• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Keragaan Usaha Penangkapan Ikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5 HASIL PENELITIAN 5.1 Keragaan Usaha Penangkapan Ikan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

5

HASIL PENELITIAN

5.1 Keragaan Usaha Penangkapan Ikan

Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) telah dilaksanakan Depertemen Kalutan dan Perikanan sejak tahun 2001 sampai dengan 2009 dan pelaksanaannya dibagi menjadi tiga periode, yaitu (1) periode inisiasi (2001-2003), (2) periode institusional (2004-2006), dan (3) periode diversifikasi (2007-2009). Periode inisiasi merupakan periode membangun, memotivasi, dan memfasilitasi masyarakat pesisir agar mampu memenfaatkan kelembagaan ekonomi (LEPP-M3) yang dibangun untuk mendukung pengembangan usaha produktif masyarakat pesisir. Periode institusional merupakan periode yang ditandai dengan upaya pengembangan dan penguatan LEPP-M3. Terakhir periode diversifikasi merupakan periode perluasan unit usaha koperasi LEPP-M3 (Kusnadi, 2009).

Program PEMP di Kabupaten Halmahera Utara telah diimplemetasikan sejak tahun 2004, 2006, 2007 dan 2008. Pada tahun 2004 PEMP di Kabupaten Halmahera Utara memasuki tahap inisiasi, yaitu tahap pengenalan program kepada masyarakat pesisir dan pemerintah daerah, serta pembentukan kelompok di tingkat masyarakat seperti: kelompok masyarakat pesisir (KMP), kelompok usaha bersama (KUB), unit pengelola kegiatan (UPK) dan lembaga ekonomi pengembangan pesisir mikro mitra mina (LEPP-M3). Pada tahun 2006 memasuki tahap institusional dengan menjadikan LEPP-M3 berbadan hukum koperasi dan penguatan kapasitas kelembagaan di tingkat masyarakat. Pada tahun 2007 hingga 2008 periode diversivikasi, LEPP-M3 tidak hanya mengelola DEP-PEMP saja tetapi mulai mengembangkan usahanya, seperti membangun unit usaha kedai pesisir.

Sejak tahun 2004 hingga 2009, PEMP telah menyalurkan dana ekonomi produktif sebesar 2,984,621,000 dan telah membantu penguatan permodalan usaha produktif 553 KMP yang terdiri dari KMP nelayan, KMP budidaya laut, dan KMP pedagang ikan. Bentuk bantuan PEMP bagi KMP nelayan adalah unit penangkapan ikan yang terdiri dari: jaring insang (gillnet), rawai dan pajeko (mini

(2)

5.1.1 Keragaan usaha penangkapan jaring insang (Gillnet)

Nelayan di Kabupaten Halmahera Utara pada umumnya bersifat turun menurun dan hanya mengandalkan kemampuan fisik. Tingkat pendidikan bukan merupakan keharusan untuk menjadi nelayan, namun yang penting adalah memiliki kemauan, keterampilan dan semangat kerja.

Berdasarkan ukuran armada penangkapan ikan sebagian besar armada perikanan tangkap di Kabupaten Halmahera kurang dari 10 GT dan hasil operasi penangkapannya hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (subsisten), maka nelayan Halmahera Utara masih dikategorikan ke dalam nelayan skala kecil.

Nelayan sebelum mendapat bantuan unit penangkapan gillnet sebagian besar adalah nelayan pancing ulur (handline) dan sebagian kecil buruh nelayan yang tidak memiliki unit penangkapan ikan. Umumnya nelayan handline bersifat subsisten dengan didukung unit penangkapan ikan sederhana berupa perahu dayung/layar dan alat tangkap berupa dua atau lebih unit pancing ulur.

Nelayan pancing ulur dengan menggunakan perahu dayung/layar maka jangkauan daerah penangkapan ikan nelayan handline terbatas sekitar perairan pantai yaitu sekitar kawasan perairan karang dekat tempat tinggal mereka. Waktu yang dibutuhkan untuk melaut hanya satu hari (one day fishing), sehingga menyebabkan penangkapan ikan di perairan pantai tersebut menjadi padat dan hasil tangkapan ikan menjadi rendah. Rata-rata hasil tangkapan ikan sebanyak 7 kg/trip dan rata-rata melaut 15 trip dalam sebulan. Jenis ikan target nelayan

handline yaitu ikan karang seperti kerapu (Ephynephelus sp), ekor kuning (Caesio cuning), Kakap (Lates sp), ikan merah (Lutjanus sp) dan ikan demersal lainnya.

Dalam rangka pemberdayaan nelayan, sejak tahun 2004 hingga 2008 Pemerintah Daerah Halmahera Utara memberikan stimulan berupa unit penangkapan ikan secara bertahap untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan skala kecil. Salah satu bantuan unit penangkapan tersebut adalah jaring insang (gillnet) bagi nelayan handline dan buruh nelayan sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas mereka. Bantuan unit penangkapan ikan ini diberikan dalam bentuk paket yang terdiri dari 2 piece gillnet (1 piece 45-55 meter), sebuah perahu ketinting 1 GT dan sebuah mesin ketinting 5,5 PK.

(3)

Gillnet merupakan alat tangkap yang selektif berupa lembar dinding jaring

berbentuk empat persegi panjang. Gillnet yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis yaitu jaring insang hanyut (drift gillnet). Alat tangkap ini terdiri atas tali selambar, jaring, pelampung dan tali ris atas. Jaring gillnet terbuat dari bahan PA

monoethiline berbentuk segi empat dengan total tinggi jaring 6-8 m, panjang

10-15 m dengan ukuran mata jaring 2,0-2,5 inci, seperti disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Konstruksi gillnet di Kabupaten Halmahera Utara.

Perahu yang digunakan alat tangkap gillnet adalah ketinting bermesin

outboard dengan kekuatan 5,5 PK dan memakai bahan bakar bensin. Perahu

ketinting ini terbuat dari kayu dengan rata-rata panjang 5,0 meter, lebar 1,2 meter, dan dalam 0,7 meter. Alat tangkap gillnet ini dioperasikan oleh 2 orang dengan waktu operasi penangkapannya adalah satu hari (one day fishing).

Dengan perahu ketinting bermesin 5,5 PK, memungkinkan nelayan gillnet menjangkau daerah penangkapan ikan di pulau-pulau kecil yang agak jauh dari tempat tinggal mereka. Rata-rata hasil tangkapan ikan sebanyak 18 kg per trip dan jumlah melaut dalam sebulan sebanyak 22 trip. Jenis ikan tangkapan target nelayan gillnet yaitu jenis ikan karang seperti seperti kerapu (Ephynephelus sp), ekor kuning (Caesio cuning), Kakap (Lates sp), ikan merah (Lutjanus spp) dan ikan demersal lainnya. Selain itu, jaring insang memungkinkan menangkap ikan pelagis yang memiliki sifat bergelombol atau berkelompok, seperti ikan kembung, layang, tongkol dan ikan pelagis lainnya.

Nelayan gillnet masih menjual hasil tangkapannya dengan harga ikan yang relatif rendah dari harga pasar ke pedagang pengumpul (dibo-dibo). Untuk jenis

10-15 m

2,0-2,5 inch

(4)

ikan karang dipukul rata 15.000 per kg. Hal ini disebabkan tempat pelelangan ikan TPI masih tidak berfungsi, sehingga nelayan tidak memiliki alternatif untuk menjual selain dibo-dibo. Selain itu, nelayan gillnet masih memiliki ketergantungan terhadap dibo-dibo, seperti untuk keperluan melaut (perbekalan, umpan dan BBM) masih difasilitasi oleh dbo-dibo.

Gambaran keragaan usaha perikanan tangkap sebelum dan sesudah menerima bantuan unit penangkapan gillnet disajikan pada Tabel 9.

Tabel 11 Keragaan usaha penangkapan ikan pancing ulur dan gillnet. Usaha Penangkapan Ikan

No Uraian

Pancing Ulur Gillnet

1. Pekerjaan utama Nelayan Sambilan/

Buruh nelayan Nelayan

2. Jenis perahu (P =5 meter, L = 1,2

meter, dan D = 0,7 meter) Perahu dayung/layar

Perahu Ketinting bermesin 5,5 PK

3. ABK 2 2

4. Daerah Penangkapan Ikan Perairan karang

dekat tempat tinggal nelayan

Perairan karang di sekitar pulau-pulau

kecil 5. Rata-rata hasil tangkapan ikan per

trip (Kg) 7 18

6. Jumlah trip per bulan 15 22

7. Rata-rata biaya operasional per trip

(Rp) 27.500 153.000

8. Penjualan hasil tangkapan Dibo-dibo Dibo-dibo

Sumber : Data diolah 2009

5.1.2 Keragaan usaha penangkapan rawai dasar

Kelompok nelayan penerima bantuan unit penangkapan ikan rawai dasar sebelumya merupakan kumpulan nelayan yang tidak mempunyai alat penangkapan ikan (buruh nelayan) yang bekerja di juragan alat penangkapan rawai, nelayan pengangguran dan angkatan kerja baru.

Bantuan unit penangkapan ikan rawai dasar diberikan secara bertahap kepada nelayan pemohon yang sudah terseleksi. Bantuan unit penangkapan rawai ini diberikan dalam bentuk paket yang terdiri dari 2-5 basket rawai dasar, sebuah perahu motor tempel ukuran 2 GT dan sebuah mesin berdaya 16-24 PK.

Rawai dasar adalah salah satu alat penangkapan ikan-ikan yang hidup di perairan karang, yaitu sekitar terumbu karang. Rawai dasar untuk perairan karang

(5)

termasuk ke dalam rawai tetap (set long line). Rawai tetap adalah rawai yang salah satu ujung utama sebelah bawah diberi batu pemberat atau jangkar sehingga saat ini tetap dan tidak hanyut, sedangkan ujung lainnya diikatkan di pelampung atau perahu, konstruksi umum alat tangkap rawai seperti disajikan pada Gambar 5.

Sumber: Sainsbury (1971)

Gambar 5 Konstruksi umum rawai dasar di Kabupaten Halmahera Utara. Perahu yang digunakan alat tangkap rawai bermesin outboard dengan kekuatan 16-24 PK. Perahu rawai ini terbuat dari kayu dengan rata-rata panjang 6.5 meter, lebar 1,5 meter, dan dalam 0,80 meter. Alat tangkap rawai ini dioperasikan oleh 4-6 orang dengan tugas yang berbeda-beda, yaitu seorang sebagai jurumudi merangkap fishing master, dan sisanya sebagai pemasangan umpan ke pancing, penebar pancing dan pangangkat hasil tangkapan. Waktu operasi penangkapan rawai dasar adalah satu hari per trip (one day fishing).

Setiap kelompok nelayan membawa 2-5 basket rawai, satu basket terdiri dari tiga utas tali utama dangan 45 tali cabang dan 45 mata pancing. Umpan yang digunakan adalah ikan lemuru (Sardinella longiceps), ikan malalugis/layang (decapterus sp.) dan jenis ikan kecil lainnya dengan ukuran panjang umpan berkisar antara 10 – 12 cm.

Daerah penangkapan ikan di perairan karang sekitar pulau-pulau kecil yang agak jauh tempat tinggal mereka. Rata-rata hasil tangkapan ikan sebanyak

(6)

500-600 kg per trip dan jumlah melaut dalam sebulan sebanyak 12 trip. Jenis ikan tangkapan target terdiri dari : ikan hiu, ikan tuna (Thunus sp) dan ikan karang seperti kerapu (Ephynephelus sp), ekor kuning (Caesio cuning), Kakap (Lates sp), ikan merah (Lutjanus spp) dan ikan demersal lainnya.

Nelayan rawai juga masih menjual hasil tangkapannya ke dibo-dibo dengan harga ikan dipukul rata tidak membedakan jenisnya dan relatif rendah dari harga pasar. Hal ini disebabkan tempat pelelangan ikan TPI masih tidak berfungsi, sehingga nelayan tidak memiliki alternatif untuk menjual selain dibo-dibo. Selain itu, nelayan rawai sangat tergantung terhadap dibo-dibo, seperti untuk keperluan melaut (perbekalan, umpan dan BBM) masih difasilitasi oleh dibo-dibo.

Sistem bagi hasil nelayan rawai yang berlaku sebelum menerima bantuan, yaitu: (1) hasil tangkapan dijual (pendapatan kotor); (2) pendapatan kotor dikurangi biaya operasional untuk mendapat laba bersih; dan (3) laba bersih dibagi untuk pemilik (juragan) 40% dan nelayan (ABK) 60% (Gambar 6). Sedangkan sistem bagi hasil sesudah menerima bantuan rawai, yaitu: (1) hasil tangkapan dijual (pendapatan kotor); (2) pendapatan kotor dikurangi biaya operasional untuk mendapat laba bersih; dan (3) laba bersih 100% menjadi bagian nelayan rawai (ABK) (Gambar 7).

Gambar 6 Sistem bagi hasil usaha perikanan rawai (pemilikan usaha perorangan/juragan). Produksi Biaya Operasional Pendapatan Bersih Pemilik UPI 40% Pendapatan Kotor ABK/Buruh Nelayan 60%

(7)

Gambar 7 Sistem bagi hasil usaha perikanan rawai (pemilikan usaha kolektif/kelempok).

Secara umum keragaan unit penangkapan ikan nelayan sebelum dan sesudah menerima unit penangkapan ikan rawai, disajikan pada Tabel 10.

Tabel 12 Keragaan usaha penangkapan ikan sebelum dan sesudah program bantuan unit penangkapan rawai.

Bantuan UPI Rawai

No Uraian

Sebelum Sesudah

1. Pekerjaan utama Buruh Nelayan Nelayan Pemilik

2. Jenis alat penangkapan ikan Rawai Rawai

3. Jenis perahu (P = 6,5 meter, L = 1,5 meter, dan D = 0,80 meter )

Kapal Motor Tempel

Kapal Motor Tempel

4 ABK 4-6 4-6

5. Daerah Penangkapan Ikan Perairan Pantai sekitar ± 6 mil

Perairan Pantai sekitar ± 6 mil

6. Jumlah trip per bulan 12 12

7. Rata-rata jumlah tangkapan per trip (Kg)

244 244

8. Rata-rata biaya operasional per trip (Rp)

157.805 157.805

9. Bagi hasil (ABK) 60 % 100%

8. Penjualan hasil tangkapan Dibo-dibo Dibo-dibo

Sumber : Data diolah 2009

5.1.3 Keragaan usaha penangkapan pajeko (mini purse seine)

Nelayan mini purse seine (soma pajeko) sebelum mendapat bantuan unit penangkapan ikan sebagian besar adalah buruh nelayan pajeko dan sebagian kecil

Produksi

Biaya Operasional

Pendapatan Bersih Pendapatan Kotor

(8)

adalah nelayan pengangguran dan angkatan kerja baru. Statusnya sebagai buruh tentunya pendapatan meraka sangat rendah karena pendapatanya merupakan sisa bagi hasil setelah dipotong bagian rumpon (25% dari pendapatan bersih) dan pemilik kapal (37,5% dari pendapatan bersih). Sehingga bagian buruh nelayan (ABK) sebesar 37,5% dari pendapatan bersih, kemudian dibagi jumlah ABK rata-rata 20 orang atau setara 1,86%.

Untuk meningkatkan status nelayan buruh menjadi nelayan pemilik (mobilisasi veritkal), Pemerintah Daerah Halmahera Utara sejak tahun 2004 sampai 2008 telah memberikan unit penangkapan pajeko. Dengan pemberian bantuan unit penangkapan tersebut, diharapkan meningkatkan status mereka dari buruh nelayan menjadi nelayan pemilik pajeko dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan dan akhirnya bermuara pada perbaikan kesejahteraan nelayan. Hasil penelitian menunjukkan, nelayan pajeko menggunakan kapal penangkapan dengan tipe yang relatif sama, namun ukurannya relatif berbeda-beda. Sedangkan jaring purse seine yang digunakan mempunyai ukuran yang relatif sama. Panjang mini purse seine berkisar antara 200-400 meter dan dalam kantong 30-60 meter. Alat tangkap ini terdiri dari kantong (bunt), badan jaring, sayap, jaring pada pinggir badan jaring (selvedge), tali ris atas (floatline), tali ris bawah (leadline), pemberat (sinkers), pelampung (floats) dan cincin (purse rings), seperti disajikan pada Gambar 8.

Pengoperasian pajeko di perairan Halmahera Utara menggunakan alat bantu rumpon dan perahu lampu. Kapal dan perahu yang digunakan terbuat dari kayu. Ukuran panjang kapal berkisar antara 15-17 meter, lebar berkisar 2,5-4,0 meter dan dalam berkisar 1-1,5 meter. Kapasitas kapal pajeko berkisar antara 6 -10 GT dengan kekuatan mesin 120-160 PK (3-4 buah mesin Yamaha). Sedangkan perahu lampu memiliki panjang berkisar antara 3-5 meter, lebar antara 0,5-1 meter, dan dalam 0,5-0,8 meter.

Jumlah nelayan yang mengoperasikan pajeko berjumlah antara 15- 20 orang termasuk “tonaas”. Tonaas adalah orang yang memimpin operasi penangkapan (fishing master). Waktu operasi alat tangkap pajeko di Kabupaten halmahera hanya satu hari (one days fishing), berangkat menuju fishing ground (rumpon) pada sore hari dan kembali pada pagi hari. Oleh karena itu, Daerah penangkapan

(9)

pajeko masih terbatas sekitar 2- 3 mil laut dari garis pantai Halmahera Utara pada kedalam 150-200 meter. Daerah penangkapan ikan disekitar perairan pulau-pulau kecil tepatnya Kepulauan Tulunuo di utara perairan Halmahera Utara, dimana perairan tersebut semberdaya ikannya masih belum banyak disentuh oleh nelayan lainnya.

Gambar 8 Desain jaring pajeko di Kabupaten Halmahera Utara. Sumber: Karman 2008

Rata-rata hasil tangkapan ikan pajeko sebanyak 1700 kg per trip dan jumlah melaut dalam sebulan sebanyak 20 trip. Dalam setahun operasi penangkapan ini sebanyak 8 bulan dan sisanya 4 bulan lagi merupakan bulan paceklik. Pada bulan paceklik, nelayan tidak melaut karena pada bulan November sampai Februari sering terjadi badai (gelombang besar) dan pada bulan-bulan paceklik ini dimanfaatkan nelayan untuk memperbaiki unit penangkapan ikan.

Jenis ikan tangkapan dominan mini purse seine adalah jenis ikan pelagis kecil yang hidup berkelompok. Jenis-jenis ikan yang tertangkap, meliputi malalugis/layang (Decapterus sp), kembung (Rastrelliger sp), tongkol (Euthynnus

(10)

Dalam pemasaran hasil tangkapan mini purse seine, seperti halnya dengan alat tangkap lainnya tergantung dibo-dibo. Hal ini disebabkan tempat pelelangan ikan TPI masih tidak berfungsi, sehingga nelayan tidak memiliki alternatif untuk menjual selain ke dibo-dibo. Tentunya ikan hasil tangkapan relatif rendah rata-rata Rp 3000 kg untuk jenis ikan peralgis dan jauh berbeda dengan harga di pasar.

Sistem bagi hasil nelayan mini purse seine yang berlaku sebelum menerima bantuan, yaitu: (1) hasil tangkapan dijual (pendapatan kotor); (2) pendapatan kotor dikurangi biaya operasional dan bagi hasil 25% rumpon untuk mendapat laba bersih; dan (3) laba bersih dibagi untuk pemilik (juragan) 50% dan nelayan (ABK) 50% (Gambar 9). Sedangkan sistem bagi hasil sesudah menerima bantuan, yaitu: (1) hasil tangkapan dijual (pendapatan kotor); 2) pendapatan kotor dikurangi biaya operasional dan bagi hasil 25% rumpon untuk mendapat laba bersih; dan (3) laba bersih 100% menjadi bagian nelayan (ABK) (Gambar 10).

Gambar 9 Sistem bagi hasil usaha perikanan mini purse seine (pemilikan usaha perorangan/juragan).

Produksi

Biaya Operasional

Pendapatan Bersih

Pemilik UPI 50%

Pendapatan Kotor 25% untuk rumpon

(11)

Gambar 10 Sistem bagi hasil usaha perikanan mini purse seine (pemilikan usaha kolektif/kelempok).

Keragaan usaha penangkapan ikan oleh nelayan sebelum dan sesudah menerima unit penangkapan mini purse seine, disajikan pada Tabel 11.

Tabel 13 Keragaan usaha penangkapan ikan sebelum dan sesudah program bantuan unit penangkapan mini purse seine.

Bantuan UPI Mini purse seine

No Uraian

Sebelum Sesudah

1. Pekerjaan utama Buruh Nelayan Nelayan Pemilik

2. Jenis alat penangkapan ikan Pajeko/Mini

purse seine

Pajeko/Mini purse seine 3. Jenis perahu (P = 15-17 meter, L =

2,5-4,0 meter dan D = 1-1,5 meter

Kapal Motor Tempel

Kapal Motor Tempel

4 ABK 15-20 15-20

5. Daerah Penangkapan Ikan Perairan Pantai

sekitar ± 2-3 mil

Perairan Pantai sekitar ± 2-3 mil

6. Jumlah trip per bulan 20 20

7. Rata-rata jumlah tangkapan per trip (Kg) 1.700 1.700

8. Rata-rata biaya operasional per trip (Rp) 1.104.580 1.104.580

9. Bagi hasil untuk ABK 37,5 % 75%

10. Penjualan hasil tangkapan Dibo-dibo Dibo-dibo

Data: Diolah 2009

ABK/Buruh Nelayan 100% Produksi

Biaya Operasional

Pendapatan Kotor 25% untuk rumpon

(12)

5.2 Tingkat Pendapatan dan Kelayakan Usaha 5.2.1 Tingkat pendapatan

Tingkat pendapatan setiap jenis alat tangkap berbeda satu sama lain. Tingkat pendapatan terendah diperoleh nelayan gillnet baik sebelum dan sesudah menerima bantuan unit penangkapan ikan. Sedangkan tingkat pendapatan tertinggi diperoleh nelayan mini purse seine baik sebelum dan sesudah menerima bantuan unit penangkapan ikan (Tabel 14).

Tabel 14 Pendapatan nominal responden sebelum dan sesudah bantuan unit penangkapan ikan di Kabupaten Halmahera Utara.

Pendapatan Rata-Rata

(Rp per tahun) Kenaikan

Nelayan

Jumlah Responden

(Orang) Sebelum Sesudah (Rp.) %

Gillnet 15 9.660.000 20.669.000 11.009.000 114

Rawai 15 36.642.680 61.071.140 24.428.460 67

Mini purse

seine 16 263.225.000 526.450.000 263.225.000 100

Tingkat pendapatan nelayan gillnet dihitung berdasarkan besarnya keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan ikan dikurangi dengan biaya operasional setiap trip. Ditinjau dari segi nominal pendapatan nelayan gillnet mengalami kenaikan tertinggi dibanding alat tangkap lainnya, yaitu sebesar 114 % atau dari Rp 9.660.000 per tahun (sebelum bantuan) menjadi 20.699.000 per tahun (sesudah bantuan).

Tingkat pendapatan nelayan rawai (pendapatan bersih) dihitung berdasarkan besarnya keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan ikan (pendapatan kotor) dikurangi dengan biaya operasional setiap trip. Untuk pendapatan nelayan rawai sebelum menerima bantuan, pendapatan bersih dibagi 40% bagi pemilik kapal dan 60% bagi ABK. Pendapatan nominal nelayan rawai juga mengalami kenaikan setelah menerima bantuan unit penangkapan ikan, yaitu sebesar 67 % atau dari Rp

36.642.680 per tahun (sebelum bantuan) menjadi 61.071.140 per tahun (sesudah bantuan), seperti tersaji pada Gambar 11 dan Gambar 12.

Begitupula pendapatan nelayan mini purse seine mengalami kenaikan setelah memperoleh bantuan unit penangkapan ikan, yaitu sebesar 100 % atau dari

(13)

Rp 263.225.000 per tahun (sebelum bantuan) menjadi 526.450.000 per tahun (sesudah bantuan), seperti tersaji pada Gambar 11 dan Gambar 12.

114 67 100 0 20 40 60 80 100 120

Gillnet Rawai Pajeko

% Kenaikan Pendapatan R a ta -R a ta P e n d a p a ta n P e r T a h u n

Gambar 11 Presentase peningkatan pendapatan nelayan penerima bantuan unit penangkapan ikan di Kabupaten Halmahera Utara.

9,660 36,643 263,225 20,669 61,071 526,450 0 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000

Gillnet Rawai Pajeko

Unit Penangkapan Ikan

R a ta -r a ta P e n d a p a ta n P e r T a h u n (0 0 0 ) Sebelum Sesudah

Gambar 12 Rata-rata pendapatan nominal usaha penangkapan ikan di Kabupaten Halmahera Utara.

Faktor utama yang juga sangat mempengaruhi pendapatan nelayan adalah harga ikan. Hasil wawancara terhadap responden tentang persepsi harga ikan, menunjukkan hampir 93,25% responden menyatakan harga ikan rendah dan hanya 6,75% responden menyatakan harga ikan cukup, seperti tersaji pada Gambar 13.

(14)

0 6.75 93.25 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Baik Cukup Rendah

Persepsi Responden Terhadap Harga Ikan

P ro s e n ta s e

Gambar 13. Persepsi responden terhadap penjualan harga ikan di Kabupaten Halmahera Utara.

5.2.2 Analisis usaha dan investasi

Analisis usaha penangkapan ikan dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan usaha yang akan dicapai secara finansial. Analisis usaha yang dilakukan dalam usaha pengembangan usaha gillnet, rawai dan pajeko di Kabupaten Halmahera Utara meliputi keuntungan, payback period (PP) dan

return of investment (ROI). Hasil analisis usaha perikanan gillnet, rawai dan

pajeko tersaji pada Tabel 15. Hasil analisis usaha dari ketiga ukuran alat tangkap tersebut dilakukan sebagai penilaian keberhasilan pengembangan usaha gillnet, rawai dan pajeko pada saat ini dan untuk mengetahui kelayakan pengembangan usaha gillnet, rawai dan pajeko dimasa mendatang.

Tabel 15 Analisis usaha perikanan gillnet, rawai dan pajeko di Kabupaten Halmahera Utara.

Usaha Penangkapan Ikan

No. Analisis Usaha

Gillnet Rawai Pajeko

1. Keuntungan usaha per tahun (Rp)

16.481.500 25.321.000 246.140.830

2. Rasio imbangan

penerimaan dan biaya (R/C)

1,53 1,50 1,54

3. Return of Investment (ROI) 71,91% 90,11% 82,70%

(15)

Keuntungan usaha penangkapan ikan berbeda untuk ketiga jenis usaha. Berdasarkan analisis keuntungan per tahun, keuntungan usaha perikanan pajeko lebih besar dibandingkan dengan gillnet dan rawai, yaitu: sebesar Rp 246.140.830,- dibanding Rp 16.481.500,- dan Rp 25.321.000.-

R/C merupakan perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya. Analisis R/C dilakukan melihat berapa penerimaan yang diperoleh dari setiap rupiah biaya yang dikeluarkan pada unit usaha perikanan pajeko. Pada usaha perikanan gillnet, rawai dan pajeko ini diperoleh nilai R/C>1, sehingga dapat diartikan usaha tersebut menguntungkan. Nilai R/C gillnet sebesar 1,53, rawai sebesar 1,50 dan pajeko sebesar 1,54. Artinya setiap satu rupiah total biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan total penerimaan gillnet sebesar Rp 0,53, rawai sebesar Rp 0,50 dan pajeko sebesar Rp 0,54.

ROI bertujuan mengetahui tingkat keuntungan diperoleh dalam setiap rupiah investasi yang ditanamkan. ROI dari unit usaha perikanan pajeko ukuran

gillnet, rawai dan pajeko di Kabupaten Halmahera Utara sebesar 71,97%, 90,11%

dan 82,70%. Hal ini berarti bahwa setiap seratus rupiah yang diinvestasikan akan memberikan keuntungan sebesar Rp 71,97,-; Rp 77,90,- dan Rp 85,06,-;

PP dalam studi kelayakan usaha berfungsi mengetahui berapa lama usaha yang diusahakan dapat mengembalikan investasi. Semakin cepat pengembalian biaya investasi sebuah usaha, semakin baik usaha tersebut karena semakin lancar perputaran modal. PP dari unit usaha perikanan gillnet, rawai dan pajeko di Kabupaten Halmahera Utara adalah 20 bulan, 16 bulan dan 21 bulan. Hal ini berarti waktu yang dibutuhkan untuk pengembalian biaya/modal investasi dalam waktu cukup pendek pada tahun kedua yaitu 20 bulan, 16 bulan dan 19,8 bulan.

5.2.3 Analisis kriteria investasi

Analisis kriterai investasi menggambarkan proyeksi arus peneriman dan arus pengeluaran usaha perikanan tangkap gillnet, rawai dan pajeko selama sepuluh tahun usaha. Adapun nilai kriteria kelayakan usaha perikanan gillnet, rawai dan pajeko di Halmahera Utara tersaji pada Tabel 16.

(16)

Tabel 16 Kriteria kelayakan usaha perikanan gillnet, rawai dan pajeko di Kabupaten Halmahera Utara.

Usaha Penangkapan Ikan No. Analisis Usaha

Gillnet Rawai Pajeko

1. Net Present Value (NPV) pada

DF 15% (RP) 51.457.820 222.969.168 625.146.670

2. Net B/C pada DF 15% 1,33 2,66 1,28

3. Internal Rate of Return (IRR) 62% 141 % 40 %

Suatu usaha layak dijalankan jika NPV adalah selisih antara benefit (pendapatan) dengan cost (pengeluaran) yang telah di present value kan lebih dari nol. Nilai NPV pada ketiga jenis usaha penangkapan ikan bernilai positif (NPV>0), seperti tersaji pada Tabel 16. Hal ini menunjukkan usaha perikanan

gillnet, rawai dan pajeko adalah proyek usaha yang layak.

Net B/C unit usaha penangkapan perikanan gillnet, rawai dan pajeko lebih besar dari satu (Net B/C>1), artinya selama tahun proyek pada tingkat discount

rate 15% per tahun setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan memberikan benefit bersih sebesar Rp 1,33, Rp 2,66 dan Rp 1,28 sehingga dapat dikatakan

ketiga usaha perikanan tersebut layak untuk dikembangkan di Kabupaten Halmahera Utara.

Perhitungan IRR dilakukan dengan cara mencari discount rate yang dapat menyamakan antara present value dari aliran kas dengan present value dari investasi (initial investment). Jika perhitungan IRR dari discount rate dikatakan usaha tersebut feasible (layak) dijalankan, bila lebih besar dari discount rate (bunga kredit) dan jika IRR lebih kecil dari discount rate (bunga kredit) berarti usaha tersebut tidak layak. Nilai IRR dari gillnet, rawai dan pajeko di Kabupaten Halmahera Utara lebih tinggi dari nilai discount rate (15%). Hal ini menunjukkan ketiga jenis usaha penangkapan ikan tersebut layak diusahakan.

5.3 Strategi Peningkatan Usaha Pendapatan Ikan

Program pemberian bantuan unit penangkapan ikan di Kabupaten Halmahera Utara bertujuan untuk meningkatkan kesejateraan masyarakat nelayan didaerahnya. Implementasi program bantuan ini yang telah dilakukan tidak terlepas dari kekurangan baik yang bersumber dari pelaksana program (aparat pemerintah) maupun penerima program (masyarakat nelayan). Namun demikian

(17)

program bantuan tersebut telah berdampak positif dalam meningkatkan pendapatan nelayan penerima program. Oleh karena itu, program bantuan unit penangkapan ini diharapkan dapat terus diimplementasikan dengan berbagai perbaikan agar peningkatan pendapatan nelayan secara berkelanjutan.

Dalam rangka peningkatan pendapatan nelayan berkelanjutan, tentunya diperlukan strategi kebijakan yang tepat. Untuk memilih strategi kebijakan yang tepat digunakan analisis SWOT. Analisis SWOT dilakukan untuk membandingkan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dengan faktor eksternal (peluang dan ancaman) terhadap usaha perikanan tangkap di Kabupaten Halmahera Utara.

5.3.1 Penentuan faktor strategis internal

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden (nelayan, pedagang pengumpul, koperasi dan pemerintah daerah), diperoleh delapan faktor internal utama yang dapat menjadi kekuatan dan kelemahan peningkatan usaha penangkapan ikan, disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17 Penilaian faktor internal peningkatan pendapatan nelayan di Kabupaten Halmahera Utara.

No Parameter Kunci Indikator K/L

1 Dukungan kebijakan pemerintah daerah

Kebijakan pemerintah yang kuat terhadap

pembangunan masyarakat pesisir, seperti bantuan unit penangkapan ikan dan perbaikan akses transportasi K 2 Tenaga kerja cukup banyak Tersedianya tenaga kerja cukup bagi usaha perikanan K 3 Dukungan masyarakat

pasisir

Keterlibatan masyarakat pesisir dalam pemanfaatan

dan pengelolaan SDI K

4 Kelembagan masyarakat lokal

Mulai terbangunnya tatanan di masyarakat lokal

pengelolaan SDI (kaum muda dan kaum bapak) K 5 Lemahnya akses pemasaran Nelayan Kabupaten Halmahera Utara kesulitan

menjual hasil tangkapannya karena TPI tidak berfungsi sehingga menjual ke dio-dibo (pedagang pengumpul). L 6 Kapasitas SDM nelayan

masih rendah

Tingkat pendidikan sebagian besar rendah dan terbatas

dalam penggunaan teknologi L

7 Sarana prasarana pendukung belum memadai

Kurangnya sarana prasarana pendukung usaha perikanan, seperti TPI dan pabrik es yang tidak

berfungsi L

8 Permodalan dari lembaga keuangan masih rendah

Tidak adanya agunan menyebabkan tidak dapat memanfaatkan permodalan usaha kecil menengah dari lembaga keuangan/perbankan

L

(18)

Untuk perumusan faktor strategi internal digunakan model matriks internal

factors analysis summary (IFAS). Penggunan matriks IFAS ini untuk mengukur

sejauhmana kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dari usaha perikanan tangkap. Dengan melakukan pembobotan dan penilaian rating terhadap kekuatan dan kelemahan pengembangan usaha perikanan tangkap akan diperoleh skor penilaian terhadap masing-masing faktor kekuatan dan kelemahan (Tabel 18).

Tabel 18 Matrik IFAS peningkatan pendapatan nelayan di Kabupaten Halmahera Utara.

Faktor-faktor Internal Bobot Rating Skor

Kekuatan (Strengths)

1. Dukungan pemerintah daerah (S1) 0,20 4 0,82

2. Tenaga kerja cukup banyak (S2) 0,19 4 0,75

3. Dukungan masyarakat pesisir (S3) 0,20 4 0,79

4. Kelembagaan masyarakat lokal (S4) 0,15 3 0,45

Total Kekuatan 2,82

Kelemahan (Weakness)

1.Lemahnya akses pemasaran (W1) 0,08 1 0,08

2.Kapasitas SDM Nelayan masih rendah (W2) 0,06 1 0,06

3.Sarana prasarana pendukung belum memadai

(W3) 0,07 1 0,07

4.Permodalan dari lembaga keuangan masih

rendah (W4) 0,05 1 0,05

Total Kelamahan 0,26

Total Faktor Internal 1 3,10

Keterangan reting : 1 = sangat lemah 2 = agak lemah 3 = agak kuat 4 = sangat kuat

Hasil perhitungan IFAS menunjukkah bahwa faktor internal yang memiliki kekuatan utama peningkatan pendapatan nelayan, yaitu (1) dukungan pemerintah daerah dengan skor 0,82; (2) dukungan masyarakat pesisir dengan skor 0,79; (3) tersedianya tenaga kerja dengan skor 0,75; dan (4) dukungan kelembagaan masyarakat lokal dengan skor 0,45. Sedangkan kelemahan utama dalam peningkatan pendapatan nelayan, yaitu: (1) lemahnya akses pemasaran dengan skor 0,08; (2) sarana prasarana pendukung belum memadai dengan skor nilai 0,07; (3) kapasitas SDM nelayan masih rendah dengan skor 0,06 dan (4) permodalan lembaga keuangan masih rendah dengan skor 0,05.

(19)

Nilai total skor matrik IFAS sebesar 3,1 ≥ 2,5 artinya kondisi internal memiliki kekuatan mengatasi kelemahan. Dengan demikian jika keempat kekuatan itu dioptimalkan akan dapat mengatasi berbagai kelemahan yang ada. 5.3.2 Penentuan faktor strategis eksternal

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, diperoleh delapan faktor eksternal yang mempengaruhi peningkatan pendapatan nelayan baik yang secara langsung maupun tidak langsung. Faktor eksternal berpengaruh positif adalah peluang dan berpengaruh negatif adalah ancaman, disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19 Penilaian faktor eksternal peningkatan pendapatan nelayan di Kabupaten Halmahera Utara.

No Parameter Kunci Indikator P/A

1 Potensi SDI belum dimanfaatkan optimal

Potensi SDI sebersar 148.473,8 ton per/tahun dengan tingkat pemanfaatan baru 13,13%

P 2 Prospek perikanan tangkap

menjanjikan

Wilayah Kab Halut merupakan kepulauan sehingga pengembangan usaha perikanan sangat berpotensi

P 3 Pangsa pasar usaha perikanan

terbuka

Dengan promosi melalui website dan membuka jaringan pemasaran akan membuka akses pemasaran dan investasi

P 4 Peluang Pengembangan Bank

Perkreditan Rkayat (BPR) Nelayan

Pengembangan usaha perikanan akan berdampak meningkatkan pendapatan daerah (PAD)

P

5 Harga ikan rendah Mekanisme pasar belum teratur dengan

baik dan tidak ada standar harga dasar ikan A 6 Ketergantungan terhadap

Dibo-dibo sangat kuat

Nelayan untuk kebutuhan melaut masih

mengadalkan pinjaman dari dibo-dibo A 7 Kegiatan penangkapan ikan

bersifat merusak dan IUU

Penurunan SDI karena destruktif dan illegal fishing yang dilakukan nelayan luar daerah

dan asing A

8 Koordinasi antar sektor terkait masih rendah

Koordinasi antar instasi terkait rendah

menyebabkan tumpang tindih kebijakan A

Keterangan reting : P = Potensi A = Ancaman

Untuk penilaian terhadap faktor strategi eksternal yang mempengaruhi peningkatan pendapatan nelayan digunakan model matriks eksternal factors

(20)

sejauhmana peluang dan ancaman faktor eksternal terhadap peningkatan pendapatan nelayan, seperti tersaji pada Tabel 20.

Tabel 20 Matrik EFAS Peningkatan pendapatan nelayan di Kabupaten Halmahera Utara.

Faktor-faktor Eksternal Bobot Rating Skor

Peluang (Opportunities)

1. Potensi SDI belum dimanfaatkan optimal (O1) 0,14 4 0,55

2. Prospek perikanan tangkap menjanjikan (O2) 0,11 4 0,45

3. Pangsa pasar perikanan terbuka (O3) 0,13 3 0,40

4. Peluang BPR Nelayan (O4) 0,11 3 0,33

Total Kekuatan 1,74

Ancaman (Threats)

1. Harga ikan rendah (T1) 0,14 2 0,27

2. Ketergantungan terhadap dibo-dibo (T2) 0,13 2 0,26

3. Kegiatan penangkapan ikan bersifat merusak dan

IUU (T3) 0,12 2 0,25

4. Koordinasi antar sektor masih rendah (T4) 0,11 1 0,11

Total Kelamahan 0,89

Total Faktor Internal 1 2,63

Hasil analisis tabel EFAS menunjukkah bahwa faktor eksternal utama yang mempengaruhi peningkatan pendapatan nelayan, yaitu: (1) potensi SDI belum dimanfaatkan optimal dengan skor 0,55; (2) prospek perikanan tangkap dengan skor 0,45; (3) pangsa pasar perikanan terbuka dengan skor 0,40; dan (4) Peluang BPR Nelayan dengan skor 0,33. Sedangkan ancaman yang utama, yaitu: (1) harga ikan yang rendah dengan skor 0,55; (2) ketergantungan terhadap dibo-dibo dengan skor 0,52; (3) kegitan penangkapan ikan yang merusak dengan skor 0,50; dan (4) koordinasi antar sektor masih lemah dengan skor 0,34.

Total skor pada matrik EFAS sebesar 2,6 ≥ 2,5 artinya sistem mampu merespon situasi eksternal yang ada. Dengan kata lain, jika semua peluang dapat dimanfaatkan dengan optimal akan dapat mengatasi berbagai ancaman tersebut. 5.3.3 Penentuan strategi peningkatan pendapatan nelayan

Untuk menentukan alternatif strategi kebijakan peningkatan usaha penangkapan ikan, pemerintah daerah dan masyarakat pesisir dapat menggunakan kekuatan-peluang yang dimiliki dan meminimalkan kelemahan-ancaman yang

(21)

dihadapi. Berdasarkan analisis IFAS dan EFAS dirumuskan alternatif strategi kebijakan bagi peningkatan pendapatan nelayan dengan menggunakan analisis matriks SWOT, seperti disajikan pada Tabel 21.

Tabel 21 Matriks SWOT peningkatan usaha panangkapan ikan di Kabupaten Halmahera Utara.

Kekuatan (Strengths) Kelemahan (Weakness)

1) Dukungan pemerintah daerah (S1)

1) Lemahnya akses pemasaran (W1)

2) Tenaga kerja cukup banyak (S2)

2) Kapasitas SDM nelayan masih rendah (W2) 3) Dukungan masyarakat

pesisir (S3)

3) Sarana Prasarana pendukung belum memadai (W3) 4) Dukungan Kelembagaan

masyarakat lokal (S4)

5) Permodalan lembaga keuangan masih rendah (W4)

Peluang (Opportunities) Strategi SO : Strategi WO :

1) Potensi SDI belum dimanfaatkan optimal (O1)

1) Pengembangan skala usaha perikanan tangkap

2) Bantuan unit penangkapan ikan 2) Prospek perikanan tangkap menjanjikan (O2) 3) Pengembangan jaringan pasar

4) Pembinaan dan pelatihan 3) Pangsa pasar hasil

perikanan terbuka (O3) 4) Peluang BPR Nelayan

(O4)

5) Pembangunan sarana prasarana pendukung usaha peraikanan tangkap

Ancaman (Threats) Strategi ST : Strategi WT :

1) Harga ikan rendah (T1) 2) Ketergantungan terhadap

dibo-dibo (T2)

6) Pengembangan jaringan pasar

3) Kegiatan penangkapan ikan bersifat merusak dan IUU (T3)

8) Penegakan Hukum 4) Koordinasi antar sektor

masih rendah (T4)

7) Peningkatkan kerjasama antar sektor terkait untuk mendukung usaha perikanan tangkap

Hasil matriks SWOT menunjukkan bahwa ada tujuh alternatif strategi kebijakan peningkatan pendapatan nelayan di Kabupaten Halmahera Utara. Namun untuk strategi pengembangan skala usaha perikanan tangkap mencakup bantuan unit penangkapan ikan, maka menjadi enam rumusan strategi meliputi: 1) Alternatif 1, pengembangan skala usaha perikanan tangkap.

2) Alternatif 2, pembinaan dan pelatihan.

3) Alternatif 3, pembangunan sarana prasarana pendukung usaha perikanan tangkap.

Eksternal Faktor

Internal Faktor

(22)

4) Alternatif 4, pengembangan jaringan pasar. 5) Alternatif 5, penegakan hukum.

6) Alternatif 6, peningkatkan kerjasama antar sektor terkait untuk mendukung usaha perikanan tangkap.

Setelah berbagai alternatif strategi dianalis menggunakan matrik SWOT, tahap terakhir adalah tahap pengambilan keputusan. Tahap pengambilan keputusan adalah memilih strategi terbaik sesuai dengan kondisi internal dan eksternal suatu sistem. Untuk menentukan skala prioritas dari ketujuh alternatif strategi kebijakan dilakukan analisis matrik Quantitative Strategic Planning

Matrix (QSPM). Berdasarkan hasil analisis matrik QSPM (lihat Tabel 22)

diperoleh skala prioritas strategi kebijakan sebagai berikut:

1) Prioritas ke-1, pengembangan skala usaha perikanan tangkap dengan skor 6,94.

2) Prioritas ke-2, pembangunan sarana prasarana pendukung usaha perikanan tangkap dengan skor 6,75.

3) Prioritas ke-3, pengembangan jaringan pasar dengan skor 6,64. 4) Prioritas ke-4, pembinaan dan pelatihan dengan skor 5,61. 5) Prioritas ke-5, penegakan hukum dengan skor 5,28.

6) Prioritas ke-6, peningkatkan kerjasama antar sektor terkait untuk mendukung usaha perikanan tangkap dengan skor 5,12.

(23)

Tabel 22 Analisis matriks QSPM penentuan skala prioritas alternatif strategi kebijakan peningkatan usaha peangkapan ikan. Alternatif Strategi

Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3 Alternatif 4 Alternatif 5 Alternatif 6

Bobot

AS WAS AS WAS AS WAS AS WAS AS WAS AS WAS

Peluang O1 0.14 4.00 0.55 3.00 0.41 4.00 0.55 4.00 0.55 4.00 0.55 3.00 0.41 O2 0.11 4.00 0.45 3.00 0.34 4.00 0.45 4.00 0.45 3.00 0.34 3.00 0.34 O2 0.13 4.00 0.54 3.00 0.40 4.00 0.54 4.00 0.54 3.00 0.40 3.00 0.40 O4 0.11 4.00 0.44 3.00 0.33 4.00 0.44 3.00 0.33 3.00 0.33 1.00 0.11 Ancaman T1 0.14 2.00 0.27 2.00 0.27 3.00 0.41 4.00 0.55 2.00 0.27 2.00 0.27 T2 0.13 2.00 0.26 3.00 0.39 4.00 0.52 4.00 0.52 1.00 0.13 2.00 0.26 T3 0.12 3.00 0.37 4.00 0.50 1.00 0.12 1.00 0.12 1.00 0.12 2.00 0.25 T4 0.11 2.00 0.23 1.00 0.11 2.00 0.23 3.00 0.34 2.00 0.23 4.00 0.46 Kekuatan S1 0.20 4.00 0.82 4.00 0.82 4.00 0.82 4.00 0.82 4.00 0.82 4.00 0.82 S2 0.19 4.00 0.75 2.00 0.38 3.00 0.56 3.00 0.56 2.00 0.38 2.00 0.38 S3 0.20 4.00 0.79 3.00 0.60 4.00 0.79 4.00 0.79 4.00 0.79 3.00 0.60 S4 0.15 4.00 0.61 2.00 0.30 4.00 0.61 4.00 0.61 3.00 0.45 3.00 0.45 Kelemahan W1 0.08 4.00 0.30 2.00 0.15 2.00 0.15 2.00 0.15 2.00 0.15 1.00 0.08 W2 0.06 3.00 0.19 4.00 0.25 3.00 0.19 2.00 0.13 2.00 0.13 1.00 0.06 W3 0.07 3.00 0.20 3.00 0.20 4.00 0.26 2.00 0.13 2.00 0.13 2.00 0.13 W4 0.05 3.00 0.16 3.00 0.16 2.00 0.11 1.00 0.05 1.00 0.05 2.00 0.11 Total 6.94 5.61 6.75 6.64 5.28 5.12 Prioritas 1 4 2 3 5 6 Keterangan:

a. Alternatif 1, Pengembangan skala usaha perikanan tangkap b. Alternatif 4, Pengembangan jaringan pasar

c. Alternatif 2, Pembinaan dan pelatihan d. Alternatif 5, Penegakan Hukum

e. Alternatif 3, Pembangunan sarana prasarana pendukung usaha peraikanan tangkap

Gambar

Gambar 4  Konstruksi gillnet di Kabupaten Halmahera Utara.
Tabel 11   Keragaan usaha penangkapan ikan pancing ulur dan gillnet.  Usaha Penangkapan Ikan
Gambar 5 Konstruksi umum rawai dasar di Kabupaten Halmahera Utara.  Perahu  yang  digunakan  alat  tangkap  rawai  bermesin  outboard  dengan  kekuatan  16-24  PK
Gambar 7   Sistem  bagi  hasil  usaha  perikanan  rawai  (pemilikan  usaha  kolektif/kelempok)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Tabel 3 diketahui terdapat tiga faktor dalam ruangan laboratorium komputer RPL yang menurut siswa dikategorikan tidak nyaman, yaitu kondisi temperatur,

Horrela, ondoriozta daiteke, saiakerak eginagatik ere, gaelikoarekiko utzikeria nabarmena izan dela Eskozian, eta garai batean gaelikoz hitz egiten zuten familiei zor zaiela

Kebutuhan Informasi Memberikan pelayanan kepada karyawan melalui program-program pelatihan dan pengembangan produk. Merencanakan dan menyelenggarakan kegiatan

Adapun yang dimaksud dengan pembelajaran kooperatif ( Cooperative Learning ) adalah pembelajaran yang menyuruh siswa berkelompok dan bekerja sama dalam memecahkan suatu

Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 telah memberikan hak pilih bagi penggugat, apakah ia akan menggabungkan gugatan perceraiannya dengan

Namun Penelitian yang dilakukan oleh Sopian (2014) menunjukkan bahwa masa perikatan audit berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit dan ia beranggapan bahwa

pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usaha,atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi

Pada basic event yang ketiga adalah pompa menghisap angin atau masuk angin, masalah ini sering terjadi pada pompa jenis sentrifugal dimana pompa jenis ini adalah