaban yang

rasional dalam situasi kehidupan sehari-hari” (Mumpuniarti, 2007: 125).

Menurut Chaplin, ability (kemampuan, kecakapan, ketangkasan,

bakat, kesanggupan) merupakan tenaga (daya kekuatan) untuk melakukan

suatu perbuatan. Berhitung merupakan bagian dari matematika, yang sangat

diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama konsep bilangan yang

merupakan dasar bagi pengembangan kemampuan matematika maupun

kesiapan untuk mengikuti pendidikan dasar (Depdiknas, 2007:1). Berhitung

berasal dari kata hitung yang berarti membilang (menjumlahkan,

mengurangi, membagi, memperbanyakkan dan sebagainya) (Kamus Besar

Bahasa Indonesia, 2002: 405).

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan

berhitung merupakan kesanggupan untuk menjumlahkan, mengurangi, membagi

dan mengkali bilangan. Hal ini diawali dengan berhitung (menjumlah dan

mengurangi) bilangan sederhana seperti seputar angkat 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10 pada

(14)

   

Menurut hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang

dilaksanakan Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, jumlah penyandang

disabilitas di Indonesia sebanyak 6.008.661 orang. Dari jumlah tersebut sekitar

1.780.200 orang adalah penyandang disabilitas netra, 472.855 orang penyandang

disabilitas rungu wicara,402.817 orang penyandang disabilitas grahita/intelektual,

616.387 orang penyandang disabilitas tubuh, 170.120 orang penyandang

disabilitas yang sulit mengurus diri sendiri, dan sekitar 2.401.592 orang

mengalami disabilitas ganda.

Peneliti memilih di SD dikarenakan ditemui beberapa siswa tunagrahita

ringan yang masuk pada tahun ajaran baru dan duduk di bangku kelas 1

mengalami kesulitan dalam menerima pelajaran berhitung. Disini peneliti

menggunakan kartu gambar sebagai media untuk membantu kemampuan

berhitung siswa tunagrahita ringan.

Pada tahapan perkembangan konkret (usia 7-11 tahun) proses penalaran

anak mengarah pada kemampuan berpikir logis. Piaget menyebutnya logical

operation. Piaget mengemukakan “Intellectual operation is an internalized system

of actions that is fully reversible”, dimana anak membangun proses berpikir logis

yang dapat diaplikasikan pada masalah-masalah konkret.

Menurut Piaget, salah satu jenis pengetahuan yang dimiliki anak adalah

logical mathematicaal knowledge adalah pengetahuan yang diperoleh dari

aktivitas berpikir tentang suatu objek dan peristiwa. Seperti halnya dengan

(15)

   

jika anak memanipulasi objek namun berbeda cara membangunnya. Dalam proses

penemuannya, anak tidak secara langsung menemukan logical mathematicaal

knowledge, namun dibangun atas dasar pemahaman objek yang dimanipulasi.

Misalnya naka diberi pelatihan tentang bilangan 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10. Setiap

bilangan disertakan dengan objek tertentu, misalnya bola: bilangan 1 disertai

dengan 1 buah bola, bilangan 2 disertai 2 bola dan seterusnya. Pelatihan ini

dilakukan sedemikian rupa dengan menggunakan metode tertentu, sehingga anak

pada akhirnya memahami konsep bilangan 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10. Pemahaman ini

sudah berupa pemahaman simbolik terhadap makan bilangan. Pengetahuan ini

juga tidak diperoleh melalui aktivitas membaca dan mendengar, melainkan harus

dilakukan dengan memanipulasi objek.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk meneliti apakah

Permainan Kartu Gambar dapat meningkatkan kemampuan berhitung anak

tuna grahita. Dan penelitian yang akan dilakukan ini berjudul “Pengaruh

Permainan Kartu Gambar Terhadap Peningkatan Kemampuan Berhitung Anak

Tuna Grahita”.

b. Rumusan Masalah

Setelah melihat latar belakang yang ada dan agar penelitian ini tidak

terjadi kerancuan, maka penulis dapat membatasi dan merumuskan permasalahan

yang akan diangkat dalam penelitian ini sebagai berikut : Apakah Permainan

(16)

   

c. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Apakah Permainan Kartu

Gambar Dapat Meningkatkan Kemampuan Berhitung Anak Tunagrahita.

d. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan diadakanannya penelitian yang telah dipaparkan di

atas, maka manfaat penelitian ini, yaitu :

a. Manfaat secara teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembelajaran,

dalam rangka mengembangkan ilmu, khususnya Psikologi Pendidikan.

b. Manfaat secara praktis

1. Penelitian ini juga menjadi masukan agar para guru dapat

meningkatkan kemampuan berhitung anak tunagrahita ringan

melalui permainan kartu gambar.

2. Bagi para orang tua, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan

berhitung anak tunagrahita ringan melalui permainan kartu gambar.

3. Bagi para mahasiswa yang menempuh agar menjadi pengetahuan

baru tentang permainan kartu gambar yang dapat meningkatkan

(17)

   

e. Keaslian Penelitian

Mengkaji beberapa permasalahan yang telah dikemukakan dalam latar

belakang diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah

untuk membantu meningkatkan kemampuan kemampuan berhitung anak

tunagrahita ringan melalui permainan kartu gambar. Hal ini didukung dari

beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijadikan landasan penelitian yang

dilakukan. Berikut beberapa penelitian pendukung tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Suwarti dengan judul Penggunaan Kartu

Gambar Untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif Anak Dalam Mengenal

Konsep Bilangan Di Kelompok B Tk Rahayu Surabaya menunjukkan bahwa

media kartu gambar dapat meningkatkan kemampuan kognitif anak dalam

mengenal konsep bilangan pada anak kelompok B di TK Rahayu Surabaya.

Selain itu, penelitian Mei Setiorini, Abdul Huda dan Saichudin yang

berjudul Pengaruh Pemanfaatan Media Kartu Kata Bergambar Terhadap

Kemampuan Menulis Kalimat Siswa Tunarungu. Hasil penelitian ini bahwa

ada pengaruh penggunaan media kata kartu diilustrasikan pada hasil dari

kemampuan menulis kalimat pada siswa belajar.

Kemudian penelitian dari Viddynia Octrinava Mastur dengan judul

Pengaruh Permainan Aktif terhadap Kemampuan Berhitung pada Anak Usia

Prasekolah menunjukkan hasil terdapat pengaruh permainan aktif terhadap

(18)

   

Selanjutnya penelitian dari Nuryani Putri, Solihin Ichas Hamid, dan

Endah Silawati dengan judul Meningkatkan Kemampuan Berhitung Anak

Usia Dini Melalui Permainan Kartu Angka Modifikatif dengan hasil bahwa

kartu angka modifikatif dapat digunakan sebagai media pembelajaran yang

efektif untuk meningkatkan kemampuan berhitung anak TK.

Ada juga penelitian dari Afri Maiyuli dengan judul Peningkatan

Kemampuan Berhitung Anak Melalui Permainan Domino Di Taman

Kanak-Kanak Negeri Pembina Agam dengan hasil permainan domino dapat

meningkatkan kemampuan berhitung anak di Taman Kanak-kanak Negeri

Pembina Agam.

Beberapa penelitian internasional tentang permainan kartu gambar untuk

meningkatkan kemampuan berhitung, antara lain: oleh Annette R Baturo,

Stephen Norton dan Tom J Cooper, dengan judul The Mathematics of

Indigenous Card Games: Implications for Mathematics Teaching and

Learning menyatakan bahwa Pemahaman matematika siswa lebih

berkembang setelah mengikuti permainan ini.

Penelitian mengenai kemampuan berhitung ini dilakukan juga oleh

Omep dengan judul Early literacy and numeracy matters Geraldine French,

Early Childhood Specialist hasil penelitiannya menyatakan bahwa pentingnya

menanamkan kemampuan berhitung sejak dini.

Di lanjutkan penelitian dari Olatoye Mukaila Ayinde, dengan judul

(19)

   

Instructional Design Nettle yang menunjukkan bahwa permainan ini memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap kinerja peserta didik dalam matematika.

Juga ada penelitian dari Hedwig Gasteiger, dengan judul Opportunities

To Learn Mathematics While Playing Traditional Dice Games yang

menunjukkan bahwa terdapat perkembangan pembelajaran matematika di TK

secara berkelanjutan.

Dari beberapa penelitian terdahulu tentang upaya meningkatkan

kemampuan berhitung di atas, peneliti lebih tertarik dengan permainan kartu

gambar untuk meningkatkan kemampuan berhitung anak tunagrahita ringan.

Siswa akan bermain karu gambar dengan temannya, dalam satu permainan

siswa akan bermain kartu gambar sambil belajar meningkatkan kemampuan

berhitungnya.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah

dari segi subjek, penelitian ini menggunakan subjek yang telah menginjak

kelas 1 SD dan mengalami tunagrahita ringan. di mana penelitian yang

menggunakan permainan kartu gambar di Indonesia banyak dilakukan untuk

anak usia dini. Pada beberapa penelitian internasional, kartu gambar juga

(20)

 

BAB II

Kajian Pustaka

A.Kemampuan Berhitung Anak Tunagrahita Ringan

1. Anak Tunagrahita Ringan

a. Definisi Tunagrahita

Istilah intellectual disability digunakan untuk

menggantikan mental retardation, karena tampaknya lebih

manusiawi, dan istilah ini telah disepakati oleh para pendidik di

Amerika (Luckasson, dalam Omrod, 2011).

Para pendidik di Indonesia tampaknya lebih sepakat

menggunakan istilah anak tuna grahita. Intellectual Disability atau

anak tuna grahita menurut definisi The American Association and

Mental Retardation (AAMR) adalah “a disability characterized by

significant limitation both in intellectual functioning and in

adaptive behavior as expressed in conceptual, social and practical

adaptive skill. The disability originates before the age 18. A

complete and accurate understanding of mental retardation

involves realizing that mental retardation refers to a particular

state of functioning that begin in chilhood, has many dimensions

and is affected positively by individualized support” (AAMR Ad

Hoc Committe on Terminology and Classification, 2002)

Berdasarkan definisi tersebut, terdapat dua karakteristik

(21)

   

intelektual dan keterbatasan dalam perilaku adaptif seperti

berkomunikasi, merawat diri sendiri, dan keterampilan sosial.

Anak yang mengalami gangguan fungsi intelektual dan

keterbatasan keterampilan berinteraksi dengan orang lain dapat

diamati pada usia sebelum 18 tahun. Jika dipelajari secara cermat,

tanda-tandanya telah dapat dilihat sejak usia kanak-kanak.

Menurut Pandji dan Wardhani (2013) Tunagrahita adalah

individu yang memiliki tingkat integensiia yang berada dibawah

rata-rata dengan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi

perilaku yang muncul dalam masa perkembangan. Istilah seperti

cacat mental, dungu, bodoh, pandir, lemah pikiran adalah sebutan

yang lebih dulu dikenal sebelum kata tunagrahita. Grahita sendiri

artinya adalah pikiran dan Tuna adalah kerugian.

Menurut AAMD (American Association on Mental Defiency

: dalam Wikasanti, 2014), ketunagrahitaan mengacu pada fungsi

intelektual umum yang secara nyata (signifikan) berada dibawah

rata-rata (normal) bersama dengan kekurangan dalam tingkah laku

penyesuaian diri dan semua ini berlangsung (termanifestasi) pada

masa perkembangannya.

Tunagrahita merupakan salah satu bentuk gangguan pada anak

dan remaja yang dapat ditemui di berbagai tempat, yaitu suatu

keadaan di mana anak mengalami keterbelakangan dalam

(22)

   

kurang cakupnya mereka dalam memikirkan hal-hal yang bersifat

akademik, abstrak, cenderung sulit dan berbelit-belit hampir pada

segala aspek kehidupan serta mereka juga kurang memiliki

kemampuan dalam menyesuaikan diri (Amin, M, 1955). Anak

tunagrahita (retardasi mental) sangat membutuhkan layanan

pendidikan dan bimbingan secara khusus saat meniti tugas

perkembangan di dalam hidupnya.

Papalia (2001) mengemukakan bahwa tunagrahita adalah

kemampuan kognisi anak secara signifikan tidak berfungsi secara

normal yang diindikasikan melalui nilai IQ berkisar atau dibawah ι0.

Kemampuan beradaptasi sangat terbatas, seperti dalam

berkomunikasi, keterampilan sosial, merawat diri sertatampak diusia

18 tahun.

b. Karakteristik Tunagrahita

Karakteristik tunagrahita ringan (Mumpuniarti, 2000)

Karakteristik kognitif tunagrahita ringan adalah :

1. Mempunyai IQ berkisar 50-ι0.

2. Kapasitas belajarnya sangat terbatas terutama untuk hal-hal yang

abstrak, maka lebih banyak belajar dengan cara membeo (rote

learning) bukan dengan pengertian.

3. Kemampuan berpikir rendah, lambat perhatian dan ingatannya

(23)

   

4. Masih mampu untuk menulis, membaca, menghitung.

5. Mengalami kesulitan dalam konsentrasi, sukar untuk diajak fokus.

θ. Umur kecerdasannya apabila sudah dewasa sama dengan anak

normal yang berusia 12 tahun.

Karakteristik fisik tunagrahita ringan adalah anak tunagrahita

ringan nampak seperti anak normal, hanya sedikit mengalami

kelambatan dalam kemampuan sensomotorik.

Karakteristik sosial/perilaku adalah anak tunagrahita ringan

mampu bergaul, menyesuaikan di lingkungan yang tidak terbatas

pada keluarga saja, namun ada yang mampu mandiri dalam

masyarakat, mampu melakukan pekerjaan yang sederhana dan

melakukannya secara penuh sebagai orang dewasa.

Karakteristik emosi adalah anak tunagrahita ringan sukar

berpikir abstrak dan logis, kurang memiliki kemampuan analisis,

asosiasi lemah, fantasi lemah, kurang mampu mengendalikan

perasaan, mudah dipengaruhi, kepribadian kurang harmonis karena

tidak mampu menilai baik buruk. Tidak mampu mendeteksi

kesalahan pada dirinya, sehingga acuh tak acuh.

Karakteristik motorik adalah anak tunagrahita ringan

mengalami kelambatan dalam kemampuan sensorimotorik. Dalam

berbicaranya banyak yang lancar, tetapi perbendaharan kata masih

(24)

   

Selain itu, karakteristik anak tuna grahita adalah sebagai

berikut (Beirne-Smith, Ittenbatch dan Patton, 2002, dalam Eggen

dan kauchak, 2004) :

1. Memiliki pengetahuan umum yang sangat terbatas

2. Sangat sulit memahami ide-ide yang abstrak

3. Keterampilan menulis dan membaca sangat rendah

4. Strategi dalam upaya mengembangkan kemampuan

membaca dan belajar sangat rendah

5. Sangat sulit mentransfer ide tertentu ke dalam situasi

nyata

θ. Keterampilan motorik berkembang sangat lambat

ι. Keterampilan interpersonal sangat tidak matang

Kategori anak tunagrahita menurut tingkatan dan kemampuannya

dikemukakan oleh Santrock (2009) dan di

http://medicastore.com/penyakit/92ι/keterbelakangan_mental.html,

disajikan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel Kategori anak Tunagrahita

(25)
(26)
(27)

Tunagrahita dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok:

1. Anak tunagrahita mampu didik/tunagrahita ringan (IQ 50-ι0)

Anak tunagrahita mampu didik/tunagrahita ringan

(28)

   

program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki kemampuan yang

dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya tidak

maksimal.

Kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak

tunagrahita mampu didik adalah:

a. Membaca, menulis, mengeja dan berhitung

b. Menyesuaikan diri dan tidak menggantungkan diri pada orang

lain

c. Keterampilan sederhana untuk kepentingan kerja dikemudian

hari.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah anak tunagrahita

mampu didik berarti anak tunagrahita yang dapat dididik secara

sederhana dalam bidang-bidang akademis, sosial, dan pekerjaan.

2. Anak tunagrahita mampu latih/tunagrahita sedang (imbecil IQ

30-50)

Anak tunagrahita mampu latih/tunagrahita sedang

merupakan anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sedemikian

rendahnya sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program yang

diperuntukkan bagi anak tunagrahita mampu didik.

Kemampuan anak tunagrahita mampu latih yang perlu

diberdayakan yaitu:

a. Belajar mengurus diri sendiri (makan, pakaian, tidur, mandi

(29)

   

b. Belajar menyesuaikan dilingkungan rumah atau sekitarnya

c. Mempelajari kegunaan ekonomi dirumah, dibengkel kerja

(sheltered workshop) dan dilembaga khusus

Kesimpulan yang dapat diambil adalah anak tunagrahita

mampu latih berarti anak tunagrahita hanya dapat dilatih untuk

mengurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan sehari-hari

(activity daily living), serta melakukan fungsi sosial kemasyarakatan

menurut kemampuannya.

3. Anak tunagrahita mampu rawat (idiot IQ <30)

Anak tunagrahita mampu rawat merupakan anak

tunagrahitta yang memiliki kecerdasan sangat rendah sehingga ia

tidak mampu mengurus diri sendiri atau sosialisasi. Selain itu anak

tunagrahita mampu rawat adalah anak tunagrahita yang

membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia

tidak mampu terus hidup tanpa bantuan orang lain.

D. Faktor Penyebab Tunagrahita

Mengenai faktor penyebab ketunagrahitaan para ahli sudah

berusaha membaginya menjadi beberapa kelompok. Ada yang

membaginya menjadi dua gugus, yaitu indogen dan eksogen. Ada

juga yang membaginya berdasarkan waktu terjadinya penyebab,

disusun secara kronologis sebagai berikut faktor-faktor yang terjadi

(30)

   

lahir (natal), dan faktor-faktor yang terjadi setelah anak dilahirkan

(pos natal).

Penyebab terjadinya anak tunagrahita menurut Kirk (19ι0)

a. Faktor endogen (faktor yang dibawa sejak lahir) yaitu faktor

ketidak sempurnaan dalam memindahkan gen.

b. Faktor eksogen yaitu faktor yang terjadi akibat perubahan

patalogis dari perkembangan normal seperti mengalami penyakit

atau keadaan lainnya.

E. Pendampingan Tunagrahita secara individual maupun

klasikal

1. Rekomendasi untuk Sekolah

Berperan aktif dalam meningkatkan kualifikasi guru untuk

menangani anak berkebutuhan khusus dan memfasilitasi layanan

pendidikan khusus.

2. Rekomendasi untuk Guru

a. Guru di sekolah inklusif diharapkan lebih sedikit banyaknya

memahami konsep anak berkebutuhan khusus dan dapat

membekali diri melalui pelatihan-pelatihan mengenai

pendidikan inklusi dan konsep ABK, dengan memahami hal

tersebut diharapkan mempermudah guru untuk memberikan

pelayanan terhadap ABK sesuai dengan kebutuhan dan

(31)

   

b. Sebagai bahan evaluasi untuk guru khususnya, guru di sekolah

inklusi agar termotivasi untuk meningkatkan pelayanan

pendidikan yang baik dan sesuai bagi ABK, khususnya anak

tunagrahita yang ada di sekolah-sekolah inklusi.

3. Rekomendasi untuk Orang Tua

a. Orang tua ABK bersikap respontif terhadap pendidikan dan

perkembangan anak agar terciptanya perubahan dalam diri anak

melalui program-program sekoalh inklusi.

b. Adanya wadah/forum bagi perkumpulan orang tua ABK di

sekolah inklusi untuk berkerja sama dalam upaya mendidik

anaknya dan mengevaluasi kinerja guru mengenai pelayanan

anak tunagrahita di sekolah.

4. Pencegahan supaya anak tidak mengalami tunagrahita:

a. Pencegahan primer

Dilakukan untuk meningkatkan kesehatan calon anak yaitu

dengan imunisasi bagi anak dan ibu sebelum kehamilan, konseling

perkawinan, pemeriksaan kehamilan rutin, nutrisi yang baik,

persalinan oleh tenaga kesehatan, memperbaiki sanitasi dan gizi

keluarga, pendidikan kesehatan mengenai pola hidup sehat dan

program pengentasan kemiskinan.

b. Pencegahan sekunder

Dilakukan deteksi dini pada anak-anak yang mengalami

(32)

   

dengan cara konseling individu dengan program pembimbing

sekolah dan layanan intervensi krisis bagi keluarga yang

mengalami stress.

c. Pencegahan tersier

Dilakukan dengan memberikan informasi berupa

pendidikan kesehatan kepada orang tua dan anak mengenai

masalah kesehatan yang terjadi berulang kali dengan penekanan

pada kebutuhan gizi, kebersihan gigi, kebersihan tubuh, bahaya

alkohol, narkotik, dan zat adiktif serta merokok.

B. Kemampuan Berhitung

a. Pengertian Kemampuan

Didalam kamus bahasa Indonesia (2015), kemampuan berasal

dari kata “mampu” yang berarti kuasa (bisa, sanggup, melakukan

sesuatu, dapat, berada, kaya, mempunyai harta berlebihan).

Kemampuan adalah suatu kesanggupan dalam melakukan sesuatu.

Seseorang dikatakan mampu apabila ia bisa melakukan sesuatu yang

harus ia lakukan.

Menurut Chaplin (2011) ability (kemampuan, kecakapan,

ketangkasan, bakat, kesanggupan) merupakan tenaga (daya kekuatan)

untuk melakukan suatu perbuatan.

Kemampuan juga bisa disebut dengan kompetensi. Kata

kompetensi berasal dari bahasa Inggris “competence” yang berarti

(33)

   

serta wewenang. Jadi kata kompetensi dari kata competent yang berarti

memiliki kemampuan dan keterampilan dalam bidangnya sehingga ia

mempunyai kewenangan atau atoritas untuk melakukan sesuatu dalam

batas ilmunya tersebut.

Pengertian-pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa

kemampuan (ability) adalah kecakapan atau potensi menguasai suatu

keahlian yang merupakan bawaan sejak lahir atau merupakan hasil

latihan atau praktek dan digunakan untuk mengerjakan sesuatu yang

diwujudkan melalui tindakannya.

b. Pengertian Berhitung

Berhitung menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

melakukan hitungan (seperti menjumlahkan, mengurangi dan

sebagainya) (Departemen Pendidikan Nasional, 2005, 359).

Permainan berhitung merupakan bagian dari matematika,

diperlukan untuk menumbuh kembangkan ketrampilan berhitung yang

sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama konsep

bilangan yang merupakan juga dasar pagi pengembangan kemampuan

matematika maupun kesiapan untuk mengikuti pendidikan dasar

(Depdiknas, 200ι).

Keterampilan menghitung berkaitan dengan perkembangan

berpikir anak. anak sedang berada pada tahap berpikir kongkret saja.

Anak memahami bilangan tiga dari tiga buah jeruk. Ketrampilan

(34)

   

benda, menyebut angka, dan mengingat urutannya. Ini memang cukup

sulit bagi anak sehingga membutuhkan waktu lama baginya untuk

secara sungguhsungguh mengenal bilangan yang mewakili sejumlah

benda (Susilo,2011:109).

Hasan Alwi (2003:140) berpendapat bahwa berhitung berasal

dari kata hitung yang mempunyai makna keadaan, setelah mendapat

awalan ber- akan berubah menjadi makna yang menunjukkan suatu

kegiatan menghitung (menjumlahkan, mengurangi, membagi,

mengalikan dan sebagainya)´ Nyimas Aisyah (200ι:θ-5) menyatakan

bahwa kemampuan berhitung dalam pengertian yang luas, merupakan

salah satu kemampuan yang penting dalam kehidupan sehari-hari.

Dapat dikatakan bahwa dalam semua aktivitas kehidupan manusia

memerlukan kemampuan ini. Sedangkan menurut Peterson

menyarankan bahwa, untuk memberikan penekanan pada makna dan

pemahaman tersebut serta untuk mengembangkan kemampuan berpikir

dengan tingkat yang lebih tinggi, maka pemecahan masalah dalam

matematika tidak hanya merupakan bagian yang terintegrasi dalam

pembelajaran, melainkan harus menjadi dasar atau inti dari kegiatan.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan

bahwa berhitung adalah suatu kegiatan atau sebuah cara menyenangkan

untuk belajar memahami konsep bilangan.

Matematika pada hakekatnya merupakan cara belajar untuk

(35)

   

seseorang dapat mengatur jalan pikirannya Suriasumantri (Ahmad

Susanto, 2011:98). Dalam kaitannya, salah satu cabang dari matematika

ialah berhitung. Berhitung merupakan dasar dari beberapa ilmu yang

digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti, penambahan,

pengurangan, pembagian, ataupun perkalian. Untuk anak usia dini dapat

menambah dan mengurangi serta membandingkan sudah sangat baik

setelah anak memahami bilangan dan angka.

Keterampilan menghitung (arithmetic) diutamakan untuk anak

tunagrahita, karena itu sebagai bagian dari matematika yang

dasar.Matematika mempunyai cabang geometri, aljabar, termasuk

aritmatika. Aritmatika sebagai sub kategori dari matematika dan

menunjuk kepada pelajaran tentang bilangan, menghitung, tanda-tanda

hitung dan pengoperasian bilangan. Pada anak tunagrahita lebih

diutamakan pada aritmetika. Pada bidang matematika lainnya seperti

geometri, aljabar tergantung kondisi anak jika memungkinkan juga

diajarkan.

Semua kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari perlu

penggunakan matematika. Untuk itu, matematika yang dibelajarkan

bagi anak tunagrahita ringan juga menopang dalam menjalankan

kehidupan sehari-hari. Bidang matematika itu antara lain : hitung

bilangan dan operasinya, bangun geometri, pengukuran serta

(36)

   

Belajar dengan menggunakan kemampuan intelektual di sekolah

terdapat dalam mata pelajaran matematika. Menurut Teori pembelajaran

Bruner dalam Pitadjeng (200θ: 29) belajar matematika adalah belajar

tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat

di dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan

antara konsepkonsep dan struktur-struktur matematika. Senada dengan

hal tersebut Sri Subarinah (200θ: 1) menyatakan bahwa matematika

merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari struktur yang abstrak

dan pola hubungan yang ada di dalamnya. Menurut Antonius Cahya

Prihandoko (200θ: 10) matematika berkenaan dengan struktur-struktur,

hubungan-hubungan dan konsep-konsep abstrak yang dikembangkan

menurut aturan yang logis. Dengan demikian, belajar matematika

hakikatnya belajar tentang konsep, struktur konsep dan hubungan antara

konsep dan struktur konsep yang dipelajari.

Berdasarkan beberapa pendapat dari beberapa ahli tentang definisi

berhitung dapat disimpulkan bahwa berhitung adalah suatu proses

menjumlahkan, mengurangi, mengalikan dan membagi angka-angka

yang sesuai dengan tata cara yang sudah di tentukan

sebelumnya.

c. Pengertian Bilangan dan Operasi Bilangan Bilangan

Bilangan dan Operasi Bilangan Bilangan adalah konsep

matematika yang sangat penting untuk dikuasai oleh anak, karena akan

(37)

   

pada jenjang pendidikan formal berikutnya. Bilangan adalah suatu

obyek matematika yang sifatnya abstrak dan termasuk kedalam unsur

yang tidak didefinisikan (underfined term). Untuk menyatakan suatu

bilangan dinotasikan dengan lambang bilangan yang disebut angka.

Bilangan dengan angka menyatakan konsep yang berbeda, bilangan

berkenaan dengan nilai sedangkan angka bukan nilai melainkan suatu

notasi tertulis dari sebuah bilangan. Sedangkan yang dimaksud dengan

operasi bilangan pengerjaan pada nilai bilangan. Bilangan itu mewakili

banyaknya suatu benda (Sudaryanti, 200θ:1).

Fungsi utama pengenalan matematika ialah mengembangkan aspek

kecerdasan anak dengan menstimulasi otak untuk berpikir logis

matematik. Operasi bilangan termasuk dalam hubungan matematis,

setelah anak mampu berhitung, anak akan menyampaikanya secara

matematis.

Operasi bilangan atau yang disebut juga aritmetika yang asli

katanya dari bahasa Yunani α μό - arithnos yang berarti angka

merupakan cabang matematika yang mempelajari operasi dasar

bilangan. Operasi dasar aritmetika atau operasi dasar bilangan adalah

penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian

(http://id.wikipedia.org/wiki/Aritmetika).

Hal serupa dikemukakan pula oleh Sudaryanti (200θ:18) bahwa

(38)

   

operasi bilangan yang sangat dasar. Namun, untuk anak tunagrahita

ringaan kelas 1SD dapat menambah dan mengurang sudah sangat baik.

Operasi bilangan diperkenalkan pada anak setelah anak memahami

betul bilangan dan angka. Anak usia dini (tunagrahita kelas 1SD) dapat

memahami operasi bilangan dengan cara yang sangat sederhana

(Sudaryanti, 200θ:18).

Menurut Slamet Suyanto (2005:θ3), matematika bukan pelajaran

ingatan melainkan mengembangkan kemampuan berpikir. Jika anak

sudah mengenal bilangan dan memahami operasi bilangan maka anak

telah berpikir logis dan matematis, meskipun dengan cara yang sangat

sederhana.

Kemampuan anak tunagrahita saat kelas 1 SD, hampir sama

dengan anak usia dni. Pada anak usia dini kemampuan yang akan

dikembangkan diantaranya: (a) mengenali atau membilang angka; (b)

menyebut urutan bilangan; (c) menghitung benda; (d) menghitung

himpunan dengan nilai bilangan benda; (e) memberi nilai bilangan pada

suatu bilangan himpunan benda; (f) mengerjakan atau menyelesaikan

operasi penjumlahan dan pengurangan dengan menggunakan konsep

dari konkret ke abstrak. (Ahmad Susanto, 2011:θ2).

d. Kemampuan Kognitif anak usia 7-11 Tahun

Menurut Piaget sejalan dengan perkembangan anak. Pemikiran

anak secara konstan beradaptasi dalam situasi-situasi dan pengalaman

(39)

   

kategori mental yang sudah ada. Misalnya seekor anjing gembala Jerman

dan anjing terrier sama-sama masuk kedalam kategori anjing. Pada waktu

yang lain, anak harus mengubah kategori mental mereka untuk

mengakomodasi pengalaman-pengalaman baru mereka, misalnya seekor

kucing tidak dapat masuk ke dalam kategori anjing dan satu kategori baru

dibutuhkan, yakni kategori untuk kucing. Menurut Piaget, kedua proses

tersebut secara konstan berinteraksi sejalan dengan proses anak melalui

empat tahap perkembangan kognitif.

Salah satu perkembangan kognitif tersebut adalah Tahap operasional

konkret (usia ι-12). Pada tahap ini anak telah mengalami perkembangan

signifikan dan mampu mengatasi beberapa keterbatasan yang dialami

pada tahap sebelumnya. Mereka dapat memahami sudut pandang orang

lain dan semakin sedikit membuat kesalahan logika. Meskipun demikian,

menurut pengamatan Piaget, kemampuan baru ini umumnya

dihubungkan dengan informasi yang konkret, yakni pengalaman aktual

yang telah terjadi atau konsep-konsep yang memiliki arti yang dapat

dipahami oleh anak. Pada tahap ini anak masih membuat kesalahan

dalam berpikir saat diminta berpikir tentang ide-ide abstrak (patriotisme

atau pendidikan masa depan) atau hal-hal yang secara fisik tidak tampak.

Terlepas dari kekurangsempurnaan itu, pada tahun-tahun ini kemampuan

kognitif anak berkembang pesat. Anak akan memahami prinsip-prinsip

konservasi, konsep-konsep pemutar balikan serta hubungan sebab akibat.

(40)

   

pembagian, dan perkalian. Mereka dapat mengelompokkan benda-benda

(beringin adalah pohon, mawar adalah bunga) dan mengurutkan

benda-benda secara urut dari yang terkecil ke yang terbesar, dari yang berwarna

terang ke yang berwarna gelap, dari ke ukuran pendek ke ukuran tinggi.

(Wade dan Travis, 200ι)

Piaget mengemukakan bahwa semua pengetahuan adalah hasil

yang dibangun dari aktivitas yang dilakukan anak. Ada tiga jenis

pengetahuan yang dikemukakan oleh Piaget yaitu physical knowledge,

logical-mathematical knowledgedan social arbitrary knowledge.

1. Physical Knowledge

Physical Knowledge adalah pengetahuan yang berkaitan dengan

kepemilikan secara fisik, baik dalam bentuk objek maupun peristiwa,

seperti bentuk, ukuran, berat dan lain sebagainya. Anak meemiliki

pengetahuan mengenai benda fisik jika ia melakukan sesuatu terhadap

benda fisik tersebut, misalnya ketika anak memanipulasi pasir. Misalkan

saja anak bermain pasir, dan anak memasukkan pasir ke mulutnya,

menuangkan pasir ke dalam gelas ataupun melumurkan pasir ke tubuhnya.

Melalui kegitan tersebut maka anak menemukan dan membentuk

pengetahuan tentang pasir, dan pengalaman ini anak asimilasikan ke dalam

schematanya. Persyaratan membentuk physical knowledge adalah bahwa

anak harus mampu memanipulasi objek seperti anak memanipulasi pasir.

(41)

   

membaca, mengamati gambar atau mendengarkan orang berbicara. Karena

ini menggambarkan bentuk secara simbolik saja, namun harus melalui

manipulasi objek.

2. Logical Mathematicaal Knowledge

Logical Mathematicaal Knowledge adalah pengetahuan yang

diperoleh dari aktivitas berpikir tentang suatu objek dan peristiwa. Seperti

halnya dengan physical knowledge, logical mathematicaal knowledge

hanya dapat berkembang jika anak memanipulasi objek namun berbeda

cara membangunnya. Dalam proses penemuannya, anak tidak secara

langsung menemukan logical mathematicaal knowledge, namun dibangun

atas dasar pemahaman objek yang dimanipulasi. Misalnya naka diberi

pelatihan tentang bilangan 1,2,3,4,5,θ,ι,8,9,10. Setiap bilangan disertakan

dengan objek tertentu, misalnya bola: bilangan 1 disertai dengan 1 buah

bola, bilangan 2 disertai 2 bola dan seterusnya. Pelatihan ini dilakukan

sedemikian rupa dengan menggunakan metode tertentu, sehingga anak

pada akhirnya memahami konsep bilangan 1,2,3,4,5,θ,ι,8,9,10.

Pemahaman ini sudah berupa pemahaman simbolik terhadap makan

bilangan. Pengetahuan ini juga tidak diperoleh melalui aktivitas membaca

dan mendengar, melainkan harus dilakukan dengan memanipulasi objek.

3. Social Arbitrary Knowledge

Social Arbitrary Knowledge adalah pengetahuan yang diperoleh

(42)

   

tentang aturan, hukum, moral, etika, nilai dan sistem bahasa. Pengetahuan

tentang nilai kemanusiaan adalah pengetahuan yang meliputi semua sistem

dalam budaya, yang menjadiacuan berperilaku bagi komunitas

masyarakatnya. Social Arbitrary Knowledge tidak diperoleh seperti

pengetahuan physical knowledge dan logical mathematical knowledge,

akan tetapi diperoleh dari pola interaksi anak dengan limgkungan

budayanya. Anak mendapat pengasuhan dari orangtua atau berinteraksi

dengan orang-orang yang bermakana dalam proses perjalanan

kehidupannya, dalam hal ini disebut dengan proses enkulturasi. (Pandeirot,

Surna : 2014)

Piaget mengemukakan empat faktor yang berkaitan dengan

perkembangan kognitif yaitu :

1. Maturation and heredity

Piaget meyakini bahwa faktor hereditas memegang peran penting

dalam perkembangan kognitif, namun faktor hereditas saja tidak mungkin

menjadikan perkembangan kognitif dapat optimal. Kematangan

(maturation) adalah salah satu faktor yang turut menentukan

perkembangan kognitif. Kematangan berperan sebagai potensi dasar yang

memberi peluang dan berlangsung secara alamiah, dan perkembangan

kognitif itu sangat dipengaruhi oleh anak dalam memanipulasi

(43)

   

2. Active experience

Active experience adalah salah satu faktor dari empat faktor dalam

perkembangan kognitif. Masing-masing pengetahuan dibangun oleh anak

yaitu physical knowledge, logical mathematical knowledge, dan social

arbitrary knowledge. Bangunan pengetahuan ini mensyaratkan anak untuk

berinteraksi dengan lingkungannya. Active experience akan merangsang

terjadinya proses assimilation dan accomodation yang berdampak pada

perkembangan kognitif.

3. Social interaction

Faktor lain yang mempengaruhi perkembangan kognitif adalah

social interaction. Piaget berpendapat bahwa terjadinya pertukaran ide

atau pendapat diantara orang dalam masyarakat terutama orang-orang

yang dipandang signifikan dapat mempengaruhi perkembangan kognitif

anak. Perkembangan konsep atau schemata dapat diklasifikasikan sebagai:

a. Benda fisisk yang dapat ditangkap oleh indra (misalnya dapat

dilihat, didengar, diraba atau diamati)

b. Benda yang tidak dapat dilihat dan tidak tampak pengamatan

oleh mata.

Konsep pohon adalah sebuah benda fisik yang dapat dilihat,

sedangkan konsep kejujuran tidak dapat diamati oleh mata. Anak

mengembangkan kemampuannya dalam upaya memahami konsep tentang

(44)

   

demikian halnya ketika anak membangun pengetahuannya tentang apa

yang disebut kejujuran yang merupakan social arbitratry konowledge.

Pengetahuan ini harus dilalui anak melalui intraksinya dengan orang lain,

dimasyarakat dalam budayanya. Interaksi anak dengan lingkungan dapat

mendorong adanya ketidak seimbangan kognitif akibat upaya mempelajari

physical dan logical mathematical knowledge. Jika anak ditempatkan pada

lingkungan situasi tertentu dan terjadi konflik dalam konteks cara berpikir

dengan orang dewasa, konflik ini sebenarnya menggiring anak untuk

bertanya lebih jauh mengapa terjadi perbedaan pendapat dan inilah yang

menyebabkan diseuilibrium. Interaksi dengan teman sebaya, orang

dewasa, orang tua, dan orang lainnya akan memberi dampak signifikan

terhadap perkembangan kognitif anak.

4. General progression of equilibrium

Maturation, experience, dan social interaction tidaklah cukup

untuk menjelaskan perkembangan kognitif. Piaget mengemukakan dua hal

yang penting yaitu :

a. Adanya koordinasi adalah aspek penting dalam mengembangkan

keseimbangan.

b. Upaya membangun pengetahuan sebaiknya dilakukan melalui

trial and error dan regulasi diri. (Pandeirot, Surna : 2014)

(45)

   

e. The Stage of Concrete Operation

Pada tahapan perkembangan konkret (usia ι-11 tahun) proses

penalaran anak mengarah pada kemampuan berpikir logis. Piaget

menyebutnya logical operation. Piaget mengemukakan “Intellectual

operation is an internalized system of actions that is fully reversible”,

dimana anak membangun proses berpikir logis yang dapat diaplikasikan

pada masalah-masalah konkret. Tidak seperti halnya pada tahap

perkembangan praoperasional, anak pada tahapan operasi konkret tidak

memiliki area dan liquid. Jika anak dihadapkan dengan masalah

kesenjangan antara berpikir dan persepsi sebagaimana dengan masalah

conservation, anak pada tahapan operasi konkret telah menggunakan

kognisi dan logika dalam membuat keputusan yang berbeda dengan

keputusan yang bersifat perseptual.

Usia ι-11 tahun adalah periode dimana beroperasinya seluruh

aspek kognitif anak, dan mulai terbatasnya aktivitas intelektual yang

dilalui anak pada usia tahapan perkembangan praoperasional. Yang

menonjol pada tahapan perkembangan operasi konkret adalah muculnya

kemampuan berpikir transformasi. Hal penting lagi adalah diperolehnya

kemampuan dalam melakukan perhitungan dengan memahami makna

kuantitas atau jumlah secara lebih akurat. Hal ini menunjukkan telah

terjadi aktivitas mental anak, perilaku yang kooperatif, serta komunikasi

yang dialogis dan tidak egois. Inilah tahapan anak yang mulai memasuki

(46)

   

Aktivitas bernalar yang menunjukkan perkembangan fungsi schemata

telah tampak, terutama dalam membuat klasifikasi, konsep sebab akibat,

pemahaman ruang dan waktu, serta pemahaman tentang arah dan

kecepatan.

Pada tahap operasi kokret ini anak belum mencapai kemampuan

berpikir tahap tertinggi, tetapi merupkan awal munculnya kemampuan

berpikir yang mengarah pada logika yang masih berdasarkan realitas

faktual. Anak belum memiliki kemampuan memecahkan masalah yang

bersifat abstrak, dengan menguji hipotesis yang didasarkan pada masalah.

Anak masih murni verbal, artinya memecahkan masalah tidak didasarkan

pada fakta faktual dan juga belum memahami keterkaitan berbagai

variabel yang menjadi dasar dalam menganalisis masalah tertentu. Dapat

dikatakan bahwa tahap perkembangan praoperasional adalah transisi

antara berpikir pralogis ke tahap berpikir logis secara optimal.

Berikut ini akan dulas beberapa karakteristik dari tahapan berpikir

operasi konkret:

1. Egocentrism dan Socialization

Pada tahap perkembangan praoperasional, orientasi berpikir anak

didominasi oleh berpikir egosentris, kurang memiliki kemampuan untuk

mendengarkan kemampuan orang lain dan kurang tanggap terhapad

penilaian orang lain, serta senantiasa didasarkan pada pendapat diri

(47)

   

berorientasi hanya pada kebenaran pendapat sendiri, serta secara sadar

memeprtimbangkan pendapat orang lain, menghargai perbedaan pendapat,

menyadari bahwa perbedaaan itu pasti ada dan patut dihargai, dan juga

mencari pembenaran berdasarkan pertimbangan orang lain. Kemampuan

berbahasa telah dijadikan alat penting dalam upaya mengkomunikasikan

pendapatnya. Anak telah menyadari bahwa keseimbangan itu hanya

diperoleh melalui interaksi sosial yang diaplikasikan dalam perilaku sosial.

Komunikasi anak telah bersifat dialogis, bukan monologis, sehingga

terdapat pertukaran informasi yang konstruktif pada diri anak.

2. Centration

Pada tahap perkembangan operasi konkret, konsep berpikir anak

tidak lagi didasarkan pada cara pandang sendiri, melainkan juga atas dasar

pertimbangan dan pendapat orang lain. Anank telah mampu memahammi

perbedaan pendapat sendiri dengan pendapat orang lain, dan berupaya

mencari pemebenaran berdsaarkan pertimbangan orang lain. Sifatnya

adalah de centered yang artinya anak telah memiliki kemampuan konkret

yang mengarah pada solusi yang bersifat logis ke tahap pemecahan

masalah yang aktual dan nyata.

3. Transformation

Pada tahap perkembanagn operasi konkret, anak telah mencapai

tingkat berpikir yang secara fungsional telah memahami makna

(48)

   

termasuk masalah perubahan secara konkret dan menyadari makana dan

hubungan antara setiap tahapan dimana terjadi perubahan.

4. Reversibility

Tahap perkembangan berpikir operasi konkret telah ditandai juga

oleh kemampuan berpikir yang dapat memaknai secara benar sekalipun

benda tertentu diacak atau tidak berurutan tempatnya. Anak tidak

mengalami kesulitan jika diberi pemecahan masalah perhitungan,

sekalipun bilangan yang dijadikan perhitungan diacak dan anak akan

mampu memberi jawaban secara tepat. Begitu pula halnya jika anak

dihadapkan dengan konsep tentang isi volume benda cair yang diisi dalam

tabung yang bentuknya bebeda. Anak telah memiliki kemampuan untuk

memahami isi dan tidak dipengaruhi oleh tempat dimana benda cair itu

ditempatkan.

5. Conservation

Pada tahap perkembangan operasi konkret, anak telah memiliki

kemampuan berpikir logis dan memecahkan masalah yang bersifat

conservation. Kemampuan memahami keterkaitan antar fakta, mengikuti

perubahan, pembalikan bilangan, dan bilangan acak menandakan bahwa

anak telah berkembang dan memiliki kemampuan berpikir yang lebih

tinggi. Anak telah mampu memecahkan masalah perhitungan pada sekitar

(49)

   

Dasar pemikiran Bruner, yang mengarah pada perkembangan

intelektual, sangat mirip dengan dasar pemikiran piaget, tetapi ada

beberapa perbedaan yang penting dan cukup mendasar. Studi Piaget

terutama berkenaan dengan penjelasan mengenai apakah yang terjadi, dia

menjelaskan mekanisme apa yang terjadi didalam perkembangan

intelektual, terutama dalam rangka menjernihkan penjelasan mengenai hal

apa yang terjadi itu sendiri. Bruner,dilain pihak diliputi banyak pertanyaan

kepada dirinya sendiri bagaimana dan mengapa perkembangan intelektual

itu terjadi. Sementara Piaget menganggap bahwa proses pematangan yang

terjadi merupakan faktor yang paling utama sedangkan kebudayaan dan

pendidikan merupakan faktor penunjang, maka Bruner justru

menempatkan kedua faktor terakhir tersebut sebagai faktor yang paling

utama. Bruner tidak menyetujui pandangan Piaget yang menyatakan

bahwa motivator utama atau pengaruh utama terhadap pertumbuhan

intelektual adalah biologi, karena Bruner berpendapat bahwa apabila

perkembangan bilogi menekan seseorang ke arah perilaku yang lebih

dapat menyesuaikan diri, maka lingkungan pun akan menarik orang

tersebut ke arah yang sama. Disini Bruner menekankan bahwa dia hanya

melakukan studi terhadap anak tanpa menguji pengalaman mereka, dan

lingkungannya pun dibatasi untuk memberikan gambaran yang tak

lengkap. Piaget hanya menyatakan bahwa perkembangan intelektual

(50)

   

sedangkan Bruner lebih menekankan penguat kemampuan anak dan

menganggap bahwa lingkungan anaklah yang bertindak sebagai penguat.

Akan tetapi sama halnya dengan Piaget, Bruner yakin bahwa

perkembangan pada diri anak itu sendirilah yang memainkan peranan

aktif didalam perkembangan anak. Meskipun keluarga,sistem pendidikan,

dan teman-teman anak tersebut secara nyata juga mempenaruhi

perkembangan anak, namun anak membuat sendiri dunianya (Sense if the

world). (Hardy dan heyes, 1988)

C. Permainan Kartu Gambar

a. Pengertian Permainan Kartu Gambar

Kartu juga merupakan alat bantu yang menggunakan indra

penglihatan paling dominan. Kartu seringkali dimanfaatkan guru untuk

memberi penguatan pada siswa (drilling) mengenai suatu konsep Bahasa

tertentu ataupun untuk memberi kesempatan siswa mempraktekan aspek

Bahasa yang sudah dikenal oleh guru (Mahmuda, 2008).

Kartu bergambar merupakan media yang mempunyai peranan

penting untuk memperjelas pengertian dan gambar dapat di hindarkan

kesalahan pengertian antara apa yang dimaksud oleh guru dengan apa

yang di tangkap oleh siswa (Tang La, 2008).

Luquit (dalam Piaget, 2010: ι2) mengklasifikasikan gambar

sebagai permainan. Selain itu bahkan dalam bentuk awalnya tidak

mungkin terdapat asimulasi bebas terhadap realitas pada skema subyek.

(51)

   

tetapi pada waktu gambar merupakan sebuah persiapan bagi akomodasi

imitative, tetapi pada waktu lain adalah produk akomudasi tersebut.

Antara citra grafis dan citra internal (“model internal”luquet), terdapat

interaksi yang tak terkira banyaknya, karena kedua fenomena itu

langsung berasal dari imitasi. Dengan demikian, realisme gambar

melewati fase-fase yang berlainan. Luquet memakai frase “realism

kebetulan” untuk mengacu realism tulisan cakar ayam yang mangkanya

ditemukan pada saat sedang membuatnya. Lalu muncul “realisme

gagal,” atau fase ketidak mampuan sintetis, yang didalamnya unsure

salinan ditempatkan pada posisi sejajar, bukanya kordinasi keseluruha:

topi jahu diatas kepala, atau kancing diatas tubuh . Orang kerdil, salah

satu gambar anak-anak pertama yang paling lazim, melewati tahapan

yang sangat menarik: gambar “manusia berudu,” yang terdiri dari

kepala dilengkapi dengan anggota tubuh mirip garis (kaki), ataun

dengan lengan dan kaki, tetapi tanpa badan.

Realisme intelektual di ganti kan oleh realisme visual, yang

memunculkan dua karakteristik baru. Pertama, kini gambar hanya

menggambarkan apa yang kelihatan dari suatu perspektif tertentu.

Sebuah gambar tampak samping sekarang hanya memiliki satu matu,

dan lai-lain, sebagaimana terlihat dari samping, dan bagian-bagian

objek yang tersembunyi tidak lagi dihadirkan. Juga objek- objek pada

latar belakang secara berangsur-angsur dibuat mengecil (garis-garis

(52)

   

Kedua, objek dalam gambar diatur sesuai dengan perencanaan secara

keseluruhan (potongan-potongan koordinator), dan proporsi

geometrisnya (Piaget, 2010).

2. Pengaruh Permainan Kartu Gambar terhadap Kemampuan

Berhitung Anak Tunagrahita Ringan

Anak tunagrahita mampu didik/tunagrahita ringan merupakan

anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti pada program sekolah

biasa, tetapi ia masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan

melalui pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal.

Kartu bergambar merupakan media yang mempunyai peranan

penting untuk memperjelas pengertian dan gambar dapat di hindarkan

kesalahan pengertian antara apa yang dimaksud oleh guru dengan apa

yang di tangkap oleh siswa (Tang La, 2008).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan permainan kartu

gambar untuk meningkatkan kemampuan berhitung anak berkebutuhan

(53)

   

Berikut ini penjelasan berupa gambaran skema visual adalah sebagai

berikut.

Variabel X Variabel Y

Hipotesis

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti dapat menarik hipotesis yang

akan di ambil dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh Permainan Kartu

Gambar Terhadap Kemampuan Berhitung Anak Tunagrahita di SD “ sebagai

berikut :

Hipotesis akhir (Ha):

Kemampuan Berhitung Anak Tunagrahita Meningkat Melalui Permainan

Kartu Gambar.

Per ai a  Kartu  Ga bar 

Ke a pua  Berhitu g  Dasar 

(54)

 

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode

penelitian eksperimen. Metode penelitian eksperimen menurut

Sugiyono (2013) adalah sebuah metode penelitian yang digunakan

untuk mencari pengaruh perilaku tertentu terhadap yang lain, dalam

kondisi yang terkendalikan. Dalam penelitian eksperimen ada

perlakuan (treatment).

Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri

dari dua variabel. Variabel-variabel tersebut adalah :

a. Variabel terikat : Kemampuan Berhitung

b. Variabel bebas : Permainan Kartu Gambar

2. Definisi Operasional

a. Variabel Kemampuan Berhitung

Kemampuan berhitung merupakan suatu aktivitas menghitung

mulai dari 1 sampai 10 yang dilakukan oleh siswa tunagrahita kelas 1

di SDN Sidosermo 1 Surabaya.

Instrumen pengumpulan data, alat ukur yang digunakan dalam

penelitian ini menggunakan lembar observasi sebagai instrumen

pengumpulan data yang utama. Lembar observasi tersebut dibuat

(55)

   

b. Variabel Permainan Kartu Gambar

Kartu bergambar merupakan alat yang digunakan untuk

membantu memperjelas suatu pengertian. Dalam permainan kartu

gambar ini subjek akan diberikan beberapa kartu gambar yang

berisikan tentang angka 1 sampai 10.

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian eksperimen ini

berjumlah 2 anak Tunagrahita kelas 1 di SDN Sidosermo 1. Subjek penelitian

yang akan digunakan dalam penelitian eksperimen ini ialah anak tunagrahita

yang dudukdikelas 1 SD. Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek

penelitian dari suatu populasi target yang akan diteliti (Notoatmodjo, 2010).

Kriteria inklusi dalam penelitian ini terdiri dari : 1) responden adalah anak

tunagrahita yang mampu berbahasa dan komunikasi, 2) responden yang orang

tuanya bersedia menandatangani surat ijin penelitian, dengan data sebagai

berikut :

1. Subjek pertama

Nama : ZR

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia :

Tempat Sekolah : SD Sidosermo 1

2. Subjek kedua

Nama : FH

(56)

   

Usia :

Tempat Sekolah : SD Sidosermo 1

C. Desain Eksperimen

Bentuk desain eksperimen ini adalah rancangan kasus tunggal (

single-case experimental design). Dalam single-case experimental, peneliti

mengobservasi perilaku satu individu utama (atau sejumlah kecil individu)

sepanjang penelitian (Creswell, 2013).

Desain eksperimen kasus tunggal (single-case experimental design)

merupakan sebuah desain penelitian untuk mengevaluasi efek suatu perlakuan

(intervensi) dengan kasus tunggal. Kasus tunggal dapat berupa beberapa

subjek dalam satu kelompok atau subjek yang diteliti adalah tunggal (N=1)

(Latipun, 2006).

Desain eksperimen kasus tunggal, baik sampel kelompok maupun N=1,

untuk kasus tertentu dianggap paling cocok untuk meneliti manusia, terutama

apabila perilaku yang diamati tidak mungkin diambil rata-ratanya. Dalam

beberapa kasus, rata-rata kelompok tidak dapat mencerminkan keadaan

perilaku individu di dalam kelompok itu. Dengan kata lain, rata-rata

kelompok tidak selalu mencerminkan keadaan individu-individu dalam

kelompoknya. Kasus-kasus khusus demikian jika hendak dieksperimen yang

paling memungkinkan adalah eksperimen kasus tunggal. Jadi di dalam

penelitian ini, peneliti m elakukan pengukuran yang sama dan berulang-ulang

(57)

   

terikat (dependen) dari hari ke hari. Peneliti memilih desain ini karena

penekanan dalam penelitian ini adalah “clinical setting” atau pada efek terapi.

Alasan lain yang mendasari pemakaian desain ini ialah jumlah subjek

penelitian yang sangat terbatas sehingga tidak dapat dilakukan komparasi

antar kelompok (Latipun : 2006).

Suatu desain eksperimen kasus tunggal (single-case experimental

design) diperlukan dan harus melakukan pengukuran keadaan awal sebagai

fungsi prates. Keadaan awal (baseline) merupakan pengukuran (beberapa)

aspek dari perilaku subjek selama beberapa waktu sebelum perlakuan.

Rentang waktu pengukuran untuk menetapkan baseline ini disebut fase

keadaan awal (baseline phase). Fase keadaan awal ini memiliki fungsi

deskriptif dan fungsi prediktif. Fungsi deskriptif (descriptive function) adalah

fungsi untuk meramalkan level performansi (perilaku) subjek juka tidak ada

intervensi. Baseline berfungsi sebagai landasan pembanding untuk menilai

keefektifan suatu perlakuan (Sunanto :2006).

Sumanto (1990; dalam Latipun, 2008) menjelaskan bahwa desain

eksperimen kasus tunggal dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu

A-B-A withdrawal, baseline majemuk dan perlakuan berganti-ganti. Dalam

penelitian ini peneliti menggunakan desain A-B-A withdrawal. Yang

dimaksud dengan withdrawal design adalah meniadakan perlakuan untuk

melihat apakah perlakuan tersebut efektif. Rancangan ini menerapkan

observasi terus-menerus pada suatu individu utama. Target perilaku dari

(58)

   

utama yang menjadi garis dasar (baseline) untuk diteliti. Perilaku dasar ini

kemudian dinilai, di-treatment, sebelum pada akhirnya treatment tersebut

dihentikan di tahap akhir penelitian (Creswell, 2013). Pengertian baseline

(keadaan awal) ialah hasil pengukuran perilaku yang dilakukan sebelum

diberikannya sebuah perlakuan (intervensi), yang memungkinkan

dilakukannya pembandingan dan pengukuran terhadap efek-efek intervensi

(Sunanto, 2005).

Desain A-B-A withdrawal pada dasarnya melibatkan fase baseline (A)

dan fase perlakuan (B). withdrawal berarti menghentikan perlakuan dan

kembali kepada baseline. Ada sejumlah variasi desai A-B-A withdrawal,

yang paling sederhana dan sering digunakan dalam penelitian perilaku yaitu

desain A-B, A-B-A, dan A-B-A-B. Pada desain withdrawal ini, peneliti

menggunakan tipe variasi A-B-A, hal ini karena peneliti ingin melihat

seberapa besar peningkatan kemampuan interaksi sosial pada anak autis

(Latipun, 2006).

Desain A-B-A merupakan salah satu pengembangan dari desain dasar

A-B, desain A-B-A ini telah menunjukkan adanya hubungan sebab akibat

antara variabel terikat dan variabel bebas. Prosedur dasarnya tidak banyak

berbeda dengan desain A-B, hanya saja telah ada pengulangan fase baseline.

Mula-mula target behavior diukur secara kontinyu pada kondisi baseline (A1)

dengan periode waktu tertentu kemudian pada kondisi intervensi (B). berbeda

dengan desain A-B, pada desain A-B-A setelah pengukuran pada kondisi

Gambar

gambar untuk meningkatkan kemampuan berhitung anak berkebutuhan
Gambar 1. Skema Visual
gambar 2 di bawah ini (Sunanto, 2005).
Gambar 2. Prosedur Eksperimen
+7

Referensi

Dokumen terkait

1. Bagi perusahaan yang diteliti hendaknya dilakukan evaluasi secara berkala untuk mengevaluasi kinerja perusahaan, sehingga dapat diketahui hal apa yang menyebabkan

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Aturan Peralihan Pasal II Undang-Undang Dasar 1945 juga Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946

Maksudnya adalah perhitungan Total Biaya (TC[N,Q’]) untuk set data 5 dengan proporsi sampel (u) = 10% dan set data 3 dengan proporsi sampel (u) = 20% pada Metode Pembulatan

Reklamasi lahan bekas tambang selain merupakan upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan pasca tambang, agar menghasilkan lingkungan ekosistem yang baik dan diupayakan

Jika dihubungkan dengan persepsi ulama Palangka Raya tentang fungsi penggunaan facebook bagi pasangan suami istri dalam berkomuikasi dengan rekannya harus mengacu

Sesuai dengan berbagai uraian yang telah disampaikan oleh peneliti sebelumnya tentang pentingnya peningkatan kualitas pendidikan dengan segala faktor pendukungnya salah

Pendidikan merupakan proses interaksi antara guru (pendidik) dengan peserta didik (siswa) untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang ditentukan. Pendidik, peserta didik,