Fungsi Keluarga pada Keluarga yang Memiliki Anak dengan
Intellectual Disability
di Salatiga
Tugas Akhir
Disusun Oleh : Siska Wulandari
462013027
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
▸ Baca selengkapnya: menurut feldman seni memiliki tiga fungsi dalam kehidupan manusia salah satunya adalah fungsi individual yang dimaksud dengan fungsi individual adalah
(2)Fungsi Keluarga pada Keluarga yang Memiliki Anak dengan
Intellectual Disability
di Salatiga
Tugas Akhir
Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam
memperoleh gelar sarjana keperawatan
Disusun Oleh : Siska Wulandari
462013027
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kepada Tuhan Yesus Kistus atas anugrah-Nya peneliti dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul “Fungsi Keluarga pada Keluarga dengan Keluarga yang Memiliki Anak Intellectual Disability di Salatiga”. Tujuan penulisan Tugas Akhir ini sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Keperaatan di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana.
Dalam penyusunana tugas akhir ini peneliti mendapatkan banyak bimbingan
dan dukungan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan kali ini dengan segala
kerendahan hati dan penuh rasa hormat peneliti menghaturkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah memeberikan bantuan, saran, dan dukungan dalam
penyususnan Tugas Akhir ini hingga selesai, terutama kepada yang peneliti hormati
Bapak Ir. Ferry F. Karwur, Msc., Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Kristen Satya Wacana. Bapak Yulius Yusak Ranimpi, M.Si.,PhD.,
Psikolog selaku pembimbing I dan Ibu Ns. Dary, S. Kep., MSN selaku pembimbing
II yang telah banyak memberikana kritik, saran, motivasi, dan bimbingan kepada
peneliti yang sangat berguna dan penyusunan Tugas Akhir ini. Ucapan terimakasih
juga peneliti haturkan kepada Orang tua, Keluarga besar di Palangka Raya, abang
Nius, teman dan sahabat atas doa, bantuan dan dukungannya.
Penulis menadari bahwa tugas akhir ini masih banyak kekurangan, oleh sebab
itu peneliti membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua
pihak demi kesempurnaan Tugas Akhir ini. Semoga Tugas Akhir ini dapat
bermanfaat bagi peneliti dan masyarkat, serta dapat memberikan kontribusi bagi
perkembangan ilmu pengetahuan.
Salatiga, 28 November 2017
v DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS ... i
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH ... ii
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Identitas Keluarga ... 17
Lampiran 2. Panduan Wawancara... ...19
Lampiran 3. Informed Consent ... 23
Lampiran 4. Surat Ijin Penelitian ... 24
Lampiran 5. Surat Keterangan Dari Lokasi Penelitian...25
vii Fungsi Keluarga pada Keluarga yang Memiliki Anak dengan Intellectual
Disability di Salatiga
Siska Wulandari, Yulius Yusak Ranimpi, Dary
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana
Email Korespondensi: yulius.ranimpi@staff.uksw.edu
Abstrak
Intellectual disability merupakan suatu keadaan kecerdasan yang kurang dari rata-rata dan ditandai dengan kemampuan yang terbatas dalam berbahasa, kemandirian merawat diri, bersosialisasi dengan lingkungan, dan kemampuan dalam mengikuti pelajaran di sekolah. Memiliki anak dengan intellectual disability dapat memengaruhi atau berdampak pada fungsi keluarga. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui fungsi keluarga pada keluarga yang memiliki anak dengan intellectual disability di Kota Salatiga. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Jumlah riset partisipan 5 orang/keluarga. Data diperoleh melalui teknik wawancara mendalam. Lokasi penelitian yaitu di SLB Negeri Salatiga, Jawa Tengah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun keluarga memiliki anak dengan intellectual disability mereka tetap menjalankan fungsi keluarga dalam kehidupan sehari-hari dengan baik. Orang tua menerima keberadaan anak dengan tetap memberikan perhatian, membangun hubungan dan kemampuan sosioemosional anak, mengajarkan anak bersosialisasi, memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga secara efektif, memenuhi kebutuhan khusus anak intelectual disablity, serta perawatan kesehatan keluarga.
Kata kunci : Fungsi keluarga, anak dengan intellectual disability
The Function Whose Family Has A Child With Intellectual Disability In Salatiga
Abstract
Intellectual disability is a below average intellectual condition, marked by a limited of the ability in language, self-reliance self-care, socialization with the environment, and ability to follow school lessons. Having the children with intellectual disability gives an impact on the function of family. The purpose of this study is to determine the family function in families who have children with intellectual disability in Salatiga City. The method used in the research is qualitative with phenomenological approach. There were five family involved. In-dept interview was done to get the data. The research took place in SLB Salatiga, Central Java. The result of this research shows that families of the children with intellectual disability are able to perform the function of family in their daily lives. Parents accept the presence of children by continue giving attention, building relationships and abilities of socio-emotional children, teaching children socializing, fulfilling the family economy effectively, fulfilling special needs for children with intellectual disability, and caring for family health.
1 PENDAHULUAN
Anak merupakan karunia yang diberikan Tuhan kepada setiap orang tua.
Setiap orang tua pasti berharap memiliki anak yang sehat, namun seringkali yang
terjadi tidak selalu sesuai harapan. Di antara anak-anak tersebut ada yang mengalami
kecacatan pada aspek fisik ataupun mental. Hal tersebut dapat terjadi saat anak
dikandung atau dalam masa kehamilan ibu, kelahiran, ataupun pada saat masa
tumbuh kembang anak. Anak- anak yang demikian dikategorikan sebagai anak yang
berkebutuhan khusus (Winarti, 2015).
Anak berkebutuhan khusus ini menurut Anggraini (2016) sangat
memerlukan perhatian, baik dalam bentuk kasih sayang, pendidikan dan interaksi
sosial. Hal itu diperlukan agar mereka tetap dapat mengembangkan potensinya secara
optimal. Salah satu jenis anak berkebutuhan khusus yaitu anak dengan intellectual
disability.
Berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2013), menunjukkan bahwa jumlah
penyandang disabilitas/berkebutuhan khusus di Indonesia mencapai 11%. Individu
berkebutuhan khusus yang dimaksud di sini adalah penyandang disabilitas yang
salah satu diantaranya ialah intellectual disability. Menurut Kemanterian Kesehatan
Republik Indonesia (2010, dalam Garina, 2012) populasi penyandang intellectual
disability di Indonesia berdasarkan kategori dibedakan menjadi sangat berat
sebanyak 25%, kategori berat sebesar 2,8%, cukup berat 2,6%, dan ringan 3,5% .
Intellectual disability pada mulanya dikenal dengan istilah retardasi mental
atau tunagrahita. Namun, sejak 28 Januari 2013 organisasi Federal Register di
2
disability (American Psychiatric Association, 2013). Perubahan tersebut dilakukan
karena retardasi mental memiliki konotasi yang negatif. Klasifikasi intellectual
disability menurut Diagnostic and Stastistical Manual of Mental Disorder-V
(DSM-V) berdasarkan tingkat penyesuaian diri dan pemberian intervensi disesuaikan
dengan tingkat keparahan. Klasifikasi pertama, yaitu penyandang intellectual
disability ringan yang memiliki ciri dapat belajar membaca dan berhitung setingkat
anak usia sembilan sampai dua belas tahun. Selain itu, mereka dapat belajar
keterampilan seperti memasak, serta dapat menggunakan transportasi umum. Saat
dewasa mereka dapat hidup mandiri dan bekerja. Klasifikasi kedua, penyandang
intellectual disability sedang pada umumnya mengalami hambatan kemampuan
bicara sehingga perlu dibantu dengan terapi wicara. Mereka dapat melakukan
aktivitas sederhana seperti menjaga kesehatan dan keamanan diri serta bekerja dalam
kelompok. Walaupun demikian mereka tetap memerlukan pendampingan. Klasifikasi
ketiga, penyandang intellectual disability berat dan sangat berat mereka masih dapat
dilatih untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang sederhana, namun masih
memerlukan pendampingan intensif seumur hidupnya (American Psychiatric
Association, 2013).
Individu dengan intellectual disability mengalami gangguan perkembangan,
sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh seperti,
kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosialisasi (Sutini, 2009 dalam Napolion,
2010). Kehadiran anak dengan intellectual disability menyebabkan keluarga merasa
shock, sedih, kecewa, dan dirasakan sebagai beban bagi keluarga, sehingga
menimbulkan reaksi emosional yang dapat menurunkan fungsi dari keluarga
3
Menurut Friedman et al, (2010, dalam Anggraini, 2016) secara umum fungsi
keluarga terdiri dari; fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi
ekonomi, dan fungsi perawatan. Beberapa fungsi tersebut terganggu ketika keluarga
memiliki anak dengan intellectual disability karena keterbatasan yang dimilikinya.
Dalam fungsi afektif keluarga memberikan perhatian khusus dan lebih pada anak
intellectual disability untuk membangun tingkat emosional dan karakter anak sampai
dewasa, sehingga perhatian tersebut terfokus hanya pada anak intellectual disability.
Selain itu, keluarga menjalankan fungsi pendidikan dengan mendidik dan
menyekolahkan anak secara khusus untuk mempersiapkan masa depan mereka,
karena anak butuh bimbingan dalam pengajaran terkhusus pada skill anak seperti
merawat dirinya dan berbicara. Kemudian, keluarga juga memenuhi kebutuhan
ekonomi dengan menyediakan biaya pengobatan dan perawatan khusus terhadap
anak. Hal lain, yang menjadi masalah adalah lingkup sosialisasi keluarga akan
menurun. Hal ini disebabkan adanya penilaian negatif dari masyarakat yang
membuat keluarga menutupi keberadaan anak dan mengisolasi diri dari setiap
kegiatan masyarakat (Malsch, 2008 dalam Napolion, 2010). Jadi, fungsi keluarga
yang terganggu akan berdampak pada anak intellectual disability seperti,
menurunnya kualitas interaksi antara orang tua dan anak. Terkhusus pada anak
dengan intellectual disability, fungsi keluarga yang terganggu akan memengaruhi
tumbuh kembang anak (Lidanial, 2016).
Berdasarkan data-data di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian yang berjudul “fungsi keluarga pada keluarga yang memiliki anak dengan
4
Rumusan Masalah
Bagaimana fungsi keluarga pada keluarga yang memiliki anak dengan
intellectual disability.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan fungsi keluarga pada keluarga yang
memiliki anak dengan intellectual disability.
Manfaat Penelitian
1. Bagi Instansi Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam bidang keperawatan,
khususnya keperawatan anak dan keluarga yang berguna dalam membuat
perencanaan Asuhan Keperawatan kepada keluarga dengan anak intellectual
disability.
2. Bagi Profesi Keperawatan
Melalui penelitian ini profesi keperawatan dapat memberikan dorongan atau
motivasi kepada keluarga dengan anak intellectual disability agar dapat menjalankan
fungsinya dengan baik. Perawat juga diharapkan dapat membantu keluarga dalam
menghadapi masalah terkait fungsi keluarga.
3. Bagi Orang Tua
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi orang tua dengan anak
intellectual disability dalam menjalankan fungsi keluarga, bahwa keterlibatan orang
5 METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Jumlah riset partisipan 5 keluarga dengan kriteria; memiliki anak
dengan intellectual disability, bersedia menjadi partisipan penelitian dan memiliki
kemampuan komunikasi yang baik. Pengambilan data penelitian dilakukan di Kota
Salatiga, Jawa Tengah. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara
mendalam, sedangkan alat bantu penelitian yang digunakan adalah alat tulis, buku,
tape recorder dan panduan wawancara.
Menurut Bungin (2003, dalam Irawan, 2016) langkah-langkah teknik analisa
data dalam penelitian, yaitu sebagai berikut; pengumpulan data (data collection),
reduksi data, dan display data. Dalam penelitian ini, analisa data dilakukan sejak
sebelum terjun ke lapangan sampai selesainya di lapangan yang dilakukan dengan
cara seksama dan teliti. Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang akan diperoleh dari hasil wawancara, sehingga mudah dipahami
dan dapat diinformasikan kepada orang lain (Farraswati, 2015). Pada penelitian ini
uji keabsahan yang digunakan peneliti adalah triangulasi sumber dengan member
check. Member check adalahproses pengecekan data yang dilakukan peneliti kepada
partisipan, yang bertujuan mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai
dengan yang disampaikan oleh partisipan (Sugiyono, 2010:117 dalam Malinda,
6 HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian berikut adalah 8 kategori yang mendeskripsikan
fungsi keluarga pada keluarga yang memiliki anak dengan intellectual disability.
1. Kasih yang tidak membeda-bedakan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh partisipan mempunyai
kesamaan dalam memberikan kasih sayang pada anak intellectual disability. Berikut
ungakapan partisipan :
“Kalau mendidikya nggak aku beda-bedain,” (RP2, 2)
“Untuk perbedaan kasih sayang ya nggak ada mba.‟ (RP1, 33)
Menurut penjelasan Yanrehsos (2008 dalam Napolion, 2010) ketika pertama
kali orang tua mengetahui bahwa anak mereka mengalami intellectual disability,
tidak sedikit dari mereka yang dapat menerima kenyataan serta memiliki
ketidaksiapan membesarkan dan membimbing anaknya. Namun, hal ini dapat
dihindari apabila orang tua menyadari dan mau merubah pandangan bahwa memiliki
anak dengan intellectual disability bukan merupakan aib bagi keluarga, tetapi
merupakan titipan dari Allah yang sangat berharga dan senantiasa perlu dijaga,
dibimbing serta diberdayakan.
Berdasarkan penjelasan hasil penelitian Nasrawaty (2016) perhatian dan
kasih sayang merupakan kebutuhan mendasar bagi anak, selain berfungsi tempat
berlindung, juga berfungsi sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup
seseorang, seperti kebutuhan rasa aman, kebutuhan mengaktualisasikan diri,
kebutuhan bergaul, dan sebagai wadah untuk mengasuh anak hingga dewasa. Dalam
hasil penelitian ini, untuk fungsi afektif, kasih sayang dari semua partisipan
7
saat anak mengaktualisasikan dirinya di dalam keluarga. Respon orang tua
memberikan pujian dan penghargaan pada anaknya dengan tidak membedakan anak
yang intellectual disability, sehingga dapat membuat mereka bangga. Dalam
penelitian yang dilakukan Sulistyarini (2015) menunjukkan hal yang sama, bahwa
dukungan emosional pada anak diwujudkan dengan memberikan pujian (ketika anak
melakukan tindakan positif) diajarkan mengenai kedisiplinan serta melatih
kemandirian.
2. Kedekatan anak intellectual disability dengan anggota keluarga
Hasil penelitian ini, didukung dengan hasil penelitian Nasrawaty (2016) yang
menunjukkan kedekatan antara anak dengan orang tua berpengaruh secara
emosional. Anak akan merasa dibutuhkan dan berharga dalam keluarga, apabila
orang tua memberikan perhatiannya kepada mereka. Perhatian yang diberikan orang
tua pada anak dengan intellectual disability merupakan fungsi afektif keluarga untuk
membangun emosional dan karakter anak ( Friedman et, al, 2010 dalam Anggraini,
2016). Berikut ungkapan partisipan :
“Karena dari kecil Arifin hanya tinggal sama saya, jadi dekatnya sama
saya.” (RP1, 59)
“tapi sekarangkan dekatnya ke saya cuman kalau bapaknya lagi pulang
dekatnya ke bapaknya semua gitu.. Ya kalau ada saya sama bapaknya ya
dekat juga”. (RP2, 42-44)
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Nurwita (2014) yang
menyatakan keluarga dapat menjadi sahabat baik atau kekasih. Hal ini bisa membantu
orang tersebut secara moril atau materil. Kedekatan ditunjukkan anak pada orang tua,
membuat mereka bebas menceritakan masalah yang dihadapi. Dalam penelitian ini,
anak dengan intellectual disability secara bebas menceritakan pengalaman mereka
8
saat berinteraksi dengan teman-temannya di sekolah. Sekalipun pengalaman itu tidak
menyenangkan mereka tetap menceritakan. Dengan demikian, kedekatan anak
dengan orang tua memilki makna yang sangat penting dalam kehidupan keluarga.
3. Hambatan komunikasi orang tua
Berdasarkan hasil penelitian, tiga partisipan menyatakan bahwa ada
hambatan dalam menyediakan waktu untuk berkomunikasi. Salah satu hambatan
yang dialami adalah partisipan yang harus bekerja. Berikut ungkapan partisipan:
“Hambatannya karena saya bertemu dengan anak hanya malam, karena
saya berangkat kerja dari jam setengah 9 sampai jam 7 malam, dan
bertemu saat pagi sebelum berangkat sekolah.”. (RP1, 46-48)
“Kadang ada kerjaan yang sibuk dalam sehari, kalau lagi masakkan bisa
sambil saya awasi karena si Uwi ini kalau nggak diawasi kadang di dalam dia ngacak-ngacak air minum, baju yang di lemari di keluarin semua, kadang buku-buku kakanya diturunin trus dioret-oretin gitu.” (RP2, 34-37)
Hambatan komunikasi dalam keluarga juga salah satu faktor yang
berpengaruh besar, karena akan membuat anak memiliki kesempatan berkomunikasi
sangat terbatas dengan orang tua. Kadang-kadang kesibukan orang tua dan
banyaknya masalah yang dihadapi, mengakibatkan perhatian terhadap anak jadi
berkurang (Gunarsah 2004, dalam Anam, 2014). Menurut Friedman, et al (2010
dalam Anggraini, 2016) komunikasi keluarga menggambarkan bagaimana cara dan
pola komunikasi yang terjadi antara ayah dan ibu dalam menyampaikan informasi
(orang tua dengan anak, anak dengan anak, dan semua anggota keluarga hingga
menjadi keluarga inti atau keluarga besar). Apabila komunikasi dalam keluarga
terhambat, maka peran dan kekuasaan keluarga untuk bernegosiasi dan
menyelesaikan masalah dalam keluarga akan menurun (Friedman, et al, 2010). Pada
penelitian ini, komunikasi dalam keluarga yang memiliki anak dengan intellectual
9
komunikasi yang dihadapi, sehingga anak tetap bebas bercerita kepada orang tuanya.
Contohnya, saat partisipan sibuk dengan pekerjaan di dapur, orang tua (ibu) akan
membawa anak untuk ikut serta membantu memasak, sambil mengajak anak untuk
berkomunikasi.
4. Hubungan suami istri dan keberlangsungan keturunan
Hubungan antar orang tua yang memiliki anak dengan intellectual disability
tidak selalu harmonis. Namun, penelitian ini menunjukkan empat partisipan (ibu) dan
ayah (suami) memiliki hubungan yang baik. Mereka tidak menganggap anak dengan
intellectual disability merusak hubungan mereka. Berikut ungkapan salah satu
partisipan :
“Nggak, kita udah nerima kan waktu masih hamil kan ngak tau anaknya bisa gini,.” (RP2, 220-221)
Di sisi lain terdapat partisipan yang memiliki kualitas pernikahan yang tidak
harmonis sebagai akibat memiliki anak disabilitas. Lahirnya anak dengan disabilitas
dapat meningkatkan stress bagi keluarga, yang akan mengarahkan pada
ketidakpuasan, relasi pernikahan yang dipenuhi argumentasi (argumentative marital
relationship), dan membuat orang tua sulit untuk mempertahankan kualitas
pernikahan (marital quality) (Parker, 2011 dalam Lidanial, 2016). Berikut ungkapan
salah satu partisipan :
“Mempengaruhi hubungan saya sama bapak, bapaknya udah punya yang lain jarang pulang ke rumah, kalo kasih uang jajan buat saya dan Hafiz
masih.” (RP 5, 203-204)
Dalam penelitian ini, ditemukan informasi bahwa tiga partisipan khususnya
ayah (suami) berkeinginan untuk menambah keturunan. Namun, mereka (ibu) merasa
10
terhadap anak dan juga takut jika anak selanjutnya terdiagnosa intellectual disability.
Haugaard (2008, dalam Pahlavi, 2017) menyebutkan bahwa memiliki anak dengan
intellectual disability menyebabkan ibu takut hamil, karena saat melakukan tes
selama kehamilan terdeteksi variasi gen dan kromosom tidak normal. Hal lain yang
menjadi pertimbangan adalah kondisi sosial ekonomi keluarga yang akan terganggu
sebagai akibat dari pelayanan medis prenatal dan postnatal yang sesuai untuk
menekan terjadinya komplikasi pada anak.
5. Pembelajaran dalam berinteraksi dan penegakan disiplin
Keluarga merupakan wadah untuk anak belajar berinteraksi sebelum berada
di lingkungan sekitar yang lebih luas. Hasil penelitian ini, menunjukkan seluruh
partisipan menjalankan fungsi sosialisasi dengan memberikan pengajaran kepada
anak intellectual disability. Berikut ungkapan dari partisipan:
“Ya misalkan ditegur orang tu di jawab aku bilang begitu pokoknya
dijawab kalau ditegur orang ya de „iya‟ gitu aja dia”. (RP1, 127-128 )
“Saya ajarin salim, saya ajarin kalo ditanya namanya siapa di jawab anaknya suka niru apa aja yang kita kerjain ikut dia gitu.” (RP2, 117 -118)
Seluruh partisipan menunjukkan peran mereka untuk memperlakukan anak,
membimbing, mendidik, mendisiplinkan serta melindungi anak dalam mencapai
kedewasaannya. Pendisiplinan pada anak dengan intellectual disability dan yang
tidak intelllectual disability dilakukan dengan menegakkan sebuah aturan. Peran
orang tua dalam keluarga, khususnya dalam mendidik anak yang meliputi pemberian
peraturan dan disiplin atau pemberian penghargaan dan hukuman, tidak lain adalah
untuk menunjukkan kekuasaan orang tua atas anak atau untuk memberikan perhatian
dan tanggapan terhadap keinginan anak mereka (Sudiapermana, dalam Farraswati,
11
6. Hubungan keluarga dengan lingkungan sekitar
Dalam menjalankan kehidupan sosial, keluarga memulai hubungan sosialnya
dimulai dari lingkungan sekitar tempat tinggal seperti dengan tetangga. Menurut
Kendler et, al (2005, dalam Napolion, 2010) berhubungan sosial merupakan suatu
kenyamanan fisik dan emosional yang diberikan kepada seseorang dan berasal dari
keluarga, teman kerja dan orang lain di lingkungan sekitar. Dalam penelitian ini,
orang tua memiliki pengalaman hubungan sosial yang kurang baik dengan tetangga
atau masyarakat sekitar yang masih menilai negatif terhadap keberadaan anak
intellectual disability Berikut ungkapan dari riset partisipan:
“aku sih cuek-cuek aja bodo amat orang mau ngomongin aku bodo gitu
aja yang penting aku nggak ganggu gitu aja”. (RP1, 171-172)
“Kalau di tetangga itukan saya orangnya cuek ka dia mau menerima itu
berarti berkat buat saya yaa kalo engga halah yang penting saya didik Viko kalau itu saya.” (RP3, 185-187)
Keberadaan anak intellectual disability ini sendiri tidak jarang menimbulkan
ejekan dan hinaan dari orang-orang di sekitar yang akan mengakibatkan timbulnya
rasa minder dan sedih pada diri orang tua. Penelitian ini didukung oleh hasil
penelitian Napolion (2010) yang menyatakann bahwa masyarakat sering keliru
memahami anak intellectual disability dengan gangguan jiwa. Anak intellectual
disability menunjukkan perilaku yang kadang-kadang aneh, tidak lazim, dan mereka
mengalami kesulitan dalam menilai situasi akibat hambatan dalam perkembangan
kognitifnya serta tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan. Hal inilah yang
membuat pandangan masyarakat kepada mereka sebagai manusia tidak normal.
7. Pemenuhan ekonomi keluarga
Berdasarkan hasil penelitian ini, empat partisipan sebagai ibu rumah tangga
mengatakan hanya ayah/bapak yang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan
12
menyatakan bahwa dalam membesarkan anak, ayah lebih terfokus pada kebutuhan
finansial. Berikut ungkapan dari partisipan:
“Cuma bapak yang bekerja” (RP2, 231)
Keluarga juga mencari bantuan kepada orang di sekitarnya untuk memenuhi
kebutuhan finansial keluarga, selain mendapatkan bantuan dari keluarga besar. Dalam
hasil penelitian Napolion (2010) menunjukkan bahwa dalam memenuhi kebutuhan
anak disabilitas, orang tua mereka masih mendapatkan dukungan atau bantuan
keuangan dari keluarga besar walaupun jumlahnya hanya sedikit. Penelitian ini
menunjukkan bahwa keluarga telah berupaya untuk memenuhi kebutuhan khusus
anak, walaupun pemenuhan kebutuhan sehari-hari lebih besar dari pendapatan
keluarga.
8. Upaya keluarga dalam menjaga kesehatan
Upaya yang dilakukan keluarga dalam mengasuh dan merawat anak
intellectual disability adalah dengan memberikan perhatian . Salah satu perhatian
keluarga yang diberikan dapat diwujudkan melalui upaya menjaga kesehatan anak.
Dalam menjaga kesehatan anak dengan intellectual disability, tidak ada perhatian
khusus sehingga perlakuan keluarga terhadap anak intellectual disability dengan
anggota lain tidak ada diskriminasi. Berikut ungkapan partisipan:
“Pernah, waktu itu sebelum sunat dia pernah kejang-kejang. Saya antar kebidan situ trus katanya kalau kejang lagi langsung dirawat inap
alhambdulilah nggak sampai sekarang ngak” (RP1, 392-394)
“Kesehatannya Uwi diperhatiin, pendidikannya jangan sampai kalah dengan anak-anak umum walaupun dia kekurangan tapi aku samain dia
13
Untuk kebutuhan perawatan dalam keluarga, mereka saling memperhatikan dari segi
kebersihan tempat tinggal, penyediaan makanan, dan pemeliharaan kesehatan.
Terdapat ungkapan dari partisiapan bahwa dalam merawat kesehatan keluarga
mereka berfokus pada anak intellectual disability, tetapi mereka juga tidak
melupakan anggota keluarga lainnya. Hal lain, orang tua berfokus dalam
mengajarkan perawatan diri pada anak intellectual disability yang masih belum
sepenuhnya mandiri, karena mereka masih membutuhkan bantuan. Hal ini didukung
dengan hasil penelitian Ramawati (2012) yang menunjukkan bahwa kemampuan
perawatan diri anak intellectual disability dikategorikan rendah, masih membutuhkan
bantuan pada sebagian besar area dan memperlihatkan masih adanya keterbatasan
pemenuhan kebutuhan perawatan diri. Oleh karena itu, anak masih membutuhkan
adanya bimbingan dan pelatihan yang berkesinambungan dari orang tua. Anak
intellectual disability mempunyai keterbatasan dalam semua area perkembangan,
sehingga mereka mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dirinya sendiri
dan cenderung tergantung pada lingkungan terutama pada orang tua dan
saudara-saudaranya (Setyani, 2016).
Selain mengajarkan perawatan diri pada anak, orang tua menyediakan waktu
luang untuk rekreasi bersama. Keluarga memerhatikan kesehatan setiap anggotanya
dengan mendatangi tenaga kesehatan profesional dan memanfaatkan sarana
pelayanan kesehatan, jika ada anggota keluarga yang sakit.
Dalam penelitian ini, terdapat keterbatasan. Penelitian ini hanya melibatkan
orang tua anak dengan intellectual disability sebagai sumber informasi, sehingga
tidak diperolehnya informasi yang lebih komprehensif. Sumber informasi lain seperti
saudara kandung, paman atau bibi, serta tetangga terdekat tidak dilibatkan dalam
14
komprehensif. Oleh karena itu, untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat
melibatkan sumber informasi atau partisipan yang lebih luas, sehingga informasi
yang diperoleh semakin lengkap dan holistik.
KESIMPULAN
Melalui penelitian ini, peneliti menarik kesimpulan bahwa partisipan orang
tua menerima keberadaan anak intellectual disability dengan tetap memberikan
perhatian dalam memberikan pendidikan formal yang sesuai dengan kondisi anak,
mengajarkan anak untuk bersosialisasi, membantu anak memiliki dan membangun
hubungan sosioemosional dengan anggota keluarga yang lain, memenuhi kebutuhan
ekonomi, serta memberikan perawatan kesehatan. Dengan demikian, sekalipun ada
hambatan, fungsi keluarga dalam keluarga yang memiliki anak dengan disabilitas
intelektual tetap berjalan sebagai mestinya.
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association (2013) „Intellectual Disability‟, American Psychiatric Publishing, P. 2. Doi: 10.1057/9781137025586.
Anam, C. (2014) „Komunikasi Keluarga Tki Dalam Mendidik Anak : Studi Kasus Di Desa Pakes Kecamatan Konang Kabupaten Bangkalan‟, Pp. 10–58.
Anggraini, D. (2016) Hubungan Pelaksanaan Peran Keluarga Dengan Activity Daily
Living (Adl) Pada Anak Tunagrahita Di Slb-C Tpa Kabupaten Jember. Skripsi,
Universitas Jember, 2016.
Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan (2013) „Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013‟, Laporan Nasional 2013, Pp. 1–384. Doi: 1 Desember 2013.
15
Garina, L. A. (2012) „Prevalensi, Karakteristik, Dan Pelayanan Kesehatan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Di Indonesia. Skripsi, Universitas Islam Bandung.‟, Pp. 1–21.
Lidanial. (2016) „Problematika Yang Dihadapi Keluarga Dari Anak Dengan Intellectual Disability (Studi Etnografi)‟, Pp. 188–199.
Malinda S N. (2012) „“Qualitative Research (Qr) Thus Refers To The Meaning, Conceps, Definition, Characteristics, Simbols, And Descriptions Of Things”.‟, Pp. 34–43.
Napolion, K. (2010) „Pengalaman Keluarga Dalam Merawat Anak Tunagrahita Di Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor 2010 : Studi Fenomenologi.‟, Tesis, Universitas Indonesia. Depok, Juli 2010.
Nasrawaty. (2016) „Peran Orang Tua Dalam Pendidikan Siswa Berkebutuhan Khusus Di Slb Ac Mandara Kendari.‟, Skripsi, Universitas Haluoleo. Kendari, 2016.
Nurwita, S. (2014) „Komunikasi Antar Pribadi Orang Tua Dengan Anak Keterbelakangan Mental‟, 1(2), Pp. 11–16.
Pahlavi, R. I. (2017) „Korelasi Antara Lingkar Dan Panjang Kepala Dengan Tingkat Kecerdasan Intelligence Quotient (Iq) Pada Anak Retardasi Mental Di Sekolah Luar Biasa (Slb) Kabupaten Pringsewu.‟, Skripsi, Universitas Lampung. Bandar Lampung, 2017.
Ramawati, D. (2012) „Kemampuan Perawatan Diri Anak Tuna Grahita Berdasarkan Faktor Eksternal Dan Internal Anak‟, Jurnal Keperawatan Indonsia, 15(2), Pp. 89–96.
Setyani Eliza, I. (2016) „Hubungan Antara Dukungan Keluarga Terhadap Kemandirian Perawatan Diri Pada Anak Retardasi Mental Di Sekolah Luar Biasa C Karya Bhakti Purworejo.‟, Skripsi, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhamadiyah Gombong, 2016.
16
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436h/2014 M.
Sulistyarini, T & Yudha, S. (2015) „Dukungan Sosial Keluarga Pada Anak Retardasi Mental Sedang Family Social Support To Children With Moderate Mental Retardation Tri‟, 8(2), Pp. 117–125.
18
Anggota keluarga :
Nama Umur Jenis
kelamin
Status dalam keluarga
Status perkawinan
Tingkat pendidikan
Pekerjaan
Jumlah anak semua :
19
1) Bagaimana bapak/ibu menunjukkan kasih sayang dalam mendidik anak?
2) Bagaimana bapak/ibu memberikan pujian pada anak, ketika anak berprestasi di
sekolah maupun masyarakat ?
3) Bagaimana reaksi dari anak saat diberi pujian ?
4) Apakah ada perbedaan dalam memberikan perhatian (kasih sayang) kepada anak
yang intellectual disability dan yang tidak ?
5) Mengapa berbeda ? Mengapa tidak berbeda ?
6) Apakah bapak/ibu dan anak punya waktu yang cukup untuk saling berkomunikasi
mengenai aktifitas yang telah dilakukan dalam satu hari ?
7) Hambatan-hambatan apa saja yang muncul saat orang tua menyediakan waktu
untuk berkomunikasi dengan anak ?
8) Bagaimana solusi dari bapak/ibu/saudara untuk mengatasi hambatan tersebut?
2. Fungsi sosialisasi :
9) Dalam keluarga anak lebih dekat dengan bapak/ ibu ?
10)Saat ada masalah disekolah dengan teman, biasanya bercerita ke
bapak/ibu/saudara atau hanya dipendam sendiri?
11)Selain kedekatan anak dengan bapak/ibu, apakah anak juga dekat dengan
saudara-saudaranya ? (jika punya saudara)
12)Bagaimana interaksi antara bapak/ibu kepada anak ?
13)Bagaiman interaksi antara anak intellectual disability denagan saudara-saudarnya
?
14)Apakah bapak/ibu menyediakan waktu untuk saling berkomunikasi dengan anak
?
15)Topik apa saja yang dibicarakan anak?
16)Siapa yang berinisiatif untuk berkomunikasi ?
17)Adakah aturan-aturan yang diberikan kepada anak?
20
19)Bagaimana reaksi anak terhadap aturan-aturan tersebut?
20)Adakah hambatan dalam menegakkan aturan-aturan itu ?
21)Bagaimana solusi dari hambatan dalam menegakkan aturan-aturan tersebut ?
22)Apa tanggapan bapak/ibu saat anak melanggar aturan-aturan itu ?
23)Pernah atau tidak pernah memarahi anak saat mereka melanggar aturan yang
telah dibuat ? Bagaimana tanggapan anak ?
24)Apa yang telah bapak/ibu ajarkan kepada anak agar bisa berinteraksi dengan orang
lain ?
25)Apa reaksi anak dengan intelletual disability saat diajarkan cara berinteraksi di
dalam keluarga ?
26)Bagaimana keluarga setiap harinya melatih keterampilan komunikasi anak dalam
keluarga khususnya pada anak intelletual disability ?
27)Apa strategi keluarga untuk melatih anak intelletual disability dalam
berkomunikasi ?
28)Apakah anak intelletual disability biasanya bermain dengan saudara atau anak
lainnya diluar rumah ?
29)Bagaimana perbedaan sikap anak tidak intelletual disability dengan anak
intelletual disability dalam berinteraksi saat mereka berada di keluarga dan saat
berada di luar ?
30)Bagaimana hubungan keluarga dengan lingkungan luar seperti dengan tetangga
dan lingkungan sekolah ?
31)Bagaimana hubungan keluarga dengan keluarga besar ?
32)Adakah pertemuan rutin orang tua dengan pihak sekolah tentang perkembangan
anak intelletual disability ?
33)Apa saja yang dibahas mengenai pertemuan dengan pihak sekolah, mengenai
perkembangan anak khususnya anak intelletual disability ?
34)Hambatan-hambatan apa saja dalam berinteraksi dalam keluarga ?
35)Bagaimana solusi yang bapak/ibu/saudara berikan ?
36)Hambatan-hambatan bersosialisasi di lingkungan?
37)Bagaimana solusinya yang bapak/ibu berikan ?
3. Fungsi reproduksi :
38)Bagaimana pandangan bapak/ibu/saudara dengan keberadaan salah satu anak/
anggota keluarga dengan intellectual disability ?
39)Apakah keberadaan anak dengan intellectual disability mempengaruhi hubungan
21
40)Apakah setelah memiliki anak dengan intellectual disability bapak/ibu ingin
menambah keturunan ? (mengapa ya dan mengapa tidak ?)
4. Fungsi ekonomi :
41)Selain bapak dan ibu apakah ada anggota keluarga yang lain bekerja ?
42)Apakah dengan jumlah pendapatan keluarga tersebut cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari keluarga?
43)Dalam keluarga yang lebih dipercaya dalam mengelola uang hasil pendapatan ?
44)Bagaimana bapak/ibu mengatur keuangan keluarga seperti kebutuhan sehari hari
dan biaya pendidikan anak ?
45)Apakah bapak/ibu memiliki tabungan di bank atau hanya disimpan dirumah ?
46)Apakah anak diberi uang saku atau ibu menyediakan bekal dari rumah ?
47)Apakah ada kebutuhan khusus yang harus dipenuhi oleh bapak/ibu untuk anak
intellectual disability ?
48)Jika ada, apa saja kebutuhan tersebut ?
49)Apakah pendapatan atau penghasilan bapak dan ibu dapat memenuhi kebutuhan
anak bapak/ibu yang intellectual disability ?
50)Apakah dalam sehari-hari bapak/ibu/saudara menggunakan uang sesuai dengan
pendapatan atau lebih dari pendapantan ?
51)Jika pengeluaran dalam keluarga lebih dari pendapatan. Bagaimana usaha dari
bapak/ibu ?
52)Hambatan apa saja dalam memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi?
53) Bagaimana solusi yang bapak/ibu berikan untuk mengatasi hambatan tersebut ?
5. Fungsi perawatan :
54)Apa yang dilakukan bapak/ibu untuk menjaga kualitas kesehatan keluarga ?
55)Apakah ada pembedaan dalam merawat anak intellectual disability dengan anak
yang tidak intellectual disability atau bapak /ibu hanya fokus dengan anak
intellectual disability saja ?
56)Menurut bapak/ibu makanan yang sehat itu seperti apa ?
57)Saat penyediaan makanan, apakah ada pembedaan untuk anak intellectual
disability dengan anggota keluarga lain ?
58) Dalam perawatan tempat tinggal keluarga selalu menjaga kebersihan ?
59)Apakah anak juga ikut serta dalam menjaga kebersihan tempat tinggal ?
60)Bagian apa yang anak kerjakan dalam menjaga kebesihan tempat tinggal ?
61)Bagaimana anak melakukannya ?
22
63)Siapa yang mengajari anak dalam merawat diri ?
64)Bagaimana cara bapak ibu mengajari anak dalam merawat diri ?
65)Sejak kapan anak mulai mandiri melakukan perawatan itu ?
66)Bagaimana keluarga menyediakan waktu luang seperti rekreasi diluar rumah atau
di dalam rumah dengan menonton tv ?
67)Apakah bapak/ibu rutin memeriksakan kesehatan keluarga ?
68) Bagaiimana upaya dari bapak/ibu dalam merawat, membesarkan anak dengan
intellectual disability ?
69)Siapa anggota keluarga yang berperan dalam mengambil keputusan saat ada
anggota keluarga yang sakit ?
70)Bagaimana respon dari setiap anggota keluarga dalam hal-hal yang mendukung
kualitas kesehatan keluarga ?
71)Hambatan-hambatan apa saja dalam memenuhi perawatan dalam keluarga dengan
anak intellectual disability ?
72)Bagaimana solusi yang dapat menyelesaikan hambatan-hambatan tersebut ?
73)Apa harapan bapak/ibu/saudara terhadap layanan kesehatan terkait adanya
23
Menyatakan bersedia menjadi partisipan dalam penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa atas nama Siska Wulandari NIM : 462013027,Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kodekteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana dengan judul “Fungsi
Keluarga Pada Keluarga Yang Memiliki Anak Dengan Intellectual Disability “. Saya
mengerti bahwa penelitian ini tidak menimbulkan dampak negatif. Data mengenai diri saya dalam penelitian ini akan dijaga kerahasiannya oleh peneliti. Semua berkas yang mencantumkan identitas saya hanya digunakan untuk keperluan pengolahan data dan bila sudah tidak digunakan akan dimusnahkan. Hanya peneliti dan dosen pembimbing yang dapat mengetahui kerahasian data-data penelitian.
24
Lampiran IV
25
Lampiran V
26
Lampiran VI