Seminar Studi Pustaka
POTENSI PEMANFAATAN LIMBAH INDUSTRI SAWIT
TERHADAP PERTAMBAHAN BERAT BADAN
SAPI PERANAKAN ONGOLE
Oleh :
ANDI NURUL AINUN ARIF I 111 11 045
PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
POTENSI PEMANFAATAN LIMBAH INDUSTRI SAWIT
TERHADAP PERTAMBAHAN BERAT BADAN
SAPI PERANAKAN ONGOLE
Oleh :
Andi Nurul Ainun Arif I 111 11 045
PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
HALAMAN PENGESAHAN
Nama : Andi Nurul Ainun Arif Nim : I 111 11 045
Judul : Potensi Pemanfaatan Limbah Industri Sawit terhadap Pertambahan Berat Badan Sapi Peranakan Ongole
Makassar, Desember 2014
Telah disetujui,
Panitia Seminar Dosen Pembimbing
Dr. Muh. Ihsan A. Dagong, S.Pt, M.Si Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc NIP. 19770526 200212 1 003 NIP. 19641231 198903 1 025
Mengetahui,
Ketua Program Studi Peternakan
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah studi literatur yang berjudul “Potensi Pemanfaatan Biomassa Sawit Terhadap Pertambahan Berat Badan Sapi Peranakan Ongole”, sebagai salah satu syarat
dalam menyelesaikan tugas dari mata kuliah seminar.
Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H Sudirman Baco, M.Sc selaku pembimbing penulisan makalah seminar studi pustaka yang telah mencurahkan perhatian untuk membimbing dan mengarahkan Penulis dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak terdapat kekurangan maupun kesalahan. Oleh karena itu kritik dan saranyang membangun sangat Penulis harapkan untuk perbaikan makalah ini.
Makassar , Desember 2014
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... v
PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 2
PEMBAHASAN ... 3
A. Gambaran Umum Sapi Peranakan Ongole ... 3
B. Bahan Pakan Sapi Potong ... 4
C. Kelapa Sawit ... 6
D. Pertambahan Bobot Badan ... 12
E. Pertambahan Bobot Badan Sapi Peranakan Ongole (PO) yang Diberi Biomassa Sawit... 13
PENUTUP ... 18
A. Kesimpulan ... 18
B. Saran ... 18
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Komposisi Gizi Limbah Sawit ... 7 2. Formulasi Pakan Perlakuan ... 14 3. Rataan pertambahan berat badan sapi yang diberi pelepah sawit ...
14
4. Kenaikan bobot badan ternak yang diberi pakan tambahan solid 15
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ternak potong adalah jenis ternak yang dipelihara untuk menghasilkan daging sebagai produk utamanya. Tingginya permintaan masyarakat atas kebutuhan daging membuat pemerintah harus
melaksanakan swasembada daging. Data Dirjen Peternakan
(2008) pada tahun 2006-2007 menyatakan bahwa kebutuhan
nasional daging sapi pada tahun 2006 adalah 395,80 ton. Hal ini
juga terjadi pada tahun 2007 yaitu sebanyak 418,20 ton
akibatnya terjadi perlambatan peningkatan produksi daging.
Daging merupakan salah satu produk utama ternak di
samping telur dan susu yang hampir tidak dapat dipisahkan dari
kehiupan manusia. Permintaan akan daging meningkat seiring
dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi yang baik
dan meningkatnya pendapatan masyarakat baik di negara yang
sedang berkembang maupun negara-negara maju. Salah satu
jenis ternak di Indonesia yang cukup populer untuk menghasilkan
daging adalah Sapi Peranakan Ongole.
dengan pasokan daging dalam negeri semakin besar yang menyebabkan impor daging sapi bakalan meningkat terus menerus sekitar 500.000 ekor/tahun, bahkan diperkirakan telah mencapai 1.200.000 ekor yaitu sapi bakalan 400.000 ekor tambah daging setara 400.000 ekor dan jeroan setara 400.000 ekor. Hal itu disebabkan karena sebagian besar usaha penggemukan sapi yang dilakukan di peternakan rakyat hanya digunakan sebagai usaha tradisional dengan pemberian pakan seadanya sehingga mempunyai produktivitas yang rendah.
Pakan merupakan salah satu faktor penentu utama yang mempengaruhi keberhasilan suatu usaha peternakan. Salah satu upaya untuk menyediakan pakan yang cukup bagi ternak adalah memanfaatkan seoptimal mungkin lahan, serta pemanfaatan limbah dan produk samping komoditi perkebunan dan pertanian, baik dengan pola integrasi maupun dengan diversifikasi. Usaha ini sekaligus dapat memberi nilai tambah bagi perkebunan, petani, dan peternak.
Dari uraian tersebut di atas maka salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah itu adalah dengan melakukan penggemukan. Penggemukan untuk mendapatkan penambahan bobot badan merupakan usaha terbaik dalam meningkatkan produktivitas dan kualitas ternak sapi, karena pada usaha penggemukan dapat diberikan pakan yang sesuai dengan kebutuhan, berenergi tinggi dan bermutu baik. Atas dasar inilah dilakukan seminar pustaka tentang potensi pemanfaatan biomassa sawit terhadap pertambahan berat badan Sapi Peranakan Ongole.
B. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Sapi Peranakan Ongole (PO)
Sapi Peranakan Ongole terbentuk sebagai Grading Up sapi jawa dengan sapi Sumba Ongole (SO) disekitar tahun 1930. Sapi PO mempunyai warna kelabu kehitam-hitaman, dengan bagian leher, kepala dan lutut berwarna gelap sampai hitam. Bentuk tubuhnya besar dengan kepala relatif pendek, profil dahi cembung, bertanduk pendek. Punuknya besar mengarah ke leher, mempunyai gelambir dan lipatan-lipatan kulit di bawah perut dan leher (Hadjosubroto, 1994).
Menurut Blakely and Bade (1985), klasifikasi zoologis sapi Peranakan Ongole adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Mammalia Ordo : Artiodaktila Sub Ordo : Ruminansia Family : Bovidae Genus : Bos
Sapi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi Peranakan Ongole (PO) karena sapi PO lebih banyak dijumpai di masyarakat. Menurut Sarwono (2003), sapi Ongole adalah sapi keturunan sapi liar Bos indicus yang berhasil dijinakkan di India. Di Indonesia, sapi ini dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu Sumba Ongole (SO) dan Peranakan Ongole (PO). Persilangan antara SO dengan sapi setempat di Jawa menghasilkan anakan yang mirip sapi Ongole sehingga disebut dengan istilah Peranakan Ongole (PO).
Populasi sapi potong pada tahun 1991 adalah 10 juta dan dari jumlah tersebut 46% (4,6 juta) adalah sapi PO. Dari jumlah ini 3,7 juta (80%) sapi PO berada di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Pada tahun 2001 perkiraan jumlah sapi potong di Indonesia adalah 11,1 juta terdiri dari 5,4 juta sapi asli dan sapi lokal serta 5,7 juta bangsa sapi lainnya. Dari total populasi tersebut 7,81% (874.000) berupa sapi PO dan 74,58% berada di Jawa (Astuti, 2004).
Ciri khas sapi Ongole adalah berbadan besar, berpunuk besar, bergelambir longgar dan berleher pendek. Kepala, leher, gelambir (gumba) dan lutut berwarna hitam, terutama pada sapi jantan. Kulit berwarna kuning dengan bulu putih atau putih kehitam-hitaman. Kulit disekeliling mata, bulu mata, moncong, kuku dan bulu cambuk pada ujung ekor berwarna hitam. Kepala pendek dengan profil melengkung, mata besar dengan sorot yang tenang. Tanduk pendek dan tanduk pada sapi betina berukuran lebih panjang dibandingkan sapi jantan. Telinganya panjang dan menggantung (Astuti, 2004).
B. Bahan Pakan Sapi Potong
serta tidak menganggu kesehatan ternak. Pakan yang baik berpengaruh positif terhadap pertambahan bobot badan, selain itu pakan merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi pertumbuhan (Susetyo, 2001). Hal ini sejalan dengan pendapat Parakkasi (1995) yang menyatakan bahwa pakan merupakan semua bahan yang bisa diberikan dan bermanfaat bagi ternak serta tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap tubuh ternak. Pakan yang diberikan harus berkualitas tinggi yaitu mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh ternak untuk kehidupannya seperti air, karbohidrat, lemak, protein, dan mineral.
Pakan merupakan sumber zat gizi yang diperlukan untuk hidup pokok dan pertumbuhan. Karena pakan merupakan sumber zat gizi, ternak sapi tidak saja perlu pakan dalam jumlah yang cukup (kuantitasnya) namun juga diperlukan pakan yang berkualitas. Kualitas dan kuantitas pakan dapat mempengaruhi pola pertumbuhan ternak yang bersangkutan sehingga kombinasi keduanya akan memberikan peluang kepada ternak untuk mendapatkan sejumlah zat gizi yang dibutuhkan. Pakan yang berkualitas baik biasanya dapat dikonsumsi oleh ternak dalam jumlah yang banyak, dibanding dengan pakan berkualitas rendah. Ternak yang mampu mengkonsumsi pakan yang lebih banyak maka produksinya relatif tinggi. Kualitas pakan hijauan rumput dapat ditingkatkan dengan penambahan konsentrat untuk memacu pertumbuhan pada penggemukan ternak (Chalidjah, Sariubang, Pongsapan dan Prasowo, 2000).
Bahan pakan dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu pakan kasar (hijauan) dan konsetrat. Pakan kasar adalah pakan yang mengandung serat kasar 18 %, jenis pakan kasar (hijauan) antara lain hay, silase, rumput-rumputan, leguminosa. Hijauan pakan merupakan makanan utama bagi ternak ruminansia dan berfungsi sebagai sumber nutrisi yaitu protein, energi, vitamin, dan mineral. Hijauan yang ada di daerah tropis pada umumnya cepat tumbuh, namun kualitasnya lebih rendah dari hijauan di daerah sub tropis. Oleh karena itu, ternak ruminansia yang diperuntukkan bagi produksi daging harus memperoleh konsentrat selain pemberian hijauan agar tercapai pertumbuhan ternak yang cepat (Siregar, 1994). Konsentrat adalah bahan pakan yang mengandung serat kasar kurang dari 18%, dimana konsentrat mudah dicerna dan merupakan sumber zat pakan utama seperti energi dan protein bagi ternak (Murtidjo, 1993). Pilliang (1997) disitasi Waruwu (2002) menyatakan ternak ruminansia harus mengkonsumsi hijauan sebanyak 10% dari berat badannya setiap hari dan konsentratnya sekitar 1,5-2% dari jumlah tersebut termasuk suplementasi vitamin dan mineral. Oleh karena itu, hijauan dan sejenisnya terutama dari berbagai spesies merupakan sumber energi utama ternak ruminansia.
C. Kelapa Sawit
dan hingga saat ini (2011) luas tanam telah mencapai 8,1 juta Ha serta menduduki urutan pertama dunia dalam luas tanam (Devendra, 1977).
Bahan pakan dari pelepah sawit dan ikutan pabrik sawit memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai pakan ternak sapi potong. Sebagai perbandingan kandungan nutrisi pelepah sawit dengan limbah sawit lainnya dapat dilihat pada di bawah ini.
Tabel 1. Komposisi Gizi Limbah Sawit
Jenis Limbah Sawit kasar (%)Protein Serat kasar(%) Abu (%)
Energi
Sebagai konsekuensi makin meningkatnya luas tanam kelapa sawit, adalah makin meningkatnya pula produk samping tanaman dan hasil ikutan pengolahan buah kelapa dan inti sawit yang sedikit banyak akan menimbulkan problem baru dan perlu diantisipasi. Salah satu cara pemecahannya adalah dengan memanfaatkan ternak, khususnya ternak ruminansia sebagai pabrik biologis yang dapat memanfaatkan biomasa produk samping industri tersebut sebagai bahan baku pakan, sekaligus dapat dijadikan media penyedia bahan baku pupuk organic (Devendra, 1977).
Pelepah Daun Sawit
akan menyulitkan ternak dalam mengkonsumsinya. Masalah tersebut dapat diatasi dengan pencacahan yang dilanjutkan dengan pengeringan dan penggilingan. Pemanfaatan pelapah daun kelapa sawit sebagai bahan pakan ruminansia disarankan tidak lebih dari 30%. Untuk meningkatkan konsumsi dan kecernaan pelapah daun kelapa sawit, dapat ditambahan produk sampingan lain dari kelapa sawit. Pemberian pelapah daun kelapa sawit sebagai bahan pakan dalam jangka panjang menghasilkan kualitas karkas yang baik (Balai Penelitian Ternak, 2003).
Penggunaan pelepah daun sawit dalam pakan telah dicobakan pada sapi pedaging dan perah dan ternyata dapat diberikan sebesar 30-40% dari keseluruhan pakan (Devendra, 1977).
Bungkil Inti Sawit
Menurut Devendra (1977), Bungkil Inti Sawit (BIS) adalah limbah hasil ikutan dari ekstraksi inti sawit. Bahan ini diperoleh dengan proses kimiawi atau cara mekanik. Walaupun kandungan proteinnya agak baik tapi karena serat kasarnya tinggi dan palatabilitasnya rendah menyebabkan kurang cocok bagi ternak monogastrik dan lebih cocok pada ternak ruminansia.
Bungkil inti sawit merupakan produk samping yang berkualitas karena mengandung protein kasar yang cukup tinggi 16-18%. Sementara kandungan serat kasar mencapai 16%. Pemanfaatan perlu disertai produk samping lainnya untuk mengoptimalkan penggunaan bungkil ini bagi ternak. Bungkil inti sawit dapat diberikan 30% dalam pakan sapi (Batubara et al., 1993).
Serat Perasan Buah Kelapa Sawit
digunakan sebagai pupuk. Sebagai bahan campuran makanan ternak, serat perasan buah kelapa sawit ini cenderung cocok diberikan kepada ternak ruminansia karena kandungan serat kasarnya, terutama ligninnya tinggi. Tingkat penggunaan serat perasan kelapa sawit dalam pakan sapi dan kerbau adalah 10-20%, sedangkan untuk domba dan kambing 10-15% (Jalaludin dan Hutagalung, 1982).
Menurut Hasan dan Ishida (1991) serat perasan buah dapat digunakan sebagai pakan ruminansia walaupun nilai kandungan gizi rendah, serat perasan buah kelapa sawit yang dapat diberikan lebih kurang 20% dari total ransum.
Solid
Merupakan limbah padat hasil samping prosesing pengolahan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit menjadi minyak mentah kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) bentuk dan konsistensinya seperti ampas tahu namun berwarna coklat gelap, berbau asam-asam manis, masih mengandung minyak CPO sekitar 1,5%. Limbah tersebut merupakan limbah pabrik pengolahan kelapa sawit. Solid dalam bahasa Jawa disebut “Blondho Sawit”. Tujuan pemanfaatan solid adalah untuk mengatasi masalah ketersediaan pakan terutama pada saat musim kemarau (Utomo et al., 1999).
Di Sumatera, solid dikenal sebagai lumpur sawit, namun solid biasanya
sudah dipisahkan dengan cairannya sehingga merupakan limbah padat. Ada dua
macam limbah yang dihasilkan pada produksi CPO, yaitu limbah padat dan
limbah cair. Persentase limbah padat dan cair yang dihasilkan berdasarkan jumlah
tandan buah segar (TBS) yang diolah. Saat sekarang ini produksi limbah solid di
dua pabrik pengolahan CPO di Kabupaten Kotawaringin Barat sekitar 36−42
pada TBS yang diolah. Produksi TBS akan makin bertambah pada masa
mendatang seiring dengan makin luasnya area perkebunan kelapa sawit yang
berproduksi. Diharapkan dalam setiap 10.000 ha berdiri satu pabrik pengolahan
CPO (Widjaja et al. 2000b).
Perluasan kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah ditargetkan mencapai
area 1.557.752 ha. Apabila tanaman kelapa sawit sudah berproduksi semua, dan
setiap 10.000 ha terdapat satu pabrik, maka dalam kebun seluas itu akan terdapat
155 pabrik pengolahan kelapa sawit. Apabila tiap pabrik rata-rata menghasilkan
solid 20 t/hari maka setiap hari akan diperoleh 3.100 ton solid. Apabila seekor
sapi dapat mengkonsumsi solid + 20 kg/hari (jumlah yang biasa diberikan
peternak pada sapi dengan rata-rata bobot badan 250 kg), maka produksi limbah
tersebut akan dapat mencukupi kebutuhan pakan bagi + 155.000 ekor sapi/ hari.
Dengan demikian, keberadaan perkebunan kelapa sawit sangat menkadukung
pengembangan peternakan di masa mendatang. Hingga kini solid dapat diambil
secara cuma-cuma di pabrik pengolahan kelapa sawit. Alangkah sayangnya
apabila potensi yang sangat besar ini terabaikan begitu saja (Widjaja et al. 2000b).
Sejauh ini solid masih belum dimanfaatkan oleh pihak pabrik, tetapi hanya
dibuang begitu saja sehingga dapat mencemari lingkungan. Pihak pabrik
memerlukan dana yang relatif besar untuk membuang limbah tersebut, yaitu
dengan membuatkan lubang besar. Tentunya akan sangat menguntungkan bagi
pihak pabrik apabila solid dapat dimanfaatkan secara luas, antara lain sebagai
pakan ternak (Widjaja et al. 2000b).
Kelemahan solid untuk pakan adalah tidak tahan lama disimpan. Hal ini
tengik bila dibiarkan di tempat terbuka serta mudah ditumbuhi kapang yang
berwarna keputihan. Namun dari hasil pemeriksaan di laboratorium, kapang
tersebut tidak bersifat patogen (Utomo et al. 2002).
Solid dapat tahan lama apabila disimpan dalam tempat tertutup, misalnya
dalam kantong plastik hitam dengan meminimumkan jumlah oksigen yang masuk.
Teknologi sederhana ini terinspirasi oleh teknologi “silo”. Kantong plastik hitam
akan menggantikan fungsi bangunan silo. Jumlah oksigen dalam kantong plastik
diminimumkan dengan cara mengisap udara memakai pompa sepeda. Kantong
plastik dibuat rangkap tiga. Kantong plastik pertama diisi dengan solid kemudian
udaranya diisap dan ujungnya diikat. Selanjutnya bungkusan plastik dimasukkan
ke dalam kantong plastik kedua dan sebelum diikat, udara yang ada di dalamnya
diisap terlebih dahulu. Setelah diikat, bungkusan dimasukkan ke dalam kantong
plastik ketiga, dikeluarkan udaranya kemudian diikat. Daya simpan solid sangat
bergantung pada tempat penyimpanan (kualitas kantong plastik). Dengan cara ini
solid tahan disimpan lebih dari 1 bulan dengan warna relatif tidak berubah, yaitu
cokelat muda. Solid yang disimpan di tempat terbuka menjadi tengik (busuk) dan
warnanya menjadi kehitaman. Walaupun permukaan solid sudah berubah warna
(busuk), bagian dalamnya memiliki konsistensi dan warna yang tidak berubah
(Utomo et al. 2002).
Cara lain mengawetkan solid adalah dengan dibuat pakan blok
(dikeringkan). Dengan cara ini, selain daya simpan solid lebih lama, juga
kandungan nutrisinya lebih lengkap karena adanya beberapa bahan pakan lain
yang ditambahkan. Pakan solid dalam bentuk blok bisa diberikan baik untuk
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa solid berpotensi
sebagai sumber nutrisi baru untuk ternak dengan kandungan bahan kering
81,56%, protein kasar 12,63%, serat kasar 9,98%, lemak kasar 7,12%, kalsium
0,03%, fosfor 0,003%, dan energi 154 kal/100 g (Utomo et al. 1999). Pada uji
preferensi terhadap 25 ekor sapi Madura, solid pada akhirnya sangat disukai,
namun perlu waktu adaptasi 4−5 hari.
Pemanfaatan solid sebagai pakan ternak diharapkan dapat membantu
mengatasi masalah ketersediaan pakan terutama pada musim kemarau, serta
meningkatkan produktivitas ternak. Ratarata pertambahan bobot badan harian
(PBBH) sapi milik petani di Kabupaten Kotawaringin Barat yang tidak diberi
pakan solid jauh di bawah PBBH ternak yang diberi solid, yaitu hanya 250 g/ekor/
hari (Zulbardi et al. 1995). Hal ini disebabkan kualitas dan kuantitas pakan yang
diberikan, dalam hal ini rumput alam, relatif rendah. Sapi hanya dilepas di padang
penggembalaan yang umumnya hanya ditumbuhi alang-alang tanpa diberi pakan
tambahan (konsentrat). Solid sangat berpotensi sebagai sumber pakan lokal
mengingat kandungan nutrisinya cukup memadai, jumlahnya melimpah,
kontinuitas terjamin, terpusat pada satu tempat, murah karena dapat diminta
secara cuma-cuma, dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, solid memungkinkan untuk menjadi titik tolak agroindustri
pakan.
D. Pertambahan Bobot Badan
Avarage Daily Gain (ADG) dari individu atau sekelompok ternak dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:
ADG=Wt2−W1
1−t2
Dimana W2 dan W1 masing-masing adalah BB akhir dan awal penimbangan, sedangkan t1 dan t2 adalah periode lama waktu antara penimbangan awal sampai akhir (Cole, 1966). Kecepatan PBB ini diantarnya dipengaruhi oleh jumlah kosumsi pakan yakni makanan yang dihabiskan (Tillman dkk., 1998).
PBB merupakan salah satu hal yang cukup penting untuk diperhatikan karena dapat digunakan untuk mengetahui efisiensi dari pakan yang diberikan (Davis,1983). PBB terjadi cepat sekali pada fase-fase sebelum dewasa tubuh, setelah itu kecepatan pertumbuhan berkurang terus hingga pada ahirnya akan tetap setalah ternak mencapai dewasa (Tulloh, 1978). Pertumbuhan yang cepat pada ternak muda dapat dipacu dengan pemberian pakan yang berkualitas tinggi dan dalam jumlah yang cukup, tetapi untuk ternak dewasa peningkatan BB yang terjadi sebagai akibat penimbunan lemak (Reddy, 1982).
Menurut Edey (1983) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan setelah disapih adalah pakan, jenis kelamin, umur dan BB saat penyapihan serta lingkungan tempat ternak berada.
E. Pertambahan Bobot Badan Sapi Peranakan Ongole (PO) yang Diberi Biomassa Sawit
penambahan jumlah sel atau hyperplasia yang selanjutnya diikuti oleh proses penambahan ukuran hypertrophy (Anggorodi, 1979; Edey, 1983; Payne, 1988).
Pertambahan berat badan ternak sapi diperoleh dari hasil penimbangan berat badan akhir dikurangi dengan hasil penimbangan berat badan awal (Tillman et al, 1993).
Tua Parulian Sianipar (2009) telah mengadakan penelitian tentang efek pelepah daun kelapa sawit dan limbah industrinya sebagai pakan terhadap pertumbuhan Sapi Peranakan Ongole dengan formulasi pakan sebagai berikut. Tabel 2. Formulasi pakan perlakuan pertambahan berat badan tertinggi pada Perlakuan P1 (pelepah 40%) yaitu sebesar
0,82 kg/ekor/hari, sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan P4 (pelepah
55%) yaitu sebesar 0,60 kg/ekor/hari.
Tabel 3. Rataan pertambahan berat badan sapi yang diberi pelepah sawit
Dari tabel hasil penelitian diatas menunjukkan terdapat perbedaan pertambahan bobot badan dari empat perlakuan yang berbeda. Hal ini disebabkan karena sapi yang diberi terlalu banyak pelepah kelapa sawit dan kurang atau tanpa pakan tambahan lainnya menyebabkan sapi bisa kekurangan nutrien, baik untuk keperluan hidup pokok maupun produksi karena pelepah kelapa sawit ini hanya mengandung sekitar 4% protein. Hal ini sesuai dengan pendapat Devendra (1977) yang menyatakan bahwa penggunaan pelepah daun sawit dalam pakan telah dicobakan pada sapi pedaging dan perah dan ternyata dapat diberikan sebesar 30-40% dari keseluruhan pakan. Namun pada perlakuan P2 (pelepah 45%) dan P3
(pelepah 50%) tidak terdapat perbedaan. Hal ini juga dapat terjadi karena ternak sapi mengkonsumsi pakan yang jumlahnya tidak berbeda nyata.
Tabel 4. Kenaikan bobot badan ternak yang diberi pakan tambahan solid Rumput alam (pola petani) 315,60 334,60 0,22 Solid segar ad libitum +
rumput alam 211,40 274,40 0,77
Sumber : Ermin Widjaja, 2000
Berdasarkan hasil penelitian tentang pemanfaatan solid sebagai pakan ternak yang dapat dilihat hasilnya pada tabel diatas menunjukkan bahwa solid memberikan respon positif terhadap kenaikan bobot badan sapi. Hal ini disebabkan kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan, dalam hal ini rumput alam relatif rendah. Sapi hanya dilepas di padang penggembalaan yang umumnya
hanya ditumbuhi alang-alang tanpa diberi pakan tambahan (konsentrat). Jika
dibandingkan dengan solid yang jumlahnya melimpah dan kandungan nutrisinya
yang cukup memadai dengan kandungan protein kasar 12,63%, serat kasar 9,98%,
lemak kasar 7,12%, kalsium 0,03%, dan energi 154 kal/100g (Utomo et al., 1999)
sehingga mampu meningkatkan bobot badan ternak.
Dalam Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013 yang
membahas hasil penelitian tentang integrasi sawit - sapi diperoleh hasil
pertambahan bobot badan pada sapi Peranakan Ongole sebagai berikut.
Tabel 5. Kenaikan bobot badan kelompok Sapi PO
Uraian Kelas A Kelas B Kelas C
Kenaikan BB (kg/hari) 0,7-1,2 0,4-0,6 0,1-0,3 Jumlah sampel (ekor) 26 (60%) 12 (28%) 5 (12%)
Pengamatan pertumbuhan sapi PO yang dilihat pada tabel diatas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kenaikan bobot badan. Hal ini akibat adanya perbedaan keseragaman bakalan sapi yang berakibat kenaikan bobot badan harian sapi tidak seragam. Hal ini sejalan dengan Tomaszewka et al. (1993) yang mengatakan bahwa laju pertambahan berat badan dipengaruhi oleh umur, lingkungan, dan genetik, dimana berat tubuh awal fase penggemukan berhubungan dengan berat dewasa.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Siswani (2010) selama 90 hari untuk kegiatan penggemukan sapi PO jantan dengan tiga perlakuan yaitu Teknologi Introduksi dengan komposisi pakan hijauan 5% dari bobot badan, solid 5 kg, pelepah sawit 3 kg, dedak padi 1 kg, Teknologi Perbaikan dengan komposisi hijauan 10% dari bobot badan, solid 3 kg, dedak padi 2 kg, Teknologi Peternak dengan pakan hijauan 10% dari bobot badan menunjukkan hasil yang berbeda seperti pada tabel berikut.
Tabel 6. Hasil penimbangan bobot badan Sapi PO
Perlakuan BB awal (kg) BB akhir (kg) PBB (kg) Teknologi Introduksi 207,00 248,00 0,46 Teknologi Perbaikan 172,67 229,17 0,63 Teknologi Peternak 190,33 225,33 0,39
Sumber : Siswani Dwi Daliani, 2010
baik dibandingkan dengan hanya diberi pakan hijauan saja. Hal ini didukung juga oleh Soeparno dan Davies (1987) yang menyatakan bahwa jenis, kandungan gizi, dan konsumsi pakan mempunyai pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan beberapa hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa limbah perkebunan berbasis biomassa sawit dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia yang memberikan respon positif terhadap kenaikan bobot badan ternak Sapi Peranakan Ongole.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Anonimous. 2005. Botani Aren. http//ftp.ui.edu/v12/artikel/ttg-tanamanobat/ depkes/buku1/1033.pdf.Tanggal akses29 mei 2007.
Anonimous. 2007. Potensi Sapi Peranakan Ongole. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Astuti, M. 2004. Potensi dan Keragaman Sumber Daya Genetik Sapi Peranakan Ongole (PO). http://72.14.253.104/search?q=cache:bPGsomKEca8J: peternakan.litbang.deptan.go.id/download/sapipotong/sapo04-6.pdf+sapi+ potong+ peranakan+ ongole&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id diakses tanggal 18 juli 2007.
Balai Penelitian Ternak. 2003. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol 25 No 5, Ciawi, Bogor. http://[email protected](2003) Bambang. N. U. dan Widjaja, Ermin. 2004. Limbah Padat Pengolahan Minyak
Sawit sebagai Sumber Nutrisi Ternak Ruminansia. Jurnal Litbang Penelitian, 23 (1). Palangkaraya.
Batubara, L.P., M. Boer dan S. Eliesar, 1993. Pemberian BIS/Moleses dengan atau tanpa Mineral Dalam Ransum Kerbau. Jurnal Penelitian Peternakan Sungai Putih, Vol 1 Nomor 3, Hal 11.
Chalidjah, M. Sariubang, P. Pongsapan, dan Prasowo. 2000. Dampak seleksi pejantan dan perbaikan pakan terhadap bobot lahir anak sapi Bali di padang pengembalaan. Jurnal Ilmiah Penelitian Ternak Gowa. 3 (1):7-10. Cole, H.H. 1966. Introduction to Livestock Production. 2nd. Ed. W. H. Foreman
and Company, San Fransisco. P. 432-449 dalam Pengaruh Kombinasi Pemberian Pakan Silase Jerami Padi Cairan Rumen Kerbau dan Molasee Terhadap Pertambahan Bobot Badan Sapi Peranakan Ongole.
Davis, H. L. 1983. A Course Manual in Nutrition and Growth. The Australian University International Development Program (AUIDP). Melbourne. Devendra, C. 1977. Utilization of Feedingstuff from Palm Oil. P.16. Malaysian Agricultural Research and Development Institute Serdang, Malaysia.
Edey, T. N. 1983. A Course Manual in Tropical Sheep and Goat Production. Australian Universities International Development Program (AUIDP). Melbourne.
Hasan, A.O. and M. Ishida, 1991. Effect of water, Molases and urea Addition Oil Palm Frond Silage Quality Fermentation Characteristic and Palatability to Kedaah kelantan Bulls. In proceedings of the third International Symposium on the Nutrition of Herbivores, Penang. Malaysia.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Hatmono, H. dan I. Hastoro. 2001. Urea Molases Blok Pakan Suplemen Ternak Ruminansia. Trubus Agriwidya. Ungaran.
Jalaluddin, S. And R.I. Hutagalung, 1982. Feeds for Farm Animals from the Oil Palm. University Pertanian Malaysia, Malaysia.
Kartadisastra, H. R. 1997. Penyediaan dan Pengelolaan Pakan Ternak Ruminansia. Kanisius. Yogyakarta.
Murtidjo, B.A. 1993. Memelihara Kambing sebagai Ternak Potong dan Perah. Kanisius. Yogyakarta.
Parakkasi, A. 1995. Ilmu Makanan dan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia Press, Jakarta
Payne, W. J. A. 1988. Cattle and Buffalo Meat Production in The Tropics. Longman Scientific and Technical. USA.
Reedy, A. W. 1982. Sheep Production. Longan Scientific and Technical. England. Safari, A.1993. Teknik Membuat Gula Aren. Karya Anda. Surabaya.
Sarwono, B dan Hario, B. A. 2003. Penggemukan Sapi Secara Cepat Cet 3. Penebar Swadaya. Jakarta.
Siegar, S. B. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya. Jakarta. Siswani, D. D., dkk. 2010. Pengkajian Penggunaan IB pada Pembibitan Sapi
Peranakan Ongole (PO) dan Pemanfaatan Limbah Sawit (Solid dan Pelepah) untuk Efesiensi Penggunaan Pakan Hijauan 50% pada Penggemukan Sapi PO dalam Rangka Meningkatkan Pertambahan Bobot Harian >10%. Laporan Akhir Tahun. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu.
Sunanto, H. 1993. Aren Budidaya dan Multi Gunanya. Kanisius. Yogyakarta. Susetyo. 2001. Hijauan pakan ternak. Direktorat Peternakan Rakyat, Direktorat
Jendral Peternakan Departemen Pertanian. Jakarta. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. Volume VIII(4): 291- 301.
Tillman, A. D., H. Hartadi dan S. Reksohadiprodjo. 1998. Ilmu makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Tua Parualin. 2009. Efek Pelepah Daun Kelapa Sawit dan Limbah Industrinya sebagai Pakan terhadap Pertumbuhan Sapi Peranakan Ongole pada Fase Pertumbuhan. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Tulloh, N. M. 1978. A Course Manual in Beef Cattle Management and Economic. Australian Vice Chancellor Comite. Australia.
Utomo, B.N., E. Widjaja, S. Mokhtar, S.E. Prabowo, dan H. Winarno. 1999. Laporan Akhir Pengkajian Pengembangan Ternak Potong pada Sistem Usaha Tani Kelapa Sawit. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Palangkaraya, Palangkaraya. Utomo, N.U. 2001. Potential of Oil Palm Solid Wastes as Local Feed Resource for Cattle in Central Kalimantan, Indonesia. MSc. Thesis, Wageningen University, The Netherlands.
Waruwu, E. 2002. Pengaruh Suplementasi Probiotik BIO-SF2 pada Pakan Limbah Kelapa Sawit terhadap Karkas dan Panjang Usus pada Domba Sei Putih dan Domba Lokal Sumatera, Skripsi Jurusan Peternakan USU. Medan.
Widjaja, E., B.N. Utomo, dan R. Ramli. 2000b. Potensi limbah kelapa sawit “solid” sebagai pakan suplemen ternak sapi. Prosiding Hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, Palangkaraya 10 Oktober 2000. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Palangkaraya, Palangkaraya. hlm. 145−154.
Widyawati, E. Dan Widalestari, Y. 1996. Limbah untuk Pakan Ternak. Tubus Agrisorana. Surabaya.