• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 sendiri karena gaji yang terlalu rendah bagi mereka. Akibatnya beberapa negara mengadopsi kebijakan untuk memfasilitasi migrasi tenaga kerja salah s

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 sendiri karena gaji yang terlalu rendah bagi mereka. Akibatnya beberapa negara mengadopsi kebijakan untuk memfasilitasi migrasi tenaga kerja salah s"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada saat ini pertumbuhan tenaga kerja di Indonesia setiap tahunnya terus meningkat, Ketua Umum Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) yaitu Bapak Suryo Bambang Sulisto, mengatakan "Pertumbuhan tenaga kerja setiap tahun mencapai 2,91 juta orang, sedangkan lapangan pekerjaan hanya 1,6 juta orang. Sehingga ada 'gap' sebesar 1,3 juta orang yang kemungkinan menjadi pengangguran terbuka di Indonesia (dalam Republika, 2012). Sedangkan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 mengenai warga Negara dan penduduk yang menyatakan bahwa ”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

Ketimpangan antara jumlah tenaga kerja dengan jumlah lapangan pekerjaan inilah yang menyebabkan banyaknya tenaga kerja yang memilih bekerja ke luar negeri. Menurut IOM (2010) Karena kurangnya peluang kerja, kemiskinan, dan perbedaan gaji di Indonesia dengan Negara tujuan menyebabkan angka migrasi tenaga kerja setiap tahunnya meningkat. Secara global (dalam IOM, 2010), Migrasi didorong oleh banyaknya kekurangan tenaga kerja di sektor domestik seperti pembantu rumah tangga, sektor pertanian, bangunan, industri pengolahan dan sektor jasa/layanan. Umumnya pekerjaan seperti ini tidak diinginkan oleh warga negaranya meningkat, Ketua Umum Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) yaitu Bapak Suryo Bambang Sulisto, mengatakan "Pertumbuhan tenaga kerja setiap tahun mencapai 2,91 juta orang, sedangkan lapangan pekerjaan hanya 1,6 juta orang. Sehingga ada 'gap' sebesar 1,3 juta orang yang kemungkinan menjadi pengangguran terbuka di Indonesia (dalam Republika, 2012). Sedangkan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 mengenai warga Negara dan penduduk yang menyatakan bahwa ”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

Ketimpangan antara jumlah tenaga kerja dengan jumlah lapangan pekerjaan inilah yang menyebabkan banyaknya tenaga kerja yang memilih bekerja ke luar

(2)

sendiri karena gaji yang terlalu rendah bagi mereka. Akibatnya beberapa negara mengadopsi kebijakan untuk memfasilitasi migrasi tenaga kerja salah satunya Indonesia.

Banyak istilah mengenai Migrasi tenaga kerja, seperti TKI, BMI (Buruh Migrant Indonesia), ataupun Imigrant Worker. Menurut IOM (2009) Migrasi tenaga kerja biasanya didefinisikan sebagai perpindahan manusia yang melintasi perbatasan untuk tujuan mendapatkan pekerjaan di negara asing (dalam IOM 2010). Sedangkan Menurut Pasal 1 bagian (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Sehingga TKI merupakan Tenaga Kerja yang berasal dari Indonesia baik perempuan ataupun laki-laki dan bekerja di luar negeri dengan berjangka waktu serta menerima upah atau gaji.

Alasan Migrasi Tenaga Kerja Keluar Negeri setiap tahunnya terus meningkat, sesuai dengan yang di ungkapkan oleh Rakasima,dkk (dalam BNP2TKI, 2011) Penempatan TKI Formal 2010 saat ini terdapat kurang lebih 6 juta TKI di luar negeri, sekitar 4,3 juta orang tercatat pada pemerintahan serta sisanya merupakan TKI tidak tercatat alias tidak berdokumen resmi. Data penempatan TKI dari Puslitfo BNP2TKI Hingga akhir 2011 terdapat 681.081 orang TKI yang berangkat keluar negeri terdiri dari 264.756 orang TKI Formal (46 persen) dan 316.325 orang TKI Informal (54 kerja biasanya didefinisikan sebagai perpindahan manusia yang melintasi perbatasan untuk tujuan mendapatkan pekerjaan di negara asing (dalam IOM 2010). Sedangkan Menurut Pasal 1 bagian (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Sehingga TKI merupakan Tenaga Kerja yang berasal dari Indonesia baik perempuan ataupun laki-laki dan bekerja di luar negeri dengan berjangka waktu serta menerima upah atau

(3)

persen). Dari jumlah tersebut, sebanyak 373.373 orang perempuan (64 persen) dan 207.708 orang laki-laki (36 persen).

Setiap TKI memiliki alasannya masing-masing untuk memilih Negara tujuan mereka untuk bekerja, dalam IOM (2010) Alasan TKI memilih Malaysia karena alasan kedekatan geografis dengan Indonesia, kesamaan sejarah, bahasa dan budaya serta biaya yang lebih murah. TKI yang pergi ke Timur Tengah, khususnya negara-negara seperti Arab Saudi, Kuwait, Emirat Arab dan Bahrain mempunyai alasan adanya kemungkinan untuk naik haji. Di sisi lain TKI juga tertarik dengan Hong Kong dan Provinsi Taiwan - Cina karena gaji PRT yang juga cukup besar. Dalam BuruhMigran.or.id, Selain gaji yang besar Pemerintahan Hongkongpun membuat kontrak kerja yang menguntungkan bagi TKI seperti : Hari istirahat: satu hari setiap tujuh hari kerja (tidak kurang dari 24 jam), Hari Libur Nasional: 12 hari setiap tahun, Cuti tahunan yang dibayar, Cuti pulang kampung dan Cuti melahirkan. Sedangkan Dalam Oxfam HK & ILO Indonesia (2007) juga menjelaskan bahwa Hong Kong telah menjadi tujuan utama bagi sebagian besar pekerja migran Indonesia karena gaji yang relatif lebih tinggi dan suasana kebebasan, dalam sebuah diskusi buruh migran mengatakan kepada kami bahwa salah satu alasan utama mereka datang ke Hong Kong adalah kurangnya prospek pekerjaan di Indonesia, keadaan ekonomi mendesak dan permintaan untuk pekerjaan di luar negeri yang menawarkan kesempatan bagi perempuan untuk melarikan diri dari situasi keluarga yang sulit dan kadang-kadang kehidupan desa yang penuh aturan.

serta biaya yang lebih murah. TKI yang pergi ke Timur Tengah, khususnya negara-negara seperti Arab Saudi, Kuwait, Emirat Arab dan Bahrain mempunyai alasan adanya kemungkinan untuk naik haji. Di sisi lain TKI juga tertarik dengan Hong Kong dan Provinsi Taiwan - Cina karena gaji PRT yang juga cukup besar. Dalam BuruhMigran.or.id, Selain gaji yang besar Pemerintahan Hongkongpun membuat kontrak kerja yang menguntungkan bagi TKI seperti : Hari istirahat: satu hari setiap tujuh hari kerja (tidak kurang dari 24 jam), Hari Libur Nasional: 12 hari setiap tahun, Cuti tahunan yang dibayar, Cuti pulang kampung dan Cuti melahirkan. Sedangkan Dalam Oxfam HK & ILO Indonesia (2007) juga menjelaskan bahwa Hong Kong telah menjadi tujuan utama bagi sebagian besar pekerja migran Indonesia karena gaji

(4)

Berdasarkan keuntungan-keuntungan di atas, membuat banyaknya TKI yang memilih Hongkong sebagai Negara tujuan dengan jumlah sekitar 150 ribu orang sebagai penata laksana rumah tangga (dalam BNP2TKI, 2011). Dalam sebuah artikel Online (buruhmigran.or.id) disebutkan bahwa Pemerintah Hong Kong (30/09) mengumumkan bahwa gaji minimum untuk pekerja rumah tangga asing di Hong Kong akan naik sebesar 2,4%. Kenaikan gaji tersebut dari upah sebelumnya HK$4110 menjadi HK$4210/bulan, sedangkan untuk tunjangan uang makan PRT migran di Hong Kong sebesar HK$964 dan naik menjadi HK$995/bulan Peningkatan upah minimum pekerja dan tunjangan untuk makan akan mulai berlaku untuk PRT migran yang menandatangani kontrak per 1 Oktober 2015.

Kenaikan gaji merupakan salah satu hal yang berpengaruh dengan kepuasan kerja, dimana Weiss, Dawis, England dan Lofquist (Dalam Putri, 2013) menjelaskan kepuasan kerja sebagai melakukan perbandingan yang dilakukan oleh karyawan untuk mencapai serta memelihara kesesuaian antara diri dan lingkungan mereka. dalam Hal ini Weiss membagi Kepuasan Kerja dalam 3 Aspek yaitu Kepuasan ekstrinsik, kepuasan intrinsik, dan kepuasan umum.

Berkaitan dengan tingginya gaji yang di dapatkan oleh TKI di Hongkong ketimbang TKI di Negara tujuan lainnya, menyebabkan banyaknya TKI Hongkong yang lebih memilih tinggal di Hongkong ketimbang kembali ke Indonesia. Dalam artikel Online (Tempo.co, 2015) menurut Utama - (25/06/15) Kementerian Luar negeri menyatakan sudah mengetahui adanya 750-an tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mengajukan izin tinggal (residency) di Hong Kong. Menurut Armanatha (Juru Kong akan naik sebesar 2,4%. Kenaikan gaji tersebut dari upah sebelumnya HK$4110 menjadi HK$4210/bulan, sedangkan untuk tunjangan uang makan PRT migran di Hong Kong sebesar HK$964 dan naik menjadi HK$995/bulan Peningkatan upah minimum pekerja dan tunjangan untuk makan akan mulai berlaku untuk PRT migran yang menandatangani kontrak per 1 Oktober 2015.

Kenaikan gaji merupakan salah satu hal yang berpengaruh dengan kepuasan kerja, dimana Weiss, Dawis, England dan Lofquist (Dalam Putri, 2013) menjelaskan kepuasan kerja sebagai melakukan perbandingan yang dilakukan oleh karyawan untuk mencapai serta memelihara kesesuaian antara diri dan lingkungan mereka. dalam Hal ini Weiss membagi Kepuasan Kerja dalam 3 Aspek yaitu Kepuasan

(5)

bicara Kementrian Luar Negeri) , bukan cuma WNI yang sering memanfaatkan kesempatan pengajuan residency ini ke pemerintah negara lain. "Biasanya pekerja yang sudah betah tinggal di negara barunya kerap mengajukan ini, selain residency ada juga sistem green card, dan lain-lain."

Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hongkong mencatat setidaknya ada 1.500 tenaga kerja Indonesia yang sudah melebihi batas tinggal mereka atau overstayer di negara itu. Demi tetap bisa tinggal di Hongkong, sebagian mereka pun mengandalkan recognition paper atau pengganti paspor yang diterbitkan imigrasi setempat. “Dengan recognition paper, mereka bisa tinggal di Hongkong dengan syarat tak boleh bekerja. Pemegang ini sudah berarti bukan WNI, karena mereka secara sadar dan sengaja melepas paspor," ujar Agustav Ilyas (Staf KJRI Hongkong). Apalagi diketahui, selain bisa tinggal di Hongkong tanpa paspor, pemegang recognition paper juga mendapatkan bantuan berupa uang subsidi sebesar 1.200 dolar Hongkong atau setara Rp2 juta setiap orang per bulan. “Tidak mendapat tempat tinggal, tapi dapat subsidi dengan syarat tak boleh bekerja. (dalam VIVA.co.id).

Dalam sebuah Penelitian yang dilakukan oleh Xue Bai (2012) dengan judul “Determinants of job satisfaction in foreign domestic helpers caring for people with dementia in Hong Kong” Sebagian besar pembantu merasa puas (85%) dengan kondisi hidup mereka, hasil penelitian tersebut yaitu adanya hubungan yang signifikan antara Adaptasi Pekerja Rumah Tangga (lamanya tinggal di Hongkong, ada 1.500 tenaga kerja Indonesia yang sudah melebihi batas tinggal mereka atau overstayer di negara itu. Demi tetap bisa tinggal di Hongkong, sebagian mereka pun mengandalkan recognition paper atau pengganti paspor yang diterbitkan imigrasi setempat. “Dengan recognition paper, mereka bisa tinggal di Hongkong dengan syarat tak boleh bekerja. Pemegang ini sudah berarti bukan WNI, karena mereka secara sadar dan sengaja melepas paspor," ujar Agustav Ilyas (Staf KJRI Hongkong). Apalagi diketahui, selain bisa tinggal di Hongkong tanpa paspor, pemegang recognition paper juga mendapatkan bantuan berupa uang subsidi sebesar 1.200 dolar Hongkong atau setara Rp2 juta setiap orang per bulan. “Tidak mendapat tempat tinggal, tapi dapat subsidi dengan syarat tak boleh bekerja. (dalam VIVA.co.id).

(6)

kefasihan dalam bahasa Cina dan kepuasan dengan kondisi Hidup) dan self efficacy signifikan dan berhubungan positif dengan kepuasan kerja.

Berdasarkan penelitian Xue Bai (2012), lamanya tinggal di Hongkong termasuk dalam bagian yang memiliki hubungan positif dengan kepuasan kerja, sedangkan menurut Tongsing (2010) bagi para Imigrant yang baru bermigrasi dengan alasan apapun mereka terlibat dalam perubahan besar kehidupan bermasyarakat seperti meninggalkan negara mereka, serta perubahan yang dihasilkan dari kontak dengan budaya baru. Perubahan ini dapat berkisar dari fisik dan lingkungan, perubahan nilai, sikap, dan perilaku. Mereka juga mungkin mengalami berbagai masalah penyesuaian karena perbedaan bahasa, budaya yang tidak kompatibel, dan Streotype.

Dalam OXFAM-HK & ILO-Indonesia (2007), terdapat 41 % buruh migran Hong Kong yang belum memiliki pengalaman bekerja di Luar Negeri, dan Hongkong merupakan Negara pertama yang dikunjunginya. Dalam Artikel Online (thejakartapost.com) kebebasan TKI di Hongkong mengakibatkan kerugian bagi dirinya sendiri, beberapa orang mengalami ketidaksiapan akan budaya yang berbeda yang menyebabkan culture shock, beberapa juga merasa kesepian, perasaan kehilangan akan keluarga, anak, suami dan saudara yang lainnya. Beberapa TKI gagal dalam menyimpan uangnya (gaji), karena mencoba gaya hidup yang berlebih-lebihan.

Kekagetan budaya seperti ini biasa disebut dengan Culture Shock. Culture Shock (Guncangan Kebudayaan), menurut Basrowi (2005) merupakan proses apapun mereka terlibat dalam perubahan besar kehidupan bermasyarakat seperti meninggalkan negara mereka, serta perubahan yang dihasilkan dari kontak dengan budaya baru. Perubahan ini dapat berkisar dari fisik dan lingkungan, perubahan nilai, sikap, dan perilaku. Mereka juga mungkin mengalami berbagai masalah penyesuaian karena perbedaan bahasa, budaya yang tidak kompatibel, dan Streotype.

Dalam OXFAM-HK & ILO-Indonesia (2007), terdapat 41 % buruh migran Hong Kong yang belum memiliki pengalaman bekerja di Luar Negeri, dan Hongkong merupakan Negara pertama yang dikunjunginya. Dalam Artikel Online (thejakartapost.com) kebebasan TKI di Hongkong mengakibatkan kerugian bagi dirinya sendiri, beberapa orang mengalami ketidaksiapan akan budaya yang berbeda

(7)

guncangan kebudayaan sebagai akibat terjadinya perpindahan secara tiba-tiba dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Sedangkan menurut Oberg (dalam Dayakisni dan Yuniardi, 2004) Culture shock menggambarkan respon yang mendalam dan negative dari depresi, frustasi, dan disorientasi yang dialami oleh orang-orang yang hidup dalam suatu lingkungan budaya baru.

Sedangkan menurut Juffer (dalam Selmer, 1999) culture shock disebabkan karena menghadapi lingkungan atau situasi baru. Dalam artikel Online (Liputan6.com) bekerja menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri merupakan pilihan yang diambil karena minimnya pendidikan dan keahilian serta sulitnya mendapatkan pekerjaan di kampung halaman. Berniat memperbaiki nasib dengan mencari peruntungan di negeri orang, tak jarang para TKI ini mengalami sejumlah masalah saat bekerja. Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Nusron Wahid mengakui banyaknya pengaduan dari TKI soal hak dasar yang tidak dipenuhi. "Seperti gaji tidak tepat waktu, pekerjaan yang overload, kerja tanpa batu waktu yang jelas hingga tidak ada hak cuti," kata Nusron.

Berikut 10 masalah yang paling banyak diadukan para TKI per Januari 2015:

1.Gaji tidak dibayar (55 kasus) 2. Overstay (43 kasus)

3. TKI ingin dipulangkan (43 kasus)

Sedangkan menurut Juffer (dalam Selmer, 1999) culture shock

karena menghadapi lingkungan atau situasi baru. Dalam artikel Online (Liputan6.com) bekerja menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri merupakan pilihan yang diambil karena minimnya pendidikan dan keahilian serta sulitnya mendapatkan pekerjaan di kampung halaman. Berniat memperbaiki nasib dengan mencari peruntungan di negeri orang, tak jarang para TKI ini mengalami sejumlah masalah saat bekerja. Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Nusron Wahid mengakui banyaknya pengaduan dari TKI soal hak dasar yang tidak dipenuhi. "Seperti gaji tidak tepat waktu, pekerjaan yang overload, kerja tanpa batu waktu yang jelas hingga

(8)

4. Meninggal dunia di negara tujuan (42 kasus) 5. TKI Gagal berangkat (37 kasus)

6. Putus Hubungan Komunikasi (30 kasus) 7. TKI sakit/rawat inap (14 kasus)

8. Tindak kekerasan dari majikan (13 kasus)

9. Pekerjaan tidak sesuai perjanjian kerja (11 kasus)

10. Tidak dipulangkan meski kontrak kerja selesai (9 kasus)

Permasalahan-permasalahan yang ada diatas, memang tidak sepenuhnya dialami oleh seluruh TKI namun setiap TKI pasti memiliki permasalahannya masing-masing. Dalam kenyataannya, TKI di tuntut untuk mampu menghadapi dan menyelesaikan permasalahannya dengan baik, baik dalam permasalahan kekagetan budaya (Culture Shock) ataupun permasalahan- permasalahan yang berat seperti diatas.

Dalam menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut, dibutuhkannya sikap pantang menyerah dan tidak mudah putus asa dalam menghadapi permasalahan. Sikap demikian disebut Adversity Qu0tient. Paul G Stoltz (2000) mendefinisikan Adversity Quotient sebagai kecerdasan menghadapi rintangan atau kesulitan. Adversity Quotient mempunya tiga bentuk, yaitu Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respons terhadap kesulitan. Ketiga, AQ

9. Pekerjaan tidak sesuai perjanjian kerja (11 kasus)

10. Tidak dipulangkan meski kontrak kerja selesai (9 kasus)

Permasalahan-permasalahan yang ada diatas, memang tidak sepenuhnya dialami oleh seluruh TKI namun setiap TKI pasti memiliki permasalahannya masing-masing. Dalam kenyataannya, TKI di tuntut untuk mampu menghadapi dan menyelesaikan permasalahannya dengan baik, baik dalam permasalahan kekagetan budaya (Culture Shock) ataupun permasalahan- permasalahan yang berat seperti Culture Shock) ataupun permasalahan- permasalahan yang berat seperti Culture Shock

Dalam menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut, dibutuhkannya sikap pantang menyerah dan tidak mudah putus asa dalam menghadapi permasalahan.

(9)

adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons terhadap kesulitan.

Stoltz (2000) juga menjelaskan bahwa AQ dapat memberi tahu seberapa mampu seseorang bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan seseorang dalam mengatasinya, AQ meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur, AQ meramalkan siapa yang akan melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi mereka serta siapa yang akan gagal, dan AQ meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan.

Selain itu, menurut Stoltz (2000), saat individu memiliki Adversity Quotient yang tinggi, maka individu tersebut berani menyambut tantangan-tantangan dan dapat menyelesaikan tantangan tersebut dengan baik, mampu memotivasi diri sendiri, memiliki semangat yang tinggi,serta berjuang utnuk mendapatkan yang terbaik dalam hidup.

Sehingga dalam praktiknya, seorang TKI sudah seharusnya memiliki Adversity Quotient yang tinggi, agar mampu terus bertahan dalam pergejolakan masalah yang ada, baik permasalahan internalnya terkait culture shock ataupun permasalahan yang datang dari luar dirinya seperti sepuluh permasalahan yang paling sering di adukan oleh TKI kepada BNP2TKI.

yang akan hancur, AQ meramalkan siapa yang akan melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi mereka serta siapa yang akan gagal, dan AQ meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan.

Selain itu, menurut Stoltz (2000), saat individu memiliki Adversity Quotient yang tinggi, maka individu tersebut berani menyambut tantangan-tantangan dan dapat menyelesaikan tantangan tersebut dengan baik, mampu memotivasi diri sendiri, memiliki semangat yang tinggi,serta berjuang utnuk mendapatkan yang terbaik dalam

(10)

Berdasarkan penjabaran diatas, peneliti ingin mengetahui seberapa besar pengaruh Culture Shock dan Adversity Quotient terhadap Kepuasan Kerja TKI di Hongkong.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka peneliti membuat rumusan masalah. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu Adakah Pengaruh antara Culture Shock dan Adversity Quotient terhadap Kepuasan Kerja TKI di Hongkong?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar Pengaruh Culture Shock dan Adversity Quotient terhadap Kepuasan Kerja TKI di Hongkong.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini, diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya. Manfaat yang dimaksud adalah manfaat dari segi praktis dan teoritis.

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk memberikan informasi dan perluasan teori dibidang psikologi sosial, yaitu mengenai Culture shock, adversity quotient serta kepuasan kerja pada TKI yang berada di peneliti membuat rumusan masalah. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini

Adakah Pengaruh antara Culture Shock dan Adversity Quotient Kepuasan Kerja TKI di Hongkong?

Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar Pengaruh Culture Shock dan Adversity Quotient terhadap Kepuasan Kerja TKI Adversity Quotient terhadap Kepuasan Kerja TKI Adversity Quotient di Hongkong.

Manfaat Penelitian

(11)

Hongkong. Selain itu juga, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan di bidang psikologi sosial sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penunjang untuk bahan penelitian lebih lanjut.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada Para TKI agar mengetahui pentingnya pemahaman tentang culture shock dan adversity quotient dalam keberanian menghadapi masalah yang sering dialami oleh TKI, serta mengetahui seberapa besar tingkat kepuasan kerja yang dirasakan oleh TKI yang berada di Hongkong.

Selain itu diharapkan penelitian ini dapat membuka wawasan masyarakat umum, tentang manfaat mengetahui latar belakang negara tujuan terlebih dahulu sebelum mereka berangkat menjadi TKI demi mengurangi culture shock yang akan di alami, serta mengetahui seberapa besar adversity quotient yang dilakukan oleh TKI yang di Hongkong, dan mengetahui seberapa besar tingkat kepuasan kerja yang dirasakah oleh TKI yang ada di Hongkong.

adversity quotient dalam keberanian menghadapi masalah yang sering dialami oleh adversity quotient dalam keberanian menghadapi masalah yang sering dialami oleh adversity quotient

TKI, serta mengetahui seberapa besar tingkat kepuasan kerja yang dirasakan oleh TKI yang berada di Hongkong.

Selain itu diharapkan penelitian ini dapat membuka wawasan masyarakat umum, tentang manfaat mengetahui latar belakang negara tujuan terlebih dahulu sebelum mereka berangkat menjadi TKI demi mengurangi culture shock

alami, serta mengetahui seberapa besar adversity quotient yang dilakukan oleh TKI yang di Hongkong, dan mengetahui seberapa besar tingkat kepuasan kerja yang dirasakah oleh TKI yang ada di Hongkong.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk peningkatan produktivitas kerja karyawan, faktor yang paling berpengaruh adalah gaji bagi karyawan, karena besar-kecilnya gaji yang diterima oleh para karyawan

Didalam usaha untuk meningkatan produktivitas kerja karyawan, faktor yang paling berpengaruh adalah gaji bagi karyawan, karena besar-kecilnya gaji yang diterima oleh

Kebutuhan Visual Identity dari BSTC sesuai dengan observasi awal yang di lakukan oleh tim lapang dari pihak UMM yakni di antaranya, pertama melihat dari tempat dan tujuan

Nilai dari dogleg yang diperoleh dari penggunaan DHDM lebih kecil dari pengunaan RSS hal tersebut membuat lubang yang dihasilkan oleh penggunaan DHDM lebih halus ( Smooth

bisa memperoleh prestasi yang maksimal. Layanan bimbingan kelompok pada dasarnya telah terencana dalam program bimbingan dan konseling, dan sudah dilaksanakan tapi ada

Sebagian lainnya, melakukan migrasi ke kota-kota besar untuk menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri. Kaum migran, yang

Berdasarkan hasil analisi data dan pembahasan mengenai pengaruh opini audit, pergantian manajemen, pertumbuhan perusahaan klien, financial distress , ukuran KAP, dan

rescue boat ) yang merupakan kapal dengan lambung berbentuk katamaran ( twin hull ) yang dilengkapi dengan peralatan keselamatan yang beroperasi di periairan