PROFIL PEMECAHAN MASALAH
MATEMATIKA ANAK AUTIS DITINJAU DARI
GAYA KOGNITIF FIELD DEPENDENT DAN
FIELD INDEPENDENT
SKRIPSI
Oleh:
Balqis Azizah
NIM. D04212005
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi Oleh :
Nama : Balqis Azizah NIM : D04212005
Fakultas : Tarbiyah dan Keguruan
Judul : PROFIL PEMECAHAN MATEMATIKA SISWA AUTIS DITINJAU DARI GAYA KOGNITIF
FIELD DEPENDENT DAN FIELD
INDEPENDENT
ini telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan.
Pembimbing I
Yuni Arrifadah, M.Pd NIP. 197306052007012048
Surabaya, 8 Agustus 2016
Pembimbing II
vii
PROFIL PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA ANAK AUTIS
DITINJAU DARI GAYA KOGNITIF FIELD DEPENDENT DAN FIELD
INDEPENDENT
Oleh: BALQIS AZIZAH
ABSTRAK
Autisme merupakan suatu istilah yang mencirikan bahwa seseorang menarik diri dari interaksi sosial dengan lingkungannya sehingga mereka seolah-olah hidup di dunia sendiri. Berdasarkan UU RI No. 20 tahun 2003 pasal 32 ayat 1, maka anak yang menyandang autisme dan anak dengan kebutuhan khusus lainnya berhak mendapat pendidikan dan pengajaran yang layak sesuai dengan kemampuan dan juga potensi yang ada dalam dirinya. Kurikulum pada sekolah umum mengikuti kurikulum nasional dan bukan kurikulum pendidikan khusus, untuk hal itu perlu dilihat bagaimana anak-anak autis berpikir ketika memecahkan masalah, khususnya pada permasalahan dalam matematika. Melalui pemecahan masalah matematika, siswa autis dapat melatih proses berpikirnya untuk dapat memahami masalah dan memiliki kepercayaan diri untuk mengambil keputusan dalam mencari solusi yang dihadapi sesuai dengan gaya kognitif yang dimiliki siswa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran terperinci mengenai proses pemecahan masalah matematika anak autis ditinjau dari gaya kognitif field dependent (FD) dan gaya kognitif field independent (FI).
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian terdiri dari 2 siswa, masing-masing 1 siswa yang memiliki gaya kognitif FD dan 1 siswa yang memiliki gaya kognitif FI. Subjek penelitian diperoleh dengan memberikan tes GEFT untuk menentukan gaya kognitif siswa. Data penelitian diperoleh dengan memberikan 2 tes pemecahan masalah (TPM) dengan materi segi empat. Setelah subjek diberikan TPM, subjek kemudian diwawancara. Peneliti menguji kredibilitas dan kevalidan data menggunakan triangulasi metode. Hasil TPM dianalisis berdasarkan indikator tahap pemecahan masalah menurut Polya dan hasil wawancara dianalisis berdasarkan Miles dan Huberman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek autis FD dalam memahami masalah subjek membaca secara berulang soal yang diterima yang berarti subjek masih belum bisa memahami masalah secara langsung, subjek merencanakan penyelesaian masalah dengan menceritakan perencanaan masalah yang dilakukan secara runtut tetapi dengan menggunakan perencanaan yang kurang tepat. Pada tahap melaksanakan penyelesaian, subjek mengerjakan sesuai dengan perencanaan yang telah diungkapkannya tadi sehingga menyebabkan jawaban subjek FD masih kurang tepat, dan pada tahap memeriksa kembali, subjek FD tidak memeriksa kembali hasil pengerjaannya. Sedangkan subjek autis FI dalam menerima informasi dengan cara membaca soal dengan cermat dan teliti dan subjek bisa langsung memahami isi dari masalah yang diberikan. Pada tahap merencanakan penyelesaian, subjek FI merencanakan penyelesaian dengan menceritakan perencanaan masalah yang dilakukan dengan rencana yang benar. Pada tahap melaksanakan penyelesaian, subjek mengerjakan sesuai dengan perencanaan yang telah diungkapkannya tadi dengan benar, dan pada tahap memeriksa kembali, subjek FI memeriksa kembali hasil jawaban yang telah ia kerjakan.
Kata kunci: Pemecahan masalah, Anak Autis, Gaya kognitif field dependent, Gaya kognitif
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Persetujuan Pembimbing ... ii
Halaman Pengesahan ... iii
Pernyataan Keaslian Tulisan ... iv
Motto ... v
Halaman Persembahan ... vi
Abstrak ... viii
Kata Pengantar ... ix
Daftar Isi ... xi
Daftar Tabel ... xii
Daftar Gambar ... xiii
Daftar Lampiran ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Batasan Masalah ... 10
F. Definisi Operasional ... 10
G. Sistematika Pembahasan ... 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Masalah Matematika ... 15
B. Pemecahan Masalah Matematika ... 19
C. Profil Pemecahan Masalah Matematika ... 25
D. Anak Autis ... 26
E. Gaya Kognitif ... 31
G. Keterkaitan Antara Pemecahan Masalah dengan Anak Autis ditinjau dari Gaya Kognitif Field Dependent dan
Field Independent ... 39
H. Segi Empat ... 42
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 45
B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 45
C. Subjek Penelitian ... 46
D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 50
E. Keabsahan Data ... 54
F. Teknik Analisis Data ... 55
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi dan Analisis Data Tes Pemecahan Masalah dan Wawancara Subjek dengan Gaya Kognitif Field Dependent ... 57
B. Deskripsi dan Analisis Data Tes Pemecahan Masalah dan Wawancara Subjek dengan Gaya Kognitif Field Independent ... 69
BAB V PEMBAHASAN A. Profil Pemecahan Masalah Matematika Anak Autis Yang Memiliki Gaya Kognitif Field Dependent ... 79
B. Profil Pemecahan Masalah Matematika Anak Autis Yang Memiliki Gaya Kognitif Field Independent ... 82
BAB VI PENUTUP A. Simpulan ... 85
B. Saran ... 86
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Alur Pemecahan Masalah Menurut Polya ... 24
Gambar 3.1 Prosedur Pemilihan Subjek Penelitian ... 47
Gambar 4.1 Lembar Jawaban TPM 1 Subjek FD ... 55
Gambar 4.2 Lembar Jawaban TPM 2 Subjek FD ... 57
Gambar 4.3 Lembar Jawaban Subjek FD Pada Saat Melaksanakan Penyelesaian TPM 1 ... 60
Gambar 4.4 Lembar Jawaban Subjek FD Pada Saat Melaksanakan Penyelesaian TPM 2 ... 62
Gambar 4.5 Lembar Jawaban Subjek FD Saat Memeriksa Kembali Hasil TPM 1 ... 65
Gambar 4.6 Pembenaran Jawaban TPM 1 Subjek FD ... 66
Gambar 4.7 Lembar Jawaban Subjek FI Saat Memahami TPM 1 .. 67
Gambar 4.8 Lembar Jawaban Subjek FI Saat Memahami TPM 2 .. 69
Gambar 4.9 Lembar Jawaban TPM 1 Subjek FI ... 72
Gambar 4.10 Lembar Jawaban TPM 2 Subjek FI ... 73
Gambar 4.11 Hasil Pengecekan Jawaban TPM 1 Subjek FI ... 75
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tabel Indikator Pemecahan Masalah ... 25
Tabel 2.2 Tabel Perbedaan Karakteristik Siswa Bergaya Kognitif FI dan FD ... 37
Tabel 3.1 Kriteria Pemilihan Subjek Penelitian ... 49
Tabel 3.2 Daftar Hasil Tes GEFT Siswa Autis Kelas VII ... 49
Tabel 3.3 Daftar Nama Subjek Penelitian ... 50
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Tes GEFT
Lampiran 2 Lembar Validasi Tes GEFT
Lampiran 3 Lembar Tugas Pemecahan Masalah (TPM) 1
Lampiran 4 Lembar Tugas Pemecahan Masalah (TPM) 2
Lampiran 5 Lembar Validasi I TPM
Lampiran 6 Lembar Validasi II TPM
Lampiran 7 Lembar Validasi III TPM
Lampiran 8 Lembar Validasi IV TPM
Lampiran 9 Pedoman Wawancara
Lampiran 10 Lembar Validasi I Pedoman Wawancara
Lampiran 11 Lembar Validasi II Pedoman Wawancara
Lampiran 12 Lembar Validasi III Pedoman Wawancara
Lampiran 13 Lembar Validasi IV Pedoman Wawancara
Lampiran 14 Hasil Pengerjaan GEFT Siswa
Lampiran 15 Hasil Pengerjaan TPM 1 & TPM 2 Subjek FD
Lampiran 16 Hasil Pengerjaan TPM 1 & TPM 2 Subjek FI
Lampiran 17 Transkrip Wawancara
Lampiran 18 Surat Ijin Penelitian
Lampiran 19 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian
Lampiran 20 Surat Tugas
Lampiran 21 Kartu Konsultasi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Autisme adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang kebanyakan diakibatkan oleh faktor hereditas. Anak dengan gangguan autisme adalah anak yang sibuk dengan urusannya sendiri dari pada bersosialisasi dengan orang lain disekitarnya.1 Autisme bukanlah penyakit kejiwaan karena ia merupakan suatu gangguan yang terjadi pada otak sehingga menyebabkan otak tersebut tidak dapat berfungsi selayaknya otak normal.
Istilah/kata autism pertama kali digunakan oleh seorang psikiater Swiss yang bernama Eugene Bleuler, pada tahun 1908-1911 mengamati adanya suatu ciri tertentu pada penderita skizofrenia dewasa yang ia sebut sebagai autisme yang berasal dari kata bahasa Yunani yaitu autos yang berarti sendiri. Autisme merupakan suatu istilah yang mencirikan bahwa seseorang menarik diri dari interaksi sosial dengan lingkungannya sehingga mereka seolah-olah hidup di dunia sendiri. Gangguan kejiwaan berupa skizofrenia hanya terjadi/timbul pada orang dewasa atau remaja saja. Namun pada tahun 1938-1943, Leo Kanner di Universitas John Hopkins (Amerika Serikat) memperhatikan adanya ciri autisme pada 11 orang anak yang tidak bisa melakukan kontak dengan orang di sekitarnya bahkan sejak usia 1 tahun, sehingga disebut sebagai infantil-autisme (autisme infantil). Sejak tahun
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
2
sekitar 1940 sampai dengan sekitar tahun 1960 autisme disalah-sangkakan sebagai gangguan/masalah/kelainan jiwa yang terjadi pada masa kanak-kanak. Pada jaman dahulu, autisme ditangani oleh dokter spesialis jiwa, sehingga penanganannyapun saat itu seperti juga penanganan terhadap penderita kelainan jiwa saat itu, seperti misalnya dirawat di rumah sakit jiwa dengan terapi kejut listrik, dsb. Autisme pada saat ini merupakan gangguan perkembangan, maka yang lebih tepat autisme ditangani oleh dokter spesialis anak.2
Saat ini pertumbuhan populasi autis berkembang sangat pesat. Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya di Indonesia, namun dr Widodo Judarwanto, pediatrician clinical and editor in chief menduga seperti halnya dibelahan dunia lainnya terjadi peningkatan yang luar biasa penderita autis di Indonesia. Prediksi penderita autis dari tahun ke tahun semakin meningkat. Sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, tahun 2000 meningkat menjadi satu per 500 anak. Diperkirakan tahun 2010 satu per 300 anak. Sedangkan tahun 2015 diperkirakan satu per 250 anak. Tahun 2015 diperkirakan terdapat kurang lebih 12.800 anak penyandang autisme atau 134.000 penyandang spektrum Autis di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat.3
2 Rudy Sutadi, “Sejarah Autisme”, diakses dari http://www.kompasiana.com/lizarudy/sejarah-autisme_552e0e296ea834402a8b4589 pada 8 Maret 2016
3
Autis, bukan sekedar kelemahan mental, tetapi gangguan perkembangan mental sehingga penderita mengalami kelambanan dalam kemampuan, perkembangan fisik dan psikisnyapun tidak mengikuti irama dan tempo perkembangan yang normal. Pada dasarnya, anak penderita autis juga memerlukan pendidikan sebagaimana anak normal lainnya, karena sebenarnya anak autis itu juga mempunyai potensi untuk dikembangkan. Potensi-potensi tersebut akan dapat dikembangkan semaksimal mungkin apabila mendapat penanganan yang tepat.
Dalam UU RI No. 20 tahun 2003 pasal 32 ayat 1 tercantum bahwa “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, dan atau memiliki potensi dan bakat yang istimewa”. 4 Berdasarkan aturan perundang-undangan tersebut, maka anak yang menyandang autisme dan anak dengan kebutuhan khusus lainnya berhak mendapat pendidikan dan pengajaran yang layak sesuai dengan kemampuan dan juga potensi yang ada dalam dirinya.
Pendidikan anak-anak autis prasekolah, sebagian besar diarahkan untuk memperbaiki perilaku dan emosionalnya yang bertujuan agar anak dapat melaksanakan interaksi sosial dengan baik. Beberapa penelitian tentang pemberian terapi prasekolah ternyata mamberikan hasil yang baik terhadap perubahan tingkah laku seperti melakukan perintah, keterampilan berbicara dan imitasi gerak. Memperhatikan jumlah populasi penyandang autis yang meningkat dan tidak diikuti dengan layanan pendidikan yang cukup, maka sebagian dari mereka mengikuti pendidikan lanjutan di sekolah umum. Melaui pendidikan inklusi, siswa autis dididik
4 Aisyah Muis, “Sistem Pendidikan Nasional”, diakses dari
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
4
bersama siswa normal lainnya untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya, yang mana pendidikan inklusi ini merupakan sekolah yang diperuntukkan bagi semua siswa tanpa melihat kondisi fisiknya. Kurikulum pada sekolah umum mengikuti kurikulum nasional dan bukan kurikulum pendidikan khusus. Untuk hal itu perlu dilihat bagaimana anak-anak autis berpikir ketika memecahkan masalah, khususnya pada permasalahan dalam matematika.5 Melalui pemecahan masalah matematika, siswa autis dapat melatih proses berpikirnya untuk dapat memahami masalah dan memiliki kepercayaan diri untuk mengambil keputusan dalam mencari solusi yang dihadapi.
Pemecahan masalah merupakan aktivitas mental tingkat tinggi, sehingga pengembangan keterampilan pemecahan masalah matematika tidak mudah. Pemecahan masalah merupakan cara yang tepat dalam pembelajaran untuk melatih siswa berpikir dan hal ini sudah dibuktikan para ahli melalui sejumlah penelitian. Menurut Polya, ada empat tahapan penting yang harus ditempuh siswa dalam memecahkan masalah, yakni memahami masalah, menyusun rencana penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian, dan memeriksa kembali.6
Dalam memahami masalah, yang harus dilakukan untuk dapat memahami suatu masalah adalah pahami bahasa atau istilah yang digunakan dalam masalah tersebut, merumuskan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, apakah informasi yang diperoleh cukup, kondisi/syarat apa saja yang harus terpenuhi, nyatakan atau tuliskan masalah dalam bentuk yang lebih operasional sehingga
5 Proses berpikir siswa autis dalam menyelesaikan soal matematika, diunduh dari
http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=134004&lokasi=lokal pada tanggal 25 November 2015
5
mempermudah untuk dipecahkan. Dalam merencanakan pemecahan masalah kita dapat mencari kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atau mengingat-ingat kembali masalah yang pernah diselesaikan yang memiliki kemiripan sifat/pola dengan masalah yang akan dipecahkan. Kemudian barulah menyusun prosedur penyelesaiannya.
Pada langkah melaksanakan rencana, yang harus dilakukan hanyalah menjalankan strategi yang telah dibuat dengan ketekunan dan ketelitian untuk mendapatkan penyelesaian. Kegiatan pada langkah melihat kembali adalah menganalisis dan mengevaluasi apakah strategi yang diterapkan dan hasil yang diperoleh benar, apakah ada strategi lain yang lebih efektif, apakah strategi yang dibuat dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah sejenis, atau apakah strategi dapat dibuat generalisasinya. Ini bertujuan untuk menetapkan keyakinan dan memantapkan pengalaman untuk mencoba masalah baru yang akan datang. Melalui tahapan tersebut, siswa akan memperoleh hasil dan manfaat optimal dari pemecahan masalah ketika mereka melalui langkah-langkah pemecahan yang terorganisasi dengan baik.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
6
Gaya kognitif merupakan karakteristik individu dalam berpikir, merasakan, mengingat, memecahkan masalah, dan membuat keputusan. Sejalan dengan itu, gaya kognitif dapat didefinisikan sebagai variasi individu dalam cara memandang, mengingat dan berpikir atau sebagai cara tersendiri dalam hal memahami, menyimpan, mentransformasi, dan menggunakan informasi.7 Gaya kognitif merujuk pada cara seseorang memproses, menyimpan maupun menggunakan informasi untuk menanggapi suatu tugas atau menanggapi berbagai jenis situasi lingkungannya. Disebut sebagai gaya dan bukan sebagai kemampuan karena merujuk pada bagaimana seseorang memproses informasi dan memecahkan masalah dan bukan merujuk pada bagaimana proses penyelesaian yang terbaik.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan gaya kognitif sangat mempengaruhi pemecahan masalah matematika siswa karena keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan masalah akan ditentukan dari cara orang itu berpikir, mengingat konsep-konsep sebelumnya yang terkait dengan masalah yang diberikan dan memproses informasi untuk mendapat solusi yang tepat. Sangat mungkin bahwa pemecahan masalah yang diajukan siswa akan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan siswa lain sesuai dengan gaya kognitif masing-masing siswa.
Ada beberapa jenis gaya kognitif, diantaranya yaitu gaya kognitif yang dibedakan berdasarkan psikologi dan gaya kognitif yang didasarkan atas perbedaan konseptual tempo. Gaya kognitif yang dibedakan berdasarkan psikologi meliputi gaya kognitif field independent dan gaya kognitif field dependent. Orang yang bergaya kognitif field dependent cenderung memandang suatu pola
7 Abdul Rahman, “Analisis Hasil Belajar Matematika Berdasarkan Perbedaan Gaya
7
sebagai keseluruhan dan kerap kali berorientasi pada sesama manusia serta hubungan sosial. Orang yang bergaya kognitif field independent cenderung untuk lebih memperhatikan bagian dan komponen dalam suatu pola dan kerap pula lebih berorientasi pada penyelesaian tugas daripada hubungan sosial.
Gaya kognitif yang didasarkan atas perbedaan konseptual tempo yaitu perbedaan gaya kognitif berdasarkan atas waktu yang digunakan untuk merespon suatu stimulus. Gaya kognitif dalam klasifikasi ini di bagi menjadi dua kelompok, yaitu gaya kognitif impulsif dan gaya kognitif reflektif. Orang yang memiliki gaya kognitif impulsif menggunakan alternatif-alternatif secara singkat dan cepat untuk menyeleksi sesuatu. Mereka menggunakan waktu sangat cepat dalam merespon, tetapi cenderung membuat kesalahan sebab mereka tidak memanfaatkan semua alternatif, sedangkan, orang yang mempunyai gaya kognitif reflektif sangat berhati-hati sebelum merespon sesuatu, dia mempertimbangkan secara hati-hati dan memanfaatkan semua alternatif. Waktu yang digunakan relatif lama dalam merespon tetapi kesalahan yang dibuat relatif kecil8.
Individu autis adalah sosok yang unik, sehingga cara belajar dan penerimaan informasi juga berbeda dari individu lainnya. Anak autis merupakan anak yang kerap kali sibuk dengan urusannya sendiri ketimbang bersosialisasi dengan orang lain disekitarnya. Hal itu menyebabkan dalam proses berpikirnya anak autis cenderung lebih mempunyai pemikiran tersendiri dalam menyelesaikan suatu masalah ketimbang melihat atau mendengar pemikiran dari orang lain.
Menurut para peneliti dari Universitas Montreal, Kanada, pada penyandang autisme, area otak yang berkaitan dengan fungsi informasi visual sangat berkembang. Sementara itu, bagian otak lainnya kurang aktif terutama pada area yang berkaitan dengan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
8
pembuatan keputusan dan perencanaan.9 Dalam kegiatan belajar di sekolah anak autis lebih mudah menerima informasi atau pengetahuan yang disampaikan melalui gambar (visual-learners), sebaliknya mereka akan mengalami hambatan untuk memahami informasi yang berupa kalimat-kalimat panjang seperti misalnya pada pelajaran yang mengharuskan mereka menceritakan kembali sebuah bacaan atau menyelesaikan soal berhitung yang menggunakan kalimat. Disisi lain, anak autis justru memiliki daya ingat yang kuat pada hal-hal yang sering diulang seperti syair lagu, angka perkalian dan angka kalender. Anak autis mempunyai kemampuan yang lebih tinggi pada bidang yang berkaitan dengan angka misalnya mengingat nomor atau angka dengan nominal (digit) yang banyak.
Anak-anak autisme memiliki tingkat kecerdasan (IQ) rata-rata lebih unggul dalam bidang matematika dibandingkan dengan anak normal dengan IQ yang sama. Keunggulan dalam bidang matematika pada anak autisme ini terkait dengan pola aktivasi pada area tertentu dalam otak mereka. Pada anak normal area tersebut dikaitkan dengan kemampuan mengenali wajah dan objek visual. Hal ini menyebabkan anak autisme lebih unggul dalam hal pemecahan masalah matematika. Vinod Menon, peneliti senior dari Standford University melakukan penelitian yang melibatkan 18 anak autisme berusia 7-12 tahun dan 18 anak tanpa autisme berusia sama. Semua responden diminta mengerjakan soal-soal matematika sementara aktivitas otaknya dipantau dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Hasil scan pada anak autis menunjukkan pola yang tidak biasa pada area ventral temporal occipital cortex. Area ini bertanggung jawab dalam hal mengingat
9
wajah dan objek visual lainnya.10 Kemampuan mengatasi masalah matematis dan mengembangkan keahlian tersebut dapat membuat perbedaan besar dalam kehidupan anak dengan autis.
Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul, “Profil Pemecahan Masalah Matematika Anak Autis Ditinjau Dari Gaya Kognitif Field Dependent dan Field Independent”. B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, rumusan masalah pada penelitian yang diajukan sebagai berikut:
1. Bagaimana profil pemecahan masalah matematika anak autis yang memiliki gaya kognitif field dependent?
2. Bagaimana profil pemecahan masalah matematika anak autis yang memiliki gaya kognitif field independent?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diajukan, tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan profil pemecahan masalah matematika anak autis yang memiliki gaya kognitif field dependent.
2. Mendeskripsikan profil pemecahan masalah matematika anak autis yang memiliki gaya kognitif field independent.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
10
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:
1. Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu mengenai gaya kognitif yang dimiliki siswa sehingga guru bisa memberikan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan yang dimiliki siswa dan dapat membantu siswa autis agar lebih mandiri dalam mengerjakan tugasnya.
2. Bagi peneliti lain, sebagai referensi dalam melakukan penelitian yang serupa mengenai profil pemecahan masalah matematika ditinjau dari gaya kognitif field dependent dan field independent.
E. Batasan Penelitian
Agar pembahasan masalah dari penelitian ini tidak meluas ruang lingkupnya, penulis membatasi permasalahan pada materi segi empat untuk siswa kelas VII.
F. Definisi Operasional
Untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran, maka beberapa istilah perlu didefinisikan yaitu sebagai berikut:
1. Profil
Gambaran utuh menyeluruh dan alami tentang kemampuan siswa untuk menemukan atau memperoleh jawaban dari pertanyaan yang diberikan.
2. Masalah Matematika
11
aljabar, analisis, geometri, logika, permasalahan sosial ataupun gabungan satu dengan lainnya yang tidak mempunyai cara tertentu yang dapat langsung dipakai untuk mendapatkan penyelesaian dari soal tersebut.
3. Pemecahan Masalah Matematika
Pemecahan masalah matematika merupakan suatu proses atau sekumpulan aktifitas siswa yang dilakukan untuk menemukan solusi dari masalah matematika.
4. Profil Pemecahan Masalah Matematika
Profil Pemecahan masalah matematika adalah gambaran menyeluruh mengenai rangkaian aktifitas siswa yang dilakukan untuk menemukan solusi matematika.
5. Autis
Autis adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal.
6. Gaya Kognitif
Gaya kognitif adalah variasi individu dalam cara memandang, mengingat dan berpikir atau sebagai cara tersendiri dalam hal memahami, menyimpan, mentransformasi, dan menggunakan informasi.
7. Gaya Kognitif Field Independent
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
12
8. Gaya Kognitif Field Dependent
Ciri khas individu yang mempunyai kecenderungan dalam merespon suatu stimulus menggunakan syarat lingkungan sebagai dasar dalam persepsinya dan kecenderungan memandang suatu pola sebagai suatu keseluruhan tidak memisahkan bagian-bagiannya.
G. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab 1: Pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian, definisi operasional, dan sistematika pembahasan.
Bab 2: Kajian pustaka berisi tentang segala hal yang berkaitan dengan masalah matematika, pemecahan masalah matematika, profil pemecahan masalah matematika, anak autis, gaya kognitif, gaya kognitif field dependent dan field independent, keterkaitan antara Pemecahan Masalah Matematika dengan Anak Autis Ditinjau dari Gaya Kognitif Field Dependent dan Field Independent, serta beberapa definisi tentang segi empat.
Bab 3: Metode penelitian berisi tentang jenis penelitian, tempat dan waktu penelitian, subjek penelitian beserta alur pemilihannya, teknik dan instrumen pengumpulan data, teknik analisis data, dan prosedur penelitian.
Bab 4: Hasil penelitian yang meliputi, deskripsi dan analisis data tentang hasil pengerjaan dan wawancara siswa autis ditinjau dari gaya kognitif field dependent dan field independent dalam mengerjakan TPM.
13
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Masalah Matematika
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tak luput dari adanya suatu permasalahan yang perlu dipecahkan solusinya. Dari permasalahan, manusia dapat belajar memecahkan masalah untuk dapat bertahan hidup. Suatu pertanyaan akan menjadi masalah jika seseorang belum menemukan aturan atau hukum tertentu untuk menemukan solusi dari pertanyaan tersebut atau dengan kata lain
suatu masalah merupakan situasi yang seseorang memerlukan
sesuatu dan tidak mengetahui secara langsung tindakan yang akan dilakukan untuk mencapainya. Suatu pertanyaan merupakan masalah bergantung pada individu dan waktu. Maksudnya, bisa jadi hal yang menjadi masalah bagi seorang murid, bukan menjadi suatu masalah bagi siswa lain.
Sebagian besar ahli pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaan yang harus dijawab dan direspon, namun mereka juga menyatakan bahwa tidak semua pertanyaan otomatis akan menjadi masalah. Beberapa ahli mendefinisikan masalah sebagai berikut:
1. Ruseffendi menegaskan bahwa masalah dalam matematika
adalah suatu persoalan yang dapat diselesaikan tetapi tidak
menggunakan cara/algoritma rutin.1
1Z. Arifin, Disertasi Doktor: “
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
16
2. Lester mendefinisikan masalah sebagai suatu situasi dimana
seseorang atau kelompok ingin melakukan suatu tugas, tetapi tidak ada algoritma yang siap dan dapat diterima sebagai suatu
metode pemecahannya.2
3. Polya menyatakan bahwa suatu persoalan atau soal matematika
akan menjadi masalah bagi seorang siswa, jika: (a) mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan ditinjau dari kematangan mental dan ilmunya, (b) belum mempunyai algoritma/prosedur untuk menyelesaikannya, dan (c) berkeinginan untuk
menyelesaikannya.3
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu persoalan dapat disebut sebagai masalah jika persoalan tersebut memuat unsur tidak dapat diselesaikan dengan prosedur rutin. Masalah matematika adalah suatu soal atau pertanyaan ataupun fenomena yang memiliki tantangan yang dapat berupa bidang aljabar, analisis, geometri, logika, permasalahan sosial ataupun gabungan satu dengan lainnya yang tidak mempunyai cara tertentu yang dapat langsung dipakai untuk mendapatkan penyelesaian dari soal tersebut.
Secara lebih rinci, Baroody membedakan soal ke dalam 3 bagian, yaitu latihan, masalah, dan enigma. Suatu soal disebut latihan jika seseorang sudah mengetahui strategi untuk menyelesaikannya dengan menggunakan prosedur atau rumus secara langsung. Suatu soal disebut masalah jika seseorang tidak
Matematika Realistik dengan Strategi Kooperatif di Kabupaten Lamongan”, (Bandung:
PPs UPI. 2008), 25
2 O. Sopiyah, Skripsi: “Pengaruh Model ‘KUASAI’ Terhadap Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematis Siswa SMK”, (Bandung: FPMIPA UPI. 2010), 9
3 E. Suherman, U. S. Winataputra, Strategi Belajar Mengajar Matematika, (Jakarta:
17
dapat mengetahui secara langsung cara yang dapat digunakan untuk menyelesaikannya. Menurut Baroody, masalah memiliki tiga komponen yaitu, (a) dapat mendorong seseorang untuk mengetahui sesuatu, (b) tidak ada cara langsung yang dapat digunakan untuk menyelesaikannya, dan (c) mendorong seseorang untuk menyelesaikannya. Suatu soal disebut enigma jika seseorang secara langsung mengabaikannya atau menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak dapat dikerjakan. Karena seseorang tidak punya keinginan untuk menyelesaikannya atau sudah yakin bahwa tidak dapat diselesaikan, maka enigma tidak memerlukan pemikiran dua
kali dan langsung ditinggalkan.4
Di dunia pendidikan, matematika masih menjadi hal yang paling ditakuti oleh siswa. Hal ini dikarenakan masih banyaknya siswa yang mengalami kesulitan ketika memecahkan masalah matematika. Suatu masalah matematika berbeda dengan soal matematika karena tak selamanya soal matematika dapat disebut dengan masalah matematika. Soal matematika yang dapat langsung dikerjakan dengan mudah bukan merupakan masalah matematika.
Secara khusus, Meiring menyatakan bahwa masalah matematika harus memiliki beberapa syarat yaitu (a) situasi harus memuat pernyataan awal dan tujuan, (b) situasi harus memuat ide-ide matematika, (c) menarik seseorang untuk mencari selesaiannya, dan (d) harus memuat penghalang/rintangan antara yang diketahui
dan yang diinginkan/ditanyakan.5 Selanjutnya Hudojo menyatakan
bahwa syarat suatu masalah bagi siswa adalah (a) soal yang
4Abdussakir, “Pembelajaran Matematika Melalui Pemecahan Masalah Realistik”, diakses
melalui https://abdussakir.wordpress.com/2009/03/21/pembelajaran-matematika-melalui-pemecahan-masalah-realistik/ pada tanggal 11 Maret 2016
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
18
diberikan kepada siswa harus dapat dipahami oleh siswa, namun soal tersebut merupakan tantangan untuk diselesaikan, dan (b) soal tersebut tidak dapat secara langsung dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui siswa.
Polya juga berpendapat bahwa matematika terbagi dalam dua macam masalah, yaitu:
1. Masalah untuk menemukan
Tujuan masalah untuk menemukan adalah untuk mencari suatu objek tertentu atau hal yang tidak diketahui ataupun yang ditanyakan dari masalah tersebut. Bagian utama dari masalah menemukan adalah:
a. Apakah yang ditanyakan?
b. Apakah data yang diketahui?
c. Bagaimana syaratnya?
2. Masalah untuk membuktikan
Masalah untuk membuktikan adalah masalah untuk
menunjukkan bahwa suatu pernyataan itu benar atau salah.6
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah matematika harus memenuhi syarat, yaitu (1) menantang untuk diselesaikan dan dapat dipahami siswa, (2) tidak dapat langsung diselesaikan dengan prosedur rutin yang telah dikuasai siswa, dan (3) melibatkan ide-ide matematika.
6 Ahmad Nasriadi, Tesis: “Profil Pemecahan Masalah Matematika Siswa Smp Ditinjau
19
B. Pemecahan Masalah Matematika
Memecahkan suatu masalah merupakan aktivitas dasar bagi manusia, karena pada kenyataannya, sebagian besar kehidupan kita adalah berhadapan dengan masalah-masalah yang perlu dicari penyelesaiannya. Pemecahan masalah merupakan aktifitas mental yang tinggi. Pemecahan masalah merupakan cara yang tepat dalam pembelajaran untuk melatih siswa berpikir dan hal ini sudah dibuktikan para ahli melalui sejumlah penelitian.
Pehken menyatakan bahwa: “Problem solving has generally been
accepted as means for advancing thingking skills.” Ini berarti bahwa pemecahan masalah telah diterima secara umum sebagai
cara untuk meningkatkan keahlian berpikir.7
Pemecahan masalah didefinisikan oleh Rodney sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu dalam mengkombinasikan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya untuk menghadapi situasi baru. Cooney, Davis & Henderson mengemukakan bahwa pemecahan masalah adalah proses penerimaan masalah dan berusaha menyelesaikan masalah itu.
Russefendi mengemukakan bahwa suatu soal merupakan soal pemecahan masalah bagi seseorang bila ia memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menyelesaikannya, tetapi pada saat ia memperoleh soal itu ia belum tahu cara menyelesaikannya. Dalam kesempatan lain, Russefendi juga mengemukakan bahwa suatu persoalan itu merupakan masalah bagi seseorang jika: (1) pertama, persoalan itu tidak dikenalnya, (2) kedua, siswa harus mampu menyelesaikannya, baik kesiapan mentalnya maupun
7
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
20
pengetahuan siapnya/awalnya; terlepas dari pada apakah akhirnya ia sampai atau tidak kepada jawabannya, (3) Ketiga, sesuatu itu merupakan pemecahan masalah baginya, bila ia ada niat untuk
menyelesaikannya. 8
Lebih spesifik, Sumarmo mengartikan pemecahan masalah sebagai kegiatan menyelesaikan soal cerita, menyelesaikan soal yang tidak rutin, mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau keadaan lain, dan membuktikan
atau menciptakan atau menguji konjektur.9 Berdasarkan pengertian
yang dikemukakan Sumarmo tersebut, dalam pemecahan masalah matematika tampak adanya kegiatan pengembangan daya
matematika (mathematical power) terhadap siswa. Sedangkan
Polya mendefinisikan pemecahan masalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan untuk mencapai tujuan yang tidak dengan segera dicapai. Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah adalah suatu kegiatan untuk mencari jalan keluar dari suatu masalah yang ingin dicapai,
namun tidak ditemukan cara penyelesaiannya.10
8 ET Ruseffendi, Pengantar Matematika Modern dan Masa Kini untuk Guru dan PGSD
D2 Seri Kedua (Bandung: Tarsito, 1991a), 34
9
Sumarmo, U, Dedy, E dan Rahmat. Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan
Pemecahan Masalah Matematika pada Guru dan Siswa SMA, (Bandung: Laporan Hasil
Penelitian FPMIPA IKIP Bandung, 1994), 23
10 Syahrial, Tesis: “Profil Strategi Estimasi Siswa SD Dalam Pemecahan Masalah
Berhitung Ditinjau dari Perbedaan Gaya Kognitif Field Dependent dan Field
21
Cara memecahkan masalah dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya Dewey dan Polya. Dewey memberikan lima
langkah utama dalam memecahkan masalah: (1)
mengenali/menyajikan masalah: tidak diperlukan strategi pemecahan masalah jika bukan merupakan masalah; (2) mendefinisikan masalah: strategi pemecahan masalah menekankan pentingnya definisi masalah guna menentukan banyaknya kemungkinan penyelesaian; (3) mengembangkan beberapa hipotesis: hipotesis adalah alternatif penyelesaian dari pemecahan masalah; (4) menguji beberapa hipotesis: mengevaluasi kelemahan
dan kelebihan hipotesis; (5) memilih hipotesis yang terbaik. 11
Menurut Polya, ada empat tahap yang dapat dilakukan dalam pemecahan masalah, yaitu dimulai dari memahami masalah, membuat perencanaan pemecahan masalah, melaksanakan pemecahan masalah, dan mengecek kembali hasil pemecahan masalah. Keempat tahap tersebut dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut:
1. Memahami masalah (understand the problem)
Tanpa adanya pemahaman terhadap masalah, siswa tidak akan mampu menyelesaikan masalah dengan benar. Pada fase ini, siswa dituntut untuk mengerti bahasa atau istilah yang digunakan, makna tujuan dari masalah yang diberikan dengan cara meminta siswa untuk mengulang pertanyaan; menjelaskan bagian terpenting dari pertanyaan tersebut, seperti apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, dan apakah data serta kondisi yang tersedia mencukupi untuk
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
22
menentukan apa yang ingin didapatkan; menyatakan atau menuliskan masalah dalam bentuk yang lebih operasional sehingga mempermudah untuk dipecahkan. Untuk mencari tahu apa maksud dari permasalahan tersebut ada beberapa tips yang dapat dimanfaatkan, yaitu:
a. Baca keseluruhan masalah, tanpa mengharapkan
langsung bisa mengerti.
b. Baca masalah sekali lagi, bedakan informasi yang
penting dan yang tidak penting, dan buatlah bagan/coretan/catatan.
c. Jika masih belum mcngerti juga, jangan langsung
berkata, "Saya tidak mengerti!"
d. Ulangi baca lagi, pusatkan perhatian pada bagian-bagian
yang belum dimengerti.
e. Dalam beberapa kasus, permasalahan akan menjadi
lebih sederhana jika dipecah menjadi masalah-masalah
yang lebih kecil.12
2. Membuat rencana (device plan)
Pada fase ini, penyelesaian masalah sangat tergantung pada seberapa kreatif siswa dalam menyusun penyelesaian suatu masalah. Rencana penyelesaian bisa dalam bentuk tertulis maupun tidak. Pembuatan rencana pemecahan masalah dapat meliputi pembuatan sub masalah, menghubungkan informasi yang diberikan dengan informasi yang tidak diketahui, dan mengenali pola soal. Untuk
12
Endang Sulistyowati, Jurnal: “Pemecahan Masalah Dalam Pembelajaran Matematika
23
merencanakan pemecahan masalah kita dapat mencari kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atau mengingat-ingat kembali masalah yang pernah diselesaikan yang memiliki kemiripan sifat/pola dengan masalah yang akan dipecahkan. Kemudian barulah menyusun prosedur penyelesaiannya. Berikut adalah strategi-strategi yang biasanya digunakan dalam pembuatan rencana:
a. Mencari pola.
b. Menguji masalah yang berhubungan serta menentukan
apakah teknik yang sama bisa diterapkan atau tidak.
c. Menguji kasus khusus atau kasus lebih sederhana dari
masalah yang dihadapi untuk memperoleh gambaran lebih baik tentang penyelesaian masalah yang dihadapi.
d. Membuat sebuah tabel.
e. Membuat sebuah diagram.
f. Menulis suatu persamaan.
g. Menggunakan strategi tebak-periksa.
h. Bekerja mundur.
i. Mengidentifikasi bagian dari tujuan keseluruhan.
3. Melaksanakan rencana (carry out the plan)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
24
penyelesaian yang benar. Pada langkah melaksanakan rencana, yang harus dilakukan hanyalah menjalankan strategi yang telah dibuat dengan ketekunan dan ketelitian untuk mendapatkan penyelesaian. Lebih rincinya, berikut merupakan langkah-langkah dalam melaksanakan rencana:
a. Melaksanakan strategi sesuai dengan yang direncakan
pada tahap sebelumnya.
b. Melakukan pemeriksan pada setiap langkah yang
dikerjakan. Langkah ini bisa merupakan pemeriksaan secara intuitif atau bisa juga berupa pembuktian secara formal.
c. Upayakan bekerja secara akurat.
4. Memeriksa kembali (check back)
Kegiatan pada langkah melihat kembali adalah menganalisis dan mengevaluasi apakah strategi yang diterapkan dan hasil yang diperoleh benar, apakah ada strategi lain yang lebih efektif, apakah strategi yang dibuat dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah sejenis, atau apakah strategi dapat dibuat generalisasinya. Ini bertujuan untuk menetapkan keyakinan dan memantapkan pengalaman untuk mencoba masalah baru yang akan datang. Melalui tahapan tersebut, siswa akan memperoleh hasil dan manfaat optimal dari pemecahan masalah ketika mereka melalui langkah-langkah pemecahan yang terorganisasi dengan baik. Berikut adalah langkah-langkah yang biasanya digunakan dalam memeriksa kembali hasil penyelesaian masalah:
a. Periksa hasilnya pada masalah asal (dalam kasus
25
b. Interpretasikan solusi dalam konteks masalah asal.
Apakah solusi yang dihasilkan masuk akal?
c. Apakah ada cara lain untuk menyelesaikan masalah
tersebut?
d. Jika memungkinkan, tentukan masalah lain yang
[image:36.420.71.356.69.417.2]berkaitan atau masalah lebih umum lain dimana strategi yang digunakan dapat bekerja.
Gambar 2.1
Alur Pemecahan Masalah Menurut Polya
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
26
dilakukan untuk menemukan solusi dari masalah matematika dengan langkah penyelesaian yang terdiri dari memahami masalah, membuat rencana penyelesaian masalah, melaksanakan rencana penyelesaian dan memeriksa kembali penyelesaian
C. Profil Pemecahan Masalah Matematika
[image:37.420.70.381.151.524.2]Profil pemecahan masalah matematika pada penelitian ini merupakan gambaran utuh tentang berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah matematika berdasarkan tahapan pemecahan masalah yang diberikan oleh Polya. Untuk mendapat profil tersebut, diberikan tugas pemecahan masalah kepada subjek penelitian. Tugas pemecahan masalah merupakan tugas dalam bentuk soal cerita, kemudian siswa diminta untuk memecahkan masalah yang diberikan tersebut. Berikut indikator pemecahan masalah berdasarkan tahap pemecahan masalah Polya:
Tabel 2.1
Tabel Indikator Pemecahan Masalah
Tahap Pemecahan
Masalah Oleh Polya Indikator
Memahami masalah
1. Siswa dapat memahami dan
menyebutkan
informasi-informasi yang diberikan dan pertanyaan yang diajukan.
Merencanakan Pemecahan Masalah
1. Siswa dapat mencari
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atau mengingat-ingat kembali masalah yang
pernah diselesaikan yang
27
Dari indikator, peneliti ingin menggali informasi dengan wawancara tentang pemahaman subjek penelitian terkait dengan penggambaran pemecahan masalah yang diberikan melalui langkah-langkah penyelesaian yang terdiri dari memahami masalah, membuat rencana, melaksanakan rencana, dan memeriksa kembali.
D. Anak Autis
Autisme berasal dari kata autos yang berarti sendiri. Pada
pengertian nonilmiah, kata tersebut dapat ditafsirkan bahwa semua anak yang mengarah pada dirinya sendiri. Sementara itu Berk
mengartikan autisme dengan istilah absord in the self atau
keasyikan dalam sendiri. Sementara Wall mengartikan autisme sifat/pola/konsep dengan masalah yang akan dipecahkan.
2. Siswa dapat membuat dan
mengungkapkan rencana
penyelesaian yang dia buat.
Melaksanakan Pemecahan Masalah
1. Siswa dapat memecahkan
masalah sesuai dengan langkah-langkah pemecahan yang ia gunakan dengan hasil yang benar.
Memeriksa Kembali Pemecahan Masalah
1. Siswa memeriksa kembali
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
28
sebagai aloof atau withdrawn, yang mana anak-anak dengan
gangguan autisme ini tidak tertarik dengan dunia disekelilingnya.13
Menurut treatment and educational of autistic and
communication Handicapped Children Program (TEACCH) dituliskan:
“Autisme is a lifelong developmental disability that prevent individuals from properly understanding what they see, hear, and otherwisw sense. This result in severe problem of sosial relationships, communication and behavior.”
Pernyataan tersebut bisa diartikan bahwa autisme merupakan kelainan perkembangan mental yang menghambat individu untuk memahami apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan. Hal ini menimbulkan masalah yang berat dalam
bersosialisasi, berkomunikasi, dan berperilaku.14
Berdasarkan definisi-definisi di atas, autisme secara sederhana dapat diartikan dengan sikap anak yang cenderung suka menyendiri karena terlalu asyik dengan dunianya sendiri. Dengan kata lain, anak dengan gangguan autisme adalah anak yang sibuk dengan urusannya sendiri ketimbang bersosialisasi dengan orang lain di sekitarnya.
Penyebab autis pada anak sangatlah banyak. Berikut adalah beberapa faktor yang menyebabkan autis pada anak.
13Novan Ardy Wijayani,
Buku Ajar Anak Usia Dini Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta:
Ar Ruzz Media, 2014), 187.
14
Endah Puspita Palupiningrum, Desertasi: ” Pengaruh permainan labirin menggunakan media personal computer tablet terhadap kemampuan menulis permulaan dan konsentrasi
29
1. Faktor genetik atau keturunan
Yang pertama adalah karena faktor genetik. Ada beberapa gen yang terkait dengan autisme, tetapi gejala autisme baru bisa muncul jika terjadi kombinasi banyak gen. Bisa saja autisme tidak muncul meskipun anak membawa gen autisme.
2. Kelahiran prematur
Kelahiran dini atau kelahiran prematur juga merupakan salah satu penyebab autis. Hal ini dikarenakan seorang bayi yang lahir prematur masih belum memiliki organ tubuh yang maksimal. Beberapa penyebab bayi lahir prematur adalah kecelakan ataupun karena kurang bisa menjaga kesehatan.
3. Virus
Penyebab autis pada anak berikutnya adalah karena virus. Virus yang menginfeksi ibu hamil ataupun pada anak juga dapat menyebabkan autisme.
4. Obat-obatan
Penggunaan obat-obatan saat hamil tanpa resep dokter juga dapat mengakibatkan hal ini. selain itu, obat kimia yang diberikan pada bayi juga dapat menyebabkan anak autis.
5. Gangguan susunan saraf pusat
Ditemukan adanya kelainan pada susunan saraf pusat pada beberapa tempat di dalam otak pada anak usia dini yang mengalami gangguan autisme. Pada otak mereka terdapat
pengurangan jumlah sel purkinje di dalam otak yang
mengakibatkan serotonin kurang sehingga menyebabkan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
30
dalam otak sehingga emosi anak yang mengalami gangguan autisme sering terganggu.
Penentuan ciri-ciri individu autis pertama disumbangkan oleh Leorna Wing dan Judith Gould yang melakukan survey epidemiologis di daerah Camberwell, London, pada tahun 1970. Lorna dan Judith menemukan ciri-ciri autis yang selalu muncul bersamaan dan bukan hanya kebetulan. Hasilnya mereka
memperkenalkan “spektrum autis” dengan triad impairments, yaitu
sosialisasi, komunikasi, dan imajinasi. Ciri-ciri Wing selanjutnya digunakan untuk menentukan kriteria individu autis yang dikenal
dengan DSM-III (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder, edisi ketiga) dan telah direvisi menjadi DSM-IV yang digunakan diseluruh dunia untuk menentukan kriteria individu autis hingga sekarang. Harus ada sedikitnya enam gejala dari tiga indikator yang ada, dengan minimal dua gejala dari indikator pertama dan masing-masing satu gejala dari indikator kedua dan ketiga.15
Indikator pertama yaitu gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada dua dari gejala di bawah ini: (1) gangguan yang nyata dalam berbagai tingkah laku nonverbal seperti kontak mata, ekspresi wajah, dan posisi tubuh; (2) kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya sesuai dengan tingkat perkembangannya; (3) kurangnya spontanitas dalam berbagi kesenangan, minat atau prestasi dengan orang lain; dan (4) kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional atau timbal balik.
Indikator kedua adalah gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi yang meliputi: (1) keterlambatan perkembangan
15 Kamid,”Analisis Kendala Siswa Autis Dalam Menyelesaikan Soal Matematika Bentuk
31
bahasa atau tidak bicara sama sekali (tidak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa bicara); (2) pada individu yang mampu bicara, terdapat gangguan pada kemampuan memulai atau mempertahankan percakapan dengan orang lain. Individu yang bisa berbicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi; (3) penggunaan bahasa yang stereotif, repetitif atau sulit dimengerti, yaitu sering mengeluarkan bahasa yang aneh dan sulit dimengerti; (4) kurangnya kemampuan bermain pura-pura, bermain yang kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang meniru.
Indikator ketiga yaitu adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan. Kegiatan tersebut meliputi: (1) mempertahankan satu pola minat atau lebih dengan cara yang khas dan berlebih-lebihan; (2) terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang spesifik dan nonfungsional; (3) gerakan motor yang stereotif dan repititif yaitu mempunyai gerakan-gerakan aneh dan khas yang diulang-ulang; dan (4) preokupasi yang menetap pada bagian-bagian objek, yaitu sering kali sangat terpukau pada bagian-bagian-bagian-bagian benda seperti roda mobil-mobilan, dan bagian benda bulat.
Karakteristik di atas tidak semua muncul pada setiap anak autis. Tergantung dari berat ringannya gangguan yang diderita anak. Individu yang menyandang hampir semua indikator yang
termuat dalam DSM-IV disebut dengan low function. Jika ditinjau
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
32
gejala autisme yang ditimbulkan pada anak autis, yaitu autisme ringan, autisme sedang, dan autisme berat.
1. Autisme ringan
Anak yang mengalami autisme ringan masih memberikan tanggapan atau respon pada rangsangan atau stimulus ringan yang terjadi disekitarnya. Misalnya, ia akan menoleh jika dipanggil, atau menatap sebentar ke arah si pemanggil. Namun tentu saja tidak seperti layaknya anak normal, ia akan kembali asik dengan dunianya sendiri.
2. Autisme sedang
Autisme tipe sedang ini, gejala yang ditunjukkan oleh anak adalah ia akan memberikan tanggapan atau respon pada rangsangan atau stimulus sensoris kuat. Misalnya, jika kita memaksa mengarahkan kepalanya untuk menatap mata kita, maka ia akan menatap kita, namun jika pegangan tangan kita lepaskan dari kepalanya, maka ia otomatis akan melepaskan perhatiannya dari kita juga.
3. Autisme berat
Ini adalah kondisi terparah dari macam-macam autis yang ada di atas. Anak tidak akan memberikan respon atau tanggapan apapun terhadap segala stimulus sensoris yang diberikan. Anak akan diam saja seakan tidak mendengar, merasa dan melihat apapun. Pada kondisi inilah biasanya lingkungan mulai
memberikan tanggapan yang negatif terhadap anak autis ini.16
16
Wulandari, Tesis: “Pengembangan Model Pembelajaran Metode Singing Sebagai
33
E. Gaya Kognitif
Gaya kognitif berkaitan erat dengan kepribadian individu yang menyangkut aktifitas kognisi dalam menyikapi persoalan-persoalan yang dihadapi. Gaya kognititf tidak merujuk pada kecerdasan intelektual seseorang tetapi lebih pada cara atau gaya berpikir seseorang dalam memahami suatu masalah. Setiap individu memiliki perbedaan dalam menyikapi dan menyelesaikan masalah tersebut. Penelitian-penelitian yang berkembang mengenai gaya kognitif saat ini mendeskripsikan bahwa setiap individu mampu memproses informasi dalam suatu masalah dengan gaya kognitif yang berbeda. Hal tersebut beracuan dari pendapat Candiasa yang menyatakan bahwa setiap individu akan memilih cara yang disukainya untuk memproses informasi sebagai respon terhadap stimuli lingkungan. Ada individu yang langsung menerima seperti informasi yang disajikan, ada pula individu yang
mereorganisasikan informasi dengan caranya sendiri.17 Messick
menyatakan bahwa:
“Cognitive styles are characteristic model of perceiving, remembering, thinking, problem solving, decision making that are reflective of information processing regularities that develop in congenial ways.”18
Pendapat Messick ini menjelaskan bahwa gaya kognitif adalah model karakteristik dari memahami, mengingat, berpikir,
17Nurfani, Tesis: “Profil Pemahaman Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika
Terhadap Konsep Limit Berdasarkan Gaya Kognitif Field Dependent Dan Field
Independent”. (Surabaya: Pascasarjana Unesa, 2013), 16
18
Agus Wahyudi, Tesis: “Profil Keterampilan Dasar Geometri Siswa SD Dalam Menyelesaikan Soal Bangun Datar Ditinjau Dari Gaya Kognitif Field Dependent Dan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
34
pemecahan masalah, pengambilan keputusan yang merupakan refleksi dari pemrosesan informasi secara regular sehingga berkembang dalam cara-cara berpikir. Masalah gaya kognitif mempunyai hubungan karakteristik perasaan, ingatan, berpikir, pemrosesan informasi secara teratur yang mendasari kecenderungan kepribadian. Sebagai contoh ada individu tertentu yang merespon sangat cepat dalam banyak situasi, dan ada individu yang relatif lambat dalam merespon sesuatu meskipun keduanya sama-sama saling memahami persoalan atau yang dikerjakan.
Woolfolk mengungkapkan bahwa gaya kognitif berkaitan dengan cara seseorang merasakan, mengingat, memikirkan, memecahkan masalah, membuat keputusan yang mencerminkan kebiasaan bagaimana proses memproses informasi. Menurut Susanto, gaya kognitif adalah cara seseorang memproses, menyimpan maupun menggunakan informasi untuk melengkapi suatu tugas atau menanggapi beerbagai situasi lingkungannya. Basey mengungkapkan definisi gaya kognitif bahwa:
“Cognitive style is the control process or style which is self generated, transient, situationally determined conscious activity that a learner uses to organize and to regulate, receive and transmite information and ultimate behaviour.”
Ini berarti gaya kognitif merupakan proses kontrol atau gaya yang merupakan manajemen diri, sebagai perantara secara situasional untuk menentukan aktivitas sadar sehingga digunakan seorang pebelajar untuk mengorganisasikan dan mengatur, menerima dan menyebarkan informasi dan akhirnya menentukan perilaku dari pembelajar tersebut.
35
Woolfolk menjelaskan bahwa banyak variasi gaya kognitif yang banyak diminati pendidik dan mereka membedakan gaya kognitif berdasarkan dimensi, yakni (a) perbedaan aspek psikologis yang
terdiri dari field dependent dan field independent, (b) waktu
pemahaman konsep yang terdiri dari gaya impulsif dan reflektif.
F. Gaya Kognitif Field Dependent dan Field Independent
Gaya kognitif field dependent dan field independent pertama
kali diusulkan oleh Witkin. Witkin dan Goodenough
mendefinisikan karakteristik utama dari gaya kognitif Field
Dependent dan Field Independent sebagai berikut:
1. Field independent (FI) individual: one who can easily ‘break up’ an organized perceptual and separate readily an item from its context.
2. Field dependent (FD) individual: one who can insufficiently separate an item from its context and who readly accepts the dominating field or context.19
Pernyataan di atas menerangkan bahwa individu dengan gaya kognitif FD adalah individu yang kurang atau tidak bisa memisahkan sesuatu bagian dari suatu kesatuan dan cenderung segera menerima bagian atau konteks yang dominan. Sedangkan individu dengan gaya kognitif FI adalah individu yang dengan mudah dapat “bebas” dari persepsi yang terorganisir dan segera dapat memisahkan suatu bagian dari kesatuannya. Siswa yang memiliki gayakognitif FI cenderung memilih belajar indvidual,
memungkinkan merespos lebih baik, dan lebih independent.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
36
Siswa dengan gaya kognitif FI lebih memungkinkan mencapai tujuan dengan motivasi intrinsik dan cenderung bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Siswa yang memiliki gaya kognitif FD cenderung memilih belajar dalam kelompok dan sesering mungkin melakukan interaksi dengan guru, memerlukan penguatan yang bersifat ekstrinsik. Untuk siswa yang memiliki gaya kognitif FD, guru harus merancang apa yang dilakukan dan bagaimana melakukannya. Mereka akan bekerja kalau ada tuntutan guru dan motivasi yang tinggi berupa pujian atau dorongan.
Witkin menyatakan bahwa orang yang mempunyai gaya kognitif FI merespon suatu tugas cenderung berpatokan pada syarat-syarat dari dalam diri sendiri. Sedangkan orang yang bergaya kognitif FD melihat syarat lingkungan sebagai petunjuk
dalam merespon stimulus.20
Dalam penjelasan lebih lanjut, Ardana menyatakan bahwa orang yang memiliki gaya kognitif FI mempunyai kecenderungan dalam merespons suatu stimulus menggunakan persepsi yang dimilikinya sendiri, lebih analitis dan menganalisis pola berdasarkan komponen-komponennya. Sedangkan gaya kognitif FD mempunyai kecenderungan dalam merespon suatu stimulus menggunakan syarat lingkungan sebagai dasar dalam persepsinya dan kecenderungan memandang suatu pola sebagai suatu keseluruhan tidak memisahkan bagian-bagiannya. Siswa FD ternyata lebih kuat mengingat informasi-informasi sosial seperti percakapan-percakapan atau interaksi antara pribadi. Beda halnya dengan siswa yang memiliki gaya kognitif FI yang lebih mudah
memecahkan persoalan-persoalan.21
20Ibid, halaman 30
37
Gaya kognitif akan banyak memberi pengaruh pada seseorang dalam membuat catatan, membuat rangkuman, membaca buku teks, dan menandai bagian-bagian penting yang ada dalam buku teks, termasuk pula pada cara memahami soal. Individu FI dalam membuat rangkuman cenderung akan memilih bagian-bagian yang amat penting dari isi masalah untuk digaris-bawahi, sedangkan individu FD cenderung menggaris-bawahi seluruh kalimat dalam soal tanpa memilah mana bagian yang penting dan kurang penting.
Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa gaya kognitif FI merupakan karakteristik yang melekat pada siswa yang cenderung menggunakan pendekatan pemecahan masalah dengan cara yang lebih analitik, artinya suatu masalah diuraikan menjadi bagian-bagian kecil dan menemukan hubungan antara bagian-bagian tersebut. Sedangkan FD merupakan karakteristik yang melekat pada siswa yang cenderung menggunakan pendekatan pemecahan masalah yang lebih bersifat global atau menyeluruh, artinya suatu masalah dapat dilihat sebagai suatu kesatuan yang utuh padahal kesatuan tersebut dapat diuraikan menjadi bagian-bagian kecil yang dapat dipisahkan.
Implikasi gaya kognitif berdasarkan psikologis pada siswa dalam pembelajaran menurut Thomas adalah sebagai berikut:
1. Siswa yang memiliki gaya kognitif FD cenderung memilih
belajar dalam kelompok, sering mungkin berinteraksi dengan guru, dan memerlukan penguatan yang bersifat ekstrinsik.
2. Siswa yang memiliki gaya kognitif FI cenderung memilih
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
38
Sedangkan menurut Gearger dan Guild hasil kajiannya menyimpulkan bahwa ada perbedaan karakteristik siswa antara gaya kognitif FD dan FI sebagai berikut:
Tabel 2.2
Tabel Perbedaan Karakteristik Siswa Bergaya Kognitif FI dan FD
Karakteristik Siswa FD Siswa FI
Cara menerima
informasi Penerimaan secara global. Penerimaan secara analitis.
Cara memahami
struktur informasi Memahami secara global struktur yang diberikan.
Memahami secara artikulasi struktur
yang diberikan
atau pembatasan.
Cara membuat perbedaan konsep dan keterkaitannya
Membuat
perbedaan umum yang luas diantara konsep-konsep dan melihat
hubungannya.
Membuat
perbedaan konsep
tertentu dan
sedikit tumpang
tindih (overlap).
Orientasi dan kecenderungan siswa
Orientasi sosial.
Cenderung
dipengaruhi oleh teman-temannya.
Orientasi personal. Cenderung kurang
masukan dari
temannya.
Kebutuhan konten materi yang dipelajari
Belajar materi
dengan konten
sosial
menunjukkan hasil terbaik.
Belajar materi
[image:49.420.70.356.152.524.2]39 Ketertarikan dalam mempelajari suatu materi
Materi yang baik adalah materi yang
relevan dengan
pengalamannya.
Tertarik pada
konsep-konsep
baru untuk
kepentingannya sendiri.
Cara penguatan
diri Memerlukan bantuan luar dan
penguatan untuk mencapai tujuan.
Tujuan dapat
dicapai sendiri
dengan penguatan sendiri.
Cara mengatur
kondisi Memerlukan pegorganisasian. Bisa situasi struktur dengan
sendiri.
Pengaruh kritikan Lebih dipengaruhi
oleh kritikan. Kurang terpengaruh oleh
kritikan.
Metode dan cara
belajar yang cocok Pasif, menggunakan
pendekatan penonton (ekspositori, ceramah,
demonstrasi) untuk mencapai konsep. Memperhatikan pertunjukan awal yang menonjol di luar relevansi. Aktif, menggunakan pendekatan pengetesan hipotesis (discovery,
inkuiry, eksperimen) dalam pencapaian konsep.
Memperhatikan contoh awal di
luar konsep
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
40
Cara memotivasi
diri Termotivasi secara ekstrinsik. Termotivasi secara intrinsik.
Daya tarik dan minat dalam belajar
Lebih menaruh
perhatian pada
hubungan sosial.
Lebih berminat
pada bidang sains dan matematika.
Cara menulis dan memahami informasi
Cenderung
mencatat seluruh isi materi, tanpa
memilah mana
bagian yang
penting dan kurang penting.
Cenderung akan memilih bagian-bagian yang amat penting dari isi
materi untuk
dicatat. 22
G. Keterkaitan antara Pemecahan Masalah Matematika dengan Anak Autis Ditinjau dari Gaya Kognitif Field Dependent dan Field Independent
Setiap siswa memiliki cara yang berbeda yang lebih disukai dalam kegiatan berfikir, memproses, dan memahami suatu informasi. Cara yang berbeda itu disebut dengan gaya kognitif. Pemecahan masalah matematika merupakan proses yang dilakukan oleh siswa untuk menyelesaikan masalah matematika yang diberikan dengan pengetahuan dan pemahaman yang dimilikinya. Dalam memecahkan masalah, siswa dituntut untuk menyerap, memproses, dan mengerti suatu informasi berdasarkan gaya kognitif yang dia miliki. Dengan demikian, terdapat keterkaitan
22
Nayudin Hanif, Wahyu Sopandi, dan Ali Kusrijadi, Skripsi : “Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Submikroskopik, Dan Simbolik Berdasarkan Gaya Kognitif Siswa Sma
41
antara gaya kognitif dengan pemecahan masalah, dimana siswa dalam memecahkan masalah dipengaruhi oleh gaya kognitif. Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa perbedaan gaya kognitif dapat menyebabkan terjadinya perbedaan dalam pemahaman terhadap suatu informasi. Perbedaan tersebut dapat menyebabkan terjadinya perbedaan dalam memecahkan masalah pada setiap individu.
Ketika siswa melakukan aktivitas menyelesaikan masalah, siswa dimungkinkan menggunakan pen