• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II APLIKASI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PELAKSANAAN REHABILITASI PECANDU NARKOTIKA A. Kebijakan Kriminal Dalam Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan - Aplikasi Kebijakan Hukum Piana Terhadap Pelaksanaan Rehabilitasi Pecandu Dalam Tindak Pidana Nark

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II APLIKASI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PELAKSANAAN REHABILITASI PECANDU NARKOTIKA A. Kebijakan Kriminal Dalam Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan - Aplikasi Kebijakan Hukum Piana Terhadap Pelaksanaan Rehabilitasi Pecandu Dalam Tindak Pidana Nark"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

APLIKASI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PELAKSANAAN REHABILITASI PECANDU NARKOTIKA

A. Kebijakan Kriminal Dalam Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan Politik hukum muncul pertama kali dan dijadikan sebagai sebuah istilah akademis dalam bidang hukum, untuk sementara dapat ditemukan pada tulisan Soepomo berjudul Soal-soal Politik Hoekoem dalam Pembangoenan Negara Indonesia (dipublikasikan pada tahun 1947). Secara etimologis istilah “politik hukum” merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek. Dalam bahasa Indonesia kata rechts berarti hukum. Adapun dalam kamus Belanda yang ditulis oleh Van Der Tas, kata politiek mengandung arti beleid.

Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia berarti kebijakan (policy).44

Kebijakan (policy) ternyata memiliki keragaman arti. Hal itu, dapat kita lihat dari pandangan beberapa tokoh yang mencoba untuk menjelaskan apa sebenarnya kebijakan (policy) itu. Klien menjelaskan bahwa kebijakan itu adalah tindakan secara sadar dan sistematis, dengan menggunakan sarana-sarana yang cocok, Dari penjelasan itu bisa dikatakan bahwa politik hukum secara singkat berarti kebijakan hukum. Adapun kata “kebijakan” sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rangkaian konsep dan asas dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak dalam bidang hukum.

44

(2)

dengan tujuan politik yang jelas sebagai sasaran, yang dijalankan selangkah demi selangkah, senada dengan Kuypers yang menjelaskan kebijakan itu adalah suatu susunan dari: 45

1. Tujuan-tujuan yang dipilih oleh para administrator publik baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan kelompok;

2. Jalan-jalan dan sarana-saran yang dipilih olehnya; 3. Saat-saat yang mereka pilih.

Menurut Istanto, dari berbagai pengertian yang berkembang, tampak pengertian politik hukum dapat dikelompokan menjadi tiga, yakni: 46

1. Politik hukum sebagai terjemahan dari rechtspolitiek. Berdasarkan pengertian tersebut, Bellefroid menyatakan bahwa politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum yang meneliti perubahan hukum yang berlaku, dan harus dilakukan untuk memenuhi tuntutan baru kehidupan masyarakat.

2. Lemaire, berpendapat bahwa politik hukum, merupakan bagian dari kebijakan legislatif. Politik hukum merupakan bagian dari ilmu politik pada umumnya. Politik hukum mengkaji bagaimana penetapan hukum yang seharusnya (ius constituendum). Kajian terhadap hukum positif, tidak berhenti pada kajian

hukum yang berlaku, dan

3. Utrecht, mengutarakan bahwa politik hukum menentukan hukum yang akan menentukan bagaimana seharusnya kenyataan sosial manusia bertindak. Politik

45

Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari. Dasar-dasar Politik Hukum. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 22-23.

46

(3)

hukum meneliti perubahan-perubahan, apa yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku, supaya menjadi sesuai dengan sociale werkelijkheid (kenyataan sosial).

Perkembangan pembangunan dan modernisasi mengakibatkan semakin kompleksnya kehidupan masyarakat, maka banyak menimbulkan masalah-masalah dalam kehidupan masyarakat. Kebijakan sosial adalah serangkaian pilihan tindakan pemerintah untuk menjawab tantangan atau memecahkan masalah kehidupan masyarakat.47

Kejahatan merupakan fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat dan sampai saat ini sulit untuk diberantas atau dihilangkan, namun usaha pencegahan dan penanggulangannya tetap dilakukan dengan berbagai cara. Kejahatan harus diberantas karena menghambat pencapaian tujuan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Salah satu masalah yang menjadi tantangan yang perlu dipecahkan adalah masalah kejahatan.

Perilaku yang menyimpang merupakan hal yang berpotensi mengancam pemberlakuan norma-norma sosial atau berlangsungnya ketertiban sosial. Hubungan antara kejahatan dan proses kriminalisasi secara umum dinyatakan dengan konsep “penyimpangan” (deviance) dan reaksi sosial. Kejahatan dipandang sebagai bagian dari penyimpangan sosial, dalam arti bahwa tindakan yang bersangkutan berbeda dari tindakan-tindakan yang dipandang sebagai normal atau

47

(4)

biasa di masyarakat, dan terhadap tindakan yang menyimpang tersebut diberikan reaksi sosial yang negatif, dalam arti secara umum masyarakat memperlakukan orang-orang tersebut sebagai sesuatu yang berbeda dan jahat.48

Masalah pencegahan dan penanggulangan kejahatan tentunya bukan merupakan hal yang baru. Upaya atau kebijakan untuk melakukan Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan termasuk dalam bidang “kebijakan kriminal” (criminal policy) . Kebijakan kriminal ini tidak terlepas dari kebijakan yang luas, yaitu

kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan/ upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social-welfare policy) dan kebijakan/ upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social-defence policy).49

Kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan menggunakan sarana “penal” (hukum pidana), maka kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya pada tahap kebijakan aplikatif/ yudikatif (penegakan hukum pidana in concreto) harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa “social welfare” dan “social defence”.

Hal tersebut dapat dilihat pada skema berikut ini.50

48

I.S. Susanto. Kriminologi. (Semarang : Universitas Diponegoro, 1995), hlm.8.

49

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan (Semarang : PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 73.

50

(5)

Skema 1.

Penal - Formulasi - Aplikasi Non Penal - Eksekusi

Skema diatas dapat diidentifikasi hal-hal pokok sebagai berikut:

a. Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan harus menunjang tujuan (goal), yakni social welfare dan social defence. Aspek social welfare dan social defence yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan/ perlindungan masyarakat yang bersifat Immateriel, terutama nilai kepercayaan, kebenaran/ kejujuran/ keadilan.

b. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan integral, harus ada keseimbangan antara sarana “penal dan “non-penal”. Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis melalui sarana “non-penal” karena lebih bersifat preventif dan karena kebijakan “penal” mempunyai keterbatasan/ kelemahan ( yaitu bersifat fragmentaris/ simplistis/ tidak struktural- fungsional, tidak eliminatif, lebih bersifat

Social-welfare policy

Social Policy

Social-defence policy

Criminal Policy

Goal

(6)

represif/ tidak preventif, harus didukung oleh infrastruktur dengan biaya tinggi).

c. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal policy” atau “penal-law enforcement” yang fungsionalisasi/ operasionalisasinya melalui beberapa tahap:

1). Formulasi (kebijakan legislatif);

2). Aplikasi (kebijakan yudikatif/ yudisial); 3). Eksekusi (kebijakan eksekutif/ administratif).

Adanya tahap “formulasi” dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak/ penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif).

Skema diatas mendukung aplikasi terhadap kebijakan criminal mengenai kejahatan narkotika. Kebijakan penanggulangan bahaya dan penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah mulai sejak berlakunya Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnatie, Stbl. 1927 Nomor 278 jo. Nomor 536). 51

Kebijakan kriminal menurut Marc Ancel adalah sebagai “The rational organization of the social to crime by society”, sedangkan G. Peter Hoefnagels Ordonansi ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun1976 tentang Narkotika, kemudian diganti kembali dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, dan yang terakhir digantikan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

51

(7)

mengemukakan bahwa, “criminal policy is the rational organization of the social reactions to crime”.52

Marc Ancel dan G. Peter Hoeffnagels melihat kebijakan kriminal sebagai usaha rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan kriminal merupakan usaha yang rasional dari masyarakat untuk mencegah kejahatan dan mengadakan reaksi terhadap kejahatan. Usaha yang rasional itu merupakan konsekuensi logis, karena menurut Barda Nawawi Arief, sebagai masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena pada hakekatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif.53

Sinergi antara kebijakan penanggulangan narkotika dengan hukum pidana (sarana penal) terkait pada fungsionalisasisi dari beberapa tahap di atas, yakni: formulasi, aplikasi, dan eksekusi.

B. Tindak Pidana Narkotika

1. Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Sistem hukum menjatuhkan hukuman atau pidana adalah menyangkut tentang perbuatan-perbuatan apa yang diancam dengan pidana. Haruslah terlebih dahulu telah tercantum secara tegas dalam undang-undang pidana, artinya jika tidak ada undang-undang yang mengatur, maka pidana tidak dapat dijatuhkan. Bab I

52

G. Peter Hoefnagels. Op. Cit., hlm. 57.

53

(8)

Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ada asas yang disebut “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenale”, yang pada intinya menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali sudah ada ketentuan undang-undang yang mengatur sebelumnya.54

Dilihat dari rumusan hukum setiap tindak kejahatan dan pelanggaran, perlu diketahui asas-asas hukum pidana, beberapa asas penting adalah sebagai berikut. 55 a. Tindak pidana mempunyai 2 (dua) sifat, yakni;

1) Formil, dalam tindak pidana ini yang diancam dengan hukuman oleh undang-undang adalah perbuatannya.

2) Materil, dalam jenis tindak pidana ini yang diancam dengan hukuman oleh undang-undang adalah akibatnya.

b. Tindak pidana memiliki 2 (dua) unsur, yakni:

1) Obyektif, unsur ini terdiri dari suatu perbuatan atau suatu akibat.

2) Subyek, unsur ini adalah suatu kehendak atau tujuan yang ada dalam jiwa pelaku, yang dirumuskan dengan istilah sengaja, niat, dan maksud.

c. Tindak pidana terdiri atas:

1) Tindak pidana dolus, atau yang dilakukan dengan sengaja; 2) Tindak pidana culpa, atau yang dilakukan tanpa sengaja. d. Tindak pidana mempunyai 3 (tiga) bentuk, yakni:

1) Pokok, dimana semua unsur dari tindak pidana dirumuskan.

2) Gekwalikasir, disebutkan nama kejahatan disertai dengan unsur pemberatan, misalnya pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.

3) Geprivilegeerd, hanya dicantumkan nama kejahatan yang disertai unsur peringanan.

Dengan mengetahui permasalahan pokok di atas, akan lebih memperjelas bentuk-bentuk tindak pidana, dalam hal ini tindak pidana narkotika yang merupakan kejahatan dan pelanggaran, kecuali diluar yang disebutkan diatas. Disisi lain ada juga dikenal beberapa cara melihat kejahatan tindak pidana narkotika, yaitu: 56

54

Pengantar dalam hokum Indonesia, diakses tanggal 1 Juni

2014.

55

Moh. Taufik Makaro, Op. Cit., hlm. 42-43.

56

(9)

a. Cara perumusannya;

b. Cara melakukan tindak pidana;

c. Ada tidaknya pengulangan atau kelanjutannya; d. Berakhir atau berkesinambungannya suatu delik;

e. Apakah tindakan terlarang tersebut merupakan kebiasaan dari petindak atau tidak;

f. Apakah pada tindak pidana itu ditentukan keadaan yang memberatkan atau meringankan;

g. Bentuk kesalahan petindak;

h. Apakah tindak pidana itu mengenai hak hidup Negara, ketatanegaraan atau pemerintahan Negara;

i. Perbedaan subjek; dan j. Cara penuntutan.

Kaitan teoritis ilmiah terhadap bentuk-bentuk tindak pidana pada paparan di atas, dilihat sejauh mana pengaplikasian undang-undang narkotika tersebut, maka dapat dijelaskan hal-hal tentang bentuk penyalahgunaan narkotika sebagai berikut:57 1. Narkotika apabila dipergunakan secara proporsional, artinya sesuai menurut

asas pemanfaatan, baik untuk kesehatan maupun untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahuan, maka hal tersebut tidak dapat dikwalisir sebagai tindak pidana narkotika. Akan tetapi apabila dipergunakan untuk maksud-maksud yang lain dari itu, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang jelas sebagai perbuatan pidana dan atau penyalahgunaan narkotika berdasarkan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 2. Penyalahgunaan narkotika meliputi pengertian yang lebih luas, antara lain:

a. Membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan berbahaya dan mempunyai resiko. Misalnya ngebut di jalanan, berkelahi, dan lain-lain;

b. Menentang suatu otoritas, baik terhadap guru, orang tua, hukum, maupun instansi tertentu;

c. Mempermudah penyaluran perbuatan seks;

d. Melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-pengalaman emosional;

e. Berusaha agar menemukan arti dari pada hidup;

f. Mengisi kekosongan-kekosongan dan perasaan bosan karena tidak ada kegiatan;

g. Menghilangkan rasa frustasi dan gelisah;

h. Mengikuti kemauan teman dan tata pergaulan lingkungan; i. Hanya sekedar ingin tahu atau iseng.

57

(10)

Disamping itu, dapat juga dipergunakan untuk kepentingan ekonomi atau kepentingan pribadi. Menurut Ketentuan Hukum Pidana para pelaku tindak pidana itu pada dasarnya dapat dibedakan atas beberapa kategori, yakni:

1) Pelaku utama, 2) Pelaku pesert, dan 3) Pelaku pembantu.

Seseorang dapat digolongkan kedalam pelaku diatas perlu ada proses peradilan, sebagaimana diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Adapun tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain berikut ini:58

a) Penyalahgunaan melebihi dosis;

Hal ini disebabkan oleh banyak hal, seperti yang telah diutarakan di atas.

b) Pengedaran narkotika;

Karena keterikatan dengan sesuatu mata rantai peredaran narkotika, baik nasional maupun internasional.

c) Jual beli narkotika;

Ini pada umunya dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mencari keuntungan materil, namun ada juga karena motivasi untuk kepuasan.

Ketiga bentuk Tindak Pidana Narkotika itu adalah merupakan salah satu penyebab terjadinya berbagai macam bentuk tindak pidana kejahatan dan pelanggaran lainnya, yang secara langsung menimbulkan akibat demoralisasi terhadap masyarakat, generasi muda, dan terutama bagi si pengguna zat berbahaya

58

(11)

itu sendiri. Sebagaimana yang diungkapkan langsung oleh salah seorang penerima manfaat rehabilitasi sosial PSPP Insyaf , misalnya:59

1. Pembunuhan; 2. Pencurian; 3. Penodongan; 4. Penjambretan; 5. Pemerasan; 6. Pemerkosaan; 7. Penipuan;

8. Pelanggaran rambu lalu lintas;

9. Pelecehan terhadap aparat keamanan dan lain-lain.

Temuan tersebut mengasumsikan bahwa tindak pidana narkotika adalah suatu perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum narkotika, dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang digantikan dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dan atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang tersebut.

2. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang tersangka atau terdakwa diminta pertanggung jawabannya atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dijatuhkan pidana bagi pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu harus memenuhi unsur-unsur yang telah di tentukan dalam Undang-Undang.

59

(12)

Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk tindak pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggung jawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.

Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana, terdiri atas tiga unsur yaitu:60

a. Kemampuan bertanggung jawab;

b. Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/ atau kealpaan; c. Tidak ada alasan pemaaf.

Penjelasan di atas memuncul pertanyaan bagaimana pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana narkotika. Masalah utama terhadap pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana narkotika adalah ketidakjelasan kedudukan hukum antara pecandu, pengguna, penyalahguna dan korban narkotika. Bila dikaitkan dengan orang yang menggunakan narkotika, dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ada penjelasan tetang apa yang dimaksud dengan pecandu, penyalahguna dan korban penyalahguna adalah sebagai berikut: pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan

60

(13)

narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika baik secara fisik maupun psikis.61 Sedangkan yang dimaksud dengan penyalah guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.62 Korban penyalah guna adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika, karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan atau diancam untuk menggunakan narkotika. 63

Ketidakjelasan kedudukan dapat menimbulkan masalah dalam merumuskan berbagai ketentuan didalam Undang-Undang Narkotika, baik dalam pertanggungjawaban pidananya dan pelaksanaannya. Pasal 127 Undang-Undang Narkotika menyebutkan setiap penyalah guna Narkotika Golongan I, II, dan III masing-masing dijatuhi dengan pidana penjara yang berbeda kurun waktunya.

Gatot Supramono menyebutkan adanya penggolongan terhadap Narkotika yakni:64

a. Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

b. Narkotika Golongan II adalah Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

c. Narkotika Golongan III adalah Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Kaitannya dengan teori kebijakan kriminal adalah adanya upaya penanggulangan serta pencegahan bagi para penyalahguna dan pecandu narkotika jika dilihat pada Pasal 4 huruf d Undang-Undang Narkotika yang menyatakan

61

Pasal 1 butir 13 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 62 Pasal 1 butir 15 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

63

Penjelasan Pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

64

(14)

bahwa Undang-Undang Narkotika bertujuan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika. Serta dalam Pasal 54 Undang-Undang Narkotika mendukung pelaksanaan terhadap penyalah guna dan pecandu narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Hilangnya hak rehabilitasi bagi para penyalah guna dan pecandu narkotika terlihat dari adanya pasal 127 Undang-Undang Narkotika yang jelas menyebutkan tentang penjatuhan pidana penjara sesuai pada Narkotika Golongannya. Pembuktian serta pertanggungjawaban penyalah guna narkotika merupakan korban narkotika sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Narkotika, merupakan suatu hal yang sulit karena harus melihat awal pengguna narkotika menggunakan narkotika dan diperlukan pembuktian bahwa pengguna narkotika ketika menggunakan narkotika dalam kondisi dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan /atau diancam untuk menggunakan narkotika.

Banyak istilah yang membuat masyarakat dan aparat penegak hukum menjadi bingung, karena di lapangan aparat penegak hukum tidak memberikan hak orang yang positif menggunakan narkotika untuk melaksanakan rehabilitasi walaupun berdasarkan Undang-Undang telah menyebutkan jaminan rehabilitasi bagi pecandu narkotika.65

65

Wawancara dengan Ibu Budi Hartati ( Pelaksana Bahan Program di PSPP Insyaf Sumatera Utara ), tanggal 14 Juli 2014 .

(15)

merupakan seorang pecandu atau bukan pecandu, karena untuk menentukan apakah seseorang dinyatakan sebagai pecandu narkotika haruslah di tentukan oleh ahli.66 3. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Narkotika

Pada umunya secara keseluruhan faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana narkotika dapat dikelompokkan menjadi:

a. Faktor Internal Pelaku

Ada berbagai macam penyebab kejiwaan yang dapat mendorong seseorang terjerumus ke dalam tindak pidana narkotika, penyebab internal itu antara lain sebagai berikut: 67

1) Perasaan Egois.

Merupakan sifat yang dimiliki oleh setiap orang. Sifat ini kerap mendominir perilaku seseorang tanpa sadar, demikian juga bagi orang yang berhubungan dengan narkotika/ para pengguna dan pengedar narkotika. Pada suatu ketika rasa egoisnya dapat mendorong untuk memiliki dan atau menikmati secara penuh apa yang mungkin dapat dihasilkan dari narkotika.

2) Kehendak Ingin Bebas.

Sifat ini adalah merupakan suatu sifat dasar yang dimiliki manusia. Sementara dalam tata pergaulan masyarakat banyak, norma-norma yang membatasi kehendak bebas tersebut. Kehendak ingin bebas ini muncul dan terwujud kedalam perilaku setiapkali seseorang diimpit beban

66

Ibid

67

(16)

pemikiran maupun perasaan. Dalam hal ini, seseorang yang sedang dalam himpitan tersebut melakukan interaksi dengan orang lain sehubungan dengan narkotika, maka dengan sangat mudah orang tersebut akan terjerumus pada tindak pidana narkotika.

3) Kegoncangan Jiwa

Hal ini umumnya terjadi karena salah satu sebab yang secara kejiwaan hal tersebut tidak mampu dihadapi. Dalam keadaan jiwa yang labil, apabila ada pihak-pihak yang berkomunikasi dengannya mengenai narkotika maka ia akan dengan mudah terlibat tindak pidana narkotika. 4) Rasa Keingintahuan

Perasaan ini pada umumnya lebih dominan pada manusia yang usianya masih muda, perasaan ingin ini tidak terbatas pada hal-hal yang positif, tetapi juga kepada hal-hal yang sifatnya negatif. Rasa ingin tahu tentang narkotika, ini juga dapat mendorong seseorang melakukan perbuatan yang tergolong dalam tindak pidana narkotika.

b. Faktor Eksternal Pelaku

Faktor-faktor yang dating dari luar ini banyak sekali diantaranya yang paling penting adalah berikut ini:68

1) Keadaan Ekonomi

Keadaan ekonomi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu keadaan ekonomi yang baik dan keadaan ekonomi yang kurang atau miskin. Pada keadaan ekonomi yang baik maka orang-orang dapat

68

(17)

mencapai atau memenuhi kebutuhannya dengan mudah. Demikian juga sebaliknya, apabila keadaan ekonomi kurang baik maka pemenuhan kebutuhan sangat sulit adanya, karena itu orang-orang akan berusaha untuk dapat keluar dari himpitan ekonomi tersebut.

Dalam hubungannya dengan narkotika, bagi orang-orang yang tergolong dalam kelompok ekonomi yang baik dapat mempercepat keinginan-keinginan untuk mengetahui, menikmati dan sebagainya tentang narkotika. Sedangkan bagi yang keadaan ekonominya sulit dapat juga melakukan hal tersebut, tetapi kemungkinannya lebih kecil dari pada mereka yang ekonominya cukup. Berhubung narkotika tersebut terdiri dari berbagai macam dan harganya pun beraneka ragam, maka dalam keadaan ekonomi yang bagaimanapun narkotika dapat beredar dan dengan sendirinya tindak pidana narkotika dapat saja terjadi. Kesimpulannya semakin seseorang dekat dengan narkotika maka keadaan ekonomi seseorang juga semakin terpuruk.

2) Pergaulan/ lingkungan.

(18)

sendirinya kecenderungan melakukan tindak pidana narkotika semakin besar adanya.

3) Kemudahan

Kemudahan di sini dimaksudkan dengan semakin banyaknya beredar jenis-jenis narkotika di pasar gelap maka akan semakin besarlah peluang terjadinya tindak pidana narkotika.

4) Kurangnya Pengawasan

Pengawasan di sini dimaksudkan adalah pengendalian terhadap persediaan narkotika, penggunaan, dan peredarannya. Jadi tidak hanya mencakup pengawasan yang dilakukan pemerintah, tetapi juga pengawasan oleh masyarakat. Pemerintah memegang peranan penting membatasi mata rantai peredaran, produksi, dan pemakaian narkotika. Dalam hal kurangnya pengawasan ini, maka pasar gelap, produksi gelap, dan populasi pecandu narkotika akan semakin meningkat.

5) Ketidaksenangan dengan Keadaan Sosial.

(19)

Kedua faktor tersebut di atas tidak selalu berjalan sendiri-sendiri dalam suatu peristiwa pidana narkotika, tetapi dapat juga merupakan kejadian yang disebabkan karena kedua faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain.

C. Kebijakan Penal dan Non- Penal dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika

1. Kebijakan Penal

Politik kriminal dalam pengertian praktis adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk menaggulangi kejahatan. Usaha ini meliputi aktivitas dari pembentukan undang-undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan aparat eksekusi pemidanaan. Aktivitas badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan satu sama lain sesuai dengan fungsinya masing-masing. Oleh karena itu, kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materiil, dibidang hukum pidana formal dan bidang hukum pelaksanaan pidana.

Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) adalah masalah penentuan:69

69

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 160.

(20)

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menghadapi masalah kriminalisasi adalah sebagai berikut:70

a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila. Dalam hal ini penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan juga mengadakan pengkaidahan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki”, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil atau spiritual) atas warga masyarakat. c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip “biaya dan

hasil” (cost benefit principle). Untuk itu perlu diperhitungkan antara besarnya biaya yang dikeluarkan dengan hasil yang diharapkan akan dicapai.

d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kemampuan beban tugas ( overblasting).

Persoalan politik hukum adalah terletak diantara ius constitutum dengan ius constituendum.

a. Unsur-unsur Politik Hukum (Undang-Undang No. 35 Tahun 2009)71

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, sebagai bagian dari hukum positif (hukum yang berlaku di suatu wilayah dalam waktu tertentu) telah dinyatakan mulai

70

Sudarto. Op.Cit., hlm.36-40.

71

(21)

berlaku pada tanggal 12 Oktober 2009 dan diundangkan dengan penempatan dalam Lembaran Muatan substansi Undang-Undang ini, adalah:

(1) Kebijakan pemerintah terhadap narkotika dan merupakan pertimbangan yang menjadi dasar pembenaran perbuatan (act of choice), yang juga sebagai latar belakang pertimbangannya, ialah Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum.

(2) Tujuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur yang merata materiil dan spiritual, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan termasuk derajat kesehatannya.

(3) Sebagai dasar pertimbangan untuk pencapaian tujuan hukum yang berlaku merupakan bagian dari pengertian politik, yakni untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat, serta melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor.

(22)

dan pengawasan yang ketat dan saksama. Kebijakan di bidang hukum administrasi Negara, bahwa mengimpor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/ atau menggunakan narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan Negara serta ketahanan nasional Indonesia.

(4) Penetapan hukum Pemerintah bahwa tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama dikalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan bermasyarakat, bangsa, dan bernegara, sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut.

(23)

dalam dunia medis bertujuan untuk dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia, seperti di bidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain-lain.72

Narkotika memiliki zat-zat daya pecanduan yang bias menimbulkan si pemakai bergantung hidupnya kepada obat-obat narkotika itu. Hal tersebut bisa dihindarkan apabila pemakaiannya diatur menurut dosis yang dapat dipertanggungjawabkan secara medis dan farmakologis. Untuk itu pemakaian narkotika memerlukan pengawasan dan pengendalian. Pemakaian di luar pengawasan dan pengendalian dinamakan penyalahgunaan narkotika yang akibatnya sangat membahayakan kehidupan manusia baik perorangan maupun masyarakat dan Negara.

Sifat menimbulkan rasa ketagihan itu telah merangsang mereka yang berusaha untuk mengeruk keuntungan dengan melancarkan peredaran gelap ke berbagai Negara, rangsangan itu tidak saja karena tujuan ekonomi sebagai pendorong melainkan juga tujuan subversi. Untuk pengawasan dan pengendalian penggunaan narkotika dan pencegahan, pemberantasan dalam rangka penanggulangan diperlukan kehadiran hukum yaitu hukum narkotika yang syarat dengan tuntutan perkembangan zaman.

Sedangkan Smith Kline dan Frech Clinical Staff mengemukakan definisi tentang narkotika, yakni sebagai berikut:

Narcotic are drugs which product insensibility or stuporduce to their depressant offer on the central nervous system, included in this definition are opium-opium derivativis (morphine, codein, methadone).

72

(24)

Artinya narkotika adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah masuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine, codein, methadone).73

Definisi lain dari Biro Bea dan Cukai Amerika Serikat dalam buku “Narcotic Identification Manual”, sebagaimana dikutip Djoko Prakoso, Bambang Riyadi, dan Mukhsin mengatakan bahwa:

Narkotika adalah candu, ganja, kokain, zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda tersebut, yakni morphine, heroin, codein, hasisch, cocain. Dan termasuk juga narkotika sintesis yang menghasilkan zat-zat, obat-obat yang tergolong dalam Hallucinogen dan Stimulant.74

Sedangkan menurut Redoovende Middelen Ordonantie Staatblad 1972 No. 278 jo. No.536 yang telah diubah dan ditambah, yang dikenal sebagai undang-undang obat bius narkotika adalah “bahan-bahan yang terutama mempunyai efek kerja pembiusan, atau yang dapat menurunkan kesadaran juga menimbulkan gejala-gejala fisik dan mental lainnya apabila dipakai secara terus menerus dan liar dengan akibat antara lain terjadinya ketergantungan pada bahan-bahan tersebut”.

Narkotika pada Pasal 4 V.M.O staatblad 1927 No.278 jo. No.536 adalah untuk tujuan pengobatan atau ilmu pengetahuan. Obat bius, kecuali candu olahan, cocaine kasar, codeine hanya dapat diolah dan dikeluarkan oleh mereka yang ditentukan undang-undang, yaitu:apoteker dan ahli kedokteran, dokter hewan, dan pengusaha pabrik obat. 75

(25)

a. Dasar dalam Menetapkan Perbuatan sebagai Tindak Pidana

Hukum pidana berpedoman pada perbuatan yang dapat dipidana dan ada pidananya. Perbuatan yang dapat dipidana itu merupakan obyek ilmu pengetahuan hukum pidana dalam arti luas, dan harus dibedakan: 76

a. Perbuatan jahat sebagai gejala masyarakat dipandang secara kongkrit sebagaimana terwujud dalam masyarakat adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma-norma dasar masyarakat. Ini adalah pengertian perbuatan jahat dalam arti kriminologis.

b. Perbuatan jahat dalam arti hukum pidana, yaitu sebagaimana terwujud in abstracto dalam peraturan-peraturan hukum pidana.

Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut.77 Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja diingat bahwa larangannya ditujukan kepada perbuatan, yaitu menurut Van Hamel dikatakan sebagai suatu gerakan yang menampakkan diri sebagai pernyataan dari kehendak dan menyebabkan akibat-akibat di alam nyata.78

76

Sudarto. Hukum Pidana, Jilid IA. ( Semarang: Fakultas Hukum Undip, 1975), hlm. 30.

Atau merupakan suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, kelakuan orang disini atau tingkah laku didefinisikan oleh Duyker sebagai “gerakan yang berarti, yaitu gerakan dimana ada suatu hubungan antara satu subyek dengan sekelilingnya. Di sini subyek bertindak

77

Andi, Hamzah. Hukum Pidana dan Acara Pidana. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986).

78

(26)

dalam suatu hubungan maka ia selalu mempunyai beberapa alternatif. Dimana tingkah laku itu berpangkal pada alternatif tersebut.

Faktor-faktor yang ada diatas menurut Roeslan Saleh bahwa, “jika pembentuk Undang-Undang berkeinginan untuk melarang suatu perbuatan, maka ia dapat melakukannya dengan menunjukkan perbuatan itu sebagai delik. Jika arti dari perbuatan itu dalam berbagai kelompok dan lapisan masyarakat itu banyak sedikitnya adalah sama. Jika tidak, maka pembentuk Undang-Undang harus lebih jauh menentukan secara khusus mengenai larangan itu.79

Sanksi pidana diperuntukkan terhadap perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama, kesusilaan, maupun moralitas. Moralitas bukan sekedar perbuatan yang benar, tetapi perbuatan benar atas dasar suatu prinsip. Selain itu sanksi pidana juga digunakan terhadap perbuatan yang dianggap membahayakan kehidupan masyarakat, dan Negara yang dikhawatirkan dapat menghambat tercapainya pembangunan nasional.

Perbuatan apa saja yang dipandang sebagai tindak pidana dikenal adanya azas. Yakni yang dikenal dengan azas legalitas bahwa tiada suatu perbuatan pun yang dapat dipidana melainkan karena ditentukan sedemikian oleh suatu peraturan perundangan yang telah ada terlebih dahulu.

Azas Legalitas lebih lanjut menjelaskan: 80

1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.

79

Ibid., hlm. 35.

80

(27)

2. Untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh digunakan analogi. Analogi yang dimaksud disini adalah tidak berpegang lagi pada aturan yang ada,

sehingga bertentangan dengan azas ini.

3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Azas legalitas pada dasarnya merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberikan batas-batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi apa yang boleh dan apa yang dilarang.

Saat ini hukum pidana mengalami suatu pertumbuhan yang dapat dipidana. Bahkan menurut Roeslan Saleh telah terjadi “inflasi hukum pidana”. Terjadinya inflasi hukum ini menurut Hanafi dikarenakan dalam hukum positif, tiap-tiap tindak pidana disebutkan seteliti-telitinya dengan menentukan unsur-unsur materiilnya. Oleh karena itu perbuatan-perbuatan yang merugikan yang terus berkembang yang tidak diatur dengan rinci unsur-unsurnya dalam perumusan tindak pidana tidak terjangkau oleh hukum pidana

b. Instrumen Hukum Nasional Terkait Dengan Narkotika 1. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

(28)

Convention Against Illicit Traffin in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun 1972.81

Narkotika didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Pembentukan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bertujuan:

a. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/ atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika,

c. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dan

d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu Narkotika.

Pasal 4 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut di atas, yakni huruf (d) menyebutkan bahwa Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan

81

(29)

menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan Pecandu Narkotika. Untuk pelaksanaan rehabilitasi sendiri diatur dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 54, yakni menyebutkan Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Secara tegas kaitan antara pasal di atas mengakui pengkategorian penyalahgunaan narkotika adalah merupakan seorang korban. Serta merta kedudukan Negara sebagai penanggung jawab untuk memfasilitasi pemenuhan layanan manfaat rehabilitasi tersebut, guna membantu proses pemulihan dari ketergantungan narkotika.82

Tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, dan banyak menimbulkan korban, terutama dikalangan generasi muda bangsa yang membahayakan kehidupan masyarakat. Konteks pencegahan dari teori kebijakan pencegahan dan penanggulangan harus menunjang tujuan kesejahteraan masyarakat dan perlindungan masyarakat.

Ketentuan pidana Narkotika (bentuk tindak pidana yang dilakukan serta ancaman sanksi pidana bagi pelakunya) yang diatur dalam Undang-Undang Narkotika tercantum lebih dari 30 Pasal, yaitu Pasal 111 sampai dengan Pasal 142 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Bab XV Pasal 127 ayat (1) menyebutkan bahwa, setiap Penyalah Guna:

82

(30)

a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan

c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

Sedangkan ayat (2) menyatakan, dalam memutus perkara sebagaimana yang dimaksud ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. Ayat (3) menyebutkan, dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pasal 103 ayat (1) menyatakan, hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:

b. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/ atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau

c. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika, sedangkan

(31)

Secara garis besar dapat ditarik kesimpulan, bahwa peruntukan Pasal 4, Pasal 54, Pasal 127 dan Pasal 103 Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika merupakan konsep kebijakan hukum yang dibentuk guna dilakukannya upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap tindak pidana narkotika, sekaligus memberikan manfaat dalam proses rehabilitasi. Hal tersebut juga sebagai pencapaian kesejahteraan dan perlindungan masyarakat.

Secara sosiologis pencapaian hukum di tataran organisasi atau institusi pemerintahan, menyimpulkan aturan kebijakan ini sebagai perintah atau norma hukum. Sebagai kewajiban pemerintah (baik legislatif, eksekutif dan yudikatif) dalam melakukan aplikasi untuk pencapaian efektifitas hukum. Pencapaian tujuan hukum secara filosofis merupakan nilai positif yang tertinggi, yang merupakan tanggung jawab pemerintah dalam mengemban tanggung jawab pelaksana sebagai subjek hukum83.

2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika

Penegakan hukum pidana Psikotropika diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 (selanjutnya ditulis: UU No. 5 Tahun 1997) mengatur sejumlah ketentuan pidana psikotropika, yang dirumuskan dalam sejumlah pasal.

Pembentukan UU No. 5 Tahun 1997 dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan, sebagai berikut.84

83

Zainudin Ali, “Sosiologi Hukum”, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2006)., hlm. 62.

84

(32)

1. Psikotropika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, maka ketersediaannya perlu dijamin. 2. Penyalahgunaan psikotropika dapat merugikan kehidupan manusia dan

kehidupan bangsa, sehingga pada gilirannya dapat mengancam ketahanan nasional.

3. Semakin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, transportasi, komunikasi, dan informasi telah menyebabkan gejala meningkatnya peredaran gelap psikotropika yang makin meluas serta berdimensi internasional.

Psikotropika menurut UU No.5 Tahun 1997, adalah sebagai zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1997 dijelaskan bahwa ruang lingkup pengaturan di bidang psikotropika yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1997 segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang mempunyai potensi menyebabkan sindroma ketergantungan.

Adapun psikotropika yang mempunyai potensi menyebabkan sindroma ketergantungan digolongkan menjadi (Pasal 2 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1997):

(33)

Tujuan Pengaturan Psikotropika pada Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1997, adalah menjamin (1) ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, (2) mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika, dan (3) memberantas peredaran gelap psikotropika.

Berkaitan langsung dengan ketentuan Pasal 3 diatas, pada Pasal 4 ayat (1),(2), dan (3) UU No. 5 Tahun 1997 ditegaskan bahwa:

(1) Psikotropika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan / atau ilmu pengetahuan;

(2) Psikotropika Golongan I hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan; dan

(3) Selain penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Psikotropika Golongan I dinyatakan sebagai Barang terlarang.

Pengaturan psikotropika agar sesuai dengan penggunaannya untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan perkembangan ilmu pengetahuan, tidak terjadi penyalahgunaan sekaligus memberantas peredaran gelap psikotropika, maka dalam UU No. 5 Tahun 1997 dirumuskan ketentuan pidana psikotropika dan penegakan hukum atas ketentuan pidana tersebut dalam sejumlah pasal.

Pasal 59 ayat (1), (2), dan (3) serta pasal 60 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1997 adalah dua pasal yang memuat ketentuan pidana dimaksud. Ketentuan Pasal 59 ayat (1), (2), dan 3 UU No.5 Tahun 1997 berbunyi sebagai berikut.

(1) Barangsiapa:

(34)

b. Memproduksi atau menggunakan dalam proses produksi Psikotropika Golongan I, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau

c. Mengedarkan Psikotropika Golongan I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau

d. Mengimpor psikotropika Golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan; atau

e. Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/ atau membawa Psikotropika Golongan I;

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

(3) Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka disamping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah).

Ketentuan Pasal 60 ayat (1), (2), (3),(4), dan (5) UU No. 5 Tahun 1997 berbunyi sebagai berikut.

(35)

a. Memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5; atau

b. Memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak memenuhi standard dan/ atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; atau

c. Memproduksi atau mengedarkan Psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3) Barangsiapa menerima penyaluran psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(4) Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14ayat (1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana pejara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(36)

3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Apabila yang menerima itu pengguna, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.

Keberadaan psikotropika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, namun penyalahgunaan psikotropika dapat merugikan kehidupan manusia dan kehidupan bangsa, maka ketersediaannya perlu dijamin.

Pengaturan tentang Rehabilitasi dalam UU No. 5 Tentang Psikotropika tersebut pada Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39. Secara jelas dan tegas wujud aturan kebijakan rehabilitasi adalah sebagai berikut:85

a. Pasal 37 dan Pasal 38

“penanggulangan pengguna psikotropika dengan mewajibkan untuk ikut serta dalam pengobatan dan/atau perawatan yang dilakukan pada fasilitas rehabilitasi bertujuan untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial, sedangkan

b. Pasal 39

“Penanggulangan bagi pengguna psikotropika dilaksanakan pada fasilitas rehabilitasi, yakni rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pelaksanaan rehabilitasi dapat dilakukan atas dasar izin dari Menteri, dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Merujuk pada arah dan tujuan dari pencapaian Undang-Undang Psikotropika

85

(37)

guna peraturan atau kebijakan itu dapat terlaksana dalam aplikasinya sebagai suatu perintah yang harus dipatuhi oleh semua pihak yang bertanggung jawab. Kebijakan rehabilitasi berupaya melakukan pencegahan dan penanggulangan yang merupakan bagian dari tolak ukur untuk mengemukakann suatu upaya yang rasional dalam menaggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana penal dan non penal.

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional Badan Narkotika Nasional yang selanjutnya disebut dengan BNN berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2010 tentang Narkotika adalah lembaga pemerintah non kementerian yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui koordinasi Kepala Negara Republik Indonesia. BNN juga bertugas menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk. 86

Mempertimbangkan buruknya efek narkoba pada otak yang menyebabkan gangguan kejiwaan, Badan Narkotika Nasional menilai bahwa pengguna narkoba mestinya tidak dimasukkan penjara melainkan di tempat rehabilitasi. Seperti disampaikan Deputi Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Diah Setia Utami bahwa pemulihan di rehabilitasi merupakan cara terbaik bagi mereka yang sudah

86

(38)

mengkonsumsi narkoba. Khususnya mereka yang kecanduan, kebijakan rehabilitasi dapat mengurangi dampak buruk yang akan terjadi di lingkungan sosial.87

Orang yang pernah mencoba narkoba, semua bagian otaknya berubah. Mereka itu sakit butuh pemulihan. Dan penjara bukan jawabannya. Di penjara, orang yang baru coba-coba akan bertemu dengan bandar dan pecanduembakau dan alkohol. Kebijakan Rehabilitasi dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Narkotika diatur dalam Pasal 22, tentang penyelenggaraan fungsi, yaitu terdiri dari beberapa huruf;

a. Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan nasional dan kebijakan teknis P4GN;

b. Penyusunan dan perumusan norma, standar, criteria, dan prosedur di bidang rehabilitasi berbasis komunitas terapeutik atau metode lain yang telah teruji keberhasilannya dan penyatuan kembali ke dalam masyarakat serta perawatan lanjutan penyalahguna dan/ atau pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol;

c. Pelaksanaan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi dengan instansi pemerintah terkait dan komponen masyarakat dalam pelaksanaan P4GN di bidang rehabilitasi;

d. Pelaksanaan rehabilitasi berbasis komunitas terapeutik atau metode lain yang telah teruji keberhasilannya dan penyatuan kembali ke dalam

(39)

masyarakat serta perawatan lanjutan bagi penyalahguna dan/ atau pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol;

e. Pelaksanaan peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna dan/ atau pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;

f. Pembinaan teknis rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi berbasis komunitas terapeutik atau metode lain yang telah teruji keberhasilannya dan penyatuan kembali ke dalam masyarakat serta perawatan lanjutan bagi penyalahguna dan/ atau pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alcohol, kepada instansi vertikal di lingkungan BNN;

g. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kebijakan nasional P4GN di bidang rehabilitasi.

Point “d” menegaskan bahwa kebijakan rehabilitasi dengan metode terapeutik atau metode lain, dan upaya penyatuan kembali ke dalam masyarakat serta adanya perawatan lanjutan bagi penyalahguna dan/ atau pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya menyimpulkan telah teruji tingkat kemanfaatan dan keberhasilannya.

(40)

pidana narkotika dari kebijakan aturan dalam Undang-Undang tentang Badan Narkotika Nasional adalah kewajiban BNN yang bertanggung jawab sebagai institusi yang berwenang dalam hal tersebut.

4. Peraturan Menteri Sosial RI No. 26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya

Korban penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya berhak atas rehabilitasi sosial yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika .88

Adanya Peraturan Menteri Sosial ini jelas bahwa pemerintah mendukung penuh akan kebijakan rehabilitasi guna untuk perawatan bagi penyalahguna dan/ atau pecandu Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya. Kebijakan rehabilitasi dalam Pasal 8 Peraturan Menteri Sosial RI No. 26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya, untuk melakukan pencegahan. Yakni;

Dampak dari penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya semakin meningkat pada masyarakat luas, baik terhadap perseorangan, keluarga, dan masyarakat. Kiranya dari dampak tersebut perlu penanganan khusus secara terpadu dan professional.

(1) Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA meliputi: a. primer;

88

(41)

b. sekunder; dan c. tersier.

(2) Pencegahan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan upaya untuk mencegah seseorang menyalahgunakan NAPZA.

(3) Pencegahan sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan upaya pencegahan yang dilakukan terhadap pengguna agar tidak mengalami ketergantungan terhadap NAPZA.

(4) Pencegahan tersier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan upaya pencegahan terhadap pengguna yang sudah pulih dari ketergantungan NAPZA setelah menjalani rehabilitasi sosial agar tidak mengalami kekambuhan.

Jelas tampak upaya dan strategi pelaksanaan rehabilitasi berusaha menyembuhkan penyalahguna dan/ atau pecandu narkotika untuk pulih dan mencegah si penyalahguna dan/ atau pecandu kembali pada narkotika lagi. Sehingga tujuan pembangunan Nasional oleh generasi muda dapat terwujud.

5. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 4 Tahun 2010 Tentang Penempatan Korban Penyalahguna Narkotika Ke Lembaga Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial

(42)

Narkotika,89 agar penyalahguna Narkotika yang berhadapan dengan hukum ditempatkan pada rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dengan ditambahkan peraturan ini, peluang agar penyalahguna dan/ atau pecandu narkotika mendapatkan haknya untuk pulih dari ketergantungan narkotika.Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia ini mendukung kebijakan dalam tahap aplikatif/ yudikatif (penerapan).

6. Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 41/HUK/2014 Tentang Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahguna Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya Sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor Bagi Korban Penyalahguna Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya Tahun 2014

Wajib lapor adalah kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh pecandu narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya, dan/ atau orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur kepada institusi penerima wajib lapor untuk mendapatkan pengobatan dan/ atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Institusi Penerima Wajib Lapor adalah merupakan pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/ atau lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah.

Adanya Keputusan Menteri Sosial ini menjadi instrument pendukung kebijakan rehabilitasi untuk korban penyalahgunaan Napza, yakni seseorang yang menggunakan NAPZA tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. Dimana dapat melapor ke Lembaga Rehabilitasi Sosial yang ditunjuk oleh Kementerian Sosial Sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor. Terkait pada pihak yang wajib lapor

89

(43)

memiliki relavansi yang sebelumnya telah diatur dalam Pasal 134 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Menyebutkan Pecandu yang telah cukup umur tidak melaporkan diri akan dipidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan pidana denda sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) sedangkan untuk untuk keluarga dari pecandu narkotika dengan sengaja tidak melaporkan maka dipidana kurungan selama 3 (tiga) bulan dan pidana denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Adapun pihak-pihak yang melapor adalah sebagai berikut:

1. Korban penyalahguna NAPZA/Pecandu yang sudah cukup umur (18 tahun ke atas);

2. Keluarga/ wali korban penyalahgunaan NAPZA bagi yang belum cukup umur ataupun yang telah cukup umur;

(44)

Skema 2. Proses Wajib Lapor

Strategi untuk penegakan hukum secara efektif dengan menggunakan kebijakan kriminal dapat dilakukan dengan dua cara, yakni melalui sarana penal atau penegakan hukum pidana dan sarana non penal. Penggunaan dengan sarana penal, merupakan menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum dengan menegakkan hukum sebagai upaya punishment.

(45)

pengguna, tidak hanya terbatas pada sanksi pidana dan juga tidak selamanya penegakan hukum harus memenjarakan sebanyak-banyaknya para pengguna narkotika dan psikotropika di lembaga pemasyarakatan. Dalam hal ini hakim juga berwenang memberikan putusan hukum agar dilakukan perawatan, yakni rehabilitasi, baik rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sebagai salah satu bentuk upaya terapi dengan metode yang terpilih keberhasilannya yang diselenggarakan oleh pemerintah.

2. Kebijakan Non Penal (Non Penal Policy)

Kebijakan Kriminal meliputi ruang lingkup dengan menggunakan hukum pidana (penal policy) dan menggunakan upaya nonpenal. Dengan menggunakan upaya non penal dapat meliputi bidang yang sangat luas yakni di seluruh sektor kebijakan sosial. Tujuan utama dari upaya nonpenal adalah guna memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.90

Kebijakan non penal ini lebih condong kearah pencegahan terhadap timbulnya suatu kejahatan dengan melalui pendekatan non penal yang adalah pendekatan terhadap kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan. Kebijakan non penal yang dilakukan oleh pemerintah dalam penanggulangan bahaya narkoba antara lain melalui treatment dan pengobatan berbasis rehabilitasi bagi para pecandu.

Selain upaya penanggulangan narkoba, pemerintah juga melakukan upaya dalam mencegah keterlibatan seseorang terutama para remaja dalam penyalahgunaan

90

(46)

bahaya narkoba dengan melalui komunikasi dalam bentuk media massa cetak maupun elektronik dengan maksud menyebarkan informasi dan menyadarkan khalayak luas tentang ancaman bahaya narkoba.91

a. Pencegahan Preventif

Upaya pencegahan juga diterapkan melalui pendidikan formal dalam kurikulum mata pelajaran, maupun pendidikan non formal seperti seminar, dan pelatihan demi memberikan pengetahuan dan pencegahan agar remaja dapat berperilaku sehat tanpa narkoba. Proses upaya pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika terdiri dari:

Pencegahan ini bertujuan menghindari generasi muda yang belum mengenal dan mencoba narkoba dari pengaruh buruk lingkungan penyalahgunaan narkoba. Adapun kegiatan yang dilakukan yaitu dalam bentuk penyuluhan dalam lapisan masyarakat, pendidikan terhadap orangtua mengenai cara mengasuh anak yang baik dan mencegah terjadinya penyalahgunaan narkoba.

Upaya nonpenal ini seperti penyantunan, pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, dan dan tindakan prevensi atau pencegahan dalam bidang kesehatan mental yang merupakan fokus atau strategi pokok dalam upaya mengurangi terjadinya gangguan mental anggota masyarakat.92

91

Wawancara dengan Bapak Lerry Harsen Simatupang (Pelaksana Program di PSPP Insyaf Sumatera Utara), tanggal 14 Juli 2014.

Penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama, dan sebagainya: peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja:

92

(47)

kegiatan Karang Taruna, Pramuka, kegiatan-kegiatan patrol dan pengawasan lainnya secara kontinu oleh polisi dan aparat keamanan lainnya, dan sebagainya.

Pola pencegahan penyalahgunaan/ ketergantungan NARKOBA dapat dilihat dari dua aspek yaitu upaya supply reduction dan demand reduction, dengan pendekatan security approach dan walfare approach.93

Supply reduction adalah upaya-upaya untuk mengurangi sebanyak mungkin pengadaan dan peredaran Narkoba. Seperti upaya pemberantasan penyelundupan dan razia terhadap peredaran Narkoba. Upaya supply reduction ini tergolong pada pencegahan dan pemberantasan melalui kebijakan penal (penal policy). Sedangkan demand reduction adalah upaya-upaya untuk mengurangi sebanyak mungkin permintaan atau kebutuhan terhadap Narkoba oleh para penyalahguna. Upaya demand direction ini dilakukan oleh kalangan kedokteran dan kesehatan maupun masyarakat serta instansi yang terkait. Upaya ini dilakukan dengan pendekatan walfare approach yaitu pendekatan kesejahteraan, dengan penyuluhan kepada masyarakat, terapi dan rehabilitas terhadap para penyalahguna dan/ atau pecandu narkoba.

Upaya pencegahan dapat dilakukan apabila diketahui pola penyebaran dan penularan “penyakit narkoba”. Pencegahan atau prevensi terbagi dalam 3 bagian yaitu:94

a. Prevensi primer, adalah pencegahan agar orang yang sehat tidak terlibat penyalahgunaan / ketergantungan Narkoba.

93

Wirman. Masalah Narkoba dan Upaya Pencegahannya. (Badan Perpustakaan Arsip Daerah, Provinsi Sumatera Utara), hlm. 31.

94

(48)

b. Prevensi Sekunder, adalah terapi (pengobatan) terhadap mereka yang terlibat penyalahgunaan/ ketergantungan Narkoba (pasien).

c. Prevensi tersier, adalah rehabilitasi bagi penyalahgunaan/ ketergantungan Narkoba setelah memperoleh terapi.

Ada 3 kategori penyalahgunaan/ ketergantungan Narkoba:95

1. Sebagai pasien, yang perlu mendapat terapi dan rehabilitasi dan bukannya hukuman.

2. Sebagai korban, yang perlu mendapat terapi dan rehabilitasi dan bukan hukuman.

3. Sebagai pemakai sekaligus pengedar, perlu mendapat terapi, rehabilitasi dan dilanjutkan dengan proses hukun (hukuman).

b. Pencegahan Represif

Pencegahan ini bertujuan untuk menghindarkan generasi muda yang sudah mulai mencoba menggunakan narkoba dari pengaruh yang lebih parah dan mengusahakan mereka untuk berhenti. Adapun kegiatan yang dilakukan antara lain dengan konseling perorangan atau keluarga, melibatkan anak dalam kegiatan keagamaan, menjauhkan anak dari tempat biasa ia bergaul.

Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial terlihat pula dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus 1980 di Semarang. Dalam salah satu laporannya dinyatakan antara lain sebagai berikut (BPHN, 1986:161): Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atau suatu perbuatan

95

(49)

haruslah sesuai dengan politik kriminal yang di anut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat.

Sistem penegakan hukum narkotika yang terdapat dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, berfungsi untuk menjamin ketersediaan obat guna kepentingan ilmu pengetahuan, teknologi, serta kesehatan, mencegah penyalahgunaan narkotika, dan juga berfungsi untuk memberantas peredaran gelap narkotika, serta adanya Pasal yang menjamin upaya pelaksanaan rehabilitasi, baik rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

c. Treatment dan Rehabilitasi

Pencegahan ini bertujuan untuk mengobati dan memulihkan kondisi fisik, psikis, mental, moral dan sosial mantan korban penyalahgunaan narkoba serta untuk mencegah kembalinya ke jalan tersebut. Kegiatan yang dilakukan berupa bimbingan sosial kepada korban dan keluarganya serta kelompok sebayanya, melibatkan anak kedalam kegiatan agama dan sosial serta pengawasan ketat agar tidak terjerumus kembali.

Tujuan terapi dan rehabilitasi menurut The Indonesian Florence Nightingale Foundation adalah sebagai berikut: 96

1. Abstinensia atau menghentikan sama sekali penggunaan NAPZA. Tujuan ini tergolong sangat ideal,namun banyak orang tidak mampu atau mempunyai motivasi

96

(50)

untuk mencapai tujuan ini, terutama kalau ia baru menggunakan NAPZA pada fase-fase awal. Pasien tersebut dapat ditolong dengan meminimasi efek-efek yang langsung atau tidak langsung dari NAPZA. Sebagian pasien memang telah abstinesia terhadap salah satu NAPZA tetapi kemudian beralih untuk menggunakan jenis NAPZA yang lain.

2. Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps Sasaran utamanya adalah pencegahan relaps. Bila pasien pernah menggunakan satu kali saja setelah “clean” maka ia disebut “slip”. Bila ia menyadari kekeliruannya, dan ia memang telah dibekali ketrampilan untuk mencegah pengulangan penggunaan kembali, pasien akan tetap mencoba bertahan untuk selalu abstinensia. Pelatihan relapse prevention programe, Program terapi kognitif, Opiate antagonist maintenance therapy dengan naltreson merupakan beberapa alternatif untuk mencegah relaps.

Referensi

Dokumen terkait

Variabel pemisahan memiliki pengaruh yang positif terhadap peningkatan jumlah laba operasional di Bank BNI Syariah, sehingga pemisahan unit usaha syariah menjadi bank umum

Kemudian setelah peneliti telah uraikan, dapat dilihat dari latar belakang diatas, hal tersebut menarik untuk diteliti, adapun yaitu meneliti bagaimana Dinas Kepemudaan Olahraga

Onwubiko adalah seorang Direktur dan Pendiri dari Grace Evangelistic Ministries, yang didirikan pada tahun 1997 sebagai organisasi misionaris pengajaran Alkitab dengan fokus utama

BANK DATA FASYANKES DINKES KAB/KOTA DINKES PROV KEMENTERIAN KESEHATAN - Jaringan Puskesmas - Fasyankes lainnya SEKTOR LAIN Petugas Lapangan Implementasi Sistem Elektronik dalam

LAPORAN PENELITIAN PEMAKAIAN SARANA MULTIMEDIA SEBAGAI ..... ADLN Perpustakaan

Dengan menerapkan sistem modern negara bangsa seperti yang dikenal saat ini, ketetapan dan penetapan hukum Islam dalam proses legislasi tidak lagi akan

Tabel 4.5 Hasil Observasi Afektif Siswa Pertemuan 1 dan 2 Siklus I Dilihat Dari Kemampuan Per Individu Siswa

Tujuan dari penelitian adalah (1) Untuk medeskripsikan metode budidaya padi sawah metode SRI di Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi, (2) Membandingkan struktur biaya