• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL MODEL dan EVALUASI KURIKULUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MODEL MODEL dan EVALUASI KURIKULUM"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Evaluasi Kurikulum

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Anik Ghufron, M.Pd.

Disusun oleh:

Farid Danang Abdur Rochim ( 15105241045 ) Herlita Mustikasari Ardani ( 15105241014 ) Muhammad Khanafi Jazuli ( 15105244010 ) Niken Nurul Larasati ( 15105241004 ) Rahmadi Budi Hartomo ( 15105241006 )

Retta Setiawan ( 15105241050 )

KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM 1 BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Evaluasi kurikulum merupakan suatu aktivitas ilmiah yang memiliki keterkaitan

erat dengan proses pengembangan kurikulum. Keduanya tidak terpisahkan dan

hubungan antara keduanya saling terkait dan menjadi hal yang penting. Evaluasi

kurikulum tanpa kurikulum tidak punya arti, sebaliknya kurikulum tanpa evaluasi tidak

akan mendapatkan hasil yang maksimal baik dalam proses konstruksi kurikulum

maupun dala proses pelaksanaan kurikulum.

Evaluasi kurikulum juga merupakan suatu kebijakan publik. Keberadaan

evaluasi didasari oleh ketentuan bahwa pengembangan kurikulum harus terbuka untuk

di evaluasi. Dengan adanya Undang-Undang Nomer 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, Indonesia telah memiliki landasan hukum yang mewajibkan

adanya evaluasi terhadap konstruksi kurikulum dan pelaksanaan kurikulum.

Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam penentuan

kebijaksanaan pendidikan pada umumnya maupun pengambilan keputusan. Hasil-hasil

evaluasi kurikulum dapat digunakan langkah pengembangan kurikulum selanjutnya.

Evaluasi kurikulum sendiri memiliki beberapa model-model yang digunakan

dalam mengevaluasi kurikulum. Model-model tersebut diharapkan dapat memberikan

kesempatan kepada evaluator untuk mempertimbangkan model yang tersedia untuk

dipilih sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan. Evaluator yang akan melakukan

pekerjaanya harus memahami keunggulan dan kelemahan tersebut dan kemudian

menggunakan model yang sesuai dengan keperluannya. Beberapa model-model

evaluasi kurikulum yang cukup popular akan dibahas pada makalah ini.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana perkembangan model evaluasi kurikulum ?

2. Apa saja model-model evaluasi kurikulum ?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui dan memahami perkembangan model evaluasi kurikulum.

(3)

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM 2 BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Model Evaluasi Kurikulum

Pekembangan model untuk evaluasi kurikulum memperlihatkan suatu gejala

yang tidak berbeda dengan perkembangan disiplin ilmu pendidikan dan upaya-upaya

pendidikan yang pernah dilakukan manusia. Meskipun demikian, sejarah

perkembangan bidang evaluasi kurikulum dan kemudian menghasilkan model-model

evaluasi kurikulum memperihatkan sesuatu yang khas. Perkembangan model ini pada

awalnya tidak dilakukan secara khusus tetapi dalam satu nafas dengan model

pengembangan kurikuluk. Perkembangan berikutnya memperlihatkan fenomena lain

dimana model-model evaluasi kurikulum tadi dikembangan secara khusus baik secara

individual maupun secara kelompok.

Keterkaitan model dengan pengembangan kurikulum adalah faktor yang

menarik untuk diamati. Model-model tersebut banyak yang dikembangkan mengikuti

langkah-langkah pengembangan kurikulum (curriculum development). Ada model

yang mencakup keseluruhan proses pengembangan kurikulum tetapi ada juga yang

memiliki fokus khusus pada suatu fase kegiatan pengembangan kurikulum. Dari

kenyataan model yang pernah dikembangan, harus diakui bahwa fokus pada

implementasi kurikulum atau kurikulum sebgai proses lebih banyak menarik minat para

evaluator. Model yang tak kalah pentingnya adalah yang memperhatikan hasil lebih

dari fase kegiatan pengembangan kurikulum lainnya.

Ada juga model evaluasi kurikulum yang tidak memperhatikan proses

pengembangan kurikulum. Model-model yang dikembangakan dari tradisi lain di luar

pendidikan seperti ekonomi, politik, dan hukum tidak didasarkan pada pemikiran

mengenai pengembangan kurikulum. Model ekonomi dikembangan berdasarkan

konsep ekonomi, sedangkan model judicial dikembangan berdasarkan konsep hukum.

Model-model dalam kategori ini terus bertambah dan makin menunjukkan dominasinya

dalam evaluasi kurikulum.

Perkembangan model dapat dilihat dari perspektif lain. Pertama dipacu oleh

kerisauan akademik para ahli karena model yang ada tidak mampu memuaskan rasa

ingin tahu dan pandangan akdemik yang dianut para evaluator. Model yang dihasilkan

oleh Stake, Parlett dan Hamilton mencerminkan adanya kerisauan akademik tersebut.

(4)

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM 3 bidang lain. Sistem model atau model-model ekonomi dipicu oleh kebijakan yang

dimaksudkan.

Perkembangan lain yang menarik dalam masalah model evaluasi kurikulum

ialah adanya suatu usaha untuk bersikap eklektik. Eklektik dalam penggunaan baik

paradigm positivism maupun fenemenologi. Walaupun usaha ini tidak menghasilkan

model dalam pengertian yang dikelompokkan dalam model kuantitatif dan kualitatif,

usaha ini terutama dilakukan dalam pengumpulan data. Gerakan ekelektik ini oleh

Patton (1980) dalam (Hamid Hasan. 2009:186) dinamakan paradigm of choice memberikan kemungkinan baru dalam melakukan evaluasi kuikulum. Model yang

dilahirkan lebih bersifat gabungan. Ianni dan Orr (Hamid Hasan. 2009:186) menggunakan istilah “rapproachment” untuk menggunakan gabungan kuantitatif dan kualitatif. Sedangkan Trend (Hamid Hassan. 2009:186) menggunakan istilah “reconcilitation”.

Perkembangan yang tak dapat diabaikan dalam model evaluasi kurikulum ialah

penerapan konsep ekonomi dalam evaluasi. Model-model yang dihasilkan memang

terbatas dan di antara yang paling menonjol adalah model benefit dan

cost-effectiveness. Model ekonomi ini melihat perkembangan kurikulum harus dapat

dipertanggungjawabkan secara finansial. Mesikupun demikian, model ini mendapat

hambatan yang cukup fundamental yaitu dalam pengukuran hasil kurikulum. Banyak

aspek belajar dan hasil belajar yang tak dapat diterjemahkan dalam nilai ekonomis

sehingga gambaran efisiensi dan nilai ekonomis suatu kurikulum sukar diukur.

B. Model-Model Evaluasi Kurikulum 1. Model Evaluasi Kuantitatif

Ada beberapa model evaluasi yang tersedia untuk dipilih para evaluator sesuai

pertimbangan pekerjaan yang dilakukan. Pemilihan ini perlu karena setiap model

memiliki sisi unggul dan sisi lemah, sehingga dua sisi itulah yang harus dipahami oleh

para evaluator. Sekalipun demikian bukan berarti tidak ada kemungkinan bagi

evaluator untuk mengembangkan modelnya sendiri, karena model-model yang akan

dibahas disini merupakan model yang banyak digunakan bukan model yang

satu-satunya ada.

Adapun ciri yang menonjol dari evaluasi kuantitatif adalah penggunaan

(5)

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM 4 pemikiran paradigma positivisme. Sehingga model-model evaluasi kuantitatif yang ada

menekankan peran penting metodologi kuantitatif dan penggunaan tes. Ciri berikutnya

dari model-model kuantitatif adalah tidak digunakannya pendekatan proses dalam

mengembangkan kriteria evaluasi.

Berikutnya model-model kuantitatif ini sama-sama memiliki fokus evaluasi

yaitu pada dimensi kurikulum sebagai hasil belajar. Dimensi ini (hasil belajar) adalah

merupakan kriteria pokok bagi model-model kuantitatif. Adapun diantara model-model

evaluasi kurikulum yang terkategori sebagai model evaluasi kuantitatif adalah sebagai

berikut.

a. Model Black Box Tyler

Model Tyler dinamakan Black Box karena tidak ada nama resmi yang diberikan

oleh pengembangnya yaitu Tyler. Walaupun model ini tergolong tua tapi masih banyak

digunakan dalam proses evaluasi kurikulum, sehingga masih dianggap aktual. Tyler

dalam bukunya Basic Principles of Curriculum and Instruction menuangkan ide modelnya dalam bab empat yang berjudul how can the effectiveness of learning

experiences be evaluated? Model ini dibangun atas dua dasar, yaitu evaluasi yang

ditunjukkan pada peserta didik dan bahan evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku

awal peserta didik dan saat peserta didik telah melaksanakan kurikulum itu sendiri.

Fokus evaluasi ini sebenarnya hanya berhubungan pada dimensi belajar.

Adapun prosedur pelaksanaan dari model evaluasi Tyler adalah sebagai berikut:

1) Menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi. Tujuan kurikulum yang

dimaksud disini adalah model tujuan behavioral. Dan model ini di Indonesia sudah

dikembangkan sejak kurikulum 1975. Adapun untuk kurikulum KTSP saat ini

maka harus mengembangkan tujuan behavioral ini jika berkenaan dengan model

kurikulum berbasis kompetensi.

2) Menentukan situasi dimana peserta didik mendapatkan kesempatan untuk

memperlihatkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan. Dari langkah ini

diharapkan evaluator memberikan perhatian dengan seksama supaya proses

pembelajaran yang terjadi mengungkapkan hasil belajar yang dirancang

kurikulum.

3) Menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk megukur tingkah laku

(6)

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM 5 wawancara dan sebagainya. Adapun instrument evaluasi ini harus teruji validitas

dan reliabilitasnya.

Inilah tiga prosedur dalam evaluasi model Tyler. Adapun kelemahan dari model

Tyler ini adalah tidak sejalan dengan pendidikan karena fokus pada hasil belajar dan

mengabaikan dimensi proses. Padahal hasil belajar adalah produk dari proses belajar.

Sehingga evaluasi yang mengabaikan proses berarti mengabaikan komponen penting

dari kurikulum.

Adapun kelebihan dari model Tyler ini adalah kesederhanaanya. Evaluator

dapat memfokuskan kajian evaluasinya hanya pada satu dimensi kurikulum yaitu

dimensi hasil belajar. Sedang dimensi dokumen dan proses tidak menjadi fokus

evaluasi.

b. Model Teoritik Taylor dan Maguire

Model evaluasi kurikulum Taylor dan Maguire ini lebih menitik beratkan pada

pertimbangan teoritik suatu model evaluasi kurikulum. Dengan pertimbangan teoritik,

Taylor dan Maguire ingin menerapkan apa yang seharusnya terjadi pada proses

pelaksanaan kurikulum.

Dalam melaksanakan evaluasi kurikulum sesuai model teoritik Taylor dan

Maguire meliputi dua hal, yaitu: pertama, mengumpulkan data objektif yang dihasilkan

dari berbagai sumber mengenai komponen tujuan, lingkungan, personalia, metode,

konten, hasil belajar langsung maupun hasil belajar dalam jangka panjang. Dikatakan

data objektif karena mereka berasal dari luar pertimbangan evaluator. Kedua,

pengumpulan data yang merupakan hasil pertimbangan individual terutama mengenai

kualitas tujuan, masukan dan hasil belajar.

Adapun cara kerja model evaluasi Taylor dan Maquaire ini adalah sebagai

berikut:

1) Dimulai dari adanya tekanan/keinginan masyarakat terhadap pendidikan.

Tekanan dan tuntutan masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan. Kemudian

tujuan dari masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan yang ingin dicapai

kurikulum. Adapun dalam pengembangan KTSP maka tekanan dari masyarakat

ini dikembangkan pada tingkat Nasional dalam bentuk Standar Isi dan Standar

(7)

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM 6 mengembangkan visi dan tujuan yang hendak dicapai satuan pendidikan.

Kemudian tujuan satuan pendidikan tersebut menjadi tujuan kurikulum dan

tujuan mata pelajaran.

2) Evaluator mencari data mengenai keserasian antara tujuan umum dengan tujuan

behavioral. Maka tugas evaluator disini mencari relevansi antara tujuan satuan

pendidikan, kurikulum dan mata pelajaran yang berbeda dalam tingkat-tingkat

abstraksinya. Dalam tahap ini evaluator harus menentukan apakah

pengembagan tujuan behavioral tersebut membawa gains atau losses

dibandingkan dengan tujuan umum ditahap pertama.

3) Penafsiran tujuan kurikulum. Pada tahap ini tugas evaluator adalah memberikan

pertimbangan mengenai nilai tujuan umum pada tahap pertama. Adapun dua

criteria yang dikemukan oleh Taylor dan Maguaire dalam memberi

pertimbangan adalah: pertama, kesesuaian dengan tugas utama sekolah. kedua,

tingkat pentingnya tujuan kurikulum untuk dijadikan program sekolah. adapun

hasil dari kegiatan ini adalah sejumlah tujuan behavioral yang sudah tersaring

dan akan dijadikan tujuan yang akan dicapai oleh mata pelajaran yang

bersangkutan.

4) Mengevaluasi pengembangan tujuan menjadi pengalaman belajar. Tugas

evaluator disini adalah menentukan hasil dari suatu kegiatan belajar. Menelaah

apakah hasil belajar yang telah diperoleh dapat digunakan dalam kehidupan

dimasyarakat. Karena kurikulum yang baik adalah kurikulum yang menjadikan

hasil belajar yang diperoleh peserta didik dapat digunakan dalam kehidupannya

di masyarakat.

Kelebihan dari model ini adalah memberikan kesempatan pada

evaluator untuk menerapkan kajian secara komprenhensip. Baik nilai maupun

arti kurikulum dapat dikaji dengan menggunakan model ini. Adapun

masalahnya bila diterapkan di Indonesia bahwa model ini hanya diterapkan di

tingkat satuan pendidikan. Sehingga keseluruhan proses pengembangan

kurikulum tingkat nasional tidak dapat dievaluasi dengan model ini.

c. Model Pendekatan Sistem Alkin

Model evaluasi yang dikembangkan Alkin termasuk model yang unik dimana

(8)

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM 7 Alkin memasukkan variabel perhitungan ekonomi. Adapun dua hal yang harus

diperhatikan oleh evaluator dalam model ini adalah pengukuran dan control variable.

Sistem Alkin tetap memakai tiga komponen pembagian (masukan, perantara, dan

keluaran) seperti dalam pendekatan sistem pada umumnya. Alkin juga mengenal sistem

internal dalam yang merupakan interaksi antar komponenyang berhubungan langsung

dengan pendidikan, juga sistem eksternal3luar yang memiliki pengaruh atau

dipengaruhi oleh pendidikan.

Model Alkin dikembangkan berdasarkan empat asumsi. Apabila keempat

asumsi ini sudah dipenuhi maka model Alkin dapat digunakan. Adapun keempat asumsi

itu yaitu:

1) Variable perantara adalah satu-satunya variable yang dapat dimanipulasi.

2) Sistem luar tidak langsung dipengaruhi oleh keluaran sistem (persekolahan)

3) Para pengambil keputusan sekolah tidak memiliki kontrol mengenai pengaruh

yang diberikan sistem luar terhadap sekolah.

4) Faktor masukan mempengaruhi aktivitas faktor perantara dan pada gilirannya

faktor perantara berpegaruh terhadap faktor keluaran.

Adapun kelebihan dari model ini adalah keterikatannya dengan system. Dengan

model pendekatan system ini kegiatan sekolah dapat diikuti dengan seksama mulai dari

variable-variable yang ada dalam komponen masukan, proses dan keluaran. Komponen

masukan yang dimaksudkan adalah semua informasi yang berhubungan dengan

karakteristik peserta didik, kemampuan intelektual, hasil belajar sebelumnya,

kepribadian, kebiasaan, latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan dan

sebagainya.

Yang dimaksud dengan proses disini meliputi factor perantara yang merupakan

kelompok variable yang secara langsung memperngaruhi keluaran. Adapun yang

masuk dalam variable perantara ini diantaranya adalah rasio jumlah guru dengan

peserta didik, jumlah peserta didik dalam kelas, pengaturan administrasi, penyediaan

buku bacaan, prosedur pengajaran dan sebagainya.

Adapun keluaran peserta didik adalah setiap perubahan yang terjadi pada diri

peserta didik sebagai akibat dari pengalaman belajar yang diperolehnya. Perubahan ini

harus diikuti sejak peserta didik masuk sistem hingga keluar system. Perubahan harus

(9)

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM 8 kemampuan peserta didik dalam melanjutkan pelajaran ditingkat pendidikan yang lebih

tinggi, pada waktu memasuki lapangan kerja, dalam melakukan pekerjaan bahkan

termasuk aktifitas dalam kehidupna di masyarakat.

Dari uraian diatas kita temukan kelemahan dari model Alkin adalah

keterbatasannya dalam fokus kajian yaitu yang hanya fokus pada kegiatan

persekolahan. Sehingga model ini hanya dapat digunakan untuk mengevaluasi

kurikulum yang sudah siap dilaksanakan disekolah.

d. Model Countenance Stake

Model countenance adalah model pertama evaluasi kurikulum yang

dikembangkan oleh Stake. Stake mendasarkan modelnya ini pada evaluasi formal.

Evaluasi formal adalah evaluasi yang dilakukan oleh pihak luar yang tidak terlibat

dengan evaluan. Model countenance Stake terdiri atas dua matriks. Matrik pertama

dinamakan matriks Deskripsi dan yang kedua dinamakan matriks Pertimbangan.

1) Matrik Deskripsi

Kategori pertama dari matrik deskripsi adalah sesuatu yang direncanakan

(intent) pengembang kurikulum dan program. Dalam konteks KTSP maka

kurikulum tersebut adalah kurikulum yang dikembangkan oleh satuan

pendidikan. Sedangkan program adalah silabus dan RPP yang dikembangkan

guru. Kategori kedua adalah observasi, yang berhubungan dengan apa yang

sesungguhnya sebagai implementasi dari apa yang diinginkan pada kategori

pertama. Pada kategori ini evaluan harus melakukan observasi mengenai

antecendent, transaksi dan hasil yang ada di satu satuan pendidikan atau unit

kajian yang terdiri atas beberapa satuan pendidikan.

2) Matrik Pertimbangan

Dalam matrik ini terdapat kategori standar, pertimbangan dan fokus

antecendent, transaksi, autocamo (hasil yang diperoleh). Standar adalah criteria

yang harus dipenuhi oleh suatu kurikulum atau program yang dijadikan

evaluan. Berikutnya adalah evaluator hendaknya melakukan pertimbangan dari

apa yang telah dilakukan dari kategori pertama dan matrik deskriptif.

Adapun dua hal lain yang harus diperhatikan dalam menggunakan model

(10)

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM 9 memperlihatkan keterkaitan dan keterhubungan 12 kotak tersebut. Contingency terdiri

atas kontigency logis dan contingency empiric. Contingency logis adalah hasil

pertimbangan evaluator terhadap keterkaitan logis antara kotak antecedence dengan

traksaksi dan hasil. Kemudian evaluator juga harus memberikan pertimbangan empiric

berdasarkan data lapangan.

Evaluator juga harus memberikan pertimbangan congruence atau perbedaan

yang terjadi antara apa yang direncanakan dengan apa yang terjadi dilapangan. Adapun

kelebihan dari model ini adalah adanya analisis yang rinci. Setiap aspek dicoba dikaji

kesesuainnya. Misalkan, analisis apakah persyaratan awal yang direncanakan dengan

yang terjadi sesuai apa tidak? Hasil belajar peserta didik sesuai tidak dengan harapan.

e. Model CIPP

Model ini dikembangkan oleh sebuah tim yang diketuai oleh Stufflebeam. Sehingga

sesuai dengan namanya, model CIPP ini memiliki 4 jenis evaluasi yaitu: evaluasi

Context (konteks), Input (masukan), Process (proses), dan Product (hasil). Adapun

tugas evaluator dari keempat jenis evaluasi tersebut adalah sebagai berikut:

1) Evaluasi Context

Tujuan utama dari evaluasi context adalah untuk mengetahui kekuatan dan

kelemahan evaluan. Evaluator mengidentifikasi berbagai factor guru, peserta

didik, manajemen, fasilitas kerja, suasana kerja, peraturan, peran komite

sekolah, masyarakat dan factor lain yang mungkin berpengaruh terhadap

kurikulum.

2) Evaluasi Input

Evaluasi ini penting karena untuk pemberian pertimbangan terhadap

keberhasilan pelaksnaan kurikulum. Evaluator menentukan tingkat

kemanfaatan berbagai factor yang dikaji dalam konteks pelaksanaan

kurikulum. Pertimbangan mengenai ini menjadi dasar bagi evaluator untuk

menentukan apakah perlu ada revisi atau pergantian kurikulum.

3) Process

Evaluasi proses adalah evaluasi mengenai pelaksanaan dari suatu inovasi

kurikulum. Evaluator mengumpulkan berbagai informasi mengenai

(11)

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM 10 proses implementasi. Evaluator harus merekam berbagai pengaruh variable

input terhadap proses.

4) Product

Adapun tujuan utama dari evaluasi hasil adalah untuk menentukan sejauh mana

kurikulum yang diimplementasikan tersebut telah dapat memenuhi kebutuhan

kelompok yang menggunakannya. Evaluator mengumpulkan berbagai macam

informasi mengenai hasil belajar, membandingkannya dengan standard dan

mengambil keputusan mengenai status kurikulum (direvisi, diganti atau

dilanjutkan).

Dari uraian diatas diketahui bahwa model CIPP adalah model evaluasi yang

tidak hanya dilaksanakan dalam situasi inovasi sedang dilaksanakan, tetapi justru model

ini dilakukan ketika inovasi akan dan belum dilaksanakan.

2. Model Evaluasi Ekonomi Mikro

Model ekonomi mikro pada dasarnya adalah model yang menggunakan

pendekatan kuantitatif. Model ini memiliki fokus utama pada hasil. Levin (1983) adalah

tokoh yang banyak bekerja dalam model evaluasi ekonomi mikro. Menurut Levin

(1983: 17) ada empat model di lingkungan ekonomi mikro yaitu cost-effectiveness,

cost-benefit, cost-utility, dan cost-feasibility. Dari keempat model ini maka model

cost-effectiveness dianggap lebih sesuai untuk evaluasi kurikulum.

Mengenai model cost-effectiveness, Levin dalam (Hamid Hassan. 2009:223)

menjelaskannya sebagai berikut:

Cost-effectiveness (CE) analysis refers to the evaluation of alternatives according to both their cost and their effects with regard to producing some outcome or sets of outcomes. Typicaly, educational evaluation and decision making must focus in the choice of an educational intervention or alternative for meeting a particular objective, such as increasing test scores in basic skills or reducing dropouts.

Dari kutipan tersebut jelas bahwa evaluator yang menerapkan model cost-effectiveness harus dapat membandingkan dua program atau lebih, baik dalam pengertian dana yang

digunakan untuk masing-masing program maupun hasil yang diakibatkan oleh setiap

program. Perbandingan hasil dari kedua program tadi akan memberikan masukan bagi

para pembuat keputusan mengenai program mana yang lebih menguntungkan dilihat

(12)

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM 11 Dalam mengukur hasil, digunakan suatu instrumen yang sudah distandarisasi.

Penggunaan instrumen standar penting karena hanya dengan demikian perbandingan

antara biaya dengan hasil dapat dilakukan secara berimbang (fair). Di sini terlihat bahwa penerapan model cost-effectiveness menggunakan pendekatan pengembangan kriteria pre-ordinate. Dengan menggunakan kriteria pre-ordinate karakteristik masing-masing kurikulum yang dibandingkan tidak diperhitungkan. Oleh karena itu, Levin

(1983:18) mengatakan bahwa model cost-effectiveness hendakanya diterapkan untuk membandingkan dua kurikulum atau program yang mempunyai tujuan identik atau

serupa. Apabila tidak, validitas perbandingan semakin menimbulkan persoalan.

Model evaluasi ekonomi mikro yang kedua adalah cost-benefit. Berbeda dengan

cost-effectiveness yang menggunakan angka (score) sebagai unit pengukuran hasil

belajar, cost-benefit menggunakan unit uang dalam mengukur hasil. Berapa besar uang yang diterima setelah seseorang bekerja untuk jangka waktu tertentu sebagai akibat dari

pendidikan yang dialaminya. Perbedaan karakteristik kedua kurikulum yang

dibandingkan, baik perbedaan tujuan, proses, isi, dan lain sebagainya adalah variable

yang menjelaskan adanya perbedaan hasil belajar.

Model ketiga dalam kelompok model ekonomi mikro evaluasi kurikulum

adalah cost-utility. Pengertian utility menurut Levin adalah “the estimated utility or

value of their outcomes” dan bukan hasil belajar. Pengertian utility yang dikemukakan

Levin memberikan peluang bagi evaluator untuk menggunakan baik data kuantitatif

maupun data kualitatif. Dengan peluang tersebut evaluator tidak dibatasi ruang

geraknya atas satu jenis data saja. Perkiraan-perkiraan dari para pakar mengenai

kegunaan dan nilai dari satu atau lebih program dapat digunakan. Levin menganjurkan

agar digunakannya skala kegunaan (utility scale). Skala ini dapat bergerak dari 0 – 1 tapi dapat pula bergerak dari 1 – 4, atau skala lainnya. Pokok utama skala yang

digunakan ialah bahwa setiap orang yang jadi responden memberikan pendapat mereka

berdasarkan skala yang sama.

Hal penting lainnya ialah bahwa skala penilaian tersebut diukur pada tingkat

pengukuran interval dan bukan ordinal. Dengan demikian setiap orang yang

menempatkan kegunaan ataupun nilai suatu program menyadari bahwa jarak antara

satu titik dengan titik lainnya diasumsikan sama. Pengukuran pada tingkat interval

(13)

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM 12 dibandingkan pengukuran pada tingkat ordinal. Levin menggunakan istilah “cardinal” untuk skala yang dianjurkannya.

Model terakhir dari kelompok mikro ekonomi ialah yang dinamakan model

cost-feasibility. Berbeda dengan ketiga model terdahulu, model cost-feasibility tidak

berusaha mencari hubungan antara biaya dengan hasil tertentu. Sesuai dengan

namanya, model cost-feasibility didesain untuk menjawab pertanyaan evaluasi apakah biaya yang diperlukan memang tersedia. Artinya, setelah ide suatu kurikulum

dirumuskan, perhitungan biaya untuk pelaksanaan kurikulum harus dilakukan. Apabila

lembaga atau departemen yang bersangkutan memiliki biaya di masa mendatang,

perhitungan biaya masa depan perlu diperhitungkan agar kurikulum yang

dikembangkan tersebut mendapat jaminan dalam implementasinya. Jangan sampai

biaya yang tersedia hanya untuk satu atau dua tahun pelaksanaan implementasi

kurikulum sedangkan tahun-tahun berikutnya dana untuk implementasi kurikulum

tidak tersedia, tidak cukup atau bahkan masih belum tahu sumbernya. Kalau ketiga atau

salah satu dari ketiga keadaan terakhir yang terjadi, kontinuitas implementasi

kurikulum tidak terjamin, terjadi pemborosan dalam pengembangan kurikulum, dan

kurikulum tidak akan menghasilkan apa yang dikemukakan dalam ide kurikulum.

3. Model Evaluasi Kualitatif (Humanistik-Naturalistik)

A. Model Evaluasi Connoisseurship

Model evaluasi kurikulum ini dikembangkan oleh Elliot W. Eisner dan kemudian

dinamakan model evaluasi connoisseurship. Elliot W. Eisner dilahirkan pada 1933 dan

dibesarkan di Chicago. Ia mendapatkan gelar Magister of Science bidang Art Education

dari Illinois Institut Technology dan Master of Arts bidang pendidikan seni dari

University of Chicago dan Ph.D dalam bidang pendidikan pada universitas yang sama.

Berdasarkan bidangnya pada seni, evaluasi model ini didasari oleh kegiatan Eisner

dalam mengkritisi hasil karya seni misalnya lukisan, opera dan film bahkan anggur.

Model kritik Eisner diadopsi pada dunia pendidikan dan melahirkan model baru dalam

mengevaluasi kurikulum yang disebut dengan model kononurship dan kritisisme.

Eisner points out that educational connoisseurship is the art of appreciating the

educationally significant”. Eisner mengatakan menilai pendidikan merupakan salah

(14)

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM 13 Ciri khas dari model ini, sebagai model penelitian dengan pendekatan humanistic

naturalistik, evaluan berpartisipasi langsung sebagai observer pada proses

penelitiannya. Evaluan secara seksama dan teliti menganalisa pola kerja siswa dan guru.

Ciri lainnya pada model ini adalah penggunaan teknologi sebagai media di dalam

penelitiannya seperti penggunaan film, videotape, kamera dan audiotape.

Walaupun model ini belum memiliki struktur penelitian yang baku, akan tetapi

model penelitian ini memiliki tiga tahap: Tahap pertama disebut tahap deskriptif yaitu

mendeskripsikan seluruh pola pembelajaran dan aktivitas di dalam kelas, tahap kedua

yaitu interpretasi di mana evaluan mulai menginterpretasi dan mengkritisi pada yang

terjadi pada tahap pertama. Penjelasan pada tahapan ini akan menimbulkan aksi, reaksi

dan interaksi pada apa yang diamati dan tahap ketiga adalah tahap evaluasi di mana

pada tahap ini evaluan akan memberikan pertimbangan dan keputusan dari program

tersebut. Pertimbangan dan keputusan yang dibuat oleh evaluan didasarkan kepada

kritik yang dibuat oleh evaluan sendiri berdasarkan data yang diperoleh pada tahap

pertama dan kedua.

B. Model Illuminative.

Model ini pada awalnya diperkenalkan oleh Hanley pada 1969, namun

dikembangkan lebih lanjut oleh Parlett dan Hamilton pada tulisan mereka yang

berjudul Evaluation as illumination: a new approach to study of innovatory programs. Pada akhirnya kedua tokoh ini dikenal sebagai tokoh evaluasi yang melahirkan model

illuminatif. Banyak tokoh evaluasi lainnya yang merujuk kepada Parlett dan Hamilton

ketika menggunakan model ini diantaranya Stenhouse dan Scrimshaw.

Parlett dan Hamilton mengatakan bahwa model ini tidak membatasi diri dalam

pengumpulan datanya seperti pada evaluasi tradisional. Model ini memiliki fokus pada

deskripsi daripada interpretasi angka dalam memprediksi penelitian. Parlett dan

Hamilton mengatakan bahwa model ini bertujuan:

1. Examine the situasional influences on a curriculum, the opinions of those involved as

to the advantages and disanvatages, and how student perfomances are most affected

2. Discern and discuss significant features of a curriculum, and the critical processes

involves in implementing it

(15)

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM 14 Ada tiga tahapan dan metode dalam mengumpulkan data dengan menggunakan model

illuminatif yaitu:

Observasi; pada tahap ini evaluan mengobservasi keseluruhan program pendidikan

diantaranya tujuan sekolah, metode dalam belajar mengajar, materi yang digunakan,

dan teknik evaluasi yang dilakukan guru.

Inkuiri; pada tahap ini evaluan akan memisahkan data penting dan yang tidak penting

untuk dianalisa. Pada tahap ini pula evaluan tidak hanya “mengetahui” program itu

berjalan tetapi mengapa program itu dapat berjalan. Untuk mencari jawaban tersebut

evaluan harus menghabiskan waktunya di lapangan untuk meneliti.

Ekspalanasi; pada tahap ini evaluan tidak saja memberikan pertimbangan dan

keputusan pada hasil penelitiannya, tetapi memperkaya data tersebut dengan cara

menjelaskan apa yang terjadi dan mengapa itu bisa terjadi.

C. Model Responsive Stake

Model kedua yang dikembangkan oleh Stake untuk mengevaluasi kurikulum adalah

model responsive. Model ini digunakan untuk memberikan penegasan kepada beberapa

hal diantaranya:

1. Educational issues rather than objectives or hypothesis (isu-isu pendidikan berangkat

(16)

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM 15 2. Direct and indirect observation of involvement and participation in the curriculum

being evaluated (adanya pengamatan dan partisipasi baik langsung maupun tidak

langsung terhadap kurikulum yang dievaluasi).

3. The variety of different value standards held by various groups involved (not just those

of teaching staff), (adanya standar nilai yang berbeda dari varian grup yang

terlibat/tidak hanya orang-orang dari staf pengajar).

4. Continuous attention to the information needs of the audience of the evaluation

(kebutuhan yang berkesinambungan akan informasi oleh pengguna evaluasi.

Model Responsive Stake memiliki 12 langkah penelitian yang digambarkan pada jam

penelitian:

(17)

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM 16 BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Evaluasi kurikulum merupakan suatu aktivitas ilmiah yang memiliki keterkaitan erat

dengan proses pengembangan kurikulum. Evaluasi kurikulum merupakan suatu tema

yang luas, meliputi banyak kegiatan, sejumlah prosedur, bahkan dapat merupakan suatu

lapangan studi yang berdiri sendiri.

Model-model evaluasi kurikulum berdasarkan perkembangan evaluasi di

dibedakan menjadi:

Model Kuantitatif. Meliputi model Black Box Tyler, Model Teoritik Taylor dan

Maguire, Model Pendekatan Sistem Alkin, Model Countenance Stake, Model CIPP.

Ciri evaluasi kuantitatif adalah penggunaan prosedur kuantitatif untuk mengumpulkan

data sebagai konsekuensi penerapan pemikiran paradigma positivisme dan tidak

menggunakannya pendekatan proses dalam mengembangkan kriteria evaluasi.

Model Ekonomi Mikro meliputi cost-effectiveness yang menggunakan angka

(score) sebagai unit pengukuran hasil belajar, cost-benefit yang menggunakan unit uang

dalam mengukur hasil, cost-utility yang diukur pada tingkat pengukuran interval dan bukan ordinal, dan yang terakhir model cost-feasibility yang tidak berusaha mencari hubungan antara biaya dengan hasil tertetu melainkan menjawab pertanyaan evaluasi

apakah biaya yang diperlukan memang tersedia.

Model Kualitatif. Meliputi Model Evaluasi Connoisseurship yang menggnakan

pendekatan humanistic naturalistik, model illuminativ yang berfokus pada deskripsi dari pada interpretasi angka dalam memprediksi penelitian dan yang terakhir model

Responsive Stake

2. Saran

Setelah melihat pentingnya evaluasi kurikulum maka kami menyarankan kepada

evaluator untuk memahami benar teori-teori evaluasi kurikulum serta model evaluasi

kurikulum yang dijalankan oleh satuan pendidikan. Sehingga evaluasi kurikulum

(18)

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM 17 DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Z. 2014. Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Hasan, H. 2009. Evaluasi Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Ibrahim, R dan Masitoh, 2011, “Evaluasi Kurikulum “ dalam Kurikulum dan pembelajaran. Jakarta : Tim Pengembang MKDP FIP UPI, Rajawali Pers.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2012. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek.Bandung. PT Remaja Rosdakarya

Referensi

Dokumen terkait

Asas filsofis dalam pengembangan kurikulum menentukan kualitas peserta didik yang akan dicapai kurikulum, sumber dan isi dari kurikulum,

Pedoman diskusi fokus ini dimaksudkan untuk menggali informasi dari peserta tentang keterbacaan dan keterlaksanaan Panduan pengembangan kurikulum dan Model kurikulum

Dari beberapa model konsep pengembangan kurikulum ini, maka penyusunan kurikulum harus dapat melihat kepada ilmu pengetahuan itu sendiri yang dapat dikaitkan dengan

Untuk mempersiapkan kehidupan masa kini dan masa depan peserta didik, Kurikulum 2013 mengembangkan pengalaman belajar yang memberikan kesempatan luas bagi peserta

Jadi pengelolaan peserta didik adalah kegiatan yang dilakukan berhubungan dengan peserta didik dari awal masuknya peserta didik hingga keluarnya peserta didik dari

Meningkatkan pengetahuan peserta tentang “Model Pembelajaran Problem Based Learning Sesuai Kurikulum 2013, yang dapat melatih peserta didik untuk memecahkan masalah dalam

Struktur Verikal yang dibahas dalam unit empat ini adalah berhubungan dengan masalah sistem-sistem pelaksanaan kurikulum sekolah yang meliputi apakah kurikulum tersebut

Adapun langkah-langkah yang harus di tempuh melalui beberapa kegiatan yaitu: 1 Tahap pertama yaitu memberikan pretest kepada peserta dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan awal