• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fungsi seni menurut Edmund Burke Feldman

Dalam dokumen ESTETIKA BENTENG KERATON BUTON (Halaman 24-33)

Menurut feldman bahwa fungsi seni yang sudah berlangsung sejak zaman dahulu adalah untuk memuaskan: (1) kebutuhan-kebutuhan individu tentang ekspresi pribadi, (2) kebutuhan- kebutuhan sosial kita untuk keperluan display, (3) kebutuhan-kebutuhan fisik mengenai kita, mengenai barang-barang dan bangunan yang bermanfaat.

Feldman (1967: 2-3) “membagi fungsi seni menjadi tiga bagian, yaitu : personal functions of art, the socisl function of art, dan physical function of art”.

a. Fungsi personal (personal functions of art)

Gambar visual-alat komunikasi. Akan tetapi, seni juga melampaui komunikasi informasi, tetapi juga mengungkapkan seluruh dimensi kepribadian manusia, atau psikologis dalam keadaan tertentu. Seni adalah lebih dari simbol standar dan tanda-tanda yang digunakan karena pembentukan unsur-unsur, seperti: garis, warna, tekstur, mengirim subliminal makna luar informasi dasar, keberadaan unsur-unsur ini memberikan maksud dan makna kepada artis dan penonton.

b. Fungsi sosial (the social function of art)

Fungsi sosial suatu karya seni menurut Feldman (1967: 36-37) diuraikan sebagai berikut : (1) karya seni itu mencari atau cenderung mempengaruhi perilaku kolektif orang banyak, (2) karya itu diciptakan untuk dilihat atau dipergunakan, khususnya dalam situasi-situasi umum, dan (3) karya seni itu mengespresikan aspek-aspek tentang eksistensi sosial atau kolektif sebagai lawan dari bermacam-macam pengalaman setiap individu.

Seni melakukan fungsi sosial jika mempengaruhi kelompok manusia, hal ini dibuat untuk dilihat atau digunakan dalam situasi umum (karya mural Diego Rivera) ini menggambarkan aspek-aspek kehidupan bersama oleh semua, sebagai lawan jenis pengalaman pribadi.

c. Fungsi fisik (physical function of art)

Fungsi fisik dihubungkan dengan “penggunaan benda-benda yang efektif sesuai dengan kriteria kegunaan dan efisiensi, baik penampilan maupun permintaannya”. (Feldman, 1967: 71). Fungsi seni dalam gagasan Feldman merupakan salah satu pengaturan yang akan melekat pada setiap karya seni. Karya pribadi atau kelompok, tetap berbicara mengenai ruang

dan dimensi pemikiran dan konsep-konsep emosional. Fungsi dalam batasan feldman adalah seperangkat alat yang tidak dimaksudkan untuk mengatur kenapa seniman berkarya, tetapi lebih pada dinamisnya seniman dalam berkarya.

5. Benteng

Dalam esiklopedia Indonesia, pengertian benteng adalah lokasi militer atau bangunan yang didirikan secara khusus, diperkuat dan tertutup yang dipergunakan untuk melindungi sebuah instalasi, daerah atau pasukan tentara dari serangan musuh untuk menguasai suatu daerah. Terkadang benteng diasosiasikan dengan kegiatan militer, bentuknya dapat berupa tembok keliling atau bangunan yang dibuat secara khusus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) benteng merupakan tempat berlindung atau bertahan (dari serangan Musuh).

Benteng merupakan bukti nyata suatu peradaban bangsa di masa lalu. Secara fisik, benteng lebih kerap diartikan dengan upaya sekelompok manusia dalam mempertahankan diri dari pihak lain. Orang kerap menghubungkan keberadaan benteng dengan sikap manusia yang cenderung untuk menguasai, dan sebaliknya tidak ingin dikuasai… (Suryonohadiprojo, 2008: 1-2).

Di Indonesia benteng pada umumnya merupakan suatu warisan sejarah masah penjajahan Belanda, berdirinya benteng di tanah air ini sebagai suatu kekuatan pertahanan kolonialisme Belanda untuk menguasai suatu wilayah yang ingin didudukinya. Benteng di tanah air ini berada dibeberapa kota besar seperti Makassar, Yogyakarta, Surakarta, Cilacap, Bengkulu dan Ngawi, pada umumnya didirikannya benteng pada wilayah- wilayah tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu untuk membuat suatu instalasi kekuatan untuk mengawal dan menguasai

suatu wilayah. Contoh Benteng Van Den Boch (benteng pendem) yang beradah di Kabupaten Ngawi, tujuan didirikan benteng ini untuk menguasai jalur trasportasi air Bengawan Solo dan Bengawan Madium. Lain halnya dengan benteng keraton Buton, keberadaan atau berdirinya benteng keraton Buton bukanlah suatu warisan dari kolonialisme Belanda, melainkan bentuk kesadaran masyarakat untuk menciptakan suatu kekuatan yang bisa menjaga dan mengamankan kedudukan dari wilayah teritorialnya.

a. Benteng keraton Buton

Gambar 2.1: Masjid Kesultanan Buton, Gambar 2.2: halaman benteng keraton Buton

Sumber : (travelingyuk.com)

Benteng keraton Buton merupakan bentuk kekuatan pertahanan kesultanan Buton pada masanya, kedudukan benteng keraton Buton sebagai pusat pemerintahan kesultanan Buton sangatlah sentral bagi kelangsungan hidup masyarakat Buton atas segala ancaman dan gangguan dari luar, lokasi benteng yang berdiri di atas bukit dan menghadap ke laut merupakan sebuah bentuk adaptasi lingkungan terhadap keuntungan ekonomi dan politis. Benteng keraton Buton yang kokoh di atas bukit menghadap ke laut menjadi sebuah bentuk pertahanan yang sempurna, dengan begitu dapat memudahkan pengawasan pelabuhan dari benteng, memantau pergerakan kapal yang masuk dan keluar.

Salah satu bentuk keuntungan kekuatan dari benteng keraton Buton yaitu “terdapatnya 52 buah meriam pada bastion” (Awat, 2007: 85) dengan moncong meriam diarahkan ke laut dan ke lembah untuk menghalau musuh dari luar benteng, dengan begitu menjadikan benteng keraton Buton merupaka tempat pertahanan yang paling kuat pada masanya.

Pada masa sekarang “benteng keraton Buton menjadi salah satu objek wisata bersejarah dan pusat kebudayaan di kota Baubau” (Guntur, 2018: 88). Benteng ini merupakan bekas ibu kota kesultanan Buton, memiliki bentuk arsiterktur yang cukup unik, terbuat dari batu kapur/gunung yang direkatkan menggunakan pasir, kapur, dan putih telur. “Benteng ini panjangnya 2.740 meter dengan tebal 1-2 meter dengan ketinggian antara 2-8 meter” (Mujabuddawat, 2015: 29). Bentuk benteng tidak seperti benteng pada umumnya, akan tetapi mengikuti bentang lahan sehingga bentuknya menyerupai huruf ‘Dal’ dalam aksara Arab (Awat, 2007: 66). Di dalam benteng pula terdapat beberapa peninggalan sejarah, sebuah masjid yang dibangun pada 1712 tahun silam, kemudian ada jangkar kapal besar bernama Sampa Raja.

Benteng keraton Buton mendapat penghargaan dari “Museum Rekor Indonesia (MURI) dan Guiness Book Record yang dikeluarkan bulan September 2006 sebagai benteng terluas di dunia dengan luas sekitar 23,375 hektar” (Risma widiawati, 2015: 143). Benteng ini memiliki 12 pintu gerbang yang disebut dengan Lawa dan 16 emplasemen (tempat penyimpanan meriam) yang disebut Baluara. Karena letaknya pada puncak bukit yang tinggi dengan lereng yang

cukup terjal memungkinkan tempat ini sebagai tempat pertahanan terbaik di zamannya.

b. Sejarah benteng keraton Buton

Gambar 2.3: Benteng Keraton Buton

Sumber : foto by Saraswati, Galiko (2016)

Benteng keraton Buton dibangun pada abad ke-16 hingga abad ke-17 oleh Sultan Buton III bernama La Sangaji yang bergelar Sultan Kaimuddin (1591-1596). Pada awalnya, benteng tersebut dibangun hanya dalam bentuk tumpukan batu yang disusun mengelilingi komplek istana dengan tujuan untuk membuat pagar pembatas antara komplek istana dengan perkampungan masyarakat sekaligus sebagai benteng pertahanan. Pada masa pemerintahan Sultan Buton ke IV yang bernama La Elangi atau Sultan Dayanu Ikhsanuddin (1597-1631), benteng yang merupakan tumpukan batu tersebut dijadikan bangunan permanen. Menurut Mujabuddawat (2015: 29) “Benteng ini kemudian diselesaikan pada masa pemerintahan Sultan Buton VI, Sultan La Buke yang bergelar Gafur Wadudu (1632-1645)”. Semula bangunan ini difungsikan sebagai tempat tinggal dan perlindungan Raja serta kepala adat dari serangan bajak laut. Benteng ini juga berperan sebagai tempat pengawasan terhadap kapal-kapal yang melintas di pesisir.

Pada masa kejayaan pemerintahan kesultanan Buton, keberadaan benteng keraton Buton memberikan pengaruh besar terhadap eksistensi kerajaan. Dalam kurun waktu lebih dari empat abad, Kesultanan Buton bisa bertahan dan terhindar dari ancaman musuh. Benteng ini terdiri dari tiga komponen yaitu:

1). Badili (meriam)

Gambar 2.4: Badili (Meriam) Benteng Keraton Buton

Sumber : (travel.kompas.com)

Badili merupakan salah satu senjata meriam, badili juga merepresentasikan kekuatan pertahanan angkatan bersenjata benteng keraton Buton. Senjata meriam ini terbuat dari besi tua yang berukuran 2 sampai 3 depa. Meriam ini juga merupakan bekas peninggalan Portugis dan Belanda dengan jumlah yang “diinventarisasi dan diidentifikasi sebanyak 25 yang tersebar baik di situs benteng keraton Buton maupun yang telah dijadikan sebagai hiasan yang diletakkan di halaman” (Harkangtiningsih, 1996: 11).

2). Lawa

Gambar 2.5: Lawa (Pintu Gerbang) Benteng Keraton Buton

Sumber : (Indonesiakaya.com)

Lawa dalam bahasa Wolio yang berarti pintu gerbang. Lawa berfungsi sebagai penghubung antara keraton dengan kampung-kampung yang ada di sekeliling benteng keraton. Terdapat 12 Lawa pada benteng keraton. Angka 12 menurut keyakinan masyarakat mewakili jumlah lubang pada tubuh manusia, sehingga benteng keraton diartikan sebagai tubuh manusia. Ke-12 Lawa memiliki masing-masing nama sesuai dengan gelar orang yang mengawasinya, penyebutan nama dirangkai dengan namanya.

Kata Lawa diimbuh akhiran ‘na’ menjadi ‘Lawana’ akhiran ‘na’ dalam bahasa Buton berfungsi sebagai pengganti kata milik “nya”. Setiap Lawa memiliki bentuk yang berbeda-beda tetapi secara umum dapat dibedakan baik bentuk, lebar maupun konstruksinya ada yang terbuat dari batu dan juga dipadukan dengan kayu, semacam gazebo di atasnya yang berfungsi sebagai menara pengamat. 12 nama Lawa di antaranya: Lawana rakia, Lawana lanto,

Lawana labunta, Lawana kampebuni, Lawan waborobo, Lawan dete, Lawana kalau, Lawana wajo/bariya, Lawana burukene/tanailandu, Lawana melai/baau, Lawana lantongau, dan Lawana gandu-gandu.

3). Baluara (Bastion)

Gambar 2.6: Baluara (Bastion) Benteng Keraton Buton

Sumber: (Wikipedia)

Kata baluara berasal dari bahasa Portugis yaitu beluar yang berarti bastion. baluara dibangun sebelum benteng keraton didirikan pada tahun 1613 pada masa pemerintrahan La Elangi/Dayanu Ikhsanuddin (Sultan Buton ke-4) bersamaan dengan pembangunan ‘godo’ (gedung) dari 16 baluara dua diantaranya memiliki godo yang terletak di atas baluara tersebut. Masing masing berfungsi sebagai tempat penyimpanan peluru dan mesiu.

Setiap baluara memiliki bentuk yang berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi lahan dan tempatnya. Nama-nama baluara diambil sesuai nama kampung tempat balaura tersebut berada. Nama kampung tersebut ada di dalam benteng

keraton Buton pada masa kesultanan Buton. 16 nama baluara tersebut yaitu: baluarana gama, baluarana litao, baluarana barangkatopa, baluarana wandailolo, baluarana baluwu, baluarana dete, baluarana kalau, baluarana godona oba, baluarana wajo/bariya, baluarana tanailandu, baluarana melai/baau, baluarana godona batu, baluarana lantongau, baluarana gundu-gundu, baluarana siompu, dan baluarana rakia.

Dalam dokumen ESTETIKA BENTENG KERATON BUTON (Halaman 24-33)