• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Etos Kerja 1. Pengertian Etos Kerja - DENI PERDANA BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Etos Kerja 1. Pengertian Etos Kerja - DENI PERDANA BAB II"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Etos Kerja

1. Pengertian Etos Kerja

Keberhasilan suatu organisasi baik besar maupun kecil bukan semata-mata ditentukan oleh sumber daya alam yang tersedia, akan tetapi banyak ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang berperan merencanakan, melaksanakan, dan mengendalikan organisasi (Manullang, 2005). Manajemen sumber daya manusia yang dilaksanakan dengan baik akan memberikan kontribusi yang cukup besar dalam usaha mencapai sasaran organisasi atau perusahaan (Triton, 2005).

Setiap organisasi yag selalu ingin maju, akan melibatkan anggota untuk meningkatkan mutu kinerjanya, diantaranya setiap organisasi harus memiliki etos kerja. Secara umum, etos kerja berfungsi sebagai alat penggerak tetap perbuatan dan kegiatan individu.

Etos kerja berasal dari bahasa Yunani (etos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak hanya dimiliki individu tetapi juga dimiliki oleh masyarakat.

(2)

memberikan makna pada suatu yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (high performance). Sedangkan menurut Anoraga dan Suryanti (2001) etos kerja diartikan sebagai pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja. Berpijak pada pengertian bahwa etos kerja mengandung makna sebagai aspek evaluatif yang dimiliki oleh individu atau kelompok dalam memberikan penilaian terhadap kegiatan kerja.

Etos kerja menurut Geertz (dalam Abdullah, 1986) diartikan sebagai sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup. Sedangkan menurut Abdullah (1986), secara lebih khusus mendefinisikan kerja sebagai usaha komersial yang menjadi suatu keharusan demi hidup, atau sesuatu yng imperatif dari diri maupun sesuatu yang terkait pada identitas diri yang bersifat sakral. Identitas diri yang terkadung dalam hal ini, adalah sesuatu yang telah diberikan oleh tuntutan religius (agama).

Berpijak pada pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa etos kerja menggambarkan suatu sikap, maka etos kerja memiliki unsur penilaian individu, dan dapat ditegaskan bahwa etos kerja dapat memberikan penilaian terhadap kinerja karyawan.

(3)

eksistensi manusia, maka etos kerjanya akan cenderung tinggi. Sebaliknya sikap dan pandangan terhadap kerja sebagai sesuatu yang bernilai rendah bagi kehidupan, maka etos kerja dengan sendirinya akan rendah.

Dalam situs resmi kementerian KUKM, etos kerja diartikan sebagai sikap mental yang mencerminkan kebenaran dan kesungguhan serta rasa tanggung jawab untuk meningkatkan produktivitas (www.depkop.go.id). Pada Webster's Online Dictionary, Work Ethic diartikan sebagai; Earnestness or fervor in working, morale with regard to the tasks at hand; kesungguhan atau semangat dalam bekerja, suatu pandangan moral pada pekerjaan yang dilakoni. Dari rumusan ini kita dapat melihat bagaimana etos kerja dipandang dari sisi praktisnya yaitu sikap yang mengarah pada penghargaan terhadap kerja dan upaya peningkatan produktivitas.

(4)

Melalui berbagai pengertian diatas baik secara etimologis maupun praktis dapat disimpulkan bahwa etos kerja merupakan seperangkat sikap atau pandangan mendasar yang dipegang sekelompok manusia untuk menilai bekerja sebagai suatu hal yang positif bagi peningkatan kualitas kehidupan sehingga mempengaruhi perilaku kerjanya.

2. Aspek-aspek etos kerja

Seseorang dalam bekerja melibatkan kemampuan yang dimilikinya, serta diperngaruhi oleh nilai-nilai harapan, dan nilai-nilai yang berbeda, oleh karena itu antara satu orang dengan orang yang lain akan menunjukan menunjukan cara kerja yang berbeda-beda. Seseorang yang yang memiliki etos tinggi diasumsikan memiliki kecerdasan spiritual yang lebih baik daripada seseorang dengan etos kerja rendah. Tinggi rendahnya etos kerja dapat diketahui dengan berbagai indikator.

Menurut Moehadjir (2000) etos kerja yang tinggi akan nampak dalam bentuk seperti kerja dengan rasa puas, tidak mudah lesu, saling membantu, kerja tambahan dikerjakan tanpa mengeluh, kekurangan alat dan biaya serta keahlian diterima dengan penuh perhatian, sebaliknya seseorang dengan etos kerja rendah diasumsikan akan mudah putus asa dalam bekerja, kurang disiplin, cepat mengeluh dan tidak bekerjasama.

(5)

a. Efisien

b. Ketekunan atau kerajinan c. Keteraturan

d. Ketepatan waktu e. Kejujuran f. Sederhana

g. Rasional dalam mengambil keputusan

h. Kegesitan dalam memanfaatkan waktu dan kesempatan-kesempatan yang muncul

i. Pandai memanfaatkan peluang dalam menghadapi perubahan dunia

j. Melaksankan usaha secara energik k. Integritas dan percaya pada diri sendiri l. Sikap menjalin kerjasama

m. Mau memandang jauh ke depan

Cherington (Hadipranata, 2000) menyebutkan bahwa tinggi rendahnya etos kerja seseorang dapat dilihat dari tiga indikator, antara lain: a. Kerja sebagai kewajiban moral dan religius untuk mengisi

kehidupannya.

(6)

namun ada juga sebagian orang yang mempunyai pandangan bahwa bekerja merupakan bentuk kepatuha terhadap Tuhan atau kewajibannya. Dasar berpijak yang dimiliki oleh seseorang ini sangat mempengaruhi penampakan (performance) seseorang dalam bekerja. Pekerjaan yang dilakukan dengan dilandasi oleh pertimbangan moral merupakan pekerjaan bermoral. Menurut Dhurkheim (Cheppy, 1988)pekerjaan bermoral mempunyai tiga komponen pokok :

1) Menghargai kedisiplinan

2) Dapat menempatkan diri dalam kelompok maupun masyarakat

3) Mengetahui alasan tertentu akan perbuatan atau tingkah lakunya

(7)

Cheepy (1988) yang mengutip pendapat Wilson mengatakan bahwa ang dimaksud bertindak secara moral adalah : 1) Berdasarkan suatu penalaran dan mengkaitkan dengan

kepentingan orang lain 2) Konsisten dengan logikanya

3) Mengetahui fakta dan bersedia menghadapinya

4) Menerapkan semua keterampilan yang diwujudkan dalm tindakan dan tingkah laku.

Konsep kerja menurut Cherington (Kustono, 2001) didasarkan atas pendapat bahwa orang hidup harus bekerja, memberikan layanan pada masyarakat atau orang lain. Seseorang percaya bahwa bekerja merupakan hukum alam, sehingga setiap orang harus bekerja agar bisa bertahan hidup. Selain itu seseorang yang bekerja bertujuan mengarahkan hidupnya agar mempunyai martabat, lebih dihargai dan berguna bagi dirinya sendiri maupun lingkungannya. Dengan demikian seseorang yang menganggap bekerja sebagai kewajiban moral akan selalu berusaha memenuhikwajibannya dalam bekerja.

(8)

Dengan demikian seseorang yang menganggap kerja sebagai kewajiban moral akan bekerja secara sungguh-sungguh bukan semata-mata mencari harta kekayaan, melainkan untuk mengisi hidupnya agar lebih berarti baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

b. Disiplin kerja tinggi

Disiplin merupakan sikap kejiwaan seseorang atau sekelompok orang yang senantiasa berkehendak untuk mematuhi keputusan yang telah ditetapkan (Ravianto, 1986). Lebih lanjut dijelasakan bahwa disiplin adalah kesadaran diri untuk mentaati nilai, norma dan aturan yang berlaku dalam lingkungannya. Berkaintan dengan pekerjaan, disiplin kerja adalah ketaatan melaksanakan aturan-aturan yang diwajibkan oleh pihak manajemen agarsetiap karyawan dapat melaksanakan pekerjaan dengan tertib. Aturan-aturan tersebut dapat berupa aturan-aturan tertulis yang disepakati bersama, atau berupa aturan-aturan tak tertulis yang merupakan kesepakatan bersama.

(9)

dengan seseorang dengan etos kerja yang rendah. Hal ini disebabkan karena mereka merasa kurnag efektif kalau tidak menepati aturan yang ada. Keyakinan akan pentingnya disiplin kerja ini akan membuat mereka lebih lama bertahan dalam bekerja, sehingga mereka akan lebih produktif.

Kedisiplinan berkaitan dengan nilai-nilai hidup yang dipegang seseorang. Meskipun sifat dari nilai adalah relatif menetap dalam diri seseorang, namun dengan menciptakan iklim kerja yang baik tidak menutup kemungkinan seseorang berubah taraf kedisiplinannya.

c. Rasa bangga atas hasil karyanya

Perasaan biasanya ditafsirkan sebagai gejala psikis yang bersifat subjektif karena lebih banyak dipengaruhi keadaan dalam diri seseorang dan berkaitan dengan hal-hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan berbagai taraf. Menurut Wilson yang dikutip oleh Suryabrata (1982) bahwa timbulnya hal-hal yang idak menyenagkan dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu yang asalanya bisa berasal dari dalam atau luar individu.

(10)

pekerja yang mempunyai rasa bangga atas hasil karyanya cenderung akan mempertahankan hasil karyanya tersebut, karena seseorang cenderung mengulang sesuatu yang menyenangkan bagi dirinya.

Perasaan bangga seseorang atas hasil karyanya berkaitan erat dengan mutu hasil karya seseorang. Kualitas yang baik atas produk yang dihasilkan tidak hanya menguntungkan bagi perusahaan tetapi bermanfaat juga bgi peningkatan motivasi karyawan. Seorang karyawan yang mampu menghasilkan produk berkualitas akan berusaha mempertahankan hasil keahliaanya itu dan berusaha mengadakan perbaikan untuk hasil yang optimal. Seorang akan merasa senang dan tidak merasa keberatan untuk bekerja keras. Kekurangan alat kerja tidak membuat mereka putus asa, karena bagi mereka yang terpenting menghasilkan produk yang berkualitas, dengan mempertahankan dan berbuat sebaik-baiknya agar produk keahliannya berkualitas sehingga tidak akan menurunkan rasa bangganya.

(11)

3. Ciri-ciri etos kerja

Ciri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja akan tampak dalam sikap dan tingkah lakunya yang dilandaskan pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu merupakan bentuk ibadah, suatu panggilan dan perintah Allah yang akan memuliakan dirinya, memanusiakan dirinya sebagai bagian dari manusia pilihan. (Muharram, 2001). Adapun ciri etos kerja menurut Muharram, 2001 yaitu :

a. Memiliki jiwa kepemimpinan (Leadership)

Kepemimpinan yang dimiliki diartikan suatu kemampuan untuk mengambil posisi dan sekaligus memainkan peran sehingga kehadiran dirinya memberikan pengaruh pada lingkungan. Seorang pemimpin yang tinggi adalah orang yang mempunyai personalitas yang tinggi.

b. Selalu berhitung

Di dalm bekerja selalu memperhitungkan segala resiko dan aspek, bisa berkomitmen dan disiplin pada waktu.

c. Menghargai waktu

Mampu menyusun tujuan (goal), membuat perencanan kerja, dan kemudian melakukan evaluasi atas hasil kerja dirinya

d. Tidak pernah merasa puas

(12)

setiap masalah yang dihadapi. Memiliki semangat untuk mengambil posisi dan memainkan perannya dalam bekerja.

e. Efisien

Menjauhkan sikapp yang tidak produktif dan mubazir dari hal yang dapat merugikan diri dalam setiap pekerjaan yang dilakukan f. Memiliki jiwa wiraswasta

Adanya semangat wiraswasta yang tinggi, memikirkan segala fenomena yang terjadi disekitar lingkungan, merenungkan, dan kemudian memiliki semangta untuk mewujudkan segala renungan yang teah dilakukan dalam setiap pekerjaan.

g. Memiliki insting bersaing dan bertanding

Semangat bertanding dan insting merupakan sisi lain dari citra orang untuk bekerja. Seorang pekerja yang memiliki semangat untuk bertanding dan memiliki insting memiliki etos kerja yang tinggi.

h. Keinginan untuk mandiri

Orang yang memiliki keinginan untuk mandiri memiliki semangat untuk mandiri yang dapat melahirkan sejuta keberhasilan atas usaha yang telah dilakukan dalam bekerja.

i. Haus akan keilmuan

(13)

yang kritis dan tak pernah mau untuk berdiam diri saja. Sikap orang yang demikian juga dapat terlihat jika berhadapan dengan lingkungan maka akan kritis dan melaukan analisa terhadap lingkungan sekitar.

j. Berwawasan Makro – Universal

Seorang pekerja yang memiliki wawasan makro akan menjadikan pekerja itu seorang yang bijaksana, mampu membuat pertimbangan yang tepat, serta keputusan lebih mendekati tngkat presisi yang terarah dan benar. Wawasan yang luas mampu mendorong untuk lebig realistis dalam membuat perencanaan dan tindakan.

k. Memperhatikan kesehatan

Seorang pekerja yang memiliki etos kerja yang tinggi dpat dibuktikan dengan pemeliharaan pad kebugaran jasmani agar dapat menunjang segala aktifitas dalam bekerja.

l. Ulet dan pantang menyerah

Keuletan merupakan modal yang sangat besar didalam menghadapi segala macam tantangan atau tekanan dalam dunia kerja.

(14)

bersaing dan bertanding, keinginan untuk mandiri, haus akan keilmuan, berwawasan makro-universal, memperhatikan kesehatan, ulet dan pantang menyerah.

4. Dasar-dasar Etos Kerja dalam Islam

Pembahasan mengenai pandangan Islam tentang etos kerja ini barangkali dapat dimulai dengan usaha menangkap makna sedalam-dalamnya, sabda Nabi saw yang amat terkenal bahwa nilai setiap bentuk kerja itu bergantung pada niat-niat yang dipunyai pelakunya : jika tujuannya tinggi (seperti tujuan mencapai ridha Allah) maka ia pun akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti hanya bertujuan memperoleh simpati sesama manusia belaka), maka setingkat itu pulalah nilai kerjanya tersebut. (Tasmara, 1995)

Sabda Nabi saw yang mencerminkan penjelasan diatas adalah sebagai berikut : “Sesungguhnya (nilai) segala pekerjaan itu adalah

(sesuai) dengan niat-niat yang ada, dan setiap orang akan memperoleh

apa yang ia niatkan.”(HR. Bukhori Muslim).

(15)

seseorang. Karena itu komitmen atau niat juga berfungsi sebagai sumber dorongan batin untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, atau jika ia mengerjakannya, maka ia mengerjakannya dengan tingkat kesungguhan yang tertentu. (Tasmara, 1995)

Selain sabda Nabi di atas yang lebih menyoroti pada niat untuk melakukan suatu pekerjaan ada juga firman Allah yang berpesan untuk bekerja, yaitu dalam surat al-Jumu’ah ayat 10 sebagai berikut : “Apabila

telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi;

dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu

beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah : 10).

Jadi, maksud dari pesan itu ialah bahwa hendaknya kita beribadah sebagaimana yang diwajibkan, namun disisi lain kita juga harus mencari rizki (bekerja). Bersamaan dengan itu, kita harus senantiasa ingat kepada- Nya, yakni memenuhi semua ketentuan etis dan akhlak dalam bekerja itu, dengan menginsyafi pengawasan dan perhitungan Allah terhadap setiap bentuk kerja kita.

B. Kecerdasan Spritual

1. Pengertian kecerdasan spiritual

(16)

dalam memahami sesuatu secara cepatdan sempurna. Begitu cepat penangkapannya itu sehingga Ibnu Sina, seorang psikologfalsafi, menyebut kecerdasan sebagai kekuatan intuitif (al-badlsj (Mujib dan Muzdakir, 2001).

Wachler (dalam Azwa, 1996) mendefinisikan intelegensi sebagai kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berfikir secara rasional serta menghadapi lingkungan dengan efektif.

Mujib dan Mudzakir (2001) mengemukakan tentang kecerdasan intelektual sebagai kecerdasan yang berhubungan dengan proses kognitif seperti berfikir, menilai dan mempertimbangkan seuatu untuk kecedasan yang berhubungan dengan strategi pemecahan masalah dengan menggunakan logika.

Zohar dan Marshall (2001) mengemukakan, kecerdasan spiritual adalah fasilitas yang berkembang selama jutaan tahun yang memungkinkan otak untuk menekan dan menggunakan makna dalam pemechan masalah atau persoalan.

(17)

Menurut ar-Razi (dalam Iskandar, 2012), manusia sejatinya adalah makhluk yang disamping memiliki dimensi fisik material juga memiliki dimensi spiritual. Selain diciptakan dari saripati tanah (Q.S. al-Mu'minμn/23: 12), manusia juga diciptakan dari tiupan roh Tuhan,

sehingga bisa mendengar, melihat dan berpikir : “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya Ruh

(ciptaan)-Nya. Dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,

tetapi kamu sedikit sekali bersyukur”. (Q.S. as-Sajdah/32: 9). Ar-Razi juga menjelaskan bahwa spiritual berasal dari kata spirit dalam pandangan Islam memiliki makna yang sama dengan Al-ruh, seperti yang dijelaskan dalam terjemah QS AL-Isra : 85, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang Ruh katakanlah : Ruh itu termasuk urusan Tuhanku

dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.

Menurut Al-Ghazali (dalam Mujib dan Mudzakir, 2001), kedua ayat di atas memiliki tiga proses yaitu :

a. Taswiyah yaitu aktivitas di dalam tempat penerimaan ruh, yaitu tanah (at-thin) bagi Adam dan Air mani (al-nuthfah) bagi anak cucunya, kondisi taswiyah ini bersih dan sucu dari segala kotoran.

(18)

lumbung orang yang di beri, sehingga syaraf-syarafnya menyalakan nur-Nya.

c. Ruh yaitu substansi yang bukan baru datang (‘aradb) sebab ia mampu mengenal dirinya sendiri dan penciptanya, serta memahami hal-hal yang masuk akal. Dengan demikian Ruh (spirit) yang dimaksudkan adalah substansi ruhani manusia yang diciptakan oleh Allah untuk menjadi esensi kehidupan. Lebih lanjut diterangkan di Najati (2002) Danah dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan Spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan inti menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yanglebih luas dan lebih kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Kecerdasan Spiritual adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, bahkan kecerdasan Spiritual merupakan kecerdasan tertinggi manusia.

Sedangkan pada abad ke-20 data ilmiah menunjukan adnya “Q”

(19)

tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lainnya (Mujib dan Mudzakir, 2001).

Mujib dan Mudzakir (2001) mengatakan bahwa kecerdasan spiritual adalah lebih merupakan konsep yang berhubungan dengan bagaimana seseorang cerdas dalam mengelola dan mendaya guna makna-makna nilai dan kualitas kehidupan spiritualnya. Sedangkan menurut Zohar dan Marshall (2001) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna yaitu kecerdasan yang menempatkan perilaku hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas.

Secara teoritis belum ada pengertian tentang kecedasan spiritual yang kongkrit dan jelas. Kecerdasan spiritual dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan yang sama tuanya dengan umat manusia, dan konsep ini baru pertama kali dikemabangkan secara utuh, Namun dengan hal ini banyak bukti ilmiah mengenai kecerdasan spiritual. Para Ilmuan (dalam Zohar dan Marshall, 2001) telah melakukan penelitian dasar yang mengungkap suatu pondasi saraf bagi kecerdasan spiritual di dalam otak dan ada beberapa peneliti yang memperkuat adanya kecerdasan spiritual yaitu :

(20)

b. Terrance Deacun membuktikan bahwa bahas adalah sesuatu yang unik pada manusia, dimana suatu aktivitas yang pada dasarnya bersifat simbolik dan berpusat pada makna yang berkembang bersama dalam perkembangan yang cepat pada cuping – cuping dengan otak.

c. Rodolfo Linas menjelaskan tentang kesadaran saat terjaga dari ikatan peristiwa-peristiwa kognitif dalam otak telah dapat ditingkatkan dengan teknologi MEL (Megneto – Encepha - Lohgrapic) baru yang memungkinkan diadakannya penelitian menyaluruh atas bidang-bidang elektris otak yang bersosialisasi dan bidang magnetik.

Menurut Agustin (2001), kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk memberikan ibadah terhadap setisp perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran tauhid. Sedangkan dalam ESQ, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku dan untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku, dan kegiatan, serta mampu menyeinergikan IQ, EQ, dan SQ.

(21)

menghadapi persoalan makna yaitu kecerdasan yang menempatkan perilaku hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas.

2. Aspek-aspek kecerdasan spiritual

Menurut Buzan (2003) ada sepuluh aspek-aspek dalam kecerdasan spiritual yaitu mendapatkan gambaran menyeluruh tentang jagad raya, menggali nilai-nilai, visi dan panggilan hidup, belas kasih, memberi dan menerima, kekuatan takwa, menjadi kanak-kanak kembali, kekuatan ritual, ketentraman, dan cinta.

Sedangkan Sinetar (2001) menuliskan beberapa aspek dalam kecerdasan spiritual, yaitu :

a. Kemempuan seni untuk memilih. Kemampuan untuk memilih dan menata hingga kebagian-bagian terkecil ekspresi hidupnya berdasarkan suatu visi batin yang tetap dan kuat yang memungkinkan hidup mengorganisasikan bakat.

b. Kemampuan seni untuk melindungi diri. Individu mempelajari keadaan dirinya, baik bakat maupun keterbatasaanya unutk menciptakan dan menata pilihan terbaiknya.

(22)

d. Kemampuan untuk mengikuti cinta. Memilih antara harapan-harapan orang lain di mata kita penting atau kita cintai.

e. Displin-disiplin pengorbanan diri. Mau berkorban untuk orang lain, pemaaf tidak prasangka mudah untuk memberi kepada orang lain dan selalu ingin membuat orang lain bahagia.

Clinebel (Hawari, 1999) mengemukakan bahwa pada dasarnya setiap diri manusia memiliki sepuluh aspek kemampuan dasar kecerdasan spiritual (“Basic Spritual Abeality”) tidak hanya bagi mereka yang

beragama tetapi juga bagi mereka yang sekuler.

a. Kemampuan akan kepercayaan dasar (Basic Trust), kepercayaan dasar berguna untuk membangkitkan kesadaran bahwa hidup ini adalah ibadah, maka manusia tidak perlu risau manakala suatu saat mengalami kesusahan, kesedihan atau kehilangan sesuatu yang dicintai karena semua itu adalah cobaan keimanan. Sementara kalau diberi kenikmatan hendaknya manusia mensyukurinya “Basic Trust” kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, Penyanyang

lagi Maha Pengampun amat penting hingga manusia tidak perlu merasa stres, depresi atau cemas.

(23)

c. Kemampuan untuk melakukan komitmen peribadatan dan hubungannya dalam hidup keseharian. Pengalaman agama hendaknya integratif antara ritual dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.

d. Kemampuan pengisian keimanan secara teratur mengadakan hubungan dengan Tuhan, hal ini dimaksud agar kekuatan iman dan taqwa senantiasa tidak melemah.

e. Kemampuan akan bebas dari rasa bersalah dan berdosa, rasa bersalah dan rasa berdosa ini merupakan beban bagi seseorang dan tidak baik bagi kesehatan jiwa.

(24)

h. Kemampuan untuk mencapainya derajat dan martabat yang semakin tinggi sebagai pribadi yang utuh (Integrated Personality). Bagi orang yang beriman akan senantiasa mendekatkan diri pada Tuhannya, sehingga akan diharapkan derajat dan martabatnya dimata sesama manusia akan tinggi.

i. Kemampuan untuk memlihara interaksi dengan alam dans sesama manusia.

j. Kemampuan untuk melakukan hidup bermasyarakat yang syaratnya dengan melakukan nilai-nilai religiusitas. Komunitas keagamaan merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi kehidupan seseorang.

Berdasarkan dari penjelasan di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa kecerdasan spiritual terdiri dari sepuluh aspek yaitu kemampuan dasar, makna hidup, komitmen peribadatan, keimanan, bebas dari rasa bersalah dan berdosa, penerimaan diri dan harga diri, kebutuhan akan rasa aman, pribadi yang utuh, interaksi dengan alam dan manusia, dan hidup bersosial.

3. Faktor-faktor yang mempegaruhi kecerdasan spiritual

(25)

a. Motif yang paling dalam, yaitu motif dimana kita dapat bertindak di dunia dan mencari realita dibalik setip hasrat permulaan.

b. Kesadaran diri yang tinggi, untuk menyadari segala permasalahan dan menyadari keadaan dirinya.

c. Tanggap terhadap diri yang dalam, kecerdasan spiritul yang tinggi menurut seorang untuk mengabdi pada diri dengan penuh kesadaran agar dapat merasakan apa yang benar-benar memotivasi untuk mengetahui nilai dan makna hidup yang tinggi.

d. Kemampuan untuk memanfaatkan dan mengatasi kesulitan, agar dapat memegang tanggung jawab terhadap kehidupan kit sehari-hari.

e. Berdiri menentang orang banyak. Seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual dapat menjadi seseorang yang mandiri dan orang tersebut mampu berdiri menentang orang banyak yang memiliki ego fungsional peran serta yang sehat dalam kelompok, namun keduanya harus berakar dari dalam diri kita sendiri.

f. Keengganan utuk menyebabkan kerusakan, seseorang yang tinggi kecerdasan spiritualnya mengetahui bahwa ketika dia merugikan orang lain maka dia merugikan diri sendiri.

(26)

keuntungan evolusioner pada individu. Menghubungkan individu dengan makna dan nilai dengan cara yang dapat individu ikuti, mendorong individu berjuang juga memberikan individu suatu tujuan.

h. Memiliki kesadaran diri yang positif. Seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi maka benar-benar jujur pada diri sendiri, sadar diri dan menuntut diri untuk menghadapi pilihan, terkadang pilihan yang tepat merupakan pilihan yang sulit.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual antara lain : motif yang paling mendalam, kesadaran diri yang tinggi, tanggap terhadap diri, kemampuan untuk memanfaatkan dan mengatasi kesulitan, berdiri menentang orang banyak, keengganan untuk menyebabkan kerusakan, menjadi cerdas spiritual dalam agama, memiliki kesadaran diri yang positif.

C. Perawat

1. Pengertian

(27)

American Nurses Association (Potter & Perry, 1999) mendefinisikan perawat sebagai profesi yang membantu dan yang memberikan pelayanan yang berkontribusi pada kesehatan dan kesejahteraan individu.

Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1239/MenKes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat pada pasal 1 ayat 1).

Berdasarkan uraian pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa perawat merupakan profesi yang memfokuskan pada pelayanan dan perawatan yang berkontribusi pada kesehatan pasien.

2. Tanggung jawab perawat

Menurut Sudarma (2008) tanggung jawab perawat terhadap klein untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, diperlukan peraturan tentang hubungan antara perawat dengan masyarakat, yaitu sebagai berikut :

(28)

2. Perawat, dalam melaksanakan pengabdian dibidang keperawatan, memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari individu, keluarga dan masyarakat.

3. Perawat, dalam melaksanakan kewajibannya terhadap individu, keluarga, dan masyarakat, senantiasa dilandasi rasa tulus ikhlas sesuai dengan martabat dan tradisi luhur keperawatan.

4. Perawat, menjalin hubungan kerjasama dengan individu, keluarga dan masyarakat, khususnya dalam mengambil prakarsa dan mengadakan upaya kesehatan, serta upaya kesejahteraan pada umumnya sebagai bagian dari tugas dan kewajiban bagi kepentingan masyarakat.

Sedangkan tanggung jawab Perawat terhadap tugas antara lain, Sudarma (2008):

1. Perawat, memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran profesional dalam menerapkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu, keluarga, dan masyarakat.

(29)

3. Perawat, tidak akan menggunakan pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang dimilikinya dengan tujuan yang bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan.

4. Perawat, dalam menunaikan tugas dan kewajibannya, senantiasa berusaha dengan penuh kesadaran agar tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, agama yang dianut, dan kedudukan sosial. 5. Perawat, mengutamakan perlindungan dan keselamatan pasien/klien dalam melaksanakan tugas keperawatannya, serta matang dalam mempertimbangkan kemampuan jika menerima atau mengalih-tugaskan tanggung jawab yang ada hubungannya dengan keperawatan.

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahawa tanggung jawab seorang perawat diantara dalam melaksanakan pengabdiannya berpedoman pada tanggung jawab, memlihara suasana lingkungan, melaksanakan kewajibannya terhadap individu, keluarga, dan masyarakat dengan didasari rasa ikhlas, menjalin hubungan kerjasama dengan individu, keluarga dan masyarakat.

D. Hubungan Antara Kecerdasan Spiritual Dengan Etos Kerja

(30)

yang positif bagi peningkatan kualitas kehidupan sehingga mempengaruhi perilaku kerjanya. Perawat dalam bekerja hendaknya sebaik mungkin dan bertangung jawab penuh terhadap pasiennya karena itu merupakan tuntutan profesi sebagai perawat. Walaupun terkadang perawat menghadapi sikap pasien yang sulit diatur. Dalam kondisi kerja yang demikian membuat perawat merasakan ketegangan, merasa cepat lelah, muncul sikap acuh dan mudah marah bahkan sampai tidak bersemangat dalam bekerja atau dapat dikatakan memiliki etos kerja yang rendah.

Hal terburuk yang dapat terjadi dari kinerja perawat yang kurang maksimal yaitu mutu pelayanan rumah sakit yang menurun dan kepuasan konsumen yang akan menurun pula.

(31)

E. Kerangka Berfikir

Sumber daya manusia (orang-orang) merupakan elemen dasar dari organisasi yang dapat menentukan maju mundurnya suatu organisasi. Keberlangsungan hidup suatu organisasi tergantung bagaimana sumber daya manusianya dalam mencapai tujuan organisasi.

Perawat sebagai salah satu sumber daya manusia di dalam sebuah institusi rumah sakit memiliki peran yang penting dalam pelayanan kesehatan. Pada prakteknya perawat sebagai tenaga non medis rumah sakit dan juga ujung tombak pelayanan kesehatan, tidak hanya berhubungan dengan pasiennya saja tetapi dengan keluarga pasien, teman pasien, rekan kerja, serta berhubungan dengan dokter dan sesama perawat yang lainnya juga.

Selain itu perawat juga harus bisa memberikan perawatan dan pelayanan yang maksimal untuk kesembuhan pasien, walaupun terkadang perawat harus menghadapi sikap pasien yang sulit diatur. Kondisi kerja yang demikian membuat perawat merasakan ketegangan, merasa cepat lelah, muncul sikap acuh dan mudah marah bahkan sampai tidak bersemangat dalam bekerja. Ciri-ciri tersebut menggambarkan seorang pekerja yang memiliki etos kerja yang rendah.

(32)

menyebutkan bahwa tinggi rendahnya etos kerja seseorang dapat dilihat dari tiga indikator, antara lain : a) kerja sebagai kewajiban moral dan religius untuk mengisi kehidupan, b) disiplin kerja tinggi, c) rasa bangga atas hasil karya.

Hasil penelitian Trihandini (2004) menyimpulkan bahwa kecerdasan spiritual memiliki pengaruh yang nyata terhadap etos kerja karyawan. Seperti yang dijelaskan Zohar dan Marshall (2001) bahwa kecerdasan spiritual juga memegang peranan yang besar terhadap kesuksesan seseorang dalam melakukan pekerjaannya. Seseorang karyawan dalam hal ini perawat yang memperoleh kebahagiaan dalam bekerja akan berkarya lebih baik.

Pada dasarnya setiap diri manusia memiliki sepuluh aspek kemampuan dasar kecerdasan spiritual (“Basic Spiritual Abeality”) tidak hanya bagi mereka yang beragama tetapi juga bagi mereka yang sekuler, aspek-aspek tersebut meliputi : a) kemampuan akan kepercayaan dasar (Basic Trust), b) kemampuan untuk mengerti akan makna hidup, c) komitmen peribadatan, d) keimanan, e) bebas dari rasa bersalah dan berdosa, f) penerimaan diri dan harga diri, g) kebutuhan rasa aman, h) pribadi yang utuh, i) interaksi dengan alam dan manusia, j) hidup bersosial.

(33)

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian hubungan kecerdasan spiritual dengan etos kerja pada perawat di Rumah Sakit Islam Purwokerto

F. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep penelitian di atas, maka dapat diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut : Ada hubungan kecerdasan spiritual dengan etos kerja perawat di Rumah Sakit Islam Purwokerto.

Kecerdasan Spiritual

Aspek-aspek kecerdasan spiritual :

1. Kemampuan dasar 2. Makna hidup

3. Komitmen peribadatan 4. Keimanan

5. Bebas dari rasa bersalah dan berdosa

6. Penerimaan diri dan harga diri 7. Kebutuhan rasa aman

8. Pribadi yang utuh

9. Interaksi dengan alam dan manusia

10. Hidup bersosial

Etos Kerja Perawat

Instalasi Rawat Inap

Aspek-aspek etos kerja :

1. Kerja sebagai kewajiban moral

2. Disiplin kerja tinggi 3. Rasa bangga atas hasil

Gambar

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian hubungan kecerdasan spiritual

Referensi

Dokumen terkait

Pada citra arsitektur yang ditampilkan pada bangunan Sekolah Inklusi dan Pusat terapi ini adalah untuk menunjukan kepada orang yang awam yang telah menilai secara salah

- Pasal 14 angka 3 tentang Kode Etik Advokat Indonesia dinyatakan bahwa “Majelis dipilih dalam rapat dewan Kehormatan cabang/Daerah yang khusus dilakukan untuk

Tujuan dari penelitian ini adalah menvisualisasikan gelombang dalam bentuk simulasi program pada penjalaran gelombang dua dimensi, bentuk gelombang sefase dan beda fase

dapat menyusun Skripsi yang berjudul “ Hubungan Budaya Kerja Perawat Dengan Ketepatan Identifikasi Pasien Di Rumah Sakit Islam Purwokerto ” dengan baik. Skripsi ini dapat tersusun

Dalam uji coba ini diharapkan dapat mencapai tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan downtime antara penggunaan sistem breakdown maintenance

Pola asuh orang tua merupakan variabel bebas/ independen (variabel X) Pola asuh orang tua adalah cara atau perilaku yang ditampilkan oleh orang tua di dalam

 Secara kelompok, diskusi tentang penanggulangan terjadinya erosi di DAS (contoh di Jawa Tengah : Bengawan Solo) Indonesia  Mengklasifikasikan jenis tanah

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga.. Tesis Efek Teratogenik Vitamin