• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desain Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Desain Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

i

DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT

KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

N A U F A L

P3700212006

PROGRAM STUDI ILMU KEHUTANAN

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

(2)

ii TESIS

DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT DI KABUPATEN BARRU

Disusun dan diajukan oleh

N A U F A L

Nomor Pokok P3700212006

Telah dipertahankan di depan Panitian Ujian Tesis Pada tanggal 22 Agustus 2014

sehingga dinyatakan telah lulus dan memenuhi syarat

Menyetujui Komisi Penasihat,

Ketua Anggota

Prof. Dr. Ir. Daud Malamassam, M.Agr Prof. Dr. Ir. Baharuddin Nurkin, M.Si

Ketua Program Studi Ilmu Kehutanan

Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin

(3)

iii ABSTRAK

NAUFAL. Desain Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Kabupaten Barru (dibimbing oleh Daud Malamassam dan Baharuddin Nurkin)

Penelitian ini bertujuan (1) menentukan dan menganalisis kesesuaian lokasi untuk pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Barru, (2) menganalisis kesesuain lahan untuk jenis tanaman yang dapat dikembangan pada areal yang sesuai untuk pengembagan Hutan Tanaman Rakyat, dan (3) mendesain Rancangan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat dengan basis spasial yang terintegrasi dengan tata ruang, kesesuaian lahan, menejemen pengelolaan, preferensi pasar dan industri.

Penelitian akan membuat model desain pembangunan hutan tanaman rakyat yang terintegrasi dengan tata ruang, kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, lokasi dan kebutuhan bahan baku industri yang berbasiskan spasial.

Dari hasil analisis spasial didapatkan areal – areal yang sesuai, agak sesuai, dan tidak sesuai. Masing masing kelas sesuai seluas 1.095 ha (6.5%), agak sesuai seluas 6.373 (37.8%) dan tidak sesuai untuk dikembangkan HTR 9.388 ha seluas (55.7%). Kesimpulan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengusulan HTR dimasa yang akan datang.

(4)

iv

ABSTRACT

NAUFAL. Design of the Development of Community Forest in the Barru Regency (Supervised by Daud Malamassam dan Baharuddin Nurkin)

The study aims to : (1) determine and analyse the suitability of location for the development of community forest in Barru regency; (2) analyse the suitability of the area for plants suistable for community forest development; (3) provide a design of community forest development with a spatial base integrated to the space pattern, land suitability,management, market and industry preferences.

A model of community forest development design was made. It was integrated with space pattern, land suitability, management, market, location, and spatial-based need of industrial raw material.

Result of analysis reveals that the suitable land (1.095 hectares / 6.5%), partly-suistable land (6.373 hectares / 37.8%), and non-suitable land (9.388 hectares / 55.7%). Be Used as reference to be considered in proposing the design of community forest development in the future of HTR.

(5)

v KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Rabbil Alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Berkat dan Kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Desain Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Kabupaten Barru”, yang skaligus merupakan syarat untuk memperoleh gelar Magister di Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Begitu banyak doa, dukungan, dan perhatian yang penulis dapatkan selama penyusunan tesis ini berlangsung, sehingga segala hambatan yang ada dapat terlewati dan dapat dihadapi dengan penuh sukacita. Oleh karena itu, dengan penuh kerendahan hati, penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang telah banyak membantu dan meluangkan waktunya dalam penyelesain tesis ini:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Daud Malamassam, M. Agr dan Bapak Prof. Dr. Ir. Baharuddin Nurkin, M.Sc sebagai dosen pembimbing yang telah banyak mencurahkan tenaga dan pikirannya, meluangkan waktunya yang begitu berharga untuk memberi bimbingan dan pengarahan dengan baik, dan memberikan dukungan serta motivasi dalam penyelesaian tesis ini.

2. Bapak Prof.Dr. Supratman, S.Hut, M.P, Prof. Dr. Ir. Muh. Dassir, M.Si, dan Dr. Suhasman, S.Hut, M.Si sebagai dosen penguji yang telah meluangkan waktunya dan banyak memberi masukan, koreksi serta arahan sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan lebih baik.

3. Direktur Pascasarjana, Ketua Program Studi Ilmu Kehutanan beserta staf pengajar dan pegawai yang telah memberikan sumbangsih yang sangat besar kepada penulis.

(6)

vi

5. Kanda Haudec Herawan atas segenap bantuannya yang sangat berarti dalam penyelesaian penelitian ini. Terimkasih sekali lagi kanda.

6. Teman dan Adinda tercinta di Tim Layanan Kehutanan Masyarakat : Haeruddin, Ismed Tanunata, Aksan Firmansyah, Faisal Hidayat, Ikha rurul, Laode Muh Ikbal, Mulyadi, Laode Ifrisal, Nurul, Afif, Ridwan, Muh Ickhwan terimakasih atas dukungan tenaga dan pikirannya serta anugrahandini nasir, selalu menyelesaikan masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh penulis. Kalian adalah anak muda yang sukses dimasanya, semoga impian kalian segera tercapai.

7. Seluruh Staf di Sulawesi Community Foundation (SCF), yang telah memfasilitasi secara tidak langsung tapi sangat berdampak dalam merangkumkan dan menyelesaikan studi ini.

8. Seluruh Staf di Medialingkungan.com yang telah memberikan sumbangsih pikiran dan wawasan sehingga memberikan jalan dan pikiran yang segar dalam menyelesaikan tiap masalah yang dihadapi selama penelitian ini. Terimakasih sekali lagi untuk prosesnya.

9. Kawan-kawan peneliti di Tropical Rain Forest, yang selalu menjadi lawan diskusi dan teman berfikir, sehingga membuka wawasan baru dalam penyelesai studi ini.

10. Teman teman seperjuangan Ilmu kehutanan Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin 2012, terimakasih atas segala canda tawa, dan waktu suka duka yang telah dilalui bersama. Kalian semua bisa, ini hanya persoalan waktu.

11. Secara khusus penghargaan, rasa hormat dan rasa terima kasih yang tak terhingga ku persembahkan kepada kedua orang tua ku tercinta: Asmin Dunggio dan Adam Achmad yang telah membesarkan, mendidik dan mendoakan dengan segala kasih sayang dan perhatian beliau selama ini, sehingga selalu diberikan jalan untuk menyelesaikan studi hingga jenjang Magister.

(7)

vii membangun sangat penulis harapkan. Kiranya tesis ini dapat bermanfaat serta dapat menjadi salah satu bahan informasi pengetahuan bagi pembaca sekalian.

Makassar, Agustus 2014

(8)

viii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

ABSTRAK ... iii

1. Pengelolaan Hutan Konvensional & Permasalahan ... 7

2. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) ... 9

B. Perkembangan Industri Perkayuan & Permasalahan Bahan Baku ... 17

1. Kebijakan Industri Perkayuan ... 17

2. Degradasi/Penurunan Potensi Hutan ... 20

(9)

ix

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN A. Kawasan Hutan ... 55

B. Hutan Tanaman Rakyat & Perkembangannya ... 56

C. Kondisi BIofisik Kawasan ... 56

(10)

x

F. Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat ... 86 1. Kelembagaan... 86 2. Adaptibilty ... 88

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 91 B. Saran ... 92

(11)

xi DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Pergeseran Konseptual Dari Paradigma Kehutanan Negara ke

Kehutanan Masyarakat………...…………..………... 11

2. Hutan Produksi disetiap Kecamatan/Desa Barru ….…………... 40

3. Luas Pencanagan & Izin HTR Kabupaten Barru…….…………. 41

4. Bobot Landuse terhadap HTR………. 48

5. Bobot Jarak Pemukiman terhadap HTR……….… 48

6. Bobot Kelas Lereng terhadap HTR………. 49

7. Klasifikasi Kelas Kesesuian Pengembangan HTR………... 50

8. Luas Kawasan Hutan dalam setiap Kecamatan………... 55

9. Penggunaan Tanah………... 59

10. Perensentase Kemiringan Lahan………..……….. 60

11. Persentase Ketinggian Lahan……….. 62

12. Jenis Tanah………. 62

13. Kelas Kesesuain Pengembangan HTR……….. 64

14. Daftar jenis tanaman yang berpotensi dikembangkan…………. 69

15. Kesesuian Lahan HPT……….. 69

16. Skenario Pembangunan HTR, melalui jenis Sengon & Jati…… 76

17. Volume dan Nilai Produksi HTR untuk Skenario Pesimis……... 78

18. Volume dan Nilai Produksi HTR untuk Skenario Moderat...…... 78

19. Volume dan Nilai Produksi HTR untuk Skenario Optimis……... 78

(12)

xii DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Grafik PDB Nasional Sektor Kehutanan.………... 26

2. Hutan Produksi disetiap Kecamatan/Desa Barru………. 40

3. Kerangka Pikir……… 42

4. Kerangka Penelitian………...………,………. 52

5. Curah Hujan Rata-Rata Bulanan Kabupaten Barru..….….…. 59

6. Histogram Hari Hujan Rata-Rata Bulanan………. 60

7. Kelembapan Udara Rata-Rata Bulanan………..……..… 61

8. Peta Kelas Kesesuian Pengembangan HTR……… 67

9. Peta Kesesuain Lahan HPT..…………..………...…. 70

10 . Peta Kelas Kesesuain Pengembangan Terhadap Eksisting HTR……….….… 73

11 Peta Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten Barru...…… 85

(13)

1

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak tahun 2007 Pemerintah, khususnya Kementerian Kehutanan

telah menggiatkan program pembangunan Hutan Tanaman Rakyat

(HTR). Program pembangunan HTR merupakan kebijakan Pemerintah

yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan (pro-poor), menciptakan lapangan kerja baru (pro-job) dan memperbaiki kualitas pertumbuhan melalui investasi yang proporsional antar pelaku ekonomi

(pro-growth). Kebijakan HTR memberikan akses lebih kepada masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, dalam Peraturan

Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan

Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan.

Berdasarkan P.10/Menhut-II/2011, salah satu dari enam kebijakan

prioritas pembangunan kehutanan tahun 2010-2014 adalah Revitalisasi

Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan. Pemanfaatan hutan alam

dalam memenuhi kebutuhan industri kehutanan saat ini sudah tidak

dapat diharapkan lagi. Kondisi hutan alam yang terdegradasi akibat

illegal logging dan kebakaran hutan, menyebabkan kurangnya suplai

kayu untuk industri kehutanan dan pembangunan nasional secara

kompleks. Pengembangan hutan tanaman, baik hutan tanaman industri

(14)

2 kebutuhan industri kayu nasional agar tetap dapat berjalan dan tumbuh

untuk masa kini dan masa yang akan datang.

Permasalahan lainnya dalam pengelolaan hutan di Indonesia

adalah rendahnya pendapatan masyarakat dari usaha kehutanan.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa peran hutan rakyat dan hutan

produksi yang dapat diakses oleh masyarakat melalui skema

pengelolaan hutan yang berbasiskan masyarakat, belum berfungsi

secara optimal. Rendahnya pendapatan masyarakat melalui usaha

kehutanan berdampak terhadap tingginya kegiatan konversi lahan

hutan menjadi usaha non kehutanan. Selain itu kehidupan

masyarakat desa sekitar hutan tidak bisa dipisahkan dengan hutan

sebagai tempat menggantungkan hidupnya. Paradigma baru

pembangunan pengelolaan kehutanan yang melibatkan masyarakat

menjadi harapan baru untuk memecahkan permasalahan kehutanan

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Hasanuddin

bekerjasama dengan Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah

Sulawesi Selatan mengindikasikan bahwa terdapat beberapa

kendala terkait dengan implementasi program Hutan Tanaman

Rakyat di Sulawesi Selatan. Kendala-kendala tersebut antara lain

meliputi, belum adanya kesepahaman bersama mengenai pentingnya

HTR dalam membangun kesejahteraan masyarakat dan

perekonomian daerah, belum adanya inisiatif Pemerintah Kabupaten

(15)

3 rakyat, mekanisme yang birokratis, hingga kurangnya komunikasi

antara Kementerian Kehutanan dengan Pemerintah Kabupaten.

Permasalahan tersebut di atas disebabkan oleh belum adanya model

pengelolaan di tingkat tapak yang mengatur fungsi stakeholder terkait

(Alif, dkk, 2010)

Masalah lain yang cukup serius adalah masalah yang ditemukan

pada Industri Kehutanan. Berkurangnya sumber bahan baku dari hutan

alam sangat menggangu keberlangsungan industri kehutanan yang saat

ini masih menggantungkan supplai bahan bakunya pada hutan alam.

Karena kayu yang dihasilkan dari hutan alam cenderung memiliki

karakteristik diameter besar, termasuk jenis-jenis komersial yang

disenangi pembeli (buyer), variasi produk yang dihasilkan lebih banyak

dan rendemen output lebih maksimal yang berasal dari hutan alam.

Sehingga Industri pengolahan kayu harus mencari alternative bahan

baku seperti dari hutan tanaman rakyat atau kayu rakyat. Potensi paling

besar yang memungkinkan supplai untuk industri kehutanan adalah

berasal dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat

(HTR). Sedangkan pada konteks pengelolaan hutan tanaman rakyat

proses management untuk membuat kayu yang ditanam dapat memiliki

nilai yang tinggi dan diserap oleh industri kehutanan tidak dilakukan

karena keterbatasan pengetahuan masyarakat dan pradigma

(16)

4 Kabupaten Barru memiliki potensi yang cukup besar untuk

pengembangan hutan tanaman rakyat, Berdasarkan data yang

didapatkan di Dinas Kehutanan, Barru memiliki pontensi hutan produksi

yang cukup besar dan dapat dikelolah dengan baik untuk kepentingan

pengembangan HTR dan HTI yaitu sebesar 17.312 ha (Dishut Barru,

2012)

Pada tahun 2010-2012 Kementerian Kehutanan telah

mencanangkan pembangunan Hutan tanaman Rakyat (HTR) oleh seluas

1.497 ha di Kabupaten Barru, yang terdiri dari 3 kecamatan, yaitu

kecamatan Balusu, Kecamatan Barru dan Kecamatan Pujananting. Areal

ini telah mendapatkan Izin Usaha Pemanfatan Hasil Hutan Kayu

(IUPHHK HTR) dari Bupati dan telah diverifikasi seluas 1.481 ha. Angka

tersebut dipastikan akan naik, karena Dinas Kehutanan Barru pada

pertengahan tahun 2013 kembali mengusulkan Pencangan HTR sebesar

14.000 ha yang tersebar hampir disetiap kecamatan, dengan model

pengelolaan yang menggunakan skema mandiri.

Dalam rangka mendukung kelancaran dan keberhasilan

pembangunan Hutan Tanaman Rakyat termaksud diatas, dibutuhkan

suatu perencanaan yang bersifat komperhensif. Sehubungan dengan itu

maka penelitian ini difokuskan pada upaya untuk mendesain

pembangunan Hutan Tanaman Rakyat secara kompleks, guna

(17)

5 terintegrasi pada pola ruang, kesesuian lahan, pengelolaa/kelompok

tani, pasar dan industri.

B. Rumusan Masalah

Melihat hal diatas, Potensi Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat

secara nasional dan perregion, termasuk di Kabupaten Barru terus

mengalami peningkatan dari tahun ketahun sedangkan riset dan

pengembangan pengelolaan pada level pengelolaan HTR masih sangat

minim, disisi lain banyaknya kasus industri kehutanan di Indonesia yang

bangkrut karna sulitnya mendapatkan bahan baku pasokan kayu yang

legal, hal ini lah yang kemudian menjadikan kenapa riset ini penting untuk

dilakukan, agar bagaimana mendesain pembagunan Hutan Tanaman

Rakyat secara kompleks untuk menjawab beberapa gap kebutuhan

Industri, Pengelolaah HTR, dan Pemda pada konteks pengelolaan hutan

tanaman rakyat yang terintegrasi pada pola ruang, kesesuaian lahan,

pengelola/masyarakat, pasar, lokasi dan kebutuhan bahan baku industri

C. Tujuan Penlitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis dan menentukan tingkat kesesuaian lokasi untuk

pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Barru.

2. Menganalisis kesesuain lahan untuk jenis – jenis tanaman yang

dapat dikembangan pada areal yang sesuai untuk pengembagan

(18)

6

3. Mendesain Rancangan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat

dengan basis spasial yang terintegrasi dengan pola ruang,

kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, pasar dan industri. Desain

tersebut meliputi areal-areal yang sesuai untuk dikembangkan,

jenis-jenis tanaman, skenario pengelolaan, kelembagaan, serta jenis-jenis dan

lokasi industri.

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi model rancangan

pembangunan hutan Tanaman Rakyat yang secara kompleks dan

terintegrasi dengan pola ruang, kesesuain lahan, pasar dan industri,

sehingga diharapkan mendapatkan manfaat yang lebih dalam

pembangunan kehutanan yang berbasiskan “suistanable forest

(19)

7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengelolaan Hutan

1. Pengelolaan Hutan Konvensional dan Permasalahannya

Selama dua dasawarsa terakhir strategi pengusahaan hutan

telah terbukti mampu memberikan peranan besar dalam

pembangunan ekonomi, namun pembangunan ekonomi di sektor

kehutanan yang selama ini dilakukan tidak memperhatikan aspek

pelestarian terhadap lingkungan. Akibatnya terjadi bencana alam

yang disebabkan oleh kerusakan hutan. Masih lemahnya komitmen

lembaga-lembaga yang berwenang dalam melakukan pengawasan

terhadap kelestarian hutan semakin memperparah laju tingkat

kerusakan hutan (Kartodihardjo, 2008).

Masalah yang sangat kompleks pada hutan dan kehutanan di

Indonesia sangat tinggi baik dari segi administrasi sampai pada

proses implemntasi dilapangan, kurangnya pengetahuan mengenai

dinamika hutan, serta dominasi kepentingan dan keuntungan jangka

pendek, telah mengakibatkan kegagalan sebagian besar program

penanaman kembali.

Karena prosedur pembangunan kembali hutan tropis bekas

tebangan belum dikembangkan dengan baik, maka badan

kehutanan mengalami kesulitan untuk menetapkan dana reboisasi

(20)

8 lanjut, kebijakan perundang-undangan masa lalu hanya mempunyai

sedikit pengaruh untuk memperbaiki manajemen pengusahaan

kayu, seringkali disebabkan karena kebijakan tersebut tidak

mempertimbangkan kemampuan Departemen Kehutanan untuk

melaksanakan perundang-undangan tersebut (Lahjie, 2003).

Mengantisipasi permasalahan yang telah disebutkan

sebelumnya maka Lahjie (2003) sepakat dengan konsep

pengelolaan hutan lestari. Pengelolaan hutan lestari lebih dikenal

dengan istilah sustainable forest management. ITTO mendefinisikannya sebagai proses pengelolaan lahan hutan untuk

mencapai satu atau lebih tujuan yang ditetapkan menyangkut

keseimbangan produksi dari hasil hutan dan jasa yang diinginkan

serta tidak mendapatkan dampak buruk yang tidak diinginkan.

Secara operasional, definisi tersebut mencakup unsur-unsur sebagai

berikut :

1. Hasil yang berkesinambungan berupa hasil hutan kayu, hasil

hutan non kayu dan jasa pengelolaan hutan.

2. Mempertahankan tingkat biodiversitas yang tinggi dalam konteks

perencanaan tata guna lahan integratif mencakup jaringan kerja

kawasan lindung dan kawasan konservasi.

3. Menjaga stabilitas fungsi dan ekosistem hutan dengan

(21)

9 productivity), menjaga sumber benih dan unsur biodiversitas

hutan yang diperlukan untuk regenerasi dan pemeliharaan hutan.

4. Meningkatkan dampak positif pada kawasan hutan dan

mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan dampak yang

merugikan.

5. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan

dan berupaya menyelesaikan potensi konflik.

2. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM)

Pemanfaatan hutan menurut Undang-Undang Kehutanan

Nomor 41 Tahun 1999 bertujuan memperoleh manfaat yang optimal

bagi kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan dengan tetap

menjaga kelestariannya. Definisi tersebut memberikan kata kunci

bagi pengelolaan hutan yaiitu konservasi dan kesejahteraan

masyarakat. Pengelolaan hutan harus memberikan manfaat bagi

masyarakat yang berada pada kawasan hutan (Nadia, 2011).

Dalam mewujudkan konservasi dan kesejahteraan masyarakat,

diperlukan upaya bersama dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan

hutan berbasis masyarakat menjadi konsep alternatif pengelolaan

saat ini. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat sering kali disebut

Community Based Forest management (CBFM). Menurut

Supratman (2006), nilai inti pembangunan CBFM adalah ideologi

dasar yang bersifat permanen tidak berubah menurut waktu, tempat,

(22)

10 inti pembangunan CBFM dikonstruksi dari nilai-nilai kearifan

masyarakat membangun dan mengelola hutan seperti nilai spiritual,

modal sosial, prinsip hidup, inisiatif lokal pelayanan publik kehutanan

oleh lembaga lokal, dan nilai manfaat ekonomi langsung. Nilai-nilai

tersebut menyatu dalam suatu konsep nilai inti.

Hingga saat ini perkembangan kebijakan pembangunan

kehutanan terus didorong kearah CBFM. Pergerakan yang

mendorong kearah kebutuhan paradigma baru kehutanan dapat

dilihat dari gerakan kehutanan masyarakat oleh semua pihak, baik

dari masyarakat, pemerintah, pemerhati lingkungan, perguruan

tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat. Gerakan ini terlihat jelas

dengan semakin banyak pemikiran-pemikiran dan berbagai konsep

untuk mewujudkan CBFM menjadi dasar pembangunan kehutanan.

Gerakan masyarakat dan LSM dalam mewacanakan sistem

pengelolaan hutan masyarakat setempat dan penguatan hukum adat

semakin mewarnai dorongan perubahan (Patiung, dkk, 2006).

Awang (2001) mengatakan bahwa gagasan community forestry

(CF) atau kehutanan masyarakat diyakini menjadi cara terbaik untuk

membangun sumberdaya hutan. Dalam konteks Indonesia,

kehutanan masyarakat diartikan sebagai sistem pengelolaan hutan

yang dilakukan oleh individu, komunitas atau kelompok. Pengelolaan

tersebut dilakukan pada lahan negara, lahan adat, atau lahan milik

(23)

11 tangga dan masyarakat serta dapat dilakukan secara komersial

ataupun non komersial (subsisten). Pengertian ini akan berimplikasi

pada sistem pengelolaan hutan. Apabila dibandingkan karakteristik

antara pengelolaan hutan yang state based dengan community

based maka akan terlihat berbagai perubahan paradigmatik seperti

yang ditunjukkan oleh tabel di bawah ini :

Tabel 1. Pergeseran konseptual dari paradigma kehutanan negara dengan kehutanan masyarakat.

No. Kehutanan Negara (dari) Kehutanan Masyarakat (Menuju) A. SIKAP DAN ORIENTASI

1. Pengendalian Dukungan/fasilitasi 2. Penerima manfaat Mitra kerja

3. Pengguna Pengelola

4. Pembuatan keputusan uni

lateral Partisipatif

5. Orientasi peneriman Orientasi sumberdaya 6. Keuntungan nasional Orientasi keadilan lokal 7. Diarahkan oleh negara Proses belajar/evolusi B. INSTITUSIONAL DAN ADMINISTRATIF

8. Sentralisasi Desentralisasi

9.

Manajemen (perencanaan, pelaksanaan, monitoring) oleh pemerintah

Kemitraan

10. Top down Partisipatif/negosiatif 11. Orientasi target Orientasi proses

12. Anggaran kaku untuk rencana kerja besar

(24)

12 13. Aturan-aturan untuk

menghukum Penyelesaian konflik C. METODA MANAJEMEN

14. Kaku Fleksibel

15. Tujuan tunggal Tujuan ganda/beragam 16. Keseragaman Keanekaragaman 17. Produk tunggal Produk beragam

18.

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) merupakan

alternatif pengembangan pengelolaan hutan ke depan. Di bawah ini

terdapat 8 kriteria yang menyatakan pentingnya konsep PHBM

dilaksanakan (Suwarno, 2011).

a) Pendapatan Nasional

Melalui PHBM pendapatan nasional dari sub sektor kehutanan

akan meningkat secara nyata. Peningkatan terjadi karena

pengaruh efek massal positif dari pengerahan sumberdaya manusia sekitar 40 juta orang dalam memanfaatkan sumberdaya

hutan, baik manfaat aktual maupun manfaat potensial. Manfaat

aktual antara lain berupa kayu, hasil hutan non kayu dan jasa

wisata sedangkan manfaat potensial antara lain berupa

(25)

13 usaha lebah madu, ulat sutera, dan lain-lain. Peningkatan

pendapatan masyarakat dari sub sektor kehutanan ini akan

memberikanmultiflier effect terhadap sektor ekonomi lainnya. b) Pendapatan Negara

Pendapatan negara dari sub sektor kehutanan akan diperoleh

secara langsung dari usaha komersial bersama masyarakat

(produksi kayu, getah, rotan, ekowisata, dll), dan secara tidak

langsung diperoleh melalui pajak dan retribusi yang dikenakan

kepada masyarakat. Program PHBM juga diharapkan bisa

mengurangi kebocoran kas negara dengan memperkecil

terjadinya praktek-praktek KKN dalam tata usaha kayu dan hasil

hutan lainnya.

c) Pemerataan Pendapatan dan Lapangan Kerja

Dengan PHBM tidak ada lagi monopoli penguasaan hutan oleh

segelintir orang. Masyarakat diharapkan tidak lagi hanya

berstatus sebagai penonton atau buruh rendahan di negeri

sendiri. Masyarakat diharapkan memperoleh hak-hak akses

terhadap hutan, mampu menjadi tuan untuk mengatur dan

memanfaatkannnya secara bertanggung jawab. Sekitar 40 juta

jiwa bangsa Indonesia yang hidup di dalam kawasan

hutan. PHBM akan memberikan prioritas lapangan kerja kepada

(26)

14 d) Kekuatan struktur ekonomi

PHBM sejiwa dengan program ekonomi kerakyatan. Masyarakat

Indonesia yang tinggal di dalam kawasan hutan umumnya masih

berada dalam kontinum budaya meramu pertanian tradisional. Mereka memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap flora dan fauna hutan, juga terhadap ketersediaan lahan

garapan. Pola tersebut apabila bisa dicegah dari praktek-praktek

destruktif, akan menjadi bagian dari basis struktur ekonomi

nasional yang handal.

e) Neraca Sumber Daya Alam

Kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dalam PHBM akan sangat

dipengaruhi oleh kualitas institusi (kelembagaan) yang

dibentuk. Institusi yang baik akan dapat menyeimbangkan unsur

input dan output, sehingga kelestarian hutan tetap

terjaga. PHBM memiliki potensi yang lebih tinggi membentuk

institusi pengelolaan hutan yang lebih baik dan kuat dibanding

sistem lainnya yang telah ada saat ini. Dikatakan memiliki

potensi yang lebih tinggi karena masyarakat hutan sejak dahulu

telah mempunyai nilai-nilai kearifan tradisional berkaitan dengan

alam. Saat ini kearifan tersebut sedang mengalami degradasi

luar bisaa disebabkan ekspasi sistem ekonomi pasar. Tugas

(27)

15 pengelolaan berbasis kearifan tradisional ini dan diintegrasikan

dengan ilmu pengetahuan modern.

f) Nilai Ekonomi

Keragaman produk hasil hutan khas Indonesia, diyakini memiliki

keunggulan komparatif di pasaran dunia. Keunggulan tersebut

ada bukan karena polesan teknologi, melainkan kekhasan

kualitas alamiahnya. Sebagai contoh, rotan Indonesia dikenal

sebagai rotan berkualitas terbaik di dunia. Selain rotan,

produk-produk seperti kayu jati dan getah damar menjadi ciri khas

tersendiri karena negara lain jarang atau bahkan tidak bisa

memproduksi produk tersebut.

Keunggulan komparatif ini sangat ditentukan oleh kemampuan

dan strategi kepemimpinan pemerintah. Bila PHBM mampu

mengalihkan orientasi pemanfaatan hutan dari timber oriented menjadi pengambilan manfaat-manfaat lainnya (terutama hasil hutan non kayu) yang tidak merusak kelestarian

ekosistem, maka multiproduk hutan ini sangat berpotensi untuk

meningkatkan perolehan keuntungan dari hutan. Banyak

jenis-jenis hasil hutan non kayu yang setiap unitnya memiliki nilai

ekonomi jauh lebih tinggi daripada kayu, misalnya gaharu, madu,

tanaman obat, rotan, dan lain-lain. Hal tersebut semakin baik bila

kita mampu menciptakan bentuk-bentuk inovasi usaha yang

(28)

16 g) Kapasitas Lingkungan Hidup

Ada kekhawatiran terhadap pengerahan massal sejumlah besar

masyarakat kedalam hutan untuk mengelola dan memanfaatkan

hutan bisa menimbulkan resiko kerusakan hutan. Namun di sisi

lain apabila kita merefleksikan praktek-praktek di masa lalu,

sesungguhnya masyarakat sekitar hutan telah memiliki nilai-nilai

kearifan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun dalam

mengelola sumberdaya lingkungan. Oleh karena itu, pengaruh

PHBM terhadap kapasitas lingkungan akan ditentukan oleh hidup

tidaknya kembali kearifan lokal serta penerapan inovasi teknologi

baru yang ramah lingkungan.

h) Sumberdaya Genetik Generasi Mendatang

Nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat mempunyai

semacam pantangan untuk merusak sumberdaya lingkungan

dengan semena-mena. Institusi sosial yang dibangun sesuai

dengan karakteristik sumberdaya alam yang dikelola, akan

memberikan perlindungan yang efektif terhadap sumberdaya

alam itu sendiri. Pelanggaran oleh satu anggota masyarakat,

akan mendatangkan sanksi sosial yang keras dari kesatuan

anggota masyarakat yang lainnya. Ketika keanekaragaman

sumberdaya hayati telah menjadi unsur yang disepakati untuk

dilindungi, maka keberadaannya akan lebih terjamin untuk

(29)

17 B. Perkembangan Industri Perkayuan dan Permasalahan Bahan

Baku

1. Kebijakan Industri Perkayuan

Pengelolaan sumber daya hutan secara lestari dan

berkelanjutan merupakan kewajiban bagi bangsa Indonesia untuk

menjawab amanat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 “bumi,

air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat”. Pasal ini diatribusi ke dalam UU No. 41 T ahun 1999

tentang Kehutanan, yang kemudian mengalami perubahan

berdasarkan Perpu No. 1 T ahun 2004. Perpu ini kemudian

disahkan sebagai UU No. 19 Tahun 2004.

Dalam pasal 2 UU No. 41 T ahun 1999 disebutkan bahwa

“Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari,

keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan“. Secara

teoritis, dalam asas ini terlihat upaya pemerintah untuk

mengimplementasikan 4 prinsip good governance dalam

penyelenggaraan kehutanan guna menjamin dan melindungi serta

mengamankan fungsi hutan (Forest Watch Indonesia, 2011).

Selanjutnya pada masa orde baru, kewenangan perizinan

industri pengelolahan kayu dikuasi oleh pemerintah pusat, dibawah

kewenangan Departemen Perindustrian dan Pedagangan, Upaya

(30)

18 dengan kemudahan birokrasi. Wujud sentratlistik tersebut

ditegaskan dalam PP No.17 Tahun 1986 yang menyebutkan bahwa

kewenangan industri berada ditangan presiden yang

pelakasanaannya diserahkan kepada Menteri Perindustrian, serta

tanggung jawab menteri-mentri lain sesuai dengan bidangnya

(Greenomics Indonesia, 2004).

PP No. 17 Tahun 1986 ditindaklanjuti dengan PP No.13 tahun

1987 tentang Izin Usaha Industri, yang mengatur ketentuan bahwa

izin usaha industri merupakan kewenangan Manteri Perindustrian.

Bentuk perizinan idnustri yang menjadi kewenangan Departemen

Perindustrian tersebut terdiri dari izin tetap dan izin perluasan.

Kewenangan Departemen Perindustrian tidak hanya mencakup

kewenangan perizinan, namun juga diperluas dalam bentuk

kewenangan pembinaan terhadap iklim usaha, sarana, usaha, dan

produksi dari industri pengelolaan kayu. Selain pembinaan jufa

dilakukan pengawsan terhadap perusahan industri yang telah

mendapatkan izin usaha industri (Greenomics Indonesia, 2004).

Pada tahun 1997, Menteri Perindustrian dan Perdagangan

melimpahkan kewenangan perizinan dibidang industri dan

perdagangan kepada Dirjen Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan,

dengan pertimbangan untuk kelancaran proses perizinan bidang

industri dan perdagangan. Pelimpahan kewenagan tersebut

(31)

19 Menteri Kehutanan juga melimpahkan kewenangan dalam hal

pelaksanaan kepemilikan dan keterkaitan HPH dengan industri

pengelolaan kayu kepada Dirjen Pengusahaan Hutan, dengan

pertimbangan untuk efisiensi dan mempercepat pelayanan

(Greenomics Indonesia, 2004).

Bentuk kewenangan yang diberikan kepada Direktur Jendral

Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan meliputi kewenangan dalam

pemberian izin, kewenangan menoloak permohonan, pemberian

peringatam, pembekuan dan pencabutan izin industri (Greenomics

Indonesia, 2004).

Setelah rezim orde baru yang ditandai dengan lahirnya era

otonomi daerah, memberikan dampak pada dimulainya proses

desentralisasi kewenangan terkait dengan perizinan industri

pengelolaan kayu. Pelimpahan sebagaian urusan dan kewenagan

pusat kepada daerah yang diatur melalui UU No.22 tahun 1999 dan

UU No.25 tahun 1999 juga mencakup kewenangan perizinan industri

pengelolaan kayu. Pada oktober 1999, Menteri Perindustrian dan

Perdagangan menetapkan pelimpahan kewenangann pemberian

izin bidang industri dan perdaganan kepada Kabupaten/Kota dan

Provinsi.

Kewenangan tersebut mencakup kewenangan untuk

memberikan peringatan, pembekuan, dan pencabutan izin.

(32)

20 berdasarkan nilai investrasi perusahaan industri yang bersangkutan,

tanpa memperhatikan volume atau kapasitas produksi industri itu

sendiri (Greenomics Indonesia, 2004).

Izin usaha industri pengolahan kayu dapat diberikan kepada

perorangan, perusahan, persekutuan atau badan hukum yang

berkedudukan di Indonesia. Pelimpahan kewenangan pemberikan

perizinan industri pengelolaan kayu tersebut mencakup industri

penggergajian kayu, industri pengawetan kayu, industri kayu lapis,

industri kayu lapis laminasi termasuk Decorative Plywood, industri

panel kayu lainnya, industri venner dan industri moulding dan

komponen bahan bangunan.

Dengan adanya pelimpahan kewenangan perizinan industri

pengelolaan kayu kepada pemerintah daerah, maka pemerintah

pusat berperan dalam pembinaan industri. Kewenagan pembinaan

berada pada Direktur Jendral Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan

untuk perusahaan dengan nilai ivenstasi diatas 1 Milyar. Sedangkan

untuk perusahaan industri dengan nilai investasi sampai dengan 1

milyar, kewenangan pembinaannya berada pada Direktur Jendral

Industri Kecil dan Dagangan Kecil (Greenomics Indonesia, 2004).

2. Degradasi / Penurunan Potensi Hutan

Berdasarkan hasil temuan Forest Watch Indonesia (2011),

mengemukakan beberapa temuan-temuan terkait deradasi yang

(33)

21 Pertama, Laju deforestasi pada periode tahun 2000-2009 adalah sebesar 1,51 juta ha/tahun, dengan laju deforestasi terbesar

terjadi di Kalimantan yaitu sebesar 550.586,39 ha/tahun. Jika laju

deforestasi tidak ditekan, diperkirakan pada tahun 2020 tutupan

hutan di Jawa akan habis dan pada tahun 2030 tutupan hutan di

Bali-Nusa T enggara juga akan habis.

Kedua, Pada tahun 2003, sektor kehutanan memberikan sumbangan 1,09% terhadap produk domestik bruto, menurun

menjadi 1,05 persen pada tahun berikutnya. Pada tahun 2008,

kontribusi ini hanya 0,79 persen. Kecenderungan penurunan

kontribusi ini menjadi pertanyaan mengingat pada rentang waktu

yang relatif sama, produksi kayu bulat nasional justru meningkat

drastis dalam jangka 4 tahun, yaitu dari 11,42 juta meter kubik pada

tahun 2003 menjadi 31,49 juta meter kubik pada tahun 2007 dan

meningkat lagi menjadi 31,98 juta meter kubik pada tahun 2008.

Ketiga, kebijakan produksi kayu nasional selama ini menopang pengrusakan hutan alam Indonesia:

a) Tingginya total produksi tahunan dari seluruh izin pemanfaatan

kayu mengindikasikan adanya aktivitas pembukaan hutan alam

setiap tahun dengan luasan yang berbading lurus

b) Kebutuhan kawasan hutan untuk aktivitas di luar sektor

(34)

22 c) Pemegang konsesi hutan tanaman industri banyak melakukan

pemanenan terhadap kayu hutan alam secara besar-besaran

dengan memanfatakan izin pemanfaatan kayu

Keempat, berkurangnya luas areal kerja Hak Pengusahaan Hutan berjalan seiring dengan berkurangnya tutupan hutan. Pada tahun

2000, luas areal Hak Pengusahaan Hutan seluas 39, 16 juta ha,

sedangkan tahun 2009 menurun menjadi 26,16 juta ha. Pada

rentang waktu yang sama tutupan hutannya berkurang dari 22,01

juta ha menjadi 20,42 juta ha.

Kelima, laju deforestasi di kawasan hutan produksi dan hutan produksi terbatas yang dilakukan oleh perusahaan pemegang

konsesi Hak Pengusahaan Hutan antara lain disebabkan oleh:

perusahaan tidak melakukan kewajiban silvikultur tebang pilih

tanam Indonesia yang dipersyaratkan bagi unit manajemen Hak

Pengusahaan Hutan, tidak mel akukan pengayaan, menyusun

laporan realisasi fiktif, Laporan Hasil Cruising fiktif, tidak

melakukan inventarisasi tegakan, tidak melakukan penataan

batas secara lugas, menebang di luar areal kerja tahunan,

menebang melebihi jatah tebangan, menerima hasil-hasil

pembalakan liar.

Forest Watch Indonesia (2011), juga menuliskan bahwa terjadi

tekanan terhadap kawasan hutan secara tidak langsung dapat

(35)

23 hutan. Mekanisme paduserasi tataguna hutan kesepaatan dengan

rencana tata ruang wilayah Provinsi, tidak diikuti dengan aturan

yang jelas dan tegas. Tidak ada mekanisme penyelesaian konflik

kepentingan antara Kementerian Kehutanan dengan Pemda

dalam proses paduserasi.

Akibatnya, meski belum melalui proses paduserasi, pemda

kerap menjadikan Rencana Tata Ruang Wilayah. Ditambah lagi

Kebijakan-kebijakan yang kontra produktif menjadi katalis

perusakan hutan alam menjadi perkebunan terutama perkebunan

sawit. Peraturan yang ada sebenarnya mengatur kriteria pelepasan

untuk keperluan perkebunan dimana hutan yang dapat

dilepaskan adalah HutanProduksi yang dapat dikonversi.

Namun karena ketidakjelasan aturan, Hutan Produksi dapat

dirubah menjadi Hutan Produksi Konversi yang tidak lama

berselang dapat dilepaskan secara parsial menjadi perkebunan.

Pada berbagai kasus, perusahaan tidak segan-segan untuk

melakukan pembukaan lahan dengan membabat hutan tanpa izin

pelepasan kawasan.

Sektor pertambangan juga memberi tekanan yang besar

terhadap kawasan hutan. Hingga tahun 2011 lebih dari 6.000

kuasa pertambangan diterbitkan di dalam kawasan hutan dan

hanya sekitar 200 unit yang telah memiliki izin pinjam pakai

(36)

24 diragukan , praktik-praktik ilegal pertambangan di kawasan hutan

seolah tidak tersentuh oleh hukum (Forest Watch Indonesia, 2011).

3. Kesenjangan antara Potensi Hutan dan Kebutuhan Bahan Baku Memasuki abad 21, pembangunan kehutanan Indonesia

dihadapkan pada permasalahan yang makin kompleks dan bersifat

multidimensional. Salah satu masalah yang cukup menonjol adalah

masalah tidak seimbangnya antara pasokan kayu bulat terhadap

permintaan bahan baku industri pengolahan kayu. Beberapa faktor

dominan yang menyebabkan tidak seimbangnya antara pasokan

dan permintaan kayu antara lain adalah menurunnya potensi

produksi hutan alam yang diakibatkan oleh menyusutnya hutan

perawan (virgin forest) dan meningkatnya luas areal bekas tebang

(log over forest). Selain itu pasokan kayu bulat yang berasal dari

hutan tanaman yang telah lama dicanangkan oleh pemerintah

sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan

(Prahasto & Nurfatriani 2001).

Dalam konteks industrialisasi di Indonesia, industri kayu

memiliki peluang untuk dapat dikembangkan, mengingat Indonesia

memiliki keunggulan komparatif berupa tersedianya lahan yang luas

untuk menyediakan bahan baku kayu sebagai sumber daya alam

dari hutan tanaman. Industri kayu mempunyai potensi yang kuat dari

sisi internal supply serta sebagai salah satu unsur dalam pilar industri

(37)

25 sumberdaya alam seringkali terbatas meskipun sumber daya

tersebut termasuk yang dapat diperbaharui (Clawson & Sedjo, 1982)

mengingatkan bahwa ketersediaan sumber daya hutan dan jaminan

manfaat jangka panjang tergantung pada tindakan saat ini dan yang

akan datang.

Permasalahan utama industri perkayuan adalah terjadinya

penurunan produksi kayu yang diambil dari hutan, sehingga terjadi

kekurangan pasokan bahan baku bagi industri. Akibat kesenjangan

supply dan demand yang paling ekstrim adalah berhentinya operasi

industri kayu. Dampak terjadinya penurunan pasokan terhadap

ekonomi nasional dapat dilihat dari adanya kecenderungan

menurunnya kontribusi kehutanan yang tercermin dari menurunnya

nilai PDB sektor kehutanan (Gambar 1). Departemen Perindustrian

(2005) juga mencatat. bahwa penurunan ekspor barang-barang kayu

pada periode tahun 2001 – 2005 sebesar 1,7%.

Sedangkan Kebutuhan industri perkayuan Indonesia

diperkirakan 70 juta meter kubik per tahun dengan kenaikan

rata-rata sebesar 14,2%/tahun (Pryono, 2001). Untuk produksi kayu

bulat sendiri diperkirakan hanya sebesar 25 juta meter kubik per

tahun atau dengan kata lain terjadi defisit sebesar 45 juta meter

kubik. Hal ini menujukkan bahwa sebenarnya daya dukung hutan

(38)

26 Gambar 1. Grafik PDB Nasional Sektor Kehutanan

Menyikapi kondisi ini industri perkayuan harus memiliki

strategi yang tepat dalam menjaga kelanjutan proses produksinya

ditengah krisis ekonomi yang berkepanjangan. Industri perkayuan

harus dapat mempertahankan kondisi dimana bahan baku kayu

bulat tetap dalam kondisi yang stabil khususnya dari segi jumlah.

Jika persediaan bahan baku kayu bulat terlalu besar maka

industri akan mengalami kerugian, demikian pula jika persediaan

bahan baku dalam jumlah yang lebih kecil dari kapasitas mesin

maka industri juga akan mengalami kerugian. Agar proses

produksi dapat berlangsung secara berkesinambungan, maka

(39)

27 bahan baku kayu bulat yang diperlukan di masa yang akan datang

(Makarennu dkk, 2009)

C. Pembangunan HTR sebagai salah satu Model PHBM 1. Konsep HTR

Hutan tanaman rakyat (HTR) adalah hutan tanaman pada

hutan produksi yang dibangun oleh masyarakat untuk meningkatkan

potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem

silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.

Dengan konsep integrasi antara kepastian produksi dan pasar

dengan basis pemberdayaan masyarakat lokal diharapkan program

HTR dapat menjadi salah satu agenda pengurangan kemiskinan,

pengurangan pengangguran, peningkatan kontribusi kehutanan

terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan memenuhi permintaan

bahan baku industri kayu (Alif, dkk, 2010).

Pembangunan HTR sebagaimana menjadi agenda

revitalisasi pertanian, kelautan dan kehutanan. Kebijakan HTR juga

merupakan implementasi dari Kebijakan Prioritas Sektor Kehutanan

dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat setempat sehingga sektor

kehutanan diharapkan dapat memberikan kontribusi pada

pertumbuhan ekonomi nasional, perbaikan lingkungan hidup,

mensejahterakan masyarakat dan memperluas lapangan kerja pada

(40)

28 HTR berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan

No.23/Menhut-II/2007 adalah hutan tanaman yang dibangun oleh

perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas

Hutan Produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka

menjamin kelestarian sumber daya hutan. Dengan kata lain HTR

adalah kegiatan rehabilitasi Hutan Produksi yang dilaksanakan oleh

masyarakat baik perorangan maupun koperasi untuk kelestarian

sumber daya hutan, di mana masyarakat dapat memperoleh manfaat

ekonomi dari apa yang ditanamnya untuk peningkatan

kesejahteraan.

Kawasan hutan yang dapat dijadikan lokasi pembangunan

HTR adalah Hutan Produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani

hak (ijin) serta telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai

lokasi HTR dengan luasan 15 Ha tiap Kepala Keluarga (KK) atau

sesuai kemampuan untuk koperasi. Lokasi HTR diutamakan berada

dekat dengan industri hasil hutan untuk memudahkan pemasaran.

Pengembangan HTR juga biasanya dilakukan dengan

mengkombinasikan berbagai varietas tanaman pokok. Hal tersebut

dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan penghasilan tambahan

dari tanaman budidaya tahunan selama masa menunggu waktu

penebangan kayu, di samping hasil tambahan lain melalui kegiatan

tumpang sari tanaman hortikultura/palawija. Prosentase komposisi

(41)

29 tanaman pokok berbagai jenis ditetapkan sebagai berikut: tanaman

hutan berkayu ± 70%, tanaman budidaya tahunan berkayu ± 30%.

(Pemegang ijin dapat melakukan kegiatan tumpangsari tanaman

budidaya musiman/palawija diantara tanaman pokok sampai dengan

2–3 tahun).

Pengaturan letak komposisi jenis tanaman pokok disesuaikan

dengan jarak tanam, kesesuaian persyaratan tempat tumbuh dan

kondisi fisiografi lapangan. Di samping tanaman pokok, pada batas

areal kerja atau batas antar blok/ petak tanaman pokok dapat

dikembangkan jenis-jenis tanaman lain yang dapat berfungsi

sebagai tanaman tepi yaitu berupa tanaman pagar, tanaman sekat

bakar, tanaman pelindung dan tanaman kehidupan (Prijono, 2010).

Alif, dkk (2010) mengatakan bahwa peraturan mengenai

hutan rakyat kemudian diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan

Nomor P.23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin

Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat

dalam Hutan Tanaman yang mengalami revisi pada tahun 2008

melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.5/Menhut-II/2008

tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor

P.23/Menhut-II/2007. Adapun aturan-aturan lanjutan mengenai

hutan tanaman rakyat lebih rinci dan dilengkapi oleh beberapa

Peraturan Menteri Kehutanan dan Peraturan Direktur Jenderal Bina

(42)

30 1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut-II/2008 tentang

Persyaratan Kelompok Tani Hutan untuk Mendapatkan Pinjaman

Dana Bergulir Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat.

2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2008

tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat.

3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.64/Menhut-II/2009

tentang Standart Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri

dan Hutan Tanaman Rakyat.

4. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2009

tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor

P.62/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Tanaman Industri dan Hutan

Tanaman Rakyat.

5. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor

P.06/VI-BPHT/2007 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan

Hutan Tanaman Rakyat.

6. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan

P.06/VI-BPHT/2008 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Bina

Produksi Kehutanan Nomor P.06/VI-BPHT/2007 tentang

Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat.

Berdasarkan pembelajaran terhadap beberapa program

(43)

31 menyimpulkan bahwa HTR harus dijalankan dengan prinsip-prinsip

pemberdayaan masyarakat yaitu :

a. Masyarakat mengorganisasikan dirinya berdasarkan

kebutuhannya ( people organized themselves based on their

necessity) yang berarti pemberdayaan hutan beserta

masyarakatnya ini bukan digerakkan oleh proyek

ataupun bantuan luar negeri karena kedua hal tersebut tidak

akan membuat masyarakat mandiri dan hanya membuat

“kebergantungan” masyarakat.

b. Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus bersifat padat karya

(labor-intensive) sehingga kegiatan ini tidak mudah ditunggangi

pemodal (cukong) yang tidak bertanggung jawab.

c. Pemerintah memberikan pengakuan/rekognisi dengan

memberikan aspek legal sehingga kegiatan masyarakat yang

tadinya informal di sektor kehutanan dapat masuk ke sektor

formal ekonomi kehutanan/ekonomi lokal, nasional dan global

sehingga bebas dari pemerasan oknum birokrasi

dan premanisme pasar

2. Model Pembagunan HTR

Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua

kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta pada wilayah

zona inti dan zona rimba taman nasional. Pemanfaatan hutan

(44)

32 kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap

menjaga kelestariannya baik kelestarian lingkungan (ekologi),

maupun kelestarian fungsi produksi dan fungsi sosialnya.

Pemanfaatan setiap fungsi hutan adalah sebagai berikut

(Malamassam, 2009) :

1. Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan

kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil

hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu, serta pemungutan hasil

hutan kayu dan bukan kayu. Pemanfaatan hutan produksi hanya

bisa dilakukan oleh pihak yang memiliki ijin, seperti ijin usaha

pemanfaatan kawasan hutan (IUPKH), izin usaha pemanfaatan

jasa lingkungan (IUPJL), ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu

(IUPHHK), ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu

(IUPHHBK), atau ijin usaha pemungutan hasil hutan kayu dan

bukan kayu.

2. Pemanfaatan hutan lindung juga dapat berupa pemanfaatan

kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil

hutan bukan kayu (yang tidak mengganggu fungsi pokok).

Dengan demikian, pemanfaatan hutan lindung hanya dapat

dilaksanakan oleh pihak yang memiliki ijin usaha pemanfaatan

kawasan hutan, ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan ijin

(45)

33 3. Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan

hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengelolaan kehutanan seharusnya mengikuti paradigma baru

pembangunan kehutanan yang menekankan pada konsep

manajemen hutan lestari dan berbasis pada masyarakat. Soedirman

(1995) mengatakan bahwa pengelolaan hutan secara lestari adalah

proses pengelolaan areal hutan permanen untuk mencapai satu atau

lebih tujuan yang telah ditentukan dengan berdasarkan kontinuitas

produksi dan manfaat lainyang diinginkan, tanpa mengakibatkan

kemunduran nilai produktivitas hutan di masa dating dan timbulnya

akibat yang diharapkan pada komponen fisik dan lingkungan

sosialnya.

Selain itu Alam (2011) mengungkapkan betapa pentingnya

konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dimuat melalui

kehutanan masyarakat. Kehutanan masyarakat (community forestry) merupakan suatu konsep pengelolaan hutan yang menempatkan

masyarakat sekitar hutan sebagai pelaku utama dalam mengelola

sumberdaya hutan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan

melestarikan fungsi hutan.

Pemanfaatan dan penggunaan hutan oleh masyarakat selama

ini, umumnya masih tergolong kegiatan yang bersifat illegal dan

(46)

34 cenderung mengkonversi lahan hutan menjadi lahan usaha komoditi

pangan/ perkebunan umumnya belum mengusahakan komoditi

kehutanan. Bentuk pemanfaatan hutan yang dilakukan masyarakat

umumnya hanya berupa kegiatan pemungutan kayu, hasil hutan non

kayu dan pemanfaatan kawasan hutan untuk tanaman

pangan/perkebunan.

Mereka pada dasarnya belum mengusahakan komoditas

kehutanan dan karena itu pula maka kegiatan-kegiatan yang mereka

lakukan belum dapat meningkatkan kesejahteraan mereka dan

belum berorientasi pada upaya pelestarian fungsi hutan.oleh karena

itu diperlukan sebuah model yang membangun hutan lestari dan

dikelola oleh masyarakat sekitar hutan (Alam, 2011).

Model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi

dari sebuah objek atau situasi aktual. Model memperlihatkan

hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan

timbal balik dalam istila sebab akibat. Oleh karena suatu model

adalah suatu abstraksi dari realitas, maka pada wujudnya kurang

kompleks daripada realitas itu sendiri. Model dapat dikatakan

lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang

sedang dikaji (Eriyatno, 2003).

Eriyatno (2003) mengklasifikasikan model, Klasifikasi

perbedaan dari model dapat memberikan pendalaman pada tingkat

(47)

35 dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok

pengkajian atau derajat keabstrakannya. Kategori umum adalah

jenis model yang pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi :

1. Model ikonik (model fisik)

Model ikonik adalah perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam

bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik

mempunyai karakteristik yang sama dengan hal yang diwakili,

dan terutama amat sesuai untuk menerangkan kejadian pada

waktu yang spesifik. Model ikonik dapat berdimensi dua (foto,

peta, cetak biru) atau tiga dimensi (prototip mesin, alat). Apabila

model berdimensi lebih dari tiga maka tidak mungkin lagi

dikonstruksi secara fisik sehingga diperlukan kategori model

simbolik.

2. Model analog (model diagramatik)

Model analog dapat mewakili situasi dinamik, yaitu pada keadaan

berubah menurut waktu. Model ini lebih sering dipakai daripada

model ikonik karena kemampuannya untuk mengetengahkan

karakteristik dari kejadian yang dikaji. Model analog banyak

berkesesuaian dengan penjabaran hubungan kuantitatif antara

sifat dan klas-klas yang berbeda.

Dengan melalui transformasi sifat menjadi analognya,

makakemampuan untuk membuat perubahan dapat ditingkatkan.

(48)

36 distribusi frekuensi pada statistik dan diagram alir. Model analog

dipakai karena kesederhanaan namun efektif pada situasi yang

khas seperti pada proses pengendalian mutu industri (Operating

Characteristic Curve).

3. Model simbolik (model matematik)

Pada hakekatnya, ilmu sistem memusatkan perhatian pada

model simbolik sebagai perwakilan dari realitas yang dikaji.

Format model simbolik dapat berupa bentuk angka, simbol dan

rumus. Jenis model simbolik yang umum dipakai adalah suatu

persamaan.

Terdapat beberapa hal/informasi yang perlu diperhatikan dalam

rangka pembentukan unit pengelolaan hutan, sebagai unit

pengelolaan hutan terkecil pada hamparan lahan hutan, untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal atau informasi

termaksud adalah sebagai berikut (Malamassam, 2009) :

1. Karakteristik lahan

2. Tipe hutan

3. Fungsi hutan

4. Kondisi daerah aliran sungan (DAS)

5. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar dan di dalam

kawasan hutan

6. Kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat

(49)

37 7. Batas administrasi pemerintahan

8. Hamparan yang secara geografis merupakan satu kesatuan

9. Batas alam dan atau buatan yang bersifat permanen

10. Penggunaan lahan

3. Permasalahan HTR

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas

Hasanuddin bekerjasama dengan Balai Penelitian dan

Pengembangan Daerah Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa

ada beberapa kendala terkait implementasi program Hutan

Tanaman Rakyat di Sulawesi Selatan. Kendala-kendala tersebut

mulai dari kesepahaman bersama mengenai pentingnya HTR

dalam membangun kesejahteraan masyarakat dan perekonomian

daerah, belum adanya inisiatif Pemerintah Kabupaten

memberikan porsi anggaran pada pembangunan hutan tanaman

rakyat, mekanisme yang birokratis, hingga kurangnya komunikasi

antara Kementerian Kehutanan dengan Pemerintah Kabupaten.

Permasalahan tersebut di atas disebabkan oleh belum adanya

model pengelolaan di tingkat tapak yang mengatur fungsi

stakeholder terkait (Alif, dkk, 2010)

Masalah lainya adalah masalah yang ditemukan pada Industri

Kehutanan. berkurangnya sumber bahan baku dari hutan alam

sangat menggangu keberlangsungan industri kehutanan yang saat

(50)

38 Karena kayu yang dihasilkan dari hutan alam cenderung memiliki

karakteristik diameter besar, termasuk jenis-jenis komersial yang

disenangi pembeli (buyer), variasi produk yang dihasilkan lebih

banyak dan rendemen output lebih maksimal yang berasal dari hutan

alam.

Sehingga Industri pengolahan kayu harus mencari alternative

bahan baku seperti dari hutan tanaman rakyat atau kayu rakyat.

Potensi paling besar yang memungkinkan supplai untuk industri

kehutanan adalah berasal dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan

Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Sedangkan pada konteks

pengelolaan hutan tanaman rakyat proses management untuk

membuat kayu yang ditanam dapat memiliki nilai yang tinggi dan

diserap oleh industri kehutanan tidak dilakukan karena keterbatasan

pengetahuan masyarakat dan pradigma pengelolaan ditingkat tapak.

4. Rencana Pembangunan HTR di Sulsel dan Khususnya di Kabupaten Barru

Pada kasus pengembangunan HTR di Kabupaten Barru, Barru

memiliki pontensi yang cukup besar untuk pengembangan hutan

tanaman rakyat, dari data yang didapatkan di dinas kehutanan

Kabupaten Barru sendiri memiliki potensi hutan produksi yang cukup

besar dan dapat dikelolah baik untuk pengembangan HTR dan HTI

(51)

39 Data tahun 2010-2012 dikabupaten barru sendiri telah dilakukan

pencanangan Hutan tanaman Rakyat (HTR) oleh Kementiran

Kehutanan seluas 1.497 ha yang terdiri dari 3 kecamatan (lihat Tabel

3). Sedangkan yang telah mendapatkan Izin Usaha Pemanfatan

Hasil Hutan Kayu (IUPHHK HTR) Kayu dari Bupati dan telah

diverifikasi oleh sebesar 1.481 ha. Pada tahun pertengan tahun 2013

angka tersebut naik, menurut Dinas Kehutanan Barru pertengahan

tahun ini dinas kehutanan kembali mengusulkan Pencangan HTR

sebesar 14.000 ha yang tersebar hampir disetiap kecamatan, model

pengelolaannya pun menggunakan skema mandiri.

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa potensi Hutan Produksi yang telah

mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK HTR)

sebesar 1.481 ha yang berarti masih ada 1.147 ha yang sudah di

canangkan akan melakukan pengusulan izin dan 14.000 ha sedang dalam

(52)

40 Tabel 2. Hutan Produksi disetiap Kecamatan/Desa Kabupaten Barru

Kecamatan Desa Hutan Produksi Luas (ha)

(53)

41

Pujananting Bacu-bacu 2,479 411 KTH Padang Pobbo 270 KTH Padang Pobbo 208

Jumlah 8,272 1,497 1,652 1,481

Sumber : Dinas Kehutanan Barru 2012

Potensi Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat secara

nasional dan per region seperti halnya kabupaten barru terus

mengalami peningkatan dari tahun ketahun tetapi riset dan

pengembangan pengelolaann dilevel masyarakat masih sangat

minim, disisi lain banyaknya kasus industri kehutanan di Indonesia

yang gulung tikar atau bangkurt karna sulitnya mendapatkan bahan

pasokan kayu yang legal, hal ini lah yang kemudian menjadikan

kenapa riset ini penting untuk dilakukan, untuk menjadikan justifikasi

pengelolaan hutan tanaman rakyat dilakukan dengan menajemen

yang kompleks mempertimbangakan beberapa aspek seperti pola

ruang, kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, pasar dan industri,

sehingga dapat memberikan jaminan kepada masyarakat,

pemerintah daerah, Industri dan hutan akan kebutuhan setiap

(54)

42 5. Kerangka Pikir

Gambar 2. Kerangka Pikir

Pada kerangka pikir (Gambar 2), maksud yang melatar belakangi

penelitian ini jika dilihat secara makro ialahpengelolaan hutan dari

dua bagian; Pertama sektor industri yang berada pada hilir, yang

mengelola hasil kayu dari hutan dan sektor Hutan Tanaman Rakyat

yang berada di daerah hulu yang memproduksi kayu dari hutan

produksi.

Dari penjelasan tinjauan pustaka, bahwa sektor industri

mempunyai masalah yang cukup penting dalam perkembangannya Pengelolaan Hutan

Industri Kehutanan Pembangunan HTR

Pontensi Produksi Kayu Penyusutan Bahan Baku

(55)

43 saat ini. Hal tersebut ditandai dengan penurunan produksi kayu

sehingga terjadi kekurangan pasokan bahan baku bagi industri.

Akibat dari kesenjangan supply dan demand yang paling ekstrim

adalah berhentinya operasi industri kayu.

Berkurangnya sumber bahan baku dari hutan alam sangat

menggangu keberlangsungan industri kehutanan yang saat ini masih

menggantungkan supplai bahan bakunya pada hutan alam. Karena

kayu yang dihasilkan dari hutan alam cenderung memiliki

karakteristik diameter besar, termasuk jenis-jenis komersial yang

disenangi pembeli (buyer), variasi produk yang dihasilkan lebih

banyak dan rendemen output lebih maksimal yang berasal dari hutan

alam.

Sehingga Industri pengolahan kayu harus mencari alternative

bahan baku seperti dari hutan tanaman rakyat atau kayu rakyat.

Potensi paling besar yang memungkinkan supplai untuk industri

kehutanan ialah bahan baku yang berasal dari Hutan Tanaman

Industri (HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Sedangkan pada

konteks pengelolaan hutan tanaman rakyat proses menejemen

untuk membuat kayu yang ditanam dapat memiliki nilai yang tinggi

dan diserap oleh industri kehutanan tidak dilakukan karena

keterbatasan pengetahuan masyarakat dan pradigma pengelolaan

(56)

44 Disatu sisi pembangunan HTR terus dilakukan oleh pemerintah,

hal tersebut terkait dengan program pemerintah sebagai upaya

dalam melakukan pengentasan kemiskinan (pro-poor), menciptakan

lapangan kerja baru (pro-job), dan memperbaiki kualitas

pertumbuhan melalui investasi yang proporsional antar pelaku

ekonomi (pro-growth).

Pembangunan HTR sebagaimana menjadi agenda revitalisasi

pertanian, kelautan dan kehutanan. Kebijakan HTR juga merupakan

implementasi dari Kebijakan Prioritas sektor kehutanan dan

pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat sehingga sektor

kehutanan diharapkan dapat memberikan kontribusi pada

pertumbuhan ekonomi nasional, perbaikan lingkungan hidup,

mensejahterakan masyarakat dan memperluas lapangan kerja pada

areal sekitar hutan (Emila dan Suwito, 2007).

Maka dengan konsep integrasi antara kepastian produksi dan

pasar dengan basis pemberdayaan masyarakat lokal diharapkan

program HTR dapat menjadi salah satu agenda pengurangan

kemiskinan, pengurangan pengangguran, peningkatan kontribusi

kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan memenuhi

permintaan bahan baku industri kayu (Alif, dkk, 2010). Hal

tersebutlah yang mendorong penelitian ini untuk Mendesain

(57)

45

III. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Hutan Kabupaten Barru

Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini mencoba meddesain

pembangunan hutan tanaman rakyat dengan mengintegrasikan dengan

pola ruang, kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, pasar, lokasi dan

kebutuhan bahan baku industri berbasis spasial.

Waktu pelaksanaan penelitian berlangsung dari bulan Maret 2014

hingga bulan Juni 2014. Penelitian dilaksanakan melalui 3 tahap yaitu,

(1) Penelitian pendahuluan (2) Pengambilan data lapangan & data

skunder, (3) Rancangan Desain dan Rekomendasi.

B. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer

dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi pada areal

kawasan hutan kabupaten barru dan wawancara langsung dengan

petani hutan pemegang IUPHHK-HTR dan masyarakat sekitar hutan,

dinas kehutanan kabupaten Barru, penyuluh kehutanan dan lembaga

pendamping lokal. Data primer termaksud antara lain meliputi jenis

tanaman yang diminati dan ditanam masyarakat, dan model

pengelolaan HTR.

Data sekunder diperoleh dari berbagai hasil penelitian, literatur

buku, data-data dari instansi terkait, dan informasi lainnya yang terkait

(58)

46 wilayah sekitar hutan seperti : sejarah kawasan, kondisi biofisik

kawasan, dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Data

sekunder lainnya berupa informasi dan data lainnya yang mendukung

kegiatan penelitian serta bahan pustaka yang dijadikan bahan referensi

landasan teori.

C. Populasi dan Teknik Sampel

Populasi dalam penelitian ini berupa :

1. Kawasan Hutan Produksi seluas 17.312 ha di Kabupaten Barru

2. Masyarakat pengelola hutan tanaman rakyat yang telah

mendapatkan izin, pengusulan dan masyarakat yang

menggantungkan langsung hidupnya pada sekitar hutan.

3. Industri pengolah kayu yang berada di sekitar kawasan pengelolaan

hutan tanaman rakyat

4. Dinas kehutanan Kabupaten Barru serta dinas pertanian dan

perkebunan Kabupaten Barru.

Teknik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Pengambilan sampel kawasan dan masyarakat dilakukan dengan

menggunakan purposive sampling, yaitu memilih individu pewakil

kelompok HTR yang telah mendapatkan izin, yang terdiri dari ketua

kelompok, sekertaris dan anggota kelompok.

2. Pengambilan responden dilingkungan dinas kehutanan dan

penyuluh kehutanan dilakukan dengan memilih sebagian anggota

Gambar

Grafik PDB Nasional Sektor Kehutanan.……………………...
Tabel 1. Pergeseran konseptual dari paradigma kehutanan negara
Gambar 1. Grafik PDB Nasional Sektor Kehutanan
Tabel 2. Hutan Produksi disetiap Kecamatan/Desa Kabupaten Barru
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rumusan daripada analisis keseluruhan menunjukkan bahawa faktor tertinggi yang mendorong masyarakat Baba dan Nyonya di Bandar Melaka menceburi bidang keusahawanan

Selama tahun 1834 tidak ada usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh pasukan Belanda untuk menaklukkan Bonjol, markas besar pasukan Padri, kecuali pertempuran

Yaitu kondisi ketika individu mampu pulih kembali pada fungsi psikologis dan emosi secara wajar dan mampu beradaptasi dalam kondisi yang menekan, walaupun masih

Peningkatan ini terjadi karena pengalaman pengamatan siswa saat pelaksanaan demonstrasi yaitu saat mengamati kecepatan waktu yang diperlukan untuk kertas lebih cepat

Berdasarkan dengan pernyataan diatas dan dilihat dari laporan keuangan yang disajikan oleh KSP Nasional Kabupaten Pinrang, pada dasarnya pengurus koperasi telah

The result of testing hypothesis determine that the Alternative Hypothesis (Ha) stating that there was significant effect of using guided questions on writing

para santri untuk menghafal Al- Qur‟an, yang kedua motivasi yang tinggi dari ustadz dan pimpinan Pondok yaitu santri yang telah hafal satu juz denga baik dan

Pembelian Kompulsif memiliki beberapa karakteristik seperti yang dikutip oleh Iin dan prima (2006) sebagai (1) pembelian produk ditujukan bukan karena nilai guna produk; (2)