• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. KONSEP DASAR PENDIDIKAN INKLUSIF

N/A
N/A
Kusdiyono Kusdiyono

Academic year: 2023

Membagikan "1. KONSEP DASAR PENDIDIKAN INKLUSIF"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Konsep Pendidikan Inklusif 1. Hakikat Pendidikan Inklusif

Pada awalnya pendidikan khusus menerapkan pembelajaran model “segregasi” yaitu yang menempatkan anak berkebutuhan khusus di sekolah-sekolah khusus/Sekolah Luar Biasa (SLB), terpisah dari teman sebayanya. Dengan kata lain, di sekolah ini Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dipisahkan dari sistem sekolah yang diselenggrakan secara reguler.

Misalnya, Sekolah Luar Biasa (SLB) mulai jenjang Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Luar Biasa (SMPLB), sampai Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB). Sekolah dengan model segregasi tersebut menerima siswa dengan hambatan yang sama, maka ada Sekolah Luar Biasa Tunanetra, Tunarungu, Tunagrahita, Tunadaksa, dan Tunalaras

Dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan. Kerugian tersebut sebagaimana pandangan Reynolds dan Birch (1988) antara lain bahwa model segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkebutuhan khusus mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat pada umumnya. Akan tetapi, mereka dipisahkan dengan masyarakat pada umumnya. Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa model segregatif relatif mahal.

Berbeda halnya dengan TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB menampung berbagai jenis anak berkebutuhan khusus, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autis, ataupun hambatan majemuk. Sekolah- sekolah tersebut memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, sistem evaluasi, dan guru khusus. Dari segi pengelolaan, model segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi guru dan administrator. Akan tetapi, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi bisa jadi pada kondisi tertentu merugikan peserta didik.

Dengan model segregatif tersebut, Depdiknas (2007:1) menjelaskan bahwa tidak menjamin kesempatan anak berkebutuhan khusus mengembangkan potensi secara optimal. Hal ini mengingat, kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Di samping itu, peserta didik tidak disiapkan untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal. Mereka dipisahkan dengan masyarakat normal. Dengan demikian, perkembangan emosional dan sosialisasi siswa kurang luas karena faktor lingkungan

(2)

menjadi terbatas.

Kurangnya interaksi sosial yang bermakna menyebabkan kesepian dan perasaan rendah diri bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Kurangnya kedekatan dan stimulasi dapat pula mengakibatkan mereka mengembangkan prilaku stereotip dan stimulasi diri. Ini menambah kondisi mereka dan membatasi perkembangan mereka lebih lanjut.

Belajar dari berbagai kelemahan model segregatif, pertengahan abad 20 muncul model

mainstreaming”. Model mainstreaming ini memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkebeutuhan khusus. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas (kelas biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak berbatas (the least restrictive environment), artinya anak berkebutuhan khusus harus ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis/tingkat kemampuannya.

Para ahli berbagai disiplin ilmu, simpatisan, dan kelompok penyandang disablitias melakukan berbagai usaha perbaikan untuk menyebutkan secara spesifik orang penyandang disabilitas dan menekankan bahwa semua penyandang disabilitas–tanpa memandang tingkat keparahannya–memiliki hak atas pendidikan. Usaha-usaha yang dilakukan tersebut memperoleh hasil, maka pada Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989 memuat instrumen-instrumen hak untuk memperoleh pendidikan di dalam sistem pendidikan umum dan tidak mendiskriminasikan penyandang disabilitas dan anak berebutuhan khusus lainnya.

Dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak 1989 tersebut telah ditandatangani oleh semua negara kecuali dua negara (Amerika Serikat dan Somalia) suatu instrumen yang secara sah mengikat hak untuk memperoleh pendidikan di dalam sistem pendidikan umum. Bahkan Pasal 28 menyatakan bahwa pendidikan dasar “wajib dan bebas biaya bagi semua”.

Perkembangan sejarah pendidikan inklusif di Indonesia mulai mengembangkan pendidikan inklusif tahun 2000. Pada awalnya pendidikan bagi anak berkebutuhan disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan sebagaiman dikutip dari http://www.ditplb.or.id/2006, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis hambatan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Autis.

(3)

Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis hambatan anak, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autis ataupun hambatan majemuk.

Pada umumnya, lokasi SLB berada di Ibu Kota Kabupaten. Padahal anak-anak dengan hambatan tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa), tidak hanya di Ibu Kota Kabupaten. Akibatnya, sebagian anak-anak berkebutuhan khusus, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah.

Perkembangan selanjutnya diawali dengan penyelenggaraan Konvensi Nasional pada 8 s.d. 14 Agustus 2004. Konferensi tersebut diselenggarakan atas kerjasama antara Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat PLB, Braillo Norway, dan UNESCO Jakarta yang melahirkan Deklarasi Bandung untuk menuju Indonesia pada pendidikan inklusif.

Kelanjutan dari konvensi tersebut, tahun 2005 di Bukittinggi dilaksanakan Simposium Internasional. Tujuan dari simposium tersebut adalah upaya mengupayakan agar hak-hak anak yang mengalami hambatan belajar. Hasil rekomendasi Bukittinggi tersebut yaitu perlu terus ditumbuhkembangkan pendidikan inklusif untuk menjamin agar semua siswa memperoleh pendidikan yang layak serta berkualitas.

Melalui pendidikan inklusif, anak berkebuthan khusus dididik bersama-sama anak lainnya (reguler) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, anak berkebutuhan khusus perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak reguler untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah. Pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus selama ini. Tidak mungkin membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa sebab memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama.

2. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Inklusif

Menurut Stubbs (Depdiknas, 2007:23) mendefinsikan bahwa ‘inklusif atau pendidikan inklusif bukan nama lain untuk pendidikan kebutuhan khusus. Pendidikan inklusif menggunakan pendekatan yang berbeda dalam mengidentifikasi dan mencoba memecahkan kesulitan yang muncul di sekolah’. Definisi pendidikan inklusif yang

(4)

dirumuskan dalam Seminar Agra pada tahun 1998 yang disetujui oleh 55 peserta dari 23 negara merumusakan poin-poin sebagai berikut.

 lebih luas daripada pendidikan formal: mencakup pendidikan di rumah, masyarakat, sistem nonformal dan informal.

 mengakui bahwa semua anak dapat belajar.

 memungkinkan struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan semua anak.

 mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia, jender, etnik, bahasa, status HIV/AIDS dll.

 merupakan proses yang dinamis yang senantiasa berkembang sesuai dengan budaya dan konteksnya.

 merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempromosikan masyarakat yang inklusif.

Definisi berikutnya dikemukakan oleh Sapon-Shevin dan O’Neil, 1994 (Dir. Pem. SLB, 2007:5) yang dimuat pula dalam http://bamperxii.blogspot.com menyatakan bahwa

‘pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman- teman seusianya’. Perkembangan berikutnya pada bulan Maret tahun 1990 di Thailand dicetuskan Deklarasi Dunia Jomtien tentang Education For All (EFA) yang dikumandangkan UNESCO. EFA melangkah lebih jauh dibandingkan dengan Deklarasi Universal dalam Pasal III tentang ‘Universalisasi Akses dan Mempromosikan Kesetaraan’.

Dinyatakan bahwa terdapat kesenjangan pendidikan dan bahwa berbagai kelompok tertentu rentan akan diskriminasi dan eksklusi. Ini mencakup anak perempuan, orang miskin, anak jalanan dan anak pekerja, penduduk pedesaan dan daerah terpencil, etnik minoritas dan kelompok-kelompok lainnya, dan secara khusus disebutkan para penyandang disabilitas. Walaupun istilah inklusif tidak digunakan di Jomtien, terdapat beberapa pernyataan yang mengindikasikan pentingnya menjamin bahwa orang-orang dari kelompok marginal mendapatkan akses ke pendidikan dalam sistem pendidikan umum.

3. Landasan Pendidikan Inklusif

Kebijakan implementasi pendidikan inklusif bukan sebatas pada pertimbangan kemanusiaan semata, akan tetapi memilki landasan yang kuat. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2011) menjelaskan ada 3 landasan penyelenggaran pendidikan inklusif, yakni landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan empiris.

(5)

a. Landasan Filosofis

Terkait dengan landasan filosofis, Abdulrahman dalam Kemdikbud (2011) mengemukakan bahwa landasan filosofis penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita–cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di muka bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya, sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya. Walaupun beragam namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.

Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, keberagaman termasuk di dalamnya anak berkebutuhan khusus merupakan salah satu bentuk kebhinekaan, seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa, budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkebutuhan khusus pastilah dapat ditemukan keunggulan–keunggulan tertentu. Kelemahan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik yang satu dengan yang lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama, tetap dalam kesatuan. Hal ini harus terus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta didik yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi yang nampak atau dicita–citakan dalam kehidupan sehari–hari.

b. Landasan Yuridis

Landasan yuridis tentang pendidikan inklusif memberikan kerangka dasar bahwa implementasi pendidikan inklusif memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan.

Implementasi pendidikan inklusif di Indonesia, memiliki dasar hukum atau yuridis yang terkait. Dalam Undang-Undang Dasar Amandemen 1945, Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ditambahkan juga dalam ayat (2) dalam pasal yang sama, bahwa “’Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.

Selanjutnya terkait dengan perlindungan anak, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, padal Pasal 48, menyatakan bahwa

(6)

“Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak”. Kemudian pada Pasal 48 dari Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa “’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan”.

Dalam konteks pendidikan nasional, penyelenggaraan pendidikan inklusif memiliki dasar hukum yang jelas. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat (1) “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Ayat (2): “Warga negara yang memiliki hambatan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.

Dalam hal aksesibilitas pendidikan, dinyatakan dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2)

“Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Pasal 32 ayat (1) “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena hambatan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Dalam penjelasan Pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa “Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah”. Pasal 45 ayat (1) “Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik”.

c. Landasan Empiris

Terkait dengan landasan empiris, hasil penelitian menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah, kelas, atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif, peneliti merekomendasikan pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan secara terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman dan Messick, 1982). Hasil metaanalisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah

(7)

penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkebutuhan khusus dan teman sebayanya.

Selain itu, Depdiknas (2007) mengemukakan bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif mendapatkan dukungan dari berbagai event atau moment, baik internasional maupun nasional. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights), tahun 1948;

2) Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), Tahun 1989;

3) Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (World Conference on Education for All) Tahun 1990;

4) Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan (The Standard Rules on The Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities);

5) Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi (The Salamanca Statement on Inclusive Education) Tahun 1994;

6) Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua (The Dakar Commitment on Education for All) Tahun 2000;

7) Deklarasi Bandung Tahun 2004 dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusi”;

8) Rekomendasi Bukittinggi Tahun 2005, menyatakan bahwa pendidikan inklusif dan ramah terhadap anak semestinya dipandang sebagai:

 Sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk ‘pendidikan untuk semua’ adalah benar-benar untuk semua;

 Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari programprogram untuk perkembangan anak usia dini, pra sekolah, pendidikan dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap marginalisasi dan eksklusi; dan

 Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan menghormati perbedaan individu semua warga negara.

(8)

Merujuk pada uraian di atas, jelaslah bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif memiliki dukungan secara internasional maupun nasional sebagai salah satu bentuk layanan pendidikan yang ditujukan untuk menjamin terlayaninya hak-hak pendidikan individu dengan memperhatikan kebutuhan khusus setiap peserta didik.

4. Prinsip Pendidikan Inklusif

Dalam upaya menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif di sekolah inklusif, Depdiknas (2007) telah merumuskan prinsip-prinsip pembelajaran di sekolah inklusif, yakni sebagai berikut:

a. Prinsip motivasi, guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar- mengajar.

b. Prinsip latar atau konteks, guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi anak.

c. Prinsip hubungan sosial, dalam kegiatan belajar-mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran

d. mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta interaksi banyak arah.

e. Prinsip individualisasi, guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam, baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, dan perilakunya, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai.

Konsep yang paling mendasar dalam pendidikan inklusif adalah bagaimana agar anak dapat belajar bersama, belajar untuk dapat hidup bersama dijabarkan dalam tiga prinsip, yaitu:

1) Setiap anak, termasuk dalam komunitas kelas atau kelompok.

2) Hari sekolah diatur sepenuhnya melalui tugas-tugas pembelajaran kooperatif dengan perbedaan pendidikan dan kefleksibelan dalam memilih dengan sepuas hati.

3) Guru bekerjasama dan mendapat pengetahuan pendidikan umum, khusus dan teknik belajar individu serta keperluan-keperluan pelatihan dan bagaimana mengapresiasikan keanekaragaman dan perbedaan individu dalam pengorganisasian kelas.

(9)

Sekolah seyogyanya mengakomodasikan semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, linguistik, ataupun kondisi-kondisi lainnya. Ini seyogyanya mencakup juga anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak dari penduduk terpencil ataupun pengembara, anak dari kelompok linguistik, etnik ataupun kebudayaan minoritas, serta anak dari daerah atau kelompok lain yang tak beruntung (UNESCO, dalam Hermansyah, 2013).

Lynch, sebagaimana disebutkan oleh Budiyanto dalam Hermansyah (2013) mengajukan tujuh prinsip menuju terwujudnya UPE (Universal Primary Education). Ketujuh prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

a. Prinsip kesatu: Perkembangan Kebijakan, Kerangka Hukum dan Sistem Kelembagaan. Dengan adanya perkembangan kearah UPE, Sekolah Dasar harus merespon keragaman peserta didik secara luas, baik itu dalam hal latar belakang sosial ekonomi dan budaya, pola tingkah laku, maupun kemampuan dan potensi yang berbeda-beda. Untuk itu perlu dilakukan perubahan dalam aturan perundang- undangan, organisasi dan pelaksanaannya serta perubahan filosofi kearah yang inklusif yang memandang bahwa semua anak mempunyai hak yang sama untuk pendidikan dasar, dan setiap anak memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda.

b. Prinsip kedua: Komitmen pada Filsafat Pendidikan yang Berpusat Pada Anak (Child- Centered). Prinsip kedua: pada dasarnya mengungkapkan tentang inovasi pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Prinsip ini menghendaki adanya perubahan pendekatan dalam pendidikan dari pola tradisional menjadi pola pendekatan pendidikan yang berpusat pada anak (child centered patern). Asumsinya bahwa setiap anak memiliki kapasitas dan kebutuhan yang berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lainnya, sehingga pola pendidikan tradisional (yang menggunakan pendekatan klasikal, berpusat pada guru, berdasarkan pada materi hapalan, dan tidak mempertimbangkan gaya belajar dan latar belakang peserta didik) dianggap tidak relevan dengan kondisi anak berkebuthan khusus.

c. Prinsip ketiga: Penekanan pada Keberhasilan dan Peningkatan Kualitas. Agar pendidikan dasar lebih efektif dalam melayani peserta didik yang beragam, sekolah harus responsif terhadap kebutuhan para peserta didik serta kebutuhan guru dalam strategi mengajar, juga kemampuan untuk meningkatkan kurikulum sehingga dapat menyampaikan program pendidikan yang sesuai untuk semua anak. Lebih penting dari hal tersebut di atas adalah perlunya perubahan filosofis dari yang berorientasi

(10)

tradisional menuju pelaksanaan pendidikan berorientasi pada keberhasilan, fleksibilitas, dan akomodatif terhadap keragaman, yaitu paradigma yang menerima konsep dapat dididik (universal educability), dimana semua anak dapat belajar. Hal ini mengimplikasikan dua hal, pertama, mengatasi adanya fragmentasi anak dengan kebutuhannya, kedua, mengatasi gejala kegagalan di sekolah dengan etos keberhasilan.

d. Prinsip keempat: Memperkuat Hubungan Antara Sistem Reguler dan Sistem Khusus.

Kepercayaan akan perlunya mengkaitkan antara sekolah reguler dengan sekolah khusus secara lebih erat lagi merupakan implikasi dari istilah The Reguler Education Initiative (REI). REI mengajak sistem pendidikan reguler untuk bertanggung jawab penuh terhadap keberhasilan semua peserta didik dan juga memberikan saran bahwa pendidikan khusus hendaknya bertindak sebagai sumber daya bagi pendidikan reguler. REI mengimplikasikan adanya penerimaan terhadap universal educability dan penyebarluasan etos keberhasilan untuk menggantikan sindrom kegagalan yang ada pada sebagian besar sekolah dasar.

e. Prinsip kelima: Komitmen untuk Berbagi Tanggung Jawab dalam Masyarakat. Di bawah paradigma baru untuk pendidikan dasar, sekolah dipandang sebagai bagian integral dari lingkungan masyarakat. Guru, kepala sekolah, orang tua dan masyarakat semuanya terlibat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, sehingga tanggung jawab atas kemajuan anak menjadi tanggung jawab bersama. Kerjasama dan pengkoordinasian antara fasilitas pendidikan khusus, guru, dan sekolah reguler haruslah menjadi kegiatan yang bisa dilakukan sebab tidak ada satu sistem yang dapat memenuhi semua kebutuhan anak.

f. Prinsip keenam: Pengakuan oleh para profesional tentang keragaman yang lebih besar.

Pembekalan kepada calon guru dengan memberikan bermacam-macam cara pembelajaran, bentuk-bentuk pendekatan yang fleksibel dan kooperatif sebenarnya menunjukkan adanya kesadaran para profesional akan adanya keberagaman cara belajar yang dimiliki oleh peserta didik. Di India, guru diberikan dorongan untuk menggunakan pendekatan yang lebih fleksibel dan membantu guru tersebut agar mampu bekerja secara kooperatif dengan guru lainnya. Di India juga telah digunakan konsep multy category resourch teacher, dimana seorang guru sebagai narasumber diberi tugas untuk membantu guru lain dalam berbagai kasus pada anak-anak berkebutuhan khusus.

(11)

g. Prinsip ketujuh: Komitmen terhadap pendekatan yang holistik Prinsip holistik dan pendekatan perkembangan pada pendidikan berhubungan dengan konsep community shared responsibility. Tanggung jawab bersama merujuk pada hubungan sekolah dengan konteks masyarakatnya dan mengasumsikan bahwa masyarakat dan organisasi perlu bekerjasama untuk mendidik anak. Pendekatan holistik dan perkembangan didasarkan pada asumsi bahwa:

1) Ada banyak domain dalam kehidupan anak yang berpengaruh pada performa pendidikan di sekolah.

2) Ada banyak aspek dari perkembangan danak yang akan menentukan sejauh mana anak akan dapat mengambil manfaat dari pendidikan.

3) Pengaruh cacat dan kondisi hidup yang lain dapat bersifat komulatif dan perlu diberikan intervensi sedini mungkin.

4) Guru dan profesional yang lain sama-sama bertanggung jawab untuk pemeriksaan anak dalam melihat adanya masalah nutrisi yang ada, untuk membuat referensi dan pengambilan tindakan yang tepat.

5) Guru bertanggung jawab terhadap semua anak dan perkembangannya, bukan hanya kognitifnya saja.

Dalam sistem sekolah yang mengaplikasikan prinsip-prinsip perkembangan yang holistik, layanan pendidikan memperhatikan sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap pencapaian pendidikan, termasuk kesehatan dan keadaan fisik, keadaan nutrisi, tuntutan kerja dan lain-lainnya.

Sekolah Ramah Anak (Pengelolaan Lingkungan Fisik)

Sekolah Ramah Anak (SAR) adalah sekolah/madrasah yang aman, bersih dan sehat, peduli dan berbudaya lingkungan hidup, mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak hak anak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi dan perlakuan salah lainya serta mendukung partisipasi anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif dan nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi dan psikososial anak perempuan dan anak laki-laki termasuk anak yang memerlukan pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus, terutama dalam perencanaan kebijakan pembelajaran dan pegawasan.

Mewujudkan sekolah ramah anak memerlukan pengembangan dalam hal berikut:

1. Aksesibilitas di Lingkungan Sekolah

(12)

Kemudahan Aksesibilitas di lingkungan sekolah inklusif ramah anak merupakan salah satu indikator kualitas layanan publik, khususnya bagian dari lingkungan sekolah yang ramah anak. Penyediaan desain lingkungan yang inklusif ramah anak, termasuk kemudahan bagi ABK dan atau penyandang disabilitas pada umumnya bahkan telah dituangkan dalam konvensi internasional.

Konvensi PBB tentang Hak Disabilitas (Convention on The Rights of People with Disability)menyatakan bahwa disain universal adalah desain untuk produk, lingkungan, program, dan layanan yang dapat digunakan bagi semua orang semaksimal mungkin tanpa memerlukan desain tambahan atau desain khusus. “Desain universal” tidak bertujuan untuk meniadakan alat bantu bagi disabilitas tertentu jika memang mereka membutuhkan.

Tiga belas hal pertama yang sering kita temui pada bangunan umum adalah tangga yang harus dijajaki sebelum bisa masuk ke gedung. Tangga sering kali menjadi penghambat pertama bagi banyak anak dan orang dewasa dalam mengakses sekolah atau bangunan umum lainnya. Secara langsung hambatan tersebut juga menghalangi mereka untuk menikmati layanan-layanan yang ditawarkan oleh fasilitas ini. Terkadang tangga hanya memilki dua atau tiga anak tangga namun terdapat pula tangga yang memilki begitu banyak anak tangga. Beberapa tangga sudah memiliki pegangan rambat di kedua sisinya guna meringankan langkah pengguna, tapi kebanyakan belum memilikinya.

Dengan demikian semua bangunan umum harus menyediakan beberapa cara alternatif untuk masuk kedalamnya. Lantai yang landai (ramp) umumnya paling mudah dan relatif murah untuk dibangun (setidaknya pada bangunan 1 lantai) dan bermanfaat bagi banyak orang. Ramp seharusnya diadakan di semua bangunan sekolah dan bangunan umum lainnya. Ketika bangunan sekolah baru dirancang dan disain sedang dikembangkan, harus dipastikan bahwa semua bagian bangunan tersebut harus dapat diakses oleh semua orang.

Ramp dan akses jalan lainya harus didesain sebagai satu kesatuan sehingga tidak menjadi akses terpisah bagi anak, guru, orang tua dengan disabilitas, wanita hamil, dan manula.

Sebaliknya strategi desain seperti ini akan menghadirkan akses jalan dengan berbagai alternatif yang menarik bagi semua penggunanya. Ruang, pencahayaan, bahan dan warna yang digunakan mempengaruhi pengalaman pembelajaran yang kita dapatkan. Sekolah dapat menggunakan dengan baik elemen-elemen ini dalam menciptakan bangunan dan lingkungan yang mencerminkan kebutuhan dan keinginan para siswa dan stafnya.

Sayangnya, sekolah sering dirancang dan dibangun tanpa sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan masyarakat penggunanya (Ian Kaplan, 2007).

(13)

Karena itu, desain universal tidak “hanya” terkait dengan pengadaan akses, tetapi juga dengan pengembangan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan ramah di sekolah.

Sekolah yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip desain universal akan lebih efektif dalam memberikan layanan pembelajaran karena sekolah ini memungkinkan semua anak untuk belajar, berkembang, dan berpartisipasi, bukan sebaliknya “membuat anak menjadi tidak mampu” dengan menciptakan berbagai hambatan bagi perkembangan dan partisipasi mereka.

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 8 tahun 2016, pasal 2 menyatakan bahwa aksesibilitas merupakan salah satu pelaksanaan dan pemenuhan hak disabilitas.

Penjaminan hukum layanan aksesibilitas tersebut salah satunya dilakukan dalam rangka memastikan pelaksanaan upaya penghormatan, pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas untuk mengembangkan diriserta mendayagunakan seluruh kemampuan sesuai bakat dan minat yang dimilikinya untuk menikmati, berperan serta, berkontribusi secara optimal, aman, leluasa, dan bermartabat dalam segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Penerapan dan jaminan hak yang digariskan dalam UU nomor 8 tahun 2016 tersebut memiliki urgensi tinggi terutama kaitanya dengan upaya penyelenggaraan pendidikan inkusif yang telah memiliki kekuatan hukum dengan diundangkannya permendiknas no. 70 tahun 2009.

2. Sarana Prasarana dan Penataan Ruangan

Sarana dan prasarana pendidikan merupakan fasilitas pendidikan yang sangat diperlukan dalam proses belajar mengajar di lembaga pendidikan (Prasojo, 2015:2). Pendapat lain dikemukakan oleh Muhammad Joko Susilo (2008;65), sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan khususnya proses belajar mengajar. Adapun yang dimaksud dengan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan atau pengajaran. Dari beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sarana prasarana pendidikan merupakan segala jenis fasilitas baik benda bergerak maupun tidak bergerak yang mendukung proses pencapaian tujuan pendidikan secara efektif dan efisien sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan.

Sarana dan prasarana pendidikan inklusif adalah perangkat keras maupun perangkat lunak yang dipergunakan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusif pada satuan pendidikan tertentu. Pada hakekatnya semua sarana dan prasarana pendidikan pada satuan pendidikan tertentu itu dapat dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan

(14)

inklusif, tetapi untuk mengoptimalkan proses pembelajaran perlu dilengkapi aksesibilitas bagi kelancaran mobilisasi ABK, serta media pembelajaran yang sesuai dengan ABK (POS Pendidikan Inklusif, 2007).

a. Prinsif Desain Universal Layanan Pengembangan Aksesibilitas Sarana dan Prasarana SPPI

Terdapat tujuh prinsip desain universal pengembangan aksesibilitas sarana dan prasarana dalam layanan Pendidikan inklusif yang ramah anak. Ketujuh prinsif tersebut adalah sebagai berikut:

Prinsip 1 : dapat digunakan oleh semua orang. Sebuah desain harus dapat digunakan dan bermanfaat bagi semua orang termasuk penyandang cacat.

Penyediaan aksesibilitas bagi semua anak di sekolah dan di dalam sarana dan prasarana sekolah dapat diwujudkan melalui langkah yang sederhana dan hemat biaya.

Prinsip 2 : fleksibel dalam penggunaannya. Sebuah desain harus dapat mengakomodir beragam pilihan kenyamanan dan kebutuhan dalam penggunaannya.

Prinsip 3 : mudah digunakan. Sebuah desain harus mudah untuk dipahami bagi semua pengguna sebagai individu yang memiliki latar belakang pengalaman, pengetahuan, kemampuan bahasa, dan tingkat pemusatan konsentrasi yang berbeda-beda.

Prinsip 4 : informasi penggunaan yang jelas. Sebuah disain harus dapat memberikan informasi yang diperlukan secara jelas bagi para penggunanya yang memiliki perbedaan pada tingkat fungsi dan kondisi alat indera. Terkait pembelajaran di sekolah, maka sebaiknya buku pembelajaran dicetak dengan tinta dan juga Braille. Buku cetak tinta sebaiknya berkualitas baik dan memiliki paduan warna yang kontras. Minimal ukuran huruf yang digunakan (font) adalah 12. Jika buku dicetak dengan menggunakan ukuran huruf yang lebih kecil, maka buku cetak besar juga harus disediakan untuk anak penyandang low vision.

(15)

Prinsip 5 :toleransi untuk kesalahan. Sebuah desain harus meminimalisir tingkat bahaya dan konsekuensi kerugian yang ditimbulkan jika terjadi kekeliruan atau kesalahan dalam penggunaannya.

Prinsip 6 :tidak memerlukan banyak tenaga fisik dalam penggunaannya. Sebuah disain harus dapat digunakan secara efisien, nyaman, dan tidak menyebabkan kelelahan pada penggunanya.

Prinsip 7 : ukuran dan ruang yang tepat. Ukuran dan lebar yang sesuai dalam sebuah disain ditujukan untuk memberikan kemudahan bagi penggunanya dalam menjangkau, mendekati, mengembangkan, dan menggunakan terkait dengan ukuran, postur, dan kemampuan mobilitas pengguna yang berbeda-beda.

Contoh penerapan universal disain:

Ruang kelas yang fleksibel bagi semua penggunanya (kursi dapat dipindahkan), bangunan dengan lantai yang rata, jalan masuk tanpa tangga, akses masuk pintu yang cukup lebar, tombol yang bisa dikenali melalui indra peraba, pengaturan pencahayaan yang sesuai, rambu-rambu atau pelabelan yang jelas, dll. (Unesco, 2009)

b. Saran Praktis untuk Menciptakan Aksesibilitas di Ruang Kelas

 Pintu harus mudah dibuka dan ditutup serta tidak memerlukan banyak tenaga.

 dalam membukanya (secara berangsur-angsur pintu yang sudah tua sebaiknya diganti). Sebaiknya gunakanlah pintu geser (sliding door) atau jenis pintu lain yang tidak menggunakan daun pintu agar tidak menghalangi akses bagi pengguna kursi roda. Pintu harus dibuat selebar mungkin agar mudah dilalui kursi roda.

 Sediakan ramp bagi pengguna kursi roda (kelandaian ramp sebaiknya tidak terlalu curam, ukuran ideal 1: 12 dengan penambahan panjang 12cm dalam setiap kenaikan tinggi 1 cm. Standar minimum: 1:10 dengan penambahan panjang 10 cm dalam setiap kenaikan tinggi 1 cm dan lebar rampadalah 120 cm. Sedangkan ukuran kelandaian ideal adalah 1: 20 dengan lebar 95 cm. (dikutip dari

“Aksesibilitas Fisik” diterbitkan oleh Arbeiter Samariter Bund(ASB).

Petunjuk:Pertimbangkanlah jarak antar meja di kelas guna memudahkan mobilitas kursi roda. Lebar kursi roda standar adalah 80 cm, agar dapat dilalui kursi roda maka jarak antar meja harus lebih dari 80 cm. Sebaiknya sediakan jalur pemandu di lorong

(16)

sekolah sebagai peringatan •keberadaan obyek tertentu seperti pintu yang mungkin saja sedang terbuka ketika anak melewati lorong tersebut. Hal ini akan membahayakan siswa terutama bagi penyandang tunanetra. Saklar lampu sebaiknya diletakkan di tempat yang mudah di jangkau oleh semua anak dengan mempertimbangkan kemampuan jarak capai atau tinggi anak yang berbeda-beda.

 Tempatkan stop kontak dan saluran listrik pada satu posisi yang sama di setiap kelasnya dan sebaiknya diletakkan di atas meja dekat saklar sehingga memudahkan semua anak dalam penggunaannya terutama anak tunanetra dan disabilitas fisik.

 Perhatikan standar keamanan saat pemasangan segala jenis instalasi listrik, utamakan penggunaan perangkat yang memiliki fitur keamanan bagi anak.

Misalnya dengan menggunakan stop kontak tertutup untuk mencegah anak memasukan jarinya ke dalam stop kontak yang dapat mengakibatkan anak terkena sengatan listrik.

 Gunakan warna-warna kontras untuk menciptakan lingkungan yang aksesibel dan ramah terhadap pembelajaran .

 Suara atau tingkat kegaduhan di dalam kelas dapat diminimalisir dengan menggunakan gorden, dekorasi dinding dari bahan tekstil, dan bahan peredam suara lainnya.

 Kodifikasi (penggunaan kode) warna sebaiknya digunakan untuk membedakan ruang kelas. Penerapan kodifikasi ini akan memudahakan siswa terutama anak penyandang low vision, tunagrahita, lamban belajar dan lain-lain. Penerapan berbagai warna juga akan membuat kesan sekolah yang ceria dan menyenangkan bagi semua.

 Setiap pintu sebaiknya dilengkapi dengan simbol penanda atau keterangan dalam huruf braille sebagai petunjuk bagi anak dengan hambatan penglihatan low vision atapun totally blind.

Petunjuk: Setiap bagian bangunan sekolah dan materi pembelajaran sebaiknya bersifat aksesibel sejak awal perancangan maupun pembangunannya. Dengan demikian penyediaan aksesibilitas akan lebih hemat biaya bila dibandingkan jika penyesuaian aksesibilitas dibuat setelah bangunan atau materi pembelajaran siap pakai.

(17)

 Jika di sekolah hanya lantai 1 saja yang aksesibel, maka pastikan pula semua kelas yang di dalamnya terdapat siswa tunadaksa (misal, menggunakan kursi roda/kruk) ditempatkan hanya di lantai 1 saja.

 Halaman sekolah atau arena bermain anak, tidak seharusnya menjadi area parkir karena dapat membahayakan semua warga sekolah. (Unesco, 2009)

c. Prinsip Penataan Ruang Kelas Inklusif

Penataan ruang kelas dalam seting sekolah inklusif bertujuan untuk memudahkan aksesibilitas dalam aktivitas pembelajaran bagi semua peserta didik, termasuk di dalamnya PDBK. Berikut ini prinsip penerapan ruang kelas dari kelas rendah sampai kelas tinggi sekolah dasar inklusif yang mengusung tema ramah anak.

1) Berpusat Pada Anak (Child Centered)

Penataan ruang kelas harus memungkinkan anak untuk bergerak, berinteraksi, berdiskusi, dapat mengakses alat bahan secara mandiri sesuai dengan kebutuhannya.

2) Learning Centers(pembagian Zona)

Area-area dimaksudkan sebagai sumber belajar bagi anak yang sebisa mungkin ditata sesuai dengan apa yang sedang dipelajari (tema Pembelajaran)

3) Menarik dan Menantang

Penataan dibuat sedemikian rupa agar menarik dan kreatif sehingga memunculkan rasa senang bagi siswa dan mampu memberikan insfirasi.

Penataan kelas juga harus menantang hingga mendorong siswa untuk mengeksplorasi, menemukan, dan berpikir.

4) Estetis

Selain harus menarik dan menantang, penataan ruang kelas juga harus memperhatikan prinsip estetika. Penataan kelas harus tetap rapi, bersih dan mampu memunculkan nilai seni. (Oktina, 2014)

d. Sarana dan Prasarana Umum yang Dibutuhkan di Sekolah Inklusif

Sarana dan prasarana umum yang dibutuhkan di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif relatif sama dengan di sekolah reguler pada umumnya, yaitu meliputi: ruang kelas, ruang praktikum (laboratorium), ruang perpustakaan, ruang serbaguna. ruang bimbingan konseling. ruang usaha kesehatan sekolah, ruang kepala sekolah, guru, dan tata usaha, lapangan olahraga, toilet, ruang ibadah, ruang kantin, ruang sumber (ruang

(18)

ini merupakan kekhususan pada sekolah inklusif yang membedakan dengan sekolah lainnya. Ruang sumber ini dilengkapi media khusus yang diperlukan bagi ABK).

e. Media Pembelajaran dan Peralatan Khusus

Mengapa sarana-prasarana, media pembelajaran, dan peralatan khusus bagi ABK dalam seting sekolah inklusif sangat penting? Sekolah Penyelenggaran Pendidikan Inklusif (SPPI) adalah sekolah yang menyediakan layanan pendidikan bagi semua peserta didik reguler maupun Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) di kelas yang sama. SPPI merupakan tempat pendidikan untuk ABKguna mendapat perlakuan secara proporsional dari semua unsur yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan. Konsekuensi dari kondisi SPPI menuntut adanya penyesuaian strategi pembelajaran dalam upaya melaksanakan kurikulum yang telah disahkan secara nasional.

Kehadiran PDBK menuntut sekolah untuk menyiapkan sarana-prasarana khusus sesuai dengan karakteristik peserta didik dan strategipembelajaran oleh guru yang bervariasi. Penyediaan sarana-prasarana dan media pembelajaran tidak perlu menuntut adanya biaya tinggi dan sulit untuk mendapatkannya. Berbekal kreativitas, para guru dapat membuat dan menyediakan sumber belajar, media belajar yang sederhana dan murah. Misalnya, guru dan peserta didik memanfaatkan bahan bekas.

Bahan bekas yang banyak berserakan di sekolah dan rumah, seperti kertas, bekas kaleng minuman, mainan, kotak pembungkus, bekas kemasan sering luput dari perhatian kita. Dengan sentuhan kreativitas, bahan-bahan bekas yang biasanya dibuang secara percuma dapat dimodifikasi dan didaur-ulang menjadi sumber belajar, media belajar yang sangat berharga. Demikian pula, dalam memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar, media belajar tidak perlu harus pergi jauh dengan biaya yang mahal, lingkungan yang berdekatan dengan sekolah dan rumah pun dapat dioptimalkan menjadi sumber belajar yang sangat bernilai bagi kepentingan belajar peserta didik. Tidak sedikit sekolah-sekolah memiliki halaman atau pekarangan yang cukup luas, namun keberadaannya seringkali ditelantarkan dan tidak terurus. Jika saja lahan-lahan tersebut dioptimalkan tidak mustahil akan menjadi sumber belajar/media pembelajaran yang sangat berharga bagi peserta didik (Direktorat pembinaan Pendidikan Khusus dan layanan Khusus, 2012).

(19)

Sarana dan prasana dalam bentuk peralatan khusus sangat menunjang bagi layanan pembelajaran berkualitas. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan ABK di sekolah inklusif tentunya sangat bervariasi sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan anak.

Layanan pembelajaran yang berkualitas untuk peserta didik tunagrahita misalnya membutuhkan dukungan sejumlah media pembelajaran dan peralatan khusus seperti:a) alat asesmen, b) media untuk latihan sensori visual, c) media untuk latihan sensori perabaan, d)media atau alat bantu untuk sensori pengecap dan perasa, e) media dan peralatan khusus untuk latihan bina diri, f) media untuk memperkenalkan konsep dan simbol bilangan, g) media dan peralatan khusus untuk pengembangan kreativitas, daya pikir dan konsentrasi, h) alat pengajaran bahasa, dan i) latihan perseptual motor.

Pengelolaan Lingkungan Non Fisik

Pada bagian ini akan dibahas tentang konsep sekolah ramah anak. Selanjutnya kita bahas situasi dan suasana pembelajaran yang inklusif ramah anak, Pengelolaan kelas (Classroom management), pengembangan kerjasama dengan pihak lain, pengembangan sikap/karakter penerimaan terhadap peserta didik, penerapan strategi tutor teman sebaya, dan pengelolaan peserta didik.

1. Konsep Dasar Sekolah Ramah Anak dalam Konteks Pendidikan Inklusif

Konsep Sekolah Ramah Anak didefinisikan sebagai program untuk mewujudkan kondisi aman, bersih, sehat, peduli, dan berbudaya lingkungan hidup, yang mampu menjamin pemenuhan hak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya, selama anak berada di satuan pendidikan, serta mendukung partisipasi anak terutama dalam perencanaan, kebijakan, pembelajaran dan pengawasan. Secara konseptual Sekolah Ramah Anak adalah satuan pendidikan yang mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak-hak anak, dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya serta mendukung partisipasi anak terutama dalam perencanaan, kebijakan, pembelajaran, dan mekanisme pengaduan (Permen PP dan PA Nomor 8 Tahun 2014). Sekolah Ramah Anak adalah sekolah/madrasah yang aman, bersih, sehat, hijau, inklusif dan nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi dan psikososial anak perempuan dan anak laki-laki termasuk anak yang memerlukan pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus.

Secara umum, prinsip utama sekolah ramah anak adalah bahwa anak mempunyai hak untuk dapat hidup tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan

(20)

martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pembentukan dan Pengembangan Sekolah ramah anak (SRA) didasarkan pada prinsip- prinsip non diskriminasi, kepentingan anak, kelangsungan hidup, perkembangan, penghormatan terhadap pandangan anak, dan pengelolaan yang baik. (Direktorat Pembinaan Guru Dikmen dan Diksus, 2019)

2. Situasi dan Suasana Pembelajaran

Situasi dan suasana pembelajaran yang ramah anak dan dilandasi nilai-nilai kebersamaan merupakan bagian penting dalam konteks akomodasi lingkungan non fisik di sekolah inklusif. Untuk mewujudkan nilai-nilai kebersamaan dalam seting sekolah inklusif, diperlukan suatu upaya untuk menginternalisasikan nilai-nilai kebersamaan (Togetherness Values) dalam aktivitas pembelajaran maupun kegiatan di luar pembelajaran, seperti kegiatan ekstrakurikuler, bahkan dalam momen bermain bebas saat waktu istirahat. Dalam konteks ini, sekolah dituntut untuk dapat memberikan makna terjadinya proses internalisasi nilai-nilai kebersamaan pada setiap aktivitas peserta didiknya.

Manakala nilai-nilai kebersamaan dapat di internalisasikan di SPPI, maka sekolah inklusif akan memberikan peran sebagai agen perubahan terwujudnya masyarakat inklusif sesuai dengan filosofi bangsa Indonesia, yakni masyarakat yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Situasi dan suasana pembelajaran yang dibangun diatas keberagaman tetapi menuju kearah tujuan yang sama, yaitu memberikan layanan Pendidikan yang berkualitas sesuai kakarkeristik dan kebutuhan individu peserta didik dengan menempatkan nilai kebersamaan sebagai nilai intinya (Core value).

Berdasarkan kajian terhadap komponen program (Stainback, 1990:23), aktivitas pembelajaran (Unesco, 1998), layanan pembelajaran (Johnsen dan Skojen, 2001:5), respon terhadap keragaman peserta didik (Lynch, dalam Budiyanto, 2005: 42-46), dan pola pembelajaran, dapat dirumuskan indikator nilai-nilai kebersamaan yang mewarnai situasi dan suasana pembelajaran dalam praktik penyelenggaraan sekolah inklusif sebagai berikut.

a. Sekolah menyediakan program yang layak, menantang, dan aksesible untuk semua peserta didik, dengan tetap memperhatikan aspek kebutuhan khusus pada setiap individu;

b. Setiap peserta didik, termasuk di dalamnya ABK, memiliki suasana yang damai dan harmoni dalam melakukan aktivitas pembelajaran dan aktivitas lainnya, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial;

(21)

c. Aktivitas pembelajaran di sekolah inklusif berbasis pada nilai perdamaian, demokrasi, hak asasi maunia, dan pembangunan berkelanjutan;

d. Adanya kepekaan sosial dan kesiapan akademis dari warga sekolah untuk senantiasa meningkatkan pemahaman dan keterampilan dalam memberikan layanan pembelajaran bagi setiap peserta didik yang berbasis pada analisis kebutuhan individu;

e. Sekolah harus merespon keragaman peserta didik secara luas, baik dalam hal latar belakang sosial ekonomi dan budaya, pola tingkah laku, maupun kemampuan, dan potensi yang berbeda-beda;

f. Pola pembejaran yang dilakukan di sekolah inklusif berbasis pada pendekatan pembelajaran berpusat pada anak (Teaching Base of Students Centre);

g. Pola pembelajaran yang berbasis pada pola kolaboratif yang sistemik, yang melibatkan peran dari kepala sekolah, guru, orang tua peserta didik, dan masyarakat.

(Hermansyah, 2014).

3. Manajemen/Pengelolaan Kelas (Classroom Management)

Manajemen kelas inklusif dirancang agar pembelajaran dalam kelas inklusif yang heterogen dapat berjalan secera efektif. Adanya peserta didik yang berkebutuhan khusus di sekolah inklusi berimplikasi pada perubahan orientasi dan manajemen, tidak hanya pada level sekolah, tetapi juga pada manajemen kelas. Pembelajaran di sekolah inklusif dimana di kelas tersebut beranggotakan ABK menuntut perubahan dan penyesuaian-penyesuaian.

Guru kelas tidak lagi berorientasi klasikal tetapi dihadapkan pada keberagaman kebutuhan peserta didik. Oleh karena itu, pengelolaan kelas di sekolah inklusif menjadi hal yang sangat penting dalam tataran implementasi pendidikan inklusif. Pemahaman yang baik terhadap pengelolaan kelas akan dapat meminimalisir permasalahan yang dialami oleh guru kelas dalam mengelola kelas yang heterogen.

Pembelajaran yang bermakna bukan saja hanya mengajar, bukan saja penyampaian informasi/pesan tetapi juga meliputi perkembangan pribadi siswa, interaksi sosial serta penanaman sikap dan nilai pada diri siswa. Proses belajar yang bermakna akan terwujud dalam kondisi, suasana iklim kelas yang kondusif, efektif, kreatif, produktif dan menyenangkan. Selain itu terbina hubungan interpersonal yang sehat dan mendorong munculnya perubahan perilaku belajar peserta didik yang diharapkan.

Pengelolaan kelas disekolah lnklusif adalah serangkaian aktivitas dan kegiatan yang dilakukan guru dalam kegiatan pembelajaran mulai dari perencanaan proses pembelajaran,

(22)

metode, strategi dan pendekatan serta evaluasi pembelajaran. Manajemen kelas inklusif dirancang untuk tercipta kelas yang kondusif, aktif, kreatif, kooperatif dan menyenangkan melalui penciptaan lingkungan kelas yang kondusif, iklim dan suasana psiko sosial dan emosi yang positif, serta penciptaan sistem sosial yang memungkinkan anak dapat berkembang sesuai dengan kebutuhannya. Dengan demikian manajemen atau pengelolaan kelas inklusif pada dasarnya merupakan implementasi dari prinsif-prinsif pembelajaran yang harus mewarnai suasana pembelajaran.

Kegiatan pembelajaran hendaknya dirancang sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik serta mengacu kepada kurikulum yang dikembangkan. SPPI dalam dimensi pengelolaan kelas inklusif perlu melakukan berbagai pembenahan di antaranya sebagai berikut:

a. Guru harus mampu menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keaneka ragaman, dan menghargai perbedaan;

b. Sekolah harus siap mengelolaa kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual;

c. Guru harus mampu menerapkan pembelajaran yang interaktif, kolaboratif, dan memberikan stimulasi bagi terjadinya interaksi sosial diantara peserta didik yang beragam;

d. Guru pada SPPI dituntut mampu melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumber daya manusia lain dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran;

e. Guru pada SPPI dituntut mampu melibatkan orang tua peserta didik secara bermakna dalam proses Pendidikan.

Pada proses pembelajaran di sekolah inklusif, PDBK disamping belajar secara klasikal dengan teman-teman sebayanya di dalam kelas, juga mendapatkan layanan bembelajaran individual sesuai kajian hasil asesmen akademik dan non akademik. Proses pembelajaran individual ini biasa disebut dengan istilah One to One Teaching yang sesi belajarnya dilakukan di ruang khusus pembelajaran individual.

Prinsip-prinsip pengelolaan kelas inklusif untuk berlangsungnya pembelajaran yang kondusif secara umum sama dengan prinsip pengelolaan pembelajaran bagi peserta didik pada umumnya. Namun demikian, karena di dalam kelas inklusif terdapat peserta didik dengan kebutuhan khusus yang mengalami hambatan baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan atau sensoris neurologis, maka guru yang mengajar di kelas inklusif disamping menerapkan prinsip-prinsip umum, juga diharuskan memiliki kemampuan

(23)

menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran khusus sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik ABK.

Mekanisme Layanan PDBK Di Sekolah Inklusif

Layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus dapat dilakukan dengan mengimplementasikan sistem pendidikan inklusif. Saat ini Pemerintah telah mengakomodasi penyelenggaraan pendidikan inklusif dengan menerbitkan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, khususnya terdapat pada Pasal 6 ayat 1 sampai dengan 3, yaitu:

1. Pemerintah kabupaten/kota menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

2. Pemerintah kabupaten/kota menjamin tersedianya sumber daya pendidikan inklusif pada satuan pendidikan yang ditunjuk.

3. Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu tersedianya sumber daya pendidikan inklusif.

Peraturan di atas menunjukkan bahwa seluruh pemerintah daerah harus menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif di daerahnya masing-masing. Minimal terdapat satu sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dalam satu kota. Hal ini perlu untuk memastikan bahwa semua warga negara berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan.

Penerimaan PDBK

Penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus seyogyanya melibatkan berbagai unit terkait, antara lain orang tua peserta didik, sekolah, rumah sakit atau puskesmas, dan dinas pendidikan setempat. Pada beberapa sekolah peserta didik berkebutuhan khusus tidak dapat diterima di sekolah jika tidak membawa surat keterangan hasil asesmen dari rumah sakit dan atau keterangan dari psikolog.

Namun demikian, pada umumnya sekolah sering mengabaikan persyaratan di atas. Sehingga menimbulkan kesulitan bagi guru dalam melayani peserta didik yang bersangkutan. Untuk kondisi di daerah tertentu surat keterangan dari rumah sakit atau dari psikolog menjadi sangat sulit ketika pemahaman tentang mekanisme layanan tidak sepenuhnya dipahami, terlebih-lebih ketersediaan sumber daya dan aksesibilitas sangat terbatas. Secara grafis mekanisme

(24)

penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif disajikan dalam skema berikut.

Mekanisme penerimaan digambarkan dalam skema-skema berikut:

Gambar 1. Mekanisme penerimaan skema 1

Gambar 2. Mekanisme penerimaan skema 2

Gambar 3. Mekanisme penerimaan skema 3 Rumah

Sakit

Orang

Tua Dinas

Pendidikan Sekolah

Orang Tua

Rumah Sakit

Dinas Pendidikan Sekolah

Rumah Sakit

Orang Tua Dinas

Pendidikan

Sekolah Unit Layanan

Disabilitas

(25)

Untuk keperluan administrasi dan pembinaan, serta kelancaran dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, sekolah perlu mengikuti prosedur sebagai berikut.

1. Sekolah yang akan menerima anak berkebutuhan khusus mengajukan proposal penyelenggaraan pendidikan inklusif (surat pemberitahuan tentang kesiapan menyelenggarakan pendidikan inklusif) kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.

Sedangkan sekolah yang telah memiliki peserta didik berkebutuhan khusus melaporkan penyelenggaraan pendidikan inklusif kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.

2. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota menindaklanjuti proposal (surat pemberitahuan) / laporan dari sekolah yang bersangkutan kepada Dinas Pendidikan Provinsi.

3. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Provinsi melakukan visitasi ke sekolah yang bersangkutan.

4. Dinas Pendidikan Provinsi menetapkan sekolah yang bersangkutan sebagai penyelenggara pendidikan inklusif dengan menerbitkan surat penetapannya, dengan tembusan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, dan Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.

Identifikasi, Asesmen, dan Intervensi

Identifikasi

Identifikasi adalah suatu proses yang dilakukan secara sistematis untuk menemukenali sesuatu benda atau seseorang dengan menggunakan instrumen terstandar. Dalam konteks pendidikan khusus identifikasi merupakan proses menemukenali peserta didik sebelum yang bersangkutan mengikuti pembelajaran.

Proses identifikasi peserta didik meliputi pengenalan kemampuan (awal), kelemahan atau hambatan, dan kebutuhan untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya. Proses belajar yang diberikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus adalah proses untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki peserta didik yang bersangkutan dengan meminimalkan hambatan yang dimilikinya.

Tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan (fisik, intelektual, sosial, emosional, dan lain sebagainya. Hasil identifikasi akan menjadi dasar dalam proses pembelajaran bagi peserta didik yang bersangkutan. Identifikasi peserta didik dilakukan untuk lima hal, yaitu penjaringan

(26)

(screening), pengalihtanganan (referal), klasifikasi, perencanaan pembelajaran, dan pemantauan kemajuan belajar.

Asesmen

Asesmen adalah upaya untuk mengetahui kemampuan-kemampuan yang dimiliki, hambatan/kesulitan yang dialami, mengetahui latar belakang mengapa hambatan/kesulitan itu muncul dan untuk mengetahui bantuan apa yang dibutuhkan oleh yang bersangkutan.

Berdasarkan data hasil asesmen tersebut dapat dibuat program pembelajaran yang tepat bagi anak itu.

Asesmen dalam pendidikan khusus dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu: 1) asesmen berbasis kurikulum (asesmen akademik), dan 2) asesmen berbasis perkembangan, dan 3) asesmen kekhususan (asesmen non-akademik). Teknik pelaksanaan asesmen meliputi tes, wawancara, observasi, dan analisis pekerjaan anak. Dalam suatu proses asesmen, biasanya semua teknik itu dapat digunakan untuk melengkapi data yang dibutuhkan, tidak hanya berpatok pada satu teknik saja. Ketika ditemukan peserta didik yang memiliki perbedaan dengan peserta didik pada umumnya, baik dalam bidang akademis maupun non akademis sebaiknya stokeholder melakukan hal-hal sebagai berikut:

Peran guru

 Melakukan pendekatan persuasif terhadap peserta didik

 Berdiskusi dengan teman sejawat dan kepala sekolah

 Mengkonfirmasikan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan peserta didik dengan orang tua ketika di rumah.

Peran Orang tua

 Berkoordinasi dengan Rumah Sakit (Poli Tumbuh Kembang Anak)

 Berkonsultasi dengan Dokter anak dan atau Psikolog

 Berkoordinasi dengan Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa) terdekat Peran Kepala sekolah

 Berkoordinasi dengan Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa) terdekat

 Melapor kepada Dinas pendidikan setempat

 Sekolah membuat proposal penyelenggaraan pendidikan inklusi

 Proposal diajukan kepada Dinas Pendidikan Propinsi setelah memperoleh rekomendasi dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.

(27)

Peran Dinas Pendidikan

 Tim verifikasi Dinas Pendidikan Propinsi mengkaji propsal (surat) yang telah diajukan oleh pihak sekolah.

 Tim verifikasi Propinsi terdiri dari unsur, Dinas Pendidikan Propinsi, Perguruan tinggi, Organisasi profesi.

 Tim verifikasi mengadakan studi kelayakan kepada sekolah yang telah mengadakan permohonan,

 Dinas Pendidikan Propinsi menerbitkan surat penetapan penyelenggaraan pendidikan inklusi, bagi sekolah yang dinyatakan memenuhi persyaratan yang telah ditatapkan oleh tim verifikasi.

Intervensi

Layanan intervensi dimaksudkan untuk menangani hambatan belajar dan hambatan perkembangan, agar mereka dapat berkembang secara optimal. oleh karena itu target layanan intervensi adalah perkembangan optimal yang harus dicapai oleh seorang anak yang mengalami hambatan perkembangan dan hambatan belajar, sebagai dampak dari hambatan yang dimilikinya. Intervensi dilakukan setelah dilakukan adanya hasil asemen diketahui.

Penempatan dan Tindak Lanjut

Pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas inklusif secara umum sama dengan kegiatan proses belajar mengajar pada kelas reguler. Namun pada kelas inklusif selain terdapat peserta didik reguler terdapat pula Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK). Di samping menerapkan prinsip-prinsip umum dalam mengelola proses belajar mengajar maka guru harus memperhatikan prinsip-prinsip khusus yang sesuai dengan kebutuhan PDBK. Dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar hendaknya disesuaikan dengan model penempatan PDBK yang dipilih berdasarkan hasil asesmen. Penempatan kegiatan belajar dalam kelas bersama-sama perserta didik lainya adalah cara yang sangat inklusif; nondiskriminasi dan fleksibel; sehingga guru harus membuat rancangan kegiatan pembelajaran dengan mempertimbangkan modifikasi dan adaptasi yang dibutuhkan.

Referensi

Dokumen terkait

Convention on the Rights of the Child 1989 Article 221 of the Convention states ,“ States Parties shall take appropriate measures to ensure that a child who is seeking refugee status