• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hepatotoksisitas Imbas Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hepatotoksisitas Imbas Obat Anti Tuberkulosis (OAT)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Hepatotoksisitas Imbas Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Penyebab Tuberkulosis (TB) diketahui lebih dari satu abad dan selama hampir 50 tahun sudah ditemukan berbagai macam obat yang efektif untuk mengatasinya. Namun, masalah TB dunia sekarang lebih besar dari sebelumnya. Penyebab pasti ini tidak diketahui. Hal ini diperkirakan karena hubungan antara TB dengan infeksi HIV serta terjadinya Multiple Drug Resistant Tuberkulosis (TB-MDR). Setiap tahun diperkirakan ada satu juta kasus baru dan dua juta kematian terjadi akibat TB di dunia. (Amin dan Asril, 2006)

Selain itu, efek samping dan toksisitas obat juga memiliki sebuah ancaman baik untuk dokter dan pasien dalam melanjutkan terapi. Di antara berbagai efek yang disebabkan oleh obat TB, kerusakan hati yang paling banyak. Kerusakan hati disebabkan oleh sebagian besar obat lini pertama dan hal ini tidak hanya menjadi sebuah tantangan serius dalam menghadapi pengobatan dan perawatan TB tetapi juga menimbulkam kesulitan dalam memulai pengobatan. Regimen pengobatan untuk TB Nasional yang direkomendasikan yakni Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Etambutol (E), pirazinamid (P) dan Streptomisin (S). (Kishore, dkk, 2010)

Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan etambutol (E)/ streptomisin (S) (3 obat pertama bersifat hepatotoksik). Factor risiko hepatotoksisitas: Faktor Klinis (usia lanjut, pasien wanita, status nutrisi buruk, alcohol, punya penyakit dasar hati, karier HBV, prevalensi tinggi di negara berkembang, hipoalbumin, TBC lanjut, pemakaian obat tidak sesuai aturan dan status asetilatornya) dan Faktor Genetik. Risiko hepatotoksisitas pasien TBC dengan HCV atau HIV yang memakai OAT adalah 4-5 x lipat. Telah dibuktikan secara meyakinkan adanya keterkaitan antara HLA-DR2 dengan tuberculosis pada berbagai populasi dan keterkaitan variasi gen NRAMPI dengan kerentanan terhadap tuberculosis. (Kishore, dkk, 2010)

Manifestasi Klinis Hepatotoksisitas Imbas OAT

Presentasi klinis hepatitis akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terkait mirip dengan hepatitis virus akut. OAT bisa menyebabkan hepatotoksisitas dengan tingkat gejala yang bervariasi dari asimtomatik hingga simptomatik seperti mual, muntah, anoreksia, jaundice, dll. Enzim hati transaminase mengalami kenaikan seperti pada kegagalan hati akut. (Kishore, dkk, 2010).

(2)

Jika dalam pasien tuberculosis yang sedang dalam pengobatan OAT dan memberikan gejala hepatitis akut seperti di bawah ini, maka hal ini dapat dijadikan acuan diagnose hepatotoksisitas imbas OAT telah terjadi. Individu yang dijangkiti akan mengalami sakit seperti kuning, keletihan, demam, hilang selera makan, muntah-muntah, sclera ikterik,

jaundice, pusing dan kencing yang berwarna hitam pekat

Efek Hepatotoksik OAT

Disfungsi hati dapat didefinisikan sebagai peningkatan enzim hati alanine transaminase (ALT) hingga 1,5 kali di atas batas atas normal atau paling tidak terdapat peningkatan dua kali dalam empat minggu pengobatan tuberculosis. Kenaikan progresif ALT dan kadar bilirubin jauh lebih berbahaya. Beberapa penulis menyarankan menghentikan obat-obatan hepatotoksik jika tingkat ALT meningkat tiga kali atau lebih dibandingkan dengan normal, sementara yang lain merekomendasikan lima kali. Drug-Induced Hepatitis dapat diklasifikasikan berdasarkan potensi masing-masing OAT yang menyebabkan hepatotoksisitas. (Kishore, dkk, 2010)

Isoniazid (INH)

Sekitar 10-20% dari pasien selama 4-6 bulan pertama terapi memiliki disfungsi hati ringan yang ditunjukkan oleh peningkatan ringan dan sementara serum AST, ALT dan konsentrasi bilirubin. Beberapa pasien, kerusakan hati yang terjadi dapat menjadi progresif dan

menyebabkan hepatitis fatal. Asetil hidrazin, suatu metabolit dari INH bertanggung jawab atas kerusakan hati. INH harus dihentikan apabila AST meningkat menjadi lebih dari 5 kali nilai normal. Sebuah penelitian prospektif kohort, sebanyak 11.141 pasien yang menerima terapi pencegahan INH dilaporkan memiliki tingkat terjangkit hepatitis lebih rendah. Sebanyak 11 dari mereka (0,10% dari mereka yang memulai, dan 0,15% dari mereka yang menyelesaikan terapi) terjangkit hepatitis. Dilaporkan juga dari bulan Januari 1991 sampai Mei 1993, oleh Pusat Transplantasi Hati di New York dan Pennsylvania bahwa terkait hubungan antara pasien hepatitis dengan terapi INH. Terdapat 8 pasien yang sedang menjalankan monoterapi INH dg dosis biasa 300 mg per hari (untuk mencegah TB) terjangkit hepatitis. Hepatotoksisitas jarang terjadi pada anak-anak yang menerima INH. Dalam 10 tahun analisis retrospektif, kejadian hepatotoksisitas pada 564 anak yang menerima INH (10 miligram per kilogram per hari (mg / kg / hari) dan dosis maksimum 300 mg / hari) untuk

(3)

profilaksis pada pengobatan TB adalah 0,18% . Namun demikian, kejadian hepatotoksisitas pada anak-anak yang menerima INH dan rifampisin untuk TB adalah 3,3% di lain Studi retrospektif (14 dari 430 anak-anak). (Kishore, dkk, 2010)

Rifampisin

Rifampicin dapat mengakibatkan kelainan pada fungsi hati yang umum pada tahap awal terapi. Bhakan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan hepatotoksisitas berat, lebih lagi pada mereka dengan penyakit hati yang sudah ada sebelumnya, sehingga memaksa dokter untuk mengubah pengobatan dan memilih obat yang aman untuk hati. Rifampicin menyebabkan peningkatan transient dalam enzim hati biasanya dalam 8 minggu pertama terapi pada 10- 15% pasien, dengan kurang dari 1% dari pasien menunjukkan rifampisin terbuka-induced hepatotoksisitas. Sebanyak 16 pada 500.000 pasien yang menerima rifampisin dilaporkan meninggal berkaitan dengan hepatotoksisitas Rifampicin. Insiden hepatotoksisitas yang lebih tinggi dilaporkan terjadi pada pasien yang menerima rifampisin dengan anti TB lain terutama Pirazinamid, dan diperkirakan sebanyak kurang dari 4%. Data ini telah merekomendasikan bahwa rejimen ini tidak dianjurkan untuk pengobatan laten tuberculosis. (Kishore, dkk, 2010)

Pirazinamid

Efek samping yang paling utama dari obat ini adalah hepatotoksisitas. Hepatotoksisitas dapat terjadi sesuai dosis terkait dan dapat terjadi setiap saat selama terapi. Di Centre Disease Control (CDC) Update, 48 kasus hepatotoksisitas yang dilaporkan pada pengobatan TB dengan rejimen 2 bulan Pirazinamid dan Rifampisin antara Oktober 2000 dan Juni 2003. 37 pasien pulih dan 11 meninggal karena gagal hati. Dari 48 kasus yang dilaporkan, 33 (69%) terjadi pada kedua bulan terapi. (Kishore, dkk, 2010)

Etambutol

Ada sedikit laporan hepatotoksisitas dengan Etambutol dalam pengobatan TB. Tes fungsi hati yang abnormal telah dilaporkan pada beberapa pasien yang menggunakan etambutol yang dikombinasi dengan OAT lainnya yang menyebabkan hepatotoksisitas. (Kishore, dkk, 2010)

Streptomisin

(4)

Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Hepatotoksisitas Imbas Obat

Hepatitis imbas obat adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug induced hepatitis).

Penatalaksanaan:

- Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop - Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop

- Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2), maka OAT distop

- SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop

- SGOT dan SGPT> 3 kali, maka teruskan pengobatan dengan pengawasan Paduan obat yang dianjurkan

- Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)

- Setelah itu monitor klinis dan laboratorium, bila klini dan laboratorium kembali normal (bilirubin, SGOT dan SGPT), maka tambahkkan Isoniazid (H) desensitisasi sampai dengan dosis penuh 300 mg. selama itu perhatikan klinis dan periksa laboratorium saat Isoniazid dosis penuh. Bila klinis dan laboratorium kembali normal, tambahkan Rifampicin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES.

- Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi (PDPI, 2006)

Pada pasien tuberculosis dengan hepatitis C atau HIV mempunyai risiko hepatotksisitas terhadap obat aniti tuberculosis lima kali lipat. Sementara pasien dengan karier HBsAg positif dan HBeAg negative yang inaktif dapat diberikan obat standard jangka pendek, yakni Isoniazid, Rifampisin, Etambutol, dan/atau Pirazinamid dengan syarat pengawasan tes fungsi hati paling tidak dilakukan setiap bulan. Sekitar 10% pasien tuberculosis yang mendapatkan Isoniazid mengalami kenaikan konsentrasi aminotransferase serum dalam minggu-minggu pertama terapi yang nampaknya menunjukkan respon adaptif terhadap metabolit toksik obat. Isoniazid dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi penurunan konsentrasi aminotransferase sampai batas normal dalam beberapa minggu. Hanya sekitar 1% yang berkembang menjadi seperti hepatitis viral, 50% kasus terjadi pada 2 bulan pertama dan sisanya baru muncul beberapa bulan kemudian. (Xial, Yin Yin, dkk, 2010).

(5)

Pengelolaan OAT perlu diperhatikan agar kejadian hepatitis imbas obat dapat diminimalisir sehingga pengobatan TB dapat berjalan efektif. Rekomendasi Nasional untuk mengelola hepatotoksisitas imbas OAT antara lain:

• Jika pasien tediagnosis hepatitis imbas obat OAT, maka pemberian OAT tersebut harus dihentikan

• Tunggu sampai jaundice hilang atau sembuh terlebih dahulu

• Jika jaundice muncul lagi, dan pasien belum menyelesaikan tahap intensif, berikan dua bulan

Streptomisin, INH dan Etambutol diikuti oleh 10 bulan INH dan Etambutol.

• Jika pasien telah menyelesaikan tahap intensif, berikan INH dan Etambutol sampai 8 bulan pengobatan untuk Short Course Kemoterapi (SCC) atau 12 bulan untuk rejimen standar. (Kishore, dkk, 2010)

Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk restart terapi pada pasien hepatotoksisitas • INH harus diberikan dengan dosis awal 50 mg / hari, dinakikkan perlahan sampai 300 mg / hari setelah 2-3 hari. Jika tidak terjadi reaksi, lanjutkan.

• Setelah 2-3 hari tanpa reaksi terhadap INH, tambahkan Rifampisin dengan dosis 75 mg / hari

lalu naikkan menjadi 300 mg setelah 2-3 hari, dan kemudian 450 mg (<50 kg) atau 600 mg (> 50 kg) yang sesuai untuk berat badan pasien. Jika tidak ada reaksi yang terjadi, lanjutkan. • Akhirnya, pirazinamid dapat ditambahkan pada dosis 250 mg / hari, meningkat menjadi 1,0 g setelah 2-3 hari dan kemudian ke 1,5 g (<50 kg) atau 2 g (> 50 kg). (Kishore, dkk, 2010)

Strategi Untuk Meminimalisir Terjadinya Hepatotoksisitas OAT

Tes fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan TB dan sebaiknya dipantau setiap 2 minggu selama awal dua bulan pada kelompok berisiko seperti pasien dengan gangguan hati yang sudah ada, alkoholik, yang lansia dan kurang gizi. Hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab para profesional kesehatan akan tetapi pendidikan kesehatan ini harus dibebankan kepada semua pasien yang menjalani pengobatan TB secara rinci tidak hanya mengenai kepatuhan dan manfaat dari OAT tetapi juga efek samping. Para pasien harus waspada dan melaporkan segera jika terjadi gejala yang mengarah pada hepatitis seperti hilangnya nafsu makan, mual, muntah, jaundice, yang terjadi selama pengobatan.

(6)

Selanjutmya, kondisi klinis pasien harus dinilai tidak hanya dalam hal pengendalian penyakit tetapi juga dalam gejala dan tanda-tanda hepatitis pada mereka ikuti. OAT harus dihentikan segera jika ada kecurigaan klinis reaksi hepatitis. Lalu tes fungsi hati harus diperiksa seperti ALT, AST dan kadar bilirubin. (Kishore, dkk, 2010)

Kriteria yang Dapat Digunakan Untuk Menentukan Perkembangan Hepatotoksisitas Imbas OAT

1.Periksa kimia normal hati sebelum memulai rejimen obat OAT 2. Tidak ada penggunaan alkohol atau penyalahgunaan obat sebelum memulai pemberian OAT

3. Pasien harus menerima INH, Rifampicin atau Pirazinamid dengan dosis standar, sendiri atau dalam kombinasi untuk minimal sebelum pengembangan kimia hati yang abnormal. 4. Saat menerima pengobatan OAT, harus ada peningkatan ALT dan / atau untuk AST> 120 IU / L (normal <40 IU / L) dan kadar bilirubin total. 1,5 mg / dl (normal, 1,5 mg / dl). 5. Tidak ada penyebab jelas lainnya untuk peningkatan chemistries hati. 6. Penghapusan obat mengakibatkan normalisasi atau setidaknya peningkatan 50% dari kimia hati yang abnormal. (Jaime, Ungo, dkk, 2010)

Uji Test OAT Penyebab Hepatotoksisitas

Masalah terbesar dengan pengobatan TB adalah drug-induced hepatitis, yang memiliki tingkat kematian sekitar 5%. Tiga obat-obatan dapat menyebabkan hepatitis: Pirazinamid, INH dan Rifampicin (dalam urutan penurunan frekuensi). Hal ini tidak mungkin untuk membedakan antara tiga penyebab murni berdasarkan yanda-tanda dan gejala. Tes fungsi hati harus diperiksa pada awal pengobatan, tetapi, jika normal, tidak perlu diperiksa lagi, pasien hanya perlu memperingatkan gejala hepatitis. Dalam hal ini, tes hanya perlu dilakukan dua minggu setelah memulai pengobatan dan kemudian setiap dua bulan selanjutnya, kecuali ada masalah yang terdeteksi. Peningkatan kadar bilirubin dapat terjadi akibat pemakaian Rifampicin (blok ekskresi bilirubin) dan namun biasanya kembali normal setalah 10 hari (peningkatan enzim hati untuk mengimbangi produksi). Peningkatan pada transaminase hati (ALT dan AST) yang utama di tiga minggu pertama pengobatan. Jika pasien asimtomatik dan elevasi tidak berlebihan maka tidak ada tindakan yang perlu diambil. Beberapa ahli menganggap pengobatan harus dihentikan jika penyakit kuning menjadi bukti klinis.

(7)

Jika hepatitis klinis signifikan terjadi saat pengobatan TB, maka semua obat harus dihentikan sampai kadar transaminase kembali normal. Jika pengobatan TB tidak dapat dihentikan, maka dapat diberikan Streptomycin dan Etambuto sampai kadar transaminase kembali normal (kedua obat tidak berhubungan dengan hepatitis).

Obat harus kembali diperkenalkan secara individual. Ini tidak dapat dilakukan dalam suasana rawat jalan, dan harus dilakukan di bawah pengawasan ketat. Seorang perawat harus hadir untuk mengambil nadi pasien dan tekanan darah pada 15 interval menit selama minimal empat jam setelah tiap dosis uji diberikan (masalah yang paling akan terjadi dalam waktu enam jam pemberian dosis uji, (jika mereka akan terjadi). Pasien dapat menjadi sangat tiba-tiba sakit dan akses ke fasilitas perawatan intensif harus tersedia Obat-obatan yang harus diberikan dalam urutan ini.:

* Hari 1: INH pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis * Hari 2: INH pada 1 / 2 dosis

* Hari 3: INH dengan dosis penuh * Hari 4: RMP pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis * Hari 5: RMP jam 1 / 2 dosis

* Hari 6: RMP pada dosis penuh

* Hari 7: EMB pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis * Hari 8: EMB pada 1 / 2 dosis

* Hari 9: EMB pada dosis penuh

Tidak lebih dari satu tes dosis per hari harus diberikan, dan semua obat lain harus dihentikan sementara dosis uji yang sedang dilakukan. Maka pada hari 4, misalnya, pasien hanya menerima RMP dan tidak ada obat lain yang diberikan. Jika pasien melengkapi sembilan hari dosis tes, maka wajar untuk menganggap bahwa PZA telah menyebabkan hepatitis dan tidak ada dosis uji PZA perlu dilakukan.

Alasan untuk menggunakan perintah untuk pengujian obat-obatan adalah karena kedua obat yang paling penting untuk mengobati TB INH dan RMP, jadi ini adalah diuji pertama: PZA adalah obat yang paling mungkin menyebabkan hepatitis dan juga merupakan obat yang

(8)

bisa paling mudah dihilangkan . EMB berguna ketika pola kepekaan organisme TB tidak diketahui dan dapat dihilangkan jika organisme diketahui sensitif terhadap INH. Rejimen masing-masing menghilangkan obat standar tercantum di bawah ini.

Urutan di mana obat yang diuji dapat bervariasi menurut pertimbangan sebagai berikut:

1. Obat yang paling bermanfaat (INH dan RMP) harus diuji dahulu, karena tidak adanya obat-obatan dari rejimen pengobatan sangat merusak kemanjurannya

2. Obat yang paling mungkin menyebabkan reaksi harus diuji sebagai paling akhir (dan mungkin tidak perlu diuji sama sekali). (Wikipedia, 2008)

Daftar Pustaka

1) Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia Jilid II. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006. 2) Bayupurnama, Putut. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Ajar Ilmu Penyakit Dalam

Universitas Indonesia Jilid I. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.

3) Aditama, Yoga dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Indah Offset Citra Grafika. Jakarta. 2006

4) Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 9 . Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005

5) Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta. EGC. 2007

(9)

6) Mansjoer, Arief dkk. Kapita Selekta Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Media Aesculapius FKUI. 2001

7) Kishore PV, Palaian S, Paudel R, Mishra P, Prabhu M, Shankar PR. Drug Induced Hepatitis with Anti-tubercular Chemotherapy: Challenges and Difficulties in Treatment. Kathmandu University Medical Journal (2007), Vol. 5, No. 2, Issue 18, 256-260

8) Xial, Yin Yin dkk. Adverse Reactions in China National Tuberculosis Prevention and Control Scheme Study (ADACS). BMC Public Health 2010, 10:267

9) Jaime, Ungo dkk. Antituberculosis Drug–induced Hepatotoxicity The Role of Hepatitis C Virus and the Human Immunodeficiency Virus. The University of Miami School of Medicine, Division of Pulmonary Diseases and Critical Care Medicine 10) Mehta, Nilesh MD dkk. Drug-Induced Hepatotoxicity. Department of

Gastroenterology and Hepatology. 2010

11) World Health Organization. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National Program. 2003

Referensi

Dokumen terkait

Dengan terlebih dahulu membuat sebuah sinyal yang akan digunakan sebagai input referensi yang merupakan bentuk lain dari suara jantung, suara jantung dapat

1) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan

Pada modulator QPSK, sinyal pemodulasi berupa data digital dengan dua.. bit keluar secara serial kemudian diumpankan serentak secara

Sebagai plasma, elektron hidrogen dan proton terikat bersama, dan menghasilkan konduktivitas elektrik yang sangat tinggi dan daya pancar yang tinggi

Metode yang digunakan adalah dengan membandingkan jumlah konflik yang terjadi dengan karakteristik pergerakan di persimpangan, yaitu pergerakan membelok, waktu

Dalam program acara ini penulis sebagai asisten produser yang membantu dalam hal men-direct host sesuai dengan script yang ada selama produksi berlangsung. TA

Program Studi : M agister M anajemen Pendidikan STIE Widya Wiwaha Yogyakarta Dengan ini menyatakan bahwa tesis berjudul S trategi Peningkatan S upervisi Akademik Kepala

[r]