• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Ibu - Pengaruh karakteristik Dan Dukungan Keluarga Pada Ibu yang Memuliki Bayi Berumur 0 Sampai 3 Bulan terhadap Pemberian Imunisasi HB-0 di Wilayah Kerja Puskesmas Batang Pane II Kecamatan Padang Bolak Kabupaten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Ibu - Pengaruh karakteristik Dan Dukungan Keluarga Pada Ibu yang Memuliki Bayi Berumur 0 Sampai 3 Bulan terhadap Pemberian Imunisasi HB-0 di Wilayah Kerja Puskesmas Batang Pane II Kecamatan Padang Bolak Kabupaten "

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Ibu

Banyak faktor yang memengaruhi seseorang untuk melaksanakan pemberian imunisasi HB-0. Menurut Chen RT dalam Hadi (2005) faktor-faktor yang memengaruhi ketepatan pemberian imunisasi HB-0 adalah : faktor perilaku, faktor non perilaku dan faktor lingkungan. Faktor perilaku mencakup perilaku ibu dan perilaku tenaga kesehatan, faktor non perilaku misalnya sulitnya mencapai sasaran pelayanan kesehatan, mahalnya biaya transportasi dan mahalnya biaya jasa pelayanan kesehatan, termasuk faktor lingkungan dan manajemen program yang meliputi komitmen global program imunisasi, kebijakan pemerintah pusat dan daerah, pengaruh sarana dan prasarana termasuk tersedianya vaksin dengan cukup sesuai kebutuhan dan tenaga kesehatan yang tersedia, terjangkau oleh masyarakat dapat memberikan kontribusi terhadap ketepatan pemberian imunisasi HB-0.

(2)

Perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku juga dapat dikatakan sebagai totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara beberapa faktor. Sebagian besar perilaku manusia adalah operant response yang berarti respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus tertentu yang disebut

reinforcing stimulation atau reinforce yang akan memperkuat respon. Oleh karena itu untuk membentuk perilaku seperti perilaku pemberian imunisasi HB-0 perlu adanya kondisi tertentu yang dapat.

Di antara berbagai teori dan model perilaku kesehatan, yang saat ini menonjol di bidang promosi dan komunikasi kesehatan, salah satunya adalah Model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model). Menurut model kepercayaan kesehatan (Becker, 1974, 1979), perilaku ditentukan apakah seseorang : (1) percaya bahwa mereka rentan terhadap masalah kesehatan tertentu; (2) menganggap masalah ini serius; (3) menyakini efektivitas tujuan pengobatan dan pencegahan; (4) tidak mahal; dan (5) menerima anjuran untuk mengambil tindakan kesehatan.

Health Belief Model merupakan teori yang digunakan untuk mengidentifikasikan faktor-faktor yang memengaruhi preventive health belief

(perilaku kesehatan pencegahan) seperti pemeriksaan berkala dan imunisasi (Rosentock & Kirsht, 1979 cit Gochman, 1988). Komponen kunci dan teori ini adalah (1) perceived susceptibility (persepsi akan kerentanan), (2) perceived severity

(3)

cues to action (isyarat untuk bertindak), (6) faktor lainnya seperti sosial, dukungan suami/keluarga, kepercayaan.

Dalam membahas faktor-faktor yang memengaruhi perilaku dilakukan pendekatan beberapa teori perilaku sehat, perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yakni :

2.1.1. Faktor-faktor Predisposisi (Predisposing Factors)

Yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang. Faktor-faktor ini mencakup : pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi, adat istiadat dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan dan juga variasi demografi seperti tingkat sosial ekonomi, umur, jenis kelamin dan susunan keluarga. Faktor ini lebih bersifat dan dalam din individu tersebut. Dalam faktor predisposisi yang diteliti adalah sebagai berikut:

2.1.1.1. Umur

Menurut Notoatmodjo (2010), umur ibu merupakan salah satu faktor yang memengaruhi perilaku seseorang termasuk dalam hal pemberian imunisasi HB-0 pada umur bayi 0-7 hari. Untuk ibu yang usia muda cenderung untuk tingkat pendidikannya rendah sehingga belum memehami akan manfaat imunisasi, sedangkan ibu yang lebih tua cenderung lebih banyak pengalaman dan informasi yang didapat mengenai manfaat imunisasi bagi bayinya.

(4)

masih rendah, kemudian meningkat pada umur ibu 25-29 tahun. Semakin bertambah umur ibu (peningkatan 1 tahun), bayi cenderung 0,97 kali lebih rendah memperoleh imunisasi Hepatitis B-0 pada umur 0-7 hari dibandingkan ibu yang lebih muda.

2.1.1.2. Pendidikan

Menurut pendapat Pillai dan Conaway (1992) ibu yang berpendidikan memiliki pengaruh lebih besar dalam program pelayanan kesehatan termasuk dalam memberikan imunisasi kepada anaknya sebab mempunyai pengertian lebih baik tentang pencegahan penyakit dan kesadaran lebih tinggi terhadap masalah-masalah kesehatan.

Helmi (2008) dalam penelitiannya menyebutkan ada hubungan antara faktor internal (pengetahuan, tingkat pendidikan) dan faktor eksternal (peran petugas kesehatan) dengan perilaku ibu dalam pemberian imunisasi Hepatitis B, sedangkan faktor internal (kepercayaan) dan faktor eksternal (pendapatan) secara statistik tidak terdapat ada pengaruhnya terhadap pemberian imunisasi Hepatitis B-0.

(5)

Ismail (1999) menemukan adanya hubungan antara status imunisasi dasar lengkap dengan pengetahuan ibu tentang imunisasi, pendidikan orang tua, pendapatan orang tua dan jumlah anak. Diantara beberapa faktor tersebut pengetahuan ibu tentang imunisasi merupakan suatu faktor yang sangat erat.

2.1.1.3. Pekerjaan

Status dan pekerjaan ibu memberi pengaruh terhadap status imunisasi. Ibu yang bekerja di luar rumah lebih sering memberikan imunisasi pada anaknya dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja. Hadi (2005) menyatakan bahwa sebesar 8,44 kali lebih besar pada ibu yang bekerja dibandingkan ibu yang tidak bekerja dalam memberikan imunisasi kepada bayinya.

2.1.1.4. Pengetahuan

(6)

tahun dan hidup di bawah garis kemiskinan (Lukman, 2008).

Penelitian Kasniyah (2001) di Kecamatan Bayan Jawa Tengah menyebutkan bahwa penerimaan ibu terhadap imunisasi luar pengetahuan ataupun pemahaman masyarakat tentang imunisasi. Faktor tersebut berupa anjuran dan pemimpin formal maupun non formal di masyarakat serta anjuran dari petugas kesehatan.

2.1.1.5. Sikap (attitude) 1. Defenisi Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap merupakan kesediaan untuk bertindak dan bukan pelaksanaan motif tertentu. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2007).

Newcomb dalam Notoatmodjo (2007), menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

1. Komponen Pokok Sikap

Allport yang dikutip dari Notoatmodjo (2007) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok, yaitu :

(7)

c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Sebagai contoh misalnya, seorang ibu telah mendengar tentang penyakit hepatitis B (penyebabnya, akibatnya, pencegahannya, dan sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa ibu untuk berpikir dan berusaha supaya anaknya tidak terkena hepatitis B. Dalam berpikir ini komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga ibu tersebut berniat mengimunisasikan anaknya untuk mencegah supaya anaknya tidak terkena hepatitis B. Ibu ini mempunyai sikap tertentu terhadap objek yang berupa penyakit hepatitis

2. Tingkatan Sikap 1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespons (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

(8)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2003).

5. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sikap

1. Faktor Internal (individu itu sendiri), yaitu cara individu dalam menanggapi dunia luarnya dengan selektif sehingga tidak semua yang datang akan diterima atau ditolak.

2. Faktor Eksternal, yaitu keadaan-keadaan yang ada di luar individu yang merupakan stimulus untuk membentuk atau mengubah sikap (Notoatmodjo, 2003).

2.1.2. Faktor-faktor Pemungkin (Enabling Factors)

Yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana, sumber informasi atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut juga faktor-faktor pendukung. Misalnya : Puskesmas, Posyandu, Polindes, Rumah Sakit.

2.1.3. Faktor-faktor Penguat (Reinforcing Factors)

(9)

peraturan-peraturan baik dari pusat maupun dari pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Faktor penguat adalah:

2.1.3.1. Dukungan Keluarga

Menurut Sarwono dalam Yusuf (2007), dukungan adalah suatu upaya yang diberikan kepada orang lain, baik moril maupun materil untuk memotivasi orang tersebut dalam melaksanakan kegiatan. Sistem dukungan untuk mempromosikan perubahan prilaku ada 3, yaitu: (1) dukungan materil adalah menyediakan fasilitas latihan, (2) dukungan informasi adalah untuk memberikan contoh nyata keberhasilan seseorang dalam melaksanakan diet dan latihan, dan (3) dukungan emosional atau semangat adalah memberi pujian atas keberhasilan proses latihan.

Menurut Friedman (1998), dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan

Menurut Rodin & Salovey yang dikutip oleh Niven (2002) mengemukakan bahwa perkawinan dan keluarga merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting. dukungan sosial sebagai info verbal/non verbal, bantuan nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam memberikan keuntungan emosional atau pengaruh pada tingkah laku bagi pihak penerima.

(10)

dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, pendapatan, waktu tempuh, dukungan keluarga dan pelayanan petugas imunisasi.

Friedman dalam Sudiharto (2007), menyatakan bahwa fungsi dasar keluarga antara lain adalah fungsi efektif, yaitu fungsi internal keluarga untuk pemenuhan kebutuhan psikososial, saling mengasuh memberikan kasih saying serta menerima dan mendukung. Menurut Friedman (2003) dukungan keluarga adalah bagian integral dari dukungan social. Dampak positif dari dukungan keluarga adalah meningkatkan penyesuaian diri seseorang terhadap kejadian-kejadian dalam kehidupan.

2.2. Bentuk Dukungan Keluarga i. Dukungan Instrumental

Bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung, seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan dan pelayanana. Bentuk dukungan ini dapat mengurangi stress karea individu langsung memecahkan masalah yang berhubungan dengan materi. Dukungan instrumental sangat dierlukan terutama dalam mengatasi masalah yang di anggap dapat diatasi. ii. Dukungan Informasional

Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi, saran dan umpan balik tentang situasi dan keadaan individu untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan lebih mudah.

iii. Dukungan Emosional

(11)

masalah dengan baik. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapai keadaan yang dianggap tidak dapat diatasi.

iv. Dukungan Penilaian

Bentuk dukungan ini berupa penghargaan tinggi pada individu, pemberian semangat, persetujuan dengan pendapat individu, perbandingan yang positif dengan individu lain. Bentuk dukungan ini membantu individu dalam membangun harga diri dan kompetensi.

Dengan demikian seseorang yang menghadapi persoalan merasa tidak menanggung beban sendiri tetapi masih ada orang lain yang memperhatikan, mau mendengar segala keluhannya, bersimpati dan empati terhadap persoalan yang dihadapinya, bahkan mau membantu memecahkan masalah yang dihadapinya.

Efek dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan berfungsi bersamaan. Secara spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi. Disamping itu, pengaruh positif dari dukungan sosial keluarga adalah pada penyesuaian terhadap kejadian dalam kehidupan yang penuh dengan stress (Setiadi, 2008).

2.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Dukungan Keluarga

(12)

a. Faktor dari Penerima Dukungan (Recipient)

Seseorang tidak akan menerima dukungan social dari orang lain jika ia tidak suka bersosial, tidak suka menolong orang lain, dan tidak ingin orang lain tahu bahwa ia membutuhkan bantuan. Beberapa orang terkadang tidak cukup asertif untuk memahami bahwa ia sebenarnya membutuhkan bantuan dari orang lain, ataumerasa tidak nyaman saat orang lain menolongnya atau tidak tahu kepada siapa dia harus meminta pertolongan.

b. Faktor dari Pemberi Dukungan (Providers)

Seorang terkadang tidak memberikan dukungan social kepada orang lain ketika ia sendiri tidak memiliki sumber daya untuk menolong orang lain, atau tengah menghadapi stres, harus menolong dirinya sendiri atau kurang sensitif terhadap sekitarnya sehingga tidak menyadari bahwa orang lain membutuhkan dukungan darinya.

Menurut Friedman (1998), faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga lainnya adalah kelas sosial ekonomi orang tua. Kelas sosial disini meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan orang tua. Dalam keluarga kelas menengah, suatu hubungan lebih demokratis dan adil mungkin ada, sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas atau otokrasi. Selain itu orang tua dengan kelas sosial menengah mempunyai tingkat dukungan efeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi dari orang tua dengan kelas sosial bawah.

(13)

kebenaran, kemudian memberinya nafkah lahir batin, mempergauli serta menyantuni dengan baik (Harymawan, 2007).

Suami adalah pasangan hidup istri (ayah dari anak-anak), suami mempunyai suatu tanggung jawab yang penuh dalam suatu keluarga tersebut dan suamimempunyai peranan yang penting, dimana suami sangat dituntut bukan hanya sebagai pencari nafkah akan tetapi suami sebagai motivator dalam berbagai kebijakan yang akan di putuskan termasuk merencanakan keluarga (Chaniago, 2002).

2.4. Hepatitis B

Hepatitis B didefinisikan sebagai suatu penyakit yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB) dan ditandai dengan suatu peradangan yang terjadi pada organ tubuh seperti hati (Liver).Penyakit ini banyak dikenal sebagai penyakit kuning, padahal penguningan (kuku, mata, kulit) hanya salah satu gejala dari penyakit Hepatitis itu (Misnadiarly, 2007).

2.4.1. Etiologi

(14)

2.4.2. Sumber Penularan

Virus hepatitis B mudah ditularkan kepada semua orang.Penularannya dapat melalui darah atau bahan yang berasal dari darah, cairan semen (sperma), lendir kemaluan wanita (Sekret Vagina), darah menstruasi. Dalam jumlah kecil HBsAg positif dapat juga ditemukan pada Air Susu Ibu (ASI), air liur, air seni, keringat, tinja, cairan amnion dan cairan lambung (Dalimartha, 2004).

2.4.3. Cara Penularan

Ada dua macam cara penularan Hepatitis B, yaitu transmisi vertikal dan transmisi horisontal.

a. Transmisi vertikal

Penularan terjadi pada masa persalinan (Perinatal).Virus hepatitis B ditularkan dari ibu kepada bayinya yang disebut juga penularan Maternal Neonatal. Penularan ini terjadi akibat ibu yang sedang hamil terserang penyakit Hepatitis B akut atau ibu memang pengidap kronis Hepatitis B (Dalimartha, 2004).

b. Transmisi horisontal

Adalah penularan atau penyebaran Virus hepatitis B dalam masyarakat. Penularan terjadi akibat kontak erat dengan pengidap Hepatitis B atau penderita Hepatitis B akut.Misalnya pada orang yang tinggal serumah atau melakukan hubungan seksual dengan penderita Hepatitis B (Dalimartha, 2004).

Cara penularan paling utama di dunia ialah dari ibu kepada bayinya saat proses melahirkan. Kalau bayinya tidak divaksinasi saat lahir bayi akan menjadi

(15)

Selain itu penularan juga dapat terjadi lewat darah ketika terjadi kontak dengan darah yang terinfeksi virus Hepatitis B (Misnadiarly, 2007).

2.4.4. Masa Inkubasi

Masa inkubasi (saat terinfeksi sampai timbul gejala) sekitar 24-96 minggu (Misnadiarly, 2007).Namun ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa masa inkubasi Virus hepatitis B berkisar dari 15–180 hari (rata-rata 60-90 hari).

2.4.5. Gejala dan Tanda

Gejala penyakit Hepatitis B ditentukan oleh beberapa faktor seperti usia pasien saat terinfeksi, kondisi kekebalan tubuh dan pada tingkatan mana penyakit diketahui. Gejala dan tanda antara lain:

a. Mual-mual (Nausea)

b. Muntah (Vomiting) disebabkan oleh tekanan hebat pada liver sehingga membuat keseimbangan tubuh tidak terjaga

c. Diare

d. Anorexia yaitu hilangnya nafsu makan yang ekstrem dikarenakan adanya rasa mual

e. Sakit kepala yang berhubungan dengan demam, peningkatan suhu tubuh

f. Penyakit kuning (Jaundice) yaitu terjadi perubahan warna kuku, mata, dan kulit. 2.4.6. Kelompok yang Rentan

Adapun kelompok yang rentan terkena Hepatitis B adalah : a. Anak yang baru lahir dari ibu yang terkena Hepatitis B

(16)

c. Mereka yang tinggal atau sering bepergian ke daerah endemis Hepatitis B (Misnadiarly, 2007).

2.4.7. Prognosa

Seseorang yang terinfeksi Virus hepatitis B maka proses perjalanan penyakitnya tergantung pada aktivitas sistem pertahanan tubuhnya. Jika sistem pertahanan tubuhnya baik maka infeksi Virus hepatitis B akan diakhiri dengan proses penyembuhan. Namun, bila sistem pertahanan tubuhnya terganggu maka penyakitnya akan menjadi kronik. Penderita Hepatitis B Kronik dapat berakhir menjadi sirosis hati atau kanker hati (Karsinoma Hepatoseluler). Sirosis dan kanker hati sering menimbulkan komplikasi berat berupa pendarahan saluran cerna hingga Koma Hepatik (Dalimartha, 2004).

2.4.8. Diagnosa

Diagnosa yang dapat dilakukan yaitu serologi (test darah) dan biopsi liver (pengambilan sampel jaringan liver).Bila HBsAg positif maka orang tersebut telah terinfeksi oleh Virus hepatitis B (Misnadiarly, 2007).

2.4.9. Pencegahan Hepatitis B

Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui program imunisasi. Imunisasi adalah upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap suatu penyakit dengan cara memasukkan kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan ke dalam tubuh yang diharapkan dapat menghasilkan zat antibodi yang pada saatnya nanti digunakan untuk melawan kuman atau bibit penyakit yang menyerang tubuh (Hadinegoro, 2008).

(17)

1. Imunisasi Wajib

Imunisasi yang diwajibkan meliputi HB-0 (Hepatitis B 0-7 hari), BCG (Bacille Calmette Guerin), Polio, DTP/HB (Difteria, Tetanus, Pertusis) dan campak. 2. Imunisasi yang Dianjurkan

Imunisasi yang dianjurkan diberikan kepada bayi/anak mengingat beban penyakit (burden of disease) namun belum masuk ke dalam program imunisasi nasional sesuai prioritas.Imunisasi yang dianjurkan adalah HiB (Haemophillus Influenza Tipe B), Pneumokokus, Influenza, MMR (Measles, Mumps, Rubella),

Demam tifoid, Hepatitis A, Varisela, Rotavirus, dan HPV (Human Papilloma Virus) (Dinkes, 20013).

2.5. Pengertian Imunisasi

Imunisasi salah satu cara yang paling efektif untuk memberikan kekebalan khusus terhadap seseorang yang sehat, dengan tujuan utama untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan karena berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Jadi Imunisasi adalah suatu tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin ke dalam tubuh manuasia. Sedangkan kebal adalah suatu keadaan dimana tubuh mempunyai daya kemampuan mengadakan pencegahan penyakit dalam rangka menghadapi serangan kuman tertentu. Kebal atau resisten terhadap suatu penyakit belum tentu kebal terhadap penyakit lain. (Depkes RI, 2000).

(18)

terjadi interaksi antara tubuh dengan benda asing tersebut. Adapun tujuan imunisasi adalah merangsang sistim imunologi tubuh untuk membentuk antibodi spesifik sehingga dapat melindungi tubuh dari serangan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).

Departemen Kesehatan RI (2004), menyebutkan imunisasi adalah suatu usaha yang dilakukan dalam pemberian vaksin pada tubuh seseorang sehingga dapat menimbulkan kekebalan terhadap penyakit tertentu.Oleh karena itu imunisasi merupakan suatu upaya pencegahan yang paling efektif untuk mencegah penularan penyakit. Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kesehatan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga apabila seseorang terpapar antigen yang serupa maka tidak akan pernah terjadi penyakit (Ranuh dkk, 2001).

2.5.1. Program Imunisasi

(19)

Cakupan imunisasi lengkap secara nasional baru mencapai 4% pada tahun 1984. Dengan strategi akselerasi, cakupan imunisasi dapat ditingkatkan menjadi 73% pada akhir tahun 1989. Strategi ini terutama ditujukan untuk memperkuat infrastruktur dan kemampuan manajemen program. Dengan bantuan donor internasional (antara lain WHO, UNICEF, USAID) program berupaya mendistribusikan seluruh kebutuhan vaksin dan peralatan rantai dinginnya serta melatih tenaga vaksinator dan pengelola rantai dingin. Pada akhir tahun 1989, sebanyak 96% dari semua kecamatan di tanah air memberikan pelayanan imunisasi dasar secara teratur.

Pemerintah bertekad untuk mencapai Universal Child Immunization (UCI)

yaitu komitmen internasional dalam rangka Child Survival pada akhir tahun 1990. Dengan penerapan strategi mobilisasi sosial dan pengembangan Pemantauan Wilayah Setempat (PWS), UCI ditingkat nasional dapat dicapai pada akhir tahun 1990. Akhirnya lebih dari 80% bayi di Indonesia mendapat imunisasi lengkap sebelum ulang tahunnya yang pertama (Depkes RI, 2000).

2.5.2. Tujuan Pelaksanaan Imunisasi

(20)

sangat mendorong pelaksanaan program imunisasi sebagai cara untuk menurunkan angka kesakitan, kematian pada bayi, balita dan anak-anak pra sekolah.

Pencapaian program PD3I perlu adanya pemantauan yang dilakukan oleh semua petugas baik pimpinan program, supervisor dan petugas imunisasi vaksinasi.Tujuan pemantauan menurut Azwar (2003) adalah untuk mengetahui sampai dimana keberhasilan kerja, mengetahui permasahan yang ada.Hal ini perlu dilakukan untuk memperbaiki program.

Menurut Sarwono (1998), pemantauan yang dilakukan oleh petugas baik pimpinan program, supervisor dan petugas imunisasi adalah sebagai berikut : Pemantauan ringan adalah memantau apakah pelaksanaan pemantauan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan, apakah vaksin cukup tersedia, pengecekan lemari es normal, hasil imunisasi dibandingkan dengan sasaran yang telah ditetapkan, peralatan yang cukup untuk penyuntikan yang aman dan steril, apakah diantara 6 penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dijumpai dalam seminggu.

(21)

Untuk tingkat kabupaten dan provinsi, maka penilaian diarahkan pada penduduk tiap kecamatan dan kabupaten. Disamping itu, pada kedua tingkat ini perlu mempertimbangkan pula memonitoring evaluasi pemakaian vaksin (Notoatmodjo, 2003).

2.5.3. Imunisasi Hepatitis B

Vaksin Hepatitis B harus segera diberikan setelah lahir, mengingat vaksinasi Hepatitis B merupakan upaya pencegahan yang efektif untuk memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya.Ada dua tipe vaksin Hepatitis B yang mengandung HbsAg, yaitu (1) vaksin yang berasal dari plasma, dan (2) vaksin rekombinan.Kedua vaksin ini aman dan imunogenik walaupun diberikan pada saat lahir karena antibodi anti HBsAg ibu tidak mengganggu respons terhadap vaksin (Wahab, 2002).

Vaksin Hepatitis B sering disebut dengan unject. Unject ini sendiri adalah : Alat suntik (spluit dan jarum) sekali pakai dan tidak dipakai ulang dengan spesifikasi Uniject-HB sebagai berikut:

a. Isi kemasan 0,5 ml

b. Ukuran jarum 25 G x 5/8”

c. Dimensi : panjang kemasan 2,3 x 3,5 cm d. Satu box karton (3 liter) isi 100 uniject

e. Satu coldbox carton (isi 40 liter) berisi 800 uniject HB-0 12 water pack.

(22)

perlu distrerilkan oleh petugas sebelum disuntikan karena sudah steril dari pabriknya, Alat suntik yang dapat mencegah terjadinya penularan penyakit karena jarum suntik hanya dapat dipakai satu kali saja.

Imunisasi Hepatitis B pasif dilakukan dengan memberikan Hepatitis B Imunoglobulin (HBIg) yang akan memberikan perlindungan sampai 6 bulan. HBIg tidak selalu tersedia di kebanyakan negara berkembang, di samping itu harganya yang relatif

mahal. Imunisasi aktif dilakukan dengan vaksinasi Hepatitis B. Dalam beberapa keadaan,

misalnya bayi yang lahir dari ibu penderita Hepatitis B perlu diberikan HBIg mendahului

atau bersama-sama dengan vaksinasi Hepatitis B. HBIg yang merupakan antibodi

terhadap VHB diberikan secara intra muskular dengan dosis 0,5 ml, selambat-lambatnya

24 jam setelah persalinan. Vaksin HB-0 diberikan selambat-lambatnya 7 hari setelah

persalinan.Untuk mendapatkan efektivitas yang lebih tinggi, sebaiknya HBIg dan vaksin

HB-0 diberikan segera setelah persalinan (Dalimartha, 2004).

2.6. Program Imunisasi Hepatitis B di Indonesia

Imunisasi Hepatitis B dimaksudkan agar individu membentuk antibodi yang ditujukan untuk mencegah terjadinya infeksi virus Hepatitis B. Tujuan umum pemberian imunisasi Hepatitis B yaitu untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh infeksi virus Hepatitis B, dengan tujuan khususnya adalah memberikan imunisasi Hepatitis B, tiga dosis kepada bayi berumur 0-11 bulan dengan memberikan dosis pertama sedini mungkin sebelum bayi berumur < 7 hari (Depkes RI, 2000).

(23)

tahun 2000 harus berdasarkan status HbsAg ibu pada saat melahirkan. Bayi dilahirkan dan ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui, diberikan vaksin rekombinan (HB Vak-II 5 mg atau engerix B 10 mg) atau vaksin plasma derived 10 mg secara intra muscular dalam waktu 12 jam setelah lahir. Dosis kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis ketiga pada umur 6 bulan. Apabila pada pemeriksaan selanjutnya diketahui HbsAg ibu positif segera diberikan 0,5 ml HBIG (Hepatitis B Immune Globulin) sebelum usia anak satu minggu. Bayi lahir dari ibu HbsAg positif, dalam waktu 12 jam setelah lahir secara bersamaan diberikan 0,5 ml HBIG dan vaksin rekombinan (HB Vak- II 5 mg atau engerix B 10 mg) intra muscular di sisi tubuh yang berlainan.

Dosis kedua diberikan 1-2 bulan sesudahnya dan dosis ketiga pada usia 6 bulan. Bayi yang lahir dan ibu dengan HbsAg negatif, diberikan vaksin rekombinan (HB Valc-II dengan dosis minimal 2,5 ug atau engerix B 10 ug), vaksin plasma derived dengan dosis 10 ug intra muscular saat lahir sampai usia 2 bulan. Dosis kedua diberikan 1-2 bulan kemudian dan dosis ketiga diberikan 6 bulan setelah dosis pertama.

(24)

petugas KIA sedangkan HB 2 dan HB 3 kewenangan petugas imunisasi. Penjangkauan bayi baru lahir dengan memantau kohort ibu hamil yang dimulai saat ANC.

Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan dosis pertama imunisasi HB-0 diberikan segera setelah lahir sedangkan persalinan yang ditolong oleh dukun, penjangkauannya berdasarkan laporan keluarga/kader/dukun kepada tenaga kesehatan/bidan desa (Depkes RI, 2002).

Vaksin Hepatitis B dibuat dari bagian virus yaitu lapisan paling kuat (mantel virus) yang telah mengalami proses pemurnian. Vaksin HB-0 akan rusak karena pembekuan dan karena pemanasan. Vaksin ini paling baik disimpan pada suhu 2-8°C. adanya perkembangan baru untuk vaksin HB-0 yang disebut uniject prefilled syring

Hepatitis B (Uniject HB). Penggunaan uniject HB-0 oleh bidan di desa adalah salah satu alternatif utama dalam upaya pengembangan Hepatitis B agar bisa segera memberikan imunisasi pada bayi baru lahir 0-7 hari untuk mencegah terjadinya transmisi vertikal (Depkes RI, 2000).

2.6.1. Tujuan Program Imunisasi Hepatitis B

Tujuan program imunisasi Hepatitis B di Indonesia dibagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.

1. Tujuan umum

Adalah untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh infeksi virus Hepatitis B.

(25)

Adalah Pemberian dosis pertama dari vaksin HB-0 kepada bayi sedini mungkin sebelum bayi berumur 7 hari.

2.6.2. Jadwal Imunisasi Hepatitis B

Pada dasarnya jadwal imunisasi Hepatitis B sangat fleksibel sehingga tersedia berbagai pilihan untuk menyatukannya ke dalam program imunisasi terpadu.

Jadwal imunisasi Hepatitis B yaitu :

1. Imunisasi HB-0 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir. 2. Imunisasi hepatitis B-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi

hepatitis B-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respons imun optimal, interval imunisasi hepatitis B-2 dengan hepatitis B-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi hepatitis B-3 diberikan pada umur 3-6 bulan (Hadinegoro, 2008).

Tabel 2.1. Jadwal Imunisasi Hepatitis B

Umur Bayi Imunisasi Kemasan

0-7 hari HB-0 Uniject (HB-monovalen)

2 bulan DPT/HB1 Kombinasi DPT/HB-1

3 bulan DPT/HB2 Kombinasi DPT/HB-2

4 bulan DPT/HB3 Kombinasi DPT/HB-3

Sumber : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2008

2.6.3. Kontra indikasi dan Efek Samping

(26)

bekas suntikan dan reaksi peradangan.Reaksi sistemik kadang timbul berupa panas ringan, lesu, dan rasa tidak enak pada saluran cerna. Gejala di atas akan hilang spontan dalam beberapa hari (Dalimartha, 2004).

2.7. Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian Imunisasi Hepatitis B

Imunisasi merupakan program penting dalam upaya pencegahan primer bagi individu dan masyarakat terhadap penyebaran penyakit menular.Imunisasi menjadi kurang efektif bila ibu tidak mau anaknya di imunisasi dengan berbagai alasan. Beberapa hambatan pelaksanaan imunisasi menurut WHO (2000) adalah pengetahuan, lingkungan, logistik, urutan anak dalam keluarga, jumlah anggota keluarga, sosial ekonomi, mobilitas keluarga, ketidakstabilan politik, sikap tenaga kesehatan, pembiayaan dan pertimbangan hukum.

(27)

imunisasi anak adalah ibu kulit hitam, janda, berpendidikan rendah, dan hidup dibawah garis kemiskinan (Lukman, 2008).

Siswondoyo dan Putra (2003), melakukan survey terhadap ibu-ibu anak usia 12-23 bulan untuk mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengan kelengkapan imunisasi hepatitis B menyebutkan bahwa penerimaan ibu terhadap imunisasi anak dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, pendapatan, waktu tempuh, dukungan keluarga, dan pelayanan petugas imunisasi.

2.8. Landasan Teori

Konsep teori Lawrence Green (1991) dalam Notoatmodjo tahun 2007 yaitu dalam mendiagnosis perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, adalah sebagai berikut:

(28)

Dari kerangka teori diatas dapat dijelaskan bahwa perilaku kesehatan dalam upaya pencegahan penyakit dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut teori Lawrence Green (1991), perilaku kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu (1) faktor predisposisi (predisposing factor) yaitu pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya, (2) faktor pemungkin (enabling factor)yaitu

tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana kesehatan misalnya puskesmas, obat-obatan dan ketersediaan vaksin HB-0 dan (3) faktor penguat (renforcing factor) yaitu sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku petugas serta dukungan keluarga.

(29)

2.9. Kerangka Konsep

Berdasarkan pada landasan teori diatas, maka pada penelitian ini dirumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep menggambarkan bahwa variabel independen dalam penelitian ini adalah faktor predisposisi ( Umur, pendidikan, pekerjaan, jumlah anak, pengetahuan, sikap) dan faktor pendorong (dukungan keluarga) sedangkan variabel dependen adalah pemberian imunisasi HB-0.

Karakteristik Ibu :

• Umur

• Pendidikan

• Pekerjaan

• Jumlah Anak

• Pengetahuan

• Sikap

Pemberian Imunisasi HB-0 Dukungan Keluarga

• Dukungan Informasional

• Dukungan Penilaian

• Dukungan Instrumental

Gambar

Gambar 2.1. Hubungan Status Kesehatan dan Perilaku
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

[r]

- White Board desain perkerasan lentur dengan metode MAK dan melakukan analisis perhitungan sesuai dengan parameter desain yang dipilih. Penutup

Figure 6: Main components of the current implementation of the ´ El´emo project data browser: (a) Google maps-based two-dimensional interactive map; (b) visualisation key; (c)

Sedangkan dalam sisi lain, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, bahwa pernyataan Natsir sebagai salah satu anggota Masyumi tentang maksud suatu negara akan bersifat Islam bukan berarti

Penelitian ini merupakan upaya pembinaan keagamaan peserta didik SMP Negeri 3 Getasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) Bagaimana upaya pembinaan keagamaan

Pengertian budaya menurut para ahli tersebut berbeda-beda, namun tetap mengarah pada satu pengertian, yaitu budaya adalah sesuatu yang digunakan untuk menggambarkan

Damata Arta Nugraha Lamongan sebagai salah satu bank yang sampai sekarang masih eksis di dunia perbankan Indonesia perlu melakukan penyesuaian diri dan

namun mempunyai arti yang sangat penting dalam sistem tata kelola perusahaan maupun dalam aspek manajerial dan investasi dalam suatu organisasi baik organisasi laba