i
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT
KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
N A U F A L
P3700212006
PROGRAM STUDI ILMU KEHUTANAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
ii TESIS
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT DI KABUPATEN BARRU
Disusun dan diajukan oleh
N A U F A L
Nomor Pokok P3700212006
Telah dipertahankan di depan Panitian Ujian Tesis Pada tanggal 22 Agustus 2014
sehingga dinyatakan telah lulus dan memenuhi syarat
Menyetujui Komisi Penasihat,
Ketua Anggota
Prof. Dr. Ir. Daud Malamassam, M.Agr Prof. Dr. Ir. Baharuddin Nurkin, M.Si
Ketua Program Studi Ilmu Kehutanan
Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin
iii ABSTRAK
NAUFAL. Desain Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Kabupaten Barru (dibimbing oleh Daud Malamassam dan Baharuddin Nurkin)
Penelitian ini bertujuan (1) menentukan dan menganalisis kesesuaian lokasi untuk pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Barru, (2) menganalisis kesesuain lahan untuk jenis tanaman yang dapat dikembangan pada areal yang sesuai untuk pengembagan Hutan Tanaman Rakyat, dan (3) mendesain Rancangan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat dengan basis spasial yang terintegrasi dengan tata ruang, kesesuaian lahan, menejemen pengelolaan, preferensi pasar dan industri.
Penelitian akan membuat model desain pembangunan hutan tanaman rakyat yang terintegrasi dengan tata ruang, kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, lokasi dan kebutuhan bahan baku industri yang berbasiskan spasial.
Dari hasil analisis spasial didapatkan areal – areal yang sesuai, agak sesuai, dan tidak sesuai. Masing masing kelas sesuai seluas 1.095 ha (6.5%), agak sesuai seluas 6.373 (37.8%) dan tidak sesuai untuk dikembangkan HTR 9.388 ha seluas (55.7%). Kesimpulan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengusulan HTR dimasa yang akan datang.
iv
ABSTRACT
NAUFAL. Design of the Development of Community Forest in the Barru Regency (Supervised by Daud Malamassam dan Baharuddin Nurkin)
The study aims to : (1) determine and analyse the suitability of location for the development of community forest in Barru regency; (2) analyse the suitability of the area for plants suistable for community forest development; (3) provide a design of community forest development with a spatial base integrated to the space pattern, land suitability,management, market and industry preferences.
A model of community forest development design was made. It was integrated with space pattern, land suitability, management, market, location, and spatial-based need of industrial raw material.
Result of analysis reveals that the suitable land (1.095 hectares / 6.5%), partly-suistable land (6.373 hectares / 37.8%), and non-suitable land (9.388 hectares / 55.7%). Be Used as reference to be considered in proposing the design of community forest development in the future of HTR.
v KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Rabbil Alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Berkat dan Kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Desain Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Kabupaten Barru”, yang skaligus merupakan syarat untuk memperoleh gelar Magister di Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Begitu banyak doa, dukungan, dan perhatian yang penulis dapatkan selama penyusunan tesis ini berlangsung, sehingga segala hambatan yang ada dapat terlewati dan dapat dihadapi dengan penuh sukacita. Oleh karena itu, dengan penuh kerendahan hati, penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang telah banyak membantu dan meluangkan waktunya dalam penyelesain tesis ini:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Daud Malamassam, M. Agr dan Bapak Prof. Dr. Ir. Baharuddin Nurkin, M.Sc sebagai dosen pembimbing yang telah banyak mencurahkan tenaga dan pikirannya, meluangkan waktunya yang begitu berharga untuk memberi bimbingan dan pengarahan dengan baik, dan memberikan dukungan serta motivasi dalam penyelesaian tesis ini.
2. Bapak Prof.Dr. Supratman, S.Hut, M.P, Prof. Dr. Ir. Muh. Dassir, M.Si, dan Dr. Suhasman, S.Hut, M.Si sebagai dosen penguji yang telah meluangkan waktunya dan banyak memberi masukan, koreksi serta arahan sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan lebih baik.
3. Direktur Pascasarjana, Ketua Program Studi Ilmu Kehutanan beserta staf pengajar dan pegawai yang telah memberikan sumbangsih yang sangat besar kepada penulis.
vi
5. Kanda Haudec Herawan atas segenap bantuannya yang sangat berarti dalam penyelesaian penelitian ini. Terimkasih sekali lagi kanda.
6. Teman dan Adinda tercinta di Tim Layanan Kehutanan Masyarakat : Haeruddin, Ismed Tanunata, Aksan Firmansyah, Faisal Hidayat, Ikha rurul, Laode Muh Ikbal, Mulyadi, Laode Ifrisal, Nurul, Afif, Ridwan, Muh Ickhwan terimakasih atas dukungan tenaga dan pikirannya serta anugrahandini nasir, selalu menyelesaikan masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh penulis. Kalian adalah anak muda yang sukses dimasanya, semoga impian kalian segera tercapai.
7. Seluruh Staf di Sulawesi Community Foundation (SCF), yang telah memfasilitasi secara tidak langsung tapi sangat berdampak dalam merangkumkan dan menyelesaikan studi ini.
8. Seluruh Staf di Medialingkungan.com yang telah memberikan sumbangsih pikiran dan wawasan sehingga memberikan jalan dan pikiran yang segar dalam menyelesaikan tiap masalah yang dihadapi selama penelitian ini. Terimakasih sekali lagi untuk prosesnya.
9. Kawan-kawan peneliti di Tropical Rain Forest, yang selalu menjadi lawan diskusi dan teman berfikir, sehingga membuka wawasan baru dalam penyelesai studi ini.
10. Teman teman seperjuangan Ilmu kehutanan Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin 2012, terimakasih atas segala canda tawa, dan waktu suka duka yang telah dilalui bersama. Kalian semua bisa, ini hanya persoalan waktu.
11. Secara khusus penghargaan, rasa hormat dan rasa terima kasih yang tak terhingga ku persembahkan kepada kedua orang tua ku tercinta: Asmin Dunggio dan Adam Achmad yang telah membesarkan, mendidik dan mendoakan dengan segala kasih sayang dan perhatian beliau selama ini, sehingga selalu diberikan jalan untuk menyelesaikan studi hingga jenjang Magister.
vii membangun sangat penulis harapkan. Kiranya tesis ini dapat bermanfaat serta dapat menjadi salah satu bahan informasi pengetahuan bagi pembaca sekalian.
Makassar, Agustus 2014
viii DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN... ii
ABSTRAK ... iii
1. Pengelolaan Hutan Konvensional & Permasalahan ... 7
2. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) ... 9
B. Perkembangan Industri Perkayuan & Permasalahan Bahan Baku ... 17
1. Kebijakan Industri Perkayuan ... 17
2. Degradasi/Penurunan Potensi Hutan ... 20
ix
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN A. Kawasan Hutan ... 55
B. Hutan Tanaman Rakyat & Perkembangannya ... 56
C. Kondisi BIofisik Kawasan ... 56
x
F. Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat ... 86 1. Kelembagaan... 86 2. Adaptibilty ... 88
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 91 B. Saran ... 92
xi DAFTAR TABEL
No Teks Halaman
1. Pergeseran Konseptual Dari Paradigma Kehutanan Negara ke
Kehutanan Masyarakat………...…………..………... 11
2. Hutan Produksi disetiap Kecamatan/Desa Barru ….…………... 40
3. Luas Pencanagan & Izin HTR Kabupaten Barru…….…………. 41
4. Bobot Landuse terhadap HTR………. 48
5. Bobot Jarak Pemukiman terhadap HTR……….… 48
6. Bobot Kelas Lereng terhadap HTR………. 49
7. Klasifikasi Kelas Kesesuian Pengembangan HTR………... 50
8. Luas Kawasan Hutan dalam setiap Kecamatan………... 55
9. Penggunaan Tanah………... 59
10. Perensentase Kemiringan Lahan………..……….. 60
11. Persentase Ketinggian Lahan……….. 62
12. Jenis Tanah………. 62
13. Kelas Kesesuain Pengembangan HTR……….. 64
14. Daftar jenis tanaman yang berpotensi dikembangkan…………. 69
15. Kesesuian Lahan HPT……….. 69
16. Skenario Pembangunan HTR, melalui jenis Sengon & Jati…… 76
17. Volume dan Nilai Produksi HTR untuk Skenario Pesimis……... 78
18. Volume dan Nilai Produksi HTR untuk Skenario Moderat...…... 78
19. Volume dan Nilai Produksi HTR untuk Skenario Optimis……... 78
xii DAFTAR GAMBAR
No Teks Halaman
1. Grafik PDB Nasional Sektor Kehutanan.………... 26
2. Hutan Produksi disetiap Kecamatan/Desa Barru………. 40
3. Kerangka Pikir……… 42
4. Kerangka Penelitian………...………,………. 52
5. Curah Hujan Rata-Rata Bulanan Kabupaten Barru..….….…. 59
6. Histogram Hari Hujan Rata-Rata Bulanan………. 60
7. Kelembapan Udara Rata-Rata Bulanan………..……..… 61
8. Peta Kelas Kesesuian Pengembangan HTR……… 67
9. Peta Kesesuain Lahan HPT..…………..………...…. 70
10 . Peta Kelas Kesesuain Pengembangan Terhadap Eksisting HTR……….….… 73
11 Peta Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten Barru...…… 85
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak tahun 2007 Pemerintah, khususnya Kementerian Kehutanan
telah menggiatkan program pembangunan Hutan Tanaman Rakyat
(HTR). Program pembangunan HTR merupakan kebijakan Pemerintah
yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan (pro-poor), menciptakan lapangan kerja baru (pro-job) dan memperbaiki kualitas pertumbuhan melalui investasi yang proporsional antar pelaku ekonomi
(pro-growth). Kebijakan HTR memberikan akses lebih kepada masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, dalam Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan.
Berdasarkan P.10/Menhut-II/2011, salah satu dari enam kebijakan
prioritas pembangunan kehutanan tahun 2010-2014 adalah Revitalisasi
Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan. Pemanfaatan hutan alam
dalam memenuhi kebutuhan industri kehutanan saat ini sudah tidak
dapat diharapkan lagi. Kondisi hutan alam yang terdegradasi akibat
illegal logging dan kebakaran hutan, menyebabkan kurangnya suplai
kayu untuk industri kehutanan dan pembangunan nasional secara
kompleks. Pengembangan hutan tanaman, baik hutan tanaman industri
2 kebutuhan industri kayu nasional agar tetap dapat berjalan dan tumbuh
untuk masa kini dan masa yang akan datang.
Permasalahan lainnya dalam pengelolaan hutan di Indonesia
adalah rendahnya pendapatan masyarakat dari usaha kehutanan.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa peran hutan rakyat dan hutan
produksi yang dapat diakses oleh masyarakat melalui skema
pengelolaan hutan yang berbasiskan masyarakat, belum berfungsi
secara optimal. Rendahnya pendapatan masyarakat melalui usaha
kehutanan berdampak terhadap tingginya kegiatan konversi lahan
hutan menjadi usaha non kehutanan. Selain itu kehidupan
masyarakat desa sekitar hutan tidak bisa dipisahkan dengan hutan
sebagai tempat menggantungkan hidupnya. Paradigma baru
pembangunan pengelolaan kehutanan yang melibatkan masyarakat
menjadi harapan baru untuk memecahkan permasalahan kehutanan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Hasanuddin
bekerjasama dengan Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah
Sulawesi Selatan mengindikasikan bahwa terdapat beberapa
kendala terkait dengan implementasi program Hutan Tanaman
Rakyat di Sulawesi Selatan. Kendala-kendala tersebut antara lain
meliputi, belum adanya kesepahaman bersama mengenai pentingnya
HTR dalam membangun kesejahteraan masyarakat dan
perekonomian daerah, belum adanya inisiatif Pemerintah Kabupaten
3 rakyat, mekanisme yang birokratis, hingga kurangnya komunikasi
antara Kementerian Kehutanan dengan Pemerintah Kabupaten.
Permasalahan tersebut di atas disebabkan oleh belum adanya model
pengelolaan di tingkat tapak yang mengatur fungsi stakeholder terkait
(Alif, dkk, 2010)
Masalah lain yang cukup serius adalah masalah yang ditemukan
pada Industri Kehutanan. Berkurangnya sumber bahan baku dari hutan
alam sangat menggangu keberlangsungan industri kehutanan yang saat
ini masih menggantungkan supplai bahan bakunya pada hutan alam.
Karena kayu yang dihasilkan dari hutan alam cenderung memiliki
karakteristik diameter besar, termasuk jenis-jenis komersial yang
disenangi pembeli (buyer), variasi produk yang dihasilkan lebih banyak
dan rendemen output lebih maksimal yang berasal dari hutan alam.
Sehingga Industri pengolahan kayu harus mencari alternative bahan
baku seperti dari hutan tanaman rakyat atau kayu rakyat. Potensi paling
besar yang memungkinkan supplai untuk industri kehutanan adalah
berasal dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat
(HTR). Sedangkan pada konteks pengelolaan hutan tanaman rakyat
proses management untuk membuat kayu yang ditanam dapat memiliki
nilai yang tinggi dan diserap oleh industri kehutanan tidak dilakukan
karena keterbatasan pengetahuan masyarakat dan pradigma
4 Kabupaten Barru memiliki potensi yang cukup besar untuk
pengembangan hutan tanaman rakyat, Berdasarkan data yang
didapatkan di Dinas Kehutanan, Barru memiliki pontensi hutan produksi
yang cukup besar dan dapat dikelolah dengan baik untuk kepentingan
pengembangan HTR dan HTI yaitu sebesar 17.312 ha (Dishut Barru,
2012)
Pada tahun 2010-2012 Kementerian Kehutanan telah
mencanangkan pembangunan Hutan tanaman Rakyat (HTR) oleh seluas
1.497 ha di Kabupaten Barru, yang terdiri dari 3 kecamatan, yaitu
kecamatan Balusu, Kecamatan Barru dan Kecamatan Pujananting. Areal
ini telah mendapatkan Izin Usaha Pemanfatan Hasil Hutan Kayu
(IUPHHK HTR) dari Bupati dan telah diverifikasi seluas 1.481 ha. Angka
tersebut dipastikan akan naik, karena Dinas Kehutanan Barru pada
pertengahan tahun 2013 kembali mengusulkan Pencangan HTR sebesar
14.000 ha yang tersebar hampir disetiap kecamatan, dengan model
pengelolaan yang menggunakan skema mandiri.
Dalam rangka mendukung kelancaran dan keberhasilan
pembangunan Hutan Tanaman Rakyat termaksud diatas, dibutuhkan
suatu perencanaan yang bersifat komperhensif. Sehubungan dengan itu
maka penelitian ini difokuskan pada upaya untuk mendesain
pembangunan Hutan Tanaman Rakyat secara kompleks, guna
5 terintegrasi pada pola ruang, kesesuian lahan, pengelolaa/kelompok
tani, pasar dan industri.
B. Rumusan Masalah
Melihat hal diatas, Potensi Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat
secara nasional dan perregion, termasuk di Kabupaten Barru terus
mengalami peningkatan dari tahun ketahun sedangkan riset dan
pengembangan pengelolaan pada level pengelolaan HTR masih sangat
minim, disisi lain banyaknya kasus industri kehutanan di Indonesia yang
bangkrut karna sulitnya mendapatkan bahan baku pasokan kayu yang
legal, hal ini lah yang kemudian menjadikan kenapa riset ini penting untuk
dilakukan, agar bagaimana mendesain pembagunan Hutan Tanaman
Rakyat secara kompleks untuk menjawab beberapa gap kebutuhan
Industri, Pengelolaah HTR, dan Pemda pada konteks pengelolaan hutan
tanaman rakyat yang terintegrasi pada pola ruang, kesesuaian lahan,
pengelola/masyarakat, pasar, lokasi dan kebutuhan bahan baku industri
C. Tujuan Penlitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis dan menentukan tingkat kesesuaian lokasi untuk
pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Barru.
2. Menganalisis kesesuain lahan untuk jenis – jenis tanaman yang
dapat dikembangan pada areal yang sesuai untuk pengembagan
6
3. Mendesain Rancangan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat
dengan basis spasial yang terintegrasi dengan pola ruang,
kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, pasar dan industri. Desain
tersebut meliputi areal-areal yang sesuai untuk dikembangkan,
jenis-jenis tanaman, skenario pengelolaan, kelembagaan, serta jenis-jenis dan
lokasi industri.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi model rancangan
pembangunan hutan Tanaman Rakyat yang secara kompleks dan
terintegrasi dengan pola ruang, kesesuain lahan, pasar dan industri,
sehingga diharapkan mendapatkan manfaat yang lebih dalam
pembangunan kehutanan yang berbasiskan “suistanable forest
7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengelolaan Hutan
1. Pengelolaan Hutan Konvensional dan Permasalahannya
Selama dua dasawarsa terakhir strategi pengusahaan hutan
telah terbukti mampu memberikan peranan besar dalam
pembangunan ekonomi, namun pembangunan ekonomi di sektor
kehutanan yang selama ini dilakukan tidak memperhatikan aspek
pelestarian terhadap lingkungan. Akibatnya terjadi bencana alam
yang disebabkan oleh kerusakan hutan. Masih lemahnya komitmen
lembaga-lembaga yang berwenang dalam melakukan pengawasan
terhadap kelestarian hutan semakin memperparah laju tingkat
kerusakan hutan (Kartodihardjo, 2008).
Masalah yang sangat kompleks pada hutan dan kehutanan di
Indonesia sangat tinggi baik dari segi administrasi sampai pada
proses implemntasi dilapangan, kurangnya pengetahuan mengenai
dinamika hutan, serta dominasi kepentingan dan keuntungan jangka
pendek, telah mengakibatkan kegagalan sebagian besar program
penanaman kembali.
Karena prosedur pembangunan kembali hutan tropis bekas
tebangan belum dikembangkan dengan baik, maka badan
kehutanan mengalami kesulitan untuk menetapkan dana reboisasi
8 lanjut, kebijakan perundang-undangan masa lalu hanya mempunyai
sedikit pengaruh untuk memperbaiki manajemen pengusahaan
kayu, seringkali disebabkan karena kebijakan tersebut tidak
mempertimbangkan kemampuan Departemen Kehutanan untuk
melaksanakan perundang-undangan tersebut (Lahjie, 2003).
Mengantisipasi permasalahan yang telah disebutkan
sebelumnya maka Lahjie (2003) sepakat dengan konsep
pengelolaan hutan lestari. Pengelolaan hutan lestari lebih dikenal
dengan istilah sustainable forest management. ITTO mendefinisikannya sebagai proses pengelolaan lahan hutan untuk
mencapai satu atau lebih tujuan yang ditetapkan menyangkut
keseimbangan produksi dari hasil hutan dan jasa yang diinginkan
serta tidak mendapatkan dampak buruk yang tidak diinginkan.
Secara operasional, definisi tersebut mencakup unsur-unsur sebagai
berikut :
1. Hasil yang berkesinambungan berupa hasil hutan kayu, hasil
hutan non kayu dan jasa pengelolaan hutan.
2. Mempertahankan tingkat biodiversitas yang tinggi dalam konteks
perencanaan tata guna lahan integratif mencakup jaringan kerja
kawasan lindung dan kawasan konservasi.
3. Menjaga stabilitas fungsi dan ekosistem hutan dengan
9 productivity), menjaga sumber benih dan unsur biodiversitas
hutan yang diperlukan untuk regenerasi dan pemeliharaan hutan.
4. Meningkatkan dampak positif pada kawasan hutan dan
mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan dampak yang
merugikan.
5. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan
dan berupaya menyelesaikan potensi konflik.
2. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM)
Pemanfaatan hutan menurut Undang-Undang Kehutanan
Nomor 41 Tahun 1999 bertujuan memperoleh manfaat yang optimal
bagi kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan dengan tetap
menjaga kelestariannya. Definisi tersebut memberikan kata kunci
bagi pengelolaan hutan yaiitu konservasi dan kesejahteraan
masyarakat. Pengelolaan hutan harus memberikan manfaat bagi
masyarakat yang berada pada kawasan hutan (Nadia, 2011).
Dalam mewujudkan konservasi dan kesejahteraan masyarakat,
diperlukan upaya bersama dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan
hutan berbasis masyarakat menjadi konsep alternatif pengelolaan
saat ini. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat sering kali disebut
Community Based Forest management (CBFM). Menurut
Supratman (2006), nilai inti pembangunan CBFM adalah ideologi
dasar yang bersifat permanen tidak berubah menurut waktu, tempat,
10 inti pembangunan CBFM dikonstruksi dari nilai-nilai kearifan
masyarakat membangun dan mengelola hutan seperti nilai spiritual,
modal sosial, prinsip hidup, inisiatif lokal pelayanan publik kehutanan
oleh lembaga lokal, dan nilai manfaat ekonomi langsung. Nilai-nilai
tersebut menyatu dalam suatu konsep nilai inti.
Hingga saat ini perkembangan kebijakan pembangunan
kehutanan terus didorong kearah CBFM. Pergerakan yang
mendorong kearah kebutuhan paradigma baru kehutanan dapat
dilihat dari gerakan kehutanan masyarakat oleh semua pihak, baik
dari masyarakat, pemerintah, pemerhati lingkungan, perguruan
tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat. Gerakan ini terlihat jelas
dengan semakin banyak pemikiran-pemikiran dan berbagai konsep
untuk mewujudkan CBFM menjadi dasar pembangunan kehutanan.
Gerakan masyarakat dan LSM dalam mewacanakan sistem
pengelolaan hutan masyarakat setempat dan penguatan hukum adat
semakin mewarnai dorongan perubahan (Patiung, dkk, 2006).
Awang (2001) mengatakan bahwa gagasan community forestry
(CF) atau kehutanan masyarakat diyakini menjadi cara terbaik untuk
membangun sumberdaya hutan. Dalam konteks Indonesia,
kehutanan masyarakat diartikan sebagai sistem pengelolaan hutan
yang dilakukan oleh individu, komunitas atau kelompok. Pengelolaan
tersebut dilakukan pada lahan negara, lahan adat, atau lahan milik
11 tangga dan masyarakat serta dapat dilakukan secara komersial
ataupun non komersial (subsisten). Pengertian ini akan berimplikasi
pada sistem pengelolaan hutan. Apabila dibandingkan karakteristik
antara pengelolaan hutan yang state based dengan community
based maka akan terlihat berbagai perubahan paradigmatik seperti
yang ditunjukkan oleh tabel di bawah ini :
Tabel 1. Pergeseran konseptual dari paradigma kehutanan negara dengan kehutanan masyarakat.
No. Kehutanan Negara (dari) Kehutanan Masyarakat (Menuju) A. SIKAP DAN ORIENTASI
1. Pengendalian Dukungan/fasilitasi 2. Penerima manfaat Mitra kerja
3. Pengguna Pengelola
4. Pembuatan keputusan uni
lateral Partisipatif
5. Orientasi peneriman Orientasi sumberdaya 6. Keuntungan nasional Orientasi keadilan lokal 7. Diarahkan oleh negara Proses belajar/evolusi B. INSTITUSIONAL DAN ADMINISTRATIF
8. Sentralisasi Desentralisasi
9.
Manajemen (perencanaan, pelaksanaan, monitoring) oleh pemerintah
Kemitraan
10. Top down Partisipatif/negosiatif 11. Orientasi target Orientasi proses
12. Anggaran kaku untuk rencana kerja besar
12 13. Aturan-aturan untuk
menghukum Penyelesaian konflik C. METODA MANAJEMEN
14. Kaku Fleksibel
15. Tujuan tunggal Tujuan ganda/beragam 16. Keseragaman Keanekaragaman 17. Produk tunggal Produk beragam
18.
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) merupakan
alternatif pengembangan pengelolaan hutan ke depan. Di bawah ini
terdapat 8 kriteria yang menyatakan pentingnya konsep PHBM
dilaksanakan (Suwarno, 2011).
a) Pendapatan Nasional
Melalui PHBM pendapatan nasional dari sub sektor kehutanan
akan meningkat secara nyata. Peningkatan terjadi karena
pengaruh efek massal positif dari pengerahan sumberdaya manusia sekitar 40 juta orang dalam memanfaatkan sumberdaya
hutan, baik manfaat aktual maupun manfaat potensial. Manfaat
aktual antara lain berupa kayu, hasil hutan non kayu dan jasa
wisata sedangkan manfaat potensial antara lain berupa
13 usaha lebah madu, ulat sutera, dan lain-lain. Peningkatan
pendapatan masyarakat dari sub sektor kehutanan ini akan
memberikanmultiflier effect terhadap sektor ekonomi lainnya. b) Pendapatan Negara
Pendapatan negara dari sub sektor kehutanan akan diperoleh
secara langsung dari usaha komersial bersama masyarakat
(produksi kayu, getah, rotan, ekowisata, dll), dan secara tidak
langsung diperoleh melalui pajak dan retribusi yang dikenakan
kepada masyarakat. Program PHBM juga diharapkan bisa
mengurangi kebocoran kas negara dengan memperkecil
terjadinya praktek-praktek KKN dalam tata usaha kayu dan hasil
hutan lainnya.
c) Pemerataan Pendapatan dan Lapangan Kerja
Dengan PHBM tidak ada lagi monopoli penguasaan hutan oleh
segelintir orang. Masyarakat diharapkan tidak lagi hanya
berstatus sebagai penonton atau buruh rendahan di negeri
sendiri. Masyarakat diharapkan memperoleh hak-hak akses
terhadap hutan, mampu menjadi tuan untuk mengatur dan
memanfaatkannnya secara bertanggung jawab. Sekitar 40 juta
jiwa bangsa Indonesia yang hidup di dalam kawasan
hutan. PHBM akan memberikan prioritas lapangan kerja kepada
14 d) Kekuatan struktur ekonomi
PHBM sejiwa dengan program ekonomi kerakyatan. Masyarakat
Indonesia yang tinggal di dalam kawasan hutan umumnya masih
berada dalam kontinum budaya meramu pertanian tradisional. Mereka memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap flora dan fauna hutan, juga terhadap ketersediaan lahan
garapan. Pola tersebut apabila bisa dicegah dari praktek-praktek
destruktif, akan menjadi bagian dari basis struktur ekonomi
nasional yang handal.
e) Neraca Sumber Daya Alam
Kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dalam PHBM akan sangat
dipengaruhi oleh kualitas institusi (kelembagaan) yang
dibentuk. Institusi yang baik akan dapat menyeimbangkan unsur
input dan output, sehingga kelestarian hutan tetap
terjaga. PHBM memiliki potensi yang lebih tinggi membentuk
institusi pengelolaan hutan yang lebih baik dan kuat dibanding
sistem lainnya yang telah ada saat ini. Dikatakan memiliki
potensi yang lebih tinggi karena masyarakat hutan sejak dahulu
telah mempunyai nilai-nilai kearifan tradisional berkaitan dengan
alam. Saat ini kearifan tersebut sedang mengalami degradasi
luar bisaa disebabkan ekspasi sistem ekonomi pasar. Tugas
15 pengelolaan berbasis kearifan tradisional ini dan diintegrasikan
dengan ilmu pengetahuan modern.
f) Nilai Ekonomi
Keragaman produk hasil hutan khas Indonesia, diyakini memiliki
keunggulan komparatif di pasaran dunia. Keunggulan tersebut
ada bukan karena polesan teknologi, melainkan kekhasan
kualitas alamiahnya. Sebagai contoh, rotan Indonesia dikenal
sebagai rotan berkualitas terbaik di dunia. Selain rotan,
produk-produk seperti kayu jati dan getah damar menjadi ciri khas
tersendiri karena negara lain jarang atau bahkan tidak bisa
memproduksi produk tersebut.
Keunggulan komparatif ini sangat ditentukan oleh kemampuan
dan strategi kepemimpinan pemerintah. Bila PHBM mampu
mengalihkan orientasi pemanfaatan hutan dari timber oriented menjadi pengambilan manfaat-manfaat lainnya (terutama hasil hutan non kayu) yang tidak merusak kelestarian
ekosistem, maka multiproduk hutan ini sangat berpotensi untuk
meningkatkan perolehan keuntungan dari hutan. Banyak
jenis-jenis hasil hutan non kayu yang setiap unitnya memiliki nilai
ekonomi jauh lebih tinggi daripada kayu, misalnya gaharu, madu,
tanaman obat, rotan, dan lain-lain. Hal tersebut semakin baik bila
kita mampu menciptakan bentuk-bentuk inovasi usaha yang
16 g) Kapasitas Lingkungan Hidup
Ada kekhawatiran terhadap pengerahan massal sejumlah besar
masyarakat kedalam hutan untuk mengelola dan memanfaatkan
hutan bisa menimbulkan resiko kerusakan hutan. Namun di sisi
lain apabila kita merefleksikan praktek-praktek di masa lalu,
sesungguhnya masyarakat sekitar hutan telah memiliki nilai-nilai
kearifan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun dalam
mengelola sumberdaya lingkungan. Oleh karena itu, pengaruh
PHBM terhadap kapasitas lingkungan akan ditentukan oleh hidup
tidaknya kembali kearifan lokal serta penerapan inovasi teknologi
baru yang ramah lingkungan.
h) Sumberdaya Genetik Generasi Mendatang
Nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat mempunyai
semacam pantangan untuk merusak sumberdaya lingkungan
dengan semena-mena. Institusi sosial yang dibangun sesuai
dengan karakteristik sumberdaya alam yang dikelola, akan
memberikan perlindungan yang efektif terhadap sumberdaya
alam itu sendiri. Pelanggaran oleh satu anggota masyarakat,
akan mendatangkan sanksi sosial yang keras dari kesatuan
anggota masyarakat yang lainnya. Ketika keanekaragaman
sumberdaya hayati telah menjadi unsur yang disepakati untuk
dilindungi, maka keberadaannya akan lebih terjamin untuk
17 B. Perkembangan Industri Perkayuan dan Permasalahan Bahan
Baku
1. Kebijakan Industri Perkayuan
Pengelolaan sumber daya hutan secara lestari dan
berkelanjutan merupakan kewajiban bagi bangsa Indonesia untuk
menjawab amanat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 “bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”. Pasal ini diatribusi ke dalam UU No. 41 T ahun 1999
tentang Kehutanan, yang kemudian mengalami perubahan
berdasarkan Perpu No. 1 T ahun 2004. Perpu ini kemudian
disahkan sebagai UU No. 19 Tahun 2004.
Dalam pasal 2 UU No. 41 T ahun 1999 disebutkan bahwa
“Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari,
keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan“. Secara
teoritis, dalam asas ini terlihat upaya pemerintah untuk
mengimplementasikan 4 prinsip good governance dalam
penyelenggaraan kehutanan guna menjamin dan melindungi serta
mengamankan fungsi hutan (Forest Watch Indonesia, 2011).
Selanjutnya pada masa orde baru, kewenangan perizinan
industri pengelolahan kayu dikuasi oleh pemerintah pusat, dibawah
kewenangan Departemen Perindustrian dan Pedagangan, Upaya
18 dengan kemudahan birokrasi. Wujud sentratlistik tersebut
ditegaskan dalam PP No.17 Tahun 1986 yang menyebutkan bahwa
kewenangan industri berada ditangan presiden yang
pelakasanaannya diserahkan kepada Menteri Perindustrian, serta
tanggung jawab menteri-mentri lain sesuai dengan bidangnya
(Greenomics Indonesia, 2004).
PP No. 17 Tahun 1986 ditindaklanjuti dengan PP No.13 tahun
1987 tentang Izin Usaha Industri, yang mengatur ketentuan bahwa
izin usaha industri merupakan kewenangan Manteri Perindustrian.
Bentuk perizinan idnustri yang menjadi kewenangan Departemen
Perindustrian tersebut terdiri dari izin tetap dan izin perluasan.
Kewenangan Departemen Perindustrian tidak hanya mencakup
kewenangan perizinan, namun juga diperluas dalam bentuk
kewenangan pembinaan terhadap iklim usaha, sarana, usaha, dan
produksi dari industri pengelolaan kayu. Selain pembinaan jufa
dilakukan pengawsan terhadap perusahan industri yang telah
mendapatkan izin usaha industri (Greenomics Indonesia, 2004).
Pada tahun 1997, Menteri Perindustrian dan Perdagangan
melimpahkan kewenangan perizinan dibidang industri dan
perdagangan kepada Dirjen Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan,
dengan pertimbangan untuk kelancaran proses perizinan bidang
industri dan perdagangan. Pelimpahan kewenagan tersebut
19 Menteri Kehutanan juga melimpahkan kewenangan dalam hal
pelaksanaan kepemilikan dan keterkaitan HPH dengan industri
pengelolaan kayu kepada Dirjen Pengusahaan Hutan, dengan
pertimbangan untuk efisiensi dan mempercepat pelayanan
(Greenomics Indonesia, 2004).
Bentuk kewenangan yang diberikan kepada Direktur Jendral
Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan meliputi kewenangan dalam
pemberian izin, kewenangan menoloak permohonan, pemberian
peringatam, pembekuan dan pencabutan izin industri (Greenomics
Indonesia, 2004).
Setelah rezim orde baru yang ditandai dengan lahirnya era
otonomi daerah, memberikan dampak pada dimulainya proses
desentralisasi kewenangan terkait dengan perizinan industri
pengelolaan kayu. Pelimpahan sebagaian urusan dan kewenagan
pusat kepada daerah yang diatur melalui UU No.22 tahun 1999 dan
UU No.25 tahun 1999 juga mencakup kewenangan perizinan industri
pengelolaan kayu. Pada oktober 1999, Menteri Perindustrian dan
Perdagangan menetapkan pelimpahan kewenangann pemberian
izin bidang industri dan perdaganan kepada Kabupaten/Kota dan
Provinsi.
Kewenangan tersebut mencakup kewenangan untuk
memberikan peringatan, pembekuan, dan pencabutan izin.
20 berdasarkan nilai investrasi perusahaan industri yang bersangkutan,
tanpa memperhatikan volume atau kapasitas produksi industri itu
sendiri (Greenomics Indonesia, 2004).
Izin usaha industri pengolahan kayu dapat diberikan kepada
perorangan, perusahan, persekutuan atau badan hukum yang
berkedudukan di Indonesia. Pelimpahan kewenangan pemberikan
perizinan industri pengelolaan kayu tersebut mencakup industri
penggergajian kayu, industri pengawetan kayu, industri kayu lapis,
industri kayu lapis laminasi termasuk Decorative Plywood, industri
panel kayu lainnya, industri venner dan industri moulding dan
komponen bahan bangunan.
Dengan adanya pelimpahan kewenangan perizinan industri
pengelolaan kayu kepada pemerintah daerah, maka pemerintah
pusat berperan dalam pembinaan industri. Kewenagan pembinaan
berada pada Direktur Jendral Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan
untuk perusahaan dengan nilai ivenstasi diatas 1 Milyar. Sedangkan
untuk perusahaan industri dengan nilai investasi sampai dengan 1
milyar, kewenangan pembinaannya berada pada Direktur Jendral
Industri Kecil dan Dagangan Kecil (Greenomics Indonesia, 2004).
2. Degradasi / Penurunan Potensi Hutan
Berdasarkan hasil temuan Forest Watch Indonesia (2011),
mengemukakan beberapa temuan-temuan terkait deradasi yang
21 Pertama, Laju deforestasi pada periode tahun 2000-2009 adalah sebesar 1,51 juta ha/tahun, dengan laju deforestasi terbesar
terjadi di Kalimantan yaitu sebesar 550.586,39 ha/tahun. Jika laju
deforestasi tidak ditekan, diperkirakan pada tahun 2020 tutupan
hutan di Jawa akan habis dan pada tahun 2030 tutupan hutan di
Bali-Nusa T enggara juga akan habis.
Kedua, Pada tahun 2003, sektor kehutanan memberikan sumbangan 1,09% terhadap produk domestik bruto, menurun
menjadi 1,05 persen pada tahun berikutnya. Pada tahun 2008,
kontribusi ini hanya 0,79 persen. Kecenderungan penurunan
kontribusi ini menjadi pertanyaan mengingat pada rentang waktu
yang relatif sama, produksi kayu bulat nasional justru meningkat
drastis dalam jangka 4 tahun, yaitu dari 11,42 juta meter kubik pada
tahun 2003 menjadi 31,49 juta meter kubik pada tahun 2007 dan
meningkat lagi menjadi 31,98 juta meter kubik pada tahun 2008.
Ketiga, kebijakan produksi kayu nasional selama ini menopang pengrusakan hutan alam Indonesia:
a) Tingginya total produksi tahunan dari seluruh izin pemanfaatan
kayu mengindikasikan adanya aktivitas pembukaan hutan alam
setiap tahun dengan luasan yang berbading lurus
b) Kebutuhan kawasan hutan untuk aktivitas di luar sektor
22 c) Pemegang konsesi hutan tanaman industri banyak melakukan
pemanenan terhadap kayu hutan alam secara besar-besaran
dengan memanfatakan izin pemanfaatan kayu
Keempat, berkurangnya luas areal kerja Hak Pengusahaan Hutan berjalan seiring dengan berkurangnya tutupan hutan. Pada tahun
2000, luas areal Hak Pengusahaan Hutan seluas 39, 16 juta ha,
sedangkan tahun 2009 menurun menjadi 26,16 juta ha. Pada
rentang waktu yang sama tutupan hutannya berkurang dari 22,01
juta ha menjadi 20,42 juta ha.
Kelima, laju deforestasi di kawasan hutan produksi dan hutan produksi terbatas yang dilakukan oleh perusahaan pemegang
konsesi Hak Pengusahaan Hutan antara lain disebabkan oleh:
perusahaan tidak melakukan kewajiban silvikultur tebang pilih
tanam Indonesia yang dipersyaratkan bagi unit manajemen Hak
Pengusahaan Hutan, tidak mel akukan pengayaan, menyusun
laporan realisasi fiktif, Laporan Hasil Cruising fiktif, tidak
melakukan inventarisasi tegakan, tidak melakukan penataan
batas secara lugas, menebang di luar areal kerja tahunan,
menebang melebihi jatah tebangan, menerima hasil-hasil
pembalakan liar.
Forest Watch Indonesia (2011), juga menuliskan bahwa terjadi
tekanan terhadap kawasan hutan secara tidak langsung dapat
23 hutan. Mekanisme paduserasi tataguna hutan kesepaatan dengan
rencana tata ruang wilayah Provinsi, tidak diikuti dengan aturan
yang jelas dan tegas. Tidak ada mekanisme penyelesaian konflik
kepentingan antara Kementerian Kehutanan dengan Pemda
dalam proses paduserasi.
Akibatnya, meski belum melalui proses paduserasi, pemda
kerap menjadikan Rencana Tata Ruang Wilayah. Ditambah lagi
Kebijakan-kebijakan yang kontra produktif menjadi katalis
perusakan hutan alam menjadi perkebunan terutama perkebunan
sawit. Peraturan yang ada sebenarnya mengatur kriteria pelepasan
untuk keperluan perkebunan dimana hutan yang dapat
dilepaskan adalah HutanProduksi yang dapat dikonversi.
Namun karena ketidakjelasan aturan, Hutan Produksi dapat
dirubah menjadi Hutan Produksi Konversi yang tidak lama
berselang dapat dilepaskan secara parsial menjadi perkebunan.
Pada berbagai kasus, perusahaan tidak segan-segan untuk
melakukan pembukaan lahan dengan membabat hutan tanpa izin
pelepasan kawasan.
Sektor pertambangan juga memberi tekanan yang besar
terhadap kawasan hutan. Hingga tahun 2011 lebih dari 6.000
kuasa pertambangan diterbitkan di dalam kawasan hutan dan
hanya sekitar 200 unit yang telah memiliki izin pinjam pakai
24 diragukan , praktik-praktik ilegal pertambangan di kawasan hutan
seolah tidak tersentuh oleh hukum (Forest Watch Indonesia, 2011).
3. Kesenjangan antara Potensi Hutan dan Kebutuhan Bahan Baku Memasuki abad 21, pembangunan kehutanan Indonesia
dihadapkan pada permasalahan yang makin kompleks dan bersifat
multidimensional. Salah satu masalah yang cukup menonjol adalah
masalah tidak seimbangnya antara pasokan kayu bulat terhadap
permintaan bahan baku industri pengolahan kayu. Beberapa faktor
dominan yang menyebabkan tidak seimbangnya antara pasokan
dan permintaan kayu antara lain adalah menurunnya potensi
produksi hutan alam yang diakibatkan oleh menyusutnya hutan
perawan (virgin forest) dan meningkatnya luas areal bekas tebang
(log over forest). Selain itu pasokan kayu bulat yang berasal dari
hutan tanaman yang telah lama dicanangkan oleh pemerintah
sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan
(Prahasto & Nurfatriani 2001).
Dalam konteks industrialisasi di Indonesia, industri kayu
memiliki peluang untuk dapat dikembangkan, mengingat Indonesia
memiliki keunggulan komparatif berupa tersedianya lahan yang luas
untuk menyediakan bahan baku kayu sebagai sumber daya alam
dari hutan tanaman. Industri kayu mempunyai potensi yang kuat dari
sisi internal supply serta sebagai salah satu unsur dalam pilar industri
25 sumberdaya alam seringkali terbatas meskipun sumber daya
tersebut termasuk yang dapat diperbaharui (Clawson & Sedjo, 1982)
mengingatkan bahwa ketersediaan sumber daya hutan dan jaminan
manfaat jangka panjang tergantung pada tindakan saat ini dan yang
akan datang.
Permasalahan utama industri perkayuan adalah terjadinya
penurunan produksi kayu yang diambil dari hutan, sehingga terjadi
kekurangan pasokan bahan baku bagi industri. Akibat kesenjangan
supply dan demand yang paling ekstrim adalah berhentinya operasi
industri kayu. Dampak terjadinya penurunan pasokan terhadap
ekonomi nasional dapat dilihat dari adanya kecenderungan
menurunnya kontribusi kehutanan yang tercermin dari menurunnya
nilai PDB sektor kehutanan (Gambar 1). Departemen Perindustrian
(2005) juga mencatat. bahwa penurunan ekspor barang-barang kayu
pada periode tahun 2001 – 2005 sebesar 1,7%.
Sedangkan Kebutuhan industri perkayuan Indonesia
diperkirakan 70 juta meter kubik per tahun dengan kenaikan
rata-rata sebesar 14,2%/tahun (Pryono, 2001). Untuk produksi kayu
bulat sendiri diperkirakan hanya sebesar 25 juta meter kubik per
tahun atau dengan kata lain terjadi defisit sebesar 45 juta meter
kubik. Hal ini menujukkan bahwa sebenarnya daya dukung hutan
26 Gambar 1. Grafik PDB Nasional Sektor Kehutanan
Menyikapi kondisi ini industri perkayuan harus memiliki
strategi yang tepat dalam menjaga kelanjutan proses produksinya
ditengah krisis ekonomi yang berkepanjangan. Industri perkayuan
harus dapat mempertahankan kondisi dimana bahan baku kayu
bulat tetap dalam kondisi yang stabil khususnya dari segi jumlah.
Jika persediaan bahan baku kayu bulat terlalu besar maka
industri akan mengalami kerugian, demikian pula jika persediaan
bahan baku dalam jumlah yang lebih kecil dari kapasitas mesin
maka industri juga akan mengalami kerugian. Agar proses
produksi dapat berlangsung secara berkesinambungan, maka
27 bahan baku kayu bulat yang diperlukan di masa yang akan datang
(Makarennu dkk, 2009)
C. Pembangunan HTR sebagai salah satu Model PHBM 1. Konsep HTR
Hutan tanaman rakyat (HTR) adalah hutan tanaman pada
hutan produksi yang dibangun oleh masyarakat untuk meningkatkan
potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem
silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.
Dengan konsep integrasi antara kepastian produksi dan pasar
dengan basis pemberdayaan masyarakat lokal diharapkan program
HTR dapat menjadi salah satu agenda pengurangan kemiskinan,
pengurangan pengangguran, peningkatan kontribusi kehutanan
terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan memenuhi permintaan
bahan baku industri kayu (Alif, dkk, 2010).
Pembangunan HTR sebagaimana menjadi agenda
revitalisasi pertanian, kelautan dan kehutanan. Kebijakan HTR juga
merupakan implementasi dari Kebijakan Prioritas Sektor Kehutanan
dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat setempat sehingga sektor
kehutanan diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
pertumbuhan ekonomi nasional, perbaikan lingkungan hidup,
mensejahterakan masyarakat dan memperluas lapangan kerja pada
28 HTR berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan
No.23/Menhut-II/2007 adalah hutan tanaman yang dibangun oleh
perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas
Hutan Produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka
menjamin kelestarian sumber daya hutan. Dengan kata lain HTR
adalah kegiatan rehabilitasi Hutan Produksi yang dilaksanakan oleh
masyarakat baik perorangan maupun koperasi untuk kelestarian
sumber daya hutan, di mana masyarakat dapat memperoleh manfaat
ekonomi dari apa yang ditanamnya untuk peningkatan
kesejahteraan.
Kawasan hutan yang dapat dijadikan lokasi pembangunan
HTR adalah Hutan Produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani
hak (ijin) serta telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai
lokasi HTR dengan luasan 15 Ha tiap Kepala Keluarga (KK) atau
sesuai kemampuan untuk koperasi. Lokasi HTR diutamakan berada
dekat dengan industri hasil hutan untuk memudahkan pemasaran.
Pengembangan HTR juga biasanya dilakukan dengan
mengkombinasikan berbagai varietas tanaman pokok. Hal tersebut
dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan penghasilan tambahan
dari tanaman budidaya tahunan selama masa menunggu waktu
penebangan kayu, di samping hasil tambahan lain melalui kegiatan
tumpang sari tanaman hortikultura/palawija. Prosentase komposisi
29 tanaman pokok berbagai jenis ditetapkan sebagai berikut: tanaman
hutan berkayu ± 70%, tanaman budidaya tahunan berkayu ± 30%.
(Pemegang ijin dapat melakukan kegiatan tumpangsari tanaman
budidaya musiman/palawija diantara tanaman pokok sampai dengan
2–3 tahun).
Pengaturan letak komposisi jenis tanaman pokok disesuaikan
dengan jarak tanam, kesesuaian persyaratan tempat tumbuh dan
kondisi fisiografi lapangan. Di samping tanaman pokok, pada batas
areal kerja atau batas antar blok/ petak tanaman pokok dapat
dikembangkan jenis-jenis tanaman lain yang dapat berfungsi
sebagai tanaman tepi yaitu berupa tanaman pagar, tanaman sekat
bakar, tanaman pelindung dan tanaman kehidupan (Prijono, 2010).
Alif, dkk (2010) mengatakan bahwa peraturan mengenai
hutan rakyat kemudian diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat
dalam Hutan Tanaman yang mengalami revisi pada tahun 2008
melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.5/Menhut-II/2008
tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.23/Menhut-II/2007. Adapun aturan-aturan lanjutan mengenai
hutan tanaman rakyat lebih rinci dan dilengkapi oleh beberapa
Peraturan Menteri Kehutanan dan Peraturan Direktur Jenderal Bina
30 1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut-II/2008 tentang
Persyaratan Kelompok Tani Hutan untuk Mendapatkan Pinjaman
Dana Bergulir Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat.
2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2008
tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat.
3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.64/Menhut-II/2009
tentang Standart Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri
dan Hutan Tanaman Rakyat.
4. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2009
tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.62/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Tanaman Industri dan Hutan
Tanaman Rakyat.
5. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor
P.06/VI-BPHT/2007 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan
Hutan Tanaman Rakyat.
6. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan
P.06/VI-BPHT/2008 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Bina
Produksi Kehutanan Nomor P.06/VI-BPHT/2007 tentang
Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat.
Berdasarkan pembelajaran terhadap beberapa program
31 menyimpulkan bahwa HTR harus dijalankan dengan prinsip-prinsip
pemberdayaan masyarakat yaitu :
a. Masyarakat mengorganisasikan dirinya berdasarkan
kebutuhannya ( people organized themselves based on their
necessity) yang berarti pemberdayaan hutan beserta
masyarakatnya ini bukan digerakkan oleh proyek
ataupun bantuan luar negeri karena kedua hal tersebut tidak
akan membuat masyarakat mandiri dan hanya membuat
“kebergantungan” masyarakat.
b. Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus bersifat padat karya
(labor-intensive) sehingga kegiatan ini tidak mudah ditunggangi
pemodal (cukong) yang tidak bertanggung jawab.
c. Pemerintah memberikan pengakuan/rekognisi dengan
memberikan aspek legal sehingga kegiatan masyarakat yang
tadinya informal di sektor kehutanan dapat masuk ke sektor
formal ekonomi kehutanan/ekonomi lokal, nasional dan global
sehingga bebas dari pemerasan oknum birokrasi
dan premanisme pasar
2. Model Pembagunan HTR
Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua
kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta pada wilayah
zona inti dan zona rimba taman nasional. Pemanfaatan hutan
32 kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap
menjaga kelestariannya baik kelestarian lingkungan (ekologi),
maupun kelestarian fungsi produksi dan fungsi sosialnya.
Pemanfaatan setiap fungsi hutan adalah sebagai berikut
(Malamassam, 2009) :
1. Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan
kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil
hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu, serta pemungutan hasil
hutan kayu dan bukan kayu. Pemanfaatan hutan produksi hanya
bisa dilakukan oleh pihak yang memiliki ijin, seperti ijin usaha
pemanfaatan kawasan hutan (IUPKH), izin usaha pemanfaatan
jasa lingkungan (IUPJL), ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
(IUPHHK), ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
(IUPHHBK), atau ijin usaha pemungutan hasil hutan kayu dan
bukan kayu.
2. Pemanfaatan hutan lindung juga dapat berupa pemanfaatan
kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil
hutan bukan kayu (yang tidak mengganggu fungsi pokok).
Dengan demikian, pemanfaatan hutan lindung hanya dapat
dilaksanakan oleh pihak yang memiliki ijin usaha pemanfaatan
kawasan hutan, ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan ijin
33 3. Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan
hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengelolaan kehutanan seharusnya mengikuti paradigma baru
pembangunan kehutanan yang menekankan pada konsep
manajemen hutan lestari dan berbasis pada masyarakat. Soedirman
(1995) mengatakan bahwa pengelolaan hutan secara lestari adalah
proses pengelolaan areal hutan permanen untuk mencapai satu atau
lebih tujuan yang telah ditentukan dengan berdasarkan kontinuitas
produksi dan manfaat lainyang diinginkan, tanpa mengakibatkan
kemunduran nilai produktivitas hutan di masa dating dan timbulnya
akibat yang diharapkan pada komponen fisik dan lingkungan
sosialnya.
Selain itu Alam (2011) mengungkapkan betapa pentingnya
konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dimuat melalui
kehutanan masyarakat. Kehutanan masyarakat (community forestry) merupakan suatu konsep pengelolaan hutan yang menempatkan
masyarakat sekitar hutan sebagai pelaku utama dalam mengelola
sumberdaya hutan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan
melestarikan fungsi hutan.
Pemanfaatan dan penggunaan hutan oleh masyarakat selama
ini, umumnya masih tergolong kegiatan yang bersifat illegal dan
34 cenderung mengkonversi lahan hutan menjadi lahan usaha komoditi
pangan/ perkebunan umumnya belum mengusahakan komoditi
kehutanan. Bentuk pemanfaatan hutan yang dilakukan masyarakat
umumnya hanya berupa kegiatan pemungutan kayu, hasil hutan non
kayu dan pemanfaatan kawasan hutan untuk tanaman
pangan/perkebunan.
Mereka pada dasarnya belum mengusahakan komoditas
kehutanan dan karena itu pula maka kegiatan-kegiatan yang mereka
lakukan belum dapat meningkatkan kesejahteraan mereka dan
belum berorientasi pada upaya pelestarian fungsi hutan.oleh karena
itu diperlukan sebuah model yang membangun hutan lestari dan
dikelola oleh masyarakat sekitar hutan (Alam, 2011).
Model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi
dari sebuah objek atau situasi aktual. Model memperlihatkan
hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan
timbal balik dalam istila sebab akibat. Oleh karena suatu model
adalah suatu abstraksi dari realitas, maka pada wujudnya kurang
kompleks daripada realitas itu sendiri. Model dapat dikatakan
lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang
sedang dikaji (Eriyatno, 2003).
Eriyatno (2003) mengklasifikasikan model, Klasifikasi
perbedaan dari model dapat memberikan pendalaman pada tingkat
35 dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok
pengkajian atau derajat keabstrakannya. Kategori umum adalah
jenis model yang pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi :
1. Model ikonik (model fisik)
Model ikonik adalah perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam
bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik
mempunyai karakteristik yang sama dengan hal yang diwakili,
dan terutama amat sesuai untuk menerangkan kejadian pada
waktu yang spesifik. Model ikonik dapat berdimensi dua (foto,
peta, cetak biru) atau tiga dimensi (prototip mesin, alat). Apabila
model berdimensi lebih dari tiga maka tidak mungkin lagi
dikonstruksi secara fisik sehingga diperlukan kategori model
simbolik.
2. Model analog (model diagramatik)
Model analog dapat mewakili situasi dinamik, yaitu pada keadaan
berubah menurut waktu. Model ini lebih sering dipakai daripada
model ikonik karena kemampuannya untuk mengetengahkan
karakteristik dari kejadian yang dikaji. Model analog banyak
berkesesuaian dengan penjabaran hubungan kuantitatif antara
sifat dan klas-klas yang berbeda.
Dengan melalui transformasi sifat menjadi analognya,
makakemampuan untuk membuat perubahan dapat ditingkatkan.
36 distribusi frekuensi pada statistik dan diagram alir. Model analog
dipakai karena kesederhanaan namun efektif pada situasi yang
khas seperti pada proses pengendalian mutu industri (Operating
Characteristic Curve).
3. Model simbolik (model matematik)
Pada hakekatnya, ilmu sistem memusatkan perhatian pada
model simbolik sebagai perwakilan dari realitas yang dikaji.
Format model simbolik dapat berupa bentuk angka, simbol dan
rumus. Jenis model simbolik yang umum dipakai adalah suatu
persamaan.
Terdapat beberapa hal/informasi yang perlu diperhatikan dalam
rangka pembentukan unit pengelolaan hutan, sebagai unit
pengelolaan hutan terkecil pada hamparan lahan hutan, untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal atau informasi
termaksud adalah sebagai berikut (Malamassam, 2009) :
1. Karakteristik lahan
2. Tipe hutan
3. Fungsi hutan
4. Kondisi daerah aliran sungan (DAS)
5. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar dan di dalam
kawasan hutan
6. Kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat
37 7. Batas administrasi pemerintahan
8. Hamparan yang secara geografis merupakan satu kesatuan
9. Batas alam dan atau buatan yang bersifat permanen
10. Penggunaan lahan
3. Permasalahan HTR
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas
Hasanuddin bekerjasama dengan Balai Penelitian dan
Pengembangan Daerah Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa
ada beberapa kendala terkait implementasi program Hutan
Tanaman Rakyat di Sulawesi Selatan. Kendala-kendala tersebut
mulai dari kesepahaman bersama mengenai pentingnya HTR
dalam membangun kesejahteraan masyarakat dan perekonomian
daerah, belum adanya inisiatif Pemerintah Kabupaten
memberikan porsi anggaran pada pembangunan hutan tanaman
rakyat, mekanisme yang birokratis, hingga kurangnya komunikasi
antara Kementerian Kehutanan dengan Pemerintah Kabupaten.
Permasalahan tersebut di atas disebabkan oleh belum adanya
model pengelolaan di tingkat tapak yang mengatur fungsi
stakeholder terkait (Alif, dkk, 2010)
Masalah lainya adalah masalah yang ditemukan pada Industri
Kehutanan. berkurangnya sumber bahan baku dari hutan alam
sangat menggangu keberlangsungan industri kehutanan yang saat
38 Karena kayu yang dihasilkan dari hutan alam cenderung memiliki
karakteristik diameter besar, termasuk jenis-jenis komersial yang
disenangi pembeli (buyer), variasi produk yang dihasilkan lebih
banyak dan rendemen output lebih maksimal yang berasal dari hutan
alam.
Sehingga Industri pengolahan kayu harus mencari alternative
bahan baku seperti dari hutan tanaman rakyat atau kayu rakyat.
Potensi paling besar yang memungkinkan supplai untuk industri
kehutanan adalah berasal dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan
Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Sedangkan pada konteks
pengelolaan hutan tanaman rakyat proses management untuk
membuat kayu yang ditanam dapat memiliki nilai yang tinggi dan
diserap oleh industri kehutanan tidak dilakukan karena keterbatasan
pengetahuan masyarakat dan pradigma pengelolaan ditingkat tapak.
4. Rencana Pembangunan HTR di Sulsel dan Khususnya di Kabupaten Barru
Pada kasus pengembangunan HTR di Kabupaten Barru, Barru
memiliki pontensi yang cukup besar untuk pengembangan hutan
tanaman rakyat, dari data yang didapatkan di dinas kehutanan
Kabupaten Barru sendiri memiliki potensi hutan produksi yang cukup
besar dan dapat dikelolah baik untuk pengembangan HTR dan HTI
39 Data tahun 2010-2012 dikabupaten barru sendiri telah dilakukan
pencanangan Hutan tanaman Rakyat (HTR) oleh Kementiran
Kehutanan seluas 1.497 ha yang terdiri dari 3 kecamatan (lihat Tabel
3). Sedangkan yang telah mendapatkan Izin Usaha Pemanfatan
Hasil Hutan Kayu (IUPHHK HTR) Kayu dari Bupati dan telah
diverifikasi oleh sebesar 1.481 ha. Pada tahun pertengan tahun 2013
angka tersebut naik, menurut Dinas Kehutanan Barru pertengahan
tahun ini dinas kehutanan kembali mengusulkan Pencangan HTR
sebesar 14.000 ha yang tersebar hampir disetiap kecamatan, model
pengelolaannya pun menggunakan skema mandiri.
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa potensi Hutan Produksi yang telah
mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK HTR)
sebesar 1.481 ha yang berarti masih ada 1.147 ha yang sudah di
canangkan akan melakukan pengusulan izin dan 14.000 ha sedang dalam
40 Tabel 2. Hutan Produksi disetiap Kecamatan/Desa Kabupaten Barru
Kecamatan Desa Hutan Produksi Luas (ha)
41
Pujananting Bacu-bacu 2,479 411 KTH Padang Pobbo 270 KTH Padang Pobbo 208
Jumlah 8,272 1,497 1,652 1,481
Sumber : Dinas Kehutanan Barru 2012
Potensi Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat secara
nasional dan per region seperti halnya kabupaten barru terus
mengalami peningkatan dari tahun ketahun tetapi riset dan
pengembangan pengelolaann dilevel masyarakat masih sangat
minim, disisi lain banyaknya kasus industri kehutanan di Indonesia
yang gulung tikar atau bangkurt karna sulitnya mendapatkan bahan
pasokan kayu yang legal, hal ini lah yang kemudian menjadikan
kenapa riset ini penting untuk dilakukan, untuk menjadikan justifikasi
pengelolaan hutan tanaman rakyat dilakukan dengan menajemen
yang kompleks mempertimbangakan beberapa aspek seperti pola
ruang, kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, pasar dan industri,
sehingga dapat memberikan jaminan kepada masyarakat,
pemerintah daerah, Industri dan hutan akan kebutuhan setiap
42 5. Kerangka Pikir
Gambar 2. Kerangka Pikir
Pada kerangka pikir (Gambar 2), maksud yang melatar belakangi
penelitian ini jika dilihat secara makro ialahpengelolaan hutan dari
dua bagian; Pertama sektor industri yang berada pada hilir, yang
mengelola hasil kayu dari hutan dan sektor Hutan Tanaman Rakyat
yang berada di daerah hulu yang memproduksi kayu dari hutan
produksi.
Dari penjelasan tinjauan pustaka, bahwa sektor industri
mempunyai masalah yang cukup penting dalam perkembangannya Pengelolaan Hutan
Industri Kehutanan Pembangunan HTR
Pontensi Produksi Kayu Penyusutan Bahan Baku
43 saat ini. Hal tersebut ditandai dengan penurunan produksi kayu
sehingga terjadi kekurangan pasokan bahan baku bagi industri.
Akibat dari kesenjangan supply dan demand yang paling ekstrim
adalah berhentinya operasi industri kayu.
Berkurangnya sumber bahan baku dari hutan alam sangat
menggangu keberlangsungan industri kehutanan yang saat ini masih
menggantungkan supplai bahan bakunya pada hutan alam. Karena
kayu yang dihasilkan dari hutan alam cenderung memiliki
karakteristik diameter besar, termasuk jenis-jenis komersial yang
disenangi pembeli (buyer), variasi produk yang dihasilkan lebih
banyak dan rendemen output lebih maksimal yang berasal dari hutan
alam.
Sehingga Industri pengolahan kayu harus mencari alternative
bahan baku seperti dari hutan tanaman rakyat atau kayu rakyat.
Potensi paling besar yang memungkinkan supplai untuk industri
kehutanan ialah bahan baku yang berasal dari Hutan Tanaman
Industri (HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Sedangkan pada
konteks pengelolaan hutan tanaman rakyat proses menejemen
untuk membuat kayu yang ditanam dapat memiliki nilai yang tinggi
dan diserap oleh industri kehutanan tidak dilakukan karena
keterbatasan pengetahuan masyarakat dan pradigma pengelolaan
44 Disatu sisi pembangunan HTR terus dilakukan oleh pemerintah,
hal tersebut terkait dengan program pemerintah sebagai upaya
dalam melakukan pengentasan kemiskinan (pro-poor), menciptakan
lapangan kerja baru (pro-job), dan memperbaiki kualitas
pertumbuhan melalui investasi yang proporsional antar pelaku
ekonomi (pro-growth).
Pembangunan HTR sebagaimana menjadi agenda revitalisasi
pertanian, kelautan dan kehutanan. Kebijakan HTR juga merupakan
implementasi dari Kebijakan Prioritas sektor kehutanan dan
pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat sehingga sektor
kehutanan diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
pertumbuhan ekonomi nasional, perbaikan lingkungan hidup,
mensejahterakan masyarakat dan memperluas lapangan kerja pada
areal sekitar hutan (Emila dan Suwito, 2007).
Maka dengan konsep integrasi antara kepastian produksi dan
pasar dengan basis pemberdayaan masyarakat lokal diharapkan
program HTR dapat menjadi salah satu agenda pengurangan
kemiskinan, pengurangan pengangguran, peningkatan kontribusi
kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan memenuhi
permintaan bahan baku industri kayu (Alif, dkk, 2010). Hal
tersebutlah yang mendorong penelitian ini untuk Mendesain
45
III. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Hutan Kabupaten Barru
Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini mencoba meddesain
pembangunan hutan tanaman rakyat dengan mengintegrasikan dengan
pola ruang, kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, pasar, lokasi dan
kebutuhan bahan baku industri berbasis spasial.
Waktu pelaksanaan penelitian berlangsung dari bulan Maret 2014
hingga bulan Juni 2014. Penelitian dilaksanakan melalui 3 tahap yaitu,
(1) Penelitian pendahuluan (2) Pengambilan data lapangan & data
skunder, (3) Rancangan Desain dan Rekomendasi.
B. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer
dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi pada areal
kawasan hutan kabupaten barru dan wawancara langsung dengan
petani hutan pemegang IUPHHK-HTR dan masyarakat sekitar hutan,
dinas kehutanan kabupaten Barru, penyuluh kehutanan dan lembaga
pendamping lokal. Data primer termaksud antara lain meliputi jenis
tanaman yang diminati dan ditanam masyarakat, dan model
pengelolaan HTR.
Data sekunder diperoleh dari berbagai hasil penelitian, literatur
buku, data-data dari instansi terkait, dan informasi lainnya yang terkait
46 wilayah sekitar hutan seperti : sejarah kawasan, kondisi biofisik
kawasan, dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Data
sekunder lainnya berupa informasi dan data lainnya yang mendukung
kegiatan penelitian serta bahan pustaka yang dijadikan bahan referensi
landasan teori.
C. Populasi dan Teknik Sampel
Populasi dalam penelitian ini berupa :
1. Kawasan Hutan Produksi seluas 17.312 ha di Kabupaten Barru
2. Masyarakat pengelola hutan tanaman rakyat yang telah
mendapatkan izin, pengusulan dan masyarakat yang
menggantungkan langsung hidupnya pada sekitar hutan.
3. Industri pengolah kayu yang berada di sekitar kawasan pengelolaan
hutan tanaman rakyat
4. Dinas kehutanan Kabupaten Barru serta dinas pertanian dan
perkebunan Kabupaten Barru.
Teknik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Pengambilan sampel kawasan dan masyarakat dilakukan dengan
menggunakan purposive sampling, yaitu memilih individu pewakil
kelompok HTR yang telah mendapatkan izin, yang terdiri dari ketua
kelompok, sekertaris dan anggota kelompok.
2. Pengambilan responden dilingkungan dinas kehutanan dan
penyuluh kehutanan dilakukan dengan memilih sebagian anggota