• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya meningkatkan dialog antar umat beriman dalam masyarakat yang plural di Stasi St. Maria Cikampek Paroki Kristus Raja Karawang Jawa Barat melalui katekese - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Upaya meningkatkan dialog antar umat beriman dalam masyarakat yang plural di Stasi St. Maria Cikampek Paroki Kristus Raja Karawang Jawa Barat melalui katekese - USD Repository"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)

PAROKI KRISTUS RAJA KARAWANG JAWA BARAT MELALUI KATEKESE

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Henrika Jamlean NIM: 051124041

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

Skripsi ini kupersembahkan kepada orang tuaku yang mengajari aku akan makna hidup, sumber inspirasiku: Selestinus Jamlean dan Lambertina Fangohoy,

Nenek: Walburga Fangohoy,

(5)

v

Kerjakanlah hal-hal kecil dengan cinta yang besar (Ibu Teresa).

Tanda kemurahan hati Illahi adalah damai dalam wajah kita, dalam mata kita; damai dalam kegembiraan kita,

dalam sapaan hangat kita (Ibu Teresa).

Buah keheningan adalah doa. Buah doa adalah iman Buah iman adalah kasih. Buah kasih adalah pelayanan,

(6)
(7)
(8)

viii

Judul skripsi UPAYA MENINGKATKAN DIALOG ANTAR UMAT BERIMAN DALAM MASYARAKAT YANG PLURAL DI STASI ST. MARIA CIKAMPEK PAROKI KRISTUS RAJA KARAWANG JAWA BARAT MELALUI KATEKESE dipilih berdasarkan pada keprihatinan penulis akan situasi masyarakat saat ini di mana sangat rentan terjadi konflik karena adanya pluralitas, terutama pemahaman dan keterlibatan umat stasi St. Maria Cikampek dalam dialog antar umat beriman. Kenyataan menunjukkan bahwa keanekaragaman suku, agama, dan budaya di Cikampek sering menimbulkan ketegangan dan silang pendapat. Adanya pemahaman umat yang keliru tentang hakikat dialog antar umat beriman membuat mereka tidak ingin bergaul dengan orang lain yang berbeda suku, agama, dan budayanya. Umat masih memahami dialog antar umat beriman sebagai debat teologis sehingga menurut mereka yang berhak untuk ikut ambil bagian dalam dialog adalah orang-orang yang berkompeten soal agama seperti para pemuka agama. Bertitik tolak pada kenyataan ini, maka skripsi ini dimaksudkan untuk membantu meningkatkan pemahaman dan keterlibatan umat stasi St. Maria Cikampek, Paroki Kristus Raja Karawang dalam dialog antar umat beriman melalui katekese.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui pemahaman dan keterlibatan umat dalam dialog antar umat beriman di stasi St. Maria Cikampek dan katekese macam apa yang dapat membantu umat dalam memahami dan meningkatkan keterlibatan mereka dalam dialog antar umat beriman. Untuk mengkaji masalah ini diperlukan data yang akurat. Oleh karena itu wawancara terhadap umat di stasi St. Maria Cikampek, Paroki Kristus Raja Karawang telah dilakukan. Di samping itu, studi pustaka juga diperlukan untuk memperoleh pemikiran-pemikiran untuk direfleksikan, sehingga diperoleh gagasan-gagasan yang dapat dipergunakan sebagai sumbangan bagi umat.

Hasil akhir menunjukkan bahwa salah satu cara yang dapat dilakukan oleh umat stasi St. Maria Cikampek, Paroki Kristus Raja Karawang untuk meningkatkan pemahaman dan keterlibatan mereka dalam dialog antar umat beriman adalah dengan katekese model Shared Christian Praxis. Dialog antar umat beriman yang dimaksud adalah suatu gerakan atau aksi bersama untuk mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah dalam hidup bersama. Katekese model

(9)

ix

The title of this thesis is EFFORTS TO INCREASE THE INTERFAITH DIALOGUE IN PLURAL SOCIETY IN THE ST. MARY STATION OF CIKAMPEK IN THE CHRIST THE KING PARISH OF KARAWANG IN WEST JAVA THROUGH CATECHESIS. It is chosen based on the author’s concern on the recent situation, which is vulnerable for conflict caused by plurality especially the understanding and the involvement of people of St. Mary Station of Cikampek in interfaith dialogue among the faithful. The fact indicates that the diversity of tribes, religion, and culture in Cikampek often creates tension and discord. The existence of a false understanding of people about the nature of dialogue between the faithful makes them not want to associate with others of different ethnicity, religion, and culture. The people still understand the dialogue between the faithful as a theological debate, so they who are entitled to take part in the dialogue are people who are competent about religion such as religious leaders. Starting from this fact, the thesis is intended to help people of St. Mary station of Cikampek of Christ the King Parish of Karawang increasing their understanding and involvement in interfaith dialogue through the catechesis.

The key issue of this thesis is to know the understanding and the involvement of people in the interfaith dialogue in the St. Mary Station of Cikampek and what kind of catechesis can assist people in understanding and increasing their involvement in the interfaith dialogue. To study this problem requires accurate data. Therefore, interviews with people in the St. Maria Station of Cikampek of Christ the King Parish of Karawang should be done. In addition, the literature study is also required to obtain ideas for reflection as a contribution for the people.

(10)

x

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang atas rahmat cinta kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul UPAYA MENINGKATKAN DIALOG ANTAR UMAT BERIMAN DALAM MASYARAKAT YANG PLURAL DI STASI ST. MARIA CIKAMPEK PAROKI KRISTUS RAJA KARAWANG JAWA BARAT MELALUI KATEKESE.

(11)

xi

setulus hati mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Drs. F.X. Heryatno W.W., S.J., M.Ed. selaku dosen pembimbing utama yang telah memberikan perhatian, meluangkan waktu dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran, memberi masukan-masukan dan kritikan-kritikan sehingga penulis diteguhkan dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini. 2. Drs. M. Sumarno Ds., S.J., M.A. selaku dosen pembimbing akademik dan

dosen penguji II yang telah memberikan motivasi pada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

3. Bapak Y.H. Bintang Nusantara, SFK, M.Hum. selaku dosen penguji III yang telah bersedia membaca, memberikan kritik dan masukan, serta mendampingi penulis dalam mempertanggung-jawabkan skripsi ini.

4. Segenap Staf Dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik dan membimbing penulis selama belajar hingga selesainya skripsi ini.

5. Segenap Staf Sekretariat dan Perpustakaan Prodi IPPAK, dan seluruh karyawan yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

(12)

xii

8. Bapak Hariyadi sekeluarga yang telah bersedia memberikan seluruh waktu dan perhatiannya bagi penulis selama penelitian. Terima kasih atas kerjasama, dukungan, saran dan cintanya yang begitu luar biasa bagi penulis selama melaksanakan penelitian di stasi St. Maria Cikampek.

9. Para ketua lingkungan di stasi St. Maria Cikampek yang telah menerima penulis di lingkungan dan mendukung pelaksanaan penelitian. Terima kasih atas kerjasama dan bantuannya selama ini.

10.Bapak Yohanes sekeluarga, keluarga Bapak F.X. Songo Triyanto, dan keluarga Bapak Mulyadi yang telah memberikan semangat dan dukungan, masukan dan informasi kepada penulis demi kelengkapan skripsi ini. Terima kasih atas cinta yang begitu luar biasa yang meneguhkan penulis dalam penulisan skripsi ini.

11.Veronica Dwi Lestari dan Mas Agus Murjoko yang telah mengorbankan waktu dan tenaga membantu penulis dalam pengumpulan data skripsi ini. 12.Umat di stasi Cikampek yang telah menerima penulis dengan penuh cinta.

Terima kasih atas segalanya, kebersamaan dengan umat di stasi ini sungguh sangat memperkembangkan saya.

(13)

xiii

Mada Hede, Fr. Donatus Naikofi, CMM, Agustina Eri Susanti, Christina Desi Priandari, Almatia Nuri Kristanti, Cyriaka Putik Nandra, dan Kristina yang telah memberikan dukungan dan motivasi bagi penulis selama belajar hingga penyelesaian skripsi ini.

15.Sahabat-sahabat mahasiswa khususnya angkatan 2005/2006 yang turut berperan dalam menempa pribadi dan memurnikan motivasi penulis untuk menjadi seorang pewarta di tengah zaman yang penuh tantangan ini.

16.Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Semoga budi baik yang telah diberikan kepada penulis membawa berkah dan rahmat.

Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman sehingga penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat menghargai dan memberi apresiasi bagi siapapun yang memberi masukan demi perbaikan skripsi ini dan pengembangan diri penulis selanjutnya. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Yogyakarta, 11 September 2009 Penulis

(14)

xiv

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Permasalahan ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Metode Penulisan ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II. DIALOG UMAT BERIMAN DALAM GEREJA KATOLIK ... 10

A. Hakikat Dialog dalam Tugas Perutusan Gereja ... 10

1. Dialog sebagai Wujud Kesaksian dan Tugas Perutusan Gereja ... 11

2. Dialog sebagai Misi Penginjilan Gereja ... 11

3. Dialog sebagai Usaha Mewujudkan kerajaan Allah ... 12

B. Pengertian Dialog Antar Umat Beriman ... 12

C. Tujuan Dialog Antar Umat Beriman ... 16

D. Subyek Dialog Antar Umat Beriman ... 18

(15)

xv

2. Kerendahan Hati ... 23

3. Kepercayaan ... 24

4. Harapan ... 25

5. Melibatkan Pemikiran Kritis ... 25

G. Elemen-elemen yang Harus Ada dalam Dialog Antar Umat Beriman ... 26

1. Perbedaan ... 26

2. Keyakinan ... 27

3. Kesaksian pada Partner Dialog tentang Keyakinan dan Pengalaman Religius Kita ... 28

4. Keterbukaan Hati untuk Mendengarkan dan Belajar dari Pengalaman dan Keyakinan Partner Dialog ... 29

H. Bentuk-bentuk Dialog ... 30

1. Dialog Kehidupan ... 30

2. Dialog Karya ... 31

3. Dialog Pandangan Teologis ... 32

4. Dialog Pengalaman Keagamaan/Spiritual ... 32

I. Perkembangan Dialog Antar Umat Beriman dalam Gereja Katolik Sampai Saat Ini ... 33

BAB III. PEMAHAMAN UMAT AKAN DIALOG ANTAR UMAT BERIMAN DAN PELAKSANAANNYA DI STASI ST. MARIA CIKAMPEK PAROKI KRISTUS RAJA KARAWANG ... 38

A. Gambaran Stasi St. Maria Cikampek ... 38

1. Latar Belakang Berdirinya Stasi St. Maria Cikampek ... 38

2. Jumlah dan Perkembangan Umat Stasi St. Maria Cikampek ... 40

a. Lingkungan A. Yani ... 41

b. Lingkungan Pegadungan ... 42

c. Lingkungan Pondok Melati ... 42

d. Lingkungan Permata Regency ... 43

e. Lingkungan Eka Mas ... 43

(16)

xvi

1. Latar Belakang ... 44

2. Rumusan Permasalahan ... 47

3. Tujuan Penelitian ... 47

4. Metodologi Penelitian ... 47

a. Jenis Penelitian ... 48

b. Tempat dan Waktu Penelitian ... 49

c. Responden Penelitian ... 49

d. Variabel yang Diteliti ... 50

e. Teknik Pengumpulan Data ... 50

f. Teknik Analisis Data ... 52

5. Laporan dan Pembahasan Hasil ... 53

a. Responden ... 53

b. Pemahaman Umat akan Dialog Antar Umat Beriman dalam Masyarakat Plural ... 55

c. Keterlibatan Umat Stasi St. Maria Cikampek dalam Dialog Antar Umat Beriman ... 60

d. Katekese sebagai Upaya Meningkatkan Dialog Antar Umat Beriman ... 66

6. Kesimpulan Hasil Penelitian ... 71

7. Hal-hal yang Mendukung dan Menghambat Penelitian ... 73

BAB IV. KATEKESE SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN DIALOG ANTAR UMAT BERIMAN ... 75

A. Katekese dan Evangelisasi ... 76

B. Hakikat dan Tujuan Katekese yang Dialogis ... 77

1. Hakikat Katekese yang Dialogis ... 77

2. Tujuan Katekese ... 81

C. Katekese Umat sebagai Upaya Meningkatkan Dialog Umat Beriman dalam Masyarakat Plural ... 84

1. Perkembangan Katekese Umat ... 84

(17)

xvii

Umat Beriman ... 92

1. Pemikiran Dasar ... 92

2. Matriks Usulan Program Katekese ... 97

3. Contoh Persiapan Program Katekese bagi Umat dengan Model Shared Christian Praxis ... 104

BAB V. PENUTUP ... 117

A. Kesimpulan ... 117

B. Saran ... 120

DAFTAR PUSTAKA ... 122

LAMPIRAN ... 126

Lampiran 1: Peta Stasi St. Maria Cikampek ... (1)

Lampiran 2 : Surat Permohonan Izin Pelaksanaan Penelitian ... (2)

Lampiran 3: Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian dari Stasi ... (4)

Lampiran 4: Pedoman Pertanyaan Wawancara ... (5)

(18)

xviii A. Daftar Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, hal. 8.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

AA: Apostolicam Actuositatem, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kerasulan Awam, 7 Desember 1965.

AG: Ad Gentes, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kegiatan Misioner Gereja, 7 Desember 1965.

CT: Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang katekese masa kini, 16 Oktober 1979.

DCG: Directorium Catechisticum Generale, Direktorium Kateketik Umum yang dikeluarkan oleh Kongregasi Suci para Klerus, 11 April 1971.

(19)

xix

GDC: General Directory for Catechesis, Pedoman Umum untuk Katekese, dikeluarkan oleh Kongregasi Suci Para Klerus, 1997. NA: Nostra Aetate, Deklarasi Konsili Vatikan II tentang Hubungan

Gereja dengan Agama-Agama Bukan Kristen, 28 Oktober 1965. RM: Redemptoris Missio, Ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang

Amanat Misioner Gereja, 7 Desember 1990.

C. Singkatan Lain Art: Artikel

APP: Aksi Puasa Pembangunan

FABC: Federation of Asian Bishop’s Conferences

HAK: Hubungan Antaragama dan Kepercayaan

IPPAK: Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik KBG: Komunitas Basis Gerejani

KBP: Karya Bakti Paroki KK: Kepala Keluarga KU: Katekese Umat

(20)

xx Prodi: Program Studi

PUSKAT: Pusat Kateketik PUSPAS: Pusat Pastoral

SARA: Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan SAV: Studio Audio Visual

(21)

Pada bab pendahuluan ini, penulis membahas mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan, manfaat, metode, dan sistematika penulisan skripsi.

A. Latar Belakang

Indonesia terdiri dari beribu pulau dengan beribu budaya. Pluralitas budaya ini rentan terhadap konflik. Hal ini telah menjadi kenyataan di beberapa tempat di Indonesia seperti di Sampit, Ambon, Poso, dan Timika. Padahal sejak awal kita sekolah telah diperkenalkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang berarti meskipun berbeda tetapi tetap satu. Sejak dini telah diajari bahwa kita senantiasa hidup bersama dengan orang-orang yang memiliki budaya dan agama yang berbeda. Pepatah “tak kenal maka tak sayang” mengarahkan kita untuk saling mengenal, agar rasa sayang tumbuh. Meskipun sudah diusahakan sejak dini, mengapa persoalan pluralitas masih saja muncul?

(22)

khususnya pada 10 tahun terakhir ini berusaha semakin menyadari tugas perutusannya di tengah masyarakat Indonesia yang plural. Dari Sidang Agung KWI – Umat 1995, yang diadakan dalam rangka merayakan pesta emas Kemerdekaan Indonesia, keluar tekad ini: Gereja Katolik Indonesia ingin menjadi Gereja yang sungguh memasyarakat dengan semboyan “100% Katolik, 100% Indonesia”.

Stasi St. Maria Cikampek sebagai bagian dari Paroki Kristus Raja Karawang juga menghadapi permasalahan yang sama. Umat di stasi ini kebanyakan merupakan pendatang dari berbagai daerah di Indonesia seperti Flores, Jawa, Sumatera, Ambon, dan daerah-daerah lainnya. Umat yang datang dari berbagai latar belakang suku dan budaya tentu saja memiliki penghayatan hidup beriman yang berbeda satu sama lainnya. Selain itu, dalam hidup bermasyarakat umat Katolik merupakan minoritas yang hidup bersama penduduk setempat; orang Sunda yang beragama Islam. Situasi hidup yang plural ini merupakan kekayaan tetapi sekaligus menjadi tantangan dalam penghayatan hidup umat beriman.

(23)

Situasi hidup jemaat sekarang sangat dipengaruhi oleh eksistensi agama, budaya, maupun sosial ekonomi yang plural. Untuk menyikapi adanya pluralitas dalam hidup bersama agar tidak menyebabkan konflik maka sikap yang sangat tepat untuk menyikapinya adalah dengan dialog. Namun, dialog seperti apakah yang dapat kita laksanakan? Dialog yang dimaksud dalam hal ini bukan semata-mata dalam arti komunikasi atau percakapan dalam hidup sehari-hari tetapi merupakan dialog yang mampu mendukung dan memperkembangkan iman tiap pribadi manusia. Suatu dialog yang menjadi cara hidup dalam membangun hidup bersama dalam komunitas, di mana para pelaku atau subyek dari dialog harus mampu menjadi bagian dari orang lain.

Keprihatinan Gereja Katolik akan dialog menemukan inspirasi dasarnya dari Konsili Vatikan II. Keprihatinan akan dialog untuk tingkat Asia kemudian dikembangkan dalam sidang 180 uskup se-Asia di Manila pada bulan November 1970. Kesadaran para uskup untuk berdialog dikembangkan dalam dokumen-dokumen FABC. Menurut dokumen-dokumen tersebut, ada tiga bidang dialog yang harus digeluti Gereja Asia dalam tugas perutusannya yakni dialog dengan agama-agama Asia, dialog dengan kebudayaan-kebudayaan Asia, dan dialog dengan masalah-masalah kemiskinan orang Asia.

(24)

dan suka mendengarkan orang lain. Pengertian dialog yang ketiga dipahami sebagai dialog hubungan antaragama yang positif dan konstruktif. Hubungan ini dilangsungkan dalam hubungan dengan pribadi-pribadi dan umat dari agama lain, yang diarahkan untuk saling memahami dan saling memperkaya, dalam ketaatan kepada kebenaran dan hormat kepada kebebasan. Dialog yang sebenarnya dijalankan dalam lingkup kebenaran dan kebebasan. Dialog sejati tidak hanya memperjuangkan kerjasama dan sikap terbuka, melainkan juga memurnikan dan mendorong untuk menggapai kebenaran dan kehidupan, kesucian, keadilan, kasih, perdamaian, serta aneka dimensi Kerajaan Allah.

Pada kurun waktu sesudah Konsili Vatikan II sampai tahun 1970-an, perhatian Gereja Indonesia tercurah pada usaha-usaha membangun dialog, baik dengan gereja Kristen maupun dengan agama-agama bukan Kristen. Tahun 1970-1975 keterlibatan Gereja Katolik dalam dialog agama-agama mulai menemukan bentuknya yang makin konkret, terutama dalam kebijakan-kebijakan pastoral dan aneka pertemuan teologis. Pada tahun 1970 MAWI mengeluarkan Pedoman Kerja Umat Katolik Indonesia yang pada bab II secara khusus berbicara mengenai masalah kerjasama antaragama.

(25)

berkembang. Maksud dari evangelisasi disini bukan berarti mengkristenkan orang tetapi membantu umat untuk menghayati dan mewujudkan imannya secara baru. Arah evangelisasi baru adalah untuk meningkatkan kualitas hidup jemaat. Oleh karena itu, evangelisasi sebagai tugas perutusan Gereja perlu dilakukan dengan semangat dialogis melalui sikap hormat, penuh persahabatan, ramah, dan mau mendengarkan orang lain yang berbeda dengan kita. Tema umum APP tahun 2009 yang berlaku secara nasional “Pemberdayaan Hubungan Antar Umat Beriman” merupakan salah satu contoh keterlibatan Gereja Indonesia untuk membantu meningkatkan pemahaman dan keterlibatan umat Katolik dalam dialog dengan umat beriman lain.

Mewartakan kabar gembira dalam kehidupan bermasyarakat merupakan panggilan bagi semua orang beriman kristiani, termasuk umat di stasi St. Maria Cikampek ini. Dalam hidup bersama yang begitu plural, umat Katolik di stasi ini dipanggil untuk dapat melaksanakan tugas pewartaannya dalam hidup bersama tersebut. Tugas ini dapat dilaksanakan melalui dialog antar umat beriman.

(26)

bersama untuk mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah di dunia. Inilah bentuk dialog yang dimaksudkan penulis dan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

Katekese sebagai bagian utuh pastoral Gereja memiliki hubungan erat dengan evangelisasi baru. Menurut Catechesi Tradendae, art. 18, katekese merupakan salah satu momen penting dari evangelisasi. Arah utama seluruh kegiatan pastoral Gereja adalah pembangunan jemaat. Sebagai bagian pastoral Gereja, salah satu tujuan utama katekese adalah pengembangan hidup jemaat agar secara bersama-sama ikut berjuang mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah-tengah hidup manusia. Katekese sebagai pendidikan iman merupakan salah satu bentuk pewartaan Gereja yang bertujuan membantu orang beriman agar makin terlibat dalam dinamika hidup menggereja dan memasyarakat baik secara pribadi maupun kelompok (Adisusanto, 2000: 1). Katekese yang sungguh-sungguh berfungsi sebagai pewartaan dan pendidikan iman juga akan mampu melaksanakan peranannya dalam menumbuhkan kepekaan sosial. Dengan kata lain, katekese yang dilaksanakan perlu membina orang beriman, terutama kaum awam agar aktif melibatkan diri dalam persoalan-persoalan sosial, politis, ekonomi, demi perkembangan masyarakat terutama mereka yang sangat membutuhkan bantuan.

(27)

pemahaman dan keterlibatan umat dalam dialog antar umat beriman. Maka, sehubungan dengan itu penulis mengambil judul UPAYA MENINGKATKAN DIALOG ANTAR UMAT BERIMAN DALAM MASYARAKAT YANG PLURAL DI STASI ST. MARIA CIKAMPEK PAROKI KRISTUS RAJA KARAWANG JAWA BARAT MELALUI KATEKESE.

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas penulis merumuskan permasalahan yang diangkat dalam skripsi sebagai berikut:

1. Apa hakikat dan tujuan dialog antar umat beriman yang dilaksanakan oleh Gereja?

2. Bagaimana pemahaman umat stasi St. Maria Cikampek akan hakikat dialog antar umat beriman dan sejauhmana keterlibatannya?

3. Katekese macam apa yang dapat meningkatkan dialog antar umat beriman di tengah masyarakat yang plural?

C. Tujuan Penulisan

1. Menjelaskan hakikat dan tujuan dialog antar umat beriman yang dilaksanakan oleh Gereja

2. Untuk menggali dan mengetahui pemahaman dan keterlibatan umat stasi St. Maria Cikampek dalam dialog antar umat beriman

(28)

4. Untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Prodi IPPAK-USD

D. Manfaat Penulisan

1. Menambah pengetahuan dan wawasan baru bagi penulis dan pembaca mengenai dialog antar umat beriman dan katekese.

2. Untuk membantu umat di stasi St. Maria Cikampek Paroki Kristus Raja Karawang dalam meningkatkan pemahaman dan keterlibatan mereka dalam dialog antar umat beriman di tengah masyarakat yang plural.

3. Memberikan inspirasi bagi para katekis dan guru agama dalam mengembangkan program katekese yang membangun dialog sehingga umat dapat semakin termotivasi untuk terlibat dalam dialog antar umat beriman.

F. Metode Penulisan

(29)

G. Sistematika Penulisan

Tulisan ini mengambil judul “Upaya Meningkatkan Dialog Antar Umat Beriman Dalam Masyarakat Yang Plural Di Stasi St. Maria Cikampek Paroki Kristus Raja Karawang Jawa Barat Melalui Katekese” dan dikembangkan menjadi lima bab. Bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang penulisan, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode, dan sistematika penulisan.

Dalam bab II penulis memaparkan mengenai pengertian, hakikat dialog dalam tugas perutusan Gereja, pengertian dialog menurut para ahli, tujuan, syarat, bentuk-bentuk, hambatan-hambatan dalam dialog, dan perkembangan dialog antar umat beriman dalam Gereja Indonesia sampai saat ini.

Pada bab III, penulis melakukan penelitian tentang pemahaman dan keterlibatan umat stasi St. Maria Cikampek dalam dialog antar umat beriman. Bab ini dibagi menjadi dua bagian besar yakni gambaran stasi St. Maria Cikampek dan penelitian tentang pemahaman dan keterlibatan umat stasi St. Maria Cikampek dalam dialog antar umat beriman.

Dalam bab IV penulis menjelaskan arti dan tujuan katekese secara umum, menemukan model katekese yang dialogis, dan usulan program katekese sebagai solusi dari penulis untuk meningkatkan pemahaman dan keterlibatan umat stasi St. Maria Cikampek dalam dialog antar umat beriman. Bagian ini ditutup dengan satu contoh persiapan program katekese dengan model Shared Christian Praxis.

(30)
(31)

Di Indonesia dewasa ini semakin disadari bahwa sesungguhnya masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri atas berbagai suku bangsa, bahasa, budaya, agama, dan lain-lain. Pluralitas yang kita alami sebagai kenyataan sering menjadi pemicu konflik dan ketegangan dalam hidup bermasyarakat dan hidup bersama. Sebagai contoh adanya berbagai konflik di Indonesia yang disebabkan isu SARA seperti konflik antara masyarakat Kalimantan dengan suku Madura, kerusuhan atas nama agama yang terjadi di Ambon, pembakaran gereja-gereja di Situbondo, dll. Oleh karena itu, untuk menjembatani berbagai perbedaan tersebut di atas maka dialog perlu diadakan sebagai suatu cara hidup dalam berkomunitas, dalam hidup bersama.

Untuk lebih memahami dialog antar umat beriman maka pada bab II ini penulis membahas hakikat dialog dalam tugas perutusan Gereja, pengertian dialog, elemen-elemen yang harus ada dalam dialog, tujuan dialog, subyek dialog, syarat-syarat dialog, bentuk-bentuk dialog, hambatan-hambatan dalam dialog, dan akhirnya ditutup dengan perkembangan dialog umat beriman dalam Gereja Indonesia sampai saat ini.

A.Hakikat Dialog dalam Tugas Perutusan Gereja

(32)

1. Dialog sebagai Wujud Kesaksian dan Perutusan Gereja

Dokumen Gereja seperti Ad Gentes dan Redemptoris Missio tidak memandang dialog sebagai sarana misi, melainkan menggaris-bawahi bahwa hidup bersama dalam kerjasama dan dialog dapat menjadi wujud kesaksian sebagai orang Kristen. Dalam hal ini Konsili Vatikan II menarik konsekuensi berupa kewajiban konkret yang diungkapkan dalam pernyataan-pernyataan sebagai berikut:

Agar mereka mampu memberi kesaksian tentang Kristus secara berhasil, kaum Kristiani harus bergabung dengan orang zamannya dengan hormat dan kasih, dan mengakui diri sendiri sebagai anggota-anggota kelompok orang-orang, di antara siapa mereka hidup. Mereka harus berbagi dalam kehidupan kultural dan sosial dengan pelbagai hubungan dan urusan kehidupan insan. Karena itu mereka harus mengenal tradisi religius dan kultural orang lain, bahagia menemukan dan siap sedia menghormati benih-benih sabda yang tersembunyi dalam diri mereka … Seperti Kristus sendiri … demikian pula para murid-Nya harus mengenal orang-orang di antara siapa mereka hidup. Mereka harus menjalin hubungan dengan orang-orang itu, belajar dengan dialog yang tulus dan sabar, tentang kekayaan apa yang dilimpahkan Allah kepada bangsa-bangsa di bumi ini. Sekalipun mereka harus mencoba menerangi kekayaan ini dengan cahaya Injil, membebaskannya dan membawanya ke dalam Kerajaan Allah Sang Penyelamat (AG, art. 11, 41; bdk. AA, art. 14, 29).

Dialog tidak dipandang sebagai strategi kristenisasi, tetapi sebagai wujud konkret meneladan hidup Yesus Kristus (AG, art. 11-12, bdk. RM, art. 42-43). Lewat dialog, Gereja ingin agar Kristus makin dicintai dan mengajak manusia mencintai sesama. Dalam kesaksiannya lewat dialog Gereja membantu umat manusia untuk bertobat dengan mengusahakan keadilan dan perdamaian.

2. Dialog sebagai Misi Penginjilan Gereja

(33)

pengungkapan penginjilan Gereja. Penginjilan bertujuan mempertobatkan dalam arti penerimaan bebas kabar baik Allah dan menjadi anggota Gereja. Dialog sebaliknya, mengandaikan pertobatan dalam arti kembali kepada hati Allah dalam kasih dan ketaatan pada kehendak-Nya. Dengan demikian, dialog tidak bertentangan dengan perutusan Gereja bila dipahami sebagai sarana dan metode untuk saling memperkaya dan saling mengenal.

3. Dialog sebagai Usaha Mewujudkan Kerajaan Allah

(34)

B. Pengertian Dialog Antar Umat Beriman

Muhammad Wahyuni Nafis (1998: 96) dengan menekankan kembali pemikiran Swidler mengartikan dialog sebagai perbincangan dua orang atau lebih yang masing-masing memiliki pandangan yang berbeda, yang tujuan utamanya adalah saling belajar antar peserta dialog sehingga masing-masing peserta bisa saja mengubah pandangannya dan meningkat pengalaman religiusnya. Kemampuan untuk belajar sesuatu yang baru merupakan kunci dialog. Dialog yang menjembatani jurang di antara kita tidak tergantung kepada persetujuan berdasarkan pemikiran yang umum, melainkan kesadaran bahwa perbedaan-perbedaan adalah hal yang dapat dipelajari. Gadamer menekankan bahwa dialog bukan sesuatu yang kita ciptakan tetapi kita terlibat di dalamnya, dan merupakan percakapan di mana tidak ada yang memimpin atau dipimpin (Mega Hidayati, 2008: 54). Pemimpin di sini berarti mereka yang mengontrol percakapan, sehingga memungkinkan percakapan direkayasa dan hasilnya dapat diketahui sebelum percakapan berlangsung.

(35)

dialog yang baik adalah dialog yang memperjuangkan keadilan bagi kaum lemah, miskin, dan tertindas.

Pandangan para ahli tentang dialog tersebut sejalan dengan pandangan Gereja. Dokumen sekretariat pasca Konsili Vatikan II, DP, art. 9 membedakan dialog dalam tiga macam arti. Arti pertama dalam tingkat manusiawi sehari-hari, sebagai komunikasi timbal balik. Tujuan komunikasi ini dapat berupa sekedar tukar menukar informasi, atau untuk meraih kesepakatan, atau menjalin persatuan. Arti kedualebih berkaitan dengan tugas evangelisasi yang harus dijalankan dalam semangat dialogis. Dialog dalam arti ini dipahami sebagai sikap hormat, penuh persahabatan, ramah, terbuka, suka mendengarkan orang lain. Arti ketiga dialog dipandang sebagai hubungan antaragama yang positif dan konstruktif. Hubungan ini dilangsungkan dalam hubungan dengan pribadi-pribadi dan umat dari agama-agama lain, yang diarahkan untuk saling memahami dan saling memperkaya.

Armada Riyanto (1995: 103) dengan menekankan pemikiran Paus Yohanes Paulus II dalam Dialogue Leads to Genuine Conversion no. 46, melihat dialog dalam level paling mendalam yang pada prinsipnya ialah dialog keselamatan. Dialog keselamatan ialah dialog yang terus-menerus berusaha menemukan, memperjelas, dan memahami tanda-tanda Allah dalam persatuan manusia sepanjang masa. Dialog keselamatan merupakan sharing keselamatan. Dalam dialog ini, mereka yang terlibat di dalamnya diajak untuk saling membagikan pengalaman keselamatannya.

(36)

Karena agama-agama, seperti Gereja, harus melayani dunia, dialog antaragama tidak bisa terbatas pada masalah religius tetapi harus mencakup semua dimensi kehidupan: ekonomi, sosial, politik, budaya, dan agama. Komitmen semua agama adalah untuk perwujudan kehidupan yang menyeluruh bagi umat manusia sehingga mereka bisa saling mengisi dan menemukan urgensi dan relevansi dialog di semua tingkatan (Knitter, 2002: 229).

Demikianlah dialog sebagai suatu transformasi menuju pembangunan dunia yang baru hendaknya tidak hanya terbatas pada masalah religius saja, tetapi melibatkan seluruh dimensi kehidupan manusia karena pewartaan tidak mungkin tanpa keterlibatan untuk mengubah, dan tidak ada perubahan tanpa tindakan.

Setelah membaca pandangan beberapa ahli dan Gereja tentang dialog, maka penulis sendiri memahami hakikat dialog umat beriman sebagai perjumpaan antar manusia yang memiliki hati dijiwai oleh roh Allah sendiri untuk mengubah dunia. Bagi penulis, dialog tidak hanya cukup sekedar tukar menukar pendapat, pengetahuan, dan sharing iman saja tetapi lebih dari itu mengandaikan adanya hati, kepedulian dari peserta dialog untuk dapat mengubah dunia, menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada dalam dunia saat ini, mengusahakan suatu dunia di mana Allah meraja di dalamnya, di mana semua orang dapat mengalami cinta kasih Allah tanpa kecuali. Mengutip pemikiran dari Freire (1985: 71):

(37)

Dengan demikian mau dikatakan bahwa, dialog melibatkan dua dimensi yakni refleksi dan tindakan. Dalam suatu interaksi, bila salah satunya dikorbankan meskipun hanya sebagian; maka yang lainnya dirugikan; sehingga dialog tersebut menjadi tidak bermakna sama sekali. Jika dalam sebuah dialog dihilangkan dimensi tindakannya, dengan sendirinya refleksi akan dirugikan, sehingga dialog tersebut menjadi tidak bermakna sama sekali.

C. Tujuan Dialog Antar Umat Beriman

(38)

Dalam dialog, pemahaman kita, pemahaman partner dialog dan segala hal yang ada di sekitarnya mengalami suatu perubahan. Sikap kepada diri sendiri dan kepada orang lain, dan tingkah laku kita menjadi lebih baik. Dengan kata lain, dalam dialog semua pelakunya mengalami suatu transformasi. Swidler (1990: 63) dengan menegaskan pemikiran John Cobb menyatakan bahwa sangat penting dalam dialog bahwa kita berusaha mengenal partner dialog dengan sungguh-sungguh dan mencoba untuk memahami dan bersimpati kepada mereka. Dalam dialog kita belajar apa yang dimiliki oleh partner dialog dalam kehidupan bersama, perbedaan-perbedaan yang mereka miliki, menjembatani antipati dan kesalah-pahaman, agar dalam hidup bersama kita menjadi lebih dekat, merasakan, dan bertindak dalam basis hidup bersama. Dalam masyarakat kita yang plural, dialog membantu kita untuk memahami perbedaan-perbedaan yang ada sehingga kita dapat saling mengerti, lebih dekat, dan dapat bertindak dalam basis hidup bersama.

(39)

Dalam dokumen Sikap Gereja Terhadap Para Penganut Agama Lain diungkapkan bahwa Gereja membuka dirinya bagi dialog untuk tetap setia pada manusia (Secretariat for Non Christians, 2007: 12). Dalam dialog antar pribadi orang mengalami keterbatasan masing-masing dan juga kemungkinan mengatasinya. Dalam dialog, orang akan menemukan bahwa ia tidak memiliki kebenaran secara sempurna dan menyeluruh, melainkan dapat melangkah bersama dengan orang lain menuju sasaran itu. Peneguhan satu sama lain, koreksi timbal balik, dan pertukaran persaudaraan membawa para peserta kepada dialog yang membawa kepada kematangan lebih besar yang pada akhirnya melahirkan persekutuan antar pribadi. Pengalaman dan pandangan keagamaan dengan sendirinya dapat dimurnikan dan diperkaya dalam proses pertemuan ini.

Dengan demikian, penulis dapat menyimpulkan bahwa tujuan dialog antar umat beriman dalam masyarakat yang plural adalah agar orang mendapatkan pemahaman yang baru, memiliki perubahan sikap, dan kemudian melakukan suatu gerakan atau aksi bersama untuk mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah dalam hidup bersama. Nilai-nilai Kerajaan Allah yang dimaksud adalah terciptanya perdamaian, keadilan, kebebasan, kasih, persaudaraan, dan lain-lain. Ini merupakan suatu panggilan bagi semua orang beriman untuk mengusahakan terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah tersebut dalam hidup bersama.

D. Subyek Dialog Antar Umat Beriman

(40)

Konsili Vatikan II, Gereja memandang bahwa yang boleh berdialog hanyalah para pemimpin atau pemuka agama saja. Dialog bukanlah suatu konsep semata tetapi merupakan fakta yang terjadi dalam hidup sehari-hari masyarakat kita yang plural. Dalam kebersamaannya dengan orang lain semua orang membutuhkan dialog. Swidler (1990: 60) memandang bahwa yang berhak untuk menjadi subyek atau pelaku dialog bukan hanya pemimpin atau pemuka agama, hierarki, melainkan semua orang beriman, bahkan mereka yang termasuk dalam kelompok umat biasa. Yang terpenting adalah bahwa dialog harus melibatkan semua umat tanpa membedakan status, pangkat, atau jabatan penting dalam sebuah komunitas.

(41)

Sejalan dengan pemikiran Swidler, Konsili Vatikan II juga menekankan keterlibatan semua umat beriman dalam melaksanakan tugas perutusannya. AA, art. 16 menekankan pentingnya kerasulan yang harus dijalankan oleh setiap orang secara pribadi dan secara melimpah mengalir dari sumber hidup kristiani yang sejati. Hendaknya umat Katolik berusaha bekerjasama dengan semua orang yang beritikad baik, untuk memajukan apapun yang benar, apapun yang adil, apapun yang suci, apapun yang manis (AA, art. 14). Mengenai tugas perutusan tersebut AG, art. 11 menyatakan sebagai berikut:

… sebab segenap Umat beriman kristiani, di mana pun mereka hidup, melalui teladan hidup serta kesaksian lisan mereka wajib menampilkan manusia baru… dengan demikian sesama akan memandang perbuatan-perbuatan mereka dan memuliakan Bapa. Supaya kesaksian mereka akan Kristus dapat memperbuahkan hasil, hendaklah mereka dengan penghargaan dan cinta kasih menggabungkan diri dengan sesama, menyadari diri sebagai anggota masyarakat di lingkungan mereka, dan ikut serta dalam kehidupan budaya dan sosial melalui aneka cara pergaulan hidup manusiawi dan pelbagai kegiatan.

Tugas perutusan dari semua orang kristiani untuk sunggguh-sungguh berusaha mewartakan Injil kepada semua orang, salah satunya dengan menggabungkan diri dengan sesama melalui dialog antar umat beriman. Dengan demikian, dialog sebagai fakta yang terjadi dalam masyarakat kita yang plural menjadi tanggung-jawab semua umat beriman tanpa kecuali.

E. Hambatan-Hambatan dalam Dialog Antar Umat Beriman

(42)

Menurut DP, art. 52 hambatan-hambatan dalam dialog antar umat beriman umumnya menyentuh faktor-faktor manusiawi, antara lain:

1. Tidak cukup memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang agama-agama lain secara benar dan seimbang akan menyebabkan kurangnya penghargaan dan sekaligus akan mudah memunculkan sikap-sikap curiga yang berlebihan.

2. Perbedaan kebudayaan karena tingkat pendidikan yang tidak sama, juga masalah bahasa yang sangat peka dalam kelompok-kelompok tertentu. 3. Faktor-faktor sosial politik dan beban ingatan traumatis akan

konflik-konflik dalam sejarah.

4. Pemahaman yang salah mengenai beberapa istilah yang biasa muncul dalam dialog, misalnya pertobatan, pembabtisan, dialog, dan seterusnya.

5. Merasa diri paling sempurna, sehingga memunculkan sikap-sikap defensif dan agresif.

6. Kurang yakin terhadap nilai-nilai dialog antar umat beriman; sejumlah orang menganggapnya sebagai suatu tugas khusus para ahli, atau melihat dialog sebagai salah satu tanda kelemahan atau malahan pengkhianatan iman.

7. Kecenderungan untuk berpolemik bila mengungkapkan keyakinan gagasannya.

8. Permasalahan zaman sekarang ini, misalnya bertumbuhnya materialisme, sekularisme, sikap acuh tak acuh dalam hidup, dan banyaknya sekte-sekte keagamaan fundamentalis yang menimbulkan kebingungan dan memunculkan persoalan-persoalan tertentu.

9. Sikap tidak toleran yang kerap kali diperparah oleh faktor-faktor politik, ekonomi, ras, etnis, dan aneka kesenjangan lainnya.

Hambatan-hambatan di atas menurut DP, art. 53 muncul karena kurangnya pemahaman mengenai hakikat dialog yang sejati dan tujuan hakiki dari dialog.

F. Syarat-Syarat Dialog Antar Umat Beriman

(43)

haruslah memenuhi syarat-syarat yakni adanya rasa cinta, kerendahan hati, keyakinan, harapan, dan melibatkan pemikiran kritis.

1. Adanya Rasa Cinta

Dialog tidak dapat berlangsung tanpa adanya rasa cinta yang mendalam terhadap dunia dan sesama manusia. Cinta sekaligus menjadi dasar dari dialog, serta dialog itu sendiri (Freire, 1985: 74). Karena cinta merupakan suatu laku keberanian, maka cinta adalah pemihakan kepada orang lain. Penamaan dunia dalam dialog selalu menyertakan cinta dengan berbasis kemandirian bukan ketergantungan. Cinta yang kreatif, mendorong ke arah hidup dan bukan ke arah kematian dan perusakan. Cinta tidak boleh sentimental dan tidak boleh dijadikan sebagai alat manipulasi. Cinta harus melahirkan tindakan-tindakan pembebasan berikutnya. Jika saya tidak mencintai dunia, saya tidak mencintai kehidupan, jika saya tidak mencintai sesama manusia saya tidak dapat memasuki dialog (Freire, 1985: 75).

(44)

kegiatan akademis atau intelektual, tetapi suatu tindakan rohani yang melibatkan iman, harapan, dan kasih. Oleh karena itu, dialog harus dimaknai sebagai suatu sikap religius: mencintai Allah melampaui segala hal dan mencintai sesama seperti saya mencintai diriku sendiri.

2. Kerendahan Hati

Dialog sebagai perjumpaan antar sesama manusia dibebani tugas bersama untuk belajar dan berbuat. Dialog antar umat beriman yang sejati tidak akan terwujud bila para pelakunya tidak memiliki sikap kerendahan hati untuk mau belajar dari orang lain. Menurut Gadamer, orang yang berpengalaman bukanlah mereka yang tahu lebih banyak sebagaimana pemikiran umum, tetapi orang yang dapat membuka dirinya pada pengalaman baru, dan mampu belajar dari pengalaman tersebut (Mega Hidayati, 2008: 37). Para peserta dialog harus memandang lawan bicaranya sebagai teman yang juga ingin menyumbangkan pandangan yang bernilai bagi kehidupan manusia, tidak memandangnya sebagai lawan yang ingin menyerang pandangannya demi menunjukkan bahwa dirinya memiliki pandangan yang lebih bernilai dari orang lain. Dalam dialog tidak ada orang yang bijak ataupun bodoh, yang ada adalah orang-orang yang terus mencoba, secara bersama-sama belajar lebih banyak dari apa yang sekarang mereka ketahui.

3. Kepercayaan

(45)

di antara pelakunya merupakan suatu konsekuensi yang masuk akal (Freire, 1985: 77). Dialog antar umat beriman menuntut adanya keyakinan yang mendalam terhadap diri manusia, keyakinan pada kemampuan manusia untuk membuat dan membuat kembali, untuk mencipta dan mencipta kembali, keyakinan pada fitrahnya untuk menjadi manusia seutuhnya. Dengan demikian, untuk dapat mengikuti dialog orang harus yakin pada dirinya sendiri sehingga bisa percaya kepada orang lain. Keyakinan terhadap diri manusia adalah sebuah prasyarat a priori bagi dialog. Manusia dialogis percaya pada orang lain bahkan sebelum ia bertatap muka dengannya. Tanpa adanya kepercayaan terhadap sesama manusia, dialog hanyalah sebuah omong kosong saja. Cinta palsu, kerendahan hati palsu, dan keyakinan yang lemah terhadap diri manusia tidak akan membuahkan rasa saling percaya. Kepercayaan bergantung pada kenyataan di mana suatu pihak menunjukkan kepada pihak lain tujuannya yang murni dan konkrit. Hal ini tidak akan terjadi bila kata-kata peserta dialog tidak sejalan dengan tindakannnya (Freire, 1985: 78).

4. Harapan

(46)

hasil dari dialog mereka, maka pertemuan itu akan menjadi sesuatu yang kosong, hampa, birokratis, dan menjemukan.

5. Melibatkan Pemikiran Kritis

(47)

G.Elemen-elemen yang Harus Ada dalam Dialog Antar Umat Beriman

Knitter dalam “Interreligious Dialogue: What? Why? Who?” memandang bahwa dalam dialog orang akan bertemu dengan orang lain dan mempercayainya ketika berbicara, belajar darinya, dan bekerja dengan orang yang lain tersebut. Ia adalah seorang profesor teologi di Xavier University, Cincinnati, dan seorang promotor yang giat mengembangkan dialog yang efektif antar umat Kristen dan umat non Kristen. Melalui pengalamannya, Knitter (1990: 19) menemukan empat elemen penting yang harus ada dalam dialog yakni perbedaan, kepercayaan, kesaksian, dan pengetahuan.

1. Perbedaan

(48)

2. Keyakinan

(49)

3. Kesaksian pada Partner Dialog tentang Keyakinan dan Pengalaman Religius Kita

Dalam dialog interreligius kita harus berbicara tentang pengalaman religius, pengalaman iman (Knitter, 1990: 23). Pengalaman tentang kebenaran religius seperti semua kebenaran, tidak dapat hanya “untuk saya” atau untuk diri kita sendiri. Kita ingin agar partner dialog melihat apa yang kita miliki, pengalaman iman kita, menyentuh hidup mereka, dan mengubahnya seperti yang telah kita alami. Dalam pengalaman religius, kebenaran selalu universal; bukan untuk satu orang saja. Kesaksian bisa diambil dalam bentuk-bentuk lain, dan hadir dalam tingkat yang berbeda. Dalam dialog kita memberikan kesaksian untuk memperkembangkan bukan untuk menyelamatkan. Kautsar Azhari Noer (1998: 281) dengan menekankan kembali pemikiran Dunne mengatakan bahwa suatu usaha melintasi (passing over)

dari satu budaya ke budaya yang lain, dari satu agama ke agama yang lain, harus diikuti dengan suatu proses kembali, kembali dengan wawasan baru kepada budaya sendiri, cara hidup sendiri, agama sendiri. Dialog tidak bermaksud menawarkan pertobatan bagi yang lainnya, tetapi sebaliknya mengajak untuk semakin yakin dalam komitmen akan keyakinan kita masing-masing.

4. Keterbukaan Hati untuk Mendengarkan dan Belajar dari Pengalaman dan Keyakinan Partner Dialog

(50)

kepada kita penyimpangan dari pemahaman kita akan kebenaran. Untuk itu, setiap pertemuan interreligius menyatakan bagaimana sangat berbedanya kita dan seberapa besar pemahaman kepada orang lain yang ternyata sangat kurang dan kadang ditutupi oleh pemikiran kita; kita akan selalu melihatnya, lebih dari luar, melalui agama lain. Knitter (1990: 25) dengan menekankan pemikiran David Tracy dalam

Analogical Imagination mengajak kita untuk membiarkan imajinasi bebas bermain dalam usaha menyeberangi atau dalam bahasa John S. Dunne passing over

perbedaan dalam agama-agama lain. Dengan masuk ke dalam perbedaan-perbedaan tersebut, kita akan menemukan bahwa apa yang semula asing dan mungkin mengancam, sekarang menjadi sebuah undangan. Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Oleh karena itu, dalam pencarian akan kebenaran, kita membutuhkan orang lain. Orang lain bukanlah pihak luar atau penolong yang kebetulan, tetapi sebagai yang sungguh-sungguh dibutuhkan untuk menyingkapkan kemungkinan baru, kebenaran yang baru.

H.Bentuk-Bentuk Dialog

Dialog memiliki berbagai macam bentuk. Bentuk-bentuk dialog antar lain dialog kehidupan, dialog karya, dialog pandangan teologis, dan dialog pengalaman keagamaan/spiritual.

1. Dialog Kehidupan

(51)

masyarakat majemuk yang paling umum dan mendasar adalah ciri dialogis. Mgr. Ignatius Suharyo (2009: 83) mendefinisikan dialog kehidupan sebagai cara bertindak, suatu sikap, semangat yang membimbing perilaku seseorang. Di dalam dialog kehidupan terkandung perhatian dan keterbukaan untuk menerima orang lain. Dalam kehidupan bersama sehari-hari orang mengalami berbagai pengalaman yang khas baik suka maupun duka. Setelah mengalami pengalaman tersebut orang tergerak untuk membagikan pengalamannya kepada orang lain. Saling terlibat dalam pengalaman orang lain berlangsung dalam suatu wujud kehidupan yang dialogis.

(52)

2. Dialog Karya

Dialog karya yang dimaksud adalah kerjasama yang lebih intens dan mendalam dengan para pengikut agama-agama lain (Armada Riyanto, 1998: 110). Sasaran yang hendak diraih yakni pembangunan manusia dan peningkatan martabat manusia. Masalah-masalah besar yang dihadapi umat manusia saat ini menjadi pendorong adanya dialog karya antar pengikut agama-agama. Bentuk dialog semacam ini biasanya berlangsung dalam konteks organisasi lokal, nasional, ataupun internasional. Sejak Konsili Vatikan II, Gereja secara konkret dan resmi terlibat dalam dialog karya dan mendesak umatnya, mulai dari kelompok yang paling kecil sampai keuskupan, untuk mengusahakan dialog karya yang bertumpu pada kerjasama dalam karya-karya. Menghadapi dunia yang berada dalam penderitaan, kelaparan, pemukiman yang tidak manusiawi, distribusi kekayaan yang tidak adil, dan perusakan lingkungan, maka dialog karya dapat menjadi titik tolak tindakan bersama, suatu aksi global untuk membangun dunia baru.

3. Dialog Pandangan Teologis

(53)

manusia pada umumnya (Armada Riyanto, 1998: 112). Dialog semacam ini biasanya terjadi bila partner dialog sudah mempunyai visinya sendiri mengenai dunia dan berpegang teguh pada suatu ajaran atau agama yang mengilhaminya untuk bertindak. Karenanya, dialog ini membutuhkan visi yang mantap. Dialog teologis lebih mudah terlaksana di dalam masyarakat yang majemuk, di mana berbagai tradisi dan ideologi hidup berdampingan dan saling berhubungan. Dialog pandangan teologis tidak dan tidak boleh berpretensi apa-apa, kecuali untuk saling memahami pandangan teologis dan penghayatan terhadap nilai-nilai rohani agama masing-masing. Dialog pandangan teologis tidak boleh dimaksudkan untuk menyerang pandangan sesama partner dialog. Dialog teologis meminta keterbukaan dari setiap peserta untuk menerima dan mengadakan pembaruan-pembaruan yang makin sesuai dengan nilai-nilai rohaninya.

4. Dialog Pengalaman Keagamaan/Spiritual

(54)

doa, kontemplasi, meditasi, bahkan pengalaman iman dalam arti yang lebih mendalam misalnya pengalaman mistik. Mereka juga saling membagikan kewajiban serta ungkapan-ungkapan dan cara-cara mereka dalam mencari Yang Absolut. Oleh sebab itu, dialog pengalaman keagamaan sangat mengandaikan iman yang mantap dan mendalam. Bentuk dialog yang semacam ini dapat saling memperkaya dan menghasilkan kerjasama yang bermanfaat untuk memajukan dan memelihara nilai-nilai tertinggi dan cita-cita rohani manusia.

I. Perkembangan Dialog Umat Beriman dalam Gereja Indonesia Sampai Saat Ini

(55)

Pada tahun yang sama (1966) MAWI juga mendukung dan meminta Roma menyusun Directorium De Re Oecumenica untuk daerah-daerah misi. Menyusul pada tahun 1968, diadakan terjemahan Alkitab Ekumenis. Pada tahun 1966, MAWI meminta kepada para provinsial dan pembesar tarekat atau ordo untuk menunjuk atau mendidik seorang ahli dalam hal agama Islam. Ini dilakukan Gereja untuk menegaskan komitmen penghargaan dan penghormatan yang dialogis kepada agama-agama besar di lingkungan sekelilingnya sesuai dengan amanat dokumen Nostra Aetate dari Konsili Vatikan II (Armada Riyanto, 1995: 122).

Pada periode tahun 1970-1975, keterlibatan Gereja Katolik dalam dialog agama-agama mulai menemukan bentuknya yang makin konkret, terutama lewat kebijakan-kebijakan pastoral dan berbagai pertemuan dialogis. Pada tahun 1970, MAWI mengeluarkan Pedoman Kerja Umat Katolik Indonesia yang pada bab II secara khusus berbicara mengenai masalah kerjasama antaragama. Nama PWI Ekumene kemudian diubah menjadi PWI hubungan antaragama dan kepercayaan (HAK) pada tahun 1975. Dengan digantikannya nama ekumene menjadi HAK menunjukkan keterlibatan Gereja dalam dialog mengalami perkembangan yang baru. Perkembangan baru ini menjadi konkret dengan dibentuknya Tim Forum Antaragamayang menjadi bagian dari PWI HAK. Tim ini bertugas secara sistematis menggalang usaha-usaha menuju dialog agama lewat berbagai kegiatan studi, pertemuan, dan lain-lain (Armada Riyanto, 1995: 123).

(56)

hubungan antar agama dan kepercayaan. Menyusul tahun 1979, buletin dari Sekretariat PWI HAK hadir dua bulan sekali. Tahun 1980, disetujui Garis Kebijaksanaan PWI HAK yang berisi tujuan lingkup tugas pokok dan usaha-usaha yang ditempuh untuk meningkatkan keterlibatan Gereja dalam dialog, baik secara nasional maupun internasional. Antara lain dipromosikan usaha mengembangkan konsientisasi untuk berdialog dengan umat beragama lain dan penganut kepercayaan baik di tingkat nasional maupun di tingkat keuskupan. Perkembangan penting lainnya terjadi pada tahun 1980 dengan disetujuinya pengangkatan penghubung PWI HAK di tingkat keuskupan. Gambaran tugasnya antara lain mengusahakan berkembangnya kesadaran berdialog pada umat. Di tahun 1985, MAWI menerbitkan suatu buku pedoman hubungan Gereja dan Negara bagi umat Katolik yakni; Umat Katolik Indonesia dalam Masyarakat Pancasila. Diungkapkan secara tegas bahwa salah satu alasan utama para Uskup Indonesia menerbitkan dokumen ini adalah keinginan untuk memelihara dan meningkatkan 3 matra kerukunan yakni kerukunan umat seagama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah (Armada Riyanto, 1995: 124).

(57)

banyak mengangkat tema perdamaian dan dialog lintas agama. Tema umum Aksi Puasa Pembangunan tahun ini yakni “Pemberdayaan Hubungan Antar Umat Beriman” membantu meningkatkan semangat berdialog umat Katolik. Tema-tema tersebut kemudian dikembangkan dalam judul-judul pertemuan katekese yang bermaksud membantu umat Katolik untuk meningkatkan pemahaman dan keterlibatan umat dalam dialog antar umat beriman. Hal ini menunjukkan bahwa Gereja Indonesia sampai saat ini terus berusaha terlibat dalam usaha mengembangkan dialog antar umat beriman.

(58)
(59)

DAN PELAKSANAANNYA DI STASI ST. MARIA CIKAMPEK PAROKI KRISTUS RAJA KARAWANG

Pada bab III ini penulis memaparkan situasi nyata tentang pemahaman dan keterlibatan umat stasi St. Maria Cikampek dalam dialog antar umat beriman. Untuk mengetahui pemahaman dan keterlibatan umat stasi St. Maria Cikampek dalam dialog antar umat beriman maka penulis mengadakan suatu penelitian. Pembahasan pada bab III ini penulis bagi menjadi dua sub bab yakni gambaran umum stasi St. Maria Cikampek, dan penelitian tentang pemahaman dan keterlibatan umat dalam dialog antar umat beriman. Pada sub bab pertama, penulis memaparkan gambaran umum stasi St. Maria Cikampek yang terdiri dari latar belakang berdirinya stasi St. Maria Cikampek dan perkembangan umat sampai saat ini. Dalam sub bab kedua penulis memaparkan latar belakang penelitian, pembahasan, kesimpulan hasil penelitian, serta hal-hal yang mendukung dan menghambat penulis dalam melaksanakan penelitian ini.

A. Gambaran Stasi St. Maria Cikampek

(60)

1. Latar Belakang Berdirinya Stasi St. Maria Cikampek

Stasi St. Maria Cikampek masuk wilayah gerejawi Paroki Kristus Raja Karawang yang berbatasan langsung dengan Paroki Salib Suci Purwakarta dan Paroki Bunda Pembantu Abdi Pamanukan. Terbentuknya stasi St. Maria Cikampek merupakan peningkatan wilayah St. Maria seiring dengan perkembangan jumlah umat Katolik yang cukup pesat serta jarak dengan gereja induk yang relatif jauh. Oleh karena itu, sejarah berdirinya stasi St. Maria Cikampek tidak dapat dilepaskan dari perjalanan wilayah St. Maria (Panitia 25 Tahun Paroki Kristus Raja Karawang, 2007: 24-27).

Stasi St. Maria Cikampek bermula dari berdirinya Kring Dawuan tahun 1970 yang dikoordinasi oleh Ibu Y.B. Tukimin. Kegiatan doa bersama dilakukan secara rutin di rumah orang tua Ibu Tukimin. Seiring berjalannya waktu rumah tersebut disepakati sebagai Kapel Dawuan. Dawuan adalah kelurahan di sebelah barat Cikampek. Pada tahun 1972, umat Katolik berkembang sampai ke Cikampek. Pada tahun 1983, dibentuk pengurus Kring St. Maria yang melayani daerah mulai Rel Kereta Api Klari, Kosambi, sampai dengan sebelah timur Cikampek yakni Cilamaya. Tahun 1995 Pastor Paskasius Bekatmo, OSC yang bertugas sebagai pastor pembantu di Paroki Karawang mulai melakukan pemekaran wilayah sesuai dengan kebijakan komunitas basis yang digariskan dalam Buku Kuning Keuskupan Bandung. Kring atau Lingkungan St. Maria kemudian dibagi menjadi enam lingkungan. Pada tahun 1997, secara resmi Kring St. Maria ditingkatkan statusnya menjadi Wilayah St. Maria dengan ketua Bapak Teddy Haryono.

(61)
(62)

2. Jumlah dan Perkembangan Umat Stasi St. Maria Cikampek

Cikampek merupakan kota kecil yang dilalui jalur strategis pantura dari Jakarta menuju wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Cikampek pula terdapat persimpangan rel kereta api antara Jakarta-Bandung dan Jakarta-Cirebon. Setiap mendekati hari raya lebaran, Cikampek selalu menjadi langganan layar kaca. Penduduk Cikampek sebagian besar adalah orang Sunda yang beragama Islam. Selain itu, masih banyak kaum migran yang datang dari berbagai daerah di Indonesia seperti Sumatera, Jawa, NTT, Ambon, dan Tionghoa yang beragama Katolik. Umat yang datang dari berbagai latar belakang suku dan budaya tentu saja memiliki cara penghayatan hidup beriman yang berbeda satu sama lainnya. Situasi hidup yang plural ini merupakan suatu kekayaan dan sekaligus menjadi tantangan dalam penghayatan hidup beriman khususnya dalam dialog antar umat beriman.

Situasi penduduk secara khusus umat Katolik yang ada di stasi St. Maria Cikampek ini kurang lebih sama dengan situasi umat yang ada di paroki pada umumnya di mana umatnya terdiri dari masyarakat yang heterogen, baik dari segi etnis, budaya, dan pekerjaan. Jumlah yang sedikit dalam komposisi jumlah penduduk tidak membuat warga Katolik di wilayah ini merasa minder, bahkan mereka cukup aktif terlibat dalam masyarakat, beberapa di antaranya juga ada yang dipercayai untuk menduduki beberapa jabatan penting dalam masyarakat seperti dalam kepengurusan RT atau RW. Hanya saja beberapa lingkungan sampai saat ini masih menemui kendala untuk melakukan kegiatan bersama seperti koor dan doa bersama karena dilarang oleh masyarakat setempat.

(63)

a. Lingkungan A. Yani

Umat di lingkungan A. Yani ini berjumlah 17 KK dengan 63 jiwa (Jamlean, 2008: 7). Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang Tionghoa yang bekerja sebagai pedagang dan pengusaha. Selain itu, ada juga umat yang berasal dari Jawa dan Batak. Karena kesibukan umat maka kegiatan di lingkungan ini kurang berjalan dengan baik. Walaupun begitu, ada beberapa umat yang rela memberikan tempat untuk doa atau latihan koor bagi lingkungan-lingkungan lain yang tidak bisa mengadakan kegiatan karena dilarang oleh masyarakat setempat.

b. Lingkungan Pegadungan

Lingkungan ini merupakan lingkungan yang daerahnya paling luas dan jauh dari pusat kota Cikampek sehingga cukup sulit untuk dijangkau transportasi umum. Kebanyakan umat di lingkungan ini berasal dari Flores, Kupang, dan Jawa dengan jumlah umat 36 KK atau 129 jiwa (Jamlean, 2008: 7). Umat di lingkungan ini banyak bekerja sebagai karyawan dan satpam di pabrik-pabrik yang berada di Cikampek dan Jakarta. Karena letak tempat kerja yang jauh menyebabkan yang aktif dalam kegiatan lingkungan kebanyakan adalah ibu-ibu. Walaupun begitu kegiatan-kegiatan lingkungan berjalan cukup baik.

c. Lingkungan Pondok Melati

(64)

kegiatannya berjalan dengan baik karena didukung oleh masyarakat setempat. Jarak dari satu rumah ke rumah yang lain juga dekat karena semuanya berada dalam satu kompleks perumahan sehingga kegiatan lingkungan dapat berjalan dengan lancar.

d. Lingkungan Permata Regency

Jumlah umat lingkungan ini adalah 16 KK atau 57 jiwa (Jamlean, 2008: 8) dengan sebagian besar umatnya berasal dari Batak. Penduduk di daerah perumahan ini mayoritas berasal dari Sumatera baik yang beragama Protestan maupun Katolik. Kegiatan-kegiatan lingkungan juga berjalan dengan cukup baik. Hanya saja umat masih was-was untuk mengadakan latihan koor atau kegiatan-kegiatan kerohanian yang melibatkan banyak orang karena tidak disetujui oleh penduduk di daerah perkampungan sekitar. Oleh karena itu, umat lingkungan sering mengadakan latihan koor di lingkungan lain.

e. Lingkungan Eka Mas

Jarak rumah umat di lingkungan ini cukup berjauhan satu sama lain dan daerahnya berada dekat dengan perkampungan penduduk sehingga semua kegiatan yang bersifat rohani tidak dapat berjalan sama sekali. Bahkan pernah terjadi ada rumah umat yang dilempari dengan batu karena mengadakan latihan koor. Untuk menyiasati hal tersebut maka umat lingkungan ini sering mengadakan kegiatan doa dan latihan koor di rumah umat yang berada di lingkungan A. Yani dan Rawa Mas. Sebagian besar umat yang berada di lingkungan ini berasal dari Flores dan Kupang dengan jumlah umat sebanyak 56 KK atau 201 jiwa (Jamlean, 2008: 8).

(65)

f. Lingkungan Rawa Mas

Lingkungan Rawa Mas merupakan lingkungan yang berada di pusat kota Cikampek dengan jumlah umatnya 51 KK atau 169 jiwa (Jamlean, 2008: 8). Sebagian besar umat lingkungan ini berasal dari Jawa dan Tionghoa yang bekerja sebagai pengusaha, kontraktor, dan karyawan sehingga ekonomi mereka dapat dikatakan sangat baik. Pelaksanaan kegiatan-kegiatan lingkungan juga berjalan dengan sangat baik karena jarak rumah umat yang berdekatan serta kondisi masyarakat sekitar yang mendukung.

B. Penelitian tentang Pemahaman dan Keterlibatan Umat Stasi St. Maria Cikampek dalam Dialog Antar Umat Beriman.

1. Latar Belakang

(66)

untuk melaksanakan kegiatan keagamaan seperti doa dan latihan koor karena dilarang oleh masyarakat setempat. Pelarangan ini menyebabkan sebagian umat cenderung menutup diri untuk bergaul dengan umat yang beragama Islam.

(67)

Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) yang berlaku secara nasional yakni “Pemberdayaan Hubungan Antar Umat Beriman” merupakan suatu peluang yang baik bagi umat beriman khususnya di stasi St. Maria Cikampek untuk menyadari tanggung-jawabnya membangun kehidupan bersama secara terbuka dalam kerjasama dan kebersamaan antar umat seagama dan yang berbeda agama. Dengan adanya tema APP 2009 ini diharapkan umat Katolik menyadari perlunya peningkatan wawasan iman secara terus menerus sehingga kehidupan umat Katolik sungguh-sungguh tampak dalam dialog kehidupan di tengah-tengah pluralitas hidup bermasyarakat. Selain itu diharapkan adanya kesadaran dan tanggung-jawab sosial bersama untuk ikut mengatasi konflik sosial berlatar belakang agama dan masalah kemiskinan dengan membangun usaha-usaha kooperatif lintas agama berdasarkan kasih. Dengan demikian diharapkan penghayatan hidup keagamaan bisa menjadi solusi dari persoalan kemanusiaan.

(68)

2. Rumusan Permasalahan

Adapun rumusan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana pemahaman umat stasi St. Maria Cikampek akan hakikat dialog antar umat beriman dalam masyarakat plural?

b. Sejauhmana keterlibatan umat stasi St. Maria Cikampek dalam dialog antar umat beriman?

c. Katekese seperti apakah yang menarik dan dapat membantu umat dalam meningkatkan dialog antar umat beriman?

3. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui bagaimana pemahaman umat stasi St. Maria Cikampek akan hakikat dialog antar umat beriman dalam masyarakat plural.

b. Untuk mengetahui sejauhmana keterlibatan umat stasi St. Maria Cikampek dalam dialog antar umat beriman.

c. Untuk mengetahui model katekese seperti apa yang menarik dan dapat membantu umat dalam meningkatkan dialog antar umat beriman.

4. Metodologi Penelitian

(69)

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif. Ada beberapa istilah yang digunakan untuk penelitian kualitatif yaitu penelitian naturalistik atau alamiah dan etnografi. Disebut penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah atau natural setting, sedangkan etnografi karena pada awalnya metode ini lebih banyak digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya (Sugiyono, 2008: 8). Moleong (1989: 3) dengan menekankan kembali pemikiran Bogdan dan Taylor mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penulis dalam penelitian ini menggunakan dua cara yakni wawancara dan observasi. Dalam penelitian kualitatif peneliti dengan teknik pengumpulan data observasi dan wawancara harus berinteraksi dengan sumber data. Dengan demikian peneliti kualitatif harus mengenal betul orang yang memberikan data. Wawancara juga dapat membantu penulis untuk sungguh merasakan emosi narasumber, sehingga dapat diketahui kejujuran responden saat menjawab pertanyaan yang diberikan.

(70)

mengharuskan penulis untuk terlibat secara langsung dalam proses penelitian menjadi suatu tantangan tersendiri untuk berproses bersama umat di mana penelitian diadakan dan menyesuaikan diri dengan kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan. Dengan berproses bersama umat di mana penelitian diadakan, kita dapat merasakan apa yang mereka alami dalam pergulatan hidup mereka sehari-hari. Kita dapat mempelajari pengalaman kelompok-kelompok dan pengalaman-pengalaman yang mungkin belum kita ketahui sama sekali. Penekanan metode kualitatif pada kualitas dengan lebih mementingkan proses dari pada hasil penelitian memungkinkan kita untuk menyelidiki konsep-konsep sebagai suatu kenyataan yang jika dipisah-pisahkan antar konteks satu dan lainnya tidak akan dapat dipahami. Berkaitan dengan hal ini maka sebelum menggali keterlibatan umat dalam dialog umat beriman dan katekese seperti apa yang menarik dan membantu umat dalam dialog antar umat beriman, penulis mempelajari keadaan awal umat dengan menggali pemahaman mereka akan hakikat dan makna dialog antar umat beriman.

b. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 21-26 Mei 2009 di stasi St. Maria Cikampek Paroki Kristus Raja Karawang.

c. Responden Penelitian

(71)

informasi baru maka jumlah responden akan dibatasi pada jumlah tersebut. Pengambilan sample menggunakan teknik purposive sampling (sample bertujuan) karena berorientasi pada prinsip kualitas atau kecukupan informasi dan data. Teknik

purposive sampling adalah cara pemilihan sample sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek atau situasi sosial yang diteliti.

d. Variabel yang Diteliti

Ada tiga variabel yang hendak diteliti dalam penelitian ini yakni pemahaman umat akan dialog antar umat beriman dalam masyarakat plural, keterlibatan umat stasi St. Maria Cikampek dalam dialog antar umat beriman, serta katekese sebagai upaya untuk meningkatkan dialog antar umat beriman. Berikut ini adalah tabel dari variabel yang diteliti.

Tabel 1. Variabel yang Diteliti

No Variabel Nomor Item Jumlah

1 Pemahaman Umat Akan Dialog Antar Umat Beriman

1, 2, 3, 4, 5 5

2 Keterlibatan Umat Dalam Dialog Antar Umat Beriman

6, 7, 8, 9 4

3 Katekese sebagai Upaya Meningkatkan Dialog Antar Umat Beriman

10, 11, 12 3

(72)

e. Teknik Pengumpulan Data

Dalam memperoleh data yang dibutuhkan sebagai bahan pembuatan laporan penelitian, ada beberapa cara yang digunakan oleh penulis dan disesuaikan dengan jenis penelitian kualitatif yaitu wawancara dan pengamatan secara langsung dengan cara ikut terlibat dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh umat dan bertukar pikiran dengan mereka. Adapun alasan memilih metode ini karena membantu penulis terlibat langsung bertukar pikiran dengan umat sehingga dapat memahami pandangan umat tentang dialog antar umat beriman. Wawancara juga membuka kemungkinan untuk memberikan pertanyaan terbuka sehingga membantu penulis mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang responden dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, di mana hal ini tidak bisa ditemukan dalam observasi. Untuk wawancara, penulis sengaja memilih beberapa umat yang merupakan tokoh yang terlibat aktif baik di stasi maupun dalam masyarakat dengan pertimbangan bahwa mereka mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian ini. Sebagai informan dengan kebaikan dan kesukarelaannya, mereka dapat memberikan pandangan dari segi orang dalam tentang nilai-nilai, sikap, proses, dan kebudayaan yang menjadi latar penelitian ini. Selama proses penelitian penulis melakukan pengamatan dan tanggapan penulis sendiri yang dituangkan dalam catatan lapangan.

(73)

pengecekan anggota. Pada metode ini peneliti dan responden berhadapan langsung

(face to face) untuk mendapatkan informasi secara lisan dengan tujuan mendapatkan data yang dapat menjelaskan permasalahan penelitian.

Sesuai dengan jenisnya, penulis memakai jenis wawancara seperti yang dikatakan oleh Sugiyono (2008: 233) yakni wawancara berstruktur dan wawancara tidak berstruktur. Wawancara berstruktur yaitu wawancara dengan mengajukan secara sistematis dan pertanyaan yang diajukan telah disusun sebelumnya. Yang dimaksud dengan wawancara tidak berstruktur adalah wawancara dengan mengajukan beberapa pertanyaan secara lebih luas dan leluasa tanpa terikat oleh susunan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Biasanya pertanyaan muncul secara spontan sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi ketika melakukan wawancara. Dengan teknik ini diharapkan terjadi komunikasi langsung, luwes dan fleksibel, serta terbuka sehingga informasi yang didapat lebih banyak dan luas.

Adapun alat yang digunakan untuk mendapatkan data yang lengkap dalam wawancara adalah panduan pertanyaan, perekam suara, dan kamera digital. Penulis juga menggunakan studi dokumen dalam pengolahan hasil penelitian.

f. Teknik Analisis Data

(74)

bahan-bahan lain, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain. Analisis data dilakukan dalam suatu proses yang berarti bahwa pelaksanaannya sudah mulai dilakukan sejak pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara intensif sesudah meninggalkan lapangan penelitian.

Untuk analisis data, penulis menggunakan model yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman yang terbagi dalam tiga tahap yakni reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data (Sugiyono, 2008: 246). Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya, sedangkan yang tidak penting dibuang. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah penulis untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan. Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplay atau menyajikan data. Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Selanjutnya digunakan teknik penarikan kesimpulan dan verifikasi. Teknik ini disebut juga teknik interpretasi data.

5. Laporan dan Pembahasan Hasil Penelitian

(75)

a. Responden

Jumlah responden yang penulis wawancarai

Gambar

Tabel 1. Variabel yang Diteliti
Tabel 2. Identitas Responden (N = 25)
Tabel 3. Pemahaman Umat akan Dialog Antar Umat Beriman dalam
Tabel 4. Keterlibatan Umat Stasi St. Maria Cikampek dalam Dialog
+3

Referensi

Dokumen terkait

Perusahaan LQ 45 dianggap paling ideal untuk menjadi objek penelitian ini karena mempunyai nilai kapitalisasi dan likuiditasnya paling besar serta dapat menjadi daya banding

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

ACE2 adalah reseptor fungsional untuk SARS-CoV-2, dan distribusinya dalam sistem saraf menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat menyebabkan manifestasi neurologis melalui jalur

Pada penelitian sebelumnya telah dikuasai teknik FISH untuk pengamatan aberasi kromosom stabil (translokasi) dengan menggunakan whole kromosom probe tunggal dan

• Anestesi dan Perawatan Intensif: meliputi pokok bahasan tentang resusitasi, anaestesia dan analgesia, manajemen kasus kegawatdaruratan di rumah sakit • Ilmu Penyakit Kulit

Lalu ditambahkan dengan 5 ml ethanol 95%, kemudian dishaker dengan kecepatan 200 rpm selama 1 jam, lalu disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm selama 15 menit,

Mengukur dan menganalisis persepsi petani terhadap peran penyuluh pada kegiatan penangkaran benih IPB 3S dilakukan dengan mengunakan pengukuran data scoring skala

Dalam sistem bangunan tinggi (high rise building), terdapat beberapa sistem utama yang bekerja secara terpadu demi terbentuknya bangunan tinggi utuh yang berdaya