KATA PENGANTAR
Segala puji saya haturkan kehadirat Allah yang telah memberikan kesehatan, baik kesehatan jasmani maupun kesehatan dalam berpikir. Shalawat serta salam saya hadiahkan kepada sang revolusioner dunia, yakni Nabi Muhammad saw. Dengan perantara beliaulah kita bisa mengenal mana yang baik dan mana yang buruk dalam Islam. Selanjutnya, makalah ini saya buat sebagai wacana kepada khalayak umum. Sebagaimana dimasyarakat banyak terjadi transaksi secara kredit.
Masyarakat mengira bahwa dengan membeli barang secara kredit itu lebih
meringankan mereka. Dikarenakan dengan transaksi tersebut dapat mencapai atau memenuhi apa yang mereka inginkan.
i DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR...i
DAFTAR
ISI...ii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG... 1 B. RUMUSAN
MASALAH... 1 C. TUJUAN
PENELITIAN... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN BAI’
BIT-TAQSITH... 2
B. HUKUM JUAL BELI
KREDIT... 2
C. MACAM-MACAM JUAL BELI YANG DIANGGAP ADA KEMIRIPAN DENGAN BAI’
BIT-TAQSITH... ... 3
D. YANG MENGHARAMKAN JUAL BELI SECARA
KREDIT... 3
BAB III PENUTUP
ii BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan subbab yang terdiri dari latar belakang permasalahan,
dimana pengangkatan tema ini berdasarkan latar belakang masalah yang terjadi di sekitar kita. Pada bab ini juga terdiri dari rumusan masalah, dan tujuan
penelitian.
1.1LATAR BELAKANG
Kredit merupakan suatu transaksi dimana sistem pembayarannya tidak langsung dibayar dengan tunai. Sistem ini sudah lazim terjadi bahkan terjadi gencar di kalangan masyarakat menengah kebawah, seperti membeli sepeda motor secara kredit bahkan sampai pada alat memasak pun masyarakat membelinya secara kredit. Mereka tidak tahu bahwa dalam sistem kredit, uang yang mereka bayar melebihi dari harga yang telah ditetapkan.
Dengan demikian, ulama dalam menyikapi hal tersebut banyak berselisih pendapat. Yang menjadi objek pembahasan dari pada sistem kredit adalah lebihnya uang pada pembayaran dari harga asal, apakah teramasuk riba atau sebaliknya?
Ditinjau dari segi sosialnya, seseorang yang bekerja itu haruslah mendapatkan hasil (upah, gaji) yang sepadan dengan pekerjaannya. Dalam hal ini, petugas yang menagih uang kepada debitur yang harus juga bolak-balik untuk
menagihnya itu merupakan tugas yang dianggap berat. Untuk itulah, makalah ini dianggap perlu mengkaji masalah-masalah diatas. Dikarenakan di
masyarakat, sistem kredit sudah menjadi kebiasaan.
1.2rumusan masalah
1. bagaimana pengertian jual beli kredit? 2. Bagaimana hukum jual beli kredit?
3. Bagaimana pandangan islam tentang jual beli kredit? 1.3tujuan penelitian
berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah :
1. menjelaskan pengertian jual beli kredit, sehingga masyarakat dalam jual beli mengetahui bagaimana jual beli yang beli yang sah menurut syari’at islam. 2. Menjelaskan hukum jual beli kredit, sehingga masyarakat mengetahui mana
yang sah dan mana yang tidak dalam transaksi jual beli tersebut.
Dikarenakan di masyarakat kurang memperhatikan bagaimana jual beli kredit yang sah menurut syari’at islam.
1
BAB II A. Pengertian Bai’ Bit-Taqsith
Menurut bahasa, taqsith ialah ‘membagi-bagi sesuatu dan memisah-misahkannya menjadi beberapa bagian yang terpisah’. Sedangkan bai’ bit-taqsith menurut secara istilah ialah menjual sesutu dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih mahal dari pada pembayaran kontan.
Dr. Muhammad Aqlah Ibrahim berpendapat, “Ada beberapa pedoman yang dapat dijadikan pagangan
dalam memahami maksud bai’ bit-taqsith (jual beli
secara kredit) secara syar’i:bai’ bit-taqsith ‘jual-beli secara kredit’ secara
syar’i :
Pertama, seorang pedagang menjual barang dagangannya secara
mu-ajjalah ‘kredit’ dengan ketentuan harga lebih tinggi daripada secara
tunai.
Kedua, taqsith (kredit) ialah membayar hutang dengan berangsur-angsur pada waktu yang telah ditentukan.
Ketiga, pembayaran yang diangsur ialah sesuatu yang pembayarannya dipersyaratkan diangsur dengan cicilan tertentu dan pada waktu tertentu.
B. Hukum Jual Beli Kredit
1. Jaiz ‘bole’ lagi halal, inilah pendapat jumhur fuqaha; 2. Haram;
3. Makruh;
Dalam hal ini, para ulama telah berselisih pendapat semenjak dahulu hingga sekarang dan menjadi tiga pendapat.
1. Bahwa hal itu adalah batil secara mutlak, dan ini adalah pendapat Ibnu Hazm.
2. Bahwa hal itu adalah tidak boleh kecuali apabila dua harga itu dipisah (ditetapkan) pada salah satuharga saja. Misalnya apabila hanya disebutkan harga kreditnya saja.
3. Bahwa hal itu tidak boleh. Akan tetapi apabila telah terjadi dan harga yang lebih rendah dibayarkan maka boleh.
Dalil madzhab yang pertama adalah zhahir larangan pada hadits-hadits yang telah lalu, karena pada asalnya larangan itu menunjukkan batilnya (perdagangan model itu). Inilah pendapat yang mendekati kebenaran, seandainya tidak ada apa yang nanti disebutkan saat membicarakan dalil bagi pendapat yang ketiga.
2
Sedangkan para pelaku pendapat kedua berargumentasi bahwa larangan tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan harga, yaitu : ketidakpastian harga, apakah harga kontan atau kredit. Al-Khaththabi berkata : “apabila (pembeli) tidak tahu harga (maka) jual beli itu batal. Adapun apabila dia memastikan pada salah satu dari dua perkara (harga) itu dalam satu majlis akad, maka (jual beli) itu sah”.
C. Macam-Macam Jual Beli yang Dianggap Ada Kemiripan Dengan Bai’ Bit-Taqsith
Bai’ bit-taqsith (jual beli secara kredit) belum menyebar da belum dikenal oleh masyarakat pada zaman dulu, tetapi menyebar dan mendunia hingga menjadi semacam wabah panyakit yang menimpa penduduk seantara dunia pada kurun waktu berikutnya. Oleh karena itu, cukup masuk akal sekali jika tidak mendapatkan pembahasan bai’ bit-taqsith dalam kitab-kitab fqih da tidak pula dalam kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan pembahasa dalam fqih.
Akan tetapi, ada beberapa macam jual-beli yang ada dalam kitab-kitab fqih yang dianggap ada kemiripan dengan bai’ bit-taqsith seperti:
1. Bai’ atani f bai’ah “dua penjualan atas satu produk “ dan shaf qatani f ahafqah “dua akad atas satu transaksi”.
2. Bai’ ul inah. 3. Bai’ ut tawarruq.
5. Bai’ ul gharar “jual beli yang mengandung tipuan”.
D. Yang Mengharamkan Jual-Beli Secara Kredit
Mereka yang mengharamkan bai’ bit-taqsith mengemukakan sejumlah syibh ‘kesamaran’ yang didasarkan pada beberapa hadits, dan mereka beranggapan bahwa transaksi jual-beli ini termasuk transaksi jual-beli yang terlarang.
a. Larangan Dua Penjualan atas Satu Produk atau Dua Akad atas Satu transaksi
Rasulullah saw. Pernah melarang perihal dua penjualan dalam satu atau dua akad dalam satu akad, sebagaimana yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a.. ia
berkata, “Rasulullah saw. Pernah mencegah (orang-orang) dari dua penjualan atau transaksi dalam satu produk (barang atas jasa).”Dalam kitab Sunan Abu Daud diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Ia berkata bahwa Rasulullah saw.
Bersabda,‘Barang siapa melakukan dua penjualan atas satu jenis barang, maka baginya yang paling murah (pertama) di antara keduanya atau menjadi riba.’
1. Pengertian Dua Penjualan Atas Satu Produk
Ahli ilmu menafsirkan “dua penjualan atas satu produk” yang dilarang oleh Nabi saw. Dengan mengemukakan tiga contoh, yaitu sebagai berikut.
3
a. Saya menjual mobil ini kepadamu, misalnya, dengan harga 40 ribu real kontan dan dengan harga 45 ribu real dengan kredit. Kemudian,
berpisahlah si penjual dan si pembeli tanpa ditentukan dijual dengan kontan atau dengan kredit. Maka, transaksi jual-beli ini fasid ‘tidak sah’ karena terdapat ketidakjelasan (jahalah) dalam jual-beli ini.
b. Saya menjual kebun ini kepadamu dengan harga sekian, misalnya, dengan syarat kamu harus menjual rumah si fulan kepadaku dengan harga sekian. Maka, jual-beli ini lebih tidak sah lagi daripada jual-beli pertama karena disamping mengandung jahalah juga bersyarat. c. Saya menjual sesuatu kepada anda dengan harga seribu real secara
kredit, tetapi pihak penjual membelinya kembali dengan harga sembilan ratus dari si pembeli secara kontan. Maka, transaksi jual-beli model ini benar-benar rusak karena mengandung hilatur riba (tipu muslihat agar tidak dianggap riba). Dan, inilah yang disebut dengan bai’ul’inah.
2. Beberapa Pendapat Ulama Tentang Dua Penjualan atas Satu Produk a. Pendapat Imam Tirmidzi
mereka berkata, ‘yang dimaksud dua penjualan atas satu produk ialah seorang penjual mengatakan, ‘saya menjual baju ini kepadamu dengan harga sepuluh ribu secara kontan dan dua puluh ribu secara kredit.’
Pihak penjual tidak menentukan dengan harga kontan atau kredit. Akan tetapi, bila ditentukan salah satu dari keduanya, maka tidak mengapa, apabila transaksi jual-beli ini menggunakan salah satu dari kedua akad jual-beli itu.
b. Pendapat Imam Al-Khaththabi
Imam al-khaththabi berkata, “sehubungan dengan larangan dua penjualan atas satu produk, maka kami akan menampilkan dua contoh akad jual-beli yang terlarang ini. Pertama, seorang penjual mengatakan, ‘saya menjual pakaian ini kepadamu sepuluh dinar kontan dan lima belas dinar kredit.’ “maka, akad jual-beli ini tidak sah karena pihak pembeli tidak tahu harga barang itu kontan atau kredit. Sebab, apabila dalam transaksi jual-beli terdapat kesamaran harga, maka
transaksinya batal. Contoh kedua, seorang pedagang berkata, ‘saya menjual hamba ini kepada anda dengan harga dua puluh dinar dengan syarat anda harus menjual hamba perempuan kepadaku dengan harga sepuluh dinar.’ Jual-beli semacam ini juga fasid ‘tidak sah’, karena pihak penjual menentukan harga hamba laki-lakinya dengan harga dua puluh dinar dengan syarat pihak pembeli hamba laki-laki menjual hamba perempuannya kepada pihak penjual hamba laki-laki dengan harga sepuluh dinar.
c. Pendapat Imam Muhammad Bin Jarir Ath-Thabari
Imam Muhammad Bin Jarir Ath-Thabari mengemukakan dalam kitab Ikhtilaful Fuqaha-nya dalam bab “Wakhtalafu f Hukmil Bai’ Idza ‘uqida ila Ajalaini
Mukhtalifaini bi Tsamanaini Mukhtalifaini”
4
Yang artinya ‘para fuqaha berbeda pendapat perihal hukum jual beli yang ketentuan waktu dan harganya berbeda’.
d. Pendapat Imam Nawawi
b. Larangan Bai’ul Inah Pengeetian bai’ul ‘inah
Imam Nawawi Rahimahullah dalam Tahdzibul asma’ wal-lughat berkata, “bai’ul ‘inah—huruf ‘ain dikasrah—sudah dikenal masyarakat, yaitu berasal dari kata al-‘ain. Penulis al-hawi berkata, ‘dinamakan ‘inah karena akad jual-beli ini dapat mendatangkan ‘ain, yaitu keuntungan uang dirham dan dinar.’ “
Ada yang berpendapat bahwa jual-beli ini disebut ‘Inah karena pembeli barang dengan kredit menerima uang kontan sebagai ganti dari barang tersebut. Yang demikian itu haram, bila pihak pembeli memberikan syarat agar pihak penjual harus membelinya kembali dari pihak pembeli pertama dengan harga yang sudah ditentukan. Oleh karena itu, bila antara pihak penjual dan pembeli tidak ada ikatan syarat, Imam Syaf’i membolehkannya, karena menurut beliau akad jual-beli yang demikian terselamat dari mafsadah (kerusakan, keburukan). Akan tetapi, sebagian mutaqaddimin (para pendahulu) bersikeras menganggapnya haram, dan mereka berkata, ‘itu saudara kandung riba.’ Tetapi, kalau pihak pembeli menjualnya kepada selain pihak penjual dalam majelis yang sama, maka hal itu disebut ‘inah juga. Tapi, bai’ul ‘inah seperti ini boleh menurut kesepakatan ulama.”
c. Larangan Bai’ut Tawarruq
Tawarruq ialah seseorang membeli barang dari penjual dengan harga 10 ribu real, kemudian oleh orang itu karena sangat membutuhkan uang, dijual dengan harga 8 ribu real, misal-nya.
Syekhul islam ibnu taimiyah rahimahullah menegaskan, “apabila seseorang membeli barang dengan harga seratus dirham, lalu karena sangat membutuhkan uang, dijual lagi dengan harga sembilan ratus dinar, maka jual-beli ini disebut mas’alah tawarruq. Dalam hal ini di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat. Yang paling kuat ialah pendapat yang menganggap bai’ut tawarruq haram. Bahkan, akad ini merupakan oleh umar bin abdul aziz dan lainnya.
5
d. Larangan Syarat, Jual, dan Pinjam
e. Bai’ Bit-taqsith Bukan Sarana untuk Memperoleh Riba
Adapun mengenai bai’ bit-taqsith ‘jual-beli dengan kredit’ sama sekali tidak mengandung peluang untuk memakan riba dan tidak pula mengandung
pengeksploitasian hak milik orang-orang melarat. Bai’ bit-taqsith tidak lebih dari jual-beli yang dilangsungkan atas ridha sama ridha. Akad mengandung
kemaslahatan bgi kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli karena akad jual-beli kredit ini dapat membantu mengantarkan orang meraih apa yang
dibutuhkannya dengan mudah dan ringan tanpa memasukkan dirinya ke dalam golongan orang-orang yang serakah dan rakus.
6 KESIMPULAM
Bahwa bai’ bit-taqsith ‘jual-beli secara kredit’ boleh selama pihak penjual dan pembeli berpegang teguh pada syarat-syarat dan qawa’idul bai’ ‘aturan jual-beli’ yang telah digariskan oleh syariat islam.
1. Harga barang ditentukan dan diketahui oleh pihak penjual dan pembeli. 2. Pembayaran cicilan sudah diketahui oleh kedua belah pihak dan rentang
waktunya dibatasi.
3. Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran pelunasannya melebihi waktu yang telah ditentukan.
4. Hendaknya pihak pembeli bertujuan menggunakannya secara pribadi atau menjualnya kembali sebagai barang dagangan, bukan bertujuan untuk mengeruk keuntungan dengan cara melakukan hillah ‘tipu daya’, sehingga tergolong bai’ tawarruq yang dilarang oleh nabi saw.
7 DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, al-amien al-hajj muhammad. 1998. “jual beli kredit”. Jakarta: gema insani.