• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Korvet dalam Angkatan Berse

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perkembangan Korvet dalam Angkatan Berse"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PAPER I MATA KULIAH REVOLUSI SISTEM PERSENJATAAN

Nama : Aisha Rasyidila (1006694284) Departemen Ilmu Hubungan Internasional

PERKEMBANGAN KORVET DALAM ANGKATAN LAUT MILITER INDONESIA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP STABILITAS SISTEM INTERNASIONAL

A. Pendahuluan

Indonesia merupakan sebuah negara maritim yang 70% teritorialnya merupakan wilayah perairan. Hal ini menempatkan angkatan laut Indonesia pada posisi yang penting dalam menjaga ketahanan serta keamanan negara melalui tiga fungsi asasinya; yaitu fungsi diplomasi, fungsi polisionil, dan fungsi militer1.

Dalam melaksanakan operasi-operasinya (baik yang bersifat militer maupun tidak), keberhasilan TNI-AL tentu tidak luput dari peran serta persenjataan yang mutakir sebagai media pendukung. Pada saat ini, salah satu kapal perang perang yang menjadi andalan TNI-AL adalah korvet—kapal perang berukuran kecil (kategori 550-2790 ton)—yang telah terlibat aktif sejak tahun 1979 di Indonesia. Korvet telah banyak membantu TNI-AL dalam perannya melakukan deterrance terhadap negara lain, Search and Rescue (SAR), dan unit anti kapal selam di perairan Indonesia.

Tulisan ini akan terbagi dalam tiga tahap; dimana dalam tahap pertama penulis akan menjelaskan perkembangan korvet secara general di dunia internasional—dari asal mula korvet di era kapal layar, kapal uap, dan kapal modern—yang kemudian difokuskan pada bagian kedua, yaitu perkembangan korvet di dalam angkatan laut Indonesia (dibagi berdasarkan kelas-kelasnya dari tahun 1979 hingga sekarang). Pada bagian ketiga, penulis juga akan membahas bagaimana pengaruh perkembangan korvet di Indonesia, terhadap stabilitas sistem keamanan di dunia internasional.

Tujuan utama dari tulisan ini ditujukan agar pembaca dapat memahami perkembangan korvet yang ada dalam TNI-AL, serta memahami apa pengaruh yang ditimbulkan perkembangan korvet Indonesia terhadap stabilitas di dunia internasional; sehingga korvet tidak hanya dipahami sebagai suatu perangkat militer saja, namun juga sebagai suatu perangkat dalam melaksanakan fungsi-fungsi asasi angkatan laut lainnya—yaitu fungsi diplomasi dan polisonil—dalam menjaga kepentingan nasional, yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia.

(2)

B. Sejarah Umum Perkembangan Korvet

Pada dasarnya, korvet merupakan kapal perang yang berukuran kecil, dengan daya manuver yang tinggi, dan dilengkapi persenjataan yang ringan-menengah. Korvet adalah versi kapal perang yang lebih kecil dari frigate (kategori berat lebih dari 2790 ton), namun lebih besar dari kapal patroli dan kapal fast track attack (kategori berat sama atau kurang dari 550 ton), yang telah dilengkapi dengan kemampuan untuk bertempur dengan kapal terapung dan kapal selam, juga memiliki pertahanan yang baik terhadap serangan udara2.

Korvet sendiri telah mengalami masa perkembangan yang panjang dari masa kapal layar. Pada zaman itu, cikal bakal korvet merupakan sebutan bagi kapal perang yang berukuran kecil yang berfungsi sebagai kapal patroli, kapal perang ringan, pendukung kapal besar, atau bergabung di dalam parade bendera kerajaan. Bentuk korvet memiliki kemiripan yang besar dengan sloops-of-war (kapal perang layar yang berfungsi sebagai pengawal) yang memiliki dek tunggal, dan dilengkapi dengan delapan belas merian di sisinya. Kapal layar jenis ini sesungguhnya telah diproduksi terlebih dahulu oleh inggris, namun belum dikenal dengan istilah korvet. Istilah ini justru pertama kali digunakan oleh angkatan laut Prancis pada tahun 1960, pada saat Napoleonic War terjadi.

Pada era kapal uap, kecepatan serta kemampuan kapal untuk bermanuver meningkat jauh dari era kapal layar. Kapal korvet pada masa ini kebanyakan digunakan untuk menjalankan misi kolonial, bersama-sama dengan gunboat (karena pada era itu kapal perang berukuran besar dan bersenjata berat dinilai tidak dibutuhkan untuk memerangi bangsa-bangsa dari timur dan Afrika).

Korvet modern yang kita kenal sekarang ini, pertama kali muncul dalam Perang Dunia II sebagai unit anti kapal selam yang dikategorikan dalam Flower Class. Pada masa itu Korvet didesain oleh Angkatan Laut Kerajaan Inggris sebagai kapal perang berukuran kecil dan berdesain sederhana, sehingga memungkinkan untuk diproduksi dalam jumlah besar dan dalam waktu yang singkat. Meskipun ditujukan sebagai unit anti kapal selam, namun saat itu persenjataan anti kapal selam korvet sangat ringan, dan unit-unit senjatanya lebih memungkinkan korvet untuk melakukan surface to surface combat. Penggunaan korvet pada saat itu kebanyakan dialokasikan sebagai kapal patroli, pengiring rombongan, serta pendamping kapal perusak.

Sayangnya, setelah uji coba korvet jenis flower class dinilai tidak cocok sebagai kapal pengawal maupun unit anti kapal selam. Daya jelajahnya terlalu sempit untuk ditugaskan di

(3)

laut lepas, sementara ukurannya yang kecil tidak memungkinkannya untuk mengangkat senjata yang berukuran besar. Akhirnya, korvet hanya digunakan sebagai kapal patroli, dan fungsinya sebagai kapal pengawal dan unit anti kapal selam dialihkan pada frigate (kapal perang yang lebih besar, cepat, dan memiliki persenjataan yang lebih baik).

Tetapi frigate sendiri memiliki kelemahan pada proses produksinya. Ukuran frigate yang besar tidak memungkinkan kapal ini untuk diproduksi secara masal, sehingga akhirnya diusulkan agar dilakukan perbaikan pada desain korvet. Dari sana, terlahirlah korvet yang dilengkapi dengan radar, juga persenjataan anti kapal yang lebih canggih selam berupa mortar (pada Castle Class, beroperasi dari Perang Dunia II hingga tahun 1950).

Pada abad awal abad ke-21, permintaan terhadap korvet meningkat, karena kebanyakan angkatan laut mencari mencari kapal yang kecil dan memiliki kemampuan manuver tinggi. Akhirnya modifikasi-modifikasi pada korvet pun mulai dilakukan. Kini, korvet pada tidak hanya dipersenjatai untuk surface-to-surface combat dan senjata anti kapal selam saja; tetapi juga dilengkapi dengan persenjataan anti serangan udara. Beberapa kelas korvet bahkan dapat memuat helikopter anti kapal selam yang berukuran kecil hingga menengah.

Di sini penulis membawa sebuah gagasan bahwa perkembangan korvet modern dapat dibagi menjadi tiga periode penting; yaitu 1) periode dimana korvet masih dipersenjatai secara ringan, memiliki persenjataan anti kapal selam (meskipun belum canggih), serta lebih baik dalam arena pertempuran surface to surface; 2) periode di saat korvet difokuskan sebagai kapal unit anti kapal selam, sehingga dilengkapi persenjataan anti kapal selam yang lebih canggih, termasuk radar yang lebih mutakhir; 3) korvet telah dilengkapi dengan radar yang canggih, persenjataan unit anti pesawat terbang serta memungkinkan korvet berperan sebagai sarana pengangkut unit pesawat atau helikopter berukuran sedang.

Apabila dilihat di dalam tabel, maka akan muncul perbandingan sebagai berikut: Generasi Korvet Karakteristik Dasar Persenjataan

Generasi I Persenjataan ringan,

Memiliki senjata anti kapal selam yang belum mutakhir, Lebih baik dalam arena surface to surface.

Generasi II Persenjataan difokuskan sebagai unit anti kapal selam (perbaikan dari generasi sebelumnya)

Generasi III Persenjataan telah mencakup kemampuan untuk melakukan pertempuran

(4)

Perkembangan-perkembangan yang ada pada korvet pada dasarnya mengikuti kapal tempur lainnya yang berada di kelas lebih berat (seperti kapal perusak dan frigate), dan berifat reaktif atas kebutuhan-kebutuhan angkatan laut dalam menghadapi teknologi kapal selam dan pesawat tempur3.

Produksi kapal korvet sendiri sesungguhnya dapat dilakukan oleh hampir setiap negara dengan wilayah perairan; baik itu secara utuh maupun terpisah sebagai suku cadang. Tetapi sensor, persenjataan, serta hal-hal yang diperlukan sebagai perlengkapan tempur harus diproduksi secara khusus dan terpisah dari badan kapal dan dapat dibeli di pasar internasional.

C. Perkembangan Korvet di Angkatan Laut Indonesia

Perkembangan korvet Indonesia dalam makalah ini akan dikategorisasikan berdasarkan kelas-kelasnya. Sejauh ini terdapat tiga kelas korvet dalam angkatan laut Indonesia, yaitu kelas Fatahillah (tiba di Indonesia pada tahun 1979), kelas Kapitan Patimura (Parchim I) (tiba di Indonesia pada tahun 1981), dan kelas Diponegoro (SIGMA 91130) (tiba di indonesia pada tahun 2007). Satu kelas korvet lagi tengah berada di dalam prosesnya sejak tahun 2011; dibangun berdasarkan SIGMA 10514—apabila berhasil, maka korvet ini akan menjadi korvet pertama yang diproduksi secara lokal di indonesia (tiga kelas sebelumnya Indonesia mengimpor kapal dari Belanda dan Jerman Timur).

I. Kelas Fatahillah

Korvet pertama yang datang pada tahun 1979 adalah korvet kelas Fatahilah yang merupakan kapal buatan Schdelle, Belanda. Indonesia sendiri memiliki tiga korvet kelas fatahillah, yaitu KRI Fatahilah 361, KRI malahayati 362, dan KRI Nala 363.

Untuk kapal seukurannya, korvet kelas ini memiliki perlengkapan yang cukup baik serta kapabilitas yang tinggi. Persenjataannya dilengkapi dengan Meriam Exocet SSM, Man Portable SAM gun, senapan serbu (40, 20, dan 375 mm), dan peluncur torpedo ikuran 12,75 inci (tidak ada pada bersi 363). Corvete ini juga dilengkapi dengan radar DA-05 air/surf search, dan sonar merupakan PHS-32 hull mounted MF. Daya tampung korvet ini mencakup 82 kru, dan pada tipe 363, memiliki landasan dan hanggar helikopter ukuran sedang. Dengan berat 1450 ton, kapal in dapat bergerak secepat 30 knot4.

3 Stew Manguson. “East/West Divide Grows in the International Shibuilding Business”, National Defense Industrial Association, 16 Mei 2011

(5)

Apabila diperhatikan berdasarkan indikator generasi yang telah dijelaskan penulis sebelumnya, maka korvet kelas Fatahillah ini termasuk ke dalam korvet generasi pertama milik Indonesia.

Ketiga korvet in masih beroperasi hingga kini; bahkan KRI Fatahillah 361dan KRI Nala 363 belakangan ini terlibat dalam misi pencarian pesawat Adam Air B-737-400 yang hilang di perairan Sulawesi untuk membantu tim Search and Rescue (SAR).

II. Kelas Kapitan Pattimura (Parchin I)

Korvet kelas berikutnya yang terdapat angkatan laut Indonesia merupakan korvet kelas Kapitan Patimura, atau lebih dikenal dunia dengan kelas Parchim I (tipe 133.1). Dibandingkan korvet kelas Fatahillah, korvet kelas ini lebih kecil dan lebih ringan; beratnya 900 ton, dan daya tampungnya 59 awak. Indonesia membeli 16 korvet ini dalam kondisi bekas dari Jerman Timur pada tahun 1981; dan mulai dioperasionalkan oleh Indonesia pada tahun 1993 dan 1996.

Pada dasarnya kelas Kapitan Pattimura didesain sebagai unit anti kapal selam, namun secara reguler digunakan sebagai kapal patroli. Secara keseluruhan, baik dari segi kecepatan maupun persenjataan, korvet kelas Kapitan Pattimura ini masih berada di bawah level kelas Fatahillah (kecepatan 24.75 knot). Tetapi korvet pada ini memiliki anti kapal selam yang lebih baik dengan 4 15.7 inci peluncur torpedo anti kapal selam. Radar pada korvet kelas Pattimura ini juga lebih baik, dengan Stut Curve air/surf search, dan sonar MG-3222T hull mounted MF, serta HF dipping. Hal ini menunjukkan bahwa kelas korvet ini telah berkembang ke dalam generasi kedua, dengan persenjataan yang difokuskan pada unit anti kapal selam.

Sama dengan korvet kelas Fatahillah, semua korvet kelas ini masih beroperasi hingga kini. Pada tahun 2009, KRI Untung Surapati 872 (nama untuk korvet tersebut) melakukan pengejaran terhadap kapal angkatan laut Malaysia KD Baung 3509 yang memasuki perairan Ambalat secara Ilegal.

III. Kelas Diponegoro (SIGMA 9113)

(6)

kapal (seperti frigate, corvete, patrol craft, dll.). Korvet ini dilengkapi dengan perlengkapan tempur yang baik, sarana komunikasi yang memadai, kapasitas tampung untuk 80 kru, mesin diesel dengan baling-baling ganda, serta landasan helikoptel ukuran sedang. Kapabilitas ini membuat kelas Diponegoro dapat dipergunakan dalam operasi pencarian serta patroli untuk mencegah penyelundupan, bajak laut, serta terorisme di perairan indonesia.

Kelas Diponegoro, dapat dikatakan merupakan korvet terbaik yang dimiliki oleh Indonesia saat ini, dan telah memasuki korvet generasi ketiga. Dari segi persenjataan, korvet kelas Diponegoro jauh lebih lengkap dan lebih canggih dibandingkan kelas lainnya. Misil Diponegoro tidak hanya dilengkapi oleh Misil Exocet, namun juga Misil Petral (misil jarak dekat untuk pertahanan serangan udara); senapan serbu Oto melara 76mm; juga dua Torpedo B515 trainable launchers. Dari segi radar, kelas Diponegoro juga telah menggunakan radar tiga dimensi MW 08; serta sonar kingklip hul5. Hanya saja, korvet kelas Diponegoro ini

mengalami penurunan kecepatan dari kelas Fatahillah, yaitu 28 knot.

Ada rencana Indonesia untuk memproduksi dua kapal kelas Diponegoro ini di PT PAL Indonesia; namun pada akhirnya proyek dibatalkan karena terkendala oleh biaya.

Korvet kelas Diponegoro terakhir kali diikutsertakan dalam latihan gabungan TNI-AL pada tahun 2008 yang disaksikan oleh para petinggi negara, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

IV. SIGMA 10514

Pada agustus 2010, kementrian pertahanan Indonesia menandatangani surat perjanjian dengan PT. PAL Indonesia dan Damen Naval Shipbuilding Systems (perusahaan kapal Belanda) untuk konstruksi korvet yang berdasarkan desain SIGMA 10514 yang terbaru. Perusahaan Damen memenangkan tender sebesar 220 juta USD, dengan mengalahkan perusahaan kapal dari Itali dan Rusia.

Kapal ini rencananya akan dilengkapi dengan meriam utama 77mm, 21 peluncur misil anti serangan udara vertikal MICA , MM 40-Exocet block II, Torpedo, Phalanks, dan radar

smart system MK-2. Kapal ini akan berperan sebagai kapal patroli, serta pengawal kapal destroyer (berdasarkan SIGMA 10514). Kapal ini merupakan sebuah kapal yang—sama seperti kelas Diponegoro—tergolong dalam korvet generasi ketiga.

Namun disayangkan, kapal yang seharusnya dijadwalkan akan mulai berproduksi pada tahun 2011 ini tersendat proyeknya akibat permasalahan dana. Hal ini menyebabkan target produksi yang diusulkan pada tahun 2010 harus tertunda.

(7)

Dari penjelasan keempat kelas korvet di atas, dapat dirangkum di dalam bentuk tabel bahwa setiap kelas memiliki perbedaan sebagai berikut:

Kelas Persenjataan Kecepatan Radar Daya Tampung

serangan udara vertikal MICA

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa di bidang persenjataan, dari setiap kelas korvet Indonesia mengalami perkembangan dalam hal fungsi senjata. Pada kelas Fatahillah, persenjataan yang digunakan rata-rata masih merupakan persenjataan persenjataan umum yang dimiliki oleh kapal perang kecil, fungsinya diorientasikan kepada surface-to-surface

(8)

ringan dibandingkan kelas Fatahillah—sistem persenjataannya diarahkan sebagai unit anti kapal selam; dan saat tahapannya tiba di kelas Diponegoro dan SIGMA 10514, selain menggunakan senjata yang dispesifikasi sebagai anti kapal selam, korvet juga telah dilengkapi dengan persenjataan anti pesawat tempur (peluncur misil vertikal).

Pada radar, perkembangannya dapat terlihat pada radar DA air/surf search kelas Fatahillah, yang kemudian berkembang pada kelas Kapitan Pattimura menjadi Stut Curve, dan pada akhirnya di kelas Diponegoro, radar telah menggunakan sistem tiga dimensi. Kelak diperkriakan pada SIGMA 10514, radar telah menggunakan smart system.

Perkembangan lain yang perlu diperhatikan di dalam perkembangannya adalah badan kapal (hull) yang pada tipe Diponegoro telah menggunakan teknologi SIGMA, yang memungkinkan berbagai jenis kapal diproduksi dari satu jenis badan kapal. Tipe ini merupakan inovasi khusus yang dikembangkan oleh perusahaan kapal milik Belanda (secara spesifik Damen Naval Shipbuilding); yang kemudian digunakan pada korvet Indonesia mulai dari kelas Diponegoro, hingga diteruskan pada kelas SIGMA 10514 yang kelak akan diproduksi secara lokal di PT PAL Indonesia.

D. Pengaruh Perkembangan Korvet terhadap Stabilitas Sistem Internasional

Secara umum, pembangunan postur angkatan laut dari kacamata stabilitas internasional diarahkan pada 1) eksistensi TNI-AL, 2) Pengendalian laut, 3) deterrance, 4) proyeksi kekuatan negara, 5) keamanan maritim, 6) bantuan kemanusian dan penanggulangan bencana alam6. Tetapi apabila kita mengaitkannya terhadap stabilitas sistem internasional, maka poin

utama yang perlu diperkatikan adalah poin ketiga, yaitu deterrance.

Secara harfiah, deterrance sendiri berarti pencehagan atau penangkalan. Deterrance

merupakan upaya suatu negara untuk menambah kekuatan militernya dengan tujuan memberikan ancaman terhadap negara pesaingnya. Perkembangan korvet yang ada di Indonesia pun, pada dasarnya dilakukan berdasarkan poin tersebut. Dalam hal ini, deterrance

yang dilakukan TNI-AL mengandalkan sifat kapal perang (korvet) yang ofensif dan ekspendisionari, karena mampu beroperasi jauh dari pangkalan induk dan dalam jangka waktu yang panjang. Karakteristik inilah yang sebenarnya ingin diberdayakan oleh TNI-AL sebagai sebuah ancaman, sehingga kemungkinan negara lain mengusik keamanan dan ketahanan di Indonesia dapat berkurang7.

6 Menurut hasil simposium tentang Srategi di U.S.Naval War College Oktober 2007. 7 Bambang Soesilo, Peran TNI-AL dalam Mendukung Kepentingan Nasional. (Disadur dari

(9)

Karena itu, penggunaan korvet sendiri sebenarnya tidak selalu terkait pada operasi-operasi yang bersifat militer; tetapi juga operasi-operasi yang bersifat polisionil dan sekaligus memainkan peranan diplomasi terhadap negara lain. Hal ini ditujukan sebagai suatu sarana proyeksi kekuatan angkatan laut terhadap negara lain.

Namun selain deterrance, terdapat dampak laten yang mungkin ditimbulkan oleh perkembangan korvet Indonesia di dalam stabilitas sistem internasional. Pada dasarnya, sistem dunia di dalam hubungan ilmu internasional diyakini sebagai sebuah sistem yang anarki. Sistem inilah yang kemudian membuat negara-negara bersaing untuk mendapatkan

power sebesar-besarnya (struggling for power), dengan tujuan mendapatkan keamanan (security). Perkembangan teknologi militer di suatu negara, secara otomatis akan menimbulkan suatu perasaan takut terhadap negara lain. Hal ini kemudian mengarahkan negara-negara tersebut ke dalam security dilemma—atau kondisi di mana suatu negara merasa terancam dengan perkembangan militer negara lain.

Perkembangan korvet di Indonesia apabila dilakukan dalam skala besar—sehingga memiliki potensi deterrance yang tinggi—memungkinkan timbulnya perasaan takut dari negara-negara lain yang secara geografis memiliki kedekatan dengan Indonesia. Untuk menghindari rasa takut tersebut, negara-negara tersebut akan berusaha untuk menyeimbangi kekuatan Indonesia di bidang militer; khususnya di dalam angkatan lautnya. Tindakan menyeimbangi tersebut dapat dilakukan dengan dua kemungkinan, yaitu arms build up atau membangun militer secara keseluruhan agar dapat menyaingi kekuatan Indonesia (tidak perlu dalam bidang korvet); ataupun arms race atau membangun teknologi persenjataan di bidang yang sama persis dengan tujuan menyaingi teknologi yang telah ada (di dalam bidang korvet juga).

Hal ini dapat digambarkan dengan prisonners dilemma theory; dimana suatu negara akan berada di posisi inferior ketika negara tersebut tidak turut mengembangkan persenjataan; dan akan berada di dalam posisi seimbang dan stabil apabila negara tersebut turut menaikkan persenjataannya.

(10)

Karena itu, hingga saat ini pengaruh perkembangan korvet Indonesia terdadap sistem internasional sejauh ini hanya berpengaruh di dalam perannya melakukan deterrance

terhadap negara lain. Dengan semakin berkembangnya teknologi korvet Indonesia, maka secara keseluruhan kekuatan TNI-AL pun berkembang, dan memungkinkan Indonesia untuk melakukan deterrance yang semakin baik terhadap negara lain. Sayangnya perkembangan teknologi ini tidak diiringi dengan perkembangan kuantitas korvet itu sendiri, sehingga meskipun kini Indonesia telah memiliki korvet generasi ketiga, namun peran korvet-korvet tersebut di dalam deterrance pun menjadi dipertanyakan.

E. Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa perkembangan korvet di indonesia yang terbagi dalam kelas-kelas (Fatahillah, Kapitan Pattimura, dan Diponegoro) juga bergerak sesuai kategori-kategori generasi korvet secara umum. Kelas-kelas korvet tersebut berkembang khususnya di bidang persenjataan dan radar; dimana pada kelas Fatahillah, persenjataan yang ada pada korvet telah baik, namun persenjataan anti kapal selam kurang memadai (generasi I). Pada kelas Kapitan Pattimura, persenjataan lain yang memfasilitasi pertempuran surface to surface memang tidak sebaik kelas Fatahillah, namun persenjataan anti kapal selam lebih canggih—diikuti dengan perkembangan radarnya yang lebih baik dalam mendeteksi kapal selam (generasi II). Pada kelas Diponegoro, persenjataan surface to surface dan anti kapal selam telah baik, ditambah persenjataan anti pesawat tempur, dan radar tiga dimensi yang mampu mendeteksi serangan dari berbagai arah, baik dari dasar laut maupun udara (generasi III). Teknologi ini kemudian akan dilanjutkan pada proyek korvet selanjutnya, yaitu SIGMA 10514.

Perkembangan korvet ini pada dasarnya memiliki peran yang cukup penting dalam melakukan deterrance terhadap negara lain, karena besarnya wilayah perairan di Indonesia. Sayangnya, perkembangan korvet pada TNI-AL ini tergolong cukup lambat (dua kelasm Fatahillah dan Kapitan Pattimura telah berusia lebih dari tiga puluh tahun) dan tidak disertai dengan kuantitas yang memadai (3 unit pada kelas Fatahillah, 16 unit pada kelas Kapitan Pattimura, dan 4 unit pada kelas Diponegoro). Hal ini membuat peran korvet dalam

deterrance tidak begitu signifikan.

(11)

landasan-landasan yang memadai untuk membangun suatu karakteristik angkatan laut Indonesia.

Proyek SIGMA 10514 yang rencananya akan membangun proyek korvet dalam negeri ini pun seharusnya dapat menjadi pacuan bagi pemerintah Indonesia untuk memajukan perkembangan korvet Indonesia. Tertundanya proyek ini sebaiknya segera diatasi, karena mempertimbangkan pentingnya fungsi korvet bagi angkatan laut Indonesia untuk melakukan

Referensi

Dokumen terkait

Produk yang paling diminati nasabah di BMT Maslahah Cabang Wagir adalah produk pembiayaan murabahah dan pembiayaan mudharabah, hal ini mengakibatkan pembiayaan murabahah dan

Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) adalah suatu bidang dalam keperawatan kesehatan yang merupakan perpaduan antara keperawatan dan kesehatan masyarakat

Berdasarkan penelitian dapat diketahui bahwa tanggapan responden terhadap.. pernyataan bahwa nasabah BRI syariah tidak akan terpengaruh oleh produk Perbankan lain

Supaya pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah yang telah ditetapkan dalam kurikulum 2013, maka sebaiknya kegiatan pembelajaran lebih

Kedua, pendekatan KUAL digunakan untuk mencapai tiga tujuan, yakni digunakan untuk memperoleh: (1) data tentang perilaku dan ajaran tokoh arif, (2) masukan pertimbangan

Berdasarkan alasan dan tujuan yang sudah dijelaskan diatas, melalui proyek studi ini telah dihasilkan rancangan ulang logo dan aplikasinya pada identitas

Baja amutit ukuran penampang 17 mm x 17 mm dengan panjang ± 120 mm dibentuk menggunakan mesin potong, mesin milling dan mesin surface grinding menjadi menjadi balok

Bentuk muka bumi yang menjadi tempat tinggal manusia akan memberikan beberapa kemungkinan sebagai penunjang kehidupan yang terdapat di suatu wilayah. Maka bumi memiliki bentuk