• Tidak ada hasil yang ditemukan

Miskonsepsi Matematika dan Konflik Kognitif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Miskonsepsi Matematika dan Konflik Kognitif"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Miskonsepsi Matematika dan Konflik Kognitif

Miskonsepsi terdiri dari dua kata, yaitu Mis dan Konsepsi. Mis berarti salah atau kesalahan. Konsepsi berarti pemikiran atau pemahaman. Jadi Miskonsepsi dalam arti terminologi adalah salah pemahaman. Kata ini digunakan juga dalam bidang disiplin ilmu yang lain, seperti miskomunikasi (salah berbicara), mispersepsi (salah berpendapat), mis informasi (salah dengar) dan lain-lain. Sedang menurut arti etimologinya adalah pandangan dan pengetian yang salah memahami peristiwa atau penjelasan yang terjadi disebabkan oleh bimbingan dan pengajaran yang tidak benar.

Miskonsepsi diartikan salah paham. Bila tidak segera diluruskan, niscaya akan menjadi aksioma (anggapan yang tak terbantahkan). Mayoritas miskonsepsi itu terjadi dalam bidang pendidikan misalnya dalam bidang matematika yang justru akan semakin melemahkan semangat mempelajarinya, seperti anggapan sulit, tidak prospektif, membutuhkan waktu lama dan lain-lain. Untuk mengatasi miskonsepsi dibidang matematika dituntut adanya seorang guru atau pembimbing yang betul-betul memahami konsep yang salah paham dari pihak pembelajar dikarenakan apakah faktor pengalaman yang pernah ia dapatkan dan belum berujung pengalaman tersebut (akhir kelanjutannya tidak disimak, tiba-tiba ada suatu keperluan membuat ia tidak mengikuti pembelajaran sampai pembahasan akhir atau bisa jadi waktu membatasi saat itu). Guru yang ahli di bidang tersebut, atau anda sudah melakukan pencaharian misal secara search engine dengan sumber yang akurat, Insya Allah miskonsepsi dalam bidang pembelajaran matematika sedikit demi sedikit akan berubah dan aksioma yang selama ini menghantui jiwa anak didik, mahasiswa, dan pembelajar sejati akan terbantahkan. Terjadinya miskonsepsi bagi anak didik, sering disebabkan oleh kekurang- mampuan guru atau pembimbingnya dalam mengajarkan atau mendidik dengan baik (mudah-mudahan penulis pribadi bisa mengajarkan atau berbagi ilmu pengetahuan dan terhindar dari miskonsepsi, aamiin yaa ALLAH). Yang berdampak pada kelemahan belajar matematika itu sendiri. Intinya sebagai pembelajar sejati jangan berhenti untuk belajar, ketika anda mengalami konflik kognitif dan ternyata ini dapat menjadi salah satu pendekatan pembelajaran strategi belajar.

Berikut gambaran yang diberikan oleh Roni M. Rumallang dalam tulisannya (KONFLIK KOGNITIF Sebagai Salah Satu Pendekatan Pembelajaran Strategi Belajar)

Strategi belajar merupakan alat untuk membantu siswa belajar dengan kemampuannya

sendiri. Proses – proses ini digunakan untuk membantu siswa ― belajar bagaimana belajar ‗ (learn

how to learn), yaitu bagaimana memahami, menimpan atau mengingat kembali keterampilan dan

(2)

mengikuti pelajaran misalnya pelajaran fisika di sekolah. Karena itu mereka sudah

mengembangkan banyak konsepsi yang belum tentu sama dengan konsepsi sebenarnya. Strategi

mengajar dengan konflik kognitif ini sangat efektif digunakan guru untuk memeotivasi belajar

siswa dan memfokuskan perhatian siswa pada pembelajaran. Disamping itu strategi ini dapat

membantu siswa membentuk ide baru berdasarkan pengetahuan dan pengalaman terdahulu,

memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir dan mengubah miskonsepsi siswa, dan

menantang siswa untuk berfikir dan memberikan rasa puas pada siswa ketika prediksi siswa

sesuai dengan pengamatan.

Kata kunci : konflik kognitif, pembelajaran, strategi belajar

PENDAHULUAN

Belajar lebih dari sekedar mengingat. Bagi siswa, untuk benar – benar mengerti dan dapat

menerapkan ilmu pengetahuan, mereka harus bekerja untuk memecahkan masalah, menemukan

sesuatu bagi dirinya dan selalu bergulat dengan ide – ide.

Salah satu prinsip paling pentingdari psikologi pendidikan adalah guru tidak dapat hanya

semata – mata memberikan pengetahuan kepada sisiwa. Siswa harus membangun pengetahuan di

dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini, dengan cara – cara mengajar yang

membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan

kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide – ide dan dengan

mengajak sisiwa agar menyadari dan secara sadar menggunakan strategi –strategi mereka sendiri

untuk belajar.

Strategi belajar merupakan alat untuk membantu siswa belajar dengan kemampuannya

sendiri. Proses –proses ini digunakan untuk membantu siswa ― belajar bagaimana belajar ‗ (learn

how to learn), yaitu bagaimana memahami, menimpan atau mengingat kembali keterampilan dan

informasi.

TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Konsep

Konsep adalah benda – benda, kejadian – kejadian, situasi – situasi, atau ciri-ciri yang

dimiliki ciri – ciri khas dan yang terwakili dalam setiap budaya oleh suatu tanda atau symbol.

(objects, events, situations, or properties that proces common critical attributes and are designated in any given culture by some accepted sign or symbol … Ausubel ; 1978).

Konsep merupakan abstraksi dari ciri – ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi

antara manusia dan yang memungkinkan manusia berfikir (bahasa adalah alat fakir). Konsep

merupakan suatu ide/gagasan yang digeneralisasikan dari pengalaman – pengalaman tertentu dan

relevan. Setiap konsep tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan dengan konsep – konsep

(3)

hubungan dengan konsep-konsep lain. Semua konsep bersama membentuk semacam jaringan

pengetahuan di dalam kepala manusia. Semakin lengkap, terpadu, tepat dan kuat, hubungan

antara konsep-konsep dalam kepala seseorang, semakin pandai orang itu. Keahlian seseorang

dalam suatu bidang studi tergantung lengkapnya jaringan konsep di dalam kepalanya. Semakin

dalam kita memasuki bidang studi, semakin kompleks dan terpadu (integrated) jaringan konsep

dalam kepala.

Konsep dapat dibedakan antara 3 (tiga) sifat yaitu :

a. Bersifat klasifikasi : yaitu didasarkan pada klasifikasi fakta – fakta menurut aturan tertentu.

Misalnya energi panas, energi kinetik, energi bunyi dan lain-lain. Semuanya digunakan

untuk mengklasifikasikan konsep energi.

b. Bersifat korelasional : yaitu menyatakan adanya hubungan antara dua variabel atau lebih.

Misalnya benda dipanaskan memuai, hambatan mengecil, kuat arus membesar dan

lain-lain.

c. Bersifat teoritis : merupakan gagasan pikiran yang timbul sebagai berpikir abstrak yang

memudahkan penjelasan terhadap kejadian – kejadian atau pengalaman, maupun gejala suatu

sustem.

Misalnya : dalam teori atom kita mengenal adanya konsep atom, konsep elektron, proton,

neutron dan lain-lain

Menurut tingkatannya konsep dibedakan atas :

a. Konsep konkrit : konsep iini terbentuk karena pengalaman langsung melalui indra. Misalnya

mendidik, memuai, mengelinding dan lain-lain.

b. Konsep abstrak : konsep ini biasanya berkembang dari konsep konkrit. Konsep ini di dapat

melalui analisa dan sintesa. (biasanya dapat membedakan berbagai konsep dasar). Misalnya :

konsep elektron (membedakan aliran listrik dan perambatan energi panas), konsep gelombang

(membedakan gelombang elektromagnetik, konveksi dan radiasi)

B. Belajar Konsep, Miskonsepsi dan Prakonsepsi

Sering siswa hanya menghafalkan definisi konsep tanpa memperhatikan hubungan antara

konsep dengan konsep-konsep lainnya. Dengan demikian konsep baru tidak masuk jaringan

konsep yang telah dalam kepada siswa, tetapi konsepnya berdiri sendiri tanpa hubungan dengan

konsep lainnya. Maka konsep yang baru tersebut tidak dapat digunakan oleh siswa dan tidak

mempunyai arti, sebab arti konsep berasal dari hubungan dengan konsep-konsep lain.

Tafsiran perorangan terhadap suatu konsep disebut Konsepsi. Konsepsi (penafsiran siswa seringkali berbeda dengan konsep yang dimaksudkan. Kesalahan penafsiran siswa terhadap suatu

(4)

matematikawan atau fisikawan pada umumnya akan lebih canggih, lebih kompleks, lebih rumit,

melibatkan lebih banyak hubungan antara konsep daripada konsepsi siswa. Kalau konsepsi siswa

adalah sama dengan konsepsi fisikawan atau matematikawan yang disederhanakan, konsepsi

siswa tidak dapat disebut salah. Tetapi kalau konsepsi siwa bertentangan dengan fisikawan atau

matematikawan kita menggunakan istilah miskonsepsi (misconception). Biasanya miskonsepsi

menyangkut kesalahan siswa dalam pemahaman hubungan antara arus dan tegangan, antara

massa dan massa jenis dan sebagainya.

Dalam bahasa inggris para peneliti menggunakan istilah-istilah yang berbeda. Disamping

istilah misconceptions juga ada peneliti yang menggunakan ―alternative frameworks― atau children theories ―. Kedua istilah ini digunakan untuk menghindari label salah dan untuk menunjukan bahwa miskonsepsi siswa seringkali merupakan bagian dari suatu teori siswa yang

dengan sendirinya cukup logis dan konsisten walaupun tak cocok dengan pendapat ilmuwan dan

peristiwa – peristiwa fisika.

Dari banyak penelitian ternyata siswa sudah mempunyai konsepsi mengenai

konsep-konsep fisika sebelum mereka mengikuti pelajaran fisika di sekolah. Sebelum mereka mengikuti

pelajaran fisika, mereka sudah banyak berpengalaman dengan peristiwa-peristiwa fisika (benda

yang jatuh, benda yang bergerak, gaya, panas dan sebagainya) dan karena itu mereka sudah

mengembangkan banyak konsepsi yang belum tentu sama dengan konsepsi sebenarnya. Konsepsi

semacam itu disebut Prakonsepsi. Kadang-kadang penggunaan istilah prakonsepsi lebih luas, yaitu konsepsi yang dimiliki siswa sebelum pelajaran walaupun mereka sudah pernah

mendapatkan pelajaran formal (misalnya di Sekolah Dasar)

Dalam mengajar konsep baru, kita bertolak dari dunia nyata dan dari prakonsepsi yang

dimiliki siswa. Prakonsepsi perlu diperhatikan. Guru dan siswanya perlu menyadari prakonsepsi

ysng dimiliki siswa, sebab konsepsi ysng benar tidak begitu saja masuk (seperti mengisi botol)

tetapi prakonsepsi perlu disadari dan kemudian diubah ke arah konsepsi yang benar.

Salah satu mengajar yang sangat berguna untuk mengatasi miskonsepsi (dan kurang

dimanfaatkan di indonesia) adalah dengan strategi belajar Konflik Kognitif.

C. Pengertian dan Tujuan Strategi Belajar

Strategi belajar atau strategi kognitif merupakan alat untuk membantu siswa belajar

dengan kemampuannya sendiri. Proses – proses ini digunakan untuk membantu ―belajar bagaimana belajar‖ (learn how to learn), yaitu bagaimana memahami, menyimpan atau mengingat kembali keterampilan dan informasi. Pengaruh positif belajar terhadap hasil belajar

siswa telah ditunjukkan oleh banyak hasil penelitian. Strategi ini dapat dikuasai guru dalam

waktu yang cepat dan kemudian dapat diajarkan kepada siswa-siswinya. Namun hal ini

memerlukan perubahan pola berpikir guru, karena guru tradisional hanya menyediakan waktu

(5)

Tujuan utama mengajar strategi belajar adalah untuk mengahasilkan pembelajaran yang dapat

mengendalikan diri sendiri (pebelajar mandiri), yang didefinisikan sebagai individu yang dapat :

(1) secara teliti mendiagnosis suatu situasi pembelajaran tertentu, (2) memilih suatu strategi

belajar untuk memecahkan suatu masalah belajar yang dihadapi, (3) memonitor keefektivan

strategi tersebut, dan (4) cukup termotivasi untuk terlibat dalam situasi pembelajaran sampai

pembelajaran itu tuntas.

D. Teori Belajar Konstuktivisme

Paradigma yang masih dianut guru dan masih berlaku sekarang adalah dalam proses

belajar mengajar pengetahuan diberikan oleh guru dan diterima oleh siswa. Keberhasilan dan

belajar mengajar diukur dari sejauh mana siswa dapat menunjukan bahwa mereka dapat

mengungkapkan pengetahuannya yang diuji oleh guru. Jika diungkapkan pengetahuannya yang

diuji oleh guru. Jika hanya diungkapkan tidak sesuai dengan yang diinginkan guru, maka siswa

tidak dianggab belajar. Dengan asumsi ini, maka guru berusaha sangat aktif dalam

menyampaikan informasi (ceramah) dan siswa hanya mendengar kemudian mencatat (Paul

Suparno, 1997).

Banyak ahli pendidikan mengemukakan pandangan tentang belajar dan mengajar yang

bertolak belakang dengan pandangan umum di atas. Piaget (1975) (dalam Nur; 1996) menyatakan bahwa ― pengetahuan bukan merupakan sebuah copy dari sebuah obyek untuk mengetahui sebuah gejala atau kejadian, bukan sekedar membuat suatu ― mental copy ― atau banyangan tentang sebuah obyek. Mengetahui adalah memodifikasi, menstranformasi obyek adalah aksi dalam

pikiran yang memodifikasi obyek pengetahuan.

Pandangan Konstruktivisme Dalam Proses Belajar

- Konstruktivisme di gunakan sebagai acuan untuk membangun kelas yang memaksimalkan

siswa belajar. Guru mencari tahu hal-hal yang telah diketahui siswa, memaksimalkan interaksi

sosial antar teman agar bernegosiai makna, memperoleh berbagai pengalaman cara

membangun makna dari teman.

- Belajar merupakan proses aktif peserta didik membangun (mengkonstruksi) teks, dialog, pengalaman fisik.

- Melalui teori perkembangan berpikir, Piaget mengemukakan bahwa salah satu yang melandasi

perkembangan berpikir adalah adaptasi, yaitu suatu keseimbangan antara asimilasi dan

akomodasi

- Asimilasi adalah proses penggunaan struktur kognitif yang telah ada untuk

menanggapimasalah yang dihadapi. Apabila masalah yang dihadapi tidak sesuai dengan

struktur kognitif yang ada, maka akan terjadi ketidakseimbangan (disequilibrum). Utnuk dapat

(6)

mengubah struktur kognitif baru yang sesuai, sehingga tercapailah keseimbangan

(equilibrum). Pada keadaan demikian ia berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.

- Belajar merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan

yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki sebelumnya sehingga pengertiannnya

dikembangkan.

Proses Belajar Mengajar yang Bercirikan Konstruktivisme - Belajar berarti membentuk makna

- Konstruksi arti adalah proses yang terus menerus

- Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian baru.

- Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Dalam situasi ketidakseimbangan terjadi pertentangan

kognitif (konflik kognitif) dalam otak siswa. Situasi ketidakseimbangan adalah situasi yang baik

untuk memacu belajar.

- Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar dengan dunia fisik dan lingkungan

- Hasil belajar seseorang bergantung pada apa yang telah diketahui si pembelajar yang

mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari (Paul Suparno, 1997)

E. PENYUSUNAN PROGRAM PEMBELAJARAN DENGAN STRATEGI BELAJAR KONFLIK KOGNITIF

Dalam pelaksanaannya strategi belajar konflik kognitif dapat menggunakan model

pembelajaran apa saja yang dalam kegiatannya siswa diberi kesempatan untuk menjawab masalah

yang diberikan guru dengan konsep yang dimiliki siswa. Yang kemudi pada kegiatan inti siswa

dan guru membuktikan jawaban atas masalah yang diberikan dengan menunjukkan secara

langsung pada siswa melalui kegiatan demonstrasi atau eksperimen.

Berikut adalah salah satu contoh langkah-langkah yang ditempuh guru dalam penyajian

program pembelajaran dengan strategi konflik kognitif.

a. Guru menyajikan suatu fenomena fisika yang sering dialami siswa dan menarik siswa melalui

kegiatan demonstrasi guru.

b. Guru meminta siswa untuk memberikan jawaban atas suatu fenomena untuk menggali konsep

(yang mungkin miskonsepsi) siswa.

c. Selanjutnya guru membagi siswa dalam beberapa kelompok diskusi dan memberikan

(7)

d. Berdasarkan hasil eksperimen dan diskusi siswa guru membimbing siswa untuk menarik suatu

kesimpulan dan memperbaiki miskonsepsi siswa.

Strategi mengajar dengan konflik kognitif ini sangat efektif digunakan guru untuk

memotivasi belajar siswa dan memfokuskan perhatian siswa pada pembelajaran. Dengan

demikian konflik kognitif sangat bagus untuk digunakan pada kegiatan awal pembelajaran.

Disamping itu strategi ini dapat membantu siswa membentuk ide baru berdasarkan pengetahuan

dan pengalaman terdahulu, memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir dan mengubah

miskonsepsi siswa, dan menantang siswa untuk berfikir dan memberikan rasa puas pada siswa

ketika prediksi siswa sesuai dengan pengamatan.

Misalanya dalam pembelajaran fisika dilakukan sebuah percobaan yang bertentangan dengan

pengalaman siswa. Pertanyaan untuk siswa : Apakah yang terjadi pada es batu ketika air

dipermukaan mendidih ?

Penjelasan: Seluruh siswa meramalkan bahwa es batu akan langsung mencair ketika air

dipanasakan. Menurut siswa tidak perlu menunggu cair mendidih es pasti langsung mencair. Tapi

kenyataannya sampai air mendidih dan es batu masih utuh tidak mencair. Disinilah terjadi konflik

kognitif pada siswa. Dengan penjelasan dan diskusi yang baik dari guru dan siswa akan mudah

mengkontruksi pengetahuan baru yang dihadapi.

Misalnya miskonsepsi yang terjadi dalam Matematika, sebagai berikut:

Hal ini pernah ditanyakan ke beberapa guru SD, guru SMP dan mahasiswa, apakah gambar di samping adalah jajargenjang? Mereka menjawab bukan, gambar tersebut adalah persegi panjang, bagi mereka jajargenjang sisinya harus miring. Kemudian pertanyaan dilanjutkan, apa definisi jajargenjang? Beberapa orang di antaranya menjawab dengan benar, yaitu bangun segiempat di mana sisi yang berhadapan sejajar dan sama panjang. Pertanyaan berlanjut, bukankah sisi yang berhadapan pada bangun di samping sejajar dan sama panjang? Mereka agak ragu-ragu menjawab.

(8)

Berdasarkan definisi jajargenjang, maka persegi panjang (termasuk persegi) dan belah ketupat adalah jajargenjang. Oleh karena itu, kita yang belajar matematika harus mengetahui hubungan antarbangun segiempat.

Ketidakpahaman pada hal ini mengakibatkan mereka maupun kita tidak bisa menjawab soal seperti ini, Hitunglah panjang BE pada gambar belahketupat di bawah ini,

jika panjang AC adalah 24 cm dan kelilingnya 60 cm!

Miskonsepsi matematika yang dialami guru dan mahasiswa rupanya bukan hanya pada hubungan bangun segiempat tersebut, tetapi terjadi juga pada materi lain, salah satunya lingkaran. Lingkaran didefinisikan sebagai tempat kedudukan titik-titik yang jaraknya sama ke suatu titik tertentu. Berdasarkan definisi tersebut, maka luas lingkaran seharusnya adalah 0 berapa pun jari-jarinya. Jadi bukan . Gambar lingkaran adalah sebagai berikut.

Rumus luas yang biasa diajarkan di SD atau SMP tersebut adalah untuk menghitung luas daerah yang dibatasi oleh lingkaran. Jadi, harus tegas dibedakan antara lingkaran dengan daerah yang dibatasi lingkaran (atau boleh juga diberi nama cakram).

Miskonsepsi yang lain berkaitan dengan persamaan kuadrat. Mahasiswa atau guru

(9)

semesta pembicaraan. Jika diketahui , berapakah jumlah akar-akarnya? Umumnya akan dijawab -4, padahal seharusnya tidak ada karena persamaan kuadrat tersebut tidak mempunyai akar di .

Karena kalau kita mencari jumlah akar-akarnya mengunakan rumus berikut:

𝑋12 = −𝑏± 𝑏2− 4 𝑎𝑐 2𝑎

= −4± 42− 4 (1)(5) 2(1)

=−4± 16− (20) 2

= −4± − 4 2

= −4±4𝑖 2

Jadi, X1= − 4+4𝑖

2 = -2+2i dan X2 = −4−4𝑖

2 = -2 – 2i

Berikut informasi tambahan tentang “Bilangan Imajiner : Sejarah dan Filosofinya”

Penemuan objek matematika terkadang melewati proses pemikiran yang ―liar‖ dan

pergulatan mental yang melelahkan. Hal ini sempat beberapa kali mengundang pertanyaan filosofis bagi para matematikawan. Memasuki abad ke 19 sebagian ahli matematika melihat landasan filosofis matematika perlu untuk dikaji kembali. Penemuan bilangan imajiner memainkan perananan penting dalam membuka teritorial pikiran baru yang terlegitimasi secara matematis, namun menyisakan problem filosofis dan logika yang tetap tak tersentuh. Bilangan imajiner sangat vital sebagai peralatan matematika, yang dengannya teorema fundamental aljabar dapat dikukuhkan. Namun penemuan, pengkonsepsian, serta pengembangan bilangan imajiner telah memberi corak dan warna baru dalam sejarah

Catatan: (dalam pembelajaran analisis kompleks di semester 7 nantinya anda akan mendapatkan materi tentang bilangan kompleks).

Gambaran sekilas:

Bentuk umum persamaan bilangan kompleks a + bi

dimana a dan b bilangan nyata dan i2 = -1 atau bisa juga dituliskan 𝑖= −1. Jadi untuk

(10)

matematika dan logika, yang menurut Cardano proses ini melibatkan ―mental tortures‖ dan

melewati jalan pikiran yang oleh Bombelli disebut ―wild thought.‖ Proses pergulatan mental dan pikiran ini merupakan ciri dari perkembangan matematika di zaman Renaissance.

Setidaknya ada dua pandangan filosofis tentang matematika yang masuk ke zaman Renaisscance. Dua pandangan filosofis ini merupakan warisan para pemikir dan matematikawan Yunani yang kemudian berkomunikasi dengan peradaban Arab. Yang pertama adalah Aristotelianisme yang memandang matematika sebagai proses kreatif-transendental pikiran manusia. Objek matematika dalam pandangan Aristotelianisme dapat dibuktikan adanya melalui proses berpikir kreatif melalui tangga-tangga berpikir yang naik berawal dari pikiran manusia (ascending from human mind), yaitu proposisi aksioma, sampai di objek matematika melalui pembuktian (teorema). Pandangan ini merupakan jawaban metodis terhadap pandangan filosofis yang dikemukakan oleh gurunya, Plato. Pandangan yang kedua adalah Platonism, yang memandang matematika sebagai hasil dari proses intuitif-transendental. Objek matematika dalam pandangan Plato adalah realitas yang bebas dari pikiran manusia (independent from human mind), namun tidak dapat dipisahkan dengan teritorial yang berada di atasnya. Plato berkeyakinan bahwa matematika (atau geometri pada masa itu) merupakan realitas imaterial yang legitimasinya dibuktikan melalui proses intuitif-transendental dari realitas yang berada di atasnya (descending from divine realm) dan sampai ke bawah bersesuaian dengan realitas fisis.

Kedua pandangan filosofis ini secara esensial aktif berkomunikasi memasuki zaman Renaissance di Eropa. Hingga memasuki abad ke-20 para pengkaji fondasi matematika mulai merumuskan batasan-batasan akal matematis yang bersumber dari pikiran manusia. Di samping itu pula para matematikawan abad ke-20 meletakan kerangka landasan filosofis matematika sebagai perluasan dari dua pandangan yang telah ada sebelumnya.

Bilangan Imajiner Sebagai Peralatan Matematis dan Aplikasinya

Dewasa ini bilangan imajiner sudah tidak asing lagi digunakan dalam matematika, khususnya dalam analisis kompleks. Analisis kompleks itu sendiri dapat dipandang sebagai penerapan teori-teori kalkulus terhadap bilangan imajner. Tetapi apa sesungguhnya bilangan imajiner ini? Apakah ia bilangan yang hanya ada dalam imajinasi, yang tidak memiliki kesesuaiannya dengan realitas fisis? Sebagian orang mungkin masih mempertanyakan legitimasi dari bilangan imajiner ini.

Dewasa ini keberadaan bilangan imajiner sebagai objek maupun peralatan matematis sangat dirasakan manfaatnya bagi dunia. Dalam dunia rekayasa, bilangan ini sering dipakai dalam mempelajari prilaku aliran fluida di sekitar objek tertentu. Dalam elektromagnetika bilangan imajiner digunakan dalam pemodelan gelombang. Sehingga jika bukan karena penemuan i mungkin kita tidak bisa berkomuniaksi lewat telepon seluler, atau mendengarkan radio. Bilangan imajiner adalah bagian penting dalam mempelajari deret tak hingga (infinite series). Ia juga dipakai dalam model-model matematika untuk mekanika quantum. Bilangan imajiner adalah peralatan vital di dalam kalkulasi ketika membuat pemodelan. Dan akhirnya, setiap persamaan polinomial akan mempunyai solusi apabila bilangan imajiner (atau bilangan kompkes) dilibatkan. Jelasnya, kepentingan-kepentingan praktis maupun teoritis itu dapat memberikan gambaran kenapa bilangan imajiner itu ada atau tercipta.

(11)

disimbolkan dengan i (atau j dalam bidang kelistrikan), yang secara matematis memiliki kuantitas yang bersesuaian dengan akar dua dari negatif satu. Sehingga untuk mendapatkan solusi terhadap persamaan tadi, kita dapat memulainya dengan suatu anggapan i sebagai akar dua dari negatif satu. Namun anggapan ini belumlah menyentuh sisi filosofis penting dibalik munculnya bilangan imajiner.

Dari segi notasinya, bilangan imajiner adalah bilangan yang menakjubkan, setidaknya apabila kita mengkuadratkannya maka ia menjadi bilangan riil. Dengan menggunakan notasi akar dua dari negatif satu, yang disimbolkan dengan huruf i, persoalan akar dari bilangan negatif dapat diselesaikan.

Lebih jauh penemuan bilangan imaginer melewati beberapa fase pemikiran dan memerlukan waktu yang berabad-abad lamanya sehingga para matematikawan bisa menerima keberadaan bilangan baru ini. Pada bagian berikutnya saya akan mencoba mencatat beberapa episode sejarah bagaimana bilangan imajiner itu ditemukan, serta bagaimana bilangan imajiner itu dikonsepsikan serta dikembangkan.

Awal Penemuan dan Pengembangan Bilangan Imajiner

Sejarah penemuan bilangan imaginer (imaginary numbers) dimulai pada tahun 1545 ketika seorang matematikawan berkebangsaan Italia, Girolamo Cardano, menerbitkan buku yang berjudul Ars Magna, di mana pada buku tersebut Cardano untuk pertama kalinya menyatakan solusi aljabar terhadap persamaan kubik yang berbentuk . Persamaan ini untuk kemudian dikenal sebagai persamaan kubik umum. Solusinya diselesaikan oleh Cardano dengan terlebih dahulu mereformulasi persamaan kubik tersebut ke dalam persamaan kubik lain yang tidak memiliki suku yang variabelnya dikuadratkan, yaitu yang disebut dengan persamaan depressed cubic. Selanjutnya, Cardano menggunakan formula Ferro-Tartaglia untuk memecahkan persaamaan depressed cubic.

Selain sebagai matematikawan, Cardano juga dikenal sebagai fisikawan dan astrologer yang bekerja kepada para pembesar Eropa. Ia juga dikenal sebagai pejudi yang senang melakukan perjalanan jauh dan pesta-pora. Namun di tengah-tengah kesibukannya itu, karier matematika Cardano jauh lebih cemerlang sebagai aktor utama Renaissance. Di sisi lain, ia telah memberikan kontribusi penting terhadap perkembaangan awal ilmu probabilitas. Atas dasar kontribusi ini, ia telah dianggap sebagai bapak Ilmu Probabilitas. Selain De Vita Properia Liber yang berisi risalah ilmu probabilitas, ia juga menulis Ars Magna (Seni Agung). Di buku Ars Magna inilah Cardano mulai menyadari posibilitas keberadaan bilangan imajiner yang pertama kali muncul sebagai efek dari pengembangan penyelesaian persamaan kubik tadi.

Persamaan kubik (cubic equations) itu sendiri telah dipelajari oleh murid-murid Euclide di Alexandria. Archimedes (287 – 212 SM), misalnya, menemukan bahwa ketika sebuah bola dipotong oleh suatu bidang sehingga salah satu bagiannya memiliki volume dua kali bagian yang lainnya, maka cara bola tersebut dipotong mengarah ke persamaan kubik

berbentuk : .

(12)

jauh dikonsepsikan mengingat konsep bilangan negatif sendiri masih asing waktu itu, dan penggunaannya dalam matematika masih dicurigai. Para matematikawan di masa itu agaknya masih sulit untuk menemukan korespondensi bilangan negatif dengan realitas fisis, meskipun secara sistematis penggunaannya dalam matematika telah dipresentasikan oleh Brahmagupta pada tahun 628.

Hingga pada tahun 1494, Luca Pacioli pun mengumumkan bahwa tidak ada solusi aljabar umum terhadap persamaan kubik. Orang pertama yang kemudian diketahui menemukan solusi aljabar terhadap persamaan depressed cubic adalah Scipio del Ferro (1465-1526), yaitu seorang guru besar di University of Bologna, Italia. Namun sayang, Ferro merahasiakan temuan ini untuk beberapa waktu, hingga ia memberitahukan temuan itu kepada Antonio Fior di saat menjelang wafatnya.

Setelah Cardano mereformulasi persamaan kubik umum menjadi bentuk depressed cubic equation, masalah selanjutnya adalah bagaimana menyelesaikan persamaan depressed cubic? Untungnya solusi persamaan depressed Cubic telah diketahui oleh teman Cardano

yang bernama Niccolo Fontana yang dikenal juga dengan nama Tartaglia (―Si Gagap‖),

karena bicaranya gagap. Dalam suatu kontes, Nicollo Fontana ditantang oleh Fior untuk memecahkan permasalahan persamaan kubik. Namun diluar dugaan, Tartaglia berhasil memecahkannya dengan solusi yang lebih umum dari solusi yang diketahui Fior. Di lain waktu, Cardano membujuk Tartaglia agar memberitahukan temuannya itu, dan Tartaglia pun memberitahukannya dengan syarat agar temuan itu tidak dipublikasikan. Cardano menyetujuinya dan bersumpah tidak akan mempublikasikannya. Namun Cardano melanggar janjinya, ketika pada tahun 1543 ia menemukan paper yang ditulis oleh Ferro untuk topik persamaan kubik. Sejak itu munculah keinginan dalam dirinya itu untuk memformulasikan penanganan yang lebih lengkap terhadap persamaan kubik umum. Lalu kemudian ia menuliskan hasilnya dalam Ars Magna.

Maka dengan upaya ini Cardano bisa menangani persamaan kubik umum melalui koneksi persamaan depressed cubic dan solusinya dari Niccolo Fontana yang juga telah ditemukan 30 tahun sebelumnya oleh Scipio del Ferro. Formula rahasia ini kemudian disebut formula Ferro-Tartaglia.

Langkah-langkah penanganannya adalah sebagai berikut. Untuk menurunkan persamaan kubik yang berbentuk :

………. (1)

Cardano memulainya dengan mensubstitusikan terhadap persamaan (1), yang menghasilkan bentuk :

………. (2)

Dengan b dan c yang bersesuaian :

(13)

Jadi, apabila nilai x pada persamaan depressed cubic ditemukan maka solusi terhadap persamaan kubik umum juga bisa ditemukan. Untungnya, solusi terhadap persamaan depressed cubic di atas telah didapatkan Cardano dari Tartaglia. Bentuk solusinya adalah seperti ini :

………. (3)

Dengan formula Ferro-Tartaglia ini, Cardano mendapatkan solusi terhadap persamaan kubik umum.

Pengembangan dari penyelesaian persamaan kubik dengan koneksi persamaan depressed cubic serta formula Ferro-Tartaglia selanjutnya memberi legitimasi bagi posibilitas eksistensi bilangan imajiner. Meskipun problem matematika yang melibatkan akar bilangan negatif sebenarnya sudah disadari sebelumnya, sebagai misal dari persamaan kuadrat yang solusinya . Namun pada masa Cardano konsep bilangan negatif masih diperlakukan dengan penuh curiga mengingat pada saat itu masih sulit untuk menemukan kesesuaiannya dengan realitas fisis. Sehingga munculnya akar dua dari bilangan negatif menambah keasingan bagi bilangan itu sendiri. Cardano sendiri mengatakan proses matematika dengan melibatkan ―mental tortures,‖ dan ia pun menyimpulkan, ―as subtle

as it would be useless.‖

Berikutnya, pada tahun 1637, Rene Descartes membuat bentuk standar untuk bilangan kompleks yaitu a+bi. Akan tetapi ia tidak menyukai bilangan ini. Ia mengasumsikan bahwa jika bilangan ini ada, maka ia pasti bisa dipecahkan. Namun karena ia tidak menemukan pemecahannya, maka ia tidak begitu berminat terhadap pengembangan bilangan ini. Isaac Newton sepakat dengan Descartes. Namun Leibniz memberikan komentar terhadap bilangan imajiner ini : “an elegant and wonderful resource of the divine intellect, an unnatural birth in the realm of thought, almost an amphibium between being and non-being.”

“Wild Thought”

Pada tahun 1572 Rafael Bombelli kembali menyadari arti penting bilangan imajiner. Dalam buku risalah Aljabarnya, Bombelli menunjukkan perlunya bilangan imajiner dilibatkan sebagai suatu peralatan matematis yang berguna. Bombelli memberikan langkah

baru bagi pengembangan bilangan baru ini yang oleh Cardano dianggap ―as refined as it is useless.‖ Bombelli beranggapan bahwa formula Ferro-Tartaglia dapat direformulasi ke dalam bentuk yang melibatkan kuantitas bilangan imajiner, namun dengan jalan berpikir yang

disebutnya ―wild thought.‖

Yang ia maksud ―wild thought‖ ialah, apabila persamaan depressed cubic (2) memiliki solusi riil, maka dua bagian x pada persamaan Ferro-Tartaglia (3) bisa diekspresikan dalam bentuk dan , dimana u dan v adalah bilangan riil.

Lalu apa relevansi ―wild thought‖ ini terhadap matematika? John H. Mathews dan

Russell W. Howell memberikan ilustrasi langkah berpikir Bombelli melalui contoh berikut ini.

(14)

atau dalam ekspresi lain .

Dengan melewatkannya melalui ―wild thought‖ Bombelli menunjukkan bahwa

dan . Yang apabila kedua ruas

dipangkatkan tiga menghasilkan dan .

Kemudian, dengan menerapkan identitas aljabar :

untuk dan . Hasilnya :

Hal yang sama juga dilakukan untuk bagian x lainnya yaitu .

Pada persamaan di atas tampak pikiran Bombelli bahwa dan .

Bombelli kembali berpendapat bahwa u dan v haruslah bilangan bulat, dan karena faktor bilangan bulat dari 2 hanya 2 dan 1, maka maka ia menyimpulkan bahwa dan yang diikuti dengan atau . Nilai u dan v yang memenuhi adalah u = 2 dan v = 1.

Selanjutnya dengan memasukan nilai u dan v didapatkan nilai x, yaitu x = 4. Jadi, proses pengeluaran quantitas riil v dari kuantitas akar bilangan negatif serta dengan menempatkan quantitas akar dua dari negatif satu di dalam formula itu dipandang oleh Bombelli sebagai

―wild thought.‖

Untuk sampai kepada solusi riil ini Bombelli berfikir melalui teritorial bilangan imajiner yang belum pernah terpetakan sebelumnya. Sayangnya, trik berpikir ini tidak berlaku umum untuk semua persamaan kubik, tetapi hanya dapat diterapkan untuk kasus-kasus tertentu saja. Dalam risalah Aljabarnya, Bombelli menulis, ―…and I too for a long time was of the same opinion. The whole matter seemed to rest on sophistry rather than on truth. Yet I sought so long, until I actually proved this to be the case.

Refresentasi Geometris dan Aljabar Bilangan Imajiner

(15)

Ide pertama untuk menyatakan bilangan kompleks dalam bentuk geometris bersumber dari John Wallis pada tahun 1673. Sayangnya ekspresi geometris awal terhadap bilangan kompleks mengarah ke konsekuensi yang tidak diharapkan, yaitu dinyatakan pada titik yang sama dengan . Namun setidaknya representasi geometris ini memberikan

konsepsi baru terhadap bilangan kompleks sebagai ―titik pada bidang.‖ Upaya ini kemudian

diteruskan oleh Caspar Wessel, Abbe Buee dan Jean Robert Argand.

Pada tahun 1732, matematikawan berkebangsaan Swiss, Leonhard Euler mengadopsi gagasan representasi geometris untuk solusi persamaan berbentuk dan menyatakannya dalam bentuk . Euler juga adalah orang pertama yang menggunakan simbol i untuk . Di sisi lain, dalam risalahnya Euler menulis, ―…for we may assert that they are neither nothing, not greater than nothing, nor less than nothing, which necessarily renders them imaginary or impossible.

Jelasnya, setelah ia memperlakukan bilangan imajiner secara matematis dan formal, dan menunjukan bahwa i mempunyai validitas matematis, pada akhirnya harus ia katakan bahwa eksistensi i dalam realitas adalah impossible, atau paling tidak ―mental reality‖ belum mampu meletakan status ontologisnya.

Dua matematikawan lain yang turut memberikan sumbangan penting terhadap pengembangan bilangan imajiner adalah Augustin-Louis Cauchy (1789—1857) dan Carl Friedrich Gauss (1777 – 1855). Cauchy menemukan beberapa teorema penting dalam bilangan kompleks, sedangkan Gauss menggunakan bilangan kompleks sebagai peralatan penting dalam pembuktian teorema fundamental dalam aljabar, yaitu terbukti bahwa melalui bilangan kompleks, terdapat solusi untuk setiap persamaan polinomial berderajat n. Dalam paper yang dikeluarkan tahun 1831, Gauss menyatakan representasi geometris untuk bilangan kompleks x + iy dengan titik (x, y) dalam bidang kordinat. Ia juga menjelaskan operasi-operasi aritmetika dengan bilangan kompleks ini.

Atas dasar usaha Gauss, bilangan kompleks mulai disadari legitimasinya. Sebagian ahli matematika meyakini keberadaan bilangan kompleks dan berusaha memahaminya, sebagian yang lain tidak, dan sebagian lagi meragukannya. Pada tahun 1833 William Rowan Hamilton menyatakan bilangan kompleks sebagai pasangan bilangan (a, b). Kendati kelihatannya hanya sebuah ekspresi lain alih-alih a + ib, dengan maksud agar lebih mudah ditangani melalui aritmetika. Usaha ini memicu Karl Weierstrass, Hermann Schwarz, Richard Dedekind, Otto Holder, Henri Poincare, Eduard Study, dan Sir Frank Macfarlane Burnet untuk merumuskan teori umum tentang bilangan kompleks. Dan atas upaya August Möbius aplikasi bilangan kompleks ke dalam geometri menjadi lebih jelas bentuk-bentuk formula transformasinya.

Genuine Logical Problems

Pada tahun 1831 Augustus DeMorgan berkomentar dalam bukunya, On the Study and Difficulties of Mathematics,

We have shown the symbol √(-1) to be void of meaning, or rather self-contradictory and absurd. Nevertheless, by means of such symbols, a part of algebra is established which is of great utility.

(16)

. Masalahnya adalah (-1)(-1) = 1 dan

. Tetapi . Jadi identitas tidak

berlaku ketika a dan b adalah bilangan negatif.

Di sisi lain notasi bilangan imajiner mengarah ke classic fallacy, sebagai contoh Philip Spencer memberikan 10 langkah pembuktian falasi 1=2 berkaitan dengan notasi bilangan imajiner ini :

Dilihat dari sejarah penemuan dan pengembangan bilangan imajiner, dan juga dari permasalahan logika di atas, notasi bilangan imajiner memegang peranan penting sebagai peralatan matematis dalam persoalan persamaan polinomial. Hal ini sebagaimana dikukuhkan oleh Gauss melalui teorema fundamental aljabar. Tetapi seperti yang dicatat Euler dan diperlihatkan oleh deMorgan, ia belum terlihat sebagai objek matematika dengan status ontologis yang jelas.

PENUTUP

Kunci keberhasilan proses belajar mengajar adalah interaksi antara guru dan siswa.

Dengan melihat dan mendengarkan saja. Belum tentu siswa belajar, atau siswa belajar yang salah.

Waktu percobaan siswa harus di upayakan untuk berfikir. Kadang-kadang percobaan dapat di

hentikan sebentar sedang siswa diberi tugas atau pertanyaan dulu. Persiapan Tanya jawab adalah

tugas yang terpenting dalam persiapan percobaan. Dalam beberapa percobaan guru dapat

meminta siswa untuk meramalkan hasil percobaan dan menulis ramalan serta penjelasan. Tugas

ramalan justru sangat penting dalam percobaan dengan hasil yang tidak cocok dengan intuisi

siswa. Dalam percobaan semacam itu, kebanyakan siswa merasa mampu untuk meramalkan hasil,

tetapi jika hasil percobaan berbeda dengan intuisi siswa, motivasi mereka untuk memahami

(17)

Dalam kegiatan ini siswa di hadapkan dengan suatu masalah, di minta meramalkan apa

yang terjadi jika ….. kemudian sesudah ramalan, guru menguji ramalan dengan percobaan di

depan kelas. Jika hasil tidak cocok dengan ramalan tadi, siswa mengalami konflik kognitif yang dapat menghasilkan perubahan jaringan konsep dalam otak siswa (perubahan struktur

kognitifnya). Perubahan ini belum tentu benar masih bias salah juga, maka melalui penggunaan

teorinya secara aktif dalam sejumlah masalah yang tepat, siswa di latih dan diarahkan kepada

teori yang benar menurut model ilmuwan sekarang, jika hasil percobaan cocok dengan ramalan,

siswa akan merasa sangat puas yang akan diekspresikan dengan berteriak kegirangan atau

berjingkrak-jingkrak secara spontan.

Dalam pembelajaran matematika miskonsepsi bisa saja terjadi dan hal tersebut ternyata

menjadi awal kokohnya pengetahuan yang dimiliki siswa, mahasiswa maupun pembelajar itu

sendiri. Tulisan ini dimodifikasi dari beberapa referensi untuk lebih mengembangkan

pengetahuan pembelajar, silahkan anda telusuri referensi berikut;

Bibliografi

Bacaan online mungkin anda bisa telusuri kembali:

History of Complex Numbers (also known as History of Imaginary Numbers or the History of i), http://rossroessler.tripod.com/

Humanity and Imaginary Numbers: Why History is More Important than Math and Science,

http://hubpages.com/hub/Humanity-and-Imaginary-Numbers-Why-History-is-More-Important-than-Math-and-Science

 Jyce, David. 1999. Complex numbers: the number i,

http://www.clarku.edu/~djoyce/complex/numberi.html

 Mathews & Howell. 2006. The Origin of Complex Numbers,

http://math.fullerton.edu/mathews/n2003/ComplexNumberOrigin.html

 Shaw, Amanda. 2007. God and Imaginary Numbers, First Things,

http://www.firstthings.com/onthesquare/2007/09/god-and-imaginary-numbers

 Statemaster, Encyclopedia. Imaginary numbers,

http://www.statemaster.com/encyclopedia/Imaginary-numbers

 Wikipedia. Complex Numbers, http://en.wikipedia.org/wiki/Complex_number

BAHAN RUJUKAN Lainnya

Ausubel, Novak, Hanesan, 1978, Educational Psychology, Winston Holt,Renehart Berg, Ed Van Den dkk.1991. Buku Sumber Fisika Esperimental. Salatiga : UKSW

Indrawati. 2002. Model Pembelajaran IPA. Bandung : Pusat Pengembangan Penataran Guru IPA Merril 1995 Physical Science, Enrichment. Teacher edition. New York. Glencoe

McMilan/McGraw-Hill

Nur, M. 2002 : Buku Panduan Keterampilan Proses dan Hakikat Sains Surabaya : University Press

Nur, M dan Samami, M.1996. Teori Pembelajaran IPA dan Hakekat Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta. Depdikbud.

Suparno, Paul. 1993. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan Yogyakarta : Kanisius 2005. Model-model Pengajaran Dalam Pembelajaran Sains. Jakarta. Depdikbud. Dirjendikdasmen

(18)

Sumber lain, penulis telah telusuri:

Mutaqin, Anwar. 2010. Miskonsepsi Matematika. [online]. Tersedia: https://anwarmutaqin.wordpress.com/2010/03/02/miskonsepsi-matematika/[28 Oktober 2014]

Rumallang, Roni M. 2011. Konflik Kognitif Sebagai Salah Satu Pendekatan Pembelajaran Strategi Belajar. [online]. Tersedia: http://ejurnal.fip.ung.ac.id/index.php/PDG/article/ viewFile/277/271 [29 Oktober 2014]

Suparno, Paul. 1993. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius 2005.

Referensi

Dokumen terkait

Pada pola monokultur, kadar sari larut alkohol tertinggi (19,81%) diperoleh pada perlakuan dosis 20 ton kompos + 500 kg fosfat alam + 60 kg pupuk bio, lebih tinggi

Table Basic unit of storage; composed of rows View Logically represents subsets of data from.. one or

Sebagian besar penduduk usia kerja pada wilayah pedesaan di Kabupaten Kampar bekerja pada lapangan usaha perkebunan sebanyak 109.179 orang yang terdiri dari laki-laki sebanyak

Dalam konsideran menimbang , dapat dipahami bahwa hukum adat Dapek Salah seyogyanya merupakan hukum adat yang memang ada, lahir tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Kota

Peranan Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Kasus Pada PT. Asuransi Jiwasraya Madiun Branch Office). Skripsi Program Sarjana, Jurusan Manajemen, Universitas

'3 ('ropiltiourasil menghambat sintesis hormon tiroid dengan memhambat oksidasi dari iodin dan menghambat sintesistiroksin dan triodothyronin. ?bat ini

[r]

Untuk membuktikan bahwa pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, sisa lebih pembiayaan modal, dan luas wilayah secara parsial atau individu