• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reformasi Pelayanan Kesehatan Harus Lebih Memihak Kepada Masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Reformasi Pelayanan Kesehatan Harus Lebih Memihak Kepada Masyarakat"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Reformasi Pelayanan Kesehatan Harus Lebih

Memihak Kepada Masyarakat

Hasbullah Thabrany1

Krisis mata uang yang berlanjut dengan krisis ekonomi dan kepercayaan yang kemudian menjadi depresi ekonomi, karena krisis tersebut telah melewati masa satu tahun, telah membuka mata banyak pihak terhadap pentingnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Berita tentang mahalnya biaya cuci darah yang sempat merenggut jiwa di Denpasar telah menarik perhatian media masa dan publik. Memang akibat mahalnya dolar, biaya hemodialisa naik sampai Rp 750.000 per kali. Sedangkan setiap penderita memerlukan cuci darah 2-3 kali seminggu. Jadi dibituhkan dana minimal Rp 6 juta sebulan. Penduduk kelas menengahpun tidak akan sanggup membiayai sendiri hemodialisa untuk mempertahankan hidupnya. Di Bandung hemodialisa dapat dilakukan dengan biaya hanya Rp 150.000 per kali, akan tetapi belum mendapat persetujuan dari para ahli dan belum direplikasi di daerah lain. Akibatnya banyak penderita yang terpaksa harus mati. Di banyak pusat-pusat hemodialisa, sekitar tiga perempat pasiennya adalah pasien PT Askes. Selebihnya sudah lebih dahulu melapor kepada malaikat karena tidak ada yang menjamin dan tidak punya uang untuk membayar sendiri. Ada apa? Haruskah mereka mati karena miskin? Memang yang menderita hemodialisa tidak banyak jumlahnya, akan tetapi yang menderita penyakit lain seperti tbc yang relatif juga semakin mahal biayanya akan mengalami nasib yang sama.

Harga obat paten dan generik meningkat lebih 200% padahal penghasilan riil masyarakat justeru menurun sampai 60% lebih (kompensasi inflasi) selama periode krisis setahun ini. Banyak orang kini tidak mampu mengobati dirinya yang sakit, karena berobat menjadi barang mewah. Hidup sehat menjadi barang mewah, bahkan bisa jadi hidup sudah tidak terjangkau oleh banyak orang. Seorang ayah dan empat orang anaknya di Sambas, Kalimantan, terpaksa meninggalkan dunia fana ini karena tidak tahan miskin. Padahal mereka keturunan Cina yang bagi kebanyakan orang keturunan Cina

(2)

dikenal kaya-raya. Tetapi kekayaan itu tidak mengalir, meskipun kepada rekan sesuku atau sekeluarga sekalipun. Tetapi sebagian besar orang miskin, yang kini jumlahnya meningat menjadi lebih dari 80 juta orang, mereka masih bertahan hidup-sambil menderita sakit. Jika kriteria miskin ditambah dengan belanja sebungkus supermi lagi per orang per hari, maka jumlahnya diduga akan melebihi 100 juta orang. Mereka ini akan tidak sanggup membayar biaya berobat, meskipun mungkin di puskesmas. Puskesmas tidak bisa memberikan pelayanan gratis kepada semua orang. Bahkan pemerintah daerah menetapkan pemasukan dana dari puskesmas dan rumah sakit. Pemerintah daerah memerlukan dana dari orang sakit. Maka semakin banyak yang sakit dan berobat ke puskesmas atau rumah sakit umum, semakin banyak dana pembangunan daerah!

Tetapai kini banyak orang berteriak bahwa banyak penduduk yang terpaksa harus mati setelah menderita cukup lama karena sakit, karena mereka tidak mampu berobat. Krisis ini telah membuka mata orang bahwa

kesehatan merupakan salah satu kebutuhan pokok penduduk, bukan lagi barang mewah seperti yang diperlakukan selama ini. Minyak goreng dan ikan asin, bukanlah kebutuhan pokok penduduk karena tanpa itu mereka masih bisa hidup. Jeritan masyarakat, himbauan PB IDI untuk tidak menaikan jasa medik, dan himbauan Menteri Kesehatan kepada dokter dan rumah sakit untuk tidak menaikan tarif menunjukkan betapa esensialnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Kini banyak pihak, baik swasta maupun pemerintah yang menyadari bahwa jaring pengaman sosial (social safety net) harus segera dibentuk. Danapun, hasil pinjaman dari luar negeri, akan dikucurkan untuk menyelematkan si miskin dari penderitaan sakit yang berkepanjangan dan mati di luar jadual. Akan tetapi kita harus waspada jangan sampai dana tersebut kemudian disalah gunakan oleh dokter, oleh aparat kesehatan, oleh aparat pemda, dan sebagainya untuk memperkaya diri. Kini kemiskinan bisa jadi komoditas yang baik untuk mendapatkan uang. Itulah sebabnya bantuan kemanusiaan perlu dikucurkan segera agar yang tidak punya uang tetapi membutuhkan pelayanan kesehatan dapat terpenuhi kebutuhannya.

1 Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

(3)

Tampaknya mulai timbul kesadaran dan desakan masyarakat kearah konsep egalitarian di dalam bidang pelayanan kesehatan. Masyarakat menginginkan agar penduduk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan, mulai dari pemeriksaan dokter, pemeriksaan penunjang diagnostik, tindakan kuratif, dan obat-obatan, yang dibutuhkannya meskipun keadaan ekonominya tidak mencukupi. Konsep egalitarian di dalam bidang kesehatan mengandung pengertian bahwa penduduk harus mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhannya dan tidak tergantung pada kemampuannya membayar. Inilah barangkali konsep keadilan sosial, social justice, yang mesti kita tegakkan. Untuk waktu yang lama, sejak kemerdekaan kita sampai sekarang ini, kita cenderung menganut faham libertarian dimana pelayanan kesehatan harus diterima sesuai dengan kemampuan membayar penduduk, suatu faham yang menurut saya tidak cocok di negeri ini. Bahkan di negeri kapitalis seperti Amerika, masyarakat pada umumnya tidak bisa menerima faham libertarian ini secara penuh. Kita sering membaca di koran ada berita seorang penduduk yang “disandra” karena tidak mampu membayar biaya rumah sakit. Sangat menyedihkan bahwa hal ini pernah terjadi di rumah sakit pemerintah. Kita baca berita ini terjadi di sebuah RS di bilangan Ciawi, 50 KM di selatan Jakarta setelah krisis terjadi. Yang disandra ternyata memang orang yang sangat tidak mampu. Dimana kegotong-royongan kita? Dimana solidaritas sosial kita? Kenapa sistem kesehatan kita tidak bisa mengatasi hal-hal yang seperti ini?

Pelayanan kesehatan kita tidak pro-publik.

Sebagai contoh, pemerintah tidak mampu mengatur jasa dokter spesialis. Saat ini dokter spesialis yang beken mempunyai harga yang sangat tinggi sehingga jasa dokter spesialis tersebut lebih mahal disini ketimbang di Amerika. Jika jasa dokter spesialis di California sebesar US$ 100 (termasuk yang mahal) dengan upah minimum regional US$ 4,5 per jam, maka buruh rendah membutuhkan kerja 22 jam (3 hari) untuk mendapatkan pelayanan tersebut. Itupun tidak sulit bagi buruh dan bahkan mereka tidak perlu membayar dokter dari kantongnya karena sebagian besar mereka mendapatkan jaminan kesehatan dari program Medicaid, bantuan kesehatan bagi rakyat tidak mampu. Di Jakarta jasa dokter spesialis sebesar Rp 50.000

(4)

(bukan yang termahal) baru bisa diperoleh oleh buruh dengan UMR Rp 6.200 per hari setelah ia bekerja 64 jam (8 hari). Sebagian besar buruh kita tidak mendapatkan jaminan kesehatan seperti rekannya di negara maju, bahkan perusahaan banyak yang tidak mendaftarkan mereka dalam program JPK Jamsostek yang sebenarnya wajib. Tidak heran jika banyak masyarakat bawah terpaksa harus mati lebih cepat dari saudaranya yang memiliki uang, untuk penyakit yang sama, karena ketidak mampuannya mendapatkan pelayanan dari dokter yang cukup berkualitas.

Contoh diatas hanyalah sebagai salah satu kondisi dimana sistem pelayanan kesehatan kita belum pro-publik, belum people centered, belum menciptakan pelayanan yang berkualitas dan terjangkau masyarakat banyak. Tingginya harga obat dan alat-alat medis juga merupakan contoh lain, dimana sistem pelayanan kesehatan kita belum banyak melakukan intervensi agar semua pelayanan tersebut dapat dijangkau masyarakat. Jika mau jujur, dapat kita katakan bahwa terjadi terlalu banyak kolusi di dalam sistem pelayanan kesehatan kita. Kebijakan yang ada, sering lebih berat memelihara agar para pelaku pelayanan kesehatan seperti dokter, apoteker, dan perusahaan obat dapat bekerja dan menghidupi dirinya dengan standar yang layak menurut kacamata mereka. Sehingga sering terjadi pelayanan yang tidak adil, produksi yang tidak efisien, kolusi antara dokter dan perusahaan obat tidak mendapatkan sangsi yang memadai. Masyarakat menjadi korban.

Oleh karenanya, tidaklah mengherankan jika produktifitas bangsa Indonesia ini masih rendah. Selain karena kesehatan belum dipertimbangkan sebagai faktor produksi, tingkat kesehatan yang rendah tidak memungkinkan penduduk berproduksi dengan baik. Karena selama ini kita tidak menempatkan pelayanan kesehatan pada tempat yang tepat. Pelayanan kesehatan kita perlakukan sebagai komoditas barang ekonomi, yang oleh guru kita dulu tidak dibenarkan. Kita lupa bahwa pelayanan kesehatan mempunyai karakteristik yang unik: uncertainty, informasi asimetri, eksternalitas, menyangkut hajat hidup orang banya, sifat emergensi, sifat fatalistik, dan sebagainya yang hampir tidak dimiliki barang atau jasa lain. Jadi memperlakukan pelayanan kesehatan sama seperti barang ekonomi lain, dengan memberlakukan mekanisme pasar tidak akan menguntungkan

(5)

masyarakat. Tetapi kita telah memperlakukannya dan merencanakan lebih meliberalkan lagi. Pelayanan kesehatan tidak akan lebih terjangkau dengan semakin banyaknya dokter, semakin banyaknya pabrik obat, semakin banyaknya rumah sakit; apabila semuanya itu tidak diikuti peraturan yang pro-publik dan penegakkan peraturan tersebut.

Maka dimasa datang kita akan menghadapi bahaya yang lebih parah, jika kita terus menempuh jalan yang keliru ini. Masyarakat akan makin dirugikan. Pelayanan kesehatan yang bermutu hanya akan dinikmati oleh mereka yang punya uang, sementara mereka yang miskin akan semakin menderita. Oleh karenanya, gerakan egalitarian yang sedang bergerak ini perlu kita sambut baik. Mesti diakui bahwa jika gerakan ini terus berkembang, para dokter harus mengubah prilaku dan paradigma prakteknya agar menyesuaikan diri dan lebih memihak masyarakat ketimbang memihak dirinya sendiri. Selain itu, pemerataan pendapatan antara dokter yang senior dan yang yunior akan bisa lebih baik dibandingkan dengan keadaan sekarang ini. Siapkah kita, para dokter, menyambut gerakan tersebut?

(6)

Mekanisme pasar tidak bisa diandalkan untuk menjadikan biaya kesehatan dapat terjangkau masyarakat banyak. Hal ini karena sifat pelayanan kesehatan yang sangat unik dan sangat berbeda dengan sifat komoditi barang pasar. Secara ekonomis, mekanisme pasar tidak akan bisa menurunkan harga pelayanan kesehatan seperti yang terjadi pada pelayanan jasa lainnya. Mahalnya jasa dokter spesialis diperburuk dengan sedikitnya dokter spesialis yang dapat diproduksi di bawah bendera Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di banyak negara pendidikan spesialis adalah tanggung jawab profesi spesialis sendiri, bukan merupakan pekerjaan universitas. Para dosen spesialis disini menghabiskan lebih banyak waktunya untuk mencari uang dengan berpraktek di rumah sakit swasta atau praktek pribadinya ketimbang mendidik spesialis baru. Namun mereka tetap mendapatkan gaji dan tunjangan dari pemerintah. Barangkali jika diperhitungkan dengan waktu yang disediakan untuk pendidikan atau pengabdian masyarakatnya, para dokter spesialias yang pegawai negeri sebenarnya dibayar terlalu mahal. Pendidikan spesialisasi kini juga masih dimonopoli oleh pegawai negeri, dengan alasan kompensasi masa bakti, yang menyebabkan antrinya dokter ex PTT menjadi pegawai negeri, untuk kemudian menjadi spesialis, dan bekerja sedikit waktu di RSU kemudian menghabiskan lebih banyak waktu di praktek swasta untuk cari uang. Suatu pemborosan besar anggaran pemerintah. Karena dokter spesialis yang underutilized untuk pelayanan umum tetap menjadi pegawai negeri, maka formasi pegawai negeri di era zero grwoth menjadi sedikit. Ini kemudian memancing permainan penempatan penerimaan dokter PNS dan sangat membatasi keluaran dokter spesialis. Akibatnya, dokter spesialis menjadi mahal.

Jadi memang, sistem kita sekarang belum memikirkan bagaimana menyampaikan pelayanan kesehatan yang bermutu kepada masyarakat dengan harga yang terjangkau kebanyakan masyarakat. Anehnya, sebagian besar masyarakat kita tidak merasakan keanehan atau keberatan atas sulitnya mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Begitu mendarah-dagingnya konsep libertarian, hingga masyarakat kita menjadi biasa jika tidak

(7)

mampu membayar obat atau biaya operasi kemudian meninggal dengan “tenang”.

Pelayanan kesehatan yang sebelum krisis kurang dirasakan kepentingannya kini menjadi lebih tampak bahwa pelayanan kesehatan sudah menjadi kebutuhan pokok. Selama ini pelayanan kesehatan diperlakukan banyak orang, termasuk sistem perpajakan kita, sebagai sektor konsumtif (bahkan dianggap sebagai kenikmatan) dalam bidang kesejahteraan; sedangkan konsumsi pelayanan kesehatan sebenarnya mempunyai komponen produktif dan konsumtif. Amerika memperlakukan pelayanan kesehatan sebagai input produktif, karenanya biaya premi asuransi kesehatan yang dikeluarkan perusahaan dapat dimasukkan ke dalam komponen biaya produksi. Di Indonesia premi asuransi kesehatan yang dibayar pengusaha harus diambil dari pendapatan (diperhitungkan sebagai pendapatan, tidak dimasukkan dalam komponen biaya produksi). Pelayanan kesehatan kita diperlakukan sebagai industri biasa dari sudut keuangan tanpa insentif perpajakan sehingga tidak heran jika lebih dari 300 rumah sakit daerah telah dijadikan instansi tempat pengumpulan pendapatan daerah. Bahkan ada daerah yang memiliki lebih dari 50% pendapatan asli daerahnya yang bersumber dari retribusi puskesmas dan rumah sakit. Jika pemerintah daerah menempatkan pelayanan kesehatan sebagai input esensial di dalam meningkatkan produktifitas kerja penduduknya, maka tidak seharusnya pendapatan dari melayani orang sakit ditargetkan seperti layaknya pendapatan dari sektor konsumtif lain seperti pajak tontotan atau retribusi tempat rekreasi. Komponen produktif dalam rangka meningkatkan stok tingkat kesehatan dalam rangka meningkatkan produktifitas sebenarnya merupakan durable capital. Orang yang sehat harus dipandang sebagai modal kerja yang tahan lama dan modal kerja atau kekayaan yang paling berharga. Kita harus punya sikap bahwa the largest wealth is health. Penempatan pelayanan kesehatan yang tidak proporsional ini menyebabkan pengeluaran kesehatan kita yang hanya 2,5% dari pendapatan domestik bruto kita (yang merupakan terkecil di Asia Tenggara) menjadi tidak efisien. Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan untuk memperbesar pengeluaran kesehatan hingga mencapai

(8)

5% dari produk domestik bruto, karena sebagian pengeluaran adalah pengeluaran investasi. Sayangnya yang terjadi di Indonesia, investasi di bidang kesehatan yang kecil itu sering diarahkan pada pembelian teknologi canggih yang dapat meningkatkan penghasilan rumah sakit dengan daya ungkit terhadap peningkatan status kesehatan masyarakat yang kecil. Jadi, investasi tersebut diarahkan kepada money making, bukan investing on health.

Kita kurang menyadari bahwa setiap tahun kita kehilangan 933,6 juta hari kerja (produktif) karena penduduk menderita sakit serius yang sampai mengganggu kegiatan sehari-hari (Thabrany, 1997). Ini menunjukkan bahwa angka prevalensi penduduk yang sakit masih cukup tinggi di Indonesia padahal penduduk kita mempunyai struktur umur yang relatif muda. Penduduk yang muda seharusnya tidak mengalami banyak sakit karena daya tahan tubuhnya yang baik, namun karena kondisi tubuh, prilaku, dan lingkungan yang kurang baik, angka kesakitan disini masih tinggi. Tingginya angka kesakitan ini diperburuk oleh kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat kita belum terpenuhi kebutuhan kesehatannya. Pada saat ini lebih dari separuh penduduk 30% termiskin belum mendapatkan pelayanan kesehatan modern pada waktu mereka menderita penyakit akut (Thabrany, 1995). Padahal pada kelompok 30% terkaya dan pada kelompok yang mempunyai jaminan kesehatan hampir seluruh kebutuhan kesehatan penduduk tersebut dapat terpenuhi. Gambar-1 menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan (85% penduduk) semakin tinggi akses (jumlah penduduk yang mendapat pengobatan modern). Ketimpangan ini hampir tidak terjadi pada golongan yang mempunyai asuransi kesehatan (pegawai negeri dan pensiunan pegawai pemerintah). Puskesmas dan rumah sakit umum kita hanya bisa menjangkau sepertiga dari kebutuhan pelayanan kesehatan rawat jalan masyarakat dari berbagai golongan penghasilan. Hal ini menunjukkan bahwa masih besarnya hambatan finansial (financial barrier) untuk mendapatkan pelayanan kesehatan modern, baik di puskesmas, dokter praktek, maupun di rumah sakit. Artinya pelayanan kesehatan yang tersedia di Indonesia masih terlalu mahal untuk banyak orang.

(9)

Gambar 1: Hubungan antara akses pelayanan kesehatan modern dengan status kesehatan dan pendapatan keluarga.

Sumber: Thabrany, H. Disertasi, 1995.

Informasi lain dari survei kesehatan rumah tangga tahun 1995 menunjukkan bahwa sekitar 60% ibu hamil menderita anemia (kurang darah) (Depkes, 1996). Darah sang ibu tidak mampu membawa zat gizi esensial ke tubuh janin yang ada di dalam rahimnya dengan akibat pertumbuhan otak sang bayi menjadi tidak sempurna. Padahal pertumbuhan otak yang sempurna mutlak diperlukan untuk mencapai tingkat kecerdasan tertentu dan tingkat kecerdasan ini nantinya amat diperlukan untuk produktifitas yang tinggi. Dengan krisis yang menyebabkan harga pangan bergizi baik dan obat-obatan menjadi lebih mahal, maka jumlah ibu hamil yang anemik dan jumlah bayi yang dilahirkan dengan pertumbuhan otak yang tidak sempurna akan semakin banyak. Karena otaknya tidak cukup baik dan potensi kecerdasan menjadi rendah, jika kelak ekonomi kita baik dan anak mendapatkan gizi yang baik, maka gizi tersebut tidak bisa digunakan untuk pertumbuhan otak lagi. Anak tersebut jika mendapat gizi baik, hanya akan tumbuh fisiknya (otot dan tulangnya kuat, tetapi otaknya lemah). Padahal generasi masa depan bukanlah generasi otot melainkan generasi otak. Kelak kita memiliki lebih

0 5 10 15 20 25 30 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Golongan penghasilan (desil)

Sakit/berobat per 1000 orang

Mengeluh sakit Sakit serius Berobat Berobat di PKM/RSU

(10)

banyak generasi yang kuat ototnya tetapi lemah otaknya, generasi yang disebut lost generation. Generasi yang kehilangan potensi bersaingnya di era kesejagatan. Selain itu, lebih dari 60% tenaga kerja kita saat ini juga menderita kekurangan darah yang amat penting untuk daya tahan tubuhnya dan stamina kerjanya. Sehingga tidak heran jika kini produktifitas tenaga kerja kita tidak memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan dengan tenaga kerja asing. Meskipun tuntutan gaji mereka rendah, yang sering malah dibanggakan beberapa pejabat kita, tetapi jika produktifitasnya juga rendah, apa artinya? Pengusaha akan lebih senang mengambil tenaga kerja dari negeri jiran yang sedikit lebih mahal tetapi hasilnya lebih menguntungkan.

Bahan makanan bergizi baik yang tidak terjangkau kebanyakan masyarakat menimbulkan insiden penyakit yang lebih tinggi. Kondisi tersebut diperburuk karena pada waktu sakit sebagian besar mereka tidak mampu mendapatkan pengobatan yang memadai karena harganya yang relatif mahal. Mahalnya biaya kesehatan kita disebabkan karena tingginya ketergantungan kita kepada luar negeri dan tidak efisiennya sistem pelayanan. Hampir 100% obat modern harus diimpor dan diproses dalam sistem kefarmasian yang tidak efisien. Kita baru mampu membuat kapsul kosong yang diproduksi dalam negeri. Bahkan blister atau pembungkus obatpun, kabarnya, masih harus dibeli dari luar negeri. Ketergantungan ini menyebabkan belanja obat modern kita yang pada tahun 1997 berjumlah Rp 4,2 triliun mempunyai dampak terhadap status kesehatan yang tidak terlalu besar. Jika saja harga obat bisa lebih murah, mungkin jumlah hari hilang penduduk kita dapat dikurangi. Semakin banyak penduduk yang tidak mempunyai jaminan kesehatan yang mampu mendapatkan pengobatan. India dan Cina yang mempunyai pendapatan per kapita yang lebih kecil sudah mampu memproduksi bahan baku obat, dimana banyak perusahaan farmasi kita membeli kesana. Padahal negeri tropik ini merupakan sumber tanaman obat yang luar biasa besarnya. Kini mungkin ratusan peneliti luar negeri diam-diam memurnikan bahan obat dari tumbuhan tropik kita untuk nantinya dijual sebagai obat paten kepada kita, pemilik asli obat tersebut. Alat dan bahan medis lain masih belum mampu kita produksi di dalam negeri atau mungkin memang kita tidak mau memproduksinya di dalam negeri. Sangat mengherankan bahwa kita belum

(11)

mampu memproduksi jarum suntik dan berbagai keperluan tindakan medis atau pemeriksaan laboratorium lain. Sehingga dalam krisis ekonomi sekarang ini terdengar berita banyak puskesmas menggunakan ulang jarum suntik sekali pakai (disposible).

Gambar

Gambar 1: Hubungan antara akses pelayanan kesehatan modern dengan  status kesehatan dan pendapatan keluarga

Referensi

Dokumen terkait

Data-data yang dibutuhkan pada penelitian ini antara lain data spasial citra satelit optis Sentinel 2 Level 1C perekaman bulan Juli 2018 hingga Januari 2019, data lahan

Keseimbangan labil : Sebuah pararel epipedum miring ( balok miring ) yang bidang diagonalnya AB tegak lurus pada bidang alasnya diletakkan diatas bidang datar, maka ia dalam

Invensi ini berhubungan dengan formula bubur kacang hijau instan dan proses pembuatannya. Dalam invensi ini menggunakan bahan baku biji kacang hijau kering, santan serbuk, gula

Penataan Bangunan dan Lingkungan diarahkan pada kawasan strategis Pusat Pemerintahan dan Pusat Agropolitan Kota Muara Beliti sebagai pusat ibukota kabupaten dan pusat

Skripsi dengan judul “Urgensi Penerapan Pembiayaan Murabahah bil Wakalah dan Jasa Rahn dalam Meningkatkan Usaha Kecil Masyarakat Blitar (Studi di BMT UGT Sidogiri

Pemukiman tradisional di Desa Adat Bugbug ini dikaitkan dengan ekologi arsitektur dapat dilihat dalam penggunaan material yang berasal dari alam serta ramah lingkungan

patofisiologi antara lain: 1) Penurunan aliran darah serebral akut, seperti pada sinkop vasovagal, gangguan jantung, penyumbatan pembuluh darah paru dan obstruksi

Pemisahan senyawa atau unsur-unsur yang dikandung sehingga didapatkan berat endapan dapat dilakukan melalui cara pengendapan pada analisis gravimetrik.. Kadar klorida dapat