• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP DIRI REMAJA TUNANETRA Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KONSEP DIRI REMAJA TUNANETRA Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

i

KONSEP DIRI REMAJA TUNANETRA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh :

Chatarina Novita Tri Rahayu NIM : 089114083

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

MOTTO

When a bird is alive, it eats ants. When the bird is

dead, ants eat the bird. Time & circumstance can change

at any time. Don’t devalue or hurt anyone in life. You may

be powerful today. But remember, time is more powerful

than you! One tree makes a million match sticks. Only one

match stick needed to burn a million trees.. SO BE GOOD

AND DO GOOD- lesson of time~karma

PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini ku persembahkan kepada :

Allah Bapa di Surga yang telah membuktikan kuasa-Nya

atas hidupku…

Keluargaku, bapak, ibu, felix & nisa, nita & beta,

serta nino yang selalu memberi dukungan dan

semangat…

(5)
(6)

vi

KONSEP DIRI REMAJA TUNANETRA

Chatarina Novita Tri Rahayu

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran konsep diri pada remaja penyandang tunanetra melalui tiga dimensi konsep diri, yaitu gambaran diri, diri yang ideal, dan harga diri. Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Subjek penelitian merupakan remaja penyandang tunanetra yang berjumlah empat orang berusia antara 11-16 tahun yang bersekolah di SLB A Yaketunis, Yogyakarta. Hasil penelitian ini adalah bahwa keempat subjek menggambarkan dirinya secara positif, memiliki cita-cita dan harapan yang baik akan dirinya sendiri, dan memiliki harga diri yang tinggi. Dengan demikian, keempat subjek memiliki konsep diri yang positif

(7)

vii

Self-Concept Of Blind Adolescent

Chatarina Novita Tri Rahayu

ABSTRACT

This research had purpose to found description of self-concept in blind adolescent used three dimension of concept, there were image, ideal self, and self-esteem. The research used qualitative descriptive method. Subject of this research was four blind teenager between 11-16 years old that studied in SLB A Yaketunis, Yogyakarta. Result of the research was the subjects described theirself in positive manner, had good wishes and hopes about theirself and had high self-esteem. Thus, the four subjects had positively self-concept.

(8)
(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan di surga atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan orang lain. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Allah Bapa di Surga atas uluran tangan-Nya yang menopangku sehingga tidak terjatuh terlalu dalam

2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku Kaprodi Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

4. Ibu Agnes Indar Etikawati, M.Si., Psi. selaku dosen Pembimbing Akademik dan

dosen pembimbing skripsi…terima kasih atas bimbingan dan kesabarannya ya

bu..

5. Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniarti, M., M.Si dan Ibu MM Nimas Eki Suprawati, M.Si., Psi selaku dosen penguji, terima kasih telah menyediakan kesempatan, memberi saran dan kritik yang membangun

6. Mas Gandung, Mba Nanik, Pak Gik, Mas Doni dan Mas Muji..terima kasih karena selalu melayani kami – kami semua dengan baik...

7. Bapak, ibu, mas kelik, mbak nita, mas beta, mbak nisa, dan nino, terima kasih atas semangat dan dukungan yang tidak ada habisnya

8. Vikky Yesaya Purba S.Kom, terima kasih atas dukungan, semangat, kesabaran, dan pertolongannya. Setelah ini kita lanjutkan mimpi kita yang belum terwujud. 9. Ade Putra, Lucius Panji, Felix Ariska Kristianto, dan sepupu-sepupu lain.. terima

(10)

x

10.Sahabat-sahabatku di Jakarta, Bali dan Solo… Tika, Siska, Yanti, Lisa, Nikita, Christine, Veby, Kezia, Kelly, Tommu, dan Willy, terima kasih atas kebersamaan dan keceriaan yang kalian berikan… kita akan segera berkumpul kembali

11.Teman-teman kost 101.. Chu2, Lidia ‘cungkring’, Karlina, mbak Puput, mbak Sari, Dina, Pretty, Wina terima kasih atas semangat dan canda tawa yang telah kalian berikan selama ini

12.Teman – teman Psikologi ‘08 USD...Lita, Irine, Rosa, Nindi, Timbul, Anggit, Ela, Oshien, Hesti, dll yang tidak bisa disebutkan semua... terima kasih atas semua bantuan, dukungan, dan canda tawa kalian

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis menerima saran dan kritik dari pembaca untuk memperbaiki skripsi ini.

Yogyakarta, 2014 Penulis

(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN` ... iv

PERYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ...xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan ... 7

D. Manfaat... 8

1. Manfaat teoritis ... 8

2. Manfaat praktis ... 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Konsep diri ... 9

1. Pengertian Konsep Diri ... 9

2. Dimensi-dimensi dalam konsep diri ... 10

a. Gambaran diri (self-image) ... 10

(12)

xii

c. Diri yang ideal... 10

3. Aspek-aspek konsep diri ... 11

4. Jenis-jenis konsep diri ... 15

a. Konsep diri positif ... 15

b. Konsep diri negatif ... 16

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri ... 17

B. Remaja ... 21

1. Pengertian remaja ... 21

2. Karakteristik perkembangan remaja ... 22

3. Tugas perkembangan remaja... 24

C. Tunanetra ... 25

1. Pengertian tunanetra ... 25

2. Karakteristik penyandang tunanetra ... 26

3. Masalah yang dihadapi tunanetra ... 28

D. Konsep Diri Remaja Tunanetra ... 30

E. Pertanyaan Penelitian... 37

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 38

A. Jenis Penelitian……….38

B. Subjek Penelitian ... 39

C. Fokus Penelitian ... 39

D. Cara Pengambilan Data ... 41

E. Analisis Data ... 46

1. Organisasi data ... 46

2. Koding ... 46

3. Interpretasi... 52

F. Kredibilitas Penelitian ... 53

1. Kredibilitas ... 53

(13)

xiii

3. Conformbility ... 54

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 55

A. Proses Penelitian ... 55

1. Persiapan Penelitian ... 55

2. Pelaksanaan Penelitian ... 55

B. Latar belakang subjek ... 59

1. Subjek 1 ... 59

2. Subjek 2 . ... 60

3. Subjek 3 ... 61

4. Subjek 4 ... 61

C. Hasil Penelitian ... 62

D. Pembahasan ... 73

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 77

1. Bagi penelitian selanjutnya ... 77

2. Bagi pendamping dan orangtua ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Pedoman Wawancara ... 44

Tabel 3.2. Daftar Koding ... 47

Tabel 4.1. Jadwal Wawancara ... 56

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara Subjek 1 ... 83

Lampiran 2. Koding Subjek 1 ... 85

Lampiran 3. Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara Subjek 2 ... 93

Lampiran 4. Koding Subjek 2 ... 95

Lampiran 5. Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara Subjek 3 ... 100

Lampiran 6. Koding Subjek 3 ... 102

Lampiran 7. Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara Subjek 4 ... 107

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap orangtua di dunia pasti menginginkan anaknya terlahir di dunia dengan normal dan lengkap tanpa kurang suatu apa pun. Keadaan yang terkadang tidak mendukung membuat orangtua kurang memiliki pengetahuan yang cukup sehingga menyebabkan anaknya lahir dengan disabilitas. Menurut Mangunsong, dkk (1998), disabilitas adalah gambaran dari tidak berfungsinya atau berkurangnya fungsi suatu organ pada tubuh seseorang yang secara objektif dapat diukur atau dilihat ada yang hilang pada bagian tubuh seseorang, seperti hilangnya kaki atau tangan, kelumpuhan, cacat mental, hilangnya kemampuan melihat, dan sebagainya. Disabilitas ini bersifat fisik, kognitif, mental, sensorik, emosional, perkembangan, dan campuran dari hal-hal tersebut.

(17)

9,9%. Penyandang tunanetra sendiri sebagian besar berasal dari keluarga kalangan menengah ke bawah yang kurang mempedulikan tentang kesehatan.

Tunanetra merupakan sebutan untuk seseorang yang memiliki ketidakmampuan dalam melihat (total blind) atau kurang berfungsinya indera penglihatan secara maksimal (low vision). Penyandang tunanetra memiliki keterbatasan rangsangan visual sehingga mereka kurang mampu berorientasi dan kemampuan mobilitasnya pun menjadi terganggu. Gangguan pada penglihatan memberikan berbagai dampak, salah satunya kesulitan untuk mendapatkan suatu informasi yang tepat jika informasi tersebut membutuhkan peran penglihatan. Hal ini menjadikan penyandang tunanetra memiliki tingkat kecerdasan dibawah rata-rata ketika diukur dengan test intelegensi (Kirk & Gallagher, 1979).

(18)

selain itu remaja juga wajib untuk mempersiapkan diri untuk dapat berdiri sendiri dan membentuk keluarga.

Dengan keadaan yang kurang atau tidak dapat melihat, remaja tunanetra memiliki permasalahan yang menghalanginya untuk menuntaskan tugas perkembangannya sebagai remaja. Tugas perkembangan yang sulit untuk dituntaskan tersebut, antara lain untuk menggunakan keadaan fisiknya secara efektif dan memperluas hubungan interpersonal dengan orang lain. Remaja tunanetra harus melewati tahapan menerima keadaan fisiknya dahulu yang tidak dapat melihat sebelum menggunakan kedaan fisiknya secara efektif. Mereka tidak dapat menggunakan keadaan fisiknya secara efektif jika belum menerima keadaan fisiknya.

(19)

menyesuaikan diri penyandang tunanetra, pengalaman sehari-hari seringkali menjadi penyebabnya sehingga menjadikan seorang tunanetra menjadi emosional. Dalam masalah kemandirian, penyandang tunanetra memiliki ketergantungan yang berlebihan terhadap orang lain yang disebabkan oleh orang-orang sekitarnya yang menganggap dirinya tidak mampu dan tidak memberikan kesempatan pada mereka untuk mendapatkan suatu tanggung jawab.

(20)
(21)

berinteraksi dengan lingkungannya. Remaja Tunanetra yang memilliki konsep diri yang negatif memmbentuk dirinya menjadi pribadi yang lemah dan mudah putus asa serta suka mengasihani dirinya sendiri. Kepribadian yang dimiliki remaja tunanetra tersebut akan menyulitkannya untuk berinteraksi dengan lingkungannya.

Kesimpulan yang didapat dari beberapa referensi di atas berbeda dengan hasil beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh Ferianti (2008); Lifdhitz, Hen, & Weisse (2007); Fitriyah & Rahayu (2013). Ketiga penelitian tersebut menemukan bahwa individu penyandang tunanetra memiliki konsep diri yang positif. Penelitian yang dilakukan Ferianti (2008) bertempat di Yogyakarta dengan subjek seorang penyandang tunanetra berusia 35-40 tahun dan bekerja sebagai tukang pijat. Hifdhitz, Hen, & Weisse (2007) melakukan penelitian di Israel dengan subjek 40 remaja penyandang tunanetra dan 40 remaja normal. Penelitian ketiga yang dilakukan oleh Fitriyah & Rahayu (2013) bertempat di Yayasan Pendidikan Anak Buta Surabaya dengan subjek dua remaja penyandang tunanetra yang sebelumnya dapat melihat.

(22)

meneliti konsep diri pada remaja tunanetra dengan masalah-masalah yang mereka hadapi. Selain perbedaan hasil tersebut, peneliti juga ingin melihat gambaran konsep diri yang berbeda, yaitu dari dimensi konsep diri Rogers. Peneliti memiliki ketertarikan untuk melihat bagaimana remaja tunanetra mengetahui tentang dirinya, bagaimana mereka menilai dirinya sendiri, dan bagaimana cita-cita dan harapan yang dimiliki remaja tunanetra. Pertanyaan penelitian ini akan dapat terungkap dengan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif dipilih agar dapat diperoleh data yang otentik dan mendalam (Creswell, 2012).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran konsep diri remaja tunanetra yang disimpulkan dari beberapa referensi menunjukan hasil konsep diri yang negatif, namun pada penelitian-penelitian sebelumnya menunjukan hasil konsep diri yang positif.

C. Tujuan Penelitian

(23)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi mengenai gambaran konsep diri pada remaja tunanetra yang akan memberikan manfaat dalam bidang psikologi perkembangan terutama terkait dengan perkembangan anak berkebutuhan khusus.

2. Manfaat praktis

a. Bagi orang tua dan guru:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai gambaran konsep diri pada remaja tunanetra. Dengan demikian, orang tua dan guru dapat memperlakukan remaja tunanetra dengan cara yang tepat agar terbentuk konsep diri yang sehat.

b. Bagi peneliti lain:

(24)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Diri

1. Pengertian konsep diri

Fitts (dalam Agustiani, 2006) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference) seseorang untuk melakukan interaksi dengan lingkungannya. Fitts menjelaskan tentang konsep diri bahwa secara fenomenologis, seorang individu akan menunjukkan self-awareness

dan mampu untuk melihat dirinya seperti memandang dunia di luar dirinya ketika individu tersebut memiliki persepsi akan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberi arti dan nilai serta dapat memberikan gambaran secara abtrak tentang dirinya. Hal yang dialami oleh individu ini disebut juga diri fenomenal, yaitu diri yang diamati, dialami, dan dinilai oleh individu sendiri, yaitu diri yang ia sadari.

Selain Fitts, Berzonsky (1981) juga berpendapat bahwa konsep diri adalah gambaran mengenai diri seseorang, baik persepsi terhadap diri nyatanya maupun penilaian berdasarkan harapannya yang merupakan gabungan dari aspek-aspek fisik, psikis, sosial, dan moral.

(25)

yang diamati, dialami, dan dinilai oleh individu sendiri yang akan digunakan individu sebagai kerangka dalam berinteraksi dengan lingkungan.

2. Dimensi-dimensi dalam konsep diri

Rogers (dalam Schultz, 1991) membagi konsep diri dalam tiga dimensi, yaitu:

a. Gambaran diri (self-image)

Gambaran diri merupakan pengetahuan atau gambaran yang dimiliki oleh seseorang tentang bagian-bagian dalam dirinya sendiri, misalnya seperti nama, jenis kelamin, penampilan, dan sebagainya.

b. Harga diri (self-esteem or self-evaluation)

Harga diri merupakan penilaian individu tentang dirinya sendiri. Pada dimensi ini, seseorang akan menerima dan menghargai keadaan dirinya. Carl Rogers, 1950; Berger, 1955; Silber dan Tippett, 1965 (dalam Wells & Marwell, 1976) mengungkapkan bahwa harga diri ini tegantung pada perbedaan antara bagaimana seseorang memandang dirinya (gambaran diri) dan bagaimana seseorang berpikir tentang seharusnya dirinya seperti apa (diri yang ideal), namun harga diri tersebut bukan perbedaannya tetapi perasaan yang melekat pada perbedaannya.

c. Diri yang ideal (ideal-self)

(26)

3. Aspek-aspek konsep diri

Konsep diri dapat mencangkup beberapa aspek. Fitts (dalam Agustiani, 2006) menjelaskan aspek-aspek konsep diri individu dalam dua dimensi besar, yaitu:

a. Dimensi Internal

Dimensi internal merupakan penilaian yang dilakukan oleh individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia dalam dirinya. Dimensi internal terdiri atas tiga bagian, yaitu:

1) Diri identitas merupakan suatu label seseorang yang memiliki fungsi untuk menjelaskan dan membentuk identitasnya. Seiring dengan bertambahnya usia dan interaksinya dengan orang lain, maka label ini akan terus bertambah. Label ini berupa pengetahuan seseorang mengenai dirinya sendiri.

2) Diri pelaku merupakan dorongan rangsang internal dan eksternal dari diri seseorang dalam melakukan sesuatu. Pada aspek ini individu memiliki persepsi tentang tingkah lakunya yang berisikan tentang kesadaran atas perilaku dirinya. Diri pelaku ini sesuai dengan diri identitas seseorang.

(27)

b. Dimensi Eksternal

Dimensi eksternal bekaitan erat dengan konsep diri positif dan negatif. Dimensi eksternal dibagi menjadi enam aspek, yaitu:

1) Konsep diri fisik merupakan cara seseorang memandang dirinya sendiri dalam hal fisik, kesehatan, penampilan, dan gerak motoriknya. Konsep diri fisik dapat dianggap positif jika memiliki pandangan yang baik dalam hal-hal tersebut, namun akan menjadi negatif jika ia memiliki pandangan yang buruk.

2) Konsep diri pribadi merupakan cara seseorang menilai kepribadiannya beserta kelebihan dan kelemahannya dalam menggambarkan identitas dirinya. Dalam hal ini, konsep diri dianggap positif jika ia memandang dirinya sebagai pribadi yang baik dan negatif jika ia memandang dirinya sebagai pribadi yang buruk.

(28)

4) Konsep diri moral etik, berkaitan dengan persepsi, pikiran, perasaan, serta penilaian seseorang terhadap moralitas dirinya terkait dengan relasi personalnya dengan Tuhan, dan segala hal yang bersifat normatif, baik nilai maupun prinsip yang memberi arti dan arah bagi kehidupan seseorang. Konsep diri seseorang dianggap positif jika ia memiliki kepuasan terhadap kehidupan agamanya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya. Negatif jika ia tidak merasa puas dengan kehidupan keagamaan dan nilai-nilai moral yang dipegangnya.

5) Konsep diri keluarga, berkaitan dengan persepsi, perasaan, pikiran, dan penilaian seseorang terhadap keluarganya sendiri, dan keberadaan dirinya sendiri sebagai bagian integral dari sebuah keluarga. Konsep diri dapat dikatakan positif jika ia merasa baik di dalam lingkungan keluarganya dan negatif jika ia merasa buruk di dalam lingkungan keluarganya

6) Konsep diri akademik, berkaitan dengan persepsi, pikiran, perasaan, dan penilaian seseorang terhadap kemampuan akademiknya. Konsep diri dianggap positif jika seseorang menganggap dirinya memiliki kemampuan yang baik dalam bidang akademik, namun negatif jika ia menganggap dirinya lemah dalam bidang akademik.

(29)

a. Konsep diri fisik

Aspek ini meliputi penilaian individu terhadap segala sesuatu yang dimilikinya seperti tubuh, kesehatan, dan harapan yang dimilikinya terhadap tubuhnya.

b. Konsep diri akademik dan kemampuan

Aspek ini meliputi kemampuan akademik yang dimiliki individu, bagaimana penilaian individu terhadap kemampuan akademiknya, dan harapan yang dimilikinya dalam bidang akademik. Pada aspek konsep diri akademik dan kemampuan ini dapat mengungkapkan juga aspek konsep diri internal diri penilai yang memiliki fungsi untuk mengamati, menetukan standar, mengkhayal, membandingkan, dan menilai.

c. Konsep diri sosial

(30)

terus bertambah seiring dengan bertambahnya usia dan interaksi dengan orang lain..

d. Konsep diri moral-etik

Aspek ini mengenai kehidupan keagamaan dan nilai-nilai yang dimilikinya, penilaiannya, dan harapannya terhadap hal tersebut.

e. Konsep diri kepribadian

Aspek ini mengenai bagaimana perasaan dan persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri, penilaian terhadap perasaan dan persepsinya tersebut, dan harapannya terhadap perasaan dan persepsi yang dimilikinya. Pada aspek konsep diri kepribadian ini dapat mengungkapkan juga aspek konsep diri internal diri pelaku dan diri penilai. Diri pelaku merupakan dorongan rangsang internal dan eksternal dari diri seseorang dalam melakukan sesuatu, pada aspek ini individu memiliki persepsi tentang tingkah lakunya yang berisikan tentang kesadaran akan tingkah lakunya.

4. Jenis-jenis konsep diri

Dalam perkembangannya konsep diri seseorang dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (Calhoun & Acocella, 1995):

a. Konsep diri positif

(31)

Seorang individu dapat dikatakan memiliki konsep diri positif apabila dapat mengenal dirinya sendiri, sehingga ia dapat menyimpan informasi tentang dirinya sendiri baik positif maupun negatif. Selain itu individu ini dapat menerima pendapat atau fakta-fakta tentang dirinya sendiri, sehingga ia dapat menerima dirinya sendiri dan orang lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Kemampuan individu ini dalam berinteraksi dengan lingkungannya tentu tidak dapat diragukan lagi, terlebih lagi didukung oleh sifatnya yang dapat menghargai dirinya dan orang lain. Mereka memiliki sikap yang spontan dan orisinil, bebas dalam mengutarakan pendapat, dan dapat mengantisipasi hal-hal negatif. Dengan konsep dirinya yang positif, tentu saja mereka memiliki motivasi yang tinggi untuk mencapai prestasi dan dapat mengaktualisasi dirinya.

b. Konsep diri negatif

Konsep diri negatif bisa terlalu stabil atau kaku yang mungkin disebabkan oleh didikan yang terlalu keras. Individu yang memiliki konsep diri negatif tidak memiliki pengetahuan dan pandangan yang banyak mengenai dirinya sendiri, sehingga ia tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu ini benar-benar tidak tahu siapa dirinya baik kekuatannya maupun kelemahannya.

(32)

memunculkan rasa cemas yang selalu mengancam dirinya. selain itu, mereka selalu menilai dirinya negatif dan merasa keadaan dirinya tidak cukup baik. Mereka merasa tidak berharga dibandingkan orang lain dan merasa cemas ketika menghadapi informasi mengenai dirinya yang selalu tidak diterimanya dengan baik karena dianggap mengancam.

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri

Menurut Fitts (dalam Agustiani, 2006) ada beberapa faktor yang dapat mempegaruhi konsep diri, yaitu:

a. Pengalaman

Pengalaman yang dialami individu terutama pengalaman interpersonal yang memunculkan perasaan positif dan perasaan berharga.

b. Kompetensi

Kompetensi ini dialami individu dalam area yang dihargai oleh individu dan orang lain.

c. Aktualisasi diri

Mengimplementasikan dan merealisasikan potensi pribadi yang sebenarnya.

(33)

a. Usia kematangan

Remaja yang lebih cepat matang dan diperlakukan menyenangkan biasanya mengembangkan sikap yang menyenangkan. Sebaliknya, remaja yang terlambat matang dan diperlakukan sebagai anak-anak akan merasa kurang dihargai sehingga remaja tersebut menjadi sulit menyesuaikan diri. b. Penampilan diri

Penampilan diri seorang remaja dapat berdampak munculnya sikap rendah diri ketika menjadi ia berbeda dengan teman sebayanya. Selain itu, cacat fisik yang dialaminya dapat menjadi sumber yang memalukan sehingga perasaan rendah diri itu akan muncul.

c. Kepatutan seks

Kepatutan seks ini meliputi penampilan, minat, dan perilaku. Jika kepatutan ini sesuai maka konsep diri yang dihasilkan baik, namun jika tidak sesuai maka akan berdampak buruk pada perilakunya.

d. Nama dan julukan

Seorang remaja akan merasa malu jika nama mereka dinilai jelek oleh teman sebayanya, terlebih lagi jika teman-temannya memberikan nama julukan yang dimaksudkan untuk mencemooh dirinya.

e. Hubungan keluarga

(34)

f. Teman-teman sebaya

Teman-teman sebaya ini mempengaruhi kepribadian seorang remaja dengan dua cara. Pertama, konsep diri remaja yang mengikuti dan terbentuk dari anggapan teman-temannya tentang dirinya. Kedua, remaja berada dalam tekanan agar membentuk konsep diri yang sesuai sehingga dapat diakui oleh kelompoknya.

g. Kreativitas

Seorang remaja yang ketika masa kanak-kanak mengembangan kreativitasnya akan membentuk konsep diri yang baik karena dapat mengembangkan perasaan individualitasnya dan identitasnya. Berbeda dengan remaja yang semasa kanak-kanaknya hanya didorong untuk melakukan sesuatu yang sudah ada, ia akan kurang memiliki perasaan individualitas dan identitas.

h. Cita-cita

(35)

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri remaja (Hurlock, Fitts), yaitu:

a. Pengalaman

Pengalaman yang dialami individu terutama pengalaman interpersonal. Pengalaman individu akan terbentuk melalui hubungan khusus seperti dengan keluarga dan hubungan interpersonalnya dengan teman sebaya. Dengan pengalamannya tersebut individu dapat memunculkan perasaan positif dan merasa berharga. Faktor pengalaman ini dapat mengungkapkan pula faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri lain, seperti nama dan julukan, hubungan keluarga, dan teman-teman sebaya.

b. Kreativitas dan kompetensi

Seorang remaja yang ketika kanak-kanak mengembangkan kreativitasnya akan memiliki perasaan individualitas dan identitas diri yang kuat dibandingkan remaja yang tidak mengembangkan kreativitasnya. Kemudian, kompetensi dalam area yang dihargai oleh individu dan orang lain juga akan mempengaruhi konsep diri remaja tunanetra.

c. Aktualisasi diri

(36)

merealisasikannya. Faktor aktualisasi diri ini juga akan mengungkapkan faktor cita-cita.

d. Penampilan diri

Penampilan diri adalah penampilan yang berbeda dengan teman sebayanya. Hal ini dapat berupa perkembangan fisik yang dialami seorang remaja atau seperti cacat fisik yang dialaminya. Perbedaan yang ada pada diri seorang remaja, seringkali mengembangkan perasaan rendah diri. Faktor penampilan diri ini juga dapat mengungkapkan faktor yang mempengaruhi konsep diri lain, seperti usia kematangan, penampilan diri, dan kepatutan seks.

Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri remaja tersebut dapat menentukan seseorang memiliki konsep diri positif maupun konsep diri negatif.

B. Remaja

1. Pengertian remaja

(37)

atau masa tumbuhnya seseorang dalam masa transisi dari anak-anak ke masa dewasa, yang meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Dengan demikian, remaja merupakan suatu masa transisi yang dialami semua orang dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang ditandai dengan berbagai perubahan dalam segi fisik dan kematangan sosial –psikologis.

Batasan usia remaja di Indonesia menurut Sarwono (2010) dimulai pada usia 11 tahun sampai umur 24 tahun dengan status belum menikah. Batasan usia ini dibuat dengan pertimbangan, bahwa usia 11 tahun dianggap usia akil balig menurut agama dan umur 24 tahun merupakan batas maksimal orangtua memberikan nafkah pada anak-anaknya.

Selain Sarwono, Hall (dalam Santrock, 2003) mengungkapkan bahwa usia remaja berada pada rentang 12 tahun dan berakhir pada usia 23 tahun.Di negara Indonesia, individu dengan usia 17 tahun telah memiliki hak secara hukum dan dianggap telah dapat memutuskan secara mandiri pilihan dalam hidupnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa usia remaja dimulai pada usia 11 tahun dan berakhir pada usia 16 tahun.

2. Karakteristik Perkembangan Remaja

(38)

a. Perkembangan Fisik

Perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris dan keterampilan motorik. Pada remaja perempuan, perubahan fisik yang paling menonjol adalah pertambahan tinggi badan yang cepat, menarche, pertumbuhan buah dada, dan pertumbuhan rambut pemaluan. Sedangkan pada remaja pria, perubahan fisik yang terlihat adalah pertambahan tinggi yang cepat, pertumbuhan penis, pertumbuhan testis, dan pertumbuhan rambut kemaluan.

b. Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan bahasa. Piaget (dalam Papalia & Old, 2001) mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikiran abstrak. Piaget menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal yang merupakan suatu tahap dimana seseorang sudah mampu berpikir abstrak.

(39)

c. Perkembangan Kepribadian dan Sosial

Perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik, sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang lain. Perkembangan kepribadian yang dialami remaja adalah pencarian identitas diri.

Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibandingkan orang tua (Conger, 1991 ; Papalia & Old, 2001), sehingga peran kelompok teman sebaya besar pada masa remaja. Conger (1991) dan Papalia & Old (2001) mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Bagi remaja, teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik, atau film apa yang bagus, dan sebagainya (Conger, 1991).

3. Tugas Perkembangan remaja

Menurut R.J. Havinghurst (dalam Sarwono, 2010) remaja memiliki tugas perkembangan, yaitu:

a. Memperluas hubungan interpersonal dan berkomunikasi dengan teman sebaya baik pria atau wanita secara lebih dewasa.

(40)

c. Menerima dan menggunakan keadaan fisiknya secara efektif d. Memiliki kemandirian emosi dari orang tua dan orang dewasa lain e. Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri f. Memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan

g. mempersiapkan diri dalam menikah dan membentuk keluarga. h. Membentuk sistem nilai-nilai moral dan falsafah hidup.

C. Tunanetra

1. Pengertian tunanetra

Menurut Purwanto (2007), tunanetra adalah kelainan atau gangguan fungsi visual dengan tingkat ketajaman visual atau visus sentralis di atas 20/200 dan secara pedagogis membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajarnya di sekolah. Kecacatan pada indera penglihatan menurut Frieda Mangunsong (1998) dibagi menjadi dua menurut tingkat gangguannya, yaitu:

a. Low vision

Low vision adalah kondisi dimana seseorang masih dapat melihat meskipun sangat lemah. Low vision dikatakan tunanetra apabila membutuhkan bantuan untuk melakukan hal-hal sehari-hari.

b. Total blind

(41)

Widjajantin (1995) mengklasifikasikan anak tunanetra dari segi tingkat ketajaman penglihatannya sebagai berikut:

a. 6/6 meter atau 20/20 kaki – 20/50 kaki, tingkat ini disebut tunanetra ringan atau masih dapat dikatakan normal. Mereka masih mampu menggunakan peralatan pendidikan pada umumnya, sehingga masih dapat memperoleh pendidikan di sekolah umum.

b. 6/20 meter – 6/60 meter atau 20/70 kaki, tingkat ini disebut tunanetra kurang lihat atau low vision. Pada taraf ini disebut tunanetra kurang lihat atau low vision. Pada taraf ini mereka masih mampu melihat dengan menggunakan kacamata.

c. 6/60 meter atau 20/200 kaki, - 20/50 kaki, tingkat ini disebut tunanetra berat, taraf ini masih mempunyai tingkatan; (a) masih dapat melihat gerakan tangan cahaya; (b) hanya dapat membedakan terang dan gelap. d. Mereka memiliki visus o, mereka sering disebut buta, pada tingkat ini

tidak mampu melihat rangsangan cahaya yang terlihat hanya gelap.

2. Karakteristik penyandang tunanetra

Penyandang tunanetra memiliki beberapa karakteristik, yaitu (Mangunsong, 1998) :

a. Secara fisik:

(42)

Hal ini, dapat terlihat pada saat melakukan umpan balik dari stimuli berupa aktivitas mobilitas dan respon motorik.

b. Kognisi:

1) Kadangkala anak tunanetra menunjukkan perkembangan kognitif yang lebih lambat dibandingkan dengan anak-anak lain, hal ini disebabkan oleh hilangnya pengalaman visual menyebabkan anak-anak tunanetra kurang mampu melakukan orientasi lingkungan. Anak tunanetra harus belajar bagaimana berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan dengan berbagai keterampilan orientasi dan mobilitas. 2) Secara umum anak-anak tunanetra memiliki kemampuan akademis

yang sama dengan anak-anak normal. Ketunanetraan ini mempengaruhi keterampilan akademis, seperti membaca dan menulis. Dalam hal ini, anak-anak tunanetra menggunakan alat bantu huruf braille atau huruf cetak.

c. Sosial emosi

1) Anak-anak tunanetra memiliki keterbatasan dalam mengamati dan menirukan, hal ini menyebabkan anak tunanetra seringkali kesulitan untuk melakukan perilaku sosial yang benar.

(43)

tubuh yang baik, mempergunakan gerakan tubuh dan ekspresi wajah, mempergunakan intonasi suara atau wicara dalam mengekspresikan perasaan, menyampaikan pesan yang tepat pada waktu melakukan komunikasi.

3) Anak-anak tunanetra memiliki sikap kecurigaan yang berlebihan pada orang lain yang disebabkan oleh kekurangmanpuannya berorientasi terhadap lingkungannya.

4) Anak-anak tunanetra sangat mudah tersinggung, hal ini diakibatkan oleh pengalaman-pengalamannya yang kurang menyenangkan yang sering dialaminya.

5) Tingkat ketergantungan akan orang lain pada anak tunanetra sangat tinggi, hal ini berkaitan dengan keterbatasannya.

3. Masalah yang dihadapi tunanetra

Tunanetra mengalami hambatan dalam perkembanganannya dengan timbulnya beberapa masalah, antara lain (Frieda Mangunsong, 1998):

(44)

bergerak dan berbuat, maka latihan-latihan orientasi dan mobilitas, upaya mempertajam fungsi indera lainnya akan membantu anak tunanetra dalam menumbuhkan sikap disiplin dan rasa percaya diri. b. Perasaan mudah tersinggung. Perasaan mudah tersinggung dapat

disebabkan oleh terbatasnya rangsangan visual yang diterima. Pengalaman sehari-hari yang selalu menumbuhkan kecewa menjadikan seorang tunanetra yang emosional.

c. Ketergantungan yang berlebihan. Ketergantungan ialah suatu sikap tidak mau mengatasi kesulitan diri sendiri, cenderung mengharapkan pertolongan orang lain. Anak tunanetra harus diberi kesempatan untuk menolong diri sendiri, berbuat dan bertanggung jawab. Kegiatan sederhana seperti makan, minum, mandi, berpakaian, dibiasakan dilakukan sendiri sejak kecil.

(45)

D. Konsep Diri Remaja Tunanetra

Masa remaja adalah suatu masa dimana seseorang individu memiliki banyak keinginan dan cita-cita yang ingin mereka capai. Namun, masa remaja ini akan lebih sulit dihadapi oleh penyandang tunanetra dengan segala keterbatasannya. Masalah yang dihadapi penyandang tunanetra juga akan menjadi penghambat dalam menuntaskan tugas perkembangannya sebagai remaja. Hal ini akan menyebabkan perkembangan remaja tunanetra akan jauh lebih lambat dibandingkan remaja normal lainnya. Permasalahan tunanetra yang kuat kaitannya dengan pembentukan konsep diri remaja tunanetra, antara lain adalah kondisi fisiknya yang memiliki kekurangan dalam hal melihat, keadaan motoriknya menjadi terganggu, dan sulit melakukan orientasi terhadap lingkungannya.

Konsep diri akan membuat remaja tunanetra lebih berharga, remaja juga akan menutupi kekurangan dan kelebihan yang membuatnya lebih bersyukur dan bisa membuktikan pada dunia luar jika dirinya juga bisa hidup mandiri seperti orang lain dengan kondisi fisik yang normal. Remaja yang mengalami ketunaan, seperti tunanetra dapat membuktikan kepada semua orang bahwa dirinya juga bisa berhasil seperti orang normal pada umumnya. Mereka harus dapat membuat pandangan masyarakat akan dirinya dengan positif, tidak selalu meremehkan individu yang memiliki kondisi seperti ini.

(46)

anak merasa dirinya adalah anak yang berprestasi, maka ia akan belajar dengan tekun agar dapat menjadi anak yang selalu berprestasi. Sebaliknya jika seorang anak merasa dirinya adalah anak yang nakal, maka ia akan melakukan segala hal yang mengganggu agar tetap menjadi anak nakal. Ketika seorang anak yang merasa dirinya nakal suatu saat membantu ibunya dan dipuji, maka akan ada sesuatu yang mengganjal dalam dirinya sehingga ia akan melakukan kenakalan lagi.

(47)

Ketiga, kesulitan untuk berinteraksi dengan orang lain. Keeempat, adanya perasaan rendah diri dan kurang dihargai. Remaja tunanetra memiliki kekurangan dalam menerima rangsangan visual yang menyebabkan kurang mampu berorientasi dengan lingkungan dan motoriknya terganggu. Hal ini menyebabkan remaja tunanetra mengembangkan sikap terlalu berhati-hati sehingga mereka kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain. Kesulitannya untuk berinteraksi sosial akan membatasi pengalamannya terutama pengalaman interpersonalnya. Menurut Fitts, pengalaman berinteraksi interpersonal akan menjadikan seorang individu merasa berharga. Jika remaja tunanetra gagal dalam melakukan interaksi interpersonal yang menjadikannya memiliki pengalaman interpersonal yang terbatas pada orang-orang tertentu, maka remaja tunanetra memiliki kemungkinan untuk membentuk perasaan yang tidak dihargai.

Kelima, remaja tunanetra seringkali mengalami diskriminasi dari orang lain. Kekurangan remaja tunanetra dalam hal penglihatan akan membatasi kreativitasnya. Ia harus mengetahui kelemahannya dan kelebihannya sehingga dapat berkreativitas. Selain itu, pada bidang kompetensi di suatu area seringkali remaja tunanetra mengalami diskriminasi dari lingkungan yang menjadikannya rendah diri dan merasa kurang dihargai.

(48)

cita-cita yang tidak sesuai dengan kenyataan. Ketika aktualisasi diri tidak dapat diimplementasikan dan direalisasikan, maka yang terjadi remaja tunanetra menjadi putus asa dan merasa gagal.

Selain dampak ketunanetraan diatas yang akan memberikan peluang yang besar bagi remaja tunetra memiliki konsep diri negatif, ada beberapa faktor juga yang akan mempengaruhi remaja tunanetra memiliki konsep diri positif. Menurut penelitian yang dilakukan Fitriyah & Rahayu (2013), konsep diri positif yang dimiliki remaja tunanetra dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu dukungan positif dari keluarga dan teman sebaya dan bertemu teman-teman yang memiliki kondisi yang sama. Selain Fitriyah & Rahayu (2013), Lifshitz, Hen, & Weisse (2007) mengungkapkan salah satu faktor yang mempengaruhi remaja tunanetra memiliki konsep diri positif adalah dukungan dari sekolahnya baik dukungan secara verbal maupun kemampuan dalam mengatasi ketunanetraannya tersebut.

(49)

Sebagai remaja penyandang tunanetra, tentu saja akan mengalami kesulitan dalam membentuk konsep diri dengan dimensi-dimensi tersebut. Remaja tunanetra tidak dapat melihat fisiknya sendiri atau membandingkannya dengan fisik orang lain, sehingga mereka kesulitan dalam memiliki atau mengetahui gambaran tentang dirinya. Hal ini menyebabkan pengetahuan tentang diri menjadi kurang jelas dan membutuhkan bantuan dari orang lain. Dimensi harga diri atau penilaian akan diri juga akan sulit dilakukan dengan kekurangan yang ada pada remaja tunanetra. Dalam mengevaluasi dan memberikan penilaian akan dirinya sendiri, seseorang akan membandingkannya dengan orang lain atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Remaja tunanetra yang tidak dapat melihat akan kesulitan dalam membandingkan dirinya dengan orang lain atau norma-norma dengan segala keterbatasannya. Selanjutnya, sesuai dengan dimensi konsep diri tersebut, remaja tunanetra pun akan membentuk ideal-self. Seseorang akan memiliki konsep diri yang tidak sehat ketika memiliki ideal-self yang sulit atau tidak mungkin untuk diwujudkan dan kemungkinan remaja tunanetra memiliki

ideal-self tersebut besar kemungkinannya dengan kecacatan yang dialaminya, sehingga tidak mungkin remaja tunanetra akan memiliki konsep diri yang tidak sehat.

(50)
(51)

GAMBAR 2.1

SKEMA KONSEP DIRI REMAJA TUNANETRA

Remaja Tunanetra:

- Kehilangan kemampuan melihat

- Kesulitan dalam menerima rangsangan visual

- Kondisi motoriknya terganggu - Sulit melakukan orientasi lingkungan

Gambaran Konsep Diri Remaja Tunanetra:

- Gambaran diri - Harga diri - Diri yang ideal

Faktor yang mempengaruhi konsep diri remaja tunanetra: Negatif:

- Memiliki kekurangan dalam hal fisik, yaitu kebutaan - Tidak memiliki kondisi yang sama dengan

teman-teman sebaya.

- Kesulitan untuk berinteraksi dengan orang lain. - Seringkali mengalami diskriminasi dari orang lain. - Perasaan rendah diri dan kurang dihargai.

- Memiliki pengharapan atau cita-cita yang tidak realistis

Positif:

- Mendapatkan dukungan positif dari keluarga, teman-teman, dan sekolah

(52)

E. Pertanyaan Penelitian

(53)

38 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif deskriptif. Creswell (2012) mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif merupakan metode yang bertujuan untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan.

Menurut Sugiyono (dalam Poerwandari, 2005), penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan atau memberikan gambaran mengenai objek yang diteliti melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya, tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku.

Selain Sugiyono, Meoleong (2009) mengungkapkan bahwa data yang dihasilkan penelitian deskriptif ini berupa deskripsi kata-kata yang akan dicatat berdasarkan uraian lisan dari subjek serta catatan perilaku-perilaku teramati selama diadakan penelitian.

(54)

B. Subjek Penelitian

Subjek dipilih berdasarkan operational contruct sampling (Poerwandari, 2005), yaitu subjek dipilih berdasarkan kriteria tertentu yang dilandaskan pada teori yang sesuai dengan tujuan penelitian dan subjek dapat mewakili fenomena yang akan diteliti. Subjek penelitian ini wajib memenuhi kriteria berikut ini: 1. Penyandang tunanetra

Subjek adalah penyandang tunanetra yang kehilangan fungsi penglihatan. Alasan peneliti memilih penyandang tunanetra karena sesuai tujuan dari penelitian untuk melihat gambaran konsep diri pennyandang tunanetra.

2. Remaja

Subjek adalah penyandang tunanetra yang berusia remaja 11-16 tahun. Alasan peneliti memilih usia remaja karena pada usia remaja, seseorang mulai untuk mencari dan membentuk jati dirinya.

C. Fokus penelitian

(55)

1. Gambaran diri (self-image)

Gambaran diri merupakan pengetahuan atau gambaran yang dimiliki oleh seseorang tentang bagian-bagian dalam dirinya sendiri, misalnya seperti nama, jenis kelamin, penampilan, dan sebagainya. Gambaran diri seseorang dikatakan baik jika ia dapat mengenal dirinya sendiri, memiliki kemampuan untuk membedakan mana yang menjadi miliknya dan kepunyaan orang lain, dan dapat membentuk lukisan atau gambaran tentang siapa dia.

2. Harga diri

Harga diri merupakan penilaian individu tentang dirinya sendri. Pada dimensi ini, seseorang akan menerima dan menghargai keadaan dirinya ( self-esteem). Seseorang yang berhasil mengevaluasi diri akan menerima dan menghargai dirinya dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya.

3. Diri yang ideal

Diri yang ideal merupakan gambaran dari harapan individu ingin menjadi apa. Seseorang yang memiliki diri yang ideal yang positif ketika ia memiliki cita-cita atau pengharapan yang sesuai dengan kondisi tubuhnya, tidak kurang dan juga tidak berlebihan.

(56)

akan membuatnya memiliki gambaran konsep diri yang berbeda dengan remaja normal lainnya.

Gambaran konsep diri pada remaja tunanetra dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara yang relevan dengan tujuan penelitian dan observasi sebagai pelengkap.

D. Cara Pengambilan Data

Pengambilan data pada penelitian ini mengunakan teknik wawancara. Wawancara merupakan suatu proses dimana terjadinya tanya jawab yang terjadi saat penelitian secara lisan, dalam wawancara terdapat dua orang atau lebih yang mendengar dan memberikan keterangan-keterangan tentang hal-hal yan dibutuhkan dalam penelitian. Tujuan dari metode pengumpulan data secara wawancara adalah untuk mengumpulkan data-data yang dibutuhkan tanpa merubah ataupun mempengaruhi jawaban subjek (Narbuko & Achmadi, 2007).

(57)

Wawancara yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur yang merupakan kombinasi antara wawancara bebas dan terstruktur. Pada wawancara semi terstruktur, peneliti akan membuat pokok-pokok masalah yang akan diteliti. Peneliti harus memiliki kepandaian untuk mengarahkan subjek ketika subjek menyimpang dari pertanyaan yang diberikan peneliti.

Informasi yang ingin digali peneliti terhadap subjek dengan panduan-panduan berikut ini:

a. Latar belakang subjek, yaitu: 1) Kegiatan sehari-hari subjek.

2) Keadaan dan relasi dalam keluarga subjek. 3) Keadaan sosial ekonomi keluarga subjek. 4) Pergaulan subjek diluar keluarga.

5) Sejarah kebutaan subjek. b. Konsep diri, yaitu:

1) Gambaran diri meliputi : pengetahuan subjek dirinya sendiri yang mencangkup fisik, akademik, sosial, pribadi, dan moral-etik yang dipegangnya.

(58)
(59)

Tabel 3.1 Pedoman Wawancara

NO PEDOMAN WAWANCARA DIMENSI YANG

DAPAT TERGALI 1.a

b

c

2.a b c

3.a

b

Kegiatan sehari hari di rumah, sekolah, dan lingkungan masyarakat.

Relasi dengan orang-orang dalam keluarga, teman sebaya, guru-guru, dan masyarakat.

Penilaian dalam hal relasi

Keadaan sosial ekonomi keluarga. Sejarah dan kondisi kebutaan

Cerita mengenai diri beserta kekurangan dan kelebihan yang dimiliki.

Cerita mengenai kegiatan akademik dan kemampuan.

Penilaian diri terhadap kemampuan akademiknya.

Gambaran diri sosial, harga diri sosial, dan diri yang ideal sosial.

Gambaran diri, harga diri, dan diri yang ideal pada aspek: fisik, akademik, sosial, pribadi, dan moral-etik

(60)

4.a

Cara mengelola emosi saat menghadapi situasi-situasi tertentu.

Penilaian diri dalam hal pengelolaan emosi.

Cerita mengenai kegiatan religiusitas. Nilai-nilai yang dipegang.

Penilaian diri terhadap religiusitas.

Kepribadian yang dimiliki dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Penilaian diri terhadap kepribadian yang dimilikinya.

Cita-cita yang dimilikinya. Harapannya yang dimilikinya.

Usaha dan keyakinan akan cita-cita dan harapannya.

Gambaran diri pribadi, harga diri pribadi, dan diri yang ideal pribadi

Gambaran moral-etik, harga diri moral-etik, diri yang ideal moral-etik

Gambaran diri pribadi, harga diri pribadi, dan diri yang ideal pribadi

(61)

E. Analisis Data

Analisis data hasil wawancara dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini (Poerwandari, 2005):

1. Organisasi data

Data kualitatif sangat banyak dan beragam, menjadi kewajiban dari seorang peneliti untuk mengorganisasikan data dengan rapi, sistematis dan lengkap. Menurut Highlen dan Finley (2002 dalam Poerwandari. 2005), organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisis yang dilakukan dan menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. Pada tahap ini, peneliti memindahkan hasil wawancara dari recorder ke dalam bentuk tulisan (verbatim).

2. Koding (memberi kode)

(62)

Tabel 3.2

DAFTAR KODING

NO DIMENSI KODING

1. Gambaran diri: a. Fisik

1) Deskripsi fisik positif:

Memberikan penilaian positif terhadap fisiknya 2) Deskripsi fisik negatif

Memberikan penilaian negatif terhadap fisiknya b. Akademik

1) Akademik positif

Memberikan penilaian positif terhadap dirinya di bidang akademik dan kemampuan lainnya

2) Akademik negatif

Memberikan penilaian negatif terhadap dirinya di bidang akademik dan kemampuan lainnya

c. Sosial

1) Sosial positif

Memberikan penilaian positif terhadap dirinya di bidang sosial

GD

GD1+

GD1-

GD2 +

GD2-

(63)

2) Sosial negatif

Memberikan penilaian negatif terhadap dirinya di bidang sosial

d. Moral-etik

1) Moral-etik positif

Memberikan penilaian positif terhadap kehidupan agama dan nilai-nilai yang dipegangnya

2) Moral-etik negatif

Memberikan penilaian negatif terhadap kehidupan agama dan nilai-nilai yang dipegangnya

e. Kepribadian

1) Kepribadian positif

Memberikan penilaian positif terhadap perasaan dan persepsi yang ada pada dirinya sendiri

2) Kepribadian negatif

Memberikan penilaian negatif terhadap perasaan dan persepsi yang ada pada dirinya sendiri

GD3-

GD4+

GD4-

GD5+

GD5-

2 Harga diri: a. Fisik

1) fisik positif:

Memberikan penilaian positif, dapat menerima dan

(64)

merasa puas dengan kondisi fisiknya 2) fisik negatif

Memberikan penilaian negatif, tidak dapat menerima dirinya dan tidak merasa puas dengan kondisi fisiknya b. Akademik

1) Akademik positif

Memberikan penilaian positif, dapat menerima dan merasa puas terhadap dirinya dalam bidang akademik 2) Akademik negatif

Memberikan penilaian negatif, tidak dapat menerima dan merasa kurang terhadap dirinya dalam bidang akademik

c. Sosial

1) Sosial positif

Memberikan penilaian positif, dapat menerima dan merasa puas terhadap dirinya dalam bidang sosial 2) Sosial negatif

Memberikan penilaian negatif, tidak dapat menerima dan merasa kurang terhadap dirinya dalam bidang akademik

d. Moral-etik

HD1-

HD2+

HD2-

HD3+

(65)

1) Moral-etik positif

Memberikan penilaian positif, dapat menerima dan merasa puas terhadap dirinya dalam bidang moral-etik 2) Moral-etik negatif

Memberikan penilaian negatif, tidak dapat menerima dan merasa kurang terhadap dirinya dalam bidang moral-etik

e. Kepribadian

1) Kepribadian positif

Memberikan penilaian positif, dapat menerina, dan merasa puas terhadap perasaan dan persepsi yang ada pada dirinya sendiri

2) Kepribadian negatif

Memberikan penilaian negatif, tidak dapat menerima dan merasa kurang terhadap perasaan dan persepsi yang ada pada dirinya sendiri

HD4+

HD4-

HD5+

HD5-

3 Diri yang ideal: a. Fisik

1) Fisik positif

Memiliki harapan terhadap fisiknya yang sesuai keadaan dan memiliki cita-cita yang sesuai dengan

DI

(66)

kondisi fisiknya. 2) Fisik negatif

Memiliki harapan terhadap fisiknya yang tidak sesuai dengan keadaan dan memiliki cita-cita yang tidak sesuai dengan kondisi fisiknya.

b. Akademik

1) Akademik positif

Memiliki harapan untuk menjadi lebih baik dalam bidang akademiknya dan memiliki cita-cita yang didukung oleh akademiknya.

2) Akademik negatif

Tidak memiliki harapan untuk menjadi lebih baik dalam bidang akademiknya dan memiliki cita-cita yang tidak didukung oleh akademiknya.

c. Sosial

1) Sosial positif

Memiliki harapan yang baik dalam menjalin hubungannya dengan orang lain.

2) Sosial negatif

Tidak memiliki harapan untuk dapat menjalin hubungan yang lebih baik dengan orang lain.

DI1-

DI2+

DI2-

DI3+

(67)

d. Moral-etik

1) Moral-etik positif

Memiliki pengharapan terhadap kehidupan keagamaan dan nilai-nilai yang dipegangnya. 2) Moral etik negatif

Tidak memiliki pengharapan terhadap kehidupan keagamaan dan nilai-nilai yang dipegangnya. e. Kepribadian

1) Kepribadian positif

Memiliki pengharapan terhadap perasaan dan persepsinya mengenai dirinya sendiri

2) Kepribadian negatif

Tidak memiliki pengharapan terhadap persepsi dan perasaan mengenai dirinya sendiri

DI4+

DI4-

DI5+

DI5-

3. Intepretasi

(68)

disebutkan. Tahap ini dilakukan setelah peneliti melakukan verbatim dan pemberian kode pada hasil wawancara.

F. Kredibilitas Penelitian

Menurut Poerwandari (2005), penelitian kualitatif akan dikatahui kualitasnya dengan melihat:

1. Kredibilitas

Kredibilitas adalah pengganti istilah konsep validitas. Kredibilitas adalah pemeriksaan pada suatu penelitian, apakah suatu penelitian tersebut berhasil mencapai tujuannnya dengan menerapkan prosedur tertentu. Validitas yang digunakan pada penelitian kualitatif, yaitu:

a. Validitas kumulatif tercapai ketika hasil penelitian lain dengan topik sama kurang lebih serupa dengan temuan yang didapat oleh peneliti. b. Validitas komunikatif dilakukan peneliti dengan mengonfirmasi

kembali data dan analisisnya pada responden penelitian.

c. Validitas argumentatif dicapai ketika presentasi hasil penelitian dapat diikuti dengan baik rasionalnya dan dapat dibuktikan dengan data mentahnya.

d. Validitas ekologis menunjuk pada sejauh mana penelitian dilakukan pada kondisi alamiah dan kehidupan sehari-hari subjek.

(69)

Dependabilitas adalah pengganti istilah dari reliabilitas yang dikemukakan oleh Licoln dan Guba (dalam Poerwandari, 2005). Dependabilitas ini dapat terlihat melalui:

a. Koherensi adalah keyakinan bahwa metode yang dipilih memang mencapai tujuan yang diinginkan.

b. Keterbukaan, peneliti membuka diri pada metode-metode yang berbeda.

c. Diskursus menurut Sarantakos (dalam Poerwandari, 2005) yaitu, peneliti mendiskusikan temuan dan analisisnya dengan orang lain. Penelitiaan ini akan menggunakan kedibilitas penelitian, yaitu:

1. Koherensi yaitu dengan merekam dan , memberi uraian deskriptif, dan transkrip verbatim. Hal ini bertujuan untuk mencocokan apakah data yang dihasilkan sudah sesuai dan menggambarkan konsep diri pada remaja tunanetra.

2. Validitas komunikatif, peneliti akan membawa laporan hasil analisis kepada subjek dan mengonfirmasikan pada subjek apakah hal tersebut sama dengan apa yang dialaminya. Selain itu, peneliti akan melihat dependabilitasnya melalui:

(70)

55

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Proses Penelitian 1.Persiapan Penelitian

Selain berkaitan dengan alat ukur, persiapan lain yang dilakukan oleh peneliti adalah mencari subjek penelitian. Subjek merupakan remaja penyandang tunanetra berusia 11-16 tahun. Dalam mencari subjek, peneliti dibantu oleh kepala yayasan sekolah SLB A Yaketunis. Dengan bantuan tersebut, peneliti mendapatkan empat subjek yang berasal dari sekolah yang sama. Peneliti meminta kesediaan subjek untuk berpartisipasi dalam penelitian. Peneliti menjelaskan kepada subjek bahwa semua data yang bersifat pribadi akan dijamin kerahasiaannya.

2.Pelaksanaan Penelitian

(71)

Banyaknya pertemuan dan proses wawancara yang dilakukan peneliti terhadap setiap subjek berbeda-beda. Berikut ini akan dijelaskan proses wawancara yang dilakukan oleh peneliti :

Tabel 4.1 Jadwal Wawancara

SUBJEK WAKTU TEMPAT KEGIATAN

I

5 Agustus 2013 Pukul 13.24 WIB

Ruang kelas SLB A Yaketunis

Permintaan kesediaan untuk di wawancara, penandatangan surat persetujuan wawancara. Selanjutnya, peneliti melakukan wawancara pertama yang meliputi latar belakang subjek, gambaran diri, harga diri, dan diri ideal subjek pada aspek fisik, akademik, sosial, moral etik, dan kepribadian.

19 Agustus 2013 Pukul 13.05 WIB

Ruang kelas SLB A Yaketunis

(72)

10 September 2013 Pukul 14.12 WIB

Ruang kelas SLB A Yaketunis

Wawancara ketiga meliputi gambaran diri pada aspek moral etik.

II

5 Agustus 2013 Pukul 14.30 WIB

Ruang kelas SLB A Yaketunis

Permintaan kesediaan untuk di wawancara, penandatangan surat persetujuan wawancara. Selanjutnya, peneliti melakukan wawancara pertama yang meliputi latar belakang subjek, gambaran diri, harga diri, dan diri ideal subjek pada aspek fisik, akademik, sosial, moral etik, dan kepribadian.

13 September 2013 Pukul 13.50 WIB

Ruang kelas SLB A Yaketunis

Wawancara kedua meliputi gambaran diri aspek sosial dan diri ideal yang dimiliki subjek.

III

17 September 2013 Pukul 13.35 WIB

Ruang makan SLB A Yaketunis

(73)

latar belakang subjek, gambaran diri, harga diri, dan diri ideal subjek pada aspek fisik, akademik, sosial, moral etik, dan kepribadian.

IV 28 September 2013 Pukul 16.58 WIB

Rumah subjek Permintaan kesediaan untuk di wawancara, penandatangan surat persetujuan wawancara. Selanjutnya, peneliti melakukan wawancara pertama yang meliputi latar belakang subjek, gambaran diri, harga diri, dan diri ideal subjek pada aspek fisik, akademik, sosial, moral etik, dan kepribadian.

8 Oktober 2013 Pukul 16.15 WIB

Rumah subjek Wawancara kedua meliputi gambaran diri aspek sosial dan moral etik.

(74)

yang periang dan banyak bicara, namun saat proses wawancara berlangsung subjek cenderung diam dan tidak menjawab sebagian besar pertanyaan. Selain itu, subjek sulit untuk ditemui karena jarang masuk sekolah dan sulit untuk dihubungi. Hal ini membuat peneliti tidak dapat melanjutkan proses wawancara terhadap subjek.

B. Latar Belakang Subjek

1.Subjek 1

Subjek pertama adalah seorang remaja pria tunanetra berusia 16 tahun dengan inisial AS. Subjek bersekolah di SLB A Yaketunis dan duduk di kelas 5 SD. Ayah subjek berkerja sebagai karyawan swasta di sebuah perusahaan dan ibu subjek merupakan ibu rumah tangga. Subjek merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Subjek memiliki hubungan baik dengan keluarganya dan selalu bercerita tentang kesehariannya di asrama pada orangtuanya. Subjek tinggal di asrama sekolah dan setiap libur sekolah subjek dijemput untuk pulang ke rumahnya yang berada di Cilacap.

(75)

gangguan yang dialami subjek adalah alergi sinar matahari. Setelah diberi obat, kondisi mata subjek memburuk dan rumah sakit merujuknya ke rumah sakit di Jakarta atau Yogyakarta. Subjek akhirnya memutuskan untuk berobat ke rumah sakit di Yogyakarta dan dinyatakan bahwa subjek salah obat. Subjek dioperasi dengan tujuan memberikan lensa di matanya dan mencegah agar tidak bengkak. Hingga sekarang subjek tidak dapat melihat dan dokter menyatakan dirinya tidak dapat melihat lagi.

2.Subjek 2

Subjek kedua TG adalah seorang remaja pria tunanetra yang berasal dari Purwodadi dan berusia 16 tahun. Subjek bersekolah di SLB A Yaketunis kelas 5 SD. Ayah subjek bekerja sebagai sopir angkutan kota dan ibu subjek bekerja sebagai buruh disebuah pabrik. Subjek merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Subjek tinggal di asrama sekolah dan setiap libur subjek pulang sendiri naik bus ke Purwodadi.

(76)

3. Subjek 3

Subjek ketiga memiliki inisial SH adalah remaja pria tunanetra berusia 15 tahun yang berasal dari Muntilan. Subjek duduk di kelas 1 SMP SLB A Yaketunis. Kedua orangtua subjek bekerja sebagai pedagang rongsok. Subjek merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Subjek tinggal di asrama sekolah dan setiap libur subjek dijemput orangtuanya untuk pulang ke rumah.

Dalam keluarganya, subjek adalah satu-satunya yang tidak dapat melihat. Gangguan pada matanya berawal dari subjek berusia dua tahun, namun dirinya tidak dapat mengingatnya secara spesifik. Menurut dokter yang memeriksanya kondisi kebutaan subjek adalah total. Meskipun dinyatakan total, subjek merasa masih dapat melihat bayangan.

4. Subjek 4

(77)

Dalam keluarganya, hanya subjek yang mengalami kebutaan. Kondisi kebutaan dialaminya sejak lahir. Ketika dilahirkan ada kesalahan dari bidan yang membantu proses kelahiran. Bidan menarik kepala subjek yang menyebabkan kerusakan pada syaraf matanya. Dokter menyatakan bahwa ia tidak dapat melihat, namun subjek merasa hanya mata kanan yang rusak. Saat ini, subjek menjalani pengobatan alternatif untuk mengembalikan pengelihatannya.

C. Hasil Penelitian

(78)

1. Gambaran diri

Pada dimensi gambaran diri, kelima aspek konsep diri muncul pada keempat subjek.

a. Aspek Fisik

Gambaran diri aspek fisik merupakan penilaian subjek mengenai segala hal yang berkaitan dengan fisiknya. Subjek 2 dan subjek 3 memiliki gambaran diri yang positif. Subjek 2 menilai dirinya memiliki kelemahan tidak dapat melihat, namun dirinya memiliki kelebihan dapat berpergian kemanapun tanpa bantuan orang lain.

‘Kelebihannya emm.. kemana-mana bisa pulang sendiri, trus

kekurangannya ya itu…ga bisa lihat’ (S2, 85-86)

Pada awalnya, subjek 3 mendapatkan sedikit kesulitan dalam menilai kelemahan yang ada pada dirinya. Ketidaksengajaan kepala yayasan SLB A Yaketunis yang mengungkapkan kelemahannya membuat subjek menilai kelemahannya yang tidak dapat melihat.

Tapi kalo kelemahan ya apa ya... Ga bisa lihat (kepala yayasan)..Ya itu termasuk kelemahan saya.. tapi saya merasa Allah ngasih saya kekurangan ini pasti juga ngasih kelebihan di

lain hal’ (S3, 99-103)

Dibalik penilaian subjek 3 tentang kelemahannya, subjek merasa yakin Tuhan memberikan kelebihan lain. Subjek menilai dirinya memiliki kelebihan di indera pendengaran.

(79)

Seperti berjalan kalo berjalan itu kan di dekat benda yang besar seperti tembok itu rasanya telinganya beda gitu mbak, jadinya ga

nabrak’ (S3, 107-109) b. Aspek Akademik

Gambaran diri aspek akademik merupakan penilaian subjek mengenai dirinya pada bidang akademik dan kemampuan yang dimilikinya. Pada aspek akademik ini, hanya subjek 3 yang memiliki gambaran diri yang negatif. Subjek 3 menilai dirinya malas belajar dan sulit mengerti pelajaran yang didapatkannya.

‘Belajar ya kalo di kelas aja mbak. Kalo malam biasanya ngerjain PR bareng yang lain. Kalo belajar saya sering malesnya..sering

sering ga ngerti pelajaran tapi kalo dipelajari lagi saya ngerti’ (S3, 131-134)

Berbeda dengan subjek 3, ketiga subjek yang lain menilai dirinya memiliki gambaran diri positif pada aspek akademik. Subjek 1 menilai dirinya terkadang malas belajar, namun ia menilai dirinya rajin dalam mengikuti kegiatan organisasi di sekolah dan memiliki kemampuan di bidang olahraga.

‘Iya…selalu kan aku rajin mbak..hehehe’ (S1, 60)

‘ya gimana ya mbak… kadang males…kadang rajin. Tergantung sih mbak, tergantung pelajarannya’ (S1, 192-193)

(80)

Hampir sama dengan subjek 1, subjek 2 menilai dirinya terkadang malas untuk belajar. Selain itu, subjek 2 juga menilai dirinya memiliki

kemampuan di bidang musik dan olahraga.

‘Ya ada yang bagus ada yang jelek juga. Aku kadang malas belajar mbak…haha’ (S2,102-103)

‘Soalnya aku suka musik…aku juga bisa main keyboard’ (S2, 145-146)

‘Bisa olahraga…tenis meja, catur…main bola’ (S2, 148)

Subjek 4 yang juga memiliki gambaran diri aspek akademik positif, menilai dirinya menyukai belajar. Kesukaannya dalam belajar membuatnya menjadi perwakilan Yogyakarta untuk lomba cerdas cermat seluruh SLB A Indonesia di Bandung.

‘Kalo aku…aku suka belajar…kemarin aku ke Bandung jadi perwakilan Jogja’ (S4, 107-108)

‘Lomba cerdas cermat semua SLB A se Indonesia… trus…trus.. aku dapet piala…’ (S4, 110-111)

c. Aspek Sosial

Gambaran diri aspek sosial merupakan penilaian subjek mengenai interaksi interpersonalnya. Subjek 1 dan subjek 2 memiliki gambaran diri yang positif. Subjek 1 menilai dirinya memiliki banyak teman dan cinta damai, meskipun dirinya lambat dalam beradaptasi di lingkungan baru.

(81)

‘Kurang itu kalo adaptasi itu lama mbak, misalnya di tempat baru nyari temen itu agak lama’ (S1, 187-188)

Subjek 2 menilai dirinya suka bercanda dengan teman-temannya. ‘Eee…gimana ya mbak. Aku orangnya suka bercanda, suka

ngisengin teman-teman.hahhaha’ (S2, 43-44)

Berbeda dengan kedua subjek sebelumnya, subjek 3 dan subjek 4 memiliki gambaran diri negatif pada aspek sosial. Subjek 3 menilai dirinya pendiam dan lebih menyukai sendiri daripada bersama orang lain.

‘Ya ga tau. Saya dikira sombong lah, dikira ga apa tuh… dikira

menutup diri. Emang dari pembawaan saya seperti ini. Mau diapakan lagi, saya yo pendiam makanya saya jarang ngobrol

sama mereka…saya lebih senang sendiri aja’ (S3, 52-56)

Subjek 4 juga memilliki gambaran diri negatif pada aspek sosial. Subjek 4 menilai dirinya mudah marah ke teman-temannya.

‘Ya biar ga gampang marah….soalnya aku ngerasa aku suka

marah-marah’ (S4, 95-96)

‘Marah ke temen-temen…kalo mereka ngatain aku, aku yo suka marah-marah’ (S4, 98-99)

d. Aspek moral-etik

Gambar

Tabel 4.1. Jadwal Wawancara ..............................................................................
Gambaran Konsep
Gambaran diri
Tabel 3.2 DAFTAR KODING
+3

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah

RANO

Peserta yang telah melakukan pendaftaran akan dihubungi oleh pihak panitia pada tanggal 5 Oktober 2016 untuk konfirmasi.. Formulir pendaftaran dapat diambil di sekretariat

ANALISIS KALIMAT ELIPSIS BAHASA JERMAN DALAM ROMAN TRÄUME WOHNEN ÜBERALL KARYA CAROLIN PHILIPPS DAN PADANANNYA.. DALAM

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan oleh peneliti mengenai analisis kelayakan terhadap investasi aktiva tetap yang akan dilakukan oleh Perusahaan