• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL SKALA HUSADA ISSN X Volume 9 Nomor 1 April 2012 Halaman 1-109

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL SKALA HUSADA ISSN X Volume 9 Nomor 1 April 2012 Halaman 1-109"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL SKALA HUSADA

ISSN 1693-931X

Volume 9 Nomor 1 April 2012 Halaman 1 - 109

PENGARUH PEMBERIAN TERAPI TERTAWA TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA LANJUT USIA DI PSTW WANA SERAYA DENPASAR

I Dewa Made Ruspawan, Ni Made Desi Wulandari 1 - 9

PENGARUH PELAKSANAAN KELAS ANTENATAL TERHADAP PERILAKU IBU HAMIL

NW Ariyani, NN Suindri, NN Budiani 10 - 15

ASTAXANTHIN ORAL MEMPERTAHANKAN JUMLAH SEL SPERMATOGENIK MENCIT YANG MENGALAMI AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL

Ni Ketut Somoyani 16 - 21

KEBIASAAN BURUK YANG DAPAT MERUBAH BENTUK WAJAH

Asep Arifin Senjaya 22 - 27

DOSE RESPONSE AND PROTECTION EFFECT OF LYCOPENE TO REACTIVE OXYGEN SPECIES ON HUMAN CELLS

Badrut Tamam dan Suratiah 28 - 32

DEVELOPMENTAL DISPLACEMENT OF THE HIP

Ida Ayu Ratna Dewi Arrisna Artha 33 - 39

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN SARINGAN CADAS AON UNTUK MENYARING AIR PDAM DI DESA SUKAWATI DAN GUWANG KECAMATAN SUKAWATI TAHUN 2010

I Wayan Suarta A, I Nyoman Sujaya, I Nyoman Purna 40 - 43

INDEKS GLIKEMIK MENU MAKANAN RUMAH SAKIT DAN PENGENDALIAN GLUKOSA DARAH PADA PASIEN DIABETES MELITUS RAWAT INAP DI RSUP SANGLAH DENPASAR

Ni Komang Wiardani, Ni Nyoman Sariasih, Yusi Swandari 44 - 50

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG DIPERTIMBANGKAN MASYARAKAT DALAM

PEMBERANTASAN VIRUS RABIES DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEDIRI I KABUPATEN TABANAN TAHUN 2011

I Ketut Aryana, IGA Dewi Sarihati, I Wayan Merta 51 - 59

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI UTILISASI PELAYANAN KESEHATAN GIGI DI PUSKESMAS KABUPATEN TABANAN

I Gede Surya Kencana, I Nyoman Gejir, I Gusti Ayu Raiyanti 60 - 66

THE EFFECTIVITY OF KEGEL EXERCISE TO PREVENT THE OCCURRENCE OF URINE RETENTION AND EDEMA ON THE SUTURES OF THE PERINEUM

NN Sumiasih, NLP Sri Erawati, NM Dwi Purnamayanthi 67 - 72

MOTIVASI PRIA PEDESAAN DAN PERKOTAAN MENJADI AKSEPTOR METODE OPERASI PRIA (MOP) DI BALI

Ni Wayan Armini 73 - 78

APLIKASI SISTEM HACCP PADA RUMAH MAKAN/RESTORAN DI KECAMATAN DENPASAR SELATAN TAHUN 2011

I Nyoman Sujaya, I Wayan Suarta Asmara, I Nyoman Purna 79 - 83

EFEKTIVITAS BUNGA PIRETRUM SEBAGAI INSEKTISIDA NYAMUK AEDES AEGYPTI

Nengah Notes dan Cokorda Dewi Widhya Hana Sundari 84 - 89

DETERMINAN KUALITAS HIDUP PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISA

Edi Nur dan Lely Cintari 90 - 96

HUBUNGAN KEBERSIHAN MULUT DENGAN PENYAKIT SISTEMIK DAN USIA HARAPAN HIDUP

Ratih Larasati 97 - 104

TINGKAT KEPUASAN PENGGUNA LULUSAN JURUSAN KESEHATAN GIGI (JKG) POLTEKKES DENPASAR DI BALI TAHUN 2008

(2)

Ada fenomena menarik yang berkembang belakangan ini di kalangan Dosen Poltekkes Denpasar yaitu mulai digunakannya analisis multivariat sebagai basis penarikan kesimpulan hasil penelitian. Sebagian besar artikel yang dimuat dalam Jurnal Skala Husada edisi kali ini juga menggunakan model analisis multivariat baik yang berupakan regressi logistik maupun regressi linier. Sisi baiknya, penggunaan analisis multivariat sebagai basis penarikan kesimpulan hasil penelitian dapat dijadikan sebagai indikasi mulai berkembangnya wawasan dosen Poltekkes Denpasar dalam menyikapi masalah kesehatan. Harus disadari bahwa pada era modern sekarang ini, tidak ada satupun masalah apalagi masalah kesehatan yang muncul karena penyebab tunggal. Masalah kesehatan harus dipandang sebagai suatu masalah yang bersifat multiplier effect yang muncul karena dipicu oleh banyak faktor. Itulah sebabnya peneliti di bidang kesehatan dituntut memiliki wawasan yang luas agar dapat memahami berbagai permasalahan yang akan dikaji secara lebih komprehensif. Namun perlu disadari bahwa aplikasi analisis multivariat bukannya tanpa kelemahan. Hasil utama dari analisis multivariat adalah model probabilistik yang digunakan untuk mengkuantifikasi hubungan antara variabel independen (faktor yang diduga menjadi penyebab) dan variabel dependen (kejadian suatu penyakit atau dampak masalah kesehatan lainnya), kuantifikasi hubungan inilah yang selanjutnya digunakan untuk meramalkan kejadian suatu penyakit atau dampak masalah kesehatan tertentu berdasarkan berbagai faktor yang dapat diduga secara bebas.

Keterbatasan utama dari model probabilistik adalah bahwa hubungan antara variabel independen dan variabel dependen yang digambarkan dalam model tidak dapat digeneralisasi sebagai suatu hubungan kausal, karena pada model probabilistik hubungan keduanya hanya diamati sebatas hubungan fungsional saja [y = f(x)]. Secara klasik hubungan kausal harus memenuhi dua kriteria yaitu spesifistas kausal danspesifisitas efek. Menurut Susser (1973) spesifisitas kausal baru terpenuhi jika seluruh perubahan pada variabel dependen terjadi karena adanya perubahan pada variabel independen (necessary), atau perubahan pada variabel independen secara tak terhindarkan menyebabkan terjadinya perubahan pada variabel dependen (sufficient).

Terlepas dari segala keterbatasan yang dimiliki, model probabilistik sangat berguna untuk menerangkan etiologi suatu penyakit atau dampak masalah kesehatan tertentu, terutama jika hubungan antara faktor dan dampak bersifat majemuk yang sangat kompleks. Melalui model probabilistik dapat ditaksir frekuensi penyakit atau dampak pada kondisi faktor yang berbeda-beda. Dengan pendekatan statistik yang canggih, model probabilistik juga mampu menerangkan efek dosis-respons pada berbagai tingkatan faktor untuk menaksir perkembangan suatu penyakit atau dampak. Pemahaman tentang efek dosis-respons merupakan landasan yang paling rasional dalam merancang suatu program intervensi. Dengan demikian, model probabilistik mutlak diperlukan sebagai studi kelayakan dalam menyusun program intervensi yang tepat guna dan tepat sasaran.

Berpijak pada kenyataan di atas, redaksi Jurnal Skala Husada sangat mendukung model penarikan kesimpulan hasil penelitian berbasis analisis multivariat. Harapan kami semoga artikel dengan analisis multivariat yang dimuat pada edisi kali ini dapat menjadi bahan pembelajaran bagi dosen yang lain untuk melaksanakan model analisis serupa pada kegiatan penelitiannya di masa yang akan datang.

(3)

PENGARUH PEMBERIAN TERAPI TERTAWA TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA LANJUT USIA DI PSTW WANA SERAYA DENPASAR

I Dewa Made Ruspawan1, Ni Made Desi Wulandari2

Abstract. Aging is a natural process in which the elderly often experience physical

and psychological deterioration, reduced income due to retirement and the loneliness caused by abandoned by a spouse, family or peers. These problems are caused anxiety for the elderly. When anxiety occurs constantly, it will have an impact on quality of life of elderly. Based on the various ways done to reduce the level of anxiety among other drugs (pharmacological) and non-pharmacological (one of them with laughing therapy). The purpose of study is to know the influence of giving laughing therapy on the level of anxiety in the elderly at PSTW Wana Seraya Denpasar. This is a kind of pre-experimental research which use the one-group pretest-posttest design. This study used the elderly who experienced anxiety and involved 27 respondents who chosen by using total sampling, from the result of research it is known that the level of anxiety in the elderly before laughing therapy is 88,9% mild anxiety and moderate anxiety was 11,1%. After laughing therapy was done, got result that 70,4% respondents become normal and 29,6% respondents become mild anxiety level. Based on the analysis done using Wilcoxon test (p d” 0,05), the data obtained was the amount of p = 0,000 with ì pre test 2,11 and ì post test 1,30. So the research hypothesis is accepted that there is the influence of giving laughing therapy on the level of anxiety in the elderly at PSTW Wana Seraya Denpasar Year 2011. From these results expected the officer of PSTW Wana Seraya Denpasar use laughing therapy on a regular basis to overcome psychological problems, especially anxiety in order to get optimal benefits.

Keywords: Elderly, Level of Anxiety, Laughing Therapy

Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologi. Hal ini sesuai dengan pernyataan menyatakan bahwa memasuki usia tua yang dikenal dengan lansia (lanjut usia) berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut yang memutih, gigi mulai tanggal, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat dan postur tubuh yang tidak proporsional1.

Keberadaan lanjut usia ini akhirnya mendorong pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam berbagai bidang. Seiring

dengan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan nasional, telah mewujudkan hasil yang positif terutama terlihat dalam bidang kesehatan. Hal inilah yang menyebabkan meningkatnya kualitas kesehatan serta umur harapan hidup manusia2. Peningkatan populasi lanjut usia ini tentunya diikuti pula dengan berbagai persoalan, kecemasan merupakan salah satu masalah mental yang umum dialami oleh lanjut usia, mempengaruhi 1 dari 10 orang yang berusia diatas 60 tahun1. Studi pendahuluan dilakukan pada 15 orang lanjut usia di Banjar Belong Gede Denpasar Utara tanggal 17 Februari 2011 untuk mengetahui jumlah lanjut usia yang mengalami kecemasan.

(4)

Hasil studi pendahuluan, didapatkan delapan orang mengalami kecemasan ringan (53,33%), satu orang mengalami kecemasan sedang (6,67%) dan enam orang tidak mengalami kecemasan (40%). Berdasarkan hasil studi pendahuluan, dapat dilihat bahwa lanjut usia yang mengalami kecemasan cukup banyak walaupun dukungan keluarga didapatkan secara optimal dan ketersediaan hiburan di masyarakat cukup tinggi.

Kecemasan merupakan masalah psikologis sebagai respon emosional seseorang. Lanjut usia mengalami penurunan kondisi fisik dan psikis, menurunnya penghasilan akibat pensiun, serta kesepian akibat ditinggal oleh pasangan, keluarga atau teman seusia3. Masalah-masalah inilah yang umumnya menimbulkan kecemasan bagi lanjut usia dan pada akhirnya sebagian lanjut usia lebih memilih tinggal di panti sosial.

Salah satu panti sosial yang khusus merawat lanjut usia di kota Denpasar adalah PSTW Wana Seraya Denpasar. Berdasarkan data yang tercatat, lanjut usia yang tinggal di PSTW Wana Seraya Denpasar adalah 48 orang. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 19 Februari 2011 untuk mengetahui kejadian kecemasan pada lanjut usia, diperoleh lansia yang mengalami kecemasan di panti sosial tersebut berjumlah 33 orang (67,34%) dengan alasan yang beragam, antara lain kesepian, ketidakberdayaan dan sakit-sakitan. Umumnya mereka mengatasinya dengan menceritakan masalah yang dialami dengan teman maupun pengurus panti untuk mengurangi kecemasan mereka, namun hal tersebut dirasakan masih kurang efektif karena tidak semua hal dapat dikomunikasikan secara terbuka dengan orang lain, akibatnya kecemasan pun masih sering terjadi. Atas dasar itulah berbagai cara pun dilakukan untuk mengurangi tingkat kecemasan pada lanjut usia antara lain dengan obat anticemas (farmakologis) dan tindakan non-farmakologis.

Obat anticemas menimbulkan banyak efek samping antara lain mengantuk, kinerja

psikomotor dan kemampuan kognitif menurun, penglihatan kabur, konstipasi, sinus takikardia, perubahan EKG, hipotensi, tremor halus dan agitasi4. Obat-obatan ini akan berdampak kurang baik apabila dikonsumsi terus menerus terutama pada lanjut usia yang telah mengalami penurunan fungsi tubuh secara fisiologis. Hal inilah yang mendasari pemilihan alternatif lain yaitu terapi non-farmakologis untuk mengatasi kecemasan. Berdasarkan fenomena tersebut, banyak peneliti akhirnya lebih tertarik untuk meneliti tindakan non-farmakologis dalam mengatasi kecemasan. Salah satu penelitian mengenai pengaruh terapi relaksasi otot progresif terhadap penurunan tingkat kecemasan lanjut usia5. Dari hasil analisis didapatkan bahwa sebelum diberi terapi relaksasi (Pre Test) 62,5 % responden mengalami cemas sedang dan sesudah diberi terapi relaksasi (Post Test) didapatkan 75 % responden mengalami cemas ringan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan ada pengaruh pemberian terapi relaksasi terhadap penurunan tingkat kecemasan.

Terapi lain mulai diteliti untuk mengatasi masalah lanjut usia seperti mulai dikembangkannya terapi tertawa. Terapi ini dapat dilakukan dengan cara memberikan stimulus humor dan sengaja berlatih tertawa. Sebuah penelitian tentang pengaruh terapi tertawa terhadap depresi pada lanjut usia di Wirosaban, Yogyakarta dengan mengambil sampel 100 lanjut usia6. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa terdapat pengaruh pemberian terapi tertawa terhadap tingkat depresi lanjut usia.

Penelitian di atas menunjukkan bahwa terapi tertawa cukup efektif digunakan untuk mengatasi masalah psikologis pada lanjut usia. Hal ini serupa dengan yang diungkapkan oleh Harold Bloomfield, M.D, penulis Healing

Anxiety Naturally dalam buku terapi

tertawa7 yang menyatakan bahwa rasa takut dan cemas sangat sulit dikendalikan dan beliau menyarankan untuk melakukan terapi tertawa sebagai alat untuk menghilangkan kecemasan.

(5)

IDM Ruspawan dan NM Desi Wulandari (Pengaruh pemberian terapi...) Berdasarkan uraian di atas dilakukan

penelitian lebih lanjut mengenai “Pengaruh Pemberian Terapi Tertawa Terhadap Tingkat Kecemasan pada Lanjut Usia di PSTW Wana Seraya Denpasar” dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian terapi tertawa terhadap tingkat kecemasan pada lanjut usia di PSTW Wana Seraya Denpasar.

Metode

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian

pre-experimental karena masih terdapat variabel luar yang ikut berpengaruh terhadap terbentuknya variabel dependen dan tidak adanya variabel kontrol serta sampel tidak dipilih secara random dengan rancangan yang digunakan yaitu one-group pretest-posttest design8. Model pendekatan subyek yang digunakan adalah time series (longitudinal) dengan pengukuran tingkat kecemasan yang dilakukan sebanyak 3 kali yaitu sebelum pemberian terapi tertawa, pada akhir sesi keempat dan akhir sesi kedelapan sesudah diberikan perlakuan (terapi tertawa). Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulan8. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lanjut usia yang mengalami kecemasan dan bertempat tinggal di PSTW Wana Seraya Denpasar berjumlah 32 orang.

Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi8. Sampel dalam penelitian ini adalah lanjut usia yang mengalami kecemasan dan sesuai dengan kriteria inklusi yang ditetapkan dan bertempat tinggal di PSTW Wana Seraya Denpasar yang berjumlah 27 orang.

Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk mewakili populasi, sedangkan teknik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan subyek penelitian9. Adapun teknik sampling yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah total

sampling (sampling jenuh) yaitu teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini sering dilakukan oleh peneliti yang ini membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil8.Adapun sampel yang diambil harus memenuhi kriteria sampel yaitu kriteria inklusi dan eksklusi.

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Subyek Penelitian

Penelitian ini mengambil sampel lanjut usia yang mengalami kecemasan, dari 48 orang lanjut usia yang tinggal di PSTW Wana Seraya Denpasar terdapat 27 orang yang mengalami kecemasan dan sesuai dengan kriterian inklusi. Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 15 Juni 2011 sampai 3 Juli 2011.

Jenis Kelamin

Karakteristik responden penelitian berdasarkan jenis kelamin didistribusikan ke dalam tabel 1 f % Laki- Laki 9 33,3 Wanita 18 66,7 Total 27 100 Jenis Kelamin Hasil pengamatan Tabel 1

Sebaran jenis kelamin sampel

Berdasarkan Tabel 5.1 dapat diketahui bahwa responden terbanyak adalah wanita yaitu 18 responden (66,7%).

Usia

Karakteristik responden penelitian berdasarkan umur yang telah diteliti didistribusikan ke dalam tabel 2.

Kategori Umur f %

Elderly 64-74 th 12 44,4

Old 75-90 th 13 48,1

Very Old > 90 th 2 7,4

Total 27 100

Usia Hasil Pengamatan

Tabel 2 Sebaran usia sampel

(6)

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa responden terbanyak adalah lanjut usia dengan usia 75-90 tahun yaitu sebanyak 13 responden (48,1%).

Tingkat Kecemasan Sebelum Diberikan Terapi Tertawa

Tingkat kecemasan pada lanjut usia sebelum diberikan terapi tertawa di PSTW Wana Seraya Denpasar dapat diterangkan dalam tabel 3. f % Tidak Cemas 0 0 Cemas Ringan 24 88,9 Cemas Sedang 3 11,1 Cemas Berat 0 0 Panik 0 0 Total 27 100 Tingkat Kecemasan Hasil pengamatan Tabel 3

Sebaran tingkat kecemasan sampel sebelum diberikan terapi tertawa

Berdasarkan Tabel 5.3 dapat diketahui bahwa responden di PSTW Wana Seraya Denpasar yang mengalami kecemasan sebanyak 27 orang dengan jumlah kecemasan ringan 24 orang (88,9 %)

Tingkat Kecemasan Setelah Diberikan Terapi Tertawa

Tingkat kecemasan pada lanjut usia setelah diberikan terapi tertawa di PSTW Wana Seraya Denpasar dapat dijabarkan dalam tabel 4. f % Tidak Cemas 19 70,4 Cemas Ringan 8 29,6 Cemas Sedang 0 0 Cemas Berat 0 0 Panik 0 0 Total 27 100 Tingkat Kecemasan Hasil pengamatan Tabel 4

Sebaran tingkat kecemasan sampel sesudah diberikan terapi tertawa

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa responden di PSTW Wana Seraya Denpasar

mengalami perubahan tingkat kecemasan menjadi tidak cemas sebanyak 19 responden (70,4%) dan menjadi cemas ringan sebanyak 8 responden (29,6%).

Pengaruh Pemberian Terapi tertawa Terhadap Tingkat Kecemasan pada Lanjut Usia

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh pemberian terapi tertawa terhadap tingkat kecemasan pada lanjut usia diPSTW Wana Seraya Denpasar. Skor yang sudah didapatkan dari responden mengenai tingkat kecemasan sebelum dan setelah diberikan terapi tertawa kemudian diolah dengan menggunakan teknik analisa non parametric,

yaitu uji Wilcoxon karena data berskala ordinal.

Mean SD Min - Max P Value

Pre Test 2,11 0,32 2 - 3

Post Test 1,30 0,47 1 - 2

0,00 Tabel 5

Pengaruh pemberian terapi tertawa terhadap tingkat kecemasan pada lanjut usia

Berdasarkan tabel 5 didapatkan rata-rata pre test 2,11 dan post test 1,30. Tingkat kecemasan terendah pada saat pre test adalah 2 (cemas ringan) dan tingkat kecemasan terberat adalah 3 (cemas sedang). Sedangkan pada saat post test, tingkat kecemasan terendah adalah 1 (tidak cemas) dan tingkat kecemasan terberat adalah 2 (cemas ringan). Untuk nilai p=0,000 lebih kecil dari 0,05 berarti signifikan. Dari nilai-nilai tersebut dapat menunjukan bahwa hipotesis penelitian diterima berarti terdapat pengaruh pemberian terapi tertawa terhadap tingkat kecemasan lanjut usia di PSTW Wana Seraya Denpasar Tahun 2011.

Tingkat Kecemasan Sebelum

Diberikan Terapi Tertawa pada Lanjut Usia di PSTW Wana Seraya Denpasar

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa lanjut usia yang mengalami kecemasan di PSTW Wana Seraya Denpasar Tahun

(7)

kegairahan atau keinginan, peningkatan kewaspadaan dan pergeseran libido serta masalah-masalah sosial seperti bertambah pelit atau tamak, keinginan berumur panjang, mengharapkan tetap diberi peranan dalam masyarakat, ingin tetap berwibawa serta ingin mempertahankan hak dan hartanya1. Perubahan-perbahan tersebut menimbulkan gangguan alam perasaan atau lebih dikenal dengan kecemasan pada lanjut usia.

Hal ini serupa juga dengan penjelasan bahwa lanjut usia mengalami penurunan kondisi fisik dan psikis, menurunnya penghasilan akibat pensiun, serta kesepian akibat ditinggal oleh pasangan, keluarga atau teman seusia3. Masalah-masalah inilah yang juga menimbulkan kecemasan bagi lanjut usia. Dalam penelitian ini dapat dilihat juga bahwa karakteristik responden terbanyak yang mengalami kecemasan adalah wanita yang berjumlah 18 responden (66,7) dan berada pada kategori umur 75-90 (old). Namun jenis kelamin dan umur tidak mempengaruhi tingginya angka kejadian kecemasan karena kejadian kecemasan lebih tergantung pada tipe kepribadian seseorang. Hal ini diperkuat pernyataan yang menyatakan bahwa kepribadian pencemas lebih rentan untuk menderita gangguan cemas atau dengan kata lain orang dengan kepribadian pencemas akan meningkatkan resiko untuk menderita gangguan cemas yang lebih besar daripada orang yang tidak berkepribadian pencemas4. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kejadian kecemasan pada lanjut usia adalah hal yang umum terjadi, adapun masalah ini berkaitan erat dengan perubahan alamiah yang terjadi pada lanjut usia baik dari segi fisik dan fungsi, psikologis serta sosial, selain itu masalah-masalah seperti penurunan penghasilan dan kesepian juga menjadi faktor penyebab tingginya angka kecemasan pada lanjut usia.

Namun masalah kecemasan ini tidak semata-mata ditentukan oleh faktor jenis kelamin dan usia saja, tipe kepribadian seseorang juga 2011 sebanyak 27 orang dengan jumlah

kecemasan ringan 24 orang (88,9 %) dan jumlah kecemasan sedang 3 orang (11,1%). Kecemasan merupakan salah satu masalah psikologis pada lanjut usia. Kecemasan (ansietas) adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya10. Ansietas dialami secara subyektif dan umumnya dikomunikasikan secara interpersonal. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik.

Adanya permasalahan kecemasan pada lanjut usia juga ditemukan dalam penelitian tentang pengaruh terapi relaksasi otot progresif terhadap penurunan tingkat kecemasan lanjut usia di Panti Werdha Griya Asih Lawang Kabupaten Malang. Sampel dalam penelitian tersebut adalah delapan responden yang telah memenuhi kriteria inklusi5. Dalam penelitian ditemukan bahwa sebelum diberi terapi relaksasi (Pre-Test) 62,5% responden mengalami cemas sedang.

Serupa dengan hasil penelitian di atas, adanya permasalahan kecemasan pada lanjut usia ini berkaitan dengan perubahan alamiah yang terjadi pada lanjut usia baik dari segi fisik dan fungsi, psikologis serta sosial. Perubahan fisik dan fungsi yang terjadi pada lanjut usia meliputi perubahan pada sistem persarafan, sistem indera yang meliputi pendengaran, penglihatan, pernapasan, integumen, perubahan dalam sistem pencernaan, sistem kardiovaskular, sistem pengaturan suhu tubuh, sistem reproduksi baik pria maupun wanita, perubahan dalam sistem genitourinaria yang meliputi ginjal, vesika urinaria, prostat dan vulva, sistem endokrin dan perubahan terakhir dapat dilihat dalam sistem muskuloskeletal. Sistem ini akan mengalami perubahan dari segi bentuk maupun fungsinya secara fisiologis. Disamping perubahan fisik, lanjut usia juga mengalami perubahan psikologis dan sosial. Adapun perubahan yang cenderung terjadi pada lanjut usia meliputi sikap yang semakin egosentik, mudah curiga, berkurangnya

(8)

bahwa individu yang penyesuaian dirinya baik, maka stres dan kecemasan dapat diatasi dan ditanggulanginya4. Dengan demikian, tingkat kecemasan dapat mengalami perubahan atau dengan kata lain mengalami penurunan bila seseorang dapat menyesuaikan diri terhadap masalah yang dihadapi.

Hal ini kembali diperkuat oleh teori Hodgkinson (1991) yang menyatakan bahwa jika seseorang mengalami kecemasan dan dilatih untuk mengontrol wajah yang tepat, sehingga mereka terlihat bahagia sebagai pengganti ekspresi sedih, maka mereka akan mulai merasa lebih baik15.

Penurunan tingkat kecemasan sangat bergantung pada penyesuaian diri seseorang terhadap masalah yang dihadapinya. Apabila penyesuaian dirinya baik maka masalah pun dapat segera diatasi dan tentunya masalah kecemasan pun dapat berkurang. Selain itu latihan untuk mengontrol wajah yang tepat dengan cara berlatih tertawa pada saat mengalami masalah psikologis merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menurunkan tingkat kecemasan.

Pengaruh Terapi Tertawa terhadap Tingkat Kecemasan pada Lanjut Usia

Berdasarkan hasil penelitian pengaruh terapi ertawa terhadap tingkat kecemasan pada lanjut usia di PSTW Wana Seraya Denpasar didapatkan bahwa nilai p = 0,000 lebih kecil dari 0,05 berarti signifikan dan µ pre test 2,11 lebih besar dari µ post test 1,30, sehingga hipotesis penelitian diterima berarti terdapat pengaruh pemberian terapi tertawa terhadap tingkat kecemasan pada lanjut usia di PSTW Wana Seraya Denpasar Tahun 2011. Hasil penelitian ini penurunan tingkat kecemasan pada siswa kelas 3 menjelang Ujian Akhir Nasional (UAN) di SMAN 4 Purwokerto dengan menggunakan terapi tertawa14. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa tingkat kecemasan siswa kelas 3 mengalami penurunan setelah diberikan terapi tertawa. Hal ini berarti terapi tertawa berpengaruh terhadap penurunan tingkat memiliki peranan yang sangat penting dalam

menentukan respon seseorang terhadap masalah yang dihadapinya.

Tingkat Kecemasan Setelah Diberikan Terapi Tertawa pada Lanjut Usia

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa tingkat kecemasan pada lanjut usia setelah diberikan terapi tertawa di PSTW Wana Seraya Denpasar sebanyak 19 responden (70,4%) mengalami perubahan tingkat kecemasan menjadi tidak cemas dan sebanyak 8 responden (29,6%) berada pada tingkat kecemasan ringan.

Terdapat beberapa penelitian serupa yang menunjukkan adanya perubahan pada tingkat permasalahan psikologis yang terjadi karena pengaruh pemberian terapi tertawa. Penelitian serupa tentang pengaruh pemberian terapi tertawa terhadap stres psikososial pada usia lanjut di Karang Werda “Ngudi Mukti” Kelurahan Kartoharjo, Kecamatan Nganjuk, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur11. Penelitian ini dilakukan pada 20 orang responden. Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa 18 orang (90%) mengalami penurunan dan hanya dua orang (10%) yang tidak mengalami penurunan tingkat stres psikososial.

Penelitian lain mengenai pengaruh terapi tertawa terhadap tingkat depresi ringan pada 25 orang lanjut usia di PSTW Wana Seraya Denpasar12. Setelah dilakukan terapi tertawa diperoleh 17 orang lanjut usia (32,1%) mengalami perubahan tingkat depresi ringan menjadi normal dan delapan orang (15,1%) tidak mengalami perubahan tingkat depresi ringan setelah pemberian terapi tertawa. Penelitian serupa yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi tertawa terhadap penurunan tingkat kecemasan pada siswa kelas 3 menjelang Ujian Akhir Nasional (UAN) di SMAN 4 Purwokerto14. Rata-rata tingkat kecemasan pada kelompok perlakuan sebelum terapi adalah 26,66 dan setelah dilakukan terapi adalah 10,72.

Adanya perubahan tingkat kecemasan ini diperkuat dengan teori yang menyatakan

(9)

dapat menangkap lebih banyak oksigen. Oksigen ini akan dialirkan ke seluruh tubuh dalam jumlah yang lebih banyak. Jumlah oksigen yang cukup banyak dalam sistem peredaran darah memberikan dampak pada pengaturan temperatur di otak yaitu dapat mendinginkan otak. Hal ini mempengaruhi pengeluaran neurotransmiter yakni hormon serotonin, endorfin dan melatonin yang membawa keadaan emosi dan perasaan keseluruh bagian tubuh.

Serupa dengan penjelasan tersebut, dokter yang juga President Director dari Institute for Cognitive Research, dr. H. Yul Iskandar, Ph.D, psikiater dari Rumah Sakit Khusus Dharma Graha, Jakarta dalam Adnol (2009) menyatakan bahwa ketika seseorang tertawa maka tubuhnya akan menghasilkan zat baik seperti melatonin, endorfin dan serotonin yang menekan kortisol, adrenalin serta radikal bebas.

Serotonin menimbulkan efek vasodilatasi pembuluh darah yang akhirnya akan meningkatkan peredaran O2 ke seluruh tubuh17. Serotonin normalnya menimbulkan dorongan bagi sistem limbik untuk meningkatkan perasaan seseorang terhadap rasa nyaman, menciptakan rasa bahagia, rasa puas, nafsu makan yang baik, dorongan seksual yang sesuai, dan keseimbangan psikomotor.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, dapat diambil simpulan yaitu: 1). Tingkat kecemasan pada lanjut usia di PSTW Wana Seraya Denpasar Tahun 2011 sebelum dilakukan terapi tertawa berada pada tingkat kecemasan ringan yaitu sebanyak 24 orang (88,9 %). 2). Perubahan tingkat kecemasan pada lanjut usia di PSTW Wana Seraya Denpasar Tahun 2011 setelah dilakukan terapi tertawa didapatkan perubahan tingkat kecemasan menjadi tidak cemas sebanyak 19 responden (70,4%). 3). Terapi tertawa berpengaruh signifikan terhadap tingkat kecemasan pada lanjut usia di PSTW Wana kecemasan pada siswa kelas 3 menjelang ujian

akhir nasional di SMA N 4 Purwokerto. Penelitian lain yang serupa tentang pengaruh pemberian terapi humor terhadap penurunan tingkat kecemasan pada narapidana menjelang masa pembebasan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Malang16. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pada kelompok eksperimen yang diberi perlakuan terapi humor menunjukkan adanya penurunan kecemasan pada lima subyek dari tujuh subyek yang terdapat pada kelompok eksperimen (71,4%). Sedangkan pada kelompok kontrol, yang tidak diberikan perlakuan apapun, menunjukkan terjadinya kenaikan skor kecemasan. Hal ini menunjukkan bahwa terapi humor dapat berpengaruh terhadap penurunan kecemasan narapidana menjelang masa pembebasan. Penelitian-penelitian ini diperkuat dengan teori yang dinyatakan oleh Waynbaum (1906) seorang fisiolog dari Prancis yang terkenal dengan teori The Vascular Theory of

Emotional Efferance15. Waynbaum

menyatakan bahwa ketika otot wajah bergerak, maka akan terjadi mekanisme hormonal di otak, selanjutnya otot-otot wajah berperan sebagai pengikat pada pembuluh darah dan mengatur aliran darah ke otak. Aliran darah ini mempengaruhi temperatur di otak dan perubahan temperatur di otak ini berhubungan dengan perasaan subyektif yang dialami seseorang. Hal ini serupa dengan pernyataan Hodgkinson (1991) yang merupakan orang pertama yang menyatakan bahwa, gerakan otot zygomatic mayor (otot yang dapat menarik sudut bibir ke atas sampai tulang pipi) merupakan pusat ekspresi pengalaman emosi positif15.

Teori Waynbaum dan Hodgkinson di atas diperkuat kembali oleh Zajonc (1989) yang menjelaskan dengan lebih rinci bahwa pada saat tertawa, 15 otot muka berkontraksi dan mendapatkan rangsangan efektif pada sebagian besar otot mulut15. Saat mulut terbuka dan tertutup ini, ada suatu dorongan untuk mengisap udara yang cukup, sehingga

(10)

Seraya Denpasar Tahun 2011, karena berdasarkan uji statistik Wilcoxon diperoleh nilai p = 0,000 lebih kecil dari 0,05 berarti signifikan dengan µ pre test 2,11 dan µ post test 1,30.

Beberapa hal yang dapat disarankan adalah: 1). Petugas PSTW Wana Seraya Denpasar dapat menggunakan terapi tertawa sebagai suatu alternatif bagi lanjut usia, melanjutkan pemberian terapi yang telah peneliti lakukan. 2). Penelitian lebih lanjut berkaitan dengan terapi tertawa dan kecemasan, diharapkan dapat menggunakan kelompok kontrol dengan sampel yang banyak, menjelaskan cara pengisian instrumen dengan jelas dan benar serta membacakannya untuk memudahkan peneliti mengajukan pertanyaan dan tentunya memudahkan juga bagi responden untuk menjawab serta menegaskan pada responden bahwa penelitian ini untuk kepentingan responden dan hasilnya dapat bermanfaat bagi responden.

Daftar Pustaka

1. Nugroho,W.. Keperawatan Gerontik & Geriatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC ; 2008

2. Irwanasir, R. Kondisi dan Permasalahan Penduduk Lansia, (online), (http://www.Komnaslansia. or.id, diakses tanggal 20 Februari 2011); 2009.

3. Stanley, M, dkk. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Terjemahan oleh Eny Meiliya. 2006. Jakarta: EGC ; 2006.

4. Hawari, D. Manajemen Stres Cemas dan Depresi. Jakarta: Balai Pustaka Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2001.

5. Wahyuni. Pengaruh Terapi Relaksasi

Otot Progresif Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan Lanjut Usia di Panti Werdha Griya Asih Lawang Kabupaten Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Program Diploma III Keperawatan Universitas Muhammadiyah Malang, (online), (http://etd.eprints.umm.ac.id, diakses tanggal 18 Februari 2011) ; 2006. 6. Nugraheni, A, Sumarni,DW dan

Mariyono, SW. Pengaruh Terapi Tertawa ; 2006.

7. Ayu, A. Terapi Tertawa Untuk Hidup Lebih Sehat Bahagia & Ceria. Yogyakarta: Pustaka Larasati ; 2010. 8. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta ; 2010. 9. Nursalam. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika ; 2008.

10. Stuart, G.W. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi V. terjemahan oleh Pamilih Eko Karyuni.2007. Jakarta: EGC ; 2007.

11. Lusian, Dewi. Pengaruh Pemberian Terapi Tertawa Terhadap Stres Psikososial pada Usia Lanjut di Karang Werda “Ngudi Mukti” Kelurahan Kartoharjo, Kecamatan Nganjuk, Kabupaten Nganjuk. Skripsi tidak diterbitkan, (Online), (http:// skripsistikes.wordpress.com, diakses tanggal 20 Februari 2011) ; 2009. 12. Pramayanthi, Dewi. Pengaruh Terapi

Tertawa terhadap Tingkat Depresi Ringan pada lanjut Usia di PSTW Wana Seraya Denpasar. Skripsi tidak diterbitkan. Denpasar: Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas

(11)

16. Fahruliana. Pengaruh Pemberian terapi Humor Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan Pada Narapidana Menjelang Masa Pembebasan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang. Skrispsi tidak diterbitkan. Fakultas Fisikologi, Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, (Online) (http://lib.uin-malang.ac.id, diakses tanggal 18 Februari 2011 ; 2011

17. Guyton, Arthur and Hall,John. Buku Ajar Fisiologi Ledokteran. Terjemahan Oleh Irawati Setiawan. 2002. Jakarta: EGC ; 2002.

IDM Ruspawan dan NM Desi Wulandari (Pengaruh pemberian terapi...) 13. Kedokteran Universitas Udayana ;

2010.

14. Pramita, Yessy Widodo. Pengaruh Terapi Tertawa terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan pada Siswa Kelas 3 Menjelang Ujian Akhir (UAN) di SMAN 4 Purwokerto. Skripsi tidak diterbitkan. Purwokerto: PSIK Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto (http://perpus.unsoed .ac.id, diakses tanggal 18 Februari 2011) ; 2010.

15. Subandi, (Ed). Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset ; 2002.

(12)

PERILAKU IBU HAMIL

NW Ariyani1, NN Suindri2, NN Budiani3

Abstract. Every pregnancy is a life event that has great significance. The Body

changes that are so much and was relatively brief stressful for parents. Antenatal classes are a model study for parents. Its activities are learning together about healthcare for pregnant women, in the form of face to face which aims to increase knowledge and skills of mothers about pregnancy, prenatal care, childbirth, postpartum care, infant care, infectious diseases and birth certificate. Is to determine the effect of the implementation of antenatal classes on behavior of pregnant women. The aim of this study was to investigate the effectsof the antenatal classes on behavior (knowledge, attitudes and actions) of pregnant women. This study used an Quasi-experimental with “non-randomized control group pretest-postest design”. Experimental groups are pregnant women who follow antenatal classes, the control group are pregnant women who followed the health service comvensional. Inclusion criteria: primigravida pregnant women gestational age 20-32 weeks, willing to follow a course (for the experimental group). Sampling techniques in the study were consecutive sampling. Data analysis begins by conducting a test for normality with Shapiro-Wilk test (p:> 0.05) because the data are not normally distributed, to analyze the differences in behavior between the experimental group with the control group the Mann Whitney (p; <0.05)

Respondents were 35 people in the treatment group and 38 people in the control group. The analysis showed that there were highly significant differences in changes in knowledge (p: 0.000), attitude (p: 0.000), and action (p: 0.000) between treatment groups (pregnant women who follow antenatal classes) with the control group (pregnant women who follow antenatal care in Conventional). The treatment of the course affected the behavior (knowledge, attitudes and actions) of pregnant women. Activity classes are considered as one of the methods of health counseling in pregnant women.

Keywords: antenatal classes, pregnancy, behavioral

1,2,3 Dosen Jurusan Kebidanan Poltekkes Denpasar Kematian dan kesakitan ibu hamil, bersalin

dan nifas masih merupakan masalah besar negara berkembang termasuk Indonesia. Di negara miskin, sekitar 25-50% kematian wanita usia subur disebabkan oleh masalah yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan, dan nifas. Berdasarkan hasil SDKI 2007 derajat kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih perlu ditingkatkan, ditandai oleh Angka Kematian Ibu (AKI) yaitu 228/ 100.000 Kelahiran Hidup1.

Derajat kesehatan seseorang banyak ditentukan oleh pengetahuan, sikap dan perilaku hidupnya. Penyebab tingginya angka kematian ibu dan bayi di Indonesia juga diwarnai oleh sebab – sebab non teknis seperti taraf pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu hamil yang masih rendah. Pengetahuan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik tentang sesuatu hal, maka ia akan cenderung mengambil keputusan yang lebih tepat

(13)

perawatan kehamilan, persalinan, perawatan nifas, perawatan bayi, mitos, penyakit menular dan akte kelahiran. Kelas antenatal adalah kelompok belajar ibu-ibu hamil dengan umur kehamilan antara 20 minggu s/d 32 minggu dengan jumlah peserta maksimal 10 orang3.

Untuk mengetahui efektivitas pendidikan kesehatan pada ibu hamil maka perlu diteliti tentang pengaruh pelaksanaan kelas antenatal terhadap perilaku ibu hamil. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan kelas antenatal terhadap perilaku ibu hamil.

Metode

Penelitian ini menggunakan desain Quasi eksperimen “non-randomized pretest-postest control group design”. Alasan penggunaan desain ini adalah peneliti tidak melakukan randomisasi dalam menentukan kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Penelitian dilaksanakan di Puskesmas dan Bidan Praktik Swasta (BPS) di Wilayah Kota Denpasar, Gianyar, dan Badung yang memiliki angka kunjungan ibu hamil usia kehamilan ≥≥≥≥≥" 20 minggu sebanyak ≥≥≥≥≥10pasien/bulan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil usia kehamilan 20 minggu keatas yang mendapatkan pelayanan antenatal di Puskesmas dan BPS di Wilayah Kota Denpasar, Gianyar, dan Badung mulai bulan Juli sampai dengan bulan September 2011. Sampel penelitian adalah semua ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal di Puskesmas dan BPS di Wilayah Kota Denpasar, Gianyar, dan Badung mulai bulan Juli sampai dengan bulan September 2011 dengan kriteria inklusi sebagai berikut: Ibu hamil primigravida yang bersedia menjadi subjek penelitian, tingkat pendidikan minimal lulus SMP, usia kehamilan 20 - 32 minggu, bersedia mengikuti kelas antenatal (untuk kelompok eksperimen), bersedia mendapat-kan pelayanan antenatal secara teratur sebanyak 3 kali ( untuk kelompok kontrol ). Teknik sampling dalam penelitian ini adalah

consecutivesampling. berkaitan dengan masalah tersebut

dibandingkan dengan mereka yang pengetahuannya rendah2.

Setiap kehamilan adalah peristiwa kehidupan yang mempunyai makna besar. Perubahan – perubahan yang yang begitu banyak dan terjadi relatif singkat menimbulkan stres bagi calon orang tua. Calon orang tua datang ke petugas kesehatan, untuk bisa menjawab berbagai pertanyaan tentang perubahan yang terjadi3.

Dewasa ini penyuluhan kesehatan Ibu dan Anak pada umumnya masih banyak dilakukan melalui konsultasi perorangan atau kasus per kasus yang diberikan pada waktu ibu memeriksakan kandungan atau pada waktu kegiatan posyandu. Kegiatan penyuluhan semacam ini bermanfaat untuk menangani kasus per kasus namun memiliki kelemahan antara lain:1) Pengetahuan yang diperoleh hanya terbatas pada masalah kesehatan yang dialami saat konsultasi; 2) Penyuluhan yang diberikan tidak terkoordinir sehingga ilmu yang diberikan kepada ibu hanyalah pengetahuan yang dimiliki oleh petugas saja; 3) Tidak ada rencana kerja sehingga tidak ada pemantauan atau pembinaan secara lintas sektor dan lintas program, 4) Pelaksanaan penyuluhan tidak terjadwal dan tidak berkesinambungan1.

Hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) bekerja sama dengan Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2008 di daerah Nusa Tenggara Barat menemukan terdapat peningkatan pengetahuan sikap dan perilaku positip dalam menghadapi kehamilan, persalinan dan masa nifas pada ibu hamil yang mengikuti kelas

antenatal.(1)

Kelas antenatal adalah model belajar untuk calon orang tua yang baru mulai disosialisasikan di Indonesia. Kegiatannya adalah belajar bersama tentang kesehatan bagi ibu hamil, dalam bentuk tatap muka yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan ibu-ibu mengenai kehamilan,

(14)

Penelitian dilaksanakan sampai jumlah sampel minimal yang memenuhi kriteria inklusi terpenuhi4. Semua data (pengetahuan, sikap dan tindakan ibu hamil) diperoleh melalui pengisian kuesioner. Sebelum pelaksanaan penelitian dilakukan uji coba kuesioner pengetahuan dan sikap ibu hamil di BPS pada 30 orang ibu hamil. Hasil analisis menunjukkan selurus item pertanyaan reliabel dan valid.

Proses analisis data diawali dengan melakukan uji normalitas dengan uji Uji Shapiro-Wilk

(p; >0,05). Hasil uji normalitas data menunjukkan semua data tidak berdistribusi normal, untuk menganalisis perbedaan perilaku antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol menggunakan uji Mann Whitney ( p; <0,05).

Hasil Dan Pembahasan

Penelitian dilaksanakan di Bidan Praktik Swasta (BPS) di Wilayah Kota Denpasar, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Badung serta Pos Praktik Poltekkes Denpasar. Persyaratan utama lokasi penelitian, yaitu yang memiliki kunjungan ibu hamil usia kehamilan 20 minggu ke atas lebih dari 10 orang per bulan. Berdasarkan pertimbangan tersebut , maka dipilih BPS G.A Widiasih, A.Md keb di Wilayah Gianyar, BPS Ni Nyoman Indahwati, A.Md.Keb di Wilayah Badung, dan BPS Ayu Indiyani di Wilayah Denpasar. Perlakuan dilakukan di dua tempat, yaitu BPS G.A. Widiasih dan Pos praktik Poltekes Denpasar. BPS G.A. Widiasih sudah melaksanakan kegiatan senam hamil setiap minggu, dari pukul 09.00 sampai selesai dengan peserta senam 15 s.d. 20 orang. BPS Made Ayu Indiyani dan BPS Ni Nyoman Indahwati dijadikan sebagai lokasi penelitian untuk kelompok kontrol. Rata – rata kunjungan ibu hamil di dua BPS tersebut lebih dari 30 orang per bulan.

Jumlah responden yang diperoleh selama proses penelitian adalah 40 orang untuk perlakuan, drop out lima orang karena tidak mengikuti kegiatan kelas antenatal secara

penuh. Kelompok kontrol diperoleh sebanyak 40 orang, drop out dua orang karena tidak melaksanakan antenatal sebanyak 3 kali selama periode penelitian. Sampai akhir penelitian diperoleh responden sebanyak 35 orang untuk kelompok perlakuan dan 38 orang untuk kelompok kontrol4.

Deskripsi pengetahuan, sikap dan tindakan kelompok perlakuan (ibu

hamil yang mengikuti kelas antenatal)

Deskripsi pengetahuan, sikap dan tindakan sebelum dan sesudah mengikuti kelas

antenatal diuraikan pada tabel 1.

Median Min Max IQR Sebelum 46 43 52 3 Sesudah 88 80 93 9 Sebelum 58 50 74 8 Sesudah 75 71 84 9 Sebelum 64 57 79 14 Sesudah 86 79 100 7 Tabel 1

Deskripsi pengetahuan, sikap dan tindakan kelompok perlakuan

Variabel Pengetahuan Sikap Tindakan

Pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa pada pada variabel pengetahuan, sikap dan tindakan kelompok perlakuan terdapat peningkatan nilai median, nilai minimum, dan nilai maximum antara sebelum dengan sesudah perlakuan. Hasil penelitian ini menunjukkan pada variabel pengetahuan, sikap dan tindakan kelompok perlakuan terdapat peningkatan nilai median, nilai minimum, dan nilai maximum antara sebelum dengan sesudah perlakuan. Perlakuan yang diberikan berupa kelas

antenatal. Responden mengikuti pertemuan kelas antenatal sebanyak tiga kali, memperoleh informasi tentang kehamilan, persalinan, nifas, bayi, dan keluarga berencana. Informasi yang diperoleh selama mengikuti kelas antenatal meningkatkan kemampuan responden. Kelebihan dari metode kelas antenatal yaitu, petugas dituntut untuk lebih menguasai materi yang akan disampaikan saat kegiatan kelas antenatal. Dampaknya adalah, informasi yang disampaikan lebih lengkap dan akurat1.

(15)

Deskripsi pengetahuan, sikap dan tindakan kelompok kontrol (ibu hamil

yang mengikuti antenatal secara

kompensional)

Deskripsi skor pengetahuan, sikap dan tindakan sebelum dan sesudah mengikuti kelas antenatal diuraikan pada tabel 2.

Median Min Max IQR Sebelum 46 38 59 3 Sesudah 68 59 75 3,5 Sebelum 58 50 63 8 Sesudah 71 67 79 4,3 Sebelum 71 57 79 8,8 Sesudah 79 64 86 8 Sikap Tindakan Tabel 2

Deskripsi pengetahuan, sikap dan tindakan kelompok kontrol

Variabel Pengetahuan

Pada tabel dua terlihat bahwa pada pada variabel pengetahuan, sikap dan tindakan kelompok kontrol terdapat peningkatan nilai median, nilai minimum, dan nilai maximum sebelum dengan sesudah mengikuti antenatal care secara kompensional

Hasil penelitian ini menunjukkan pada variabel pengetahuan, sikap dan tindakan kelompok kontrol terdapat peningkatan nilai median, nilai minimum, dan nilai maximum sebelum dengan sesudah mengikuti antenatal care secara kompensional Kegiatan antenatal care

dilaksanakan kasus per kasus (individual). Selama periode penelitian responden harus mengikuti tiga kali antenatal care. Pendekatan asuhan yang dilaksanakan dengan menggunakan manajemen Varney. Mulai dari mengkaji data dasar, menginterpretasi data dasar, merencanakan asuhan, melaksanakan dan mengevaluasi tindakan5. Pendekatan yang dilaksanakan kasus per kasus dengan menggunakan manajemen asuhan memberikan perubahan kemampuan pengetahuan, sikap dan tindakan responden. Peningkatan pengetahuan, sikap dan tindakan pada kelompok kontrol tampak lebih kecil dari kelompok perlakuan. Kelemahan dari pendekatan kasus per kasus, yaitu kesiapan petugas dalam memberikan

pendidikan kesehatan untuk menangani masalah – masalah yang dihadapi ibu hamil kurang optimal. Kondisi tersebut terjadi karena permasalahan yang dihadapi setiap ibu hamil berbeda dan sangat beragam, sehingga tidak semua masalah bisa diatasi petugas1.

Pengaruh pelaksanaan kelas antenatal

Terhadap Perilaku ibu hamil.

Berikut diuraikan tentang pengaruh pelaksanaan kelas antenatal terhadap perilaku ibu hamil, dinilai dari perbedaan pengetahuan, sikap, dan tindakan. Tabel 3 memaparkan tentang perbedaan pengetahuan, sikap dan tindakan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah perlakuan. Statistik p Statistik p Pengetahuan 595,0 0,422 0,00 0,00 Sikap 566,5 0,235 210,00 0,00 Tindakan 599,5 0,440 77,50 0,00 Tabel 3

Hasil uji perbedaan kelompok perlakuan dan kontrol sebelum dan sesudah perlakuan Variabel Sebelum Sesudah

Pada Tabel 3 terlihat, tidak terdapat perbedaan pengetahuan (p; 0,422), sikap (p; 0,235), dan tindakan (p; 0,44) antara kelmpok perlakuan dengan kelompok kontrol sebelum mendapat perlakuan. Setelah mendapat perlakuan terdapat perbedaan yang signifikan, yaitu pada variabel pengetahuan (p; 0,000), sikap (p; 0,000), tindakan (p; 0,000), antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol.

Pengaruh perlakuan (kelas antenatal) terhadap perilaku ibu hamil dilihat dari hasil analisis perbedaan perubahan pengetahuan, sikap dan tindakan antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan perubahan pengetahuan yang sangat bermakna (p; 0,000), sikap (p; 0,000), dan tindakan (p;0,000), antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

(16)

keluarganya : 1) Agar ibu mengerti tentang kelas ibu hamil; 2) Agar ibu bisa mengaplikasikan informasi maupun pegetahuan yang berkaitan dengan proses kehamilan hingga persalinannya ke dalam kehidupan sehari-hari; 3) Menambah wawasan keluarga tentang kelas ibu hamil; 4) Merupakan sarana untuk mendapatkan teman, bertanya, memperoleh informasi penting yang harus dipraktikkan; 5) Membantu ibu dalam menghadapi persalinan dengan aman dan nyaman.

Bagi petugas kesehatan, kegiatan kelas

antenatal menuntut petugas lebih mendalami pengetahuan tentang kesehatan ibu hamil dan keluarganya serta dapat menjalin hubungan yang lebih erat dengan ibu hamil serta keluarganya dan masyarakat. Kegiatan kelas

antenatal memberikan kesempatan lebih luas pada ibu hamil untuk memperoleh informasi baik dari petugas kesehatan maupun dari sesama anggota kelas antenatal. Dampaknya adalah peningkatan pengetahuan tentang kehamilan, persalinan, nifas, bayi dan KB. Peningkatan pengetahuan berdampak pada sikap ibu hamil. (1,8) Menurut Widayatun (1999) ada dua faktor yang mempengaruhi sikap yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrisik meliputi kepribadian, intelegensi, bakat, minat, perasaan, kebutuhan serta motivasi seseorang, sedangkan faktor ekstrinsik antara lain lingkungan, pendidikan, ideologi, ekonomi, politik, dan hukum. Pengetahuan dan sikap akhirnya mempengaruhi tindakan ibu hamil untuk mempersiapkan menghadapi persalinan, masa nifas, bayi dan pemilihan alat kontrasepsi.

Kesimpulan dan saran

Terdapat pengaruh pelaksanaan kelas

antenatal terhadap perilaku (pengetahuan dan sikap, tentang kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir dan kontrasepsi serta tindakan persiapan persalinan) ibu hamil. Kepada praktisi kebidanan, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk melaksanakan kegiatan kelas antenatal.

Hal tersebut berarti pelaksanaan kelas antenatal berpengaruh terhadap perilaku (pengetahuan, sikap, dan tindakan) ibu hamil. Perubahan pada kelompok perlakuan lebih besar dari kelompok kontrol. Hasil penelitian ini menunjukkan pelaksanaan kelas antenatal memberikan dampak perilaku yang lebih baik dari pada kegiatan antenatal care yang dilaksanakan kasus per kasus. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Reece di Sydney Hospital tahun 1992, menunjukkan bahwa kegiatan kelas antenatal memberikan perilaku yang lebih baik dibandingkan dengan pelaksanaan

antenatal care yang kompensional6. Hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) bekerja sama Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2008 di daerah Nusa Tenggara Barat menemukan terdapat peningkatan pengetahuan sikap dan perilaku positip dalam menghadapi kehamilan, persalinan dan masa nifas pada ibu hamil yang mengikuti kelas antenatal1. Kegiatan Kelas antenatal merupakan sarana untuk belajar bersama tentang kesehatan bagi ibu hamil, dalam bentuk tatap muka yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan ibu-ibu mengenai kehamilan, perawatan kehamilan, persalinan, perawatan nifas, perawatan bayi, mitos, penyakit menular dan akte kelahiran1. Kelas antenatal adalah kelompok belajar ibu – ibu hamil dengan umur kehamilan antara 20 minggu sampai dengan 32 minggu dengan jumlah peserta maksimal 10 orang. Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan JICA (2009) menyatakan kelas

antenatal dilakukan dengan anggota

beberapa ibu hamil dibawah bimbingan satu atau beberapa fasilitator (pengajar) dengan memakai paket kelas antenatal yaitu flip chart (lembar balik), pedoman pelaksanaan kelas antenatal, pegangan fasilitator kelas

antenatal, buku KIA, dan CD serta senam ibu hamil1.

Pelaksanaan kelas antenatal memberikan banyak manfaat, Bagi ibu hamil dan

(17)

Daftar pustaka

1. Depkes RI dan JICA. Pedoman Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil. Jakarta Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009

2. Notoatmodjo. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta.Rineka Cipta. 2007

3. Scott J. Leading Antenatal Class : A Practical Guide,2 edition. Singapura. Elsevier. 2008

4. Dahlan MS. Besar Sampel Dalam Penelitian Kedokteran. Jakarta. Salemba Medika. 2005

5. Varney H. Varney’s Midwifery. USA. John and Bartlett Publisher. 2007

6. Turan JM. & Lalesay. Comunity – based antenatal education in Istambul, Turkey: Efects on Health Behaviours. Health, Policy and Planing Journal 18 (4). Oxford University Press. 2003. 7. Yuniarti. Kebidanan Kelas Antenatal.

(Online), Available yoenyuni ati.Blogspot.com/2011/2/Kelas – antenatal.html. 2011. ( diakses tgl 12 Februri 2011).

8. Nakamura Y. Materi Presentasi “ The Third Country Training Program ( TCTP) dan Inter Country Training Program ( MCTP), di Jawa Timur, dan Sumatera Barat. 2009

(18)

SPERMATOGENIK MENCIT YANG MENGALAMI AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL

Ni Ketut Somoyani1

Abstract. Fertility is one of important thing in determining a person’s survival.

Fertility can be impaired when in the body presence quite a lot of free radicals. Astaxanthin is able to break the chain of free radical reactive oxygen in cell membrane to prevent lipid peroxidation. This study was aimed at determining the effect of astaxanthin in the number of spermatogenic cells of mice (Mus musculus) induced by physical overtraining. This was a true experimental study with pre-test and post-test control group design. The samples of this study were strain Balb-C adult male mice. Randomly, 32 mice were divided into two groups, 16 mice were used for control group ( P0=the group was given physical overtraining and glyserin), and 16 mice were used for treatment group (P1=the group was given physical overtraining and astaxanthin 0,01 mg which was dissolved in glyserin). The rests of the mice were used for post-test examination after 35 days treatment. On the 36th day, all the rest mice were necropsied for microscopic testicle preparation. Data were analyzed by independent sample t-test. The result showed that there was a significant difference in the number of spermatogenic cells (p<0,05) after astaxanthin treatment. It can be concluded that astaxanthin increase the number of spermatogenic cells of mice induced by physical overtraining. The result of this study is expected to be used as a baseline of further study to test influence of astaxanthin on the function of the other reproduction organ like the function of tubulus seminiferus, Leydig cells, and level of testosterone hormon.

Keywords : Astaxanthin, pyisical overtraining, spermatogenic cels.

1 Dosen Jurusan Kebidanan Poltekkes Denpasar

beberapa faktor yang dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal dan eksternal. Salah satu faktor tersebut adalh terbentuknya radikal bebas di dalam tubuh2. Olah raga dengan intensitas tinggi dan durasi lama terbukti dapat menimbulkan kerusakan sel. Aktivitas fisik maksimal juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan jumlah dan motilitas spermatozoa3.

Penelitian tentang pelatihan fisik berlebih (stres fisik) yang disertai dengan penurunan kualitas spermatozoa menunjukkan bahwa terjadi peningkatan Reactive Oxygen Species

(ROS) dalam seminal plasma dan penurunan perlindungan oleh antioksidan. Sitoplasma sel spermatogenik mengandung sejumlah kecil

scavenging enzyme, namun enzim antiok-Setiap pasangan (laki-laki dan perempuan)

mengharapkan dapat hidup secara normal dan memiliki keturunan untuk kelangsungan hidupnya. Kesuburan atau fertilitas merupakan hal yang penting dalam menentukan kelangsungan hidup manusia. Kesuburan atau fertilitas pasangan dapat dinilai dari jumlah dan kualitas spermatozoa pada pria dan sel telur (ovum) pada wanita. Pada pria, proses spermatogenesis dimulai pada usia pubertas yang kemudian mengalami penurunan seiring bertambahnya usia. Proses terbentuknya sel spermatogenik melalui tiga fase yaitu spermatositogenesis, miosis, dan spermiosis. Semua proses tersebut berlangsung pada epitel tubulus seminiferus1. Spermatogenesis dapat dipengaruhi oleh

(19)

pre-test dan post-test pada masing-masing kelompok kemudian diuji secara statistik. Penelitian ini dilakukan di Laboratory Animal Unit Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, dan pemeriksaan histopatologi dikerjakan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Penelitian dilaksanakan pada bulan April - Juni 2011. Sampel dalam penelitian ini adalah mencit jantan dewasa yang memenuhi kriteria inklusi;berat badan 20-22 gram,umur 2 – 3 bulan, sehat, satu hibrid, Galur Balb-C. Besar sampel sebanyak 16 ekor mencit pada masing-masing kelompok, sehingga secara keseluruhan berjumlah 32 ekor.

Data yang dikumpulkan meliputi; sel spermatogonium A, spermatosit pakhiten, spermatid 7, dan spermatid 16. Data pre-test

dan post-test yang telah diperoleh kemudian dianalisis dengan program SPSS. Analisis data dimulai dari analisis deskriptif, uji normalitas data dengan Shapiro-Wilk , didapatkan data berdistribusi normal dengan nilai p>0,05. Sedangkan uji homogenenitas dengan Levene’s test dan data homogen dengan nilai p>0,05. Untuk mengetahui perbedaan rerata jumlah sel spermatogenik antar kelompok digunakan uji t-independent. Sedangkan analisis perbandingan pre-test

kelompok kontrol dengan post-test kelompok kontrol, dan pre-test kelompok perlakuan dengan post-test kelompok perlakuan digunakan uji Paired T-test. Analisis data menggunakan tingkat kepercayaan 95% atau dinyatakan berbeda bila p< 0,05.

Hasil Penelitian

Data jumlah rerata sel spermatogenik dari kelompok kontrol dan kelompok perlakuan terlihat pada tabel 1.

sidan intrasel ini tidak mampu melindungi membran plasma yang melingkupi akrosom dan ekor spermatozoa dari serangan radikal bebas. Pada aktivitas maksimal jumlah antioksidan tidak mampu menetralisir radikal bebas, akibatnya muncul stres oksidatif. Stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan jaringan testis terutama tubulus seminiferus(4) Antioksidan diyakini dapat melindungi biomolekul terhadap stres oksidatif. Astaxanthin merupakan salah satu pigmen karotenoid (seperti beta karoten), yang diekstraksi dari strain mikroalga tropis yang disebut Haematococcus pluvialis. Penelitian yang dilakukan oleh Wood dan Yamasitha (2009), menyimpulkan bahwa Astaxanthin adalah antioksidan kuat, bersifat alami dan memiliki elektron untuk menetralkan radikal bebas5. Penelitian terhadap 30 pria infertil yang terpapar radikal bebas dan diberikan 16 mg Astaxanthin setiap hari selama 3 bulan menunjukkan terjadi peningkatan angka kehamilan sebesar 54,5%, dan pada kelompok yang diberikan plasebo sebesar 10,5%6. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian Astaxanthin oral dalam mempertahankan jumlah sel spermatogenik mencit yang mengalami aktivitas fisik maksimal.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan pretest-postest control group design (7), dimana pengelompokan subyek dilakukan secara acak sederhana. Subyek dibagi atas dua kelompok, yaitu; kelompok I (Kontrol) diinduksi aktivitas fisik maksimal setelah itu diberikan plasebo(gliserin 0,5 ml). Kelompok II diinduksi aktivitas fisik maksimal lalu diberikan staxanthin oral 0,01 mg dalam larutan gliserin 0,5 ml. Perlakuan dilakukan selama 35 hari. Sebelum perlakuan dilakukan pemeriksaan sel spermatogenik (pre-test), dan sesudah perlakuan (hari ke-36) dilakukan pemeriksaan sel spermatogenik (post-test).

Kemudian dihitung rerata sel spermatogenik

(20)

Pre- Pre- Post-Spermatogonium A 38,13 27,18 38,25 39,40 Spermatosit Pakhiten 41,00 29,73 40,75 41,03 Spermatid 7 26,88 18,93 27,88 26,45 Spermatid 16 31,75 26,53 30.88 31,38 Tabel 1

Jumlah rerata spermatogenik kelompok perlakuan dan kontrol sebelum dan sesudah perlakuan

Kontrol Perlakuan Kelompok Sel Spermatogenik

Tabel 1 menunjukkan bahwa kelompok kontrol mengalami penurunan jumlah sel-sel spermatogenik, sedangkan pada kelompok perlakuan terjadi peningkatan jumlah sel-sel spermatogenik. Hasil uji Shapiro-Wilk

terhadap data jumlah sel Spermatogonium A, Spermatosit Pakhiten, Spermatid 7, dan Spermatid 16 baik sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05).

Uji Beda Rerata Sel Spermatogenik Sebelum Perlakuan

Untuk membandingkan rerata Sel spermatogenik antar kelompok sebelum diberikan perlakuan digunakan uji t-independent. Hasil selengkapnya seperti pada tabel 2.

Sel Spermatogenik Kelompok N Rerata SB t P Kontrol 8 38,13 1,96 Astaxanthin 8 38,25 1,28 Kontrol 8 41,00 2,00 Astaxanthin 8 40,75 1,67 Kontrol 8 26,88 2,64 Astaxanthin 8 27,88 1,64 Kontrol 8 31,75 3,69 Astaxanthin 8 30,88 2,95 Spermatid 7 0,909 0,379 Spermatid 16 0,524 0,609 0,882 Spermatosit Pakhiten 0,271 0,79 Spermatogonium A 0,151 Tabel 2

Rerata spermatogenik antar kelompok sebelum perlakuan

Tabel 2, menunjukkan bahwa rerata Spermatogonium A sebelum perlakuan pada kelompok kontrol adalah 38,13 dengan Simpangan Baku(SB)± 1,96, rerata kelompok Astaxanthin adalah 38,25 dengan SB±1,28. Rerata Spermatosit Pakhiten kelompok kontrol adalah 41,00 dengan SB ±2,00, rerata kelompok Astaxanthin adalah

40,75 dengan SB±1,67. Rerata Spermatid 7 kelompok kontrol adalah 26,88 dengan SB ±2,64, rerata kelompok Astaxanthin adalah 27,88±1,64. Rerata Spermatid 16 kelompok kontrol adalah 31,75 dengan SB ±3,69, rerata kelompok Astaxanthin adalah 30,88 dengan SB ±2,95. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa sebelum diberikan perlakuan tidak terdapat perbedaan pada kedua kelompok (p > 0,05).

Analisis Efek Perlakuan

Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata Sel Spermatogenik antar kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent

disajikan pada Tabel 3.

Sel Spermatogenik Kelompok N Rerata SB t P Kontrol 8 27,18 2,11 Astaxanthin 8 39,40 2,75 Kontrol 8 29,73 1,56 Astaxanthin 8 41,03 1,61 Kontrol 8 18,93 1,92 Astaxanthin 8 26,45 1,52 Kontrol 8 26,53 1,59 Astaxanthin 8 31,38 2,54 Spermatid 16 4,58 0,00 Spermatosit Pakhiten 14,26 0,00 Spermatid 7 8,70 0,00 Tabel 3

Rerata spermatogenik antar kelompok sesudah perlakuan

Spermatogonium A

9,98 0,00

Tabel 3 menunjukkan bahwa rerata Sel spermatogenik setelah diberikan perlakuan berupa Astaxanthin, didapatkan rerata Spermatogonium A kelompok kontrol adalah 27,18 dengan SB ±2,11, rerata kelompok Astaxanthin adalah 39,40 dengan SB ±2,75. Rerata Spermatosit Pakhiten kelompok kontrol adalah 29,73 dengan SB ±1,56, rerata kelompok Astaxanthin adalah 41,03 dengan SB ±1,61. Rerata Spermatid 7 kelompok kontrol adalah 18,93 dengan SB ±1,92, rerata kelompok Astaxanthin adalah 26,45 dengan SB ±1,52. Rerata Spermatid 16 kelompok kontrol adalah 26,53 dengan SB ±1,59, rerata kelompok Astaxanthin adalah 31,38±2,54. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent didapatkan bahwa kedua kelompok berbeda secara bermakna (p < 0,05).

(21)

Uji Paired T-Test Kelompok Penelitian

Kelompok kontrol

Analisis Paired T-test dilakukan untuk mengetahui perbedaan rata-rata antara kelompok pre-test dengan post-test. Hasil analisis kemaknaan dengan Paired T-test dari data sel-sel spermatogenik sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol berbeda bermakna (p< 0,05), seperti pada Tabel 4. Mean SD Spermatogonium A 1,09 2,22 13,959 7 0 Spermatosit Pakhiten 1,13 1,78 17,893 7 0 Spermatid 7 7,95 2,41 9,316 7 0 Spermatid 16 5,23 4,32 3,419 7 0,011 Perbedaan T Df P Pair Pre-Post-Test Kontrol Tabel 4

Uji Paired t-test kelompok kontrol sebelum dan sesudah perlakuan

Kelompok Perlakuan

Analisis Paired T-test dilakukan untuk mengetahui rata-rata antara kelompok pre-test dan post-test. Hasil analisis kemaknaan dengan Paired T-test dari data sel-sel spermatogenik sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok perlakuan tidak berbeda bermakna (p> 0,05). Mean SD Spermatogonium A -1,15 3,38 -0,962 7 0,368 Spermatosit Pakhiten -0,28 0,67 -1,166 7 0,282 Spermatid 7 1,43 1,47 2,725 7 0,055 Spermatid 16 -0,50 1,42 0,997 7 0,352 Tabel 5

Uji Paired t-test kelompok perlakuan sebelum dan sesudah perlakuan Pair Pre-Post-Test Kontrol Perbedaan T Df P Pembahasan

Terjadinya penurunan Spermatogonium A, Spermatosit Pakhiten, Spermatid 7, dan Spermatid 16 setelah mencit mengalami aktivitas fisik maksimal disebabkan karena aktivitas dengan intensitas tinggi dan durasi lama dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan sel. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sutarina dan Edward

(2004) yang menyatakan bahwa olah raga dengan intensitas tinggi dan durasi lama terbukti dapat menimbulkan kerusakan sel. Di samping itu, penelitian yang dilakukan pada tikus yang diberikan beban kerja aktivitas fisik (swimming stress) dengan beban ekor 2% dari berat badan tikus menunjukkan adanya peningkatan kadar Malondialdehide (MDA) yang bermakna dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberikan beban kerja aktivitas fisik8. Senyawa MDA menyebabkan kerusakan membran spermatozoa dan penurunan integritas membran spermatozoa sehingga akan terjadi penurunan kualitas spermatozoa9

Radikal bebas menyebabkan kerusakan sel-sel spermatogenik melalui mekanisme peroksidasi komponen lipid dari membran sel. Kerentanan spermatozoa dari proses lipid peroksidasi karena struktur dari membran sel spermatozoa sangat tinggi kandungan asam lemak tak jenuh khususnya Docosa-hexaenoic yang penting dalam mengatur proses spermatogenesis dan fluiditas membran. Peroksidasi dari asam lemak tak jenuh yang terjadi pada membran sel spermatozoa adalah reaksi self-propagation, yang dapat meningkatkan disfungsi sel akibat hilangnya fungsi dan integritas membran(10) . Penurunan sel-sel spermatogenik ini disebabkan oleh degenerasi maupun kerusakan sel-sel spermatogenik yang disebabkan oleh adanya radikal bebas yang terbentuk dari aktivitas fisik maksimal yang dialami oleh hewan coba11. Stres oksidatif akibat aktivitas fisik maksimal pada spermatozoa akan menyebabkan gangguan pada proses oksidasi fosforilasi sehingga terjadi peningkatan produksi ROS spermatozoa. Peningkatan ROS ini dapat juga disebabkan karena antioksidan yang tersedia dalam sperma tidak mampu lagi mengubah oksigen reaktif menjadi senyawa yang netral9. Rerata jumlah sel spermatogenik sesudah perlakuan dengan pemberian Astaxanthin oral 0,01 mg setiap hari pada mencit yang mengalami aktivitas fisik maksimal, Somoyani (Astaxanthin oral mempertahankan...)

(22)

Meskipun pada penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian Astaxanthin oral dapat mempertahankan sel spermatogenik mencit, namun perlu mempertimbangkan penggunaanya pada manusia.

Daftar Pustaka

1. Sadller, T.W. Embriologi Kedokteran Langman. Edisi 10. Alih Bahasa: Brahm U Pendit; Editor: Andita Novariani. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. p: 30-34. 2010.

2. Huhtaniemi, I.T.Endocrine Regulation Of Male Reproduction. University of Turku. Finland. 2009

3. Sutarina, N., Edward, T. Pemberian Suplemen pada Olahraga. 2004.Majalah GizMindo. Vol.3 No.9 September 2004. 4. Safarinejad, M.R., Amza, K., Kolahi, AA. The Effect of Intensive Long-Term Treadmill Running on Reproductive Hormones, Hypothalamus-Pituitary-Testis Axis, and Semen Quality: A Randomized Controlled Study. 2009. Available at: http:/ /www.endocrinology.journals.org. Accessed : Januari 2011.

5. Wood, V., Yamashita, E. Antioxidant Symposium 2009: An Update on Clinical Research. Jakarta. 2009. Available at: http://blog.perriconemd.com/astaxanthin-side-effects. Accessed Januari 2011 6. Comhaire, F.H., Garem, YR., Mahmoud.,

Eertmans., Schoonjans. Combined Conventional/antiokxidant”Astaxanthin” Treatment fopr Male Infertility: a double blind, Randomized Trial. Asian Journal Andrology(2005) 7, 257-262;doi:10.1111 /j.1745-7262.2005.00047.x. 2004. Available at: http://www.nature.com/aja/ journal/v7/n3/abs/aja200549a.html. accessed: Januari 2010.

7. Pocock, S.J. The Size of A Clinical Trial, Clinical Trials, A Practical Approach, p 123-127. 2008.

menunjukkan tidak ada perbedaan secara bermakna dengan nilai p>0,05. Hasil ini menunjukkan bahwa, pemberian Astaxanthin oral dapat mempertahankan jumlah sel spermatogenik mencit yang mengalami aktivitas fisik maksimal. Hal tersebut disebabkan karena Astaxhantin merupakan salah satu pigmen karotenoid (seperti beta karotin) yang memiliki gugus radikal yang mampu melindungi tubuh terhadap proses peroksidasi lipid dan kerusakan sel yang diakibatkan oleh proses-proses oksidasi pada membran sel dalam jaringan tubuh (12) . Astaxanthin menunjukkan aktivitas kuat dalam mencerna radikal bebas dan memberikan perlindungan melawan peroksidasi lemak dan mencegah kerusakan membran sel dan jaringan (13,14). Astaxanthin menetralkan singlet oksigen melalui mekanisme fisik, dimana energi yang berlebihan dari singlet oksigen tersebut ditransfer ke struktur karotenoid yang kaya akan elektron dan mengubah energinya menjadi panas, sehingga tidak terbentuk singlet oksigen lagi serta bereaksi dengan radikal lain untuk mencegah dan menghentikan reaksi rantai. Astaxanthin memiliki potensi menghambat terjadinya singlet oksigen yang merupakan radikal bebas, lebih besar dibandingkan karotenoid lain dan vitamin E. Astaxanthin seperti vitamin E merupakan antioksidan yang larut dalam lemak, sehingga memungkinkan melewati membran sel yang kaya lemak (12).

Kesimpulan dan saran

Pemberian Astaxanthin oral 0,01 mg setiap hari selama 35 hari dapat mempertahankan jumlah sel spermatogonium A, spermatosit pakhiten, spermatid 7 dan spermatid 16 mencit yang mengalami aktivitas fisik maksimal. Hal yang dapat disarankan dari hasil penelitian ini adalah; perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh Astaxanthin terhadap proses spermatogenesis mencit yang terpapar oleh radikal bebas lain dan terhadap kadar hormon LH, dan testosteron.

(23)

8. Maslachah. Pengaruh Antioksidan Probucal Terhadap kadar Malondi aldehide (MDA) dalam Darah dan Jumlah Circulating Endotel pada Tikus Putih Yang menerima Stressor. 2008. Available from: h t t p : / / a d l n . l i b . u n a i r . a c . i d / go.php?id=jiptunar-gld-res-2001-maslachah2c-435-probucal. Accessed: Desember 2010.

9. Hayati, A., Mangkoewidjojo,S., Hinting, A., and Moeljopawiro,S. Hubungan Kadar MDA Sperma dengan Integritas Membran Spermatozoa Tiklus Setelah Pemaparan 2-Methoxyethanol. 2006. Available from: http://www/ berk.penel.hayati/11. Accessed: April 2011.

10.Saleh, A. Oxidative Stress and Male Infertility : From Research Bench to Clinical Practice. 2002. Available at: http://www/ andrologyjournal. org/ci/content/full/23/6/ 737. Accessed: April 2011.

11.Maneesh, M and Jayaleshmi, H. Role of Reactive Oxygen Species and Antioxidant on Pathophisiology of Male Reproduction. 2006. Indian Journal of Clinical Biochemistry, 21 (2) 80-8

12.Winarsi, H.. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Potensi dan Aplikasinya dalam Kesehatan. Penerbit Kanisius. Jakarta. 2007.

13.Goto, S., Kogure,K., Abe,K., Kitahama,K., Yamasitha, E., Terada,H.. Efficient Radical Trapping at Surface and Inside The Phospholipid Membrane is Responsible for Highly Potent Antiperoxidative Activity of The Carotenoid Astaxanthin. 2001. Biochemica et Biophysica Acta. Vol 1512:251-258.

14.Suseela, M.R.., Toppo, K. Haemoto coccus pluvialis-a Green Algae, Richest Natural Source of Astaxanthin. Current Science. 2006. Vol 90 (12): 1602-1603. Somoyani (Astaxanthin oral mempertahankan...)

Gambar

Tabel 1 menunjukkan bahwa kelompok kontrol mengalami penurunan jumlah sel-sel spermatogenik, sedangkan pada kelompok perlakuan terjadi peningkatan jumlah sel-sel spermatogenik
Figure 2 indicates the survival of WIL2-NS cells after exposure to various doses of lycopene for 1 hour
Figure 3 illustrates various doses of lycopene (0 – 8 µM) used to treat WIL2-NS cells for 2 hours against its cell survival
Gambar 1  memperlihatkan bahwa  indeks glikemik tertinggi   terdapat pada siklus menu yang ke  IX ( IG 72,16) dan terendah pada siklus menu ke III  dengan rata –rata  indeks glikemik pada seluruh siklus menu adalah 65,63
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian pemberian tepung daun orok-orok berpengaruh terhadap konsumsi protein, kadar hemoglobin, dan titer ND, bahwa semakin tinggi

Setiap kegiatan usaha pertambangan harus menyisihkan dana dari keuntungan bersih usahanya untuk Dana Cadangan (hilanganya cadangan yg tdk dapat diperbaharui) pada daerah

Belum Optimalnya Kualitas Hidup Masyarakat Belum Optimalnya Kemandirian Ekonomi Daerah Belum Optimalnya Kemantapan Infrastruktur yang Terintegrasi Belum Optimalnya Tata

Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor kelengkapan prasarana (tersedianya jaringan listrik dan air bersih), faktor sosial ekonomi (harga perumahan), dan faktor legalitas peru-

Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian risiko menunjukkan,

Oleh karena itu melalui penelitian ini, diharapkan dapat menjawab dari berbagai motivasi apa saja yang dimiliki oleh seorang wartawan yang telah memilih dan tujuan bekerja di

ATmega8535 memiliki 32 byte register serba guna, 64 byte register I/O yang dapat diakses sebagai bagian dari memori RAM (menggunakan instuksi LD atau ST) atau dapat juga

Pembinaan pegawai pada Kantor Kecamatan Kasemen Kabupaten Serang Propinsi Banten merupakan totalitas kegiatan yang meliputi perencanaan, pengaturan, dan penggunaan pegawai