• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS ‘URF TERHADAP TRADISI HUTANG DENGAN SISTEM “BOLOGADAI ” DI DESA JOTOSANUR KECAMATAN TIKUNG KABUPATEN LAMONGAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS ‘URF TERHADAP TRADISI HUTANG DENGAN SISTEM “BOLOGADAI ” DI DESA JOTOSANUR KECAMATAN TIKUNG KABUPATEN LAMONGAN."

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS ‘URF

TERHADAP TRADISI HUTANG DENGAN

SISTEM “BOLOGADAI ” DI DESA JOTOSANUR KECAMATAN

TIKUNG KABUPATEN LAMONGAN

SKRIPSI

Oleh

MIFTAHUL JANNAH NIM: C92212147

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam

Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) Surabaya

(2)

ANALISIS

‘URF

TERHADAP TRADISI HUTANG DENGAN

SISTEM

BOLOGADAI

DI DESA JOTOSANUR KECAMATAN

TIKUNG KABUPATEN LAMONGAN

SKRIPSI Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Syariah dan Hukum

Oleh

MIFTAHUL JANNAH NIM. C92212147

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam

Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) Surabaya

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan (field research) yang berjudul Analisis ‘Urf terhadap Tradisi Hutang dengan Sistem “Bologadai ” Di Desa

Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan. Rumusan masalahnya: Pertama, Bagaimana implementasi tradisi hutang dengan sistem bologadai di Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan. Kedua, Bagaimana analisis ‘urf terhadap tradisi hutang dengan sistem bologadai di Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan.

Data penelitian ini dihimpun melalui observasi, wawancara mendalam (depth interview) dan dokumentasi kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Penelitian ini menggunakan pola pikir deduktif, yang diawali dengan mengemukakan pengertian-pengertian, teori-teori atau fakta-fakta yang bersifat umum, yaitu ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai ‘urf

dan gadai yang selanjutnya dipaparkan dari kenyataan yang ada di lapangan mengenai implementasi transaksi hutang dengan sistem bologadai di Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan. untuk selanjutnya ditarik sebuah kesimpulan.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tradisi bologadai yang terjadi di Desa Jotosanur biasanya dilakukan oleh masyarakat setempat pada saat membutuhkan uang dengan jumlah yang cukup banyak dan dalam waktu yang singkat. Peminjam uang mendatangi setiap rumah yang dianggap mampu di desa untuk hutang uang dengan konsekuensi murtahin dibolehkan untuk memanfaatkan dan menikmati hasil panennya, karena telah memberi uang pinjaman sesuai dengan yang diinginkan. Mengenai jumlah uang yang dihutangkan tidak sesuai dengan harga sawah yang diagunkan (rata-rata harga agunan lebih besar dari jumlah pinjaman), hanya berdasarkan permintaan orang yang berhutang. Tidak ada kesepakatan mengenai batas waktu untuk pengembalian hutang pada saat akad, sehingga orang yang berhutang bisa mengembalikannya kapanpun (minimal satu kali panen), sampai ia mampu untuk melunasinya. Pada saat akad terjadi tidak ada orang yang menyaksikan transaksi ini serta tidak tertulis dalam selembar kertas. Tradisi hutang dengan sistem bologadai di Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan termasuk ‘urf fa>sid yang tidak diakui

kehujjahannya karena bertentangan dengan dalil syara’ dan kurang memenuhi persyaratan dari rukun rahn. Namun, karena transaksi bologadai merupakan suatu kebiasaan dan para pelaku telah rela, maka kebiasaan ini bisa dijadikan sebagai

pertimbangan hukum dalam menetapkan hukum syara’. Sebab pada dasarnya ‘urf

bisa berubah seiring perkembangan zaman dan tempat.

Sejalan dengan kesimpulan diatas, maka disarankan kepada: pertama, masyarakat Desa Jotosanur hendaknya melaksanakan praktik hutang dengan

gadai sawah yang sesuai dengan syara’, dan menghindari yang tidak sesuai syara’

(8)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

MOTTO ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6

C.Rumusan Masalah ... 7

D.Kajian Pustaka ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11

G.Definisi Operasional ... 12

H.Metode Penelitian ... 13

I. Sistematika Pembahasan ... 18

BAB II GADAI (RAHN) DAN ‘URF DALAM ISLAM A. Gadai (Rahn) dalam Hukum Islam ... 20

1. Definisi Gadai atau Rahn ... 20

2. Dasar Hukum Rahn (Gadai) ... 22

3. Rukun dan Syarat Rahn (Gadai) ... 25

4. Pemanfaatan Objek Rahn (gadai) ... 30

(9)

B.‘Urf ... 36

1. Pengertian ... 36

2. Dasar Hukum‘Urf, ... 38

3. Macam - Macam‘Urf, ... 39

4. Kedudukan ‘Urf ... 42

5. Syarat ‘Urf menjadi landasan hukum, ... 44

6. Perbenturan ‘Urfdengan dalil Syara’ ... 45

BAB III TRADISI HUTANG DENGAN SISTEM BOLOGADAI DI DESA JOTOSANUR KECAMATAN TIKUNG KABUPATEN LAMONGAN A.Gambaran Umum Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan ... 48

1. Letak Geografis ... 48

2. Keadaan Penduduk ... 49

3. Keadaan Ekonomi ... 50

4. Keadaan Pendidikan ... 52

5. Keadaan Keagamaan ... 53

B.Pelaksanaan Penyelesaian Hutang dengan Sistem Bologadai ... 54

1. Sejarah Terjadinya Tradisi Hutang dengan Sistem Bologadai .... 54

2. Praktik Transaksi Hutang Piutang dengan Sistem Bologadai ... 58

3. Dampak yang Ditimbulkan dari Transaksi Hutang dengan Sistem Bologadai ... 62

a. Dampak terhadap ra>hin ... 62

b. Dampak terhadap murtahin ... 64

(10)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 83 B. Saran ... 84

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Luas Wilayah Desa Jotosanur ... 49

3.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia ... 48

3.3 Mata Pencaharian dan Jumlahnya ... 51

(12)

DAFTAR TRANSLITERASI

Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis (technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin. Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut:

A. Konsonan

No Arab Indonesia Arab Indonesia

1. اط t}

2. ب b ظ z}

3. ت t ع

4. ث th غ gh

5. ج j ف f

6. ح h} ق q

7. خ kh ك k

8. د d ل l

9. ذ dh م m

10. ر r ن n

11. ز z و w

12. س s ه h

13. ش sh ء

14. ص s} ى y

15. ض d}

(13)

B. Vokal

1. Vokal Tunggal (monoftong)

Tanda dan Huruf Arab Nama Indonesia

َ َ َ fath}ah kasrah d}ammah A i u

Catatan : Khusus untuk hamzah, penggunaan apostrof hanya berlaku jika hamzah berh}arakat \ sukun atau didahului oleh huruf yang berh}arakat sukun. Contoh: iqtid}a@’ (ءاضتقا)

2. Vokal Rangkap (diftong) Tanda dan

Huruf Arab

Nama Indonesia Ket.

ـ يبـ ـ يوـ

fath}ah dan ya’

fath}ah dan wawu

ay aw

a dan y a dan w

Contoh : bayna (نبي) : mawd}u@‘ (عوضوم)

3. Vokal Panjang (mad) Tanda dan

Huruf Arab Nama Indonesia Keterangan

ا ــ يِــ وُــ

fath}ah dan alif kasrah dan ya’

d}ammah dan wawu

a@ i@ u@

a dan garis di atas i dan garis di atas u dan garis di atas

Contoh : al-jama@‘ah (ةعامجلا) : takhyi@r (رييخت) : yadu@ru (رودي)

C. Ta@’Marbu@t}ah

Transliterasi untuk ta’ marbu@t}ah ada dua :

1. Jika hidup (menjadi mud}a@f) transliterasinya adalah t. 2. Jika mati atau sukun, transliterasinya adalah h.

(14)

D. Penulisan Huruf Kapital

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk Allah yang diciptakan sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang berkodrat hidup dalam masyarakat. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.1 Oleh karena itu secara tidak langsung terjadi interaksi-interaksi diantara mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dari sinilah akan terwujud rasa saling ketergantungan dan saling membutuhkan antara sesama manusia. Apabila salah satu diantara mereka ada yang membutuhkan bantuan maka yang lain turut membantu untuk meringankan kesulitannya. Semua perbuatan-perbuatan ini menjadi kegiatan manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Setiap kegiatan manusia sudah diatur oleh agama Islam yang tertulis dalam kitab suci al-Qur’an, yang disebut dengan fiqh muamalah. Adapun fiqh muamalah sendiri adalah peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati oleh manusia dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.2 Namun belakangan ini pengertian fiqh muamalah lebih banyak dipahami sebagai aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam memperoleh dan mengembangkan harta benda atau

1 Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, (Yogyakarta: UII Press, 2004), 11

(16)

2

lebih tepatnya aturan Islam tentang kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia.3

Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder, melakukan suatu kegiatan muamalah diantaranya yaitu kegiatan ekonomi. Dalam hal ini mereka saling tukar menukar baik uang, barang maupun manfaat. Salah satunya yaitu transaksi hutang, dimana dalam kehidupan sehari-hari pasti akan terjadi peristiwa orang tidak memiliki sesuatu baik itu berupa uang maupun barang, namun ia sangat membutuhkannya untuk memenuhi kebutuhannya. Disisi lain ada orang yang kelebihan harta sehingga orang yang berlebih ini akan memberikan orang yang membutuhkan tersebut dalam bentuk pinjaman, yang nantinya akan dikembalikan dengan jumlah yang sama dan sesuai dengan waktu yang disepakati. Islam mengajarkan kepada manusia agar saling tolong menolong dalam hal kebaikan diantaranya yaitu transaksi hutang. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat al-Baqarah ayat 245, yaitu:

                    

Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.4

Berdasarkan ayat tersebut, bagi orang yang mampu sangat dianjurkan untuk memberikan pinjaman kepada orang yang membutuhkan, karena akan

(17)

3

diganjar dengan balasan yang luar biasa, yaitu diberikan langsung ketika di dunia serta balasan di akhirat. Dengan begitu terciptalah kehidupan yang harmonis dan tenteram, karena masyarakatnya saling tolong menolong.

Adapun praktik hutang yang terjadi di Desa Jotosanur yaitu ada orang yang sangat membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhannya yang mendesak. Karena orang tersebut ingin masalahnya segera terselesaikan, maka salah satunya yaitu dengan cara berhutang, dimana orang tersebut bisa mendapatkan pinjaman uang yang dibutuhkan saat itu juga dari orang yang dianggapnya mampu di desa. Namun, ia tetap harus mengembalikan pinjamannya dengan jumlah yang sama saat menerima pinjaman ketika ia sudah mampu untuk melunasinya.

(18)

4

Barang yang dijadikan marhun dalam transaksi ini yaitu pemanfaatan hasil sawah sebagai bentuk kepercayaan dan jaminan atas uang yang telah dihutangkan. Murtahin diperbolehkan untuk mengelola dan memanfaatkan sawah dengan menanami, merawat dan membiayai sawahnya, sehingga secara tidak langsung hasil dari panen akan dimiliki oleh murtahin. Namun, dalam hal ini sertifikat kepemilikan sawah tidak diikutsertakan sebagai marhun, sehingga ada kemungkinan ra>hin bisa melakukan apapun dengan sertifikat sawah tersebut dan masih berkewajiban untuk membayar pajak sawah setiap tahunnya. Sehingga sebagian ra>hin ada yang merasa dirugikan, karena tidak bisa memanfaatkan sawahnya kembali untuk memenui kebutuhan hidup selanjutnya. Padahal sebagian besar mata pencaharian di desa ini yaitu petani, sehingga sumber penghidupan mereka yaitu sawah. Jika sawahnya dimanfaatkan dan dimiliki hasilnya oleh murtahin, ra>hin akan kesulitan untuk

mendapatkan nafkah, bahkan kesulitan juga untuk mengembalikan hutangya. Akad transaksi seperti ini yang terjadi di Desa Jotosanur dikenal dengan istilah bologadai. Transaksi bologadai biasanya terjadi karena ada pihak yang sangat membutuhkan uang dalam jumlah banyak dan dalam jangka waktu yang singkat. Sehingga salah satu solusinya yaitu melalui akad transaksi bologadai, dimana ra<hin mendatangi setiap rumah yang dianggap orang mampu di Desa Jotosanur. Kemudian ia meminta untuk dihutangi sejumlah uang yang dibutuhkan dengan ganti menyerahkan sawahnya untuk dimanfaatkan beserta hasilnya pun dimiliki oleh murtahin. Namun sertifikat

(19)

5

dari sawah yang dijadikan marhun. Jangka waktu untuk membayar hutang tidak ditentukan pada saat akad, sehingga transaksi ini ada yang berlanjut sampai anak-anaknya, karena orang yang berakad untuk melakukan transaksi ini sudah meninggal.5

Dengan meninggalnya orang yang berakad, dapat menimbulkan konflik diantara anak-anaknya, karena anak-anak dari ra<hin harus membayar pajak sawah, padahal sawahnya itu tidak ada di tangan mereka. Sehingga anak-anak dari ra<hin akan mendatangi anak dari murtahin untuk mengambil kembali sawahnya. Namun, anak dari murtahin menyangkalnya karena selama ini orang tuanya menggarap tanah sawah yang dijadikan marhu<n. Sehingga timbullah konflik diantara keduanya.

Penyelesaian hutang dengan sistem bologadai akan berakhir apabila ra<hin sudah bisa membayar hutangnya kepada murtahin. Kapanpun ra>hin membayar

hutang maka transaksi bologadai ini berakhir, karena pada saat akad tidak ada kesepakatan mengenai batas waktu untuk membayar hutang. Namun, jika ra>hin membayar hutangnya ketika masa tanam atau masa panen, maka ra>hin

tidak bisa langsung menerima marhun karena harus menunggu panen sudah selesai.

Transaksi seperti ini sudah berlangsung sejak dahulu dan sampai sekarang masih tetap berjalan, sehingga seakan-akan hal ini sudah menjadi adat kebiasaan dari Desa Jotosanur. Setiap ada orang yang membutuhkan uang dalam jumlah yang cukup banyak dan dalam waktu yang singkat, maka

(20)

6

transaksi inilah yang dijadikan sebagai jalan keluarnya. Suatu adat kebiasaan bisa saja dijadikan sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Adapun bentuk-bentuk kegiatan manusia, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dan telah berlangsung ajeg (konsisten) di tengah masyarakat disebut dengan ‘urf.6

Berdasarkan masalah yang dipaparkan diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam terhadap praktik tradisi hutang dengan sistem

“bologadai” yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat Desa Jotosanur

Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan. Oleh karena itu penulis akan menganalisis mengenai tradisi hutang dengan sistem bologadai dalam tinjauan

‘urf.

B.Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari uraian latar belakang tersebut penulis dapat mengidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

1. Akad yang digunakan dalam transaksi hutang piutang 2. Objek yang digadaikan

3. Mekanisme hutang dengan sistem bologadai 4. Dampak transaksi hutang dengan sistem bologadai 5. Hukum transaksi bologadai

6. Penyelesaian hutang dengan sistem bologadai

7. ‘Urf di desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan 8. Analisis ‘urf tehadap tradisi hutang dengan sitem bologadai

(21)

7

Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak semakin luas, maka penulis membatasi masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu:

1. Implementasi tradisi hutang dengan sistem bologadai

2. Analisis ‘urf terhadap tradisi hutang dengan sistem bologadai

C. Rumusan Masalah

Setelah penulis membatasi permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, penulis dapat merumuskan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Adapun rumusan masalah tersebut diantaranya yaitu:

1. Bagaimana implementasi tradisi hutang dengan sistem bologadai di Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan?

2. Bagaimana analisis ‘urf terhadap tradisi hutang dengan sistem bologadai di Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan?

D.Kajian Pustaka

Kajian pustaka pada penelitian ini pada dasarnya untuk mendapatkan gambaran topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Sehingga diharapkan tidak adanya pengulangan materi secara mutlak.

Setelah ditelusuri melalui kajian pustaka, penulis pernah menemukan penelitian yang berkaitan dengan gadai, diantaranya yaitu:

1. Perspektif Hukum Islam terhadap Gadai tanpa batas waktu dan dampaknya dalam masyarakat Desa Kertagena Daya Kecamatan Kadur Kabupaten

(22)

8

Mahasiswi Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel jurusan Muamalah. Hasil penelitian tersebut yaitu: (1) praktek akad gadai tanpa batas waktu yang terjadi dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan yang sangat mendesak dan bersifat insidentil. Akad ini terjadi antara ra<hin dan murtahin, dimana ra<hin berhutang uang dengan memberikan tanah sebagai jaminannya. Uang

yang diberikan kepada ra<hin biasanya ada dua bentuk, pertama uang tersebut tanpa diakadkan dengan harga barang, jadi ra<hin tetap membayar sejumlah uang yang diberikan saat akad. Kedua, uang tersebut diakad dengan harga barang, jadi ketika ra<hin hendak membayar hutangnya disesuaikan dengan harga barang yang dijadikan patoan pada waktu akad. (2) dampak yang ditimbulkan karena tidak adanya batasan waktu dalam akad yaitu, bagi ra<hin merasa sangat dirugikan karena tidak dapat mengelola dan mengambil manfaat tanah. Bagi murtahin yaitu mengenai pembayaran yang diterimanya, yaitu semakin lama utang tidak dibayar, maka nilai uang tersebut akan semakin kecil. (3) akad gadai tersebut bertentangan dengan Hukum Islam, karena didalamnya terdapat unsure kedhaliman yang terjadi pada salah satu pihak, yaitu murtahin menguasai penuh pengelolaan dan pengambilan manfaat marhu<n.7

2. Penelitian yang ditulis oleh Naima Nur Arifah pada tahun 2008 yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Gadai Sawah Beserta Hasilnya Sebagai Jaminan Hutang di Desa Balong Turi Kecamatan Tambakrejo

7 Miftahul Jannah S., “Perspektif Hukum Islam terhadap Gadai Tanpa Batas Waktu dan

Dampaknya dalam Masyarakat Desa Kertagena Daya Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan”

(23)

9

Kabupaten Bojonegoro”. Adapun hasil dari penelitian ini yaitu (1) praktek gadai sawah beserta hasilnya yang terjadi adalah dengan cara penyerahan sebidang sawah beserta hasilnya yang mana hasilnya tersebut tersebut digadaikan sebagai jaminan hutang. Hal ini dilakukan dengan batas sampai penggadai dapat menebus sawahnya kembali walaupun bertahun-tahun lamanya. (2) menurut hukum Islam, pelaksanaan gadai sawah beserta hasilnya sebagai jaminan hutang tersebut tidak dibolehkan karena orang yang meminjamkan uang tidak memiliki hak memanfaatkanbarang gadai tersebut sebab tidak disertai adanya biaya pemeliharaan oleh penerima gadai.8

3. Penelitian yang ditulis oleh Miftahul Hasanah pada tahun 2012 yang

berjudul “Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Hutang dengan Gadai

Sawah di Daerah Dukuh Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo”. Hasil dari penelitian yaitu: (1) dalam pelaksanaannya tradisi hutang dengan gadai sawah ini terdapat sebidang tanah sebagai jaminan hutangnya, yang nantinya sawah tersebut pemanfaatannya akan menjadi milik pemberi hutang secara sepenuhnya sampai pihak penghutang dapat menebus hutangnya. (2) menurut hukum Islam, pelaksanaan tradisi hutang dengan gadai sawah sangat bertentangan dengan hukum Islam. Hal ini karena didalamnya ada unsur kedhaliman yang terjadi pada salah satu pihak, yaitu

8 Naima Nur Arifah, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Gadai Sawah Beserta Hasilnya Sebagai

(24)

10

murtahin menguasai penuh terhadap pengelolaan dan pengambilan manfaat

dari sawah yang dijadikan jaminan tersebut.9

Sedangkan penelitian yang akan diteliti oleh penulis ini adalah penelitian lanjutan dari penelitian-penelitian diatas. Dalam hal ini penulis akan meneliti lebih lanjut mengenai transaksi hutang dengan sistem bologadai bila ditinjau dari segi ‘urf (kebiasaan). Penelitian ini akan membahas tentang implementasi transaksi hutang dengan sistem bologadai, dimana orang yang berhutang memberikan marhu<n berupa sawah yang nantinya akan dikelola dan dimanfaatkan hasilnya oleh murtahin. Selain itu, transaksi ini juga tidak dibatasi dengan waktu, sehingga akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Transaksi seperti ini seakan-akan menjadi kebiasaan warga Desa Jotosanur, karena hingga saat ini masih ada yang melakukan transaksi bologadai. Oleh karena itu penulis akan meneliti dari segi ‘urf.

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang akan dicapai oleh penulis adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui implementasi hutang dengan sistem bologadai di Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan

2. Untuk mengetahui analisis ‘urf terhadap tradisi hutang dengan sistem bologadai di Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan

9 Miftahul Hasanah, “Analisis Hukum Islam terhadap Tradisi Hutang dengan Gadai Sawah di

(25)

11

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dalam penulisan penelitian ini, penulis berharap agar penelitian yang diteliti bisa mempunyai nilai tambah dan dapat bermanfaat bagi para pembaca dan terlebih bagi penulis sendiri. Adapun harapan kegunaan penulis yaitu: 1. Secara teoritis:

a) Untuk memperkaya pengetahuan yang berkaitan dengan hukum Islam, khususnya dalam ranah hutang yang menggunakan agunan sebagai jaminan hutangnya. Sehingga memberikan sumbangan keilmuan dan pemikiran bagi pengembangan pemahaman hukum Islam bagi mahasiswa Fakultas Syariah, khususnya mahasiswa prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah). Serta memberikan tambahan pengetahuan bagi masyarakat dalam hal hutang yang disertai agunan yang sesuai dengan hukum Islam.

b) Untuk dijadikan sebagai bahan bacaan, referensi dan rujukan bagi peneliti selanjutnya dalam hal transaksi hutang yang menggunakan agunan sebagai jaminan atas hutangnya.

(26)

12

G.Definisi Operasional

Dari beberapa masalah diatas terdapat beberapa istilah yang perlu dijelaskan agar menjadi istilah yang operasional dan dapat memperjelas maksud dari judul penelitian ini, diantaranya yaitu:

‘Urf : ‘urf atau yang disebut dengan kebiasaan adalah sesuatu yang

dimengerti oleh masyarakat dan dilakukan secara berulang-ulang serta dijalani secara terus menerus, baik dalam hal hal perkataan maupun perbuatan yang terjadi sepanjang masa atau pada masa tertentu saja.10

Hutang : memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya di kemudian hari. Dalam hal ini, orang yang berhutang mendatangi orang yang dianggap mampu di desa untuk menghutangi sejumlah uang sesuai dengan yang dibutuhkan dengan pengembalian yang sama dengan yang diperoleh ketika akad, namun tidak adanya kesepakatan mengenai waktu.

Bologadai : istilah dari gadai sawah yang digunakan sebagai jaminan hutang yang ada di Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan, dimana seseorang yang berhutang menggadaikan sawahnya untuk digarapkan kepada orang yang menghutangi, namun tidak ada batas waktu yang disepakati ketika akad terjadi.

(27)

13

H.Metode Penelitian

Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang mana bertujuan agar pembaca atau penulis dapat memahami dan dapat menyajikan secara sistematis. Metodenya sebagai berikut:

1. Data yang dikumpulkan a) Data Primer

1) Data tentang implementasi hutang dengan sitem bologadai di Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan

2) Data tentang letak daerah, luas wilayah, jumlah penduduk, keadaan sosial, pendidikan dan agama di Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan

b) Data Sekunder

1) Data tentang ketentuan gadai dan ‘urf yang berasal dari literatur-literatur kepustakaan yang bisa berupa buku-buku, kitab atau artikel.

2. Sumber Data

Sumber data adalah sumber di mana data akan digali oleh penulis baik secara primer maupun sekunder. Pada dasarnya penelitian ini merupakan penelitian bersumber lapangan yang mana langsung meneliti ditempat kejadian melalui proses yaitu observasi dan wawancara. Sumber data tersebut berupa:

a) Sumber Primer

Merupakan data yang diperolah langsung di lapangan atau

(28)

14

penelitian ini adalah masyarakat Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan selaku ra<hin dan murtahin, serta tokoh agama. Diantaranya yaitu: Fadholi, Supiyah, Zaenal, Zul, Muslikah, Sumi’ah, Srianah, Arifin, H. Sya’roni, Hj. Ndukning, H. Asyhari, H. Sulhan.

b) Sumber Sekunder

Merupakan sumber data yang bersifat membantu atau menunjang dalam melengkapi, memperkuat, dan memberikan penjelasan mengenai sumber data primer berupa buku daftar pustaka yang berkaitan dengan penelitian. Diantara sumber-sumber sekunder tersebut yaitu:

1) Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah

2) Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat 3) Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah 4) Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh

5) Masykur Anhari, Ushul Fiqh 6) Firdaus, Ushul Fiqh

7) Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1

3. Subyek penelitian

Subyek penelitian dalam penelitian ini yaitu masyarakat Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan. Adapun yang menjadi subyek penelitiannya yaitu:

(29)

15

4. Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan atau informasi ataupun bukti-bukti yang diperlukan untuk penelitian dalam rangka pengumpulan data, dalam penelitian ini maka penulis menggunakan:

a) Observasi

Observasi merupakan salah satu teknik. Observasi dilakukan dengan cara langsung terjun ke lapangan, dengan melihat secara langsung luas sawah yang sudah pernah diagunkan dan masih diagunkan. Sehingga peneliti bisa mengetahui lebih detail mengenai transaksi hutang dengan sistem bologadai di Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan.

b) Wawancara

(30)

16

c) Dokumentasi

Dokumentasi yaitu proses penyampaian data yang diperoleh melalui data tertulis yang memuat garis besar data yang berkaitan dengan judul penelitian. Dalam hal ini dokumen yang terkumpul adalah yang berkaitan dengan letak daerah, luas wilayah, jumlah penduduk, keadaan penduduk, keadaan sosial ekonomi, keadaan sosial penddidikan dan keadaan sosial keagamaan Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan,

5. Teknik Pengolahan Data

Karena data yang diperoleh secara langsung dari pihak yang bersangkutan (studi lapangan) dan bahan pustaka yang selanjutnya diolah dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

a) Editing, memeriksa kembali data-data yang sudah dikumpulkan baik dari Wawancara, ataupun Dokumentasi, tanpa mengurangi keakuratan data yang diperoleh, hal ini dimaksudkan agar tidak ada kesalahan dalam hal apapun untuk memperoleh kesempurnaan dalam penyusunannya.

b) Organizing, mengatur dan menyusun data sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai dengan rumusan masalah.

(31)

17

6. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya.11

Setelah data dari wawancara dan dokumentasi terkumpul, penulis akan melakukan analisis. Untuk mempermudah analisis penelitian ini maka penulis menggunakan metode deskriptif analasis yaitu memaparkan serta menjelaskan secara mendalam dan menganalisa terhadap semua aspek yang berkaitan dengan masalah penelitian yaitu mengenai implementasi transaksi hutang dengan sistem bologadai di Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan yang kemudian dianalisis menggunakan teori

‘urf untuk menilai benar tidaknya menurut hukum Islam dan dapat berlaku

tidaknya ‘urf yang terjadi di Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan.

Pola pikir yang digunakan adalah deduktif, yang diawali dengan mengemukakan pengertian-pengertian, teori-teori atau fakta-fakta yang bersifat umum, yaitu ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai ‘urf dan gadai yang selanjutnya dipaparkan dari kenyataan yang ada di lapangan mengenai implementasi transaksi hutang dengan sistem bologadai di Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan. Kemudian diteliti dan

(32)

18

dianalisis sehingga hasilnya dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan mengenai transaksi hutang dengan sistem bologadai menurut ‘urf.

I. Sistematika Pembahasan

Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini dikelompokan menjadi lima bab, yang terdiri dari sub bab-sub bab masing-masing mempunyai hubungan dengan yang lain dan merupakan rangkaian yang berkaitan. Adapun sistematikanya sebagai berikut :

Bab pertama adalah pendahuluan, yang memuat tentang latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua adalah landasan teori, yang berisikan tentang teori gadai dan

‘urf. Pembahasan gadai meliputi definisi gadai, dasar hukum gadai, rukun dan

syarat gadai, pemanfaatan objek gadai, waktu berakhirnya gadai. Adapun mengenai teori ‘urf meliputi pengertian ‘urf, dasar hukum ‘urf, macam-macam

‘urf, kedudukan ‘urf, syarat ‘urf menjadi landasan hukum dan perbenturan ‘urf

dengan dalil syara’.

Bab ketiga berisi tradisi hutang dengan sistem bologadai di Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan yang meliputi: gambaran

(33)

19

hutang dengan sistem bologadai terdiri atas; sejarah terjadinya tradisi hutang dengan sistem bologadai, praktik transaksi hutang dengan sistem bologadai, dan dampak yang ditimbulkan dari transaksi hutang dengan sistem bologadai.

Bab keempat ini berisi mengenai analisis ‘urf terhadap tradisi hutang dengan sistem bologadai yang meliputi: analisis ‘urf terhadap praktik hutang dengan sistem bologadai dan analisis ‘urf terhadap tradisi hutang dengan sistem bologadai.

(34)

BAB II

GADAI (RAHN) DAN ‘URF DALAM ISLAM

A.Gadai (Rahn) dalam Hukum Islam 1. Definisi Gadai atau Rahn

Secara etimologi, gadai (dalam bahasa arab) rahn yaitu tetap dan lestari.12 Secara bahasa Rahn bisa bermakna ats-Tsubuut dan ad-Dawaam yang artinya tetap, atau bisa juga bermakna al-Habsu dan al-Luzuum yang

artinya menahan.13

Adapun dalam pengertian syara’, rahn berarti menahan sesuatu yang memungkinkan bisa digunakan untuk memenuhi hak yang harus dipenuhi. Maksudnya, menjadikan al-‘Ain (barang, harta berwujud konkrit) yang

memiliki nilai menurut pandangan syara’, sebagai wathiiqah (jaminan) utang, yang memungkinkan barang itu bisa digunakan untuk membayar seluruh atau sebagian utang yang ada.14 Ada beberapa definisi yang dikemukakan para ulama madhab mengenai rahn, diantaranya yaitu15: a. Menurut ulama mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai harta yang

dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.16

12

Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Kamaluddin A. Marzuki, Jil. 12, (Bandung, (PT Alma’arif, 1997) 139.

13 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Abdul Hayyie al-Katani, dkk, Jil. 6, (Jakarta:

Gema Insani, 2011), 106.

14 Ibid., 107.

15 Sutan Remy Sjahdeni, Perbankan Syariah: Produk-Produk dan Aspek-Aspek Hukumnya,

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), 364.

16 Abdul Azis Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 5, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van

(35)

21

b. Menurut ulama maz}hab Hanafi mendefinisikan rahn dengan menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun sebagaiannya.17

c. Adapun menurut ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali mendefinisikan rahn dalam arti akad, yaitu menjadikan materi (barang) tidak termasuk manfaatnya sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak dapat membayar utangnya tersebut.18 Meskipun sebenarnya menurut mereka manfaat termasuk dalam pengertian harta, namun yang dapat dijadikan sebagai jaminan hanyalah materi barang.

Para ulama fiqh pun berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn, adapun pengertiannya sebagai berikut19:

a. Menurut Sayyid Sabiq, rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang20

b. Menurut Muhammad Rawwas Qal’ahji berpendapat bahwa rahn adalah menguatkan utang dengan jaminan utang21

c. Menurut Masjfuq Zuhdi, rahn adalah perjanjian atau akad pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang

17 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 252. 18 Ibid.,

19 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media group, 2010), 265. 20 Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, .., 139

(36)

22

Dari beberapa definisi yang dijelaskan sebelumnya, penulis menarik kesimpulan bahwa rahn adalah salah satu akad tabarru’ (akad yang bersifat

tolong menolong tanpa adanya imbalan dan jasa), dimana menjadikan barang yang bernilai ekonomis sebagai bentuk kepercayaan, sehingga bisa dijadikan pengganti hutang apabila ra>hin tidak mampu membayar hutangnya.

2. Dasar Hukum Rahn (Gadai)

Para ulama sepakat bahwa gadai (rahn) hukumnya jaiz (diperbolehkan),

namun tidak diwajibkan karena hanya sebagai jaminan apabila kedua pihak tidak saling memercayai.22 Hal ini telah disyariatkan berdasarkan al-Quran,

hadits dan ijma’, diantaranya yaitu:

a. Al-Quran                            ……

Artinya: jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; ……..

(Q.S. Al-Baqarah: 2: 283)23

Ayat ini menerangkan tentang muamalah (transaksi) yang dilakukan tidak secara tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada juru tulis yang akan menuliskannya. Namun, ayat ini tidak menetapkan

22Rahmat Syafe’I, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 161.

23 Departemen, Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Ferlia Citra Utama, 2008),

(37)

23

bahwa jaminan hanya dilakukan ketika dalam perjalanan, muamalah tidak secara tunai dan tidak ada juru tulis, tetapi ayat ini hanya menyatakan bahwa dalam keadaan tersebut boleh dilakukan memakai jaminan, namun tidak menutup dalam situasi yang lain, juga dibolehkan memakai jaminan.24

Jika masing-masing pihak saling memercayai, maka muamalah tersebut boleh dilakukan tanpa menyerahkan barang jaminan. Tetapi Allah mengingatkan supaya yang berhutang membayar tepat waktu dan takut akan ancaman Allah atas orang yang berlaku khianat.25

b. Hadits Nabi yang diriwayatkan dari Aisyah ra:

نع

َهْ نَع ها َيِضَر َةَشِئاَع

ا

:

َملَس َو ِهْيَلَع ُها ىلَص ِِنلا نَا

:

ىَرَ تْشا

اًماَعَط

َ ي ْنِم

يِدْوُه

ٍلَجَا ََِا

ٍدْيِدَح ْنِم اًعْرِد ُهَنََرَو

Artinya: “dari Aisyah ra., bahwa sesungguhnya Nabi saw. pernah membeli makanan dari seorang Yahudi secara bertempo dengan menggadaikan sebuah baju besi keapada Yahudi itu.”26

Berdasarkan hadits tersebut akad rahn dibolehkan, karena di dalam hadits menunjukkan peristiwa Rasulullah saw. me-rahn-kan baju

besinya. Peristiwa tersebut merupakan kasus rahn pertama dalam Islam dan dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw.27 Di dalam akad rahn banyak kemaslahatan yang terkandung di dalamnya dalam rangka menjalin hubungan antara sesama manusia.

24 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan tafsirnya, Jil. 1, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 25 Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jil. 1 (Surabaya: PT.

Bina Ilmu, 2002), 564.

26Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Mutiara Hadist yang Disepakati Bukhori dan Muslim,

(38)

24

c. Ijma’ ulama

Para ulama sepakat bahwa rahn dibolehkan tetapi tidak diwajibkan,

sebab gadai hanya bersifat jaminan saja jika kedua belah pihak tidak

saling memercayai. Fiman Allah swt.:

ٌةَضْوُ ب

ْقَم ٌناَِرَف

ayat tersebut hanya

bersifat irsha>d (pengarahan kepada yang lebih baik), bukan perintah yang bersifat wajib, sebab dalam lanjutan ayat tersebut dinyatakan:

…...

  

 

 

…..



Artinya: “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya).” (al-Baqarah: 283)

Selain itu, perintah untuk memberikan jaminan sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut dilakukan ketika tidak ada penulis,

padahal menuliskan dan mendokumentasikan utang piutang hukumnya tidaklah wajib, begitu juga penggantinya, yaitu barang jaminan.28 Oleh karena itu para ulama sepakat bahwa rahn dibolehkan dan tidak ada yang memertentangkan kebolehannya demikian juga mengenai landasan hukumnya. Disyariatkan pada waktu tidak bepergian dan waktu bepergian, berargumentasi kepada perbuatan Rasulullah saw. terhadap orang Yahudi, di Madinah. Adapun dalam masa perjalanan, seperti dikaitkan dalam ayat diatas, melihat dari kebiasaannya, dimana pada umumnya rahn dilakukan pada waktu bepergian.29\

(39)

25

3. Rukun dan Syarat Rahn (Gadai) a. Rukun rahn (gadai)

Rahn memiliki empat unsur, yaitu ra>hin (orang yang memberikan

jaminan), al-murtahin (orang yang menerima gadai), al-marhu>n (barang yang digadaikan), dan al-marhu>n bihi (utang).30 Namun, para ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun rahn. Menurut jumhur ulama rukun rahn ada empat,31 yaitu:

1) S}i>ghat (ijab qabul)

2) ‘a>qid (pihak yang mengadakan akad, yaitu ra>hin dan murtahin) 3) Marhu>n (barang yang digadaikan)

4) Marhu>n bihi (utang yang dijamin dengan barang gadaian)

Adapun ulama hanafiyyah berpendapat bahwa rukun rahn adalah ijab dari ra>hin dan qabul dari murtahin. Akan tetapi akad rahn belum sempurna dan belum mengikat kecuali setelah adanya al-Qabd}u (serah terima barang yang digadaikan). Adapun kedua orang yang melakukan akad, barang yang digadaikan, dan utang hanya termasuk syarat-syarat rahn, bukan rukunnya.32

b. Syarat rahn (gadai)

Para ulama fiqh menyusun syarat-syarat rahn sesuai dengan rukun rahn itu sendiri. Adapun syarat-syarat rahn yaitu:

(40)

26

1) Persyaratan ‘A<qid

Kedua orang yang melakukan akad harus memenuhi kriteria al-ahliyah. Menurut ulama Syafi’iyyah ahliyah adalah orang yang sah

melakukan jual beli, yaitu orang yang berakal dan mumayyiz, namun tidak disyaratkan harus baligh.33 Dengan demikian, anak kecil yang sudah mumayyiz boleh melakukan akad rahn berdasarkan izin dari walinya.

Menurut ulama selain Hanafiyyah, ahliyah dalam rahn seperti pengertian ahliyah dalam jual beli dan derma.34 Rahn tidak boleh dilakukan oleh orang yang dipaksa untuk mengadakan akad rahn, misalnya orang mabuk, gila, bodoh atau anak kecil yang belum baligh. Begitu pula seorang wali tidak boleh menggadaikan barang orang yang dikuasainya, keculi jika dalam keadaan madarat dan meyakini bahwa pemegangnya yang dapat dipercaya.

2) Syarat S{i<ghat

Menurut ulama hanafiyyah berpendapat bahwa s}i<ghat dalam rahn

tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini dikarenakan rahn memiliki unsur kesamaan dengan akad jual beli. Jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal namun rahn tetap sah.35

33Rahmat Syafe’I Fiqh Muamalah, ….., 162.

34 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, .., 82.

(41)

27

Berbeda dengan pendapat ulama Syafi’iyyah bahwa syarat yang disyaratkan dalam akad rahn ada tiga macam, yaitu36:

a) Syarat yang sah, yaitu mensyaratkan di dalam akad rahn dengan sesuatu yang mengandung kemaslahatan dan tidak menimbulkan unsur yang tidak diketahui dan tidak pasti. Misalnya, mensyaratkan untuk mempersaksikan akad rahn dengan dua orang

saksi. Maka akad rahn yang dibarengi dengan bentuk-bentuk syarat seperti ini sah dan syarat tersebut juga sah, sama seperti akad jual beli

b) Syarat yang tidak sah dan tidak berlaku, yaitu mensyaratkan dengan sesuatu yang tidak mengandung kemaslahatan dan tujuan. Misalnya, mensyaratkan hewan yang digadaikan tidak makan makanan ini dan itu. Maka syarat seperti ini tidak sah dan tidak berlaku, namun akad rahn tetap sah.

c) Syarat yang tidak sah sekaligus menjadikan akad rahn menjadi tidak sah, yaitu mensyaratkan dengan suatu syarat yang merugikann pihak murtahin, seperti mensyaratkan pihak murtahin

boleh menggunakan dan memanfaatkan barang yang digadaikan tanpa dibatasi dengan jangka waktu tertentu dan tanpa dijelaskan biaya penggunaan dan pemanfaatan tersebut.

(42)

28

3) Syarat marhu>n bihi (utang)

Marhu>n bihi adalah hak yang diberikan ketika rahn. Ulama

Hanafiyyah memberikan beberapa syarat,37 yaitu:

a) Marhu>n bihi harus barang yang wajib diserahkan, yakni hendaknya berupa utang yang wajib diberikan kepada orang yang menggadaikan, baik berupa benda maupun uang.

b) Marhu>n bihi memungkinkan dapat dipenuhi dan dibayarkan dengan jaminan, jika marhu>n bihi tidak dapat terbayarkan dari marhu>n, rahn menjadi tidak sah, sebab menyalahi maksud dan tujuan dari disyariatkannya rahn.

c) Hak atas marhu>n bihi harus diketahui dengan jelas dan pasti, yakni menentukan utang mana yang diberikan jaminan apabila memiliki dua utang.

4) Syarat marhu>n

Marhu>n adalah barang yang dijadikan jaminan oleh ra>hin. Fuqaha

sepakat bahwa syarat-syarat marhu>n sama dengan syarat-syarat barang yang dijual,38 supaya marhu>n bisa dijual dikemudian hari digunakan untuk melunasi utangnya apabila ra>hin tidak bisa melunasinya.

Menurut para ahli fikih syarat-syarat marhu>n sebagai berikut39:

a) Marhu>n harus bisa dijual dan nilainya setara dengan jumlah utang

37Rahmat Syafe’I Fiqh Muamalah, ….., 163-164.

38 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, ….., 98.

(43)

29

b) Marhu>n harus berupa harta (barang berharga) dan bermanfaat c) Marhu>n harus jelas dan pasti

d) Marhu>n harus milik ra>hin secara sah

e) Marhu>n tidak terkait dengan hak orang lain,

f) Marhu>n merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran di beberapa tempat

g) Marhu>n bisa diserahkan

Selain syarat-syarat diatas, ulama fiqh sepakat bahwa rahn baru dianggap sempurna apabila marhu>n secara hukum sudah berada di tangan murtahin dan uang yang dibutuhkan sudah diterima oleh ra>hin. Apabila marhu>n berupa benda tidak bergerak, seperti rumah dan tanah, maka tidak harus rumah dan tanah itu yang diberikan, tetapi cukup surat-surat tanah itu yang diberikan.40 Jika marhu>n sudah dikuasai secara hukum oleh murtahin, maka akad rahn baru bisa mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu utang sangat terkait dengan marhu>n,

apabila utang tidak bisa dilunasi maka marhu>n bisa dijual dan hasilnya digunakan untuk melunasi utangnya. Jika ada kelebihan uang dari penjualan marhu>n tersebut, maka wajib dikembalikan kepada ra>hin. Begitu juga sebaliknya, apabila dari hasil penjualan marhu>n tersebut masih belum cukup untuk melunasi utangnya, maka ra>hin wajib membayar sisa utangnya yang belum terbayarkan.

(44)

30

4. Pemanfaatan Objek Rahn (gadai)

Para fuqaha sepakat bahwa yang berkewajiban untuk membiayai hal-hal yang dibutuhkan oleh marhu>n adalah ra>hin, karena agama telah menetapkan bahwa kemanfaatan dan keuntungan yang didapat dari marhu>n adalah untuk ra>hin.41 Sebagaimana sabda Rasul:

َلْغَ ي َا

ُهَنََر ىِذلا ِهِبِحاَص ْنِم ُنْرلا ُق

,

ُهُمْرُغ ِهْيَلَع َو ُهُمْنُغ ُهَل

“Barang gadaian tidak menutup pemilik yang menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugian menjadi tanggungannya.”42

Akan tetapi, fuqaha berbeda pendapat mengenai siapa yang berhak memanfaatkan marhu>n, karena tidak boleh menyia-nyiakan dan menelantarkan kemanfaatan marhu>n, sebab sama halnya dengan menyia-nyiakan harta. Adapun penglasifikasian pemanfaatan marhu>n sebagai berikut:

a. Pemanfaatan marhu>n oleh ra>hin

Diantara para ulama terdapat dua pendapat, jumhur ulama selain

Syafi’iyyah melarang ra>hin untuk memanfaatkan marhu>n, sedangkan

ulama Syafi’iyyah membolehkannya selama tidak merugikan dan

menimbulkan kemudharatan bagi murtahin.43 Adapun penjelasannya sebagai berikut.

Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa ra>hin tidak boleh memanfaatkan marhu>n dalam bentuk menggunakan, menaiki,

41 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, ….., 186.

42 Muhammad bin Ismail al-Amir Ash-Shan’ani, Subul as- Salam Syarah Bulughul Maram, Muh.

Isnan, Jil. 2, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010), 437.

43

(45)

31

mengenakan, menempati atau yang lainnya tanpa seizin murtahin. Mereka beralasan bahwa hak al-habsu adalah tertetapkan untuk murtahin secara terus menerus dan artinya dilarang mengambil kembali marhu>n. Pendapat ini senada dengan pendapat ulama Hanabilah, sebab manfaat pada marhu>n ikut tergadaikan bersama marhu>n.44

Ulama Malikiyyah memiliki pandangan yang lebih keras dari kedua madzhab tersebut, yaitu menetapkan bahwa ra>hin tidak boleh memanfaatkan marhu>n. Mereka juga menetapkan bahwa izin murtahin kepada ra>hin untuk memanfaatkan marhu>n menyebabkan akad rahn batal, meskipun akhirnya ra>hin tidak benar-benar memanfaatkannya. Karena pemberian izin murtahin kepada ra>hin untuk memanfaatkan marhu>n dianggap sebagai bentuk pelepasan hak murtahin terhadap marhu>n.45

Ulama Syafi’iyyah sangat berbeda pendapat dengan pendapat

jumhur ulama, yaitu membolehkan ra>hin memanfaatkan marhu>n dengan semua bentuk pemanfaatan yang tidak menyebabkan berkurangya nilai marhu>n seperti menaikinya, menggunakannya, menempatinya,

mengenakannya dan menggunakan untuk mengangkut jika marhu>n adalah kendaraan. Karena kemanfaatan, perkembangan dan apa-apa yang dihasilkan marhu>n adalah milik ra>hin dan statusnya tidak ikut terikat dengan utang yang ada. Namun, apabila pemanfaatan yang menyebabkan berkurangnya nilai marhu>n, seperti mendirikan bangunan

(46)

32

dan menanam pohon diatas tanah yang digadaikan, maka tidak diperbolehkan kecuali dengan izin murtahin.46

b. Pemanfaatan marhu>n oleh murtahin

Jumhur ulama selain Hanabilah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan marhu>n, kecuali bila ra>hin tidak mau membiayai marhu>n. Dalam hal ini murtahin dibolehkan mengambil manfaat sekadar

untuk mengganti ongkos pembiayaan. Sementara ulama Hanabilah membolehkan murtahin memanfaatkan marhu>n jika berupa hewan atau kendaraan47. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan marhu>n, karena murtahin hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya. Sebagian ulama Hanafiyyah ada yang membolehkan untuk memanfaatkannya jika diizinkan oleh ra>hin karena dengan adanya izin, maka tidak ada halangan bagi murtahin untuk memanfaatkan marhu>n. Namun, sebagian ulama Hanafi lainnya berpendapat, murtahin tidak boleh memanfaatkan marhu>n, meskipun ra>hin mengizinkannya. Jika marhu>n dimanfaatkan, maka hasil

pemanfaatannya termasuk riba. Karena dalam hal ini, izin tersebut lebih cenderung dalam keadaan terpaksa, khawatir tidak mendapatkan uang yang akan dipinjam.48 Sesuai dengan sabda Rasul:

46 Ibid.,

47 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, ….., 269.

(47)

33

اَبِر َوُهَ ف ًةَعَفْ نَم رَج ٍضْرَ ق لُك

“Setiap utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba.”49

Sedangkan ulama Malikiyyah tidak membolehkan murtahin untuk memanfaatkan marhu>n sekalipun mendapat izin dari ra>hin. Namun, murtahin boleh memanfaatkan marhu>n jika dibiarkan dan tidak diurus

oleh ra>hin baik seizin ra>hin maupun tidak. Sementara itu, ulama

Syafi’iyyah secara garis besar berpendapat seperti pendapat ulama Malikiyyah.50

Adapun ulama Hanabilah berbeda pendapat dengan jumhur ulama, yaitu jika marhu>n berupa hewan atau kendaraan maka dibolehkan untuk memerah susunya dan menaikinya sesuai dengan kadar biaya yang

dikeluarkan untuk memberi makan dan menafkahi marhu>n. Meskipun tidak diizinkan oleh ra>hin. Akan tetapi jika marhu>n berupa sesuatu yang

tidak memerlukan biaya pemeliharaan, seperti tanah, maka murtahin tidak boleh memanfaatkan marhu>n kecuali seizin ra>hin.51

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa jumhur ulama tidak membolehkan untuk memanfaatkan marhu>n baik itu ra>hin maupun murtahin tanpa seizin kedua belah pihak. Namun pemanfaatannya

harus sesuai dengan ongkos biaya yang dikeluarkan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. yaitu:

49 Muhammad bin Ismail al-Amir Ash-Shan’ani, Subul as- Salam Syarah Bulughul Maram, …..,

439

(48)

34

ْرَم َناَك َذِإ ِهِتَقَفَ نِب ُبَكْرُ ي ُرْهظلا

اًنْوُ

,

دلا َََُل َو

ُي ِر

َناَك َذِإ ِهِتَقَفَ نِب ُبَرْش

اًنْوْْرَم

,

ىِذلا ىَلَعَو

َ ي

ُةَقَف نلا ُبَرْشَيَو ُبَكْر

“Punggung hewan yang digadaikan boleh dinaiki dengan membayar dan susu hewan yang digadaikan boleh diminum dengan membayar. Bagi

orang yang menaiki dan meminumnya wajib membayar.”52

5. Waktu berakhirnya rahn (gadai)

Akad rahn selesai dan berakhir karena beberapa hal, seperti ibra>’ (ra>hin

dibebaskan dari tanggungan utang), hibah, terlunasinya utang yang ada atau yang lainnya.53 Adapun penjelasannya lebih lanjut sebagai berikut: a. Diserahkannya marhu>n kepada pemiliknya

Menurut jumhur ulama selain ulama Syafi’iyyah, akad rahn selesai

dan berakhir dengan diserahkannya marhu>n kepada pemiliknya (ra>hin), karena marhu>n merupakan jaminan penguat utang. Oleh karena itu jika marhu>n diserahkan, maka tidak ada lagi jaminan penguat utang. Selain

itu, rahn juga dianggap selesai dan berakhir ketika murtahin meminjamkan marhu>n kepada ra>hin atau kepada orang lain dengan seizing ra>hin.

b. Terlunasinya seluruh utang

Apabila ra>hin telah melunasi seluruh marhu>n bihi, maka rahn secara

otomatis selesai dan berakhir.

52

M .Nashiruddin al Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, Jilid II, (Jakarta: Gema Insani, 2007), 182-183.

53

(49)

35

c. Penjualan marhu>n secara paksa

Jika hakim memaksa ra>hin untuk menjual marhu>n atau hakim menjualnya jika ra>hin menolak, maka utang yang ada dilunasi dengan harga hasil penjualan tersebut, sehingga secara otomatis rahn selesai dan

berahir.

d. Pembebasan utang

Ra>hin terbebaskan dari utang yang ada, walau dengan cara apapun,

misalnya dengan akad hawa>lah (ra>hin sebagai muhi>l dan murtahin sebagai muha>l). serta jikalau murtahin menerima suatu barang gadaian yang lain sebagai ganti barang gadaian yang pertama, maka marhu>n

dianggap telah tertebus.

e. Pembatalan rahn dari pihak murtahin

Rahn dipandang selesai dan berakhir jika murtahin membatalkan rahn meskipun tanpa seizin ra>hin. Namun, jika ra>hin yang membatalkan rahn maka rahn tidak berakhir.

f. Ra>hin meninggal dunia

Menurut ulama Malikiyyah, rahn dianggap selesai dan berakhir jika ra>hin meninggal sebelum menyerahkan marhu>n kepada murtahin.

Adapun menurut ulama Hanafiyyah rahn dianggap batal jika murtahin meninggal sebelum sebelum mengembalikan marhu>n kepada ra>hin.

g. Marhu>n rusak

Menurut jumhur ulama rahn dianggap selesai dan berakhir jika marhu>n

(50)

36

h. Pentasharufan terhadap marhu>n

Akad rahn selesai dan berakhir jika salah satu pihak melakukan pentasharufan terhadap marhu>n dengan meminjamkan, menghibahkan, mensedekahkan atau menjualnya kepada orang lain dengan seizin pihak yang satunya lagi.54

B.‘Urf

1. Pengertian ‘Urf

Secara etimologi ‘urf berasal dari kata ‘arafa, yu’rifu (

َف

َع َر

-

ُ ي ْع ِر

ُف

). Sering diartikan dengan

al-ma’ru>f

(

ُفْوُرْعَمْلا

)

dengan arti “sesuatu

yang dikenal”, atau berarti yang baik. Kalau dikatakan

اًفْرُع اًن ََُف ََْوَا ٌن ََُف

(Si

Fulan lebih dari yang lain dari segi ‘Urf-nya), maksudnya bahwa seseorang lebih dikenal dibandingkan dengan yang lain.55

Sedangkan kata ‘urf secara terminologi, berarti sesuatu yang telah terbiasa di kalangan manusia atau pada sebagian mereka dalam hal muamalat (hubungan kepentingan) dan telah melihat/tetap dalam diri-diri mereka dalam beberapa hal secara terus-menerus yang diterima oleh akal yang sehat.56

54 Ibid., 231.

55 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2005),

333.

(51)

37

Kata ‘Urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah al-‘a>dah

(kebiasaan), yaitu:

اَم

رَقَ تْسا

ِف

ِسْوُف نلا

ْنِم

ِةه ِج

ِلْوُقُعلا

َو

ُهْتقَلَ ت

اَبطلا

ُع

ُةَمْيِلسلا

ِلْوُ بَقلاِب

“Sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya diterima

oleh akal yang sehat dan watak yang benar.”57

Kata al-‘Adah disebut demikian karena ia dilakukan secara berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan masyarakat. Musthafa Ahmad al-Zarqa’

mengatakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘urf karena harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman.58

Sedangkan Abdul Karim Zaidan mendefinisikan ‘urf sebagai sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.59 Menurut Abdul Wahhab Khallaf, ‘urf adalah segala apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi kebiasaannya baik berupa perkataan, perbuatan ataupun meninggalkan sesuatu.60

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ‘urf terdiri dari dua bentuk yaitu, ‘urf al-qauli> (kebiasaan dalam bentuk perkataan), misalnya

kalimat “engkau saya kembalikan kepada orangtuamu” dalam masyarakat

57 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2014), 209.

58 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta:Logos Publishing House, 1996), 138. 59 Satria Effendi dan M. Zein, Ushul fiqih, (Jakarta: kencana, 2005), 117.

(52)

38

Islam Indonesia mengandung arti talak. Sedangkan ‘urf al-fi’li> (kebiasaan dalam bentuk perbuatan) seperti transaksi jual-beli barang kebutuhan sehari-hari di pasar, tanpa mengucapkan lafal ijab dan qabul yang disebut jual-beli mu’a>t}a>h (هاطاعملاعيب).61

2. Dasar Hukum ‘Urf

Dasar hukum yang digunakan ulama mengenai kehujjahan ‘urf

disebutkan dan dijelaskan dalam al-Qur’an yaitu dalam surat al-A’ra>f ayat 199:          

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf,

serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.62

Melalui ayat di atas, Allah swt. memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf. Sedangkan yang disebut ma’ruf ialah yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang dan tidak bertentangan dengan watak manusia yang benar, dan dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran Islam.63

Adapun dalil Sunnah dari Ibnu Mas’ud:

ْنِع َوُهَ ف اًنَسَح َنْوُمِلْسُما َُاَر اَمَف

ْسُما َاَراَمَو ٌنَسَح ِها َد

ْوُمِل

ِها َدْنِع َوُهَ ف اًئْيَس َن

ٌئْيَس

“Apa yang dipandang oleh orang-orang Islam baik, maka baik pula disisi Allah swt., dan apa yang dianggap orang-orang Islam jelek maka jelek pulalah di sisi Allah swt.” (HR. Ahmad)64

61 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 391. 62 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta, CV. Ferlia Citra Utama,

2008), 237.

(53)

39

Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, baik dari segi redaksi ataupun

maksudnya menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntutan umum syariat Islam merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah. Sebaliknya hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan yang dinilai baik oleh masyarakat akan melahirkan kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan sehari-hari.65

Dari berbagai kasus ‘urf yang terjadi, para ulama ushul fiqh merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan ‘urf, diantaranya yang paling mendasar yaitu:

.

ٌةَمكَُُ ُةداَعلا

Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum.

.

ِةَنِكْمَأاَو ِةَنِمْزأا ُُِغَ تِب ِماَكْحَأا ُر يَغَ ت ُرَكْنُ ي َا

Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.

.

ُفْوُرْعما

اًفْرُع

طْوُرْشماَك

اًطْرَش

Yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.

.

ُتِباثلا

ِفْرُعلاِب

ِتِباثلاَك

ِصنلاِب

Yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (ayat dan atau hadits).66

3. Macam-Macam ‘Urf

Ulama ushul fiqh membagi ‘urf menjadi tiga macam:

a. Dari segi objeknya, ‘urf dibagi dua yaitu:

(54)

40

1) ‘Urf lafz}i> adalah kebiasaan masyarakat dalam menggunakan ungkapan, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan

terlintas dalam pikiran masyarakat. Contohnya ungkapan “daging”

berarti daging sapi, padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli

mengatakan “saya beli daging satu kilogram” pedagang itu langsung

mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.67

2) ‘Urf ‘amali> adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Adapun yang dimaksud perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan memakai pakaian dalam acara tertentu. Adapun yang berkaitan dengan muamalah perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam melakukan transaksi dengan cara tertentu, seperti kebiasaan masyarakat dalam jual beli dengan cara mengambil barang dan membayar uang tanpa akad secara jelas, dan biasanya terjadi di pasar swalayan.68

67 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,…..,139.

68Abdul Azis Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam Vol. 6, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van

(55)

41

b. Dari segi cakupannya, ‘Urf dibagi dua yaitu:

1) ‘Urf ‘a>m (adat kebiasaan umum) adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat, di seluruh daerah dan pada waktu tertentu.69 Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa ada akad tersendiri dan biaya tambahan.

2) ‘Urf kha>s} (adat kebiasaan khusus) adalah kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat atau wilayah tertentu saja.70 Misalnya mengadakan h{ala>l bih{ala>l yang biasa dilakukan oleh bangsa

Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa bulan ramadan, sedangkan di negara-negara Islam lain tidak melakukannya.

c. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘Urf dibagi dua yaitu: 1)‘Urf s}ah{i>h{ adalah sesuatu yang dikenal dan tidak bertentangan

dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang hara dan juga tidak

membatalkan yang wajib. Misalnya dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.71

2)‘Urf fa>sid adalah sesuatu yang dibiasakan oleh manusia, namun

bertentangan dengan syara’, yaitu menghalalkan yang haram dan

(56)

42

membatalkan yang wajib.72 Misalnya kebiasaan dalam mencari dana dengan mengadakan macam-macam kupon berhadiah.

4. Kedudukan ‘Urf

Pada dasarnya semua ulama sepakat bahwa kedudukan ‘urf s}ah{i>h{ sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi di antara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaannya sebagai dalil. Dalam hal ini ulama Hanafiyah dan Malikiyah adalah yang paling banyak menggunakan ‘urf sebagai dalil dibandingkan dengan ulama Syafi’iyah dan

Hanabilah.73

‘Urf s}ah{i>h{ harus dipelihara oleh seorang mujtahid di dalam

menciptakan hukum-hukum dan oleh seorang hakim dalam memutuskan perkara. Karena apa yang telah menjadi kebiasaan dan dijalankan oleh orang banyak adalah menjadi kebutuhan dan menjadi mashlahat yang diperlukannya. Oleh karena itu, selama kebiasaan tersebut tidak berlawanan dengan syara’, maka wajib diperhatikan.74

Atas dasar itulah para ulama ahli ushul fiqh memberi kaidah berikut:

ٌةَمكَُُ ٌةَعْ يِرَش ُةَداَعْلا

“Adat kebiasaan itu merupakan syariat yang ditetapkan sebagai hukum”.75

72 Jaenal Aripin, Kamus Ushul Fiqh Dalam Dua Bingkai Ijtihad, (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2012), 406.

73 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh…, 212.

74 Miftahul Arifin dan A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: Kaidah-Kaidah Penetepan Hukum Islam,

(Surabaya: Citra Media, 1999), 147.

(57)

43

‘Urf fasid tidak wajib diperhatikan, karena memeliharanya berarti

menentang dalil syara’. Oleh karena itu, apabila seseorang telah terbiasa mengadakan perjanjian yang fasid, seperti perjanjian yang mengandung riba

atau mengandung unsur penipuan maka kebiasaan-kebiasaan tersebut tidak mempunyai pengaruh dalam menghalalkan perjanjian tersebut. Hanya saja perjanjian-perjanjian semacam itu bisa dibenarkan apabila ditinjau dari segi lain. Misalnya dari segi sangat dibutuhkan atau dari segi darurat, bukan karena sudah biasa dilakukan oleh orang banyak. Jika suatu hal tersebut termasuk kondisi darurat atau kebutuhan mereka, maka ia diperbolehkan.76

Menurut Imam al-Qarafi seorang ahli fikih mengatakan bahwa seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum harus meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat terlebih dahulu, sehingga hukum yang ditet

Gambar

Tabel Halaman
Tabel 3.1 Luas Wilayah Desa Jotosanur
tabel jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian.
Tabel 3.4  Tamatan Sekolah Masyarakat

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur ke Hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Profil Protein Ekstrak Biji

Metode sosiodrama ddilakukan untuk membentuk akhlak terpuji siswa, tetapi yang fenomena yang terjadi siswa di Madrasah Aliyah Hidayatullah adalah: (1) Masih ada

Simulasi space-time diversity dengan modulasi QPSK melalui kanal AWGN Dari gambar 8 diperlihatkan bahwa untuk mencapai BER 10 −3 , sistem transmisi tanpa coding

Dan Haemonchus contortus Pada Sapi Madura Di Desa Kraton Dan Desa Pejagan Kecamatan Bangkalan Kabupaten Bangkalan Provinsi Jawa Timur”. Maksud dan tujuan penulisan

dan n %u %u&amp;u &amp;u. ;ntu&amp; itu&lt; &amp;ami menghara,&amp;an &amp;e&amp;urangan dan masih !auh dari &amp;esem,urnaan.. #alah satu su% sistem &amp;esehatan nasional

Pelaksanaan kegiatan, setelah bahan dan peralatan disiapkan, maka tahap selanjutnya adalah tahap pelaksanaan kegiatan yaitu dilakukan kegiatan berupa pengoperasian/

Tindakan nyata yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Kuantan Singingi dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah (retribusi daerah) melalui sektor

Instrumen evaluasi berupa Lembar Kerja Siswa Individu (dapat dilihat di lampiran).. Kegiatan pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan RPP yang telah dibuat, yaitu