• Tidak ada hasil yang ditemukan

HI Refugee di usir dari Jerman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HI Refugee di usir dari Jerman"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

METODE IRAC

JUDUL :

Jerman Mendeportasi Massal Pengungsi dari

Afrika Utara

Posisi Kasus

Sejak kasus pelecehan seksual massal pada malam tahun baru di kota Köln, pemerintah Jerman berupaya mempercepat proses deportasi pengungsi Afrika Utara. Bukan hari baik buat pengungsi asal Maroko dan Aljazair. Mereka yang datang ke Jerman dalam jumlah belasan ribu itu kini terancam dipulangkan paksa.

Pasalnya pemerintah di Maroko dan Aljazair sepakat menerima kembali warga negaranya yang mengungsi dengan alasan ekonomi ke Jerman. Kesediaan kedua negara ini membuka jalan proses deportasi cepat. Hal tersebut disepakati setelah Menteri Dalam Negeri Jerman, Thomas de Maizière berkunjung ke Rabat dan Aljir.

Ia juga sedang menegosiasikan kesepakatan serupa dengan Tunisia. Pemerintah Jerman menggolongkan Maroko, Aljazair dan Tunisia sebagai negara aman. "Kami sepakat, bahwa sebanyak mungkin kelompok pengungsi ini harus dipulangkan dalam waktu cepat," tutur de Maizière.

Pemerintah Maroko berjanji akan memproses kepulangan warganya dalam waktu 45 hari. Menurut pemerintah Jerman, tahun lalu terdapat 27.000 pengungsi asal Maroko dan Aljazair datang untuk mencari suaka. Di antara mereka cuma segelintir yang berhak menerima suaka di Jerman. Namun upaya deportasi tidak mudah, karena para pengungsi mampu melenyapkan identitas pribadi dan mengaku sebagai warga negara Suriah.

Kini dengan kesediaan negara asal, identitas pengungsi asal Afrika Utara bakal lebih mudah diketahui lewat sidik jari mereka. Saat ini Jerman akan memulangkan kelompok pertama berjumlah 29 orang ke Maroko. Mereka diberikan paspor Laissez-passer oleh PBB untuk pengungsi yang tidak jelas negara asalnya. Upaya Jerman menggandeng negara-negara Afrika Utara adalah salah satu upaya mengurangi tekanan terhadap kebijakan pengungsi pemerintah.

(2)

seksual massal pada malam tahun baru di Köln. "Tidak ada alasan kuat buat warga Maroko meminta perlindungan di Jerman," tutur jurnalis setempat, Aziz Alilou kepada harian Jerman, Die Welt. "Maroko termasuk negara Arab paling liberal. Tidak ada yang menghadapi represi. Mereka yang datang ke Jerman kebanyakannya cuma ingin kehidupan yang lebih baik," tambah dia.

ISSUE :

1. Apakah seharusnya Jerman mendeportasi pengungsi dari Afrika Utara?

2. Apakah tindakan yang dilakukan Jerman mendeportasi pengungsi dari Afrika Utara sesuai dengan Hukum Internasional ?

RULES :

Convention :

Dalam Konvensi Wina 1951 Tentang Status Pengungsi, perlindungan terhadap pengungsi diatur, yaitu pada Pasal 33 (1), bahwa "Tidak ada Negara Pihak yang akan mengusir atau mengembalikan (”refouler”) pengungsi dengan cara apa pun ke perbatasan wilayah dimana hidup dan kebebasannya akan terancam karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politiknya". Ini merupakan salah satu komponen penting dalam sistematika penerimaan pengungsian.

Sering dikatakan bahwa pelarian mempunyai "hak suaka". Ini tidak tepat, karena pelarian tidak mempunyai hak yang dapat dipaksakan dalam hukum internasional untuk menikmati suaka. Satu-satunya hak hukum internasional adalah berkaitan dengan negara tempat berlindung itu sendiri untuk memberi suaka. Sistem-sistem hukum nasional memang kadang-kadang mengatur hak suaka kepada individu yang melarikan diri dari penyiksaan dan sebuah contoh ketentuan instrumen-instrumen internasional modern yang mengatur hak individu atas suaka dari penyiksaan adalah Pasal 14 Universal Declaration of Human Rights 1948 yang secara halus menyebutkan hak untuk "mencari" suaka.

(3)

sejumlah standar dan kebutuhan-kebutuhan nyata, antara lain sebagai berikut :

a. Suaka yang diberikan kepada orang-orang yang mencari tempat megungsi harus dihormati oleh semua negara ( Pasal 1 ).

b. Apabila suatu negara menghadapi kesulitan dalam memberikan atau melanjutkan memberi suaka, maka negara-negara secara individu atau bersama-sama atau melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa harus mempertimbangkan, "demi semangat solidaritas internasional", tindakan-tindakan yang tepat untuk meringankan beban yang dipikul negara tersebut ( Pasal 2 ).

c. Seseorang yang mencari suaka tidak boleh ditolak diperbatasan, atau apabila ia telah memasuki wilayah tempat mencari suaka, dilakukan pengusiran atau dikembalikan dengan paksa. Apabila ada penolakan dengan alasan kemanan nasional, atau jika penolakan itu perlu untuk melindungi penduduk, seperti dalam kasus gelombang masa, maka dapat ditolak, tetapi negara terkait harus mempertimbangkan kesempatan kepada orang-orang yang mengungsi, dengan jalan memberi suaka sementara atau cara lainnya, untuk pergi ke negara lain ( Pasal 3 ).

Dalam kesempatan kali ini Penulis ingin sekilas mengingatkan kita semua juga sedikit mengenai Hak Asasi Manusia terkait dengan Issue yang dibahas kini. Melihat kepada :

1) Universal Declaration of Human Rights (1948) :

Pasal 14

1. Setiap orang berhak mencari dan menikmati suaka di negeri lain untuk melindungi diri dari pengejaran.

2. Hak ini tidak berlaku untuk kasus pengejaran yang benar-benar timbul karena kejahatan-kejahatan yang tak berhubungan dengan politik, atau karena perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa.1

General Principle of Law Recognized by Cilived Nations :

(4)

Untuk melindungi pengungsi dari nasib yang terombang-ambing dan tak berkepastian hunian, dalam konvensi Wina dikenal dengan Prinsip non-refoulement (tidak melakukan pemulangan). Prinsip ini adalah salah satu dari prinsip utama dalam hukum pengungsi sebagaimana yang digariskan oleh konvensi 1951. Prinsip ini merupakan prinsip-prinsip umum yang diakui oleh bangsa beradab (General Principle of Law Recognized by Civiled Nations) yang merupakan salah satu sumber hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 38 (1) Statuta Makhamah Internasional. Tetapi prinsip ini hanya dikecualikan dalam ihwal tertentu. Pasal 33 ayat 2 Konvensi Wina 1951 memberikan syarat pengecualian yaitu jika pengungsi yang dimaksud merupakan ancaman yang serius terhadap keamanan negara dimana ia mencari suaka atau ada putusan yang incraht telah melakukan kejahatan.

Publicist :

Charles de Visscher Suaka adalah sesuatu kemerdekaan dari suatu negara untuk memberikan

suatu suaka kepada orang yang memintanya.

Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, S.H. berpendapat bahwa Suaka adalah perlindungan individu di wilayah negara asing tempat ia mencari perlindungan. Suaka merupakan perlindungan negara asing di wilayah negara tersebut dikediaman perutusan asing atau kapal asing. Dengan adanya perlindungan itu individu tersebut tidak dapat diambil oleh penguasa negara lain.

J.G Starke dalam bukunya "An Introduction to International Law" berpendapat bahwa, Suaka sementara paling tidak akan memungkinkan negara-negara untuk mengizinkan masuknya orang-orang yang melarikan diri dari negara mereka sendiri untuk menetap dalam waktu terbatas, sambil menunggu penempatan kembali, tanpa komitmen mengikat atau komitmen moral untuk memberikan suaka.

Pietro Verri memberikan definisi tentang pengungsi dengan mengutip bunyi Pasal 1 UN

Convention on the Status of Refugees tahun 1951 adalah ‘applies to many person who has fled the country of his nationality to avoid persecution or the threat of persecution’

APPLICATION :

(5)

pengungsi dimaknai sebagai orang-orang yang ada di luar negaranya atau tempat tinggalnya sehari-hari yang mempunyai ketakutan beralasan akan mendapatkan penganiayaan dikarenakan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan di dalam kelompok sosial tertentu atau memiliki pendapat politik tertentu. Orang-orang yang masuk dalam kategori di atas harus mendapat perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Karena itulah orang yang statusnya sebagai pengungsi dapat diizinkan masuk ke negara tertentu meskipun statusnya adalah orang asing tanpa harus melalui prosedur ketat keimigrasian.

Terhadap deklarasi tentang Suaka Teritorial yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 14 Desember 1967 yang menyatakan bahwa, Suaka yang diberikan kepada orang-orang yang mencari tempat megungsi harus dihormati oleh semua negara ( Pasal 1 ). Hal ini tentunya menjadi tolak ukur utama dalam kasus pengembalian imigran dari Afrika Utara di Jerman, namun , pada dasarnya Jerman telah menerima imigran tersebut dan telah mengijinkan Imgran Afrika Utara sebagai pengungsi di negara Jerman seperti yang telah disampaikan oleh Charles de Visscher dimana ia mengartikan Suaka adalah sesuatu kemerdekaan dari suatu negara untuk memberikan suatu suaka kepada orang yang memintanya. Disini dapat kita lihat bahwa suaka atau dapat kita katakan status perlindungan yang diberikan suatu negara atas dasar keputusan dari negara itu sendiri kepada imigran negara lain harus tetap melihat dari posisi keadaan negara tersebut. Melihat Deklarasi tentang Suaka Teritorial (The United Nations Declaration on Territorial Asylum (1967)) yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 14 Desember 1967 pasal ketiga yang secara tegas menjelaskan

“Seseorang yang mencari suaka tidak boleh ditolak diperbatasan, atau apabila ia telah memasuki wilayah tempat mencari suaka, dilakukan pengusiran atau dikembalikan dengan paksa. Apabila ada penolakan dengan alasan kemanan nasional, atau jika penolakan itu perlu untuk melindungi penduduk, seperti dalam kasus gelombang masa, maka dapat ditolak, tetapi negara terkait harus mempertimbangkan kesempatan kepada orang-orang yang mengungsi, dengan jalan memberi suaka sementara atau cara lainnya, untuk pergi ke negara lain2

(6)

Terkait pasal 3 diatas dapat kita ketahui mengenai keadaan di Jerman itu sendiri menanggapi kasus pelecehan sexual secara masal yang dilakukan oleh pihak Imigran Afrika Utara yang tentunya dapat secara tegas di klasifikasikan mengganggu keamanan nasional dan mengganggu kesejahteraan penduduk.

Terkait dengan Prinsip non-refoulement, bahwa adanya larangan bagi negara pihak untuk mengembalikan pengungsi atau mereka mengklaim dirinya sebagai pencari suaka ke negara asal secara paksa. Berhubungan dengan prinsip ini, yang jelas mutlak harus dipatuhi oleh negara pihak yaitu tidak mengembalikan pengungsi ke negara asal dimana ia merasa terancam keselamatan dan kebebasannya (non-refoulement principle). Secara jelas memang benar, tetapi dalam hal ini harus diperhatikan kekecualian atas prinsip ini yang di aturan Deklarasi tentang Suaka Teritorial (The United Nations Declaration on Territorial Asylum (1967). Dimana pihak Jerman keamanannya terancam oleh tindakan yang dilakukan oleh Imigran dari Afrika Utara tersebut.

(7)

CONCLUSION :

1. Melihat suatu fakta hukum mengenai adanya unsur-unsur perbuatan dimana imigran yang mengungsi dari Afrika Utara terhadap negara Jerman, yang menimbulkan hilangnya kesejahteraan dan keamanan nasional negara jerman, akibat para pendatang dari Afrika Utara yang secara jelas melakukan perbuatan pelecehan sexual secara masal atas warga negara Jerman. Saya dapat menyimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pihak Jerman merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan, Berdasarkan Konvensi Wina Tahun 1951 Tentang Status Pengungsi (The 1951 Convention Relating Status of Refugees) dan Protokol tahun 1967 Tentang Status Pengungsi (Protocol Relating to the Status of Refugees 1967) pasal 3. Apabila dimungkinkan melihat adanya cara- cara lain yang mungkin dilakukan seperti memebrikan suaka sementara saja atau mengirimkan ke luar negara lain yang mau menampung pengungsi tersebut. Selain itu apabila kita melihat dari pengertian dari pengungsi itu sendiri yang dapat dijadikan dasar lain argumentasi saya, dimana

Charles de Visscher menyebutkan bahwa suaka merupakan sebuah kemerdakaan

atau hak yang diberikan kepada suatu negara penerima suaka dimana ia dapat memutuskan boleh atau tidaknya tergantung pada negara pihak penerima sehingga apabila terjadi suatu perbuatan-perbuatan yang dikiranya memang merugikan negara penerima maka suatu tindakan pemulangan atau penolakan dapat diambil3.

2. Melihat dari kacatamata Hukum Internasional saya dapat menyimpulkan terdapat dua cara pandang, pertama apabila kita melihat dari segi prinsip, yaitu Prinsip non-refoulement tentunya secara jelas dilarang bahwa suatu negara memulangkan secara paksa para pengungsi atau pencari suaka yang datang kepada negara itu. Namun bila kita mampu meneliti lebih lebih lanjut lagi, saya dapat menyimpulkan bahwa yang dilakukan secara praktis memang yang dilakukan Jerman dapat kita benarkan melihat Konvensi Wina tahun 1951 Tentang Status Pengungsi beserta Protokolnya tahun 1967 pasal 3 yang juga menjadi toalk ukur tindakan jerman karena nasionalnya merasa terganggu sehingga dari pihak Jerman berhak secara sah memulangkan atau mendeportasi Pengungsi dari Afrika Utara tersebut. Berbicara mengenai HAM yang diatur secara intrinsik di Universal Declaration of Human Rights (1948) tentunya kita tidak dapat menyingkirkan mengenai hak asasi yang dilihat dari sisi penduduk Jerman

(8)

yang merasa terancam keamanannya oleh para pengungsi dari Afrika Utara.

(9)

1. Universal Declaration of Human Rights (1948).

2. Konvensi Wina Tahun 1951 Tentang Status Pengungsi (The 1951 Convention Relating Status of Refugees) dan Protokol tahun 1967 Tentang Status Pengungsi (Protocol Relating to the Status of Refugees 1967).

3. International Convenant On Civil and Political Rights (1966)

4. The United Nations Declaration on Territorial Asylum (1967)

(10)

I. Buku

Motchar Kusumaatmadja, Etty R.Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Penerbit : PT.ALMUNI. Bandung.2013

Hamid Sulaiman, SH. Lembaga Suaka dalam Hukum Internasional, Penerbit : Raja Grafindo Persada, 2002

Oppenheim, L “International Law a Treatise”, Vol.I : Peace, Edited by H. Lauterpacht Eight Edition English Language Book Society And E.L.B.S, and Longmans Green & Co LTD, London, 1966

Starke, JG., Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Jilid 2, Penerbit:Sinar Grafika

UNCHR, Melindungi Pengungsi dan Peran UNCHR, Penerbit UNCHR, 2007

II. Dan Lain-lain

http://www.unhcr.or.id/id/

(11)

Pertama –tama puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Masa Esa, karena atas rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Tugas akhir yang berjudul “Jerman Mendeportasi Massal Pengungsi dari Afrika Utara”. Tugas ini dibuat sebagai nilai tugas akhir pada mata kuliah Hukum Internasional yang di Bimbing oleh bapak Teddy Nurcahyawan.

Adapun makalah ini penulis angkat dengan harapan agar penulis dan pembaca lainnya dapat mengerti dan memahami Hukum Internasional terlebih dalam aspek berkaitan dengan Pengungsian ataupun Penerimaan suaka. Namun tidak lepas dari penulispun menyadari bahwa makalah ini memiliki kelebihan serta kekurangan karena adanya keterbatasannya waktu yang diberikan serta keterbatasan literatur yang penulis kumpulkan, maka penulispun menyadari adanya kekurangan – kekurangan atas dalam isi materi makalah ini. Penulis berharap apabila dimungkinkan kesediaan waktu mengenai tugas akhir diberikan dengan waktu yang lebih lama lagi sehingga dapat mencari isi materi dengan lebih detail lagi kedepannya.

Jakarta, 25 Mei 2016

(12)

MAKALAH

Jerman Mendeportasi Massal

Pengungsi dari Afrika Utara

Referensi

Dokumen terkait

Privasi merupakan salah satu jenis hak dasar manusia yang dilindungi baik oleh Hukum Internasional Umum seperti dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia ,1948 dan

Dari sudut cabaran dalam hak asasi manusia terutama merujuk kepada Universal Declaration of Human Rights, setiap artikel yang diwujudkan dan

Pernyataan ini, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights), diumumkan sebagai "suatu standar pencapaian yang berlaku umum untuk

adalah disahkannya Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia - DUHAM (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember l948 oleh PBB.  Piagam ini disusun oleh suatu

Pembahasan mengenai pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar terhadap Etnis Rohingya tidak terlepas pada penyelesaian melalui organisasi internasional, yang erat kaitannya

Akhirnya negara- negara yang tergabung dalam PBB meminta Hak Asasi Manusia dimasukkan dalam Piagam PBB dengan langkah pertama yaitu menyusun the Universal Declaration of Human Rights,