• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertanian Organik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertanian Organik"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pertanian Organik

Standar Nasional Indonesia tentang Sistem Pangan Organik SNI 01-6729 (2002) memberikan pengertian pertanian organik sebagai suatu sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, yang mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara alami, sehingga mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan. Pertanian organik Menurut International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM) (2005) yaitu proses pertanian yang melestarikan dan meningkatkan kesuburan (kesehatan) tanah, tanaman, hewan, manusia dan bumi sebagai satu kesatuan dan tak terpisahkan. Adapun sistem pertanian organik didefinisikan sebagai “kegiatan usahatani secara menyeluruh sejak proses produksi (prapanen) sampai proses pengolahan hasil (pascapanen) yang bersifat ramah lingkungan dan dikelola secara alami (tanpa penggunaan bahan kimia sintetis dan rekayasa genetika), sehingga menghasilkan produk yang sehat dan bergizi” (SNI No. 01-6729-, 2002). Sedangkan Departemen Pertanian Amerika Serikat (1980) dalam Dinarti (2005) memberikan definisi pertanian organik sebagai suatu sistem produksi yang menghindarkan atau sebagian besar tidak menggunakan pupuk sintetis, pestisida, hormon tumbuh, pakan ternak tanpa zat additive.

Syarat dan ketentuan tersebut menurut International Federation of Organic Agriculture Movements/IFOAM (2005) yaitu benih yang bukan hasil rekayasa genetika atau Genetically Modified Organism (GMO). Penggunaan GMO tidak diperbolehkan dalam setiap tahapan pertanian organik mulai produksi hingga pasca panen (Anonim, 2000).

Pertanian organik merupakan teknik pertanian yang tidak menggunakan bahan kimia (non sintetik), tetapi memakai bahan-bahan organik (Pracaya, 2002 dalam Rosita 2007). Teknik pertanian yang dimaksud pada dasarnya adalah meniadakan atau membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan dari pertanian konvensional yang biasa menggunakan pupuk buatan pabrik (Sutanto, 2002). Secara sederhana, pertanian organik didefinisikan sebagai sistem pertanian yang mendorong kesehatan tanah dan tanaman melalui berbagai praktek seperti

(2)

pendaurulangan unsur hara dari bahan-bahan organik, rotasi tanaman, pengolahan tanah yang tepat serta menghindarkan penggunaan pupuk dan pestisida sintetik (IASA dalam Dimyati, 2002).

Pertanian organik sebaiknya menggunakan pupuk organik dari bahan yang aman contohnya pupuk organik dari kotoran ternak yang tidak berasal dari factory farming. Factory farming adalah sistem industri peternakan yang sangat bergantung pada penggunaan input pangan dan obat-obatan yang tidak diijinkan dalam sistem pertanian organik (Hartatik dan Setyorini, 2007).

Hal tersebut terangkum dalam prinsip pertanian organik yaitu lahan untuk budidaya harus bebas cemaran bahan agrokimia dari pupuk dan pestisida, menghindari benih/bibit hasil rekayasa genetik atau Genetically Modified Organism (GMO), menghindari penggunaan pupuk kimia sintetis dan zat pengatur tumbuh, menghindari penggunaan pestisida kimia sintetis, menghindari penggunaan hormon tumbuh dan bahan aditif sintetis pada pakan ternak sebagai kotoran, penanganan pascapanen dan pengawetan bahan pangan menggunakan cara-cara yang alami (SNI No. 01-6729-, 2002).

Hal ini mendorong terutama produsen pangan untuk menghasilkan produk yang diinginkan oleh konsumen seperti aman dikonsumsi (food safety attributes), memiliki kandungan nutrisi yang tinggi (nutritional attributes), dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes). Produk pangan yang memiliki ketiga atribut tersebut adalah produk yang dihasilkan dari sistem pertanian organik (Sulaeman, 2008).

2.2. Inceptisol

Inceptisol menurut Sistem Taksonomi Tanah (1999) adalah tanah yang mempunyai epipedon umbrik, dengan kejenuhan basanya kurang dari 60%, dan mempunyai horizon penciri kambik. Tanah Inceptisols di daerah humid umumnya mempunyai kandungan liat cukup tinggi (37-78%), pH masam hingga agak masam (pH 4,6-5,5), kandungan bahan organik rendah hingga sedang, P-HCl rendah hingga tinggi, dan K-HCl sangat rendah hingga sedang.

(3)

Jumlah basa-basa dapat ditukar tergolong sedang sampai tinggi dengan kompleks adsorpsi didominasi oleh kation Ca dan Mg. KTK pada lapisan atas sebagian besar sedang sampai tinggi dan kejenuhan basanya umumnya tinggi sampai sangat tinggi (Subagyo et al., 2000 dalam Nursyamsi et al., 2002). Dengan demikian, secara umum tanah Inceptisol mempunyai tingkat kesuburan sedang hingga tinggi.

2.3. Bahan Organik

Definisi pupuk organik menurut Peraturan Menteri Pertanian No.28/Permentan/SR.130/5/2009 tentang pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa tanaman dan/atau kotoran hewan yang telah melalui proses rekayasa, berbentuk padat atau cair dan dapat diperkaya dengan bahan mineral alami dan/atau mikroba yang bermanfaat memperkaya hara, bahan organik tanah, dan memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.

Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, kotoran, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan baku pertanian, dan limbah kota yang berasal dari tanaman. Sebagai contoh bahan organik dari tanaman adalah sisa–sisa tanaman, kacang-kacangan, dan tanaman paku air Azolla (Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006).

Tanaman kirinyu (Chromolaena odorata) juga dapat digunakan sebagai bahan organik (Tjitrosemito, 1996). Tanaman lain yang juga dapat digunakan sebagai bahan organik adalah paitan (Tithonia diversifolia) (Hartatik, 2007). Adapun yang berasal dari hewan yang dapat digunakan sebagai bahan organik, yaitu seperti kotoran ayam, kotoran kambing, kotoran sapi, kotoran babi, dan kotoran kuda (Hartatik dan Widowati, 2006).

Pupuk kandang adalah sumber beberapa hara seperti nitrogen, fosfor, dan kalium. Bagi tanaman tertentu kebutuhan hara untuk pertumbuhannya dipenuhi dari kotoran. Penggunaan kotoran sudah dilakukan petani sejak lama, tapi penggunaannya dalam jumlah besar menimbulkan kesulitan dalam sumber penyediaan, pengangkutan, dan aplikasinya (Hartatik dan Widowati, 2006).

(4)

Pupuk kandang ayam sebagai salah satu sumber bahan organik mengandung unsur hara P yang relatif lebih tinggi dari pupuk kandang lainnya. Pada kotoran ayam tercampur sisa-sisa makanan ayam serta sekam dari alas kandang yang dapat menyumbangkan tambahan hara kedalam pukan. Kandungan hara dalam pupuk kandang ayam ini sangat dipengaruhi oleh konsentrat yang diberikan. Pupuk kandang ayam lebih cepat terdekomposisi dan mempunyai kandungan hara yang lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah unit yang sama dengan pupuk kandang lainnya, sehingga dalam beberapa hasil penelitian pupuk kandang ayam menunjukkan respon yang baik terhadap tanaman (Hartatik dan Widowati, 2006).

Adapun pupuk kandang kambing memiliki tekstur yang khas, berbentuk butiran-butiran yang agak sukar dipecah secara fisik sehingga berpengaruh terhadap proses dekomposisi dan proses penyediaan hara. Nilai rasio pupuk kandang kambing masih diatas (> 30) sehingga dalam penggunaannya akan lebih baik jika dikomposkan terlebih dahulu (Hartatik dan Widowati, 2006).

Pupuk organik berupa kombinasi kotoran dan hijauan Tithonia serta Kirinyu (Chromolaena odorata) dapat meningkatkan hara dalam tanah. Hijauan Tithonia mengandung hara P dan K relatif tinggi, mudah tumbuh, murah, dan banyak terdapat di sekitar lokasi lahan budidaya organik. Hijauan Tithonia berpotensi sebagai sumber N, P,dan K bagi tanaman. Hijauan Tithonia mengandung 3,5% N, 0,37% P, dan 4,10% K (Hartatik, 2007). Tanaman kirinyu (Chromolaena odorata) menghasilkan biomas yang berlimpah sehingga dapat menyumbang bahan organik dalam tanah (Tjitrosemito, 1996).

Bahan organik tersebut dapat diperkaya dengan bahan amelioran/pembenah tanah alami yang diperbolehkan dalam budi daya pertanian organik seperti fosfat alam dan dolomit. Bahan amelioran dapat mengantisipasi apabila terjadi kahat hara P pada tanah yang tidak dapat diatasi hanya dengan penambahan pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak saja. Bahan mineral seperti dolomit, dan fosfat alam diharapkan dapat meningkatkan kadar hara dalam pupuk organik (Hartatik dan Setyorini, 2006).

Pada dasarnya, kandungan unsur hara dalam bahan organik relatif kecil dan lambat tersedia. Penggabungan beberapa bahan organik yang memiliki komposisi fisik, kimia dan biologi yang sangat bervariasi tersebut diharapkan mampu

(5)

mensuplai hara bagi tanaman, walaupun manfaatnya bagi tanaman umumnya tidak secara langsung sehingga respon tanaman relatif lambat. Selain itu, kandungan hara bahan organik yang cukup di dalam tanah mampu mempertahankan kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah. Adapun cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesuburan tanah yaitu dengan pengembalian sisa panen/serasah tanaman ke dalam tanah dalam bentuk segar atau dikomposkan terlebih dahulu.

2.4. Nitrogen

Sumber nitrogen untuk tanaman adalah gas N2 di udara yang menempati

78% dari kandungan gas atmosfer. Nitrogen dalam bentuk unsur tidak dapat digunakan oleh tanaman. Nitrogen harus diubah menjadi bentuk nitrat (NO3-) dan

amonium (NH4+) melalui proses-proses tertentu.

Pengadaan nitrogen di dalam tanah terjadi melalui proses mineralisasi N dari bahan organik dan immobilisasi, fiksasi N dari udara oleh mikroorganisme, melalui hujan dan bentuk-bentuk presipitasi lain, serta pemupukan.

2.4.1. Bentuk-bentuk Nitrogen di dalam Tanah

Nitrogen merupakan unsur penting bagi tanaman dan dapat tersedia melalui pemupukan (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004). Nitrogen di dalam tanah jumlahnya sedikit, sedangkan tanaman mengambil nitrogen dalam jumlah banyak (Soepardi, 1983).

Nitrogen tanah dibagi dalam dua bentuk, yaitu bentuk organik dan anorganik. Bentuk organik di dalam tanah pada umumnya terdapat dalam bentuk asam-asam amino, protein, gula-gula amino dan lain-lain. Sedangkan bentuk anorganik yaitu NH4+, NO2-, NO3-, N2O, NO dan gas N2 yang hanya dimanfaatkan

oleh Rizhobium. Bentuk N2O dan N2merupakan bentuk-bentuk yang hilang dari

tanah dalam bentuk gas sebagai akibat proses denitrifikasi. Tanaman mengambil nitrogen dari tanah dalam bentuk NH4+ dan NO3- yang berasal dari pupuk-pupuk

(6)

2.4.2. Transformasi Nitrogen di dalam Tanah

Bahan organik tanah secara umum dibedakan atas bahan organik yang relatif sulit didekomposisi dan bahan organik yang mudah didekomposisi. Dalam proses dekomposisi bahan organik, apabila bahan organik yang didekomposisikan mengandung kadar N yang tinggi dibandingkan dengan kadar C maka tidak ada N yang diimobilisir, artinya pelepasan nitrogen dari bentuk N-anorganik menjadi bentuk N-organik. Sebaliknya, apabila bahan organik yang didekomposisikan kadar N-nya rendah dibandingkan kadar C maka akan terjadi immobilisasi N tanah, akibatnya hara yang ada dalam tanah berubah menjadi tidak tersedia. Perubahan nitrogen dari bentuk N-organik menjadi bentuk N-anorganik dilakukan oleh mikroorganisme (Tisdale et al., 1999).

Perbandingan kadar C dan N dikenal dengan nama rasio C/N. Nilai C/N memberikan gambaran tentang mudah tidaknya bahan organik dilapuk, selain itu menunjukkan tingkat kematangan dari bahan organik ataupun immobilisasi dari N-tanah. Untuk menghindari imobilisasi hara bahan yang digunakan perlu dilakukan pengomposan terlebih dahulu. Pengomposan adalah suatu proses penguraian bahan organik dari bahan dengan nisbah C/N tinggi (mentah) menjadi bahan yang mempunyai nisbah C/N rendah (< 15), yang berarti bahwa bahan atau pupuk organik telah matang. Bahan organic digunakan oleh mikroorganisme untuk memperoleh energi. Populasi mikroorganisme yang tinggi memerlukan hara untuk tumbuh dan berkembang, yang diambil dari tanah yang seharusnya digunakan oleh tanaman, sehingga mikroorganisme dan tanaman saling bersaing memperebutkan hara yang ada (Atmojo, 2003).

Nitrogen yang diberikan dalam jumlah banyak akan menyebabkan pertumbuhan vegetatif berlangsung hebat dan warna daun menjadi hijau tua. Kelebihan N juga dapat memperpanjang umur tanaman dan memperlambat proses pematangan karena tidak seimbang dengan unsur lainnya seperti P, K dan S. Sebagai unsur yang mobil, gejala khlorosis mula-mula timbul pada daun yang tua sedangkan daun-daun muda tetap berwarna hijau. Apabila kekurangan nitrogen menyebabkan pertumbuhan tanaman tertekan dan daun-daun mengering (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004).

(7)

2.4.3. Kemampuan Tanah Menyediakan Nitrogen

Pengadaan nitrogen di dalam tanah terjadi melalui proses mineralisasi N dari bahan organik dan immobilisasi, fiksasi N dari udara oleh mikroorganisme, dan melalui hujan atau bentuk-bentuk presipitasi lain, serta pemupukan.

Jumlah N di dalam tanah merupakan hasil kesetimbangan antara faktor kadar bahan organik, iklim dan vegetasi, topografi, sifat fisika dan kimia tanah, kegiatan manusia, dan waktu.

2.4.4. Retensi ion-N dalam Tanah

Nitrogen di dalam tanah akan diuraikan menjadi bentuk ion NH4+ dan NO3-.

Dalam bentuk NH4+ dapat ditahan lebih lama oleh tanah selama nitrifikasi belum

terjadi, selain itu tergantung dari kapasitas tukar kation (KTK) tanah, apabila banyak atau sedikit kation terutama NH4+ yang diikat. Bentuk NO3-mudah tercuci

terutama saat musim hujan dan relatif tidak diikat oleh tanah sehingga pada musim kemarau akan bergerak ke lapisan-lapisan di atasnya bersama-sama air kapiler (Tisdale et al., 1999).

Adapan imobilisasi nitrogen menurut Tisdale et al.,(1999) terjadi apabila penambahan bahan organik memiliki C/N yang tinggi. Adapun retensi ion-N dalam tanah selanjutnya adalah fiksasi amonium yang dilepaskan dari mineral liat tipe 2:1.

2.4.5. Kehilangan Nitrogen dalam Bentuk Gas

Kehilangan nitrogen di dalam tanah terjadi tidak hanya melalui pencucian, produksi tanaman, tetapi juga melalui penguapan gas-gas nitrogen, seperti N2,

N2O, dan NH3. Adapun mekanisme kehilangan antara lain melalui denitrifikasi,

merupakan reduksi nitrat secara bio-kimia dalam anaerobik yang dipengaruhi oleh jumlah dan sifat bahan organik, kadar air tanah (kelembaban tanah), aerasi, pH tanah, suhu tanah, dan kadar serta bentuk N-organik yang ada di dalam tanah, reaksi-reaksi termasuk nitrit dalam suasana aerobik, serta penguapan gas dari pemupukan tanah (Tisdale et al., 1999).

(8)

2.4.6. Ketersediaan Nitrogen

Ketersediaan nitrogen berarti nitrogen harus berada dalam bentuk siap diabsorpsi tanaman , selain itu nitrogen berada di sekitar perakaran, dan berada di lingkungan yang baik bagi proses absorpsi tanaman (Tisdale et al., 1999).

Jumlah nitrogen N (NO3- dan NH4+) dalam larutan tanah dipengaruhi oleh

dari sifat perakaran tanaman, kehilangan N melalui penguapan dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses penguapan, selain itu adanya pergerakan vertikal dan pencucian NO2-, serta ada tidaknya sisa-sisa tanaman yang dapat

mengimobilisasikan nitrogen (Tisdale et al., 1999).

2.5. Fosfor

Fosfor merupakan unsur hara kedua yang penting bagi tanaman setelah nitrogen. Fosfor umunya diserap tanaman sebgai orto-fosfat primer (H2PO4-) atau

bentuk sekunder (HPO42-). Fosfor kadarnya di dalam tanaman lebih rendah dari N,

K, dan Ca. Hal ini disebabkan retensi yang tinggi terhadap unsur P di dalam tanah menyebabkan konsentrasinya di dalam larutan tanah cepat sekali berkurang (Leiwakabessy et al., 2003). Tanaman memerlukan P pada semua tingkat pertumbuhan terutama pada awal pertumbuhan dan pembungaan (Rubatzky dan Yamaguchi, 1999). Apabila terjadi kekurangan P akibat retensi di dalam tanah, tanaman akan menunjukkan gejala di dalam jaringan yang tua terlebih dahulu baru diangkut ke bagian-bagian meristem atau jaringan yang lebih muda (Tisdale et al., 1999).

Peranan fosfor (P) menurut Rismunandar (1990) dalam tanaman digunakan dalam pembentukan protein terutama dalam transfer metabolik ATP, ADP, fotosintesis dan respirasi, serta termasuk komponen dari fosfolipid, selain itu, peranan fosfor lainnya dalam pembentukan akar, mempercepat matangnya buah, dan memperkuat tubuh tanaman.

2.5.1. Kandungan P di dalam Tanah

Kadar P total di dalam tanah umumnya rendah, dan berbeda-beda menurut tanah. Jumlah fosfat yang tersedia di tanah-tanah pertanian biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya pada tanah-tanah yang tidak diusahakan. Hal ini

(9)

diduga karena unsur ini tidak tercuci (residunya tinggi), sedangkan yang hilang melalui produksi tanaman sangat kecil (Tisdale et al., 1999).

2.5.2. Bentuk-bentuk P di dalam Tanah

Secara umum fosfat di dalam tanah dibagi dalam dua bentuk, bentuk P-organik dan P-anP-organik. Jumlah kedua bentuk ini disebut sebagai P-total. Bentuk yang tersedia bagi tanaman atau jumlah yang dapat diambil oleh tanaman hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah yang ada di dalam tanah.

Bentuk P-organik, biasanya terdapat di lapisan atas tanah yang lebih banyak mengandung bahan organik. Kadar P-organik dalam bahan organik kurang lebih sama dengan kadarnya dalam tanaman, yaitu antara 0,2% - 0,5% dan terdiri dari inositol fosfat, asam nukleat, fosfolida dan berbagai senyawa ester yang stabil.

Bentuk P-anorganik, pada bentuk ini satu ataupun ketiga ion H+ dari asam fosfat terikat dengan ikatan ester (ester linkage), sedangkan ion H+ yang sisa, sebagian atau seluruhnya diganti oleh ion logam. Fosfor dalam tanah berasal dari mineral apatit, yaitu fluoroapatit Ca3(PO4)3CaF2(Tisdale et al., 1999).

2.5.3. Ketersediaan P Tanah

Unsur P dalam tanah yang terikat dalam bentuk senyawa fosfat merupakan senyawa yang mudah tersedia bagi tanaman. Fosfor bersama-sama dengan nitrogen dan kalium, digolongkan sebagai unsur-unsur utama, walaupun diabsorpsi dalam jumlah kecil dari kedua unsur tersebut.

Tanaman mengabsorpsi P dalam bentuk ion orthofosfat primer, H2PO4- dan

sebagian kecil dalam bentuk sekunder, HPO42-. Tanaman dapat juga mengabsorpsi

fosfat dalam bentuk P-organik. Bentuk-bentuk ini berasal dari dekomposisi bahan organik dan dapat langsung dipakai oleh tanaman (Tisdale et al., 1999).

2.5.4. Transformasi P-Anorganik

Ada dua macam reaksi transformasi dalam tanah, yaitu reaksi pengendapan, yaitu reaksi ion fosfat dengan kation-kation di dalam larutan tanah membentuk senyawa-senyawa, yaitu Ca-fosfat, Al-fosfat dan Fe-fosfat. Reaksi-reaksi sorpsi, terjadi baik pada permukaan mineral-mineral kristalin (permukaan dengan muatan tetap) maupun pada permukaan dengan muatan variabel seperti

(10)

oksida/hidusoksida dari Fe (III) dan Al, bahan organik, alofan dan kalsit (Leiwakabessy, Wahjudin, dan Suwarno, 2003).

2.5.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Retensi P di dalam Tanah

Faktor-faktor yang mempengaruhi retensi P menurut Tisdale et al. (1999) yaitu sifat dan jumlah komponen tanah, yaitu adanya hidrus oksida dari Fe dan Al, tipe liat, kadar liat, koloid amorf, dan kalsium karbonat. Selai itu, adanya pengaruh pH, pengaruh kation, pengaruh anion, tingkat kejenuhan kompleks absorpsi, suhu, dan waktu reaksi.

2.5.6. Kehilangan Fosfor dari Tanah

Hilangnya fosfor dari tanah dapat terjadi melalui mekanisme panen, yaitu jumlah unsur hara di dalam hasil panen tergantung besarnya panen dan kadar hara. Sehingga jumlah yang hilang melalui panen tergantung dari produksi tanaman dan jumlah yang dikembalikan ke lahan. Selain itu, kehilangan P dapat terjadi melalui pencucian, kadar fosfat di dalam larutan tanah sangat kecil, sehingga walaupun terjadi drainase pencucian terhadap P juga sangat kecil. Kehilangan P melalui penguapan sampai saat ini dapat diabaikan. Sedangkan kehilangan P melalui erosi dapat terjadi di dalam tanah terdapat dalam bentuk yang relatif sukar larut, karena fosfat yang diberikan dalam pupuk segera diikat oleh tanah menjadi bentuk yang sukar larut (Tisdale et al., 1999).

2.6. Kalium

Kalium merupakan unsur hara paling dibutuhkan tanaman setelah nitrogen dan fosfor. Kalium diabsorpsi oleh tanaman dalam bentuk ion K+, dan dijumlahkan dalam berbagai kadar di dalam tanah. Bentuk dapat ditukar atau bentuk tersedia bagi tanaman biasanya dalam bentuk pupuk K yang larut dalam air, seperti KCl, K2SO4, KNO3, K-Mg-Sulfat dan pupuk-pupuk majemuk.

Kalium yang cukup dalam tanaman menghasilkan bahan terlarut buah tinggi Rubatzky dan Yamaguchi (1999), sangat berpengaruh besar terhadap proses-proses fisiologi tanaman (Sutandi dan Leiwakabessy, 2004). Kekurangan K pada tanaman maka yang akan terjadi adalah terjadi translokasi K dari bagian-bagian

(11)

tua ke bagian-bagian yang muda atau dari bagian bawah bergerak ke bagian ujung tanaman (Tisdale et al., 1999). Unsur kalium memegang peranan relatif banyak dalam kehidupan tanaman, transportasi unsur hara dari akar ke daun, maupun dalam proses kerja berbagai enzim pertumbuhan (Masdar, 2003).

Tanah-tanah di daerah tropik basah termasuk Indonesia umumnya mempunyai kandungan K sangat rendah. Kalium tanah berasal dari dekomposisi mineral primer, yang ketersediaannya kecil. Berdasarkan ketersediaannya bagi tanaman K-tanah dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu K tidak dapat dipertukarkan (non-exchangeable), yaitu K-mineral yang pelepasannya lambat dan K-difiksasi oleh mineral tipe liat 2 : 1 seperti vermikulit, mineral intergrade, illit (hidus mika) dan khlorit biasanya lebih aktif dan lebih cepat dilepaskan, sedangkan K dapat dipertukarkan (exchangeable) yaitu bentuk K tersedia dan merupakan bentuk yang labil yang cepat tersedia (readily available) serta ada yang lambat tersedia (relatif tersedia), dan bentuk terakhir yaitu K-larutan, tanaman menyerap k dalam bentuk larutan.

2.6.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan K bagi Tanaman Faktor-faktor yan mempengaruhi ketersediaan K bagi tanaman antara lain faktor tanah seperti jenis mineral liat, Kapasitas Tukar Kation (KTK), jumlah K-dapat dipertukarkan, kapasitas untuk fiksasi K, K-lapisan bawah dan kedalaman perakaran, kelembaban tanah, aerasi, suhu tanah, reaksi tanah, pengaruh Kalsium dan Magnesium, pengaruh unsur lain dan pengaruh pengolahan tanah. Sedangkan faktor tanaman yang mempengaruhi ketersediaan K , antara lain kapasitas tukar kation akar, sistem perakaran, varietas atau hibrida, populasi tanaman dan jarak tanam, tingkat produksi, faktor waktu, dan konsumsi mewah atau pengambilan K melampaui kebutuhan tanpa penambahan produksi.

2.7. Tanaman Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.)

Tomat (Lycopersicon esculentum Mill) adalah salah satu jenis sayuran yang banyak digemari orang, sudah lama dibudidayakan oleh para petani di Indonesia. Tomat termasuk sayuran yang dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi, tetapi biasa dibudidayakan dengan baik di dataran tinggi (Rudiyanto, 2003).

(12)

Waktu tanam yang baik dua bulan sebelum musim hujan berakhir. Hal ini untuk menghindari tumbuh suburnya patogen atau penyakit yang biasa menyerang seperti cendawan Fusarium Sp. terutama saat musim hujan (Cahyono, 2008). Masa tanamnya singkat 3-4 bulan. Umur tanaman tomat berkisar 60-100 hari sampai panen pertama dilakukan setelah tanaman berumur 3 bulan sejak benih disebar. Tingginya dapat mencapai 0,5-2,5 meter (Makmun, 2007) sehingga tomat perlu diberi penopang atau ajir yang terbuat dari bambu atau turus kayu agar tidak roboh dan tetap berdiri tegak secara vertikal ke atas (Cahyono, 2008), pemberian ajir dilakukan saat tanaman tomat berumur 3-4 minggu (Makmun, 2007). Benih tomat diperbanyak secara generatif atau dengan biji.

2.8. Tanaman Kailan (Brassica alboglabra)

Kailan atau Brassica alboglabra. Bentuknya yang mirip dengan sawi/caisim atau kembang kol atau biasa disebut dengan sawi cina. Berasal dari Mediterania Timur dan merupakan bahan makanan utama sejak 4000 tahun lalu. Meskipun di Indonesia kailan tergolong jenis sayuran baru, dan termasuk sayuran daun yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Daunnya panjang dan melebar seperti caisim. Sedangkan warna daun dan batangnya mirip dengan kembang kol.

Kailan merupakan sayuran dataran tinggi yang dapat tumbuh sepanjang tahun, semusim atau berumur pendek, tumbuh baik pada suhu udara 15-250C dan pada ketinggian 300-1900 meter di atas permukaan laut (dpl). Kailan sebaiknya ditanam pada akhir musim hujan antara bulan Maret sampai bulan April. Pagi atau sore hari adalah waktu yang tepat untuk penanaman dari bibit ke lapang. Kailan menghendaki keadaan tanah yang gembur dan subur dengan pH 5,5-6,5. Kailan mulai dipanen umur 25 hari setelah tanam, tingginya berkisar 35-45 cm (www.cherryfarms.co.uk/kailan.html.). Adapun pemanenan dilakukan dengan cara dicabut.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah terjadi pengacakan pada gambar, maka gambar yang akan muncul sebagai gambar nomor 1 adalah menjadi gambar nomor 10, dan untuk gambar nomor 2 menjadi

Dalam Pasal 12B ini, perbuatan penerimaan gratifikasi oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang dianggap sebagai perbuatan suap apabila pemberian tersebut

Biogeografi Alga Makro (Rumput) Laut di Kawasan Pesisir Indonesia.. A Field Guide to the British Seaweeds as Required for Assistance in the Classification of Water Bodies

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah : daun anggur (Vitis vinifera L) yang diperoleh dari kota Kartasura; bakteri Staphylococcus aureus yang diperoleh dari

•  To establish a modular architecture, create a schematic of the product, and cluster the elements of the schematic to achieve the types of product variety desired.. Establishing

Gambar 6., menunjukkan pola indeks pengangkatan atau Surface Lifted Index ( SLI ) yang terjadi di wilayah Jawa Barat pada tanggal 22 Desember 1998 menunjukkan kesesuaian dengan

Otonomi organik; otonomi ini mengatakan bahwa rumah tangga adalah keseluruhan urusan yang menentukan mati hidupnya badan otonomi daerah/urusan yang

(1) Monitoring penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk mengendalikan pemenuhan kewajiban yang tercantum pada persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan, dispensasi