Grand Launching Majalah Entropi
XXVI
Indonesia boleh berbangga hati memiliki kekayaan mineral yang melimpah ruah. Sayangnya, kekayaan mineral yang dimilikinya berbanding terbalik dengan kemakmuran rakyatnya. Salah satu penyebabnya adalah dikuasainya sebagian besar mineral Indonesia oleh pihak asing dan
ketidakmampuan Bangsa Indonesia dalam mengeolah bahan mineral mentah menjadi barang jadi, sehingga bangsa Indonesia cenderung mengekspor mineral mentah lalu mengimpornya kembali dalam bentuk barang jadi dengan harga yang berkali-kali lipat lebih mahal.Dikeluarkannya Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) Tahun 2009 tentang pelarangan ekspor mineral
mentah dan kewajiban membangun smelter mendorong pengeolahan mineral mandiri. Hal-hal itulah yang mendorong Entropi, Badan Jurnalis Teknik Kimia UGM, menjadikan “Mineral Processing” sebagai tema dari Majalah Entropi XXVI dan melakukan acara Grand Launching Majalah Entropi XXVI.
LEMBAGA PENERBITAN DAN PERS MAHASISWA
Entropi
DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA UNIVERSITAS GADJAH MADA Jalan Grafika no. 2, Yogyakarta
Email: entropikmtkugm@gmail.com | website: http://entropi-ugm.com |
Menjawab Tantangan Industri: Nickel Pig Iron Ramah Lingkungan
Acara dibuka dengan mini talk show antara Devi Sapmita selaku moderator dengan Andreas Diga Pratama P., S.T. selaku peneliti mineral processing sekaligus Alumni Teknik Kimia UGM. Pada sesi tersebut, Andreas menjelaskan mengenai penelitiannya dalam memodifikasi proses pembuatan Nickel Pig Iron (NPI) sehingga lebih ramah lingkungan.
NPI sendiri adalah nickel-alloy stainless steel (paduan stainless steel dan nikel) tingkat rendah yang dibuat melalui skema baru. Berbeda dengan proses pembuatan nickel-alloy stainless steel
sebelumnya yang dilakukan dengan menggabungkan nikel berkadar tinggi dengan besi berkadar tinggi, proses pembuatan NPI dilakukan dengan mengeolah nickel laterite, batuan yang sejak dari awal memiliki kandungan besi dan nikel, sehingga ketika diolah langsung diperoleh produk alloy besi-nikel. Dengan proses seperti itu, kita dapat menghindari proses pemurnian nikel dan besi, sehingga biaya produksi lebih murah. Selain itu, berbeda dengan pembuatan ferronickel
sebelumnya, proses pembuatan NPI menggunakan batuan laterit, batuan berkadar nikel rendah, sebagai bahan baku yang tersedia melimpah di Indonesia.
Dibalik kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, proses NPI memiliki kelemahan yaitu emisi
karbondioksida (CO2) yang dihasilkannya besar sehingga tidak ramah lingkungan sehingga menerima
banyak kritikan.Hal ini juga lah yang melatarbelakangi Andreas untuk melakukan penelitian ini. Pengeolahan NPI selama ini menggunakan kokas (karbon padat yang berasal dari distilasi batu bara rendah abu dan rendah sulfur) yang menambah akumulasi karbon di udara sehingga tidak ramah lingkungan. Hal ini karena kokas berasal dari dalam tanah, sehingga jika dibakar akumulasi karbon berpindah dari dalam tanah ke udara. Oleh sebab itu, beliau meneliti untuk mengganti kokas keseluruhan dengan paduan antara tempurung kelapa dan kokas, sehingga secara konseptuak emisi karbon di atas tanah tidak bertambah.
Sayangnya, penelitian di Laboratorium DTK hingga saat ini baru sampai pada karakterisasi proses reduksi laterit dengan berbagai macam biomassa secara kimiawi, sehingga masih banyak yang harus dipersiapkan untuk meng-subtitusi kokas dengan biomassa dalam skala industri.Sesi talk show,
“Biarkanlah sumber daya Indonesia membusuk di tanah Indonesia
daripada diolah oleh bangsa lain”- Andreas Diga Pratama P., S.T.
Setelah talk show antara moderator dan Andreas berakhir, acara dilanjutkan dengan presentasi oleh Dr. Fahmy Radhi, M.B.A., selaku dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM dan juga mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas. Menurutnya, Bangsa Indonesia belum benar-benar merdeka, bangsa ini masih terjajah secara ekonomi oleh bangsa lain. Pembahasannya difokuskan tentang Freeport karena besarnya kekayaan alam yang telah “dicuri”oleh Freeport dan ironinya kehidupan masyarakat sekitar, masyarakat Papua, yang hidup dibawah kemiskinan.
Pencurian Legal oleh PT. Freeport Indonesia
Seperti yang kita ketahui bersama, Amerika adalah negara yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Perbuatan baik tersebut tidak dilakukan secara cuma-cuma. Tersembunyi sebuah keinginan untuk menguasai sumber daya alam Indonesia yang melimpah.
Keinginan ini seolah dikhianati oleh keengganan Presiden Soekarno membiarkan Amerika
mengambil kekayaan Indonesia. Bahkan, menurut beberapa sumber, Amerika ikut mengambil peran dalam menurunkan presiden Soekarno.
LEMBAGA PENERBITAN DAN PERS MAHASISWA
Entropi
DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA UNIVERSITAS GADJAH MADA Jalan Grafika no. 2, Yogyakarta
Email: entropikmtkugm@gmail.com | website: http://entropi-ugm.com |
Pada awal berdirinya, PT FI dikira adalah perusahaan tambang tembaga, namun kenyataanya PT FI malah mengeruk emas yang jauh lebih bernilai daripada tembaga. Hingga tahun 1971, Indonesia hanya bisa pasrah melihat emas dan kekayaan alam terus diambil dengan balasan yang sangat tidak sebanding dengan banyaknya emas yang diambil. Barulah mulai tahun 1972, Freeport harus
membayar royalti kepada pemerintah. Sayangnya, besarnya royalti yang diberikan kepada
pemerintah juga masih belum signifikan karena emas yang diekspor hanya berupa barang mentah. Setelah sekian lama membiarkan kekayaan alam-nya “dicuri”, akhirnya pemerintah bereaksi dengan mengeluarkan UU no. 4 Tahun 2009 mengenai pelarangan ekspor konsentrat dan mengharuskan mineral untuk diproses di smelter dalam negeri sebelum di ekspor mulai lima tahun ke depan, alias tahun 2014. Menjelang tahun 2014, PT FI baru membangun sebagian kecil smelter-nya padahal beliau meyakini PT. FI dapat membangun smelter dengan banyaknya dana yang dimilikinya dan waktu yang cukup lama yang diberikan pemerintah.
Tekanan yang diberikan pemerintah ke PT FI untuk segera menyelesaikan pembuatan smelter,
dibalas dengan memberikan ancaman ke pemerintah melalui menghentikan produksi dan
melakukan PHK karyawan besar-besaran yang kebanyakan berasal dari Indonesia. Selain itu, PT FI juga mengancam pemerintah Indonesia lewat arbitrase, pengajuan sengketa internasional kepada
arbitrator (pengadil) yang dipilih)
Entah takut degan ancaman PT FI atau punya pertimbangan khusus, pemerintah “menjilat ludahnya sendiri” dengan kembali mengizinkan PT FI untuk mengekspor kosentrat yang berarti melanggar peraturan yang dibuatnya sendiri melalui Peraturan Menteri (Permen) yang dikeluarkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang saat itu dijabat Jero Wacik.
Pergantian pemerintahan dari Presiden SBY ke Presiden Jokowi diharapkan dapat membawa perubahan yang lebih baik, namun sayang Menteri ESDM pertama era Presiden Jokowi, Sudirman Said, tetap saja mengeluarkan izin ekspor setiap tahun yang katanya berdasarkan hasil evaluasi.
Re-Shuffle menteri Hari Selasa pada 26 Februari 2016 turut mengganti Mentri ESDM Sudriman Said dengan Arcandra Tahar. Walau hanya menjabat selama dua puluh hari akibat kasus
kewarganegaran, sempat-sempatnya Arcandra Tahar mengizinkan PT FI melakukan ekspor kosentrat walau tak ada kemajuan dalam pembangunan smelter.
Menteri ESDM ke-tiga era Jokowi, Ignatius Jonan seolah memberi harapan kepada pemuda
Menurut beliau ada tiga alternatif yang dapat diambil pemerintah untuk membiarkan PT FI, yaitu:
1. Menasionalisasi PT FI berdasarkan UU Nomor 86 Tahun 1958
Nasionalisasi berarti mengambil alih kepimilkan perusahaan milik swasta atau asing. Penerbitan UU itu pada awalnya merupakan bentuk lanjutan atas proses nasionaliasi terhadap
perusahaan-perusahaan Belanda yang dimulai tahun 1956 ketika Indonesia awal merdeka. Venezuela adalah contoh negara yang mengambil langkah nasionalisasi setelah sekian lama merdeka, 206 tahun merdeka, kepada perusahaan-perusahaan tambang asing yang dinilai Presiden Venezuela kala itu, Hugi Chavez, telah merugikan Venezuela. Dampak dari nasionaliasi tersebut adalah marahnya dunia, terutama Amerika, yang ketika mengetahui banyak perusahaannya, terutama PT Chevron Mobile, diambil alih pemerintah Venezuela sehingga Venezuela dikucilkan dalam “pergaulan” internasional. Jika pemerintah hendak melakukan nasionalisasi terhadap PT FI disarankan perlu adanya rencana matang terhadap segala kemungkinan, seperti sanksi dan arbitarasi yang mungkin malah semakin memperburuk keadaan.
2. Mengubah Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan
Khusus (IUPK) bedasarkan Undang-undang Mineral dan Batu Bara
(UU Minerba) dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017
LEMBAGA PENERBITAN DAN PERS MAHASISWA
Entropi
DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA UNIVERSITAS GADJAH MADA Jalan Grafika no. 2, Yogyakarta
Email: entropikmtkugm@gmail.com | website: http://entropi-ugm.com |
a. Dalam KK, kedudukan PT FI dan pemerintah sejajar. Tetapi dalam IUPK, negara adalah pemberi izin yang berada di atas perusahaan pemegang izin.
b. Pasal 131 UU Minerba menyebutkan, besarnya pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dipungut dari pemegang IUPK ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ini adalah bagian yang paling ditentang PT FI karena degan ini maka terjadi ketidakpastian akan besarnya pajak yang seharusnya dibayar sebab pemerintah dinilai dapat mengubah perundang-undangan sesukanya.
c. Pada IUPK, perusahaan tambang asing wajib melakukan divestasi saham hingga 51% kepada pihak Indonesia, secara bertahap setelah 10 tahun memasuki masa produksi. Tentu PT FI keberatan jika harus melepaskan mayoritas sahamnya.
3. Menunggu Kontrak PT FI habis saat 2021
PT FI telah mengelola tambang di Timika sekitar 47 tahun terhitung mulai menandatangani Kontrak Karya (KK) pertama di tahun 1967. Perpanjangan kontrak yang dilakukan pada tahun 1991 selama 30 tahun berarti kontrak PT FI akan habis pada tahun 2021. Jadi, cukup dengan tidak menyetujui perpanjangan kontrak, pemerintah kembali menguasai kekekayaan Indonesia yang selama ini “dicuri secara ilegal” oleh PT FI. Menurutnya cara inilah yang terbaik sebab tidak menimbulkan kegaduhan nasional maupun internasional dan tidak perlu mengeluarkan uang besar-besaran.
Salah satu ungkapan ketidaksetujuannya akan Peraturan Menteri yang bertentangan dengan UU nomor 4 tahun 2009, saat ini beliau bergabung dengan Koalisi Masyarakat Sipil, organisasi pengawal konstitusi sumber daya alam.
Sebagai penutup, Dr. Fahmy menuturkan bahwa dia sangat mendukung kegiatan menulis, seperti pembuatan majalah yang dilakukan Entropi. Sebab dengan menulis, kita dapat mengabadikan pemikiran kita. Beliau juga menceritakan pengalamannya yang kaget ketika dipanggil menjadi anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas mewakili UGM. Saat dipanggil oleh Faisal Basri selaku Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas, beliau bertanya alasan mengapa dirinya yang dipanggil padahal beliau dengan Faisal Basri belum pernah kenal sebelumnya. Namun Faisal Basi berujar bahwa dia mengenalnya, sangat mengenalnya, melalui tulisan yang dibuat Dr. Fahmy.
Kita boleh bekerja di perusahaan multinasional, tetapi darah kita
harus tetap merah putih-
Dr. Fahmy Radhi, M.B.A.
Penyampaian materi yang disampaikan Dr. Fahmy diakhiri dengan tepuk tangan meriah dari peserta Grand Launcing. Moderator kemudian mempersilahkan peserta untuk memberi pertanyaan baik kepada Andreas maupun Dr. Fahmy selaku pembicara.
Pertanyaan yang ditujukan kepada Dr. Fahmy, dijawab oleh beliau dengan menuturkan bahwa KAMI (koalisi masyarakat sipil) menggugat PERMEN yang bertentangan dengan undang-undang, bukan berusaha mengganti kepemilikan dari PT FI.
Merasa kurang puas, Adrianto kembali bertanya kepada Dr. Fahmy, “Mengapa permasalahan PT FI tidak dibawa ke badan internasional seperti arbitrase internasional?” ujarnya.
“Karena pelik. Ketika Permen yang mengijijnkan masih bertentangan dengan Undang-undang yang berlaku itu sendiri.” jawab Dr. Fahmy
Sie bertanya pun diakhiri dengan presentasi dari Ketua Sie Editor Majalah Entropi XXVI mengenai