• Tidak ada hasil yang ditemukan

Debottlenecking dalam Masterplan Percepa (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Debottlenecking dalam Masterplan Percepa (1)"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

DEBOTTLENECKING

(3)

DEBOTTLENECKING

dalam Kebijakan Master Plan Percepatan Perluasan

Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)

Hilma Safitri

(4)

Daftar Isi

Koridor Ekonomi sebuah Strategi Pembangunan Koridor Ekonomi, Prinsip Debottlenecking dan Skema

Public Private Partnership (PPP)

Prinsip Debottlenecking dan Skema Percepatan Pembangunan Ekonomi

Prinsip Debottlenecking: Teori dan Konsep

Pelaksanaan Prinsip Debottlenecking dan Konsekuensinya terhadap Pembangunan Ekonomi

Pelaksanaan Prinsip Debottlenecking

KISMK dan PLTU Batang sebagai Proyek Utama dalam Pelaksanaan Kebijakan MP3EI

Kenapa KISMK berada di Sumatera Utara? Mengapa PLTU di Batang

Hal-hal yang Harus di De-bottlenecking oleh Kebijakan MP3EI

Kerangka Kebijakan dan Tumpang Tindih Perundang-undangan dan Peraturan

“Kerumitan” Kebijakan Investasi Fasilitas Infrastruktur

Debottlenecking di Mega-Proyek KISMK dan PLTU Batang

KISMK – Sumatera Utara PLTU Batang DEBOTTLENECKING dalam Kebijakan Masterplan

Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)

Hilma Safitri

diterbitkan pertamakali dalam bahasa Indonesia ARC Books, Agustus 2014

©ARC Books, 2014

pracetak: jiwo

ARC Books

Jalan Ice Skating No.33 Arcamanik Bandung 40293 - Indonesia telp/fax: 022.7237799

email. arc.indonesia@gmail.com

Katalog Dalam Terbitan

Hilma Safitri

Debottlenecking dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)

Bandung, ARC Books, 2014 xvi+95 hlm; 14x21 cm ISBN: 978-602-71317-1-2

Buku ini diterbitkan atas dukungan dan kerjasama:

(5)

Dibalik Pelaksanaan Prinsip Debottlenecking di KISMK dan PLTU Batang

Hambatan Utama Kedua Proyek Bekerjanya Prinsip Debottlenecking

Aktor Utama dalam Pelaksanaan Proyek Jalan Keluar untuk Pertarungan Kepentingan

Kesimpulan: Kebijakan MP3EI dan Instrumen Utama Debottlenecking

Bibliografi

Indeks

Tentang Penulis

63 63 68 73 44

79

82

91

95

Daftar Tabel

Tabel 1. Sebaran Perkebunan Kelapa Sawit PTPN III di Sumatera Utara

Tabel 2. Jumlah Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara, 2011

Tabel 3. Investasi di Jawa, 2008-2010

Tabel 4. Jumlah Industri Pertanian dan Non-Pertanian di Jawa

Tabel 5. Kawasan Perhatian Investasi (KPI) berdasarkan Kegiatan Ekonomi di Jawa

Tabel 6. Komitmen Investasi dalam Kegiatan Ekonomi Utama di Koridor Jawa, sampai Mei 2012 Tabel 7. Kondisi Kelistrikan di Jawa, 2010-2011

Tabel 8. Proyeksi Kebutuhan Listrik di Jawa-Bali, 2012-2021 Tabel 9. Rincian Rencana Proyek Pembangkit Listrik di

Sistem Jawa-Bali, 2012-2021

Tabel 10. Matriks Target Debottlenecking di mega-proyek KISMK dan PLTU - Batang

Daftar Grafik

Grafik 1. Luas Wilayah Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara (ha)

Grafik 2. Persentase Total Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara (terhadap Pulau Sumatera)

Grafik 3. Persentase Total Areal Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera (terhadap Total Areal di Indonesia) Grafik 4. Produktivitas

Grafik 5. Rata-rata Jumlah Ekspor Minyak Sawit Indonesia Grafik 6. Investasi

24

25

32

34

35

36 37 38

41

46

18

19

19

(6)

Gambar 1. Sebaran Pabrik Pengolahan PTPN III

Gambar 2. Rencana Pembangunan Sarana Transportasi Darat di Sumatera Utara

Gambar 3. Pelaksanaan Prinsip Debottlenecking di Mega-Proyek KISMK

Gambar 4. Lokasi Pembangunan PLTU-Batang

Gambar 5. Skema PPP di PLTU Batang

Gambar 6. Perubahan Peraturan Tentang Zona Konservasi Laut di Kawasan Rencana Pembangunan PLTU Batang

Gambar 7. Rencana Pemekaran Wilayah Kabupaten Simalungun

27

29

50

55

57

70

76

(7)

Daftar Singkatan

AMDAL : Analisis mengenai Dampak Lingkungan

BPN : Badan Pertanahan Nasional

BPS : Badan Pusat Statistik

BUMN : Badan Usaha Milik Negara

Bappenas : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

CPO : Crude Palm Oil

FGD : Flue-Gas Desulfurization

HGU : Hak Guna Usaha

KEK : Kawasan Ekonomi Khusus

KISMK : Kawasan Industri Sei Mangkei

KPI : Kawasan Perhatian Investasi

KPS : Kerjasama Pemerintah Swasta

KP3EI : Komite Percepatan dan Pembangunan

Ekonomi Indonesia

LBH Semarang : Lembaga Bantuan Hukum Semarang

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

MP3EI : Masterplan Percepatan Pembangunan

Ekonomi Indonesia

PLTB : Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (Angin)

PLTS : Pembangkit Listrik Tenaga Surya

PLTU : Pembangkit Listrik Tenaga Uap

PLN : Perusahaan Listrik Negara

PT. BPI : PT Bhimasena Power Indonesia

PT Inalum : PT Indonesia Asahan Alumunium

IIF : PT Indonesia Infrasctructure Financing

(8)

PTPN : Perusahaan Terbatas Perkebunan Nusantara

PT SMI : PT Sarana Multi Infrastruktur

PPP : Public Private Partnership

RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah

USC : Ultra Super Critical

UKP4 : Unit Kerja Bidang Pengawasan dan

Pengendalian Pembangunan

YLBHI : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesi

Pengantar Penulis

Apa yang seharusnya dirumuskan untuk pembangunan ekonomi suatu bangsa, yang bisa mencapai target kesejahteraan masyarakatnya juga mencapai target pertumbuhan ekonomi? Sudut pandang apa yang harus diterapkan? Siapa sesungguhnya yang layak menjadi subjek dan objek pembangunan tersebut? beberapa pertanyaan diatas merupakan pertanyaan yang mengemuka untuk dikaji lebih dalam yang tentunya sangat mendasar bagi para penganut studi agraria kritis. Seperti halnya didalam uraian buku ini, berupaya memperlihatkan apakah skema pembangunan yang diterapkan bisa mencapai target pembangunan khususnya untuk kesejahteraan warganya. Tentunya tidak bisa menjawab semua pertanyaan–pertanyaan diatas, namun diharapkan bisa menjadi pemicu untuk analisis selanjutnya didalam melihat kebijakan pembangunan suatu bangsa, khususnya di Indonesia.

(9)

pembangunan Indonesia. Walaupun kebijakannya sendiri baru disahkan 3 tahun yang lalu, namun sesungguhnya merupakan upaya-upaya untuk menanggulangi sejumlah hambatan yang selama ini ada. Walaupun era desentralisasi paska 1998 memberikan berbagai kemudahan untuk melaksanakan proyek-proyek pembangunan di daerah, namun, khususnya pelaku bisnis yang terlibat didalam proyek-proyek pembangunan, mengalami banyak hambatan. Seperti sudah diidentifikasi oleh UKP4, bahwa hambatan-hambatan tersebut terkait dengan pola birokrasi yang selama ini diterapkan, termasuk tumpang tindih maupun ketidaklengkapan peraturan dan kebijakan yang seharusnya berperan mengatur jalannya pembangunan.

Untuk melihat lebih rinci bagaimana pelaksanaan MP3EI, tulisan ini mengangkat dua kasus mega-proyek yang ada di Indonesia, yaitu pembangunan Kawasan Industri Sei Mangkei (KISMK) – Sumatera Utara dan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) – Batang, Jawa Tengah. Kedua proyek ini merupakan inisiatif yang sudah lama direncanakan dan semakin lancar ketika sudah diintegrasikan kedalam kebijakan MP3EI. Lika-liku permasalahan untuk mewujudkan kedua inisiatif mega-proyek ini (relatif) bisa diselesaikan dengan ‘jargon’ skema pembangunan MP3EI, yaitu ‘not as business as usual’ untuk mencapai target angka pertumbuhan Indonesia di tahun 2025. Kebijakan ini berhasil melakukan penaklukan berbagai pihak yang bersengketa ketika inisiatif pembangunan di satu wilayah akan dirumuskan atau dilaksanakan.

Kedua kasus juga memperlihatkan bagaimana pihak-pihak yang bersengketa atau bertarung kepentingan tidak hanya mereka yang berada di wilayah dimana lokasi proyek akan dilaksanakan, namun juga terkait dengan pihak-pihak yang berada di luar wilayahnya atau di struktur pemerintahan yang lebih tinggi. Paling tidak, mereka dapat dikelompokkan dalam kelompok pengusaha (di tingkat lokal dan nasional, domestik maupun asing), kelompok aparat pemerintahan (tingkat daerah

dan pusat), serta kelompok masyarakat sipil (LSM, NGO dan

warga setempat). Bagaimana ketiga kelompok ini bertarung dan bisa diselesaikan perseteruannya, adalah salah satu topic bahasan didalam tulisan ini.

Kunci utama yang dipergunakan adalah pelaksanaan prinsip

debottlenecking dan skema Public Private Partnership (PPP).

Walaupun merujuk pada uraian tentang debottlenecking dari tim

UKP4 yang mengisyaratkan terjadi hambatan dalam birokrasi kebijakan, namun tulisan ini mencoba melakukan analisis yang lebih luas, bahwa kebijakan MP3EI itu sendiri adalah proses debottlenecking secara keseluruhan. Ketika banyak hambatan yang dialami para investor untuk berinvestasi di daerah, ketika banyak dampak sosial seperti berbagai penolakan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap satu proyek, karena skema desentralisasi yang diterapkan di era paska Reformasi, maka kebijakan MP3EI berupaya mengembalikan peran sentral pemerintah pusat untuk memotong berbagai hambatan tersebut. Dan meyakinkan banyak pihak bahwa peran sektor swasta adalah kunci untuk mendongkrak pertumbuhan di Indonesia melalui skema PPP.

(10)

Skema koridor ekonomi sudah menjadi kecenderungan di setiap strategi pembangunan di berbagai negara di dunia. Koridor ekonomi merujuk kepada pembangunan ekonomi yang ditargetkan untuk menaikkan angka pertumbuhan ekonomi pada rentang waktu dan wilayah tertentu (AGIL, 2000, hlm. 2). Prasyarat utama untuk berjalannya strategi ini adalah pembangunan infrastruktur dan sarana telekomunikasi serta ketersediaan tenaga listrik (Bafoil & Ruiwen, 2010). Strategi pembangunan dengan skala luas ini merupakan bentuk skema pembangunan dengan konsep modernisasi yang sangat banyak mempengaruhi para pemikir pelaksana negara dan pemilik modal. Karakter utamanya adalah keterlibatan modal yang sangat besar – yang banyak dikuasai oleh pengusaha – dan tawaran akan pertumbuhan yang akan mengakibatkan hasil dan prosesnya akan sangat sulit diakses oleh sebagian besar penduduk. Walaupun skema pembangunan koridor ekonomi berdampak sangat baik untuk pembangunan ekonomi, dengan ukuran pencapaian angka pertumbuhan ekonomi dalam teori pembangunan, tetapi bisa mengakibatkan pengabaian kepentingan rakyat

Koridor Ekonomi sebuah Strategi

Pembangunan

Semoga pertanyaan-pertanyaan yang besar dan cukup rumit

seperti diuraikan didalam pengantar ini bisa menggiring pembaca ketika membaca tulisan ini.

Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan sepanjang tahun 2012-2014, yang merupakan kelanjutan dari kegelisahan penulis setelah mengkaji secara cepat kebijakan MP3EI ketika akan dan sudah diterbitkan tahun 2011. Dengan

dukungan biaya penelitian dari East Asian Development Network

(EADN) 2012, penelitian ini bisa terlaksana. Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih atas penerbitan tulisan ini kepada Agrarian Resource Center (ARC), khususnya seluruh tim yang tetap aktif hingga hari ini – Kang Gpenk, Jiwo, Erwin, Baihaqi atas waktunya untuk berdiskusi dan mengkritisi temuan-temuan dan hasil bacaan selama penelitian ini berlangsung, juga Pak Asep dan Tiar yang selalu membantu agar ARC tetap berjalan – lalu CCFD Terre Solidaire, khususnya Hatim yang juga terus mendukung kerja-kerja ARC termasuk penelitian ini. Semoga terbitan ini bisa memberikan kontribusi pada studi agraria kritis, khususnya di Indonesia. Tentunya, kritik, masukan dan komentar akan sangat berguna bagi penulis untuk terus memperbaiki kapasitas penulis khususnya dan untuk menjadi masukan bagi jalan keluar masalah agraria di Indonesia.

Bandung, 17 Agustus 2014

(11)

antar wilayah. Ini adalah landasan pembangunan dengan ideologi kapitalisme yang membutuhkan ruang-ruang baru untuk berinvestasi, kebutuhan akan tenaga kerja serta potensi pasar. Koridor yang dibangun melalui kebijakan MP3EI adalah upaya untuk menjamin ketiga komponen penting tersebut, sehingga tahapannya dibangun secara sistematis di berbagai wilayah yang memang sudah ada sebagai pusat kegiatan ekonomi. Pulau Jawa adalah salah satu target, begitu juga dengan kawasan Sei Mangkei yang berlokasi di provinsi Sumatera Utara yang diidentifikasi sebagai wilayah yang potensial untuk dijadikan pusat pengembangan industri kelapa sawit di Indonesia.

Dinamika pembangunan ekonomi Indonesia sejalan dengan dinamika politik pemerintahan, yang hingga saat ini tidak banyak berubah dibandingkan jaman Orde Baru sebelum tahun 1998. Era Reformasi tahun 1998 yang idealnya dapat menjadi momen bagi setiap wilayah untuk melakukan pembangunannya lebih baik berdasarkan potensi wilayahnya, akan tetapi bagi pelaku bisnis, setelah era ini tetap menghadapi banyak hambatan ketika melakukan kegiatan investasi. Keunikan geografis serta kekayaan di setiap wilayah membuat setiap pemerintahan daerah meletakkan kebijakan desentralisasi sebagai era untuk mengembalikan kembali potensi wilayahnya menjadi milik wilayah itu sendiri. Jika pada era sebelumnya pemerintah lokal hanya menunggu arahan pelaksanaan pembangunan dari pemerintahan pusat, maka setelah itu, pemerintah daerah memiliki keleluasaan untuk menentukan pembangunan yang dibutuhkan, berdasarkan kebijakan Otonomi Daerah yang diterbitkan pada tahun 2001. Hal ini juga termasuk kegiatan investasi, pemerintah daerah bisa melakukan negosiasi dengan investor, baik investor asing maupun nasionaI. Sehingga, skema birokrasi serta peraturan yang terkait sudah diubah dan pemerintah daerah bertindak sebagai pelaku kunci dalam investasi di wilayahnya. Walaupun hal ini memberikan kemudahan bagi kelompok pengusaha untuk melakukan kesepakatan dengan melalui perubahan penguasaan dan penggunaan lahan untuk

kepentingan pembangunan infrastruktur dalam konsep koridor

ekonomi yang menggunakan prinsip debottlenecking dan

keterlibatan sektor privat melalui skema Public Private Partnership

(PPP).

Kebijakan pembangunan ekonomi terbaru Indonesia menggunakan konsep koridor ekonomi, yaitu kebijakan Masterplan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia

(MP3EI), yang menggunakan slogan “not as business as usual”.

Salah satu strateginya adalah menggunakan atau melaksanakan

prinsip debottlenecking yang memungkinkan aliran investasi di

seluruh Indonesia yang dibagi dalam 6 koridor utama dalam

MP3EI1. Dengan mengandalkan modal yang dimiliki oleh sektor

swasta, MP3EI memberikan peluang untuk privatisasi sejumlah aset publik yang seharusnya ditujukan untuk pelayanan publik. Sebagaimana MP3EI juga mensyaratkan penyediaan sejumlah sarana infrastruktur sebagai fondasi utama dan sebagai langkah awal pelaksanaannya. Alasan klasik yang selalu dipergunakan adalah negara atau pemerintah tidak memiliki dana yang cukup sehingga memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk berinvestasi di dalam pembangunan infrastruktur (seperti pembangunan jalan, sarana komunikasi dan tenaga listrik).

Sementara prinsip-prinsip debottlenecking dipergunakan untuk

menghilangkan banyak hambatan atau kesulitan-kesulitan dalam kegiatan investasi, misalnya terkait dengan masalah birokrasi, pendanaan dan aspek sosial yang muncul di kalangan penduduk sekitarnya yang disebabkan proses yang tidak transparan.

Pembangunan infrastruktur di dalam MP3EI adalah, pada umumnya, bersandar pada konsep koridor ekonomi, yang menekankan pada pembangunan wilayah, berdasarkan potensi wilayahnya untuk aktivitas industri dan investasi serta keterkaitan

1 Enam (6) Koridor itu adalah Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku-Papua (Coordinating Ministry of Economic

(12)

oleh kapital adalah faktor penting didalam kedua proyek ini. Dampak terhadap kehidupan masyarakat lokal, dan dijelaskan dengan menggunakan perspektif ekonomi politik. Khususnya untuk melihat lebih teliti kepentingan berbagai pihak yang terlibat didalam proyek pembangunan tersebut, sehingga buku ini menjadi sangat penting didalam konteks kebijakan publik. Hal ini dilakukan dengan cara melihat kepentingan aktor-aktor yang dominan, kontribusi yang mereka berikan serta keterkaitan diantara berbagai aktor tersebut. Sehingga akan tampak indikasi pengabaian terhadap ruang hidup warga yang diakibatkan oleh

pelaksanaan kebijakan MP3EI.

Prinsip Debottlenecking dan Skema Public Private

Partnership (PPP)

Perlunya perbaikan level pertumbuhan ekonomi sejalan dengan prinsip spekulasi yang menjadi karakteristik kapitalisme di dalam arena pelaksanaan kebijakan koridor ekonomi. Angka pertumbuhan ekonomi akan ditentukan oleh tingginya aktivitas produksi di berbagai wilayah secara merata dengan dukungan sarana infrastruktur yang layak. Pada prinsipnya, sarana infrastruktur yang baik adalah faktor penting, karena akan mengurangi biaya transaksi didalam proses produksi (Ellis, 1992; Stiglitz, 1986). Sebagaimana diuraikan oleh Harvey, konsep kapitalisme membutuhkan dua komponen utama dalam rangka mencari “moda produksi lainnya”: yaitu sarana infrastruktur (‘mesin dan modal tetap’) dan bentuk lain yang mendukung kegiatan produksi (‘produksi antara’) (Harvey, 2010, hlm. 66-67). Selain itu, ketersediaan tenaga kerja juga sangat penting. Tenaga kerja yang dimobilisir dan diadakan di wilayah sekitarnya akan juga mendukung proses perluasan ke wilayah lainnya (Girling, 1987, hlm. 8). Kesemuanya sangat dibutuhkan untuk menjamin keberlanjutan aliran modal, karena modal itu sendiri juga akan berfungsi sebagai proses ekspansi.

Proyek KISMK dan PLTU Batang adalah bagian dari pemerintah daerah, tetap menghadapi banyak kesulitan,

khususnya terlalu rumitnya kebijakan untuk berinvestasi yang dipengaruhi juga oleh banyak kepentingan-kepentingan yang berkontestasi di kalangan institusi pemerintahan. Sejak kebijakan MP3EI diterbitkan dengan keputusan presiden tahun 2011 (Keppres No. 32 tahun 2011 tentang MP3EI), menjadi jalan pintas untuk mengurangi sejumlah kerumitan yang muncul dan dialami oleh pengusaha dan kelompok swasta. Prinsip debottlenecking, apakah itu memotong proses-proses birokrasi atau melakukan perubahan sejumlah kebijakan, adalah menjadi prinsip utama di dalam MP3EI, termasuk didalamnya adalah melakukan revisi sejumlah kebijakan yang ada terkait dengan PPP agar mendukung kegiatan investasi.

Tulisan ini akan melihat dua proyek pembangunan skala besar yang merupakan proyek percontohan pelaksanaan kebijakan MP3EI. Proyek pertama adalah pembangunan kawasan industri

pengembangan kelapa sawit Sei Mangkei (Kawasan Industri Sei

Mangkei – KISMK) di Simalungun, Sumatera Utara, dan yang kedua adalah mega proyek PLTU Batang di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. KISMK adalah proyek besar untuk mengubah skema industri kelapa sawit dari industri hulu ke industri hilir. Sementara, PLTU Batang adalah penyediaan sarana infrastruktur listrik untuk kebutuhan industri di pulau Jawa. Melalui kedua proyek pembangunan ini akan memperlihatkan

bagaimana proses pelaksanaan prinsip-prinsip debottlenecking

(13)

mengarah kepada proses privatisasi sejumlah aset publik, melalui kebijakan MP3EI, khususnya dengan pelaksanaan

prinsip-prinsip debottlenecking yaitu proses pembaruan birokrasi dan

skema PPP.

Dengan melihat dua kasus mega-proyek KISMK dan PLTU

Batang, maka akan diuraikan “Bagaimana proses pengurangan

atau penghapusan hambatan-hambatan birokrasi dan kebijakan yang terjadi di dalam pelaksanaan kebijakan MP3EI?”. Dengan melihat lebih teliti aspek-aspek apa saja yang menjadi objek didalam

pelaksanaan prinsip-prinsip debottlemecking di dalam skema

pelaksanaan kebijakan MP3EI, serta aspek-aspek atau faktor-faktor apa saja dan bagaimana strategi yang digunakan untuk menyelesaikan hambatan-hambatan atau kesulitan-kesulitan yang muncul atau ada.

Hal-hal yang penting untuk diuraikan didalam tulisan ini dibagi dalam dua bagian besar. Bagian pertama akan menjelaskan

tentang konsep-konsep dan prinsip-prinsip debottlenecking dan

skema PPP sebagai instrumen turunannya. Debottlenecking

akan dilihat dari kedua kasus yang diangkat, yang sudah ada di Indonesia, kelebihan dan kelemahannya serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, khususnya dalam pembangunan infrastruktur. Hasil observasinya diharapkan menjadi input yang dapat dilaksanakan di dalam strategi percepatan pembangunan ekonomi.

Bagian kedua akan menguraikan proses debottlenecking yang

terjadi di dua kasus yang dilihat. Bagian ini akan menekankan pada temuan-temuan dari kedua kasus (kasus KISMK dan PLTU

Batang). Prinsip-prinsip Debottlenecking yang digunakan dengan

baik di dalam kasus ini memperlihatkan proses percepatan pembangunan yang direncanakan. Beberapa hambatan yang harus diselesaikan diuraikan di bagian ini, misalnya kerangka kebijakan, kebijakan investasi dan fasilitas infrastruktur yang kurang memadai.

Tulisan ini akan dibagi dalam 4 bagian; bagian pertama upaya-upaya untuk memperbaiki pembangunan ekonomi

Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, industri kelapa sawit di Indonesia harus diubah menjadi industri hilir untuk mendapatkan surplus yang lebih banyak, dimana sebelumnya atau selama ini hanya mengandalkan industri hulu. Sementara, PLTU Batang, selain difungsikan untuk menjadi penyedia tenaga listrik bagi rumah tangga di Jawa, juga akan melayani kebutuhan listrik bagi sejumlah industri yang ada dan akan dibangun di Pulau Jawa. Kedua kasus ini nerupakan proyek andalan dalam MP3EI; KISMK yang direncanakan akan dibangun di Sumatera Utara, adalah satu proyek skala besar untuk mengubah industri kelapa sawit di Indonesia dari industri hulu ke industri hilir, sementara PLTU Batang dirancang menjadi proyek terbesar untuk penyediaan tenaga listrik di Indonesia (dan di Asia Tenggara) dengan skema PPP yang digunakan pertama kali di Indonesia (Ministry of National Development Planning, 2012, hlm. vi).

Kedua proyek skala besar tersebut adalah prasyarat untuk industrialisasi di Indonesia, karena kedua proyek tersebut ‘menjanjikan’ menyediakan infrastruktur yang baik, yang sebelumnya sulit untuk diwujudkan. Fasilitas infrastruktur yang kurang baik, khususnya sarana transportasi, energi dan ketenagalistrikan, selalu menjadi hambatan untuk menjalankan aktivitas industri di Indonesia. Terbitnya kebijakan MP3EI penting untuk memperbaiki kondisi yang kurang baik tersebut, karena kebijakan MP3EI mengkonsolidasikan seluruh rencana pembangunan. KISMK dan PLTU Batang dibangun di wilayah yang memiliki level pertumbuhan ekonomi dan kondisi sosial ekonomi yang berbeda. Sehingga dampak yang diakibatkan kedua proyek ini akan bervariasi, walaupun di kedua proyek tersebut sama-sama mengalir modal yang besar.

(14)

Rencana pembangunan ekonomi, khusus kebijakan MP3EI di Indonesia, menghasilkan rata-rata pertumbuhan ekonomi yang baik yang tidak selalu diikuti dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat yang tinggal di sekitar area dimana proyek pembangunan skala besar direncanakan akan dibangun. Ide Arthur Lewis tentang pertumbuhan menjelaskan bahwa produktivitas bisa diukur dengan melihat jumlah tenaga kerja yang tersedia dan terserap. Pada kenyataannya, pertumbuhan pada umumnya, seringkali dihitung dengan cara melihat angka surplus, bahkan tanpa mempertimbangkan kondisi yang ada. Dalam wacana paham kapitalisme, penambahan pendapatan tenaga kerja tidak sejalan dengan pengurangan rata-rata kemiskinan; Bahkan (mungkin) akan terus menambah buruk. Pada intinya, apa yang Lewis uraikan bisa terjadi sebagai akibat dari pelaksanaan kebijakan MP3EI, karena MP3EI ditujukan hanya untuk menjaga angka pertumbuhan ekonomi di akhir periode tahun 2011-2025. Paling tidak, hal ini dapat dilihat dengan melihat satu per satu penyebab-penyebabnya dari pelaksanaan kebijakan ini dikaitkan dengan peran negara

Prinsip

Debottlenecking

dan Skema

Percepatan Pembangunan Ekonomi

akan memberikan uraian singkat tentang kebijakan MP3EI di

Indonesia, gambaran kedua kasus yang dipilih, dan dilanjutkan dengan uraian permasalahan dan pertanyaan penelitian sebagai panduan selama melakukan penggalian data dan infromasi untuk tulisan ini.

Bagian kedua menjelaskan tentang teori dan konsep debottlenecking yang bekerja dalam pelaksanaan kebijakan koridor ekonomi (di Indonesia). Bagian ini juga menjelaskan bagaimana strategi percepatan pembangunan ekonomi menggunakan prinsip dan sejumlah faktor yang dijelaskan di dalam pelaksanaannya.

Bagian ketiga akan mengelaborasi pelaksanaan prinsip debottlenecking. Dengan mengambil dua kasus utama, yaitu KISMK dan PLTU Batang, keduanya akan memperlihatkan sejumlah faktor yang seharusnya dihilangkan hambatannya. Cerita di kedua kasus akan memberikan dinamika yang berbeda dalam pelaksanaannya.

Untuk mengerucutkan teori dan konsep yang diuraikan di bagian 2, pada bagian empat akan menganalisa bentuk dan

proses bekerjanya debottlenecking. Fokus utama pada bagian ini

adalah untuk mengambarkan bagaimana upaya debottlenecking

(15)

peraturan pelaksananya. Bahkan, pemerintah daerah belum menerima atau lambat menerima informasi tentang peraturan baru atau peraturan yang baru direvisi dan disahkan oleh pemerintah pusat. Hal ini juga menjadi bagian dari hambatan didalam pembangunan.

Sebagaimana akan diilustrasikan dalam kasus KISMK dan PLTU Batang, prilaku birokrasi tersebut seringkali terjadi berbeda-beda di setiap wilayah. Perbedaan tersebut ditentukan oleh beragam proyek pembangunan yang hendak dilaksanakan, serta kemampuan aktor-aktor yang terlibat di dalam proses dijalankannya suatu proyek. Dua kasus ini memperlihatkan bagaimana pembangunan yang membutuhkan modal yang besar akan mengundang banyak kepentingan dari berbagai kelompok, dimana, pada akhirnya, kelompok-kelompok yang terlibat tersebut akan mempengaruhi keputusan strategis terkait yang akan dilaksanakan selama proyek tersebut berlangsung. Terdapat beberapa aktor penting didalam prosesnya, yaitu pemerintah sebagai pembuat keputusan/kebijakan, investor sebagai pemilik modal, pengusaha lokal dan warga sekitar yang tinggal di sekitar lokasi proyek pembangunan, yang seringkali mendapatkan dampak negatif. Walaupun kedua kasus ini memiliki karakter yang berbeda satu sama lain karena tipe proyek dan lokasinya, tetapi keduanya tetap bisa diperbandingkan untuk melihat

bagaimana proses debottlenecking benar-benar terjadi atau akan

terjadi.

Strategi pembangunan Indonesia saat ini dengan prinsip debottlenecking adalah strategi untuk bekerjasama dengan birokrasi, bukan untuk melawannya. Hal ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat untuk mengikutinya dalam rangka mencapai target pembangunan. Mereka harus membuat penyesuaian, apakah di pihak pelaksana atau birokratnya atau mereka yang menggunakan alat birokrasi. Khususnya di dalam pelaksanaan kebijakan MP3EI, pelaksana cenderung untuk merubah diri, baik secara sukarela atau disebabkan dorongan dari lembaga yang lebih tinggi levelnya. Yang terpenting adalah dalam pembangunan ekonomi. Terlebih-lebih, jika melihat

lebih dalam bagaimana konsep pertumbuhan diadopsi, dan kenapa privatisasi diambil sebagai pilihan strategis. Peran negara, konsep pertumbuhan dan strategi privatisasi, menjadi bagian dari kerangka analisis melihat dua kasus yang diangkat; KISMK dan PLTU Batang; untuk melihat pelaksanaan prinsip debottlenecking.

Prinsip Debottlenecking: Teori dan Konsep

Debottlenecking2 adalah sebuah proses untuk mengurangi

hambatan-hambatan yang ada dalam rangka mencapai target pembangunan. Hambatan tersebut terkait dengan kendala yang mungkin ada didalam pencapaian tujuan pembangunan, sehingga, baik hambatan dan tujuan menjadi terminologi dasar didalam pelaksanaan proyek pembangunan. Identifikasi hambatan yang ada sangat penting sehingga jelas target pengurangannya dan penghilangannya. Pemerintah Indonesia menyimpulkan bahwa birokrasi menjadi akar permasalahan didalam pencapaian tujuan pembangunan. Birokrasi yang merentang dari pemerintah pusat hingga ke tingkat lokal perlu diperbaiki, yang diakibatkan kondisi geografis dan masalah kependudukan di Indonesia.

Secara garis besar, berdasarkan hasil observasi Unit Kerja Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), birokrasi terkait dengan pola kerja, keberadaan atau ketiadaan kebijakan, dan peraturan pelaksanaannya. Pada kenyataannya, beragam hambatan birokrasi disebabkan oleh tidak tersedianya

(16)

menjadi proses yang sistematis dan legal (Safitri H. , 2012), khususnya karena proses akuisisi lahan dilakukan atas nama pembangunan untuk kepentingan publik.

Sementara prinsip over-produksi merupakan karakter kapitalis dimana tidak akan pernah membiarkan keuntungannya disimpan dalam bentuk tabungan, karena mereka harus terus menerus mengubah keuntungan yang didapatkannya menjadi modal selanjutnya, dan kemudian pembukaan area baru melalui pertumbuhan ekonomi adalah jalan bagi mereka untuk menemukan lokasi baru untuk kegiatan investasi. Ketimpangan merupakan kondisi yang dibutuhkan didalam pembangunan yang bercorak kapitalistik. Kelas adalah faktor penting yang terbentuk akibat penerapan teknologi yang terbaru. Didalam konteks pelaksanaan kebijakan MP3EI, proses urbanisasi – dalam arti mengubah wilayah perdesaan menjadi wilayah industri – merupakan bagian penting untuk pembentukan kelas, khususnya untuk menyediakan tenaga kerja untuk menunjang sektor industri yang dibangun. Dikotomi kelas – yaitu kelas

atas versus kelas bawah – akan dibentuk dengan sendirinya

di dalam masyarakat dari proses urbanisasi tersebut (Buci-Glucksmann, 1979, hlm. 210). Karenanya, target pembangunan pertama di Indonesia adalah proses percepatan pembangunan di wilayah-wilayah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, kemudian, menurut teori kapitalis; pembentukan dikotomi akan segera terjadi dan pada akhirnya modal dapat diputar. Kelompok terlatih di bidang tertentu pun akan dipaksa menjadi bagian dari kelas pekerja karena penerapan teknologi. Arthur Lewis menjelaskan hal ini dengan asumsinya tentang Unlimited Supplies of Labor (Lewis, 2008), yang sangat cocok dengan kondisi Indonesia, dimana memiliki penduduk yang banyak dan sumberdaya alam yang melimpah. Asumsi ini juga didukung oleh Celso Furtado (Furtado & Girvan, 1973) yang sejalan dengan teori Keynesian, yang menyatakan bahwa pertumbuhan bukan didapat dari margin keuntungan industri ekstraktif itu sendiri, melainkan, sumber utama pertumbuhan untuk memotong pola koordinasi yang rumit yang disebabkan

pola birokrasi, untuk memuluskan jalannya proyek-proyek pembangunan (Mangkusubroto, 2011). Hal inilah yang menjadi strategi utama yang harus dilakukan di Indonesia dalam rangka menghilangkan sejumlah hambatan yang ada.

Pelaksanaan Prinsip Debottlenecking dan

Konsekuensinya terhadap Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi dalam MP3EI memperlihatkan bagaimana modal mendominasi kegiatan ekonomi dan mengarahkan orientasi pembangunan ekonomi. Sehingga, tujuan pembangunan ekonomi nasional tentunya hanyalah alasan bagi para investor untuk membuka area/wilayah baru untuk mencari lokasi baru untuk kegiatan investasi serta mengumpulkan keuntungan. Dengan asumsi ini, prinsip debottlenecking akan dilaksanakan untuk membuat kondisi yang layak untuk perputaran kapital dengan tanpa ada hambatan.

Teori dasarnya adalah teori pertumbuhan klasik yang dikenal

dengan istilah Subsistence-Capitalism, dimana rata-rata pendapatan

(17)

bahan mentah.

Setiap orang akan menjadi manusia ekonomi di dalam pendekatan pembangunan ekonomi seperti ini. Hal ini akan segera terlihat dari pengalaman pelaksanaannya yang menekankan pada level pertumbuhan ekonomi, yaitu dampak tingkah laku individu yang juga hanya berpikir untuk memaksimalkan keuntungan mereka (Chang, 2010). Uraian kedua kasus ini akan menggambarkan bagaimana, bahkan, pejabat pemerintah, juga tokoh masyarakat akan mengambil setiap kesempatan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya di dalam jangka waktu tertentu.

Walaupun demikian, tidak dipungkiri bahwa pendekatan sebagaimana didalam pelaksanaan kebijakan MP3EI berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana tertera didalam dokumen kebijakan MP3EI bahwa level pertumbuhan akan dicapai secara bertahap dalam waktu 15 tahun kedepan sejak tahun 2011 dengan strategi program yang jelas di setiap tahapannya (Coordinating Ministry of Economic Affairs, 2011). tetapi, bagaimana target tersebut akan menyentuh masyarakat secara sosial, politik dan tentunya ekonomi, karena tidak selalu kemajuan di tingkat makro merefleksikan situasi yang terjadi di skala yang lebih kecil atau di tingkat mikro. []

adalah dari pencapaian pendapatan pekerja.

Akan berbeda jika penekanannya kepada peningkatan kesejahteraan sosial rakyat, dengan melihat lebih jauh kondisi masyarakat dan kebutuhan mereka. Metode analisis Ekonomi-Politik melihat pertumbuhan melalui cara yang lebih rumit, yang pada akhirnya akan melihat siapa yang beruntung dan siapa yang merugi. Pendekatan Ekonomi-Politik Marx (1859) menjelaskan bahwa walaupun dimulai dari analisis kondisi masyarakatnya termasuk potensi mereka dan lingkungannya, konsekuensinya tetap akan terjadi polarisasi masyarakat kepada dua kelompok besar masyarakat (pekerja dan pemilik modal), kemudian diteruskan dengan melihat pada nilai ekspor dan impor yang dianggap sebagai aktivitas ekonomi, dan, terakhir, perhitungan pertumbuhan ekonomi bergantung pada transaksi ekonomi makro yaitu kegiatan ekspor dan impor. Inilah klaim utama tulisan ini bahwa kebijakan MP3EI hanya menghitung pertumbuhan diatas kertas yang dihasilkan dari tingginya kegiatan ekonomi yang timbul di wilayah pusat kegiatan ekonomi yang dibangun oleh Kawasan Perhatian Investasi (KPI).

(18)

KISMK dan PLTU Batang sebagai Proyek Utama dalam Pelaksanaan Kebijakan MP3EI

Sektor perkebunan dan pertanian merupakan penyumbang terbesar bagi ekonomi Indonesia, diikuti sektor riil yang sudah dibangun sejak masa Orde Baru (1965-1998). Di sektor ini, minyak sawit dianggap sebagai komoditas paling penting karena produksinya yang menguasai pasar dunia bersama Malaysia. Sementara, sektor riil di pulau Jawa juga semakin terbangun dengan tersedianya fasilitas pendukung. Kedua sektor tersebut masuk dalam skema percepatan MP3EI yang ditargetkan hingga 2025. Alasannya, karena kedua sektor tersebut dianggap mampu mengangkat tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia, jika keduanya mendapat dukungan penuh khususnya ketika dihilangkannya sejumlah hambatan yang ada dan mungkin terjadi.

(19)

40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%

ersentase Total Luas

Areal P

Menurut Provinsi dan Status P

engusahaan T

ahun 2000 sd. 2006

83% 82% 81% 80% 79% 78% 77% 76% 75% 74% 73% 72%

erkebunan Kelapa Sawit di

Sumatera

(terhadap Total

Areal di

Indonesia)

Kenapa KISMK berada di Sumatera Utara?

Sumatera Utara sebagai Pusat Produksi Minyak Sawit

KISMK sebagai pusat industri berbasis produksi kelapa sawit menjadi sangat cocok diletakkan di Sumatera Utara, karena provinsi ini merupakan wilayah utama di Indonesia sebagai penghasil kelapa sawit di Indonesia. Dengan demikian, maka pembangunan kawasan industri Sei Mangkei menjadi penting untuk dibangun untuk menopang industri hilir kelapa sawit, yang dianggap memiliki nilai lebih, juga karena kawasan ini juga didukung kecukupan persediaan bahan mentah dari luasnya perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara.

Grafik 1.

Luas Wilayah Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara (ha)

Sumber: Dirjen Perkebunan 1996, Tabel 1.5 , 1.6, 1.7, Luas Areal dan Produksi Perkebunan Seluruh Indonesia Menurut Provinsi dan Status Penguasaan, Kelapa Sawit tahun 1995-1997; Dirjen

Perkebunan 2000, Tabel 1.5 , 1.6, 1.7, Luas Areal dan Produksi Perkebunan Seluruh Indonesia

Menurut Provinsi dan Status Penguasaan, Kelapa Sawit tahun 1998-2000; BPS 2006, Tabel 3.1. sd.

3.7. Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Indonesia Menurut Provinsi dan Status Pengusahaan

Tahun 2000 sd. 2006

1200

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

(20)

Grafik 4. Produktivitas

Sumber: Dihitung dari Dirjen Perkebunan tahun 1996 dan 2000, Tabel 1.5 , 1.6, 1.7, Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia berdasarkan provinsi dan Status Penguasaan Lahan tahun 1995-2000; BPS 2006, Tabel 3.1. - 3.7. Areal dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia menurut Povinsi dan Status tahun 2000- 2006.

Sumatera Utara Pulau Sumatera

Indonesia 4.5

4.0

3.5

3.0

2.5

2.0

1.5

1.0

0.5

1995 1997 1999 2001 2003 2005

Ribu/Ton

Pentingnya minyak kelapa sawit mentah (CPO) kemudian diikuti bertambahnya jumlah dan nilai investasi di Sumatera Utara. Industri ini telah menarik perhatian banyak investor, baik asing maupun domestik. Grafik 6 dibawah, walaupun tidak secara khusus menggambarkan investasi di perkebunan kelapa sawit, namun dapat memberikan gambaran investasi dalam industri kelapa sawit

Sejak tahun 2006 hingga 2012, jumlah dan nilai investasi asing maupun domestik, di Sumatera Utara cenderung Meskipun, sejak 1995 hingga 2006, jumlah persentase

perluasan perkebunan di Sumatera Utara cenderung mengalami penurunan setiap tahunnya (grafik 2), namun luas keseluruhan justru mengalami kenaikan (grafik 1). Ini artinya meski terjadi peralihan tanah skala besar untuk perkebunan kelapa sawit di wilayah lainnya di Indonesia, namun Sumatera Utara tetap menjadi pusat utama perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Pulau Sumatera, khususnya provinsi Sumatera Utara merupakan wilayah penting bagi industri kelapa sawit, melalui perluasan perkebunan dan tingginya produktivitas yang mendukung industri hilir kelapa sawit, baik yang terletak di Indonesia maupun di beberapa negara di Asia tenggara (lihat grafik 5). Luasnya lahan dan tingginya produktivitas membuat perkebunan di Sumatera Utara menguasai industri kelapa sawit di Indonesia. Tingkat produktivitas yang tidak kurang dari 2,5 ton/ha, dibandingkan produktivitas provinsi lain di Sumatera atau Indonesia yang hanya mencapai angka tertinggi 2,5 ton/ ha (lihat grafik 4), merupakan faktor penting lainnya Sumatera Utara dalam industri ini.

Produktivitas perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara memberi sumbangan yang cukup besar terhadap rata-rata ekspor kelapa sawit setiap tahunnya. Sejak 1990, nilai ekspor kelapa sawit mencapai 2 juta ton dan terus meningkat hingga 7 ton pada tahun 2000 (lihat grafik 5). Dalam sisi penerimaan negara, ekspor produk perkebunan –dimana salah satunya adalah produksi kelapa sawit, Provinsi Sumatera Utara memberi sumbangan yang sangat besar dan penting bagi pembangunan ekonomi nasional.

(21)

Grafik 6. Inv

estasi

400 300 200 100

2006

20.000 15.000 10.000 5.000

NILAI (dalam Triliun Rp)

Inv

estasi Dalam Negeri

800 600 400 200

2006

4.000.000 3.000.000 2.000.000 1.000.000

2006

NILAI (dalam juta USD)

Inv

estasi

Asing

Sumatera

Sumatera Utara

Sumber: Badan Koordinasi P

enanaman Modal

mengalami kenaikan (lihat grafik 6). Pada periode 2009 hingga 2011, jumlah investasi mengalami lonjakan yang cukup tajam. Pada tahun 2011, meski investasi dalam negeri mengalami penurunan, namun investasi asing sedikit mengalami kenaikan. Sementara, kecenderungan pelaku penanaman modal hingga tahun 2009, baik penaman modal dalam negeri dan asing relatif sama jumlahnya, namun kemudian berbeda di tahun-tahun berikutnya, dimana penanaman modal asing lebih aktif hingga mencapai jumlah lebih dari 100 proyek di tahun 2011 dan 2012. Sementara penanaman modal dalam negeri paling banyak hanya mencapai kurang dari 100 proyek di tahun 2011 dan sedikit berkurang di tahun 2012 yaitu mendekati jumlah 50 proyek.

Rata-rata Jumlah Ekspor Minyak Sawit Indonesia

Sumber: Statistik Kelapa Sawit, 2006

(22)

60% lahannya ditanami kelapa sawit sedangkan sisanya adalah kebun karet. Berdasarkan data profil PTPN III tahun 2010 dan data BPS 2011, lahan perkebunan kelapa sawit tersebar di 7 Kabupaten, dengan sebaran terbanyak berada di Kabupaten Labuhan Batu, hampir mencapai 50% lahan kebun kelapa sawit yang dikuasainya, dan yang terkecil di Kabupaten Tapanuli Selatan yaitu kurang dari 1,5% (Tabel 1.). Ditinjau dari sisi jumlah kebunnya, di Labuhan Batu terdapat 16 perusahaan perkebunan, dari total 41 perusahaan PTPN III yang ada di Sumatera Utara (Tabel 2.).

Tabel 2.

Jumlah Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara, 2011

Kabupaten

Perusahaan

TOTAL Swasta

Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) Jumlah

BUMN

PTPN II PTPN III PTPN IV

Mandailing

% 68.24% 31.68% 40.59% 27.72% 31.76% 100.00%

Sumber: BPS, 2011 2012. Sebaliknya, investasi asing di Sumatera sepanjang

2011-2012 mengalami kenaikan yang tajam, meski di Sumatera Utara relatif stabil, bahkan cenderung sedikit menurun.

Jika kita hubungkan investasi di Sumatera Utara dan potensinya dalam perkebunan, dapat disimpulkan bahwa kegiatan investasi, baik investasi dalam negeri maupun asing, cukup stabil, dalam arti kegiatan ekonomi di Sumatera Utara di dominasi oleh investasi perkebunan (termasuk perkebunan kelapa sawit).

PTPN III: pemain utama di KISMK

Sejak KISMK ditetapkan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei, pada awal 2012 Bupati Simalungun menunjuk PTPN III menjadi operator untuk pelaksanaan pembangunannya. Tidak ada yang baru jika melihat aktivitas PTPN III di Provinsi Sumatera Utara atau di dalam melihat dinamika perkembangan KISMK, karena PTPN III adalah salah satu pelaku utama di dalam dinamika industri kelapa sawit, khususnya di Sumatera Utara, dan merupakan inisiator pembentukan KISMK. Namun perlu dilihat lebih jauh tentang seberapa pentingnya PTPN III di dalamnya, dengan melihat penguasaan lahan-lahan kebunnya dan inisiatifnya untuk mengembangkan KISMK.

Tabel 1.

Sebaran Perkebunan Kelapa Sawit PTPN III di Sumatera Utara

Kabupaten Area (ha) %

Labuhan Batu 40.188,33 49,47%

Asahan 20.365,71 25,11%

Deli Serdang 13.748,09 16,95%

Simalungun 5.686,83 7,01%

Tapanuli Selatan 1.171,00 1,44%

TOTAL 81.089,96 100%

Sumber: PTPN III, 2010

(23)

Kabupaten

Jumlah P

abrik

P

engolahan

Kapasitas

Labuhan Batu

8 pabrik

390 Ton/jam

Serdang Bedagai

1 pabrik

30 Ton/jam

Asahan

1 pabrik

60 Ton/jam

Simalungun

1 pabrik

75 Ton/jam

Gambar 1.

Sebaran P

abrik P

engolahan

PTPN III

Sumber: Diolah dari profil

PTPN III, 2010

P

abrik P

engolahan

Dibandingkan dengan keseluruhan luas perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara, PTPN III menguasai minimal 7,5 % luasan kebun kelapa sawit pada tahun 2006. Diantara seluruh perusahaan BUMN yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit, PTPN III menguasai 40% dari seluruh PTPN yang beroperasi di Sumatera Utara (PTPN II sebanyak 32% dan PTPN IV sebanyak 28%) dan di Kabupaten Simalungun sendiri, PTPN merupakan salah satu BUMN, adalah penguasa mayoritas (21 perusahaan dari 27 perusahaan) (Tabel 2.).

Jika secara khusus diamati keberadaan PTPN III di Kabupaten Simalungun, dimana KISMK pertama kali di bangun, tampaknya PTPN III bukan merupakan perusahaan yang dominan (hanya 5 dari 21 perusahaan, sisanya adalah PTPN IV (tabel.2)). Dengan sedikitnya penguasaan lahan kebun di Kabupaten Simalungun, yang dampaknya juga rendahnya produktivitas PTPN III ini, mengindikasikan bahwa kawasan industri yang akan dibangun akan bergantung kepada perkebunan-perkebunan yang ada di

sekitarnya3. Walaupun terdapat 27 bidang kebun yang dikuasai

baik oleh perusahaan swasta dan perusahaan milik negara lainnya (PTPN IV), Kabupaten Simalungun masih berada di peringkat ke-7 dari banyaknya jumlah perkebunan yang ada di Sumatera Utara. Jadi bisa diasumsikan bahwa yang menjadi latar belakang PTPN III berencana mendirikan kawasan industri ini adalah untuk mengisi ketiadaan kawasan industri hilir kelapa sawit di Sumatera, bahkan inisiatif ini adalah yang pertama di Indonesia.

PTPN III melihat potensi untuk mengembangkan kawasan industri ini, karena faktor ketersediaan CPO yang lebih terjamin di provinsi ini. Kabupaten Labuhan Batu dan Langkat, sebagai wilayah perkebunan kelapa sawit terbesar di Sumatera

(24)

P

eningkatan rel kereta api eksisting

P

embangunan/rehabilitasi jalur kereta api perkotaan Rute : Medan - Binjai - Belaw

an - P

ancur Batu -

Deli T

ua - T

anjung Moraw

Mendukung program Mass rapid Transportation (MRT)

P

embangunan Fly Over/Underpass pada perlintasan sebidang

P

engembangan jaringan rel kereta api untuk menunjang angkutan dari dan menuju sentra- sentra produksi dan hasil perkebunan di

Sumatera

Utara (Spoor Simpang)

BEROPERASI Belmera (panjang 42,7 km) RENCANA Ruas Medan - Binjai (15,8 km) Ruas Medan -

Kualanamu - T

ebing Tinggi

(60 km) Ruas Kisaran - T

ebing Tinggi (60 km)

(Berdasarkan Kepmen No.369/KTPS/M/2005

Jo Kepmen PU No.280/KTPS/M/2006)

JARINGAN JALAN TOL DI PROVINSI Sumatera

UT

ARA

Jaringan pelay

anan kereta api di

Sumatera Utara sepanjang 505,429 km terdiri dari:

1.

an (21,7 km), dan Medan - Besitang (122,3 km)

2.

Lintas Cabang: Kisaran -Tj Balai (20,7 km), T

ebing Tinggi - P. Siantar (48,5 km)

PEMBANGUNAN JALUR KERET

A

API

Sumber: Departemen P

ekerjaan Umum, 2011

Gambar 2.

Rencana P

embangunan Sarana Transportasi Darat di

Sumatera Utara

Utara, akan menjadi penyedia utama kebutuhan KISMK, selain Deli Serdang, Serdang Bedagai dan Asahan, yang jauh lebih baik ketersediaannya dibandingkan di Kabupaten Simalungun. Di Kabupaten-Kabupaten tersebut, terdapat cukup banyak perkebunan Kelapa Sawit (lihat tabel 2). KISMK tidak menggantungkan pada pasokan perkebunan negara, yang hanya sekitar 32% dari total jumlah perkebunan di Sumatera Utara, melainkan juga dari perkebunan besar swasta yang menguasai 70% dari seluruh perkebunan yang diandalkan menjadi pemasok utama minyak sawit mentah (CPO) bagi KISMK.

PTPN III, di Kabupaten Simalungun hanya memiliki 1 unit pabrik pengolahan yang memiliki kapasitas terbesar diantara 11 perusahaan lainnya (gambar 1). Walaupun demikian, PTPN III merupakan insiator untuk dibangunnya KISMK di Kabupaten Simalungun, untuk memastikan industri kelapa sawit di Sumatera Utara terkonsentrasi pada industri hilir, serta untuk menyeimbangkan produksi PTPN III yang rendah di Kabupaten ini. Bagi PTPN III, wilayah ini memiliki prospek bagus untuk mengubah industri kelapa sawit di Indonesia, dari sekedar penghasil CPO terbesar menjadi penghasil produk akhir, yang saat ini masih dikuasai Malaysia, China dan negara-negara di Eropa.

Berdasarkan hasil penilaian industri perkebunan di Indonesia, inisiatif PTPN III membangun KISMK akan mengurangi biaya produksi yang cukup besar, khususnya memotong biaya penyediaan bahan bakar dan transportasi/distribusi. KISMK akan meliputi lahan seluas 2.000 hektar, yang didesain sebagai wilayah industri yang terintegrasi, dimana pembangkit listrik bagi industri kelapa sawit akan dibangun. KISMK juga berencana akan mengubah produksi limbah kelapa sawit menjadi produksi bahan bakar (biomas dan biodiesel). Dengan kata lain, KIMSK akan menggunakan setiap hasil produk tanaman kelapa sawit yang secara bersamaan akan membawa citra baik industri ini.

(25)

saat itu, seluruh kawasan sudah dapat diatur sehingga investasi yang masuk akan mengisi kekurangan kekurangan modal yang dibutuhkan untuk memproduksi produk turunan kelapa sawit yang siap jual, baik untuk pasar dalam negeri maupun pasar global. Melalui tahapan perencanaan tersebut, maka secara bertahap proses transformasi industri kelapa sawit Indonesia sedikit demi sedikit terbangun dan siap menjadi pemain besar di pasar internasional dengan kesiapan sarana ifrastruktur dan permodalan serta kelayakan pabrik-pabrik yang dibangun di KISMK.

Mengapa PLTU di Batang

Pembangunan pembangkit listrik di Batang dapat dilihat sebagai upaya pemenuhan kebutuhan energi untuk industri di Jawa, yang ditandai dengan pembangunan industri secara masif dalam satu dekade terakhir. Kebutuhan tersebut dapat diukur dengan melihat dinamika investasi yang ada dan akan masuk di Jawa, apakah itu dalam kerangka MP3EI atau perencanaan yang sudah berjalan. Jawa adalah pulau utama atau wilayah yang paling memungkinkan sebagai proyek percontohan untuk percepatan dalam skema pelaksanaan MP3EI. Karenanya, tidak berlebihan jika analisa utama dalam ulasan ini menyebut bahwa alasan dibelakang pembangunan PLTU Batang lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan industri, daripada memenuhi kebutuhan energi rumah tangga pedesaan di Jawa. Dalam laporan tahunan dan perencanaan umum PT PLN juga mencantumkan penyediaan listrik bagi wilayah pedesaan dengan membangun pembangkit listrik lokal dan murah seperti mendorong pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLTB) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Sementara untuk wilayah yang memiliki pembangkit listrik berkapasitas kecil (yaitu dibawah 100MW), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berencana membangun jaringan distribusi ke wilayah pedesaan yang didanai oleh APBN (PLN, 2012, hlm. 14-15). Dengan kata lain, rencana pembangunan PLTU Batang sawit di Sumatera Utara, Kabupaten tersebut bersebelahan

dengan Kabupaten Labuhan Batu, Asahan, dan Langkat, yang juga terdapat banyak perkebunan kelapa sawit (tabel 2). Faktor geografis ini juga akan didukung pembangunan sarana transportasi, jalan tol, jalan utama dan jalur kereta api yang akan membelah dan menghubungkan wilayah timur Sumatera; yang sudah direncanakan sejak 2006 (gambar 2). Tidak jauh dari lokasi juga akan dibangun pelabuhan internasional di Kuala Tanjung dan bandara Kualanamu. Terlebih, sudah terdapat satu pelabuhan yang dibangun oleh perusahaan Jepang yang dikhususkan untuk mengangkut alumunium, milik PT Inalum.

Proses Pembangunan KISMK terbagi dalam 3 tahap; tahap pertama pada tahun 2009-2012, tahap kedua 2012-2019 dan tahap terakhir tahun 2019 hingga 2025. Tahap pertama difokuskan pada penyiapan sarana infrastruktur diatas 46 ha lahan dari 104 ha yang diproyeksikan akan dibangun pada tahap ini. Pada tahap ini juga akan dibangun sumber tenaga listrik dari limbah padat sisa produksi kelapa sawit untuk memenuhi kebutuhan listrik di kawasan tersebut, khususnya untuk pabrik pengolahan yang sudah dibangun di tahap pertama. Tahap kedua difokuskan pada pembangunan sarana infrastruktur (jalan dan tenaga listrik) serta melanjutkan proses pembangunan pabrik untuk memproduksi produk turunan lainnya. Bersamaan dengan itu, PTPN III juga melakukan promosi dengan mengundang investor untuk berinvestasi di kawasan ini, khususnya untuk

membangun pabrik pengolahan Oleochemical. Berdasarkan

(26)

lebih dari 50% berada di pulau Jawa. Meskipun persentase jumlah proyek dan nilai investasi di tahun 2010 mengalami penurunan, jumlah proyeknya naik secara signifikan. Jumlah proyek investasi langsung dalam negeri pada tahun 2010 sebanyak 397 proyek (dari total 875 proyek di Indonesia); dari hanya 179 dan 174 (dari 239 dan 248 proyek di Indonesia) pada 2008 dan 2009. Dari gambaran investasi ini, nilai investasi asing yang beroperasi di Jawa lebih dari 70% dari total investasi di

Indonesia pada tahun 2008 hingga 20106. Total investasi di Jawa

mendorong besarnya faktor penting Pulau Jawa dibandingkan pulau lainnya, berdasarkan jumlah perusahaan industri (baik pertanian maupun non pertanian). Berdasarkan data Kementrian Perindustrian pada 2012, hampir 80% perusahaan industri di Indonesia beroperasi di Pulau Jawa (Tabel 4).

Investasi untuk sarana infrastruktur di Jawa menjadi persoalan utama, khususnya keberlanjutan sejumlah industri yang secara simultan dibangun di Jawa. Tidak hanya investasi

untuk pembangunan infrastruktur transportasi7, melainkan

juga pembangunan sarana infrastruktur energi. Meskipun telah terdapat sejumlah pembangkit listrik di Pulau Jawa, peningkatan jumlah pabrik di Jawa menjadi alasan perlunya dibangun pembangkit listrik yang lebih besar.

6 Tidak terlalu mengejutkan jika 95% dari nilai total investasi asing berada di pulau Jawa. Hal itu akibat krisis ekonomi yang terjadi di Negara maju yang mengakibatkan menurunnya jumlah investasi di pulau lainnya, khususnya investasi di sektor pertambangan dan perkebunan

7 Hingga tahun 2010, meski Jawa merupakan salah satu pulau terkecil diantara lima pulau besar di Indonesia, presentase pembangunan jalan mencapai 24% dari total keseluruhan pembangunan di Indonesia (Statistik Indonesia, 2012, hlm. 348-350). Termasuk pembangunan sarana jalan untuk menghubungkan wilayah-wilayah yang dipisahkan oleh sungai, yang jauh lebih intensif dibandingkan dengan Pulau lainnya seperti Kalimantan yang memiliki sungai lebih banyak. Sejak 1970an, di Jawa terdapat lebih dari 1.725 jembatan dari total 3.810 yang dibangun di Indonesia, dan hingga 2009, sekitar 25% jembatan terbangun berada di Jawa (Department of Public Work, 2009). Begitu pula fasilitas telekomunikasi dan listrik, diantara kepulauan lain di Indonesia, Jawa merupakan wilayah yang menjadi prioritas.

tidak pernah ditujukan untuk kebutuhan rumah tangga. Selain itu, jika dilihat dari rasio elektrifikasi di Jawa-Bali, yang pada tahun 2011 mencapai rasio 72%, maka fokus pembangunan kelistrikan seharusnya ditujukan untuk kebutuhan di pulau

lainnya, yang hingga tahun 2011 masih dibawah 70%4 (PLN,

2012, hlm. 19).

Sebagai pulau utama, Jawa juga menjadi penyumbang terbesar

pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun5. Dibandingkan

dengan kepulauan lain di Indonesia, Jawa memiliki banyak kelebihan, yaitu infrastruktur yang lebih baik dan jumlah serta kepadatan penduduk yang dapat memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Karenanya, tidak salah jika investor lebih memilih untuk berinvestasi di Jawa, baik investor asing maupun dalam negeri (lokal/nasional). Setiap tahun jumlah investor yang beroperasi di Pulau Jawa terus bertambah. Jika dibandingkan dengan nilai uang yang diinvestasikan pada tahun 2008 dan tahun 2010, menunjukkan bahwa investasi di Jawa meningkat lebih dari 100%, khususnya investasi dalam negeri (tabel 3).

Tabel 3. Investasi di Jawa, 2008-2010

Sumber Investasi

2008 2009 2010

Jumlah Nilai Jumlah Nilai Jumlah Nilai

Dalam Negeri (nilai dalam

Triliun Rupiah)

183 12.230,5 174 25.766,6 397 35.136,4

Asing (nilai

dalam Juta USD) 947 14.871,4 946 9.370,5 1.976 11.498,7

Sumber: Statistical Yearbook of Indonesia 2011, Tabel 11.2.2. dan 11.2.4. (hlm. 390-392)

Hal yang sama juga terjadi jika dilihat dari nilai investasi, baik dalam negeri dan asing, sejak 2008 hingga 2010, presentasenya

4 Berdasarkan data PLN tahun 2011, seperti yang diuraikan dalam tabel 3.3 Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2012-2021. Meski di Pulau Jawa-Bali, rasionya diatas rasio di Indonesia, sebesar 71% pada 2011.

(27)

bergabung menjadi satu wilayah yang menjadi pertimbangan utama untuk menentukan Kawasan Perhatian Investasi (KPI).

Jumlah keseluruhan KPI di Jawa sebanyak 34 KPI, dan hingga akhir Mei 2012, KP3EI Jawa telah mengidentifikasi 13 kota di provinsi Jawa Barat, 4 kota di provinsi Banten, 6 kota di Jawa Tengah dan 10 kota di Jawa Timur, termasuk satu di provinsi DKI Jakarta (Tim Kerja MP3EI Jawa, 2012, hlm. 14). Dari keseluruhan 34 KPI, masing-masing memiliki potensi aktivitas ekonomi utama yang telah dideskripsikan pada tabel 5 diatas. Aktivitas ekonomi utama adalah industri makanan dan tekstil. Alih-alih untuk membangun industri/memperbaiki industri berbasis sumber alam, yang terletak di selatan Jawa, skema implementasi kebijakan MP3EI cenderung memilih untuk memperbaiki industri non kehutanan dan tambang (Safitri H., 2012, hlm. 27).

Tabel 5.

Kawasan Perhatian Investasi (KPI) berdasarkan Kegiatan Ekonomi di Jawa

No. Kegiatan Ekonomi Utama

Kawasan Perhatian Investasi (KPI)

Total Jawa

Barat

DKI

Jakarta Banten Jawa

Jawa

Sumber: Hasil Pertemuan Koordinasi, KP3EI Koridor Jawa (2012, hlm. 44-55)

Tabel 4.

Jumlah Industri Pertanian dan Non-Pertanian di Jawa (2012)

No. Provinsi

2 DI Yogyakarta 34 1 35

3 DKI Jakarta 100 0 100

4 Jawa Barat 310 14 324

5 Jawa Tengah 89 14 103

6 JAwa Timur 455 21 476

Jumlah di Jawa 1165 (78.72%)

53 (66.25%)

1,218 (78.08%)

Jumlah di Indonesia 1,480 80 1,560

Sumber: http://www.kemenperin.go.id/direktori-perusahaan?what=Industri&prov=0 danhttp://

www.kemenperin.go.id/direktori-perusahaan?what=pertanian&prov=0 (diakses pada tanggal 3 September 2012)

Skema Percepatan koridor ekonomi di Jawa lebih ditujukan untuk menyokong, tidak hanya wilayah-wilayah yang berpotensi, tetapi juga kawasan yang sudah memiliki sejumlah industri yang membentang dari bagian barat hingga ke wilayah timur

Jawa8. Meskipun demikian, implementasi kebijakan MP3EI

untuk Koridor Ekonomi Jawa hanyalah sekedar mendaftarkan kembali semua insiatif yang sudah pernah ada menjadi bagian implementasi kebijakan MP3EI melalui proses verifikasi yang dilakukan oleh Komite Percepatan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia Koridor Jawa (KP3EI Koridor Jawa). Aktivitas industri yang diversifikasi dan dikelola KP3EI Koridor Jawa dengan memberi prioritas kepada beberapa kota untuk

(28)

Tabel 7.

Kondisi Kelistrikan di

Jaw

Dengan tujuan untuk melaksanakan skema ‘percepatan’ kebijakan MP3EI, sejumlah hambatan harus dihilangkan atau paling tidak dikurangi, dan jika ada hal yang harus dilakukan, maka hal tersebut harus disesuaikan dengan kebutuhan investor. Ini merupakan bagian dari proses verifikasi yang dilakukan oleh KP3EI koridor Jawa, karena sejumlah investor mengeluh tentang langkanya pasokan bahan bakar, dan fasilitas infrastruktur yang tidak layak (KP3EI Jawa, 2012). Sementara itu dengan dikeluarkannya kebijakan MP3EI, tercatat 115 komitmen (yang tercatat) untuk berinvestasi di Jawa, dengan proporsi terbesar dibuat oleh sektor swasta, yaitu sekitar 50% dari jumlah total investasi (Tabel 6.).

Tabel 6.

Komitmen Investasi dalam Kegiatan Ekonomi Utama di Koridor Jawa, sampai Mei 2012

Kegiatan

Pemerintah BUMN Swasta Gabungan

Makanan dan Minuman

42 26.109 - - 26.109

-Peralatan

Pertanahan 14 1.663,6 - 1.099,6 564

-Tekstil 23 12.080 - - 12.080

-Transportasi 3 36.405 - - 36.405

-Perkapalan 5 809,0 - - 809

-ICT 2 163 63 - 100

-Baja 18 7.252 - - 7.252

-Minyak dan

Gas 8 175.186 - 116.066,8 57.199 1.920

Jumlah

Komitmen 115 259.667,6 63 117.166,4 140.518 1.920

% 0,02% 45,12% 54,11% 0,74%

Sumber: Tim Kerja MP3EI Jawa (2012, hlm. 7)

(29)

rasio elektrifikasi, serta pasokan listrik. Menurut data statistik yang dikeluarkan oleh PLN, pada tahun 2011, terdapat

64% konsumen di Jawa9 (65% pada tahun 201010) dari total

konsumen di Indonesia, didukung oleh 71% (72% pada tahun

2010) daya terpasang; dengan rasio elektrifikasi sebesar 76%11

yang jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2010 yang hanya

73%12. Persentase ini menunjukkan bahwa kondisi kelistrikan di

Jawa merupakan yang utama, dengan rata-rata persentase untuk setiap indikator di atas 50%, ini berarti sisanya terdistribusi di 5 pulau utama dan pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia.

Karena kegiatan ekonomi sebagian besar dilakukan di Jawa, dan skema percepatan pembangunan ekonomi Indonesia juga di konsentrasikan di Jawa, maka kondisi yang digambarkan di atas dianggap tidak cukup. Mengingat jumlah industri yang dikembangkan, baik yang sudah ada maupun yang akan dibangun, memerlukan (salah satunya) pasokan listrik yang

memadai, dimana reserve margin13 di Jawa-Bali14 menurut data

PLN hingga tahun 2011 adalah 29% (PLN, 2012, hlm. 58). Setiap wilayah, seperti Jawa Barat, JawaTengah dan Jawa Timur & Bali, membutuhkan cadangan listrik sebesar 16%, 59% dan

45%. Berdasarkan reserve margin di Jawa-Bali, untuk memenuhi

kapasitas yang dibutuhkan, maka penting untuk membangun

9 Diolah dari Tabel 4. Jumlah Pelanggan berdasarkan tipe pelanggan (PLN, 2012, hlm. 5).

10 Diolah dari Tabel 4. Jumlah Pelanggan berdasarkan tipe pelanggan (PLN, 2011, hlm. 5)

11 Berdasarkan tabel 19. Rasio Elektrifikasi dan konsumsi energi per kapita (PLN, 2012, hlm. 20).

12 Berdasarkan tabel 19. Rasio Elektrifikasi dan konsumsi energi per kapita (PLN, 2011, hlm. 20).

13 Dihitung dari margin daya terpasang dan beban puncak yang dibagi dengan beban puncak, daya terpasang di Jawa-Bali pada 2011 sebesar 26.372 MW dengan beban puncaknya 20.417 MW (PLN, 2012, hlm. 58).

14 PT PLN membagi Indonesia menjadi beberapa region, dan Jawa Bali berada dalam satu wilayah kerja.

namun sebagai bagian dari skema ‘percepatan’ dalam kebijakan MP3EI, kondisi tersebut masih perlu ditingkatkan. Persoalan tersebut juga terkait dengan berbagai masukan dari pengusaha kepada KP3E Jawa selama proses verifikasi (KP3EI Jawa, 2012). Salah satu masukan yang harus segera diperhatikan adalah kurangnya pasokan listrik yang dibutuhkan. Oleh karena itu, pembangunan pembangkit listrik skala besar sangat penting untuk dikembangkan di Jawa, untuk memenuhi kebutuhan pabrik-pabrik yang sudah ada maupun yang akan didirikan.

Tabel 8.

Proyeksi Kebutuhan Listrik di Jawa-Bali, 2012-2021

No. Deskripsi Unit Proyeksi

1. Pertumbuhan Penduduk Rata-rata (%) 1.3%

2. Rasio Elektrifikasi 2021 (%) 92.8%

3. Penjualan Energi (GWh) 2012 - 2021 (%) 95.99%

- Perumahan 2012 - 2021 (%) 92.58% - Komersial 2012 - 2021 (%) 122.32

- Publik 2012 - 2021 (%) 82.98%

- Industri 2012 - 2021 (%) 89.12%

4. Daya Terpasang (MVA) 2012 - 2021 (%) 63.36% - Perumahan 2012 - 2021 (%) 62.92%

- Komersial 2012 - 2021 (%) 65.90%

- Publik 2012 - 2021 (%) 51.86%

- Industri 2012 - 2021 (%) 64.75%

5. Jumlah Pelanggan 2012 - 2021 (%) 35.96% - Perumahan 2012 - 2021 (%) 34.38%

- Komersial 2012 - 2021 (%) 58.28%

- Publik 2012 - 2021 (%) 44.04%

- Industri 2012 - 2021 (%) 42.06%

Sumber: Rencana Tahunan Penyediaan Listrik 2012-2021, (hlm. 770-775)

(30)

Tabel 9.

Rincian Rencana Proyek Pembangkit Listrik di Sistem Jawa-Bali, 2012-2021

Banten JakartaDKI BaratJawa TengahJawa DIY TimurJawa Bali TOTAL

I. Asumsi Pengembang

PLN 5 4 13 8 13 3 46

IPP 12 51 29 1 14 5 112

TOTAL 17 4 64 37 1 27 8 158

II. Jenis Pembangkit Listrik

PLTG 2 1 2 3 8

Sumber: Rencana Tahunan Penyediaan Listrik 2012-2021 (PLN, 2012, hlm. 785-790)

Dengan asumsi bahwa industri yang masuk dalam implementasi kebijakan KPI-MP3EI di Jawa adalah industri yang sudah ada dan siap untuk ditingkatkan, maka proyeksi kebutuhan listrik, khususnya untuk wilayah operasional Jawa-Bali, tetap sama. Kenyataannya, beberapa proyeksi yang membutuhkan pengembangan atau pembiayaan yang lebih banyak dan telah terhambat akan dipercepat melalui dikeluarkannya kebijakan MP3EI. Berbagai keuntungan, seperti penawaran investasi untuk sektor swasta yang akan lebih mudah, baik untuk skala kecil atau di atas 1000 MW. Hingga 2011, total terdapat 33 satu pembangkit listrik skala besar, terutama untuk menyediakan

listrik bagi industri yang akan terkonsentrasi di Jawa Barat (terdapat 23 kegiatan ekonomi utama, lihat Tabel 6 di atas), serta kegiatan ekonomi lainnya di JawaTengah, Jawa Timur & Bali.

Sementara itu, PT PLN selalu menghitung kebutuhannya dengan mengamati indikator tetap setiap tahunnya untuk memperkirakan kebutuhan 10 tahun ke depan. Dalam perencanaan tahunannya, yang secara ringkas terlihat pada Tabel 8, indikator pertama yang digunakan untuk memperkirakan kebutuhan listrik adalah pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan kepadatan penduduk di Jawa dan Bali adalah 1,3% per tahun, dengan target rasio elektrifikasi, yang menjadi indikator kedua, diperkirakan akan mencapai 93% pada tahun 2021 (dari hanya 72% pada tahun 2011). Target ini akan dicapai dengan meningkatkan penjualan daya (sebagai indikator ketiga) dari hanya 132.000 GWh (tahun 2011) menjadi 259.000 GWh pada tahun 2021, atau meningkat menjadi 95%. Target penjualan akan meningkat hingga 95% dengan penggunaan listrik untuk tujuan komersial diikuti oleh penggunaan untuk perumahan, industri dan yang terakhir adalah untuk kepentingan umum. PT PLN melihat bahwa sektor komersial akan memberikan kontribusi pendapatan terbesar dari penjualan listrik pada tahun 2021.

Oleh karena itu, indikator keempat, yaitu daya terpasang (power

(31)

tengah pulau Jawa, lokasi ini memang strategis, karena listrik yang dihasilkan akan dengan mudah didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan industri di Pulau Jawa dalam rangka pelaksanaan MP3EI, bukan untuk memenuhi kebutuhan Kabupaten Batang atau Jawa Tengah, khususnya ketersediaan

listrik untuk rumah tangga pedesaan17.

Hal-hal yang Harus di De-bottlenecking oleh Kebijakan MP3EI

Untuk memastikan terbangunnya KISMK, PTPN III sebagai inisiator mengalami sejumlah hambatan, yang hingga saat ini masih dalam proses penyelesaian. Berbagai hambatan tersebut adalah persoalan legalitas wilayah yang direncanakan akan menjadi KISMK, kerumitan peraturan dan kebijakan investasi, serta dukungan pemerintah dalam menyediakan fasilitas infrastruktur di sekitar wilayah tersebut.

Kerangka Kebijakan dan Tumpang Tindih Perundang-undangan dan Peraturan

Terdapat sejumlah persoalan yang belum selesai terkait dengan perencanaan tata ruang, terutama penyelenggaran dan pengelolaaan yang menjadi kewenangan pemerintahan di tingkat provinsi atau Kabupaten di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk pembagian kewenangan antar departemen, seperti Kementerian Kehutanan yang memiliki kewenangan untuk mengontrol hampir 70% lahan-lahan kehutanan di Indonesia.

“Kerumitan” Kebijakan Investasi

Banyak pengusaha menganggap iklim investasi di Indonesia

17 Hal ini bisa diperdebatkan merujuk pada kebutuhan listrik di Jawa, berdasarkan data statistic, di Jawa menunjukkan level yang memadai dibandingkan dengan kebutuhan di luar Jawa, karena hingga tahun 2011 Rasio Elektrifikasi di Jawa diatas 70% atau minimum 67%, dengan melihat data di tahun 2010 dan 2011 (PLN, 2012).

pembangkit listrik15, dengan kapasitas terpasang sebanyak

26.000 MW, yang disediakan oleh PT PLN dan produser listrik

swasta (Independent Power Producers/IPP) (PLN, 2012, hlm. 22)16.

Untuk rencana pada periode 2012-2021, PT PLN memproyeksikan jumlah proyek pembangunan pembangkit listrik di Jawa - Bali, baik yang akan dioperasikan oleh PT PLN atau IPP yang keseluruhannya berjumlah 158 proyek, 112 di antaranya akan dilakukan oleh IPP dan sisanya (42 proyek) akan dioperasikan oleh PT. PLN (PLN, 2012, hlm. 785-790). Proyeksi pembangunan tidak terbatas hanya untuk satu jenis pembangkit listrik, atau berfokus pada pembangkit listrik skala besar, yang terpenting adalah dapat memenuhi target proyeksi sampai dengan tahun 2021 (lihat tabel 9).

Salah satu pembangunan proyek pembangkit listrik terbesar adalah PLTU di Batang, Jawa Tengah, dengan kapasitas 2x1000MW. Kabupaten Batang, terletak di provinsi Jawa Tengah, terpilih sebagai lokasi untuk dibangunnya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara. Hal ini

dianggap tidak sesuai dengan konsep regional balance.yaitu

indikator kemampuan daerah tertentu untuk menyediakan listrik di daerah tersebut, yang ditandai dengan kecukupan/

memadainya suatu persentase Reserve Margin. Dengan kata

lain, strategi pemilihan lokasi harus didasarkan pada presentase reserve margin di setiap daerah tertentu. Berdasarkan data PLN

tahun 2011, reserve margin di Jawa Barat adalah 16%, di Jawa

Tengah (provinsi di mana akan dibangun PLTU) hampir mencapai 60%, sedangkan di Jawa Timur dan Bali adalah 45% (PLN, 2012, hlm. 58). Dari data tersebut lokasi di Jawa Tengah

menjadi kurang tepat, karena memeliki persentase reverse margin

paling tinggi. Namun demikian, karena lokasi yang dipilih, yang terletak di sekitar pantai utara Jawa dan tepat berada di

tengah-15 Terdiri dari 24 Pembangkit listrik tenaga Air (PLTA), 5 Pembangkit Listrik tenaga Uap dengan bahan dasar batubara (PLTU), 3 Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), 1 Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD).

Gambar

Grafik 1.
Grafik 4. Produktivitas
Grafik 5.Rata-rata Jumlah Ekspor Minyak Sawit Indonesia
Tabel 1.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebaran ukuran panjang cangkang, tinggi, lebar, panjang hinge, jumlah garis pertumbuhan dan berat basah daging pensi di Sungai Batang Antokan lebih bervariasi jika

ujung-ujung L, tegangan pada ujung-ujung rangkaian RL dan kuat arus sderta nilai hambatan resistor dan induktor ketika rangkaian seri diberi tegangan bolak balik!. Bagaimanakah

Luka pada salah satu bagian tumbuhan menyebabkan osmosis dan difusi O2 yang masuk jaringan yang luka yang mnyebabkan respirasi di tempat tersebut

Perencanaan pembelajaran memiliki urgensi yang tinggi terhadap pelaksanaannya, sebab perencanaan akan sangat berkaitan erat dengan upaya guru dalam mengajar peserta

Hal ini tidak boleh sampai menimbulkan kecurigaan di masyarakat, karena alasannya semua jurnal yang akan kita terbitkan akan di luar kecenderungan dan pendapat yang

Kekerasan menurut Undang-Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang

Dari hasil pengolahan data, didapatkan nilai Adjusted R 2 sebesar 0.897, hal tersebut dapat dimaknai bahwa variabel novelty, fun, appraise from other, escapism,

dapat berpotensi sebagai vektor filariasis jika ditemukan mikrofilaria di dalam tubuh nyamuk dan nyamuk pernah menghisap darah manusia, yang dapat diketahui dengan