© 2003 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Optimalisasi Produksi Alkaloid Indol Terpenoid pada Kultur Kalus dan Suspensi
Sel
Catharanthus roseus
(L.) G. Don. dengan Pemberian HCl dan Variasi
Triptofan dalam Media Kultur
Optimalization of terpenoid indole alkaloid production of Catharanthus roseus (L.) G. Don
callus
and cell suspension culture by HCl treatment and variation of tryptophan in cultures medium
ARI PITOYO, SOLICHATUN, ENDANG ANGGARWULAN Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta 57126
Diterima: 9 Nopember 2002. Disetujui: 25 Desember 2002
ABSTRACT
The objective of this research was to enhance the accumulation of alkaloid indol terpenoid production of Catharanthus roseus callus and cell suspension cultures by HCl treatments and variation of tryptophan in culture medium. The method used in this research was factorial experiment 4 x 4. The first factor was treatment of HCl at 4 levels (pH 5,8, pH 5, pH 4, pH 3) and the second factor was tryptophan concentration in culture medium in 4 levels (0 mg/l, 50 mg/l, and 150 mg/l). TIA compounds was resulted in this research based on the Rf value of Thin Layer Chromatography at silica gel GF 254 plate and the comparison of UV spectra with those of authentic standard by spectrophotometry. The results of this research indicated the specific yield of ajmalicine (Rf = 5,4 , λ = 290) in 14 days of harvesting time. The treatments resulted in significant effect (p< 0,05) on the production of this compound in cell suspension culture at pH level 4 in each concentration of tryptophan consistently until 100 mg/l. However, in callus culture, no significant effects of the treatments in production of this compound observed. Measurement on pH media showed increasing TIA production associated with pH shift between media and cytoplasm, suggested that pH shift plays an important role in TIA production. The conclusion of this research was that HCl treatments and variation of tryptophan in culture medium was effective on the optimalization of alkaloid indol terpenoid production of Catharanthus roseus cell suspension cultures.
Key word: Catharanthus roseus, terpenoid indol alkaloid, HCl, tryptophan. PENDAHULUAN
Catharanthus roseus (L.) G. Don(tapak dara) merupa-kan tanaman penting sumber senyawa alkaloid golongan alkaloid indol terpenoid (AIT) seperti vinblastin dan vinkristin yang berpotensi sebagai anti kanker, serta ajmalisin dan serpentin yang berkhasiat sebagai anti hipertensi. Sebagai metabolit sekunder, alkaloid disintesis dalam jumlah terbatas dibanding metabolit primer, seperti karbohidrat dan lemak. Dalam tumbuhan senyawa metabolit ini seringkali dihasilkan sebagai respon serangan dari luar seperti infeksi bakteri patogen, kompetisi antar organisme, adanya stres temperatur, ultra violet (UV), salinitas, mineral, maupun nutrien (Briskin, 2000).
Pemanfaatan teknologi kultur in vitro yang sebelumnya digunakan untuk pemuliaan dan perbanyakan tanaman, dewasa ini mulai diarahkan untuk memproduksi senyawa metabolit sekunder dalam jumlah besar dalam waktu singkat. Pemanfaatan teknologi ini sekaligus dapat menjawab permasalahan keterbatasan lahan, dan menjaga keseimbangan biodiversitas dengan menghindari eksploitasi berlebihan plasma nutfah sumber obat dari alam (Heble, 1996). Teknik kultur in vitro yang sering dipakai adalah kultur kalus dan kultur sel (Kyte dan Kleyn, 1996).
C. roseus telah diketahui memiliki senyawa alkaloid yang termasuk dalam golongan AIT seperti ajmalisin, ca-tharanthin, vindolin, bisindol, vinblastin, dan vinkristin. Prekursor untuk mensintesis alkaloid indol terpenoid diper-oleh melalui jalur shikimat dan mevalonat, yang masing-masing mensuplai indol triptamin dan iridoid sekologanin (Gambar 1). Triptamin disintesis dari triptofan, sedangkan sekologanin didapatkan dari loganin, yang merupakan turunan dari monoterpenoid geraniol. Tahap awal biosintesis AIT adalah kondensasi antara sekologanin dan triptamin dengan bantuan enzim striktosidin sintase (Str), yang menghasilkan formasi striktosidin, suatu prekursor utama AIT (St-Pierre et al., 1999, Whitmer et al., 1999).
Kompleksitas jalur biosintesis dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi AIT, memicu banyak peneliti yang mencoba meningkatkan kadar senyawa ini melalui penelusuran jalur biosintesisnya. Sering kali dibutuhkan suatu pendekatan kombinasi dari beberapa faktor untuk meningkatkan produksi senyawa tersebut (Sushil dan Shanks, 1998). Berdasarkan hal itu, maka penelitian ini ditujukan untuk meningkatkan produksi AIT melalui kombinasi pemberian HCl dan variasi asam amino triptofan dalam media. Pemberian HCl diharapkan akan meng-asamkan lingkungan intraseluler yang akan mengarahkan
Gambar 1. Skema biosintesis alkaloid indol terpenoid.
proses metabolisme ke arah pembentukan AIT. Hal ini disebabkan adanya dugaan bahwa pengasaman sementara pada lingkungan sitoplasma sebagai signal tranduksi produksi alkaloid (Ross et al., 1998). Sedangkan penambahan triptofan diharapkan akan memberikan pasokan bahan baku untuk pembentukan senyawa tersebut.
BAHAN DAN METODE Bahan
Sumber eksplan. Tanaman yang digunakan sebagai sumber eksplan adalah tanaman C. roseus (tapak dara) berbunga merah muda yang tumbuh di sekitar kampus UNS Surakarta. Sebagai sumber eksplan dipilih daun kedua dari pucuk.
Sterilisasi eksplan. Untuk kebutuhan sterilisasi eksplan sebelum penanaman, digunakan kombinasi sterilan yang terdiri dari alkohol 50% selama 10 detik dilanjutkan dengan sodium hipoklorit 5% selama 1 menit.
Pembuatan media. Media induksi kalus yang digunakan adalah media MS dasar dengan penambahan myoinositol 100 mg/l, 2,4 D 1 mg/l, kinetin 0,5 mg/l dan sukrosa 30 g/l. Pada media kultur kalus ditambahkan agar sebanyak 8 gr/l.
Bahan kimia. Bahan yang digunakan adalah HCl 0,1 N dan variasi triptofan 50 mg/l, 100 mg/l, dan 150 mg/l.
Bahan uji kandungan AIT. Bahan untuk keperluan uji kandungan AIT pada plat silika gel dan spektrofotometer digunakan metanol murni, plat silika gel GF 254, kloroform, etil asetat, dan NaSO4 kering.
Cara Kerja
Penanaman eksplan. Eksplan yang telah disterilisasi dengan menggunakan alkohol 50% selama 1 menit dan sodium hipoklorit 10% selama 10 menit, ditanam pada media inisiasi kalus dalam laminar air flow. Setelah 30 hari dari masa penanaman kalus yang terbentuk di sub kultur pada medium segar. Hasil dua kali siklus sub kultur akan digunakan sebagai bahan percobaan.
Kultur kalus. Kalus yang telah mengalami 2 siklus sub kultur digunakan sebagai bahan untuk perlakuan. Kalus direndam pada medium dengan variasi pH, 3, 4, dan 5 melalui penambahan HCl selama rentang waktu 1 jam. Masing-masing kalus hasil perendaman disub kultur pada medium tanam dengan variasi triptofan 50, 100, dan 150 mg/l. Setelah 14 hari masa penanaman, kalus hasil perlakuan di panen, dan siap untuk di uji kandungan alkaloid indol terpenoidnya.
Kultur suspensi sel. Kalus yang akan digunakan sebagai bahan perlakuan dimasukkan ke dalam media dengan kombinasi perlakuan pengasaman pada pH 5,8 (kontrol), 5, 4, 3 dan variasi triptofan 0 mg/l (kontrol), 50 mg/l, 100 mg/l, 50 mg/l. Setelah 14 hari masa penanaman
Jalur Shikimat Jalur Mevalonat
L - Triptofan
Loganin
Triptamin Sekologanin
Striktosidin
dalam rotary shaker pada kecepatan 150 rpm, kalus hasil perlakuan di panen, dan siap untuk di uji kandungan alkaloid indol terpenoidnya.
Uji kandungan AIT. Uji kandungan alkaloid indol terpenoid dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Metode yang digunakan adalah kombinasi dari uji yang telah dilakukan oleh Manuhara, dkk., (1995) dan Fitriani, dkk., (1999) melalui tiga langkah kerja yaitu , ekstraksi, pengujian secara kualitatif, dan dilanjutkan dengan pengujian secara kuantitatif.
Ekstraksi. Kalus yang telah dipanen diekstraksi dengan metanol murni menggunakan alat pengocok, selama 2 jam, sehingga diperoleh residu dan filtrat. Kemudian ke dalam residu ditambah 25 ml metanol dan dikocok kembali. Filtrat yang diperoleh diuapkan dengan evaporator sampai seluruh pelarut menguap. Ekstrak kasar yang diperoleh dipindahkan ke dalam corong pisah dengan melarutkan dengan 10 ml campuran kloroform: air (1:1) dan dilakukan sebanyak tiga kali. Ke dalam campuran ditambahkan amonia pekat sampai pH larutan > 10, kemudian ditambahkan 60 ml kloroform dan dikocok. Dibiarkan sampai terbentuk 2 lapisan cair antara air dan kloroform. Lapisan dipisah, lapisan kloroform ditambah NaSO4
anhidrin lalu disaring dan diuapkan sampai kering dengan evaporator. Ekstrak kering yang di dapat ditambah sedikit metanol sebelum diuji dengan kromatografi lapis tipis.
Uji kualitatif kandungan AIT. Uji kualitatif kandungan alkaloid indol terpenoid dilakukan dengan kromatografi lapis tipis (KLT), menggunakn plat silika gel GF 254 dan dielusi dengan menggunakan eluen metanol: etilasetat (9: 1), sedangkan untuk menentukan letak bercak digunakan penampak noda lampu uv dengan panjang gelombang 254 nm. Bercak yang terbentuk di hitung nilai Rf-nya dengan mengukur jarak titik tengah bercak sampai titik awal bercak dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh eluen (Harbone, 1987)
Uji kuantitatif kandungan AIT. Hasil positif yang didapatkan dari uji KLT dilanjutkan dengan pengujian menggunakan spektrofotometer UV-Visible pada rentang panjang gelombang 250 – 400 nm untuk mencari nilai panjang gelombang serapan optimum sinar UV. Panjang gelombang yang didapat dibandingkan dengan spektrum panjang gelombang UV senyawa murni alkaloid indol terpenoid untuk memprediksi jenis alkaloid indol terpenoid yang dihasilkan. Besarnya serapan panjang gelombang optimum yang didapatkan digunakan sebagai data kuantitatif kandungan alkaloid indol terpenoid dari tiap ekstrak kalus dan sel pada masing-masing perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan kalus
Kalus pertama terbentuk pada umur 7 hari pasca penanaman eksplan. Pada awal pertumbuhannya kalus yang terbentuk berwarna putih, dan terdapat pada daerah-daerah bekas sayatan. Kalus awal yang terbentuk mengalami pertumbuhan yang sangat lambat, dan segera mengalami pencoklatan pada usia 2 minggu (± 14 hari usia penanaman).
Setelah kalus berumur 3 minggu (21 hari) diadakan subkultur, dengan memindahkan kalus yang terbentuk ke media segar. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, pertumbuhan kalus hasil sub kultur berjalan cepat dan membentuk kurva berbentuk huruf ‘S’ (sigmoid) dengan fase eksponensial berada pada umur 7 – 21 hari pasca sub kultur (Gambar 1). Hasil sub kultur siklus pertama dilanjutkan dengan sub kultur siklus kedua pada usia kalus 30 hari (terhitung sejak sub kultur pertama).
Kemunculan awal kalus pada daerah tepi atau bekas sayatan dimungkinkan sebagai salah satu bentuk respon tumbuhan terhadap terjadinya perlukaan pada jaringan ataupun selnya. Seperti yang telah dijelaskan oleh Leon, et al. (2001) bahwa luka pada jaringan atau sel tumbuhan akan mengaktifasi mekanisme pertahanan diri tumbuhan baik secara lokal maupun sistemik (pada jaringan yang tidak luka) dalam bentuk perubahan arah jalur metabolisme dan menginduksi ekpresi gen-gen tertentu, dan hanya pada jaringan rusak yang akan terbentuk sel tidak beraturan, mengalami dediferensiasi, mengeluarkan senyawa simpanan, dan kehilangan banyak air. Struktur sel yang tidak beraturan ini, berkembang menjadi kalus.
Kalus awal yang terbentuk menunjukkan pertumbuhan yang lambat, dan segera mengalami pencoklatan. Hal ini masih erat kaitannya dengan mekanisme pertahanan diri tumbuhan terhadap perlukaan yang terjadi pada jaringan maupun sel, akibat sayatan ataupun pengaruh dari sterilan yang diberikan, sehingga proses metabolisme tereksploitasi untuk usaha mempertahankan diri. Seperti yang telah dijelaskan oleh Leon, et al. (2001), pada saat terjadi perlukaan, tumbuhan akan segera memproduksi jenis oksigen reaktif (reactive oksigen species), termasuk di dalamnya anion superoksida pada jaringan yang rusak, dan hidrogen peroksida pada skala lokal maupun sistemik. Produksi maksimal superoksida akan terjadi beberapa menit pasca perlukaan, sedangkan hidrogen peroksida akan diproduksi maksimal setelah 4 – 6 jam. Hidrogen peroksida diketahui sebagai respon adanya sistemin. Adapun sistemin berpotensi menyebabkan terjadinya ledakan proses oksidasi (oxydative burst). Jadi wajar jika terjadi pencoklatan secara cepat pada awal pertumbuhan kalus maupun sel.
Gambar 1. Kurva sigmoid pertumbuhan kalus.
Waktu (minggu) 11 10 9 8 7 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 .8 .6 .4 B erat (mg ) Waktu (minggu)
Gambar 2. Hasil kromatografi lapis tipis ekstrak kultur kalus dan suspensi sel C. roseus. (A) kultur suspensi sel, (B) kultur kalus. Setelah dilakukan sub kultur, pertumbuhan kalus
berlangsung cepat, dan akan mencapai fase eksponensial pada usia 7 – 21 hari pasca sub kultur (Gambar 3). Di atas usia tersebut, kalus mulai mengalami perlambatan pertumbuhan, sampai akhirnya konstan dan diikuti dengan pencoklatan. Pencoklatan yang terjadi pada kalus dalam kondisi ini dimungkinkan karena terakumulasinya senyawa fenol dalam kalus. Pencoklatan umumnya berasosiasi dengan kenaikan masukan dari percabangan jalur sikimat, yang akan meningkatkan sintesis asam fenolik dan fenilpropanoid, yang akan berkompetisi dengan percabangan indol. Konsekuensi dari terjadinya pencoklatan ini akan mengakibatkan terhalangnya sintesis triptamin sebagai prekursor alkaloid indol terpenoid. (Whitmer, et al.,1998)
Identifikasi jenis AIT
Uji kromatografi lapis tipis. Deteksi awal adanya akumulasi alkaloid indol terpenoid pada ekstrak kalus dan sel hasil kultur kalus dan kultur suspensi sel C. roseus dilakukan dengan menggunakan kromatografi lapis tipis silika gel G 254 pada eluen metanol dan etil asetat dengan perbandingan 9 : 1 (Gambar 2).
Dengan mengamati Gambar 2 dapat diketahui adanya kandungan alkaloid indol terpenoid pada ekstrak kalus dan
sel C. roseus. Dengan menggunakan kultur kalus,
didapatkan senyawa dengan nilai Rf 0,58, 0,72 dan 0,76. Sedangkan pada kultur suspensi sel didapatkan senyawa dengan nilai Rf 0,58, 0,72, 0,78, dan 0,81.
Pengukuran spektrum UV. Hasil positif yang diberikan pada uji kromatografi lapis tipis, dilanjutkan dengan Identifikasi terhadap spektrum serapan panjang gelombang optimum sinar UV ekstrak kalus dan sel C. roseus untuk megetahui jenis alkaloid indol terpenoid yang terkandung dalam sel atau kalus, dengan membandingkan
spektrum yang didapat dengan spektrum serapan panjang gelombang sinar UV senyawa murni alkaloid indol terpenoid C. roseus (Gambar 3).
Gambar 3. Data spektrum UV serapan panjang gelombang optimum. (A) Estrak kalus (B) Esktrak sel dari media suspensi.
B
A
5,5 cm 3,2 cm 4 c m 4,2 cm 4,5 c m 5,5 cm 4,2 cm 4 c m 4,5 cm 3,2 c mA
B
Gambar 4. Panjang gelombang serapan optimum senyawa murni alkaloid indol terpenoid C. roseus dan prekursor pembentuknya.. (A) Catharanthin (B) Serpentin (C) Tabersosin (D) Vinblastin (E) Vincristin (F) Vindolin (G) Ajmalisin(H) Triptofan (I) Triptamin (J) Secologanin (Thikomiroff, 2001).
Berdasarkan hasil yang ditampilkan pada Gambar 3 da-pat diketahui bahwa serapan panjang gelombang optimum sinar UV ekstrak kalus dan sel C. roseus menghasilkan puncak pada titik 290 nm. Dengan membandingkan hasil yang didapat dengan spektrum serapan panjang gelombang sinar UV senyawa murni terpenoid indol alkaloid (Gambar 4) dapat diprediksi bahwa senyawa alkaloid indol terpenoid yang dihasilkan adalah ajmalisin.
Dominasi ajmalisin pada kultur kalus dan suspensi sel yang dihasilkan dalam penelitian ini diduga karena pengaruh faktor-faktor berikut ini. Pertama: rantai
biosintesis ajmalisin relatif lebih pendek daripada alkaloid indol terpenoid lainnya. Striktosidin sebagai prekursor utama pembentuk terpenoid indol alkaloid akan terlebih dahulu membentuk ajmalisin, tabersonin, dan catharanthin sebelum membentuk alkaloid indol terpenoid lainnya. Kedua: pembentukan ajmalisin selalu berasosiasi dengan pertumbuhan sel atau jaringan. Mengacu pada kurva pertumbuhan kalus, pemanenan pada usia 14 hari pasca sub kultur menunjukkan bahwa pada usia tersebut kalus atau sel berada pada fase eksponensial. Pada fase tersebut pertumbuhan sel berjalan secara cepat.
Gambar 5. Serapan alkaloid indol terpenoid pada panjang gelombang UV 290 nm pada kultur suspensi sel C. roseus.
Gambar 6. Serapan alkaloid indol terpenoid pada panjang gelombang UV 290 nm pada kultur suspensi sel C. roseus. Pengaruh tipe media terhadap produksi AIT
Berdasarkan pengamatan dan uji statistik yang telah dilakukan diketahui bahwa perbedaan tipe media penanaman memberikan hasil yang berlainan terhadap produksi alkaloid indol terpenoid.
Kultur Kalus. Dengan menggunakan kultur kalus, per-lakuan yang diberikan dalam bentuk pengasaman sementa-ra dengan perendaman ke dalam larutan HCl dan perbedaan kadar triptofan dalam media tidak memberikan pengaruh terhadap produksi alkaloid indol terpenoid (Tabel 1).
Tabel 1. Serapan panjang gelombang UV (290 nm) pada kultur kalus C. roseus.*
Variasi Kadar Triptofan Media (mg/l) Pengasaman Kontrol (0) 50 100 150 Kontrol pH 3 pH 4 pH 5 0,49abc 0,64c 0,50abc 0,46abc 0,51abc 0,58bc 0,50abc 0,53abc 0,50abc 0,54abc 0,44abc 0,46abc 0,56abc 0,59bc 0,50abc 0,40a *Huruf yang sama dalam baris dan kolom menunjukkan tidak
berbeda nyata
Hasil uji ANAVA terhadap data pada Tabel 1, menunjukkan hasil yang tidak beda nyata dengan nilai p > 0,05. Hal ini berarti perlakuan yang diberikan tidak berpangaruh terhadap respon yang dihasilkan dalam bentuk produksi alkaloid indol terpenoid.
Kultur suspensi sel. Pada kultur suspensi sel, perlakuan yang diberikan dalam bentuk pengasaman media tanam secara kontinyu dan perbedaan kadar triptofan dalam media memberikan pengaruh terhadap produksi alkaloid indol terpenoid (Tabel 2).
Tabel 2. Serapan panjang gelombang UV (290 nm) pada kultur suspensi sel C. roseus.*
Variasi Kadar Triptofan Media (mg/l) Pengasaman Kontrol (0) 50 100 150 Kontrol pH 3 pH 4 pH 5 0,37a 0,39a 0,40a 0,37a 0,38a 0,35a 0,59b 0,44a 0,36a 0,38a 0,88c 0,42a 0,40a 0,38a 0,78c 0,39a *Huruf yang sama pada baris dan kolom menunjukkan tidak
berbeda nyata. pengasaman pH 3 pH 4 pH 5 kontrol R a ta -ra ta a b so rb a n si .7 .6 .5 .4 .3 kadar Triptofan 0 (kontrol) 50 mg/l 100 mg/l 150 mg/l 0 0.2 0.4 0.6 0.8 absorbansi pH kontrol pH 5 pH 4 pH 3 0 mg/l 50 mg/l 100 mg/l 150 mg/l pengasaman pH 3 pH 4 pH 5 kontrol rat a -ra ta abs orb ans i 1.0 .9 .8 .7 .6 .5 .4 .3 kadar Triptofan 0 (kontrol) 50 mg/l 100 mg/l 150 mg/l 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 absorbansi pH kontrol pH 5 pH 4 pH 3 0 mg/l 50 mg/l 100 mg/l 150 mg/l
Dengan mengamati Gambar 5 dan 6 di atas, dapat diketahui bahwa perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh yang sangat signifikan pada kultur suspensi sel C. roseus pada pH awal 4 dan kadar triptofan dalam media sampai 100 mg/l. Sedangkan pada kultur kalus tidak memberikan hasil yang beda nyata terhadap produksi alkaloid indol terpenoid.
Pengaruh perubahan pH terhadap produksi AIT
Berdasarkan pengukuran terhadap pH media di awal dan akhir perlakuan maka dapat diketahui bahwa perbedaan produksi alkaloid indol terpenoid pada kedua tipe media tersebut sejalan dengan terjadinya perubahan pH media penanaman. Pada kultur kalus perubahan pH media relatif sedikit, kondisi ini diduga erat kaitannya dengan adanya kapasitas agar sebagai pemadat menyebabkan kondisi pH media tetap konstan. Sedangkan pada kultur suspensi sel didapatkan perubahan pH media yang besar terutama pada media dengan pH awal 4. Berdasarkan hasil pengamatan ini, maka perubahan pH media dan pH intraseluler memiliki peran yang dominan terhadap hasil penelitian ini. Adapun data pengukuran pH media awal dan akhir penelitian disajikan pada Tabel 3 dan 4 berikut ini.
Tabel 3. Pengaruh pemberian HCl dan variasi triptofan dalam media kultur suspensi sel C. roseus terhadap pH media.
pH Akhir ph Awal 0 50 mg/l 100 mg/l 150 mg/l 5.8 5.23 5.5 5.26 5.25 5 5.23 5.21 4.89 4.86 4 5.49 5.4 5.1 4.94 3 3.39 3.28 4.5 3.5
Tabel 4. Pengaruh pemberian HCl dan variasi triptofan dalam media kultur kalus C. roseus terhadap pH media.
pH Akhir pH Larutan HCl pH awal Media 0 50 mg/l mg/l 100 mg/l 150 Kontrol 5,8 6,14 5,89 5,93 5,63 3 5,8 5,88 5,63 5,78 5,64 4 5,8 5,65 5,75 5,68 5,45 5 5,8 5,54 5,84 5,73 6,12
Berdasarkan ilustrasi yang ditampilkan pada Gambar 6 dan 7 dapat diamati terjadinya perubahan pH pada media. Perubahan pH media dipengaruhi oleh proses metabolisme yang terjadi dalam sel sebagai respon terhadap lingkungan yang asam. Pada saat sel berada pada lingkungan asam kuat oleh HCl, maka secara langsung sitoplasma sel akan mengalami pengasaman. Hal ini disebabkan HCl memiliki kapasitas untuk menembus membran sel dan mengasamkan lingkungan intraseluler tanpa tergantung pada permea-bilitas membran (Mimura, et al., 2000).
Menghadapi kondisi asam, sel cenderung untuk mem-pertahankan diri, dan melakukan usaha netralisasi melalui beberapa cara yang dapat digolongkan dalam tiga mekanis-me. Pertama, peran dari kapasitas buffer dalam sitoplasma. Misalkan asam amino, asam organik, dan asam fosfat. Mekanisme kedua dikenal sebagai kesetimbangan pH bio-
5.80
5.90
5.80
5.73
5.80
5.73
5.80
5.81
Gambar 6. Perubahan pH media pertumbuhan pada kultur sus-pensi sel C. roseus. Panjang panah menunjukkan ∆ pH
5.80
5.90
5.80
5.73
5.80
5.73
5.80
5.81
Gambar 7. Perubahan pH media pertumbuhan pada kultur sus-pensi sel C. roseus. Panjang panah menunjukkan ∆ pH
kimia, dengan mekanisme ini aktivitas PEP karboksilase dan enzim malat akan mengalami perubahan dalam merespon terjadinya perubahan pH sitoplasma. Sedangkan mekanisme ketiga disebut kesetimbangan pH biofisika. Dengan mekanisme ini pH sitoplasma mengontrol sistem transportasi H+ lintas membran (Mimura et al., 2000)
Kaitan secara langsung antara pengasaman dengan produksi alkaloid belum ada penjelasan yang memuaskan. Akan tetapi pengaruh ini dapat ditelusuri berdasarkan mekanisme mempertahankan diri sel terhadap kondisi lingkungan asam yang dialaminya, baik dalam bentuk proses pengaturan arah metabolisme, transport aktif ion lintas membran, ataupun kapasitas buffer dalam sel.
Mimura et al. (2000) melakukan penelitian mengenai peran fosfat anorganik pada kondisi sitoplasma yang mengalami pengasaman oleh HCl. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa fosfat anorganik mengalami penurunan selama berlangsungnya pengasaman pada lingkungan sitoplasma. Pada sisi lain kandungan fosfat total tidak mengalami perubahan. Hal ini menunjukkan terjadinya konversi atau perubahan dari fosfat anorganik menjadi fosfat organik selama berlangsungnya pengasaman pada lingkungan sitoplasma.
Selain berperan sebagai regulator dalam sel, fosfat anorganik juga mempunyai peran yang dominan dalam sintesis metabolit sekunder. Banyak metabolit sekunder yang disintesis lewat zat antara terfosforilasi, seperti pada golongan terpena, terpenoid, dan fenilpropanoid, yang kemudian diikuti dengan proses defosforilasi. Jadi tahap pemutusan fosfat harus terjadi dalam tahap metabolisme senyawa metabolit sekunder tersebut. Analisis ini diperkuat dengan penelitian yang telah dilakukan Zenk (dalam Manuhara, 1995) yang melaporkan bahwa ketidakhadiran fosfat anorganik dalam media tumbuh, menaikkan induksi terbentuknya alkaloid indol terpenoid dan kumarin pada kultur sel C. roseus dan Nicotiana tabacum secara signifikan. Dari dua penelitian ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa penurunan pH sitoplasma berpengaruh secara tidak langsung terhadap produksi alkaloid indol terpenoid pada kultur in vitro C. roseus melalui peran fosfat anorganik sebagai regulator.
Peran dari perubahan pH pada lingkungan intraselluler terhadap peningkatan sintesis alkaloid indol terpenoid pada kultur in vitro C. roseus, sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh (Morgan, et al., 2000) dalam penelitiannya tentang pengaruh dari buffer media dalam pertumbuhan dan akumulasi senyawa alkaloid indol terpenoid pada kultur rambut akar Catharnthus roseus. Dalam penelitian tersebut pemberian buffer pada media pertumbuhan menyebabkan terjaganya konsistensi pH dalam lingkungan intraselluler atau pH sitoplasma dipertahankan dalam kondisi konstan. Hasil dari pengaruh yang diberikan menunjukkan hasil yang negatif terhadap pertumbuhan dan produksi alkaloid indol terpenoid.
KESIMPULAN
Kombinasi perlakuan dengan pemberian HCl dan variasi kadar triptofan media pertumbuhan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan produksi alkaloid indol terpenoid pada kultur suspensi sel C. roseus pada pH awal media 4 dalam setiap peningkatan kadar triptofan hingga 100 mg/l. Pada kultur kalus C. roseus kombinasi perlakuan dengan pemberian HCl dan variasi kadar triptofan media pertumbuhan tidak berpengaruh pada produksi alkaloid indol terpenoid.
DAFTAR PUSTAKA
Bhadra R, and J.V. Shanks. 1997. Transient studies of nutrient uptake, growth, and indole alkaloid accumulation in heterotrophic cultures of
hairy roots of Catharanthus roseus. Biotechnology and
Bioengineering 55: 527–533.
Bhadra, R., J.V. Shanks, J. Moargan, S. Rijhwani, and S. Vani. 1998. Quantification of metabolites in the indole alkaloid pathway of
Catharanthus roseus: implication for metabolic engineering.
Biotechnology and Bioengineering 58: 333–338.
Briskin D.P 2000. Update on phytomedicines, medicinal plants and phytomedicines, linking plant biochemistry and physiology to human health. Plant Physiology 124: 507–514.
Harborne, J.B., 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Praktis Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Penerjemah K. Padmawinata dan I. Soediro.
Bandung: Penerbit ITB.
Heble, M.R., 1996. Production of secondary metabolites through tissue culture and it’s prospects for commercial use. In A.S. Islam (Ed.).
Plant Tissue Culture. New Hamsire: Science Publisher, Inc. Kyte, L., and J. Kleyn. 1996. Plants from Test Tubes,An Introduction to
Plant Micropropagation. New York: Timber Press Inc.
Leon, J., E. Rojo, J.J. Sanchez-Serano, 2001. Wound signalling in plants.
Journal of Experimental Botany 52 (34): 1 – 9
Manuhara Y.S.W, M. Suryowinoto, dan C.J. Sugiharjo. 1995. Kandungan alkaloid vincristina kalus daun Catharanthus roseus (L.) G. Don pada Berbagai Komposisi Media. BPPS–UGM 8 (3B): 393–405. Mimura, T., C. Shindo, M. Kato, E. Yokota, K. Sakano, H. Ashihara and
T. Shimmen. 2000. Regulation of cytoplasmic pH under extreme acid conditions in suspension cultured cells of Catharanthus roseus: a possible role of inorganic phosphate. Plant Cell 41 (4): 424–431
Morgan, J.A., C.S. Barney, A.H. Penn, and J.V. Shanks. (2000).Effect of buffered media upon growth and alkaloid production of
Catharanthus roseus hairy roots. Applied Microbiology and Biotechnology 53: 262 – 265.
Ross, W., S. Evers, M. Hieke, M. Tshope., and B. Schumann 1998. Shift of intracellular pH distribution as a part of the signal mechanism leading to the elicitation of benzophenanthridine alkaloid. Plant Physiology 118:349-364.
St-Pierre, F.A. Vazquez-Flota, and V. De Luca. 1999. Multicellular compartementation of Catharanthus roseus alkaloid biosynthesis predicts intracellular translocation of a pathway intermediate. Plant Cell 40 (11): 887-900.
Sushil K. R., and J.V. Shanks. 1998. Effect of elicitor dosage and exposure time on biosynthesis of indol alkaloid by Catharanthus roseus hairy root cultures. Biotechnology Program 14: 442 – 449. Tikhomiroff, C. 2001 Étude des métabolismes primaire et secondaire de
racines transformées de Catharanthus roseus en vue du développement d’un modèle cinétique. [Thesis]. Montreal: Ecole Polytechnique de Montreal.
Whitmer S., C. Canel, D. Hallard, C. Goncalves, and R. Verpoorte. 1998. Influence of precursor availability on alkaloid accumulation by transgenic cell line of Catharanthus roseus. Plant Physiology 116: 853–857.