• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ideologi Politik Pada Naskah Drama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ideologi Politik Pada Naskah Drama"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Ideologi Politik Naskah Drama1

Yahya Zakaria2

yahya_revolver@yahoo.co.id

Keywords: political ideology, cultural politics, theatre, script

Naskah drama muncul setelah peradaban manusia belahan bumi eropa dan asia berada

di bawah kekuasaan raja dan pendeta yang feodalistik, di era ini beragam karya seni

menemukan perayaannya, begitu juga naskah drama. Dengan ditemukannya “bahasa tulis”

serta media cetak berupa kertas dan tinta, maka karya sastra mulai terdokumentasikan. Dalam

catatan sejarah, karya sastra tertua berbentuk puisi dan prosa (Pratt, 1907: 50-51), puisi

merupakan bentuk tulisan padat dan ekspresif, sementara prosa hingga saat ini berbentuk

cerpen dan novel. Dalam peradaban Yunani maupun peradaban melayu memang hanya

dikenal bentuk puisi dan prosa, naskah drama sendiri dikenal lama setelah puisi dan prosa

berkembang pesat. Jakob Soemardjo dalam bukunya mengungkapkan bahwa naskah drama di

dataran Melayu mulai diperkenalkan oleh teater modern dari Eropa pada tahun 1901, karya F.

Wigers berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno, lebih lanjut, Jakob Soemardjo

mengungkapan, “...seluruh karya sastra klasik Indonesia hanya dipenuhi oleh bentuk prosa

dan puisi...” (Soemardjo, 2004: 240). Mursal Esten mengungkapkan hal senada, “...sastra

Indonesia adalah suatu bentuk sastra baru. Relatif belum berusia lama dan tidak dikenal

dalam tradisi sastra nusantara sebelumnya... bentuk sastra ini menggunakan bahasa

Indonesia yang tadinya berasal dari bahasa melayu...” (Kratz. 2000: 748. Lihat juga, Rosidi.

1995: 125)

Di Indonesia, naskah drama baru marak setelah tahun 1970an, menurut catatan Putu

Wijaya, seni teater di Indonesia memang terbiasa dengan budaya lisan, layaknya wayang

yang tidak memiliki naskah secara tertulis. Sehingga dunia teater di Eropa dan Indonesia

memang lahir dari rahim budaya lisan, lahir dari rahim ritual religius atau penyembahan

(Sahid. 2000: 5). Naskah drama memang memiliki corak dan ciri khasnya tersendiri, berbeda

dengan prosa, karena naskah drama memang ditujukan untuk dipentaskan di panggung,

dengan kata lain naskah drama bukanlah bentuk tulisan utuh, melainkan hanyalah sebuah

      

1

This paper published in official site of Indonesia seni.

http://www.indonesiaseni.com/index.php?option=com_content&view=article&id=474:drama-drama-drama&catid=18:wacana-dan-kritik-pertunjukan&Itemid=44

2

(2)

abstraksi, sebuah gambaran untuk melakukan pementasan. Sensasi yang berbeda akan kita

dapatkan ketika kita membaca cerpen, novel dan naskah drama, dimana naskah drama tidak

menghadirkan gambaran situasi utuh, melainkan penggalan-penggalan emosi.

Naskah drama hingga saat ini memang telah berkembang pesat, banyak aliran-aliran

dalam naskah drama muncul dikarenakan waktu serta kondisi sosial-politik yang terus

berubah. Aliran filsafat dan pemikiran manusia selalu berpengaruh pada karya sastra,

termasuk naskah drama, dalam hal ini Sri Murtiningsih mengungkapkan,

“...karya sastra menampilkan gambaran kehidupan... setiap pengarang memiliki kepekaan sendiri-sendiri di dalam menangkap persoalan hidup dan rasa ketertarikan terhadap sesuatu masalahpun pada setiap pengarang berbeda-beda, sehingga faham-faham filsafat tertentu akan juga mempengaruhi karyanya...” (Sahid. 2000: 138).

Paham filsafat tertua adalah mistisisme yang merupakan aliran filsafat dimana

manusia selalu tunduk pada kebenaran kitab dan wahyu, era dimana gereja menjadi despotik

di eropa, bahkan hingga gereja menarik pajak dari masyarakatnya, yang akhirnya

menyebabkan perpecahan Lutherian dalam institusi gereja. Mistisisme di dalam naskah

drama muncul dalam karya-karya penulis era itu, dimana tujuan naskah drama adalah untuk

melakukan propaganda keagamaan, menciptakan teror dan rasa takut di masyarakat atas

nama Tuhan.

Penggugatan kekuasaan gereja dan raja muncul ketika filsafat beralih menjadi filsafat

manusia, bukan lagi filsafat wahyu ketuhanan, sehingga pusat kebenaran berada di

tempurung kepala manusia, dengan beragam penemuan ilmiah yang akhirnya menggerogoti

kepercayaan atas kebenaran wahyu Tuhan, manusia merayakan kebenarannya di dunia. Di

era ini, filsafat Plato dan Aristoteles menjadi landasan munculnya aliran realisme, baik Plato

dan Aristoteles memiliki kesamaan bahwa kebenaran berada dalam alam pikiran manusia,

sehingga yang kekal adalah akal pikiran itu sendiri, sementara realitas bagi Plato tak lebih

hanya sebagai cerminan atau bayangan “realitas” sesungguhnya, sementara bagi Aristoteles

merupakan “cetak biru” dari realitas sesungguhnya. Singkat kata, materi yang sehari-hari kita

lihat hanyalah ilusi, realitas sebenarnya berada dalam otak kita sebagai abstraksi.

Realisme merupakan sebuah aliran yang melihat naskah drama sebagai cerminan dari

“realitas sesungguhnya”, karena ketika seorang manusia melihat dunia, lalu Ia berpikir dan

menuangkannya dalam kata-kata untuk menggambarkan realitas tersebut sebagaimana

adanya. Proses mimetik atau meniru realitas dunia sehari-hari menjadi corak yang tak

(3)

kekuasaan raja dan gereja, pada akhirnya menyebabkan banyak melahirkan aliran baru dalam

naskah drama, seperti naturalisme dan realisme sosialis, yang akan dibahas nanti.

Penggugatan gereja akhirnya berakhir ketika revolusi industri meletus di eropa, dan

lahirlah aliran filsafat terkemuka yang melakukan penolakan pada tradisi dan nilai-nilai lama;

materialisme. Banyak sekali kekacauan di era revolusi industri; pengangguran meningkat,

alienasi pekerja, kapitalisme, penjajahan, perang, perbudakan, pengagungan ilmu positivistik,

serta terkebirinya nilai-nilai ketuhanan; sering kita kenal dengan term “Tuhan Telah Mati”.

Di tengah kekacauan ini lahirlah beragam aliran dalam naskah drama, seperti; romantisisme,

surealisme, naturalisme. Romantisisme adalah aliran yang bercorak kerinduan akan

kehidupan manusia yang arif dan sederhana, bukan kehidupan dengan deru mesin dan

pembangunan, sehingga naskah drama romantisisme sering berbicara ketuhanan, alam dan

kehidupan yang damai. Romantisisme memiliki misi untuk mengingatkan manusia akan

kehidupan yang tidak penuh hingar bingar dan juga mengingatkan untuk “memiliki

pegangan” di tengah kerasnya laju industrialisasi kala itu. Pendek kata, romantisisme adalah

reaksi dan kritik terhadap logika industri dan rasionalitas.

Naturalisme lahir dari filsafat positivistik di era revolusi industri, yaitu ketika ilmu

alam merajai kehidupan manusia, bahkan hingga ilmu sosial pun mengadopsi metode ilmu

alam dan lahirlah sosiologi. Corak naturalisme yang positivistik melihat bahwa realitas yang

kita indrai sehari-hari merupakan sumber kebenaran, sehingga naskah drama yang ditulis

haruslah natural dan tidak dilebih-lebihkan, sesuai dengan keadaan yang terindra.

Naturalisme kerap disebut sebagai aliran yang hanya “memindahkan” realitas sehari-hari ke

atas panggung. Seperti yang telah dijelaskan di atas, naturalisme adalah anak kandung dari

realisme yang lahir di tengah kekacauan tradisi positivistik revolusi industri.

Surealisme hadir untuk menolak naturalisme dan positivisme era revolusi industri.

Surealisme selalu keberatan dengan filsafat materialisme Marx, karena dalam pandangan

surealisme kenyataan itu bukanlah yang terindera oleh manusia, melainkan berada di alam

bawah sadar, sehingga bentuk naskah drama surealisme selalu tidak mengikuti kaidah-kaidah

di dalam kenyataan sehari-hari. Layaknya mimpi, lamunan dan phsycodelic, naskah drama

surealisme bukan sebuah kenyataan terindera. Dengan makna di balik kenyataan sehari-hari

surealisme berbicara, sehingga tak jarang naskah sulit dipahami. Surealisme kerap disbebut

dengan deeper realism.

Sementara realisme sosialis lahir jauh setelah revolusi industri terjadi, pada saat

terjadi penjajahan di berbagai belahan dunia, penjajahan atas nama kapitalisme

(4)

berkecamuk, perang antar ideologi terus terjadi, banyak terjadi kekacauan dan penindasan,

era ini akhirnya melahirkan aliran realisme sosialis. Dalam catatan Eka Kurniawan (2002:

59-64), realisme sosialis merupakan bentuk kompromi antara seniman di bawah partai komunis

yang berkarya demi kepentingan propaganda—di Indonesia kita mengenal Lekra—dengan

seniman yang berkarya bukan untuk kepentingan partai dan revolusi Bolshevik Rusia—di

Indonesia dikenal dengan Manikebu. Adalah Maxim Gorki pencetus term realisme sosial dan

menjadi salah satu tokoh yang menyatukan dua golongan seniman di bawah partai yang

saling bersengketa. Sehingga realisme sosial secara historis adalah merupakan bentuk

penolakan seniman atas adanya intervensi dari negara maupun pemerintahan dalam

karya-karya mereka, negera dan pemerintah hanya boleh melindungi, bukan menuntun maupun

mengarahkan.

Kehidupan seni secara umum dan naskah drama pada khususnya, di bawah kekuasaan

yang diktator selalu berbuah pertentangan, satu sisi kebijakan pemerintah diktator selalu

mengarahkan karya seni untuk mendukung program-programnya, di sisi lain, terdapat

keengganan seniman untuk menjadi sekedar pendukung program pemerintah. Di tengah

kondisi ini, banyak sekali terjadi “pelacuran” karya, karena yang perlu diingat, karya seni

tidak sesempit demi kepentingan propaganda, tetapi lebih dalam dari itu, yakni untuk

menguak kebenaran di tengah kemapanan, kemapanan atas nama ideologi apapun, bahkan

ideologi yang kita anggap paling benar sekalipun. Karya adalah lentera.

Sementara itu, di sisi lain, dengan kondisi penuh peperangan, persilangan ideologis,

kekacauan, menurut para tokoh eksistensialis (Sahid. 2000: 137-138. Lihat juga, Soemanto.

2002: 84-85) akan melahirkan kondisi angoisse atau dread, dimana manusia menemukan titik

kemuakan yang paling jenuh, penderitaan batin yang sangat menekan hingga manusia

merasakan pening luar biasa. Rasa sedih, jenuh, kecewa, bahagia seolah tak ada lagi batas,

semua saling melompat, melewati satu dengan lainnya. Manusia di era peperangan

merupakan mayat yang berjalan, mereka tidak memliki otoritas atas dirinya, menjadi ambigu

dan tidak mengenali diri sendiri. Rasionalitas akhirnya menghancurkan manusia sendiri,

kepercayaan terhadap tuhan memudar, inilah kondisi yang disebut Kierkgaard sebagai

absurdum.

Absurdum merupakan kondisi konflik antara rasionalitas dengan metafisik, dimana

manusia akan menemukan kekerdilannya, kebodohannya, karena ternyata dunia ini terlalu

luas untuk diketahui dan dikuak. Manusia dalam kondisi absurdum menjadi sangat ketakutan,

kehilangan pegangan, dorongan bunuh diri meningkat. Dengan ini, maka absurd dalam

(5)

naskah absurd berbicara keambiguan manusia, lompatan emosi manusia serta

ketidakberdayaan manusia. Renungan kekalahan manusia, kealpaan manusia, kebodohan

manusia, membicarakan hal remeh temeh, alur berulang, melompat merupakan ciri khas dari

naskah drama absurd.

Terakhir, dalam catatan Bakdi Soemanto (2002: 120-122), perkembangan terkini dari

aliran naskah drama adalah munculnya hyper realism pada pertengahan tahun 1930 an. Hyper

realism memiliki karakter; hilangnya batas antara akting dan perbuatan sebenarnya, sehingga

aktor tidaklah bermain peran atau membicarakan tentang sesuatu, tetapi aktor adalah pelaku

sebenarnya, sebagaimana di dunia nyata, selain itu elemen artistik lain tidak dipandang hanya

sebagai pendukung lakon, salah satunya elemen musik, dimana musik merupakan lakon itu

sendiri, terdapat space khusus untuk musik memainkan lakonnya di atas pentas. Sehingga,

nilai-nilai dalam aliran realisme masih kental hadir dalam hyper realism, tetapi terdapat

banyak “pemberontakan” terhadap konvensi teater yang saat ini akrab kita temui.

Daftar Bacaan:

Atmaja, Jiwa. 2009. Kritik Sastra Kiri; Sebuah Pengantar Komprehensif. Udayana University Press, Bali.

Eagleton, Terry. 2007. Teori Sastra; Sebuah Pengantar Komprehensif. Jalasutra, Yogyakarta.

Hassan, Fuad. 1971. Berkenalan dengan Existensialisme. Pustaka Jaya, Jakarta.

Kratz, E. Ulrich (peny.). 2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia. KPG, Jakarta.

Kurniawan, Eka. 2002. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Penerbit Jendela, Yogyakarta.

Mills, C. Wright. 2003. Kaum Marxis: Ide-ide Dasar dan Sejarah Perkembangan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Pratt, Waldo Selden. 1907. History Of Music: A Handbook And Guide For Students. G. Schirmer, New York.

Rosidi, Ajip. 1995. Sastera dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.

Sahid, Nur (ed.). 2000. Interkulturalisme (dalam) Teater. Yayasan Untuk Indonesia, Yogyakarta.

(6)

Soemanto, Bakdi. 2002. Godot di Amerika dan Indonesia. Grasindo, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian penggunaan video Opera Van Java untuk meningkatkan keaktifan dan kemampuan menulis naskah drama siswa adalah pembelajaran menulis naskah drama yaitu

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul Analisis Struktural dan Nilai Pendidikan dalam Naskah Drama Melik Nggendhong Lali Karya Udyn Upewe

Analisis makna dalam naskah drama Nyai Ontosoroh, meliputi makna yang mengarah pada peristiwa atau tindakan hasil dari tiruan bunyi 27

Penelitian ini membahas mengenai kesantunan imperatif pada naskah drama Gerr karya Putu Wijaya. Ada dua tujuan yang dicapai dalam penelitian ini. 1) Mendeskripsikan

Penelitian ini membahas mengenai kesantunan imperatif pada naskah drama Gerr karya Putu Wijaya. Ada dua tujuan yang dicapai dalam penelitian ini. 1) Mendeskripsikan

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka pantaslah untuk membahas naskah drama “Senandung Semenanjung” dan pandangan dunia Wisran Hadi sendiri dalam karya

Hal yang melatarbelakangi penelitian ini adalah siswa kurang memahami cara menulis naskah drama karena terlalu banyak membuat siswa kesulitan dalam berpikir, ketika

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGONVERSI TEKS ANEKDOT MENJADI NASKAH DRAMA MELALUI MODEL BERPIKIR INDUKTIF(Penelitian Tindakan Kelas terhadap Siswa Kelas X Semester II, SMA Negeri