• Tidak ada hasil yang ditemukan

Trade-off Antara Kesinambungan Keuangan dan Jangkauan Lembaga Keuangan Mikro Syariah di Perdesaan Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Trade-off Antara Kesinambungan Keuangan dan Jangkauan Lembaga Keuangan Mikro Syariah di Perdesaan Jawa Barat"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN

http://fiskal.depkeu.go.id/ejournal

Trade-off

Ant ara Kesinambungan Keuangan dan Jangkauan

Lembaga Keuangan M ikro Syariah di Perdesaan Jaw a Barat

Trade-off Bet w een Financial Sust ainabilit y and Out reach of Islamic

M icrofinance in Rural West Java

Yani M ulyaningsihα, Nunung Nuryantonoβ, Rina Oktavianiβ dan Carunia M . Firdausyα

Abstr act

Many microfinance institutions (MFIs) focus thei r servi ces to the poor household. It is hoped that Islamic microfinance institutions (Islamic MFIs) do the same. Doing financial servi ces for the poor ar e very costly activities. As a result, focusing on out r each may, at least potentially, conflict w ith t he financial sustainability of MFIs. This paper analyzes t he sustainabi lity and outreach of Islamic MFIs to show t he tr ade off. The anlaysis uses the stochastic frontier approach (SFA) to analyze efficiency as proxy for the financial sustainability and the Consultative Group to Assist the Poorest (CGAP) Model to analyze Islamic MFIs Out reach. Estimation resul ts using SFA show t hat all of Islamic MFI w er e efficient. Analysis using CGAP method show s t hat Islamic MFIs focused more on the relatively prosperous household. It show s that outr each of Islamic MFIs shifted to a relatively prosperous household w hen they have to be efficient for fiscal sustainability (t he rade-off phenomenon). Addressi ng the existence of the t rade-off betw een fiscal sustainability and out reach for poor household needs synergy bet w een Islamic MFIs w ith Government , and w ith other social institutions.

Abstr ak

Sebagai mana lembaga keuangan mikro konvensional, Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS), di harapkan dapat memfokuskan layanannya kepada r umah t angga miskin. Layanan bagi rumah t angga miskin menyebabkan biaya operasi lembaga yang tinggi, sehingga ber potensi menimbulkan konflik dengan keberlanjutan keuangan. Tulisan ini menganalisis keberlanjutan dan jangkauan layanan LKMS untuk menunjukkan ada t r ade-off antara keduanya. Metodologi yang digunakan dalam penulisan ini adalah st ochast ic fr ont ier appr oach (SFA) untuk menganalisis keberlanjutan dan model Consult at ive Gr oup t o Assist t he Poor est (CGAP) untuk menganalisis jangkauan layanan LKMS. Hasil estimasi dengan SFA menunjukkan seluruh LKMS efisien. Model CGAP menunjukkan bahw a jangkauan layanananya lebih difokuskan kepada rumah tangga t ani yang relatif sejaht er a. Hal tersebut menunjukkan bahw a ketika LKMS dit untut untuk efisien supaya ber kelanjutan maka jangkauan layanannya beralih kepada r umaht angga tani yang relatif sejahter a (fenomena t r ade-off). Untuk mengat asi t r ade-off ant ara keberlanjutan dan jangkauan layanan bagi rumah tangga miskin di perlukan sinerji antar a LKMS dengan pemerintah dan lembaga-lembaga sosial lainnya.

© 2016 Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI

* Email: yanis7469@yahoo.com lembaga keuangan mikro syariah; met ode cgap; st ochast ic front ier approach; t rade-off

(2)

1. PENDAHULUAN

Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih relatif tinggi, dimana pada tahun 2013 sebesar 28.066.560 jiwa masih menggantungkan hidupnya kepada sektor pertanian (Badan Pusat Statist ik [BPS], 2014). Menurut data BPS dan Kementerian Sosial (2012), sebanyak 56,11% rumah tangga miskin di perdesaan adalah rumah tangga tani.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup rumah tangga miskin adalah akses terhadap layanan keuangan. Namun, bagi perbankan menyediakan kredit bagi rumah tangga miskin di perdesaan dalam banyak kasus merupakan aktivitas yang tinggi biayanya sehingga perbankan kurang tertarik melayani segmen masyarakat ini (Lensink dan Meest ers, 2011). Hal yang sama terjadi di Indonesia, kelompok berpenghasilan rendah, pengusaha kecil dan mikro serta tinggal di perdesaan tidak terlayani oleh bank umum (Siregar, 2009). Dengan sulitnya memperoleh layanan kredit maka masyarakat miskin t erperangkap dalam lingkaran kemiskinan. Mereka miskin karena rendahnya tingkat pendapatan, yang pada gilirannya menghambat invest asi dikarenakan rendahnya tingkat tabungan karena rendahnya pendapatan. Kredit perbankan memberikan peluang bagi masyarakat miskin untuk melakukan invest asi dalam upaya memecahkan lingkaran kemiskinan tersebut (Hulme et al. 1996).

Untuk menjembatani masyarakat t erutama masyarakat miskin yang tidak memiliki akses terhadap perbankan, di negara berkembang banyak didirikan lembaga keuangan mikro (LKM). Secara spesifik dinyatakan oleh beberapa pakar bahwa LKM adalah penyedia layanan keuangan utama bagi rumah tangga miskin dan usaha mikro ( Morduch, 1998; Miyashita, 2000; Godquin, 2004; Aubert et al,

2009; Todaro dan Smith, 2009; Mersland & Strom, 2010; Islam & Maitra 2011; Montgomery & W eiss, 2011; El-Komi & Croson, 2012; Hundak, 2012; Ali et al, 2013). Di Indonesia, di antara banyak lembaga keuangan mikro (LKM) yang berdiri, salah satunya adalah lembaga keuangan mikro syariah atau dikenal dengan LKMS.

Peran lembaga keuangan mikro syariah ini masih relatif baru dalam layanan keuangan mikro di Indonesia. Berdiri di Indonesia sebelum terjadinya krisis ekonomi tahun 1997, LKMS relatif berkembang dan t elah banyak beroperasi di wilayah perdesaan dan terpecil yang tidak dijangkau oleh perbankan (Buchori, 2012). Namun demikian, menurut Pemetaan Pot ensi dan Profil LKMS di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kerjasama BI dan Perguruan Tinggi (UNPAD, UNDIP & UNAIR, 2011) dalam Buchori (2012), nilai pembiayaan yang diberikan masih relatif kecil, kurang dari Rp 500.000 sampai lebih dari Rp 2.500.000. Hal ini mengindikasikan bahwa jangkauan layanan LMKS terutama ditujukan kepada usaha mikro/rumah tangga tani miskin. Dilihat dari sisi sumber pendanaan, sebagian besar sumber permodalan LKMS berasal dari mobilisasi dana nasabah/masyarakat, yaitu kurang lebih sebesar 66,75%, sementara dana yang berasal dari pemerintah hanya 2%. Hal ini berbeda dengan lembaga keuangan mikro generasi pertama, dimana sebagian besar dana untuk pembiayaan/kredit berasal dari lembaga donor atau pemerintah.

Buchori (2012) menyebutkan bahwa sebanyak 56,16% LKMS t ersebut mengalami masalah dengan permodalannya. Ket erbatasan dana yang dimiliki LKMS akan membatasi layanan keuangan kepada masyarakat, sehingga LKMS akan lebih selektif dalam pemberian layanannya, dan berakibat pada kegagalan mencapai misi sosial yang diemban oleh LKMS. Sepert i pada umumnya LKM, LKMS pun mempunyai misi sosial yang t ercermin dari jangkauan layananannya (service outreach) bagi rumah tangga miskin. Pendekatan tradisional dari LKM memfokuskan kepada penyediaan kredit untuk masyarakat miskin yang tidak mempunyai akses ke bank komersial, dalam upaya pengurangan kemiskinan dengan membuat bisnis yang menghasilkan pendapat an ( Mersland & Strom, 2010).

(3)

Hermes et al. (2011) mengemukakan penyediaan kredit unt uk masyarakat miskin pada banyak kasus adalah aktivitas yang sangat tinggi biayanya. Pinjaman dengan nilai yang sangat kecil akan menyebabkan biaya transaksi yang sangat tinggi, terutama dalam proses screening, monitoring dan biaya administrasi per pinjaman. Beberapa pakar yaitu Connig, Hulme, Mosley, Lapenu, Zeller, Paxton dan Cuevas dalam Lensink dan Meest ers (2011) menyatakan bahwa biaya per unit transaksi untuk pinjaman yang sangat kecil bagi masyarakat miskin nilainya tinggi jika dibandingkan dengan biaya per unit untuk pinjaman yang besar. Oleh karena itu, penting bagi LKMS untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada dalam meminimalkan biaya, sehingga operasionalisasi LKMS t ersebut efisien. Tuntutan efisiensi, keharusan untuk memobilisasi dana dari masyarakat atau dari sumber komersial lainnya, mengarahkan LKMS beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip pasar atau dikenal dengan komersialisasi LKM (Charitonenko et al., 2004).

Beberapa hasil penelitian (Conning, 1999; Kereta, 2007; Hermes et al, 2011; Nugroho, 2009; Acharya et al, 2006; Ghalib, 2011; Montgomery & W eiss, 2011; Hartarska et al, 2013) menunjukan adanya trade-off antara keberlanjutan LKM dengan jangkauan layanannya bagi masyarakat miskin. Adanya konflik tersebut, berimplikasi pada terjadinya pergeseran fokus untuk meningkatkan keberlanjutan, yang mengharuskan adanya pengurangan jangkauan kepada masyarakat miskin. Sampai saat ini, topik t entang trade-off antara keberlanjutan dan efisiensi dengan outreach (jangkauan bagi masyarakat miskin), masih menjadi perdebatan, terutama antara kalangan welfarists yang cenderung mempropagandakan dominasi tujuan outreach, dengan institutionalist, yang lebih menekankan pentingnya keberlanjutan dan efisiensi (Hermes et al, 2011). Kontroversi serupa juga terjadi pada LKMS. Trade-off antara keberlanjutan dan jangkauan LKM t erhadap masyarakat miskin sering dipertanyakan sejak tahun 1990-an (Conning, 1999; Zeller & Meyer, 2002).

Perumusan strategi kebijakan yang t epat sangat dibutuhkan, mengingat masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia terutama di perdesaan. Di sisi lain, pemerint ah harus mendorong lembaga keuangan mikro syariah supaya berkelanjutan. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis trade-off antara keberlanjutan dan jangkauan layanan LKMS bagi rumah tangga tani.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keberlanjutan LKM S

(4)

alokat if dan t eknis. Karena fungsi biaya t idak secara langsung dapat diamat i, inefisiensi diukur dengan melakukan perbandingan dengan yang menjadi fr ont ier-nya dalam hal efisiensi biaya.

Fungsi biaya lebih sesuai digunakan ketika perusahaan adalah pr ice taker s dalam pasar input

(t enaga kerja dan modal) dan mempunyai kekuat an pasar dalam pasar output (Varian, 1992). LKM mempunyai kekuat an pasar dalam melayani masyarakat miskin (Hart arska et al, 2013). Selanjut nya, Hart arska et al. (2013) juga mengemukakan bahwa dalam pasar input, LKM berperan sebagai pr ice taker s karena membayar gaji yang kompet itif unt uk t enaga kerja relat if t erdidik, berkompet isi dengan yang lainnya untuk akses kepada modal keuangan (pinjaman dan donasi), dan berpart isipasi dalam pasar kompet it if untuk modal fisik. Beberapa LKM berpartisipasi sebagai ent it as yang berorient asi keuntungan, t et api mayorit as masih beroperasi sebagai nirlaba. Meskipun t idak seluruh LKM memaksimalkan keuntungan, semua berusaha untuk meminimalkan biaya.

2.2. Jangkauan Layanan Keuangan LKM S

Dalam literatur, memfokuskan layanan bagi masyarakat miskin disebut sebagai outreach

(Hermes et al, 2011). Ketika memfokuskan pada aspek jangkauan LKM bagi masyarakat miskin, maka dalam hal ini penekannya lebih ke aspek depth of outreach.Dept h of outreach adalah nilai yang melekat pada masyarakat untuk memperoleh keuntungan bersih dari penggunaan keuangan mikro/kredit mikro yang diberikan oleh peminjam. Ketika masyarakat menempat kan pert imbangan lebih berat kepada masyarakat miskin dibandingkan masyarakat kaya maka kemiskinan adalah proksi yang paling baik untuk mengukur dept h of out reach.

Paxt on dan Cuevas (2002) mengemukakan bahwa depth of outreach mengindikasikan seberapa besar kelompok yang selama ini tidak memperoleh layanan dapat t erjangkau oleh layanan lembaga. Salah satu kategori dept h of out reach adalah masyarakat miskin. Berdasarkan pengalaman dari lembaga int ermediasi keuangan, melayani masyarakat miskin relat if t inggi biaya transaksi karena size yang sangat kecil dalam t iap transaksi keuangan. M isalkan, biaya yang dit awarkan untuk fasilit as t abungan ke nasabah sangat tinggi karena frekuensi menabung yang sangat kecil. Begitu juga dengan fasilit as pinjaman, membutuhkan dukungan administrasi sepert i halnya t abungan besar di lembaga keuangan formal tet api menghasilkan pendapat an yang kecil, bahkan bisa rugi.

Pada umumnya, untuk mengukur jangkauan layanan keuangan bagi masyarakat miskin dari lembaga keuangan mikro menggunakan rat a-rat a jumlah pinjaman (Cull et al, 2007; Mersland & Strom, 2010; Hermes et al, 2011). CARE Internat ional dan Mercy Corps (LSM int ernasional) yang mempunyai program pengembangan keuangan mikro di Indonesia (Munawar, 2010) mendefinisikan nasabah miskin sebagai orang-orang yang mendapatkan kredit dengan nominal di bawah Rp 5.000.000. Masyarakat miskin disini bukan berart i masyarakat yang sangat miskin (t he poorest) karena persyarat an memperoleh pinjaman t elah mengoperasikan usaha-nya minimal satu t ahun (Gonzales-Vega et al, 1997). Art inya jenis pinjaman yang digunakan adalah pinjaman produktif. Dalam lingkup int ernasional, nilai kredit mikro sebesar $100 (El-Komi & Croson, 2012) diperunt ukkan bagi masyarakat paling miskin.

(5)

1. Kontruksi garis kemiskinan dan perhit ungan berbagai ukuran kemiskinan dengan cara menghitung pengeluaran rumah t angga akt ual yang jatuh ke dalam garis kemiskinan;

2. Rapid appraisal dan part icipator y appraisal met hods, yang mana rumah t angga diranking menurut tingkat kesejaht eraannya oleh anggot a komunit asnya sendiri;

3. Kontruksi indeks kemiskinan dengan menggunakan kisaran indikat or kualit at if dan kuant it at if.

Salah sat u kontruksi indeks kemiskinan untuk mengukur jangkauan layanan LKM adalah menggunakan indeks kemiskinan relat if dari model Consultat ive Gr oup to Assist t he Poorest (CGAP) (Henry et al, 2003). Lembaga tersebut mengembangkan alat t ersandarisasi untuk mengukur tingkat kemiskinan nasabah LKM. M odel dibangun dengan mengggunakan PCA (pr incipal component analysis) yang didasarkan kepada beberapa indikat or yang menggambarkan beberapa dimensi kemiskinan. Pengukuran kemiskinan bukan semat a hanya pada dimensi pendapat an saja, t et api juga meliput i dimensi-dimensi lainnya. M et ode ini mencakup dimensi lainnya yang terkait dengan kemiskinan yaitu dimensi pendapat an, sumber daya manusia, perumahan, ket ahanan dan kerawanan pangan sert a dimensi kepemilikan aset. M et ode pengukuran ini bisa digunakan unt uk mengukur kemiskinan relat if ant ara masyarakat yang sudah menjadi nasabah lembaga keuangan mikro dan kelompok kontrolnya adalah masyarakat bukan nasabah dalam lingkungan yang sama.

Untuk keperluan t ersebut maka perlu dilakukan perbandingan beberapa indikat or t erpilih ant ara rumah t angga yang sudah akses dan belum akses kepada LKM S. Dengan menggunakan teknik PCA, beberapa indikat or dapat dikombinasikan secara efektif untuk mengukur kemiskinan relat if dari rumah t angga. Pengeluaran rat a-rat a t ahunan unt uk pakaian dijadikan proksi dari pendapat an, sehingga akan dijadikan sebagai indikat or kemiskinan secara umum dan dikorelasikan dengan variabel lainnya. Indikat or yang t erpilih dalam model PCA ini meliput i dimensi-dimensi berikut ini: modal manusia (human capit al), perumahan, kepemilikan aset, juga ket ahanan dan kerawanan pangan. Indeks yang dihasilkan merupakan indeks kemiskinan relat if yang mempunyai nilai negat if. Nilai negat if yang dimiliki unt uk indeks kemiskinan mengident ifikasi rumah t angga yang miskin dibandingkan populasi rat a-rat a, sement ara nilai posit if mengindikasi kesejaht eraan di at as rat a-rat a. PCA ini bisa mengisolasi dan mengukur komponen kemiskinan yang melekat kepada beberapa indikat or dan membuat nilai kemiskinan rumah t angga secara spesifik (Zeller et al., 2006).

2.3. Trade off Keberlanjutan dan Jangkauan Layanan LKM S

(6)

M arginal Ret urn Bagi pengusaha yang lebih miskin

Output

Pengurangan kemiskinan berada pada garis vert ikal dan nilai pinjaman rat a-rat a berada pada garis horizont al. Slope yang menurun dari kurva pengurangan kemiskinan menunjukkan bahwa dampak t erhadap pengurangan kemiskinan akan berkurang sejalan dengan meningkatnya nilai pinjaman rat a-rat a. Di sisi lain, perbaikan kinerja keuangan dengan nilai pinjaman sebagai ukuran skala ekonomis semakin meningkat (ditunjukkan oleh slope kurva “profit abilit as” yang

upward). Hulme and M osley (1996) mengest imasi bahwa dalam kasus BancoSol awal t ahun 1990-an, nilai pinjaman lebih dari $400 akan semakin memperbaiki kinerja keuangan t et api mengabaikan efek terhadap kemiskinan.

Banyak dari LKM yang menerapkan mekanisme insent if bagi st af bagian pinjaman hanya untuk mengat asi masalah keberlanjut an. Cara yang biasa dilakukan adalah dengan meningkat kan kinerja secara finansial melalui memperbanyak pemberian pinjaman, memperbesar dan membuat pinjaman yang berkualit as (t ingkat pengembalian pinjaman yang bagus). Namun jarang t erlihat upaya untuk pengurangan biaya dan pengurangan kemiskinan (Armendariz dan Murdoch, 2005). Dari beberapa LKM yang ada, walaupun masih memperoleh sumber dana dari donor namun dalam operasionalisasinya lebih mengut amakan peningkat an kinerja keuangan. Ada LKM yang mempunyai kinerja keuangan yang baik, tidak bisa dilepaskan dari peran donor maupun subsidi sepert i halnya Grameen Bank di Bangladesh, dan BAAC di Thailand.

GAM BAR-1. Trade Off antara Pengurangan Kemiskinan dan Profitabilitas.

Sumber: Hulme & Mosley (1996)

3. M ETODE PENELITIAN

St udi ini menggunakan dat a primer dan dat a sekunder. Dat a primer diperoleh melalui wawancara mendalam dengan menggunakan kuesioner untuk rumah t angga t ani baik nasabah dan bukan nasabah LKMS di Kabupat en Bogor. Penentuan sampel rumah t angga Kabupat en Bogor t ersebut dilakukan secara sengaja (purposive), karena merupakan salah satu kabupat en di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah BM T yang besar, juga memiliki jumlah masyarakat miskin tertinggi pada t ahun 2012 (BPS, 2013). Sedangkan pengumpulan dat a sekunder diperoleh dengan menggunakan dat a dari PT Permodalan BM T Ventura, beberapa laporan keuangan LKM S yaitu

(7)

LKMS Baitul Ikht iar dan LKM S SiRaa. Penentuan sampel LKMS menggunakan met ode purposive sampling, yaitu LKM S yang t elah berpart isipasi dalam linkage program baik itu dengan Bank Umum Syariah, PT BM T Ventura, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dan lembaga keuangan lainnya, sert a beroperasi di wilayah perdesaan Jawa Barat dan mempunyai nasabah dengan mat a pencaharian di sekt or pert anian.

3.1. Spesifikasi M odel untuk Analisis Keberlanjutan LKM S dari Sisi Efisiensi

Analisis keberlanjut an LKM S dari sisi efisiensi dilakukan dengan menggunakan SFA (Stochast ic Front ier Approach). Pengukuran efisiensi lembaga keuangan dengan met odologi front ier mengacu kepada tulisan Berger dan Humprey (1997), yait u: menghitung efisiensi produksi individu yang diukur dengan membandingkan st andar t ertentu. Art inya, efisiensi biaya dihit ung dengan membandingkan biaya dari set iap lembaga keuangan/bank t erhadap fungsi yang menjadi front iernya. Analisis frontier dibagi dua (Berger dan Humphrey 1997), yaitu: met ode non parametrik dan parametrik. M et ode non parametrik t erbagi menjadi dua yaitu Data Envelopment analysis (DEA) dan Free Disposal Hull (FDH). Met ode parametrik dibagi t iga pendekat an, yaitu

Stochast ic Fr ont ier Analysis (SFA), Distr ibut ion Free Appr oach (DFA) dan Thick Fr ont ier Approach (TFA). Untuk mengukur efisiensi dengan pendekat an SFA, dapat dilakukan melalui pendekat an berorient asi keluaran (output-or iented approach) untuk pengukuran efisiensi t eknikal, dan pendekat an berorient asi masukan (input-oriented approach) untuk pengukuran biaya. Efisiensi teknikal diukur berdasarkan pr oduct ion front ier, sedangkan efisiensi biaya diukur berdasarkan cost fr ont ier (Kumbhakar, 2000). Pada penelit ian ini digunakan pengukuran efisiensi met ode SFA dengan menggunakan fungsi biaya (cost front ier).

Dalam model ini, LKM S sepert i halnya akt ivit as bank berfungsi sebagai lembaga intermediasi ant ara pemilik dana dan peminjam. Untuk itu perlu t erlebih dahulu diident ifikasi terkait variabel input dan output, yang digunakan dalam spesifikasi model. Pemilihan variabel didasarkan kepada fungsi biaya terdiri dari input, output, netput dan fakt or lingkungan (envir omental factor). Dalam model ini variabel netput t idak digunakan karena ket iadaan dat a.

Dalam fungsi ini, biaya t ot al meliput i biaya bagi hasil/marjin, operasional dan non-operasional). Biaya dari LKM S akan dipengaruhi fakt or input dan output-nya. Sebagai variabel input

digunakan biaya untuk tenaga kerja dan biaya modal. Kedua biaya ini dianggap paling berpengaruh terhadap t ot al biaya. Biaya t enaga kerja dihitung menggunakan biaya gaji t ot al per aset. Biaya t enaga kerja menggunakan rasio terhadap aset dikarenakan t idak adanya dat a terkait jumlah pegawai (Huizingga et al., 2001;Hart ono, 2009; Hermes et al., 2011;Nuryart ono et al., 2012). Biaya dana dalam penelit ian ini t idak menggunakan biaya t ingkat suku bunga, dikarenakan dalam operasionalisasi LKM S t idak ada biaya suku bunga, dan sebagai gant inya biaya dana, sering disebut dengan bonus at au bagi hasil. Bonus adalah t ambahan marjin yang diberikan kepada nasabah penabung/dana pihak ket iga (program linkage) sebagai biaya at as dana at au juga bagi hasil dengan invest or. Bagi hasil dalam lembaga keuangan syariah merupakan penggant i dari suku bunga. Instrumen suku bunga merupakan kat egori riba dalam ekonomi Islam, sehingga penggunaannya dilarang (P3EI, 2009). Variabel biaya dana seharusnya dibagi dengan dana pihak ket iga (Huizingga et al., 2001; Hermes et al., 2011; Nuryart ono et al., 2012), namun karena t idak ada dat a maka digunakan rasio t erhadap aset sama sepert i halnya biaya gaji.

(8)

sebagai variabel penjelas dalam model. Output yang dihasilkan oleh LKM S sebagian besar adalah pembiayaan yang merupakan produk ut amanya sebagai lembaga int ermediasi. Dalam BM T t idak mengenal adanya istilah kredit at au pinjaman t et api menggunakan ist ilah pembiayaan. Pada umumnya pembiayaan yang digunakan LKM S adalah: pembiayaan berbasiskan jual beli

(mur abahah), bagi hasil (mudharabah dan musyarakah), sewa (ijarah), gadai (rahn), dan lain-lain. Biaya untuk mendistribusikan pembiayaan adalah biaya marjin, biaya bonus, dan bagi hasil yang harus dibayar untuk nasabah yang menyimpan dananya di LKM S. Oleh karena itu jumlah pembiayaan akan mempengaruhi jumlah biaya (Nuryart ono et al., 2012).

Variabel lainnya yaitu fakt or lingkungan, yaitu variabel di luar variabel biaya namun diduga akan mempengaruhi biaya t ot al. Fakt or lingkungan dalam model ini menggunakan variabel rasio modal t erhadap aset (Huizingga et al., 2001; Hermes et al., 2011; Nuryart ono et al., 2012). Peningkat an modal akan berimplikasi kepada meningkatnya biaya LKM S hal ini sebagai konsekuensi jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk pemeliharaan modal t ersebut . Semua variabel dinormalisasi dengan aset untuk mengat asi het eroskedast is. Selain itu normalisasi juga mempunyai manfaat unt uk mengkoreksi apa yang dinamakan efek dari inst itusi yang besar. Institusi yang besar mempunyai biaya yang besar pula, sehingga jika tidak dikoreksi dengan menormalisasi aset maka est imasi akan menghasilkan bias (Nuryart ono et al., 2012). Gambaran secara ringkas t erkait dengan variabel t ersaji dalam TABEL-1.

TABEL-1. Variabel, Simbol, Definisi dan Proksi dalam M odel Fungsi Biaya

Kategori Variabel Simbol Definisi Proksi Biaya

Input

Output

Faktor Lingkungan C w1 w2 x1 z1

Biaya total Harga t enaga kerja Harga dari dana Pembiayaan Modal per t otal aset

Biaya operasional+ non operasional Biaya gaji dibagi dengan total aset Biaya dana dibagi dengan tot al aset Pembiayaan tot al

Modal dibagi dengan t otal aset

Sumber: Adopsi dari Huizingga et al., 2001; Hermes et al., 2011; Nuryart ono et al., 2012

M odel yang akan diregresi adalah pengujian dengan menggunakan single equat ion. M odel ini digunakan untuk menguji persamaan secara individu. Pada pengujian ini variabel terikat adalah

Total Cost yang merupakan variabel yang keberadaannya dipengaruhi oleh variabel bebas, yaitu tingkat output yang dihasilkan dan harga input. LKM S membentuk aktiva produkt if (earning asset s)

melalui fungsi int ermediasi, dengan demikian struktur biaya bank dapat diklasifikasikan sebagai fungsi dari vekt or output (earning asset s), vekt or harga input, kesalahan acak (random err or) dan tingkat inefisiensi. Dengan menggunakan dat a LKM S yang menjadi sampel maka spesifikasi t ot al biaya LKM S sebagai berikut:

lnCi = β0i + β1lnw1i + β2lnw2i + β3lnx1+ β4lnz1+ εi………...(persamaan 3.1.)

dimana :

ln = natural logaritma

C = Tot al biaya yang dikeluarkan oleh LKM S w1 = Biaya Tenaga Kerja LKM S

w2 = Biaya bagi hasil/marjin LKM S

x1 = Pembiayaan t ot al yang disalurkan oleh LKM S z1 = modal t erhadap t ot al asset LKM S

i = jumlah sampel yang digunakan, dimana j=1…19

(9)

Dengan menggunakan teknik PCA, beberapa indikat or dapat dikombinasikan secara efekt if untuk mengukur kemiskinan relat if dari masyarakat. Pengeluaran rat a-rat a t ahunan untuk pakaian dijadikan proksi dari pendapat an. Berdasarkan kajian empiris dinyat akan bahwa proporsi pengeluaran pakaian ini relat if st abil berkisar ant ara 5% sampai 6% terhadap t ot al pengeluaran. Kajian lainnya menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran pakaian merupakan salah satu pengeluaran rumah t angga yang akan meningkat secara proporsional t erhadap t ot al pengeluaran rumah t angga. Selanjutnya pengeluaran pakaian ini akan dikorelasikan dengan beberapa dimensi lainnya. Dimensi-dimensi t ersebut ant ara lain: modal sumber daya manusia (human capital), perumahan, kepemilikan aset, juga ket ahanan dan kerawanan pangan. Adapun variabel-variabel besert a komponen/indikat or t ersaji pada TABEL-2.

Selanjutnya masing-masing indikat or/komponen t ersebut dikorelasikan. Indikat or-indikat or yang mempunyai korelasi yang signifikan sert a berdasarkan uji kebaikan model, hasilnya memuaskan selanjutnya akan dilakukan analisis faktor ing. Analisis ini dilakukan untuk menentukkan variabel baru yang sudah mengalami ekstraksi dari beberapa komponen at au variabel. Kemudian akan dilakukan penghitungan skor indeks kemiskinan dari komponen ut ama tersebut. M aka spesifikasi model dengan menggunakan PCA adalah:

X * = w1 X 1+ w2 X 2+w3 X 3 …….(persamaan 3.2) Dimana:

X* = Formulasi variabel baru yang merupakan kombinasi linear dari indikat or asal sedemikian sehingga X* dihitung unt uk maksimum tot al var iance dalam X1, X2 dan X3. Indeks

yang dihasilkan merupakan indeks kemiskinan relat if yang mempunyai nilai negatif. Nilai negat if yang dimiliki untuk indeks kemiskinan mengidentifikasi masyarakat yang miskin dibandingkan populasi rat a-rat a, sement ara nilai posit if mengindikasi kesejaht eraan diat as rat a-rat a. PCA ini bisa mengisolasi dan mengukur komponen kemiskinan yang melekat kepada beberapa indikat or dan membuat nilai kemiskinan masyarakat secara spesifik (Zeller et al., 2006). Kemiskinan relat if dapat diperbandingkan ant ara yang menerima layanan dari lembaga keuangan dan yang tidak menerima layanan dari lembaga keuangan. Berdasarkan perbandingan yang dilakukan akan nampak posisi jangkauan layanan LKM S.

TABEL-2. Variabel dan Komponen Yang Digunakan untuk M enghitung I ndeks Kemiskinan

M odal Sumber daya M anusia Perumahan Ketahanan dan Rawan

Pangan  Frekuensi makanan infer ior

(10)

t angga unt uk pakaian

Sumber: Modifikasi dari model CGAP

4. HASIL ANALISIS DAN PEM BAHASAN

4.1. Keberlanjutan LKM S

Sejak t ahun 1990-an t elah t erjadi pergeseran dalam pendanaan LKM, yang semula berasal dari sumber donor at au pemerint ah, menjadi bergeser kearah mobilisasi dana masyarakat at au sumber komersil lainnya melalui linkage program. Supaya operasionalisasi LKM berkelanjut an sebagai akibat ket iadaan dana donor dan pemerint ah, maka LKM harus efisien t erut ama dalam menutup biaya operasional yang selama ini berasal dari dana donor dan pemerint ah. Disamping itu, untuk memperluas jangkauannya, banyak LKM yang melakukan mobilisasi dana dari masyarakat. LKM S yang banyak didirikan pada periode t ahun 1990-an, dikat akan sebagai generasi kedua dari LKM, dan t anpa ada donor dan subsidi pemerint ah, mendorong operasionalisasi LKM S yang efisien berdasarkan prinsip-prinsip pasar, supaya bisa memperoleh keuntungan. Hal tersebut sejalan dengan yang diungkapkan oleh Charit onenko et al., (2004) terkait t ahapan komersialisasi dari LKM. Hasil wawancara terungkap bahwa LKM S di daerah penelitian pada umumnya sudah mengarah pada t ahap ke arah komersialisasi LKM, mengingat sumber permodalan dari LKMS bukan berasal dari pemerint ah. LKM S beroperasi mengikut i cara-cara perbankan dalam mengembangkan produk keuangannya dan mengenakan t ambahan marjin dari pembiayaan yang disalurkan. Hal ini dilakukan untuk menut up biaya operasional lembaga sehingga LKM S bisa berkelanjut an secara finansial dengan menerapkan prinsip efisiensi dan profit abilit as. Dengan demikian, efisiensi biaya bagi LKMS merupakan t ahapan yang harus dilakukan supaya operasionalisasi LKM S berkelanjut an. Selama ini banyak LKM yang t idak berkelanjut an dikarenakan ket idakmampuan dalam meminimalkan biaya (M cGuire dan John, 1997; Olivares, 2005).

Efisiensi dalam penelit ian inididasarkan pada fungsi biaya, dengan menggunakan biaya t ot al (total cost) sebagai variabel dependen. Variabel output yaitu t ot al pembiayaan yang diberikan, variabel lingkungan yaitu variabel modal yang dimiliki, sement ara variabel input yaitu t ot al biaya dana/bagi hasil yang dibayarkan LKM S at as simpanan pihak ketiga dibagi dengan aset t ot al dan biaya t enaga kerja dibagi aset.

TABEL-3. H asil Estimasi Fungsi Biaya

Variabel Koefisien Estimasi P.Value

Konstanta Lngaji Lndana Lnpembiay Lnmodal

6,493085 -0,0512694 0,9046317 0,7929964 0,3104999

0,020 0,719 0,000 0,000 0,086

W ald chi2 (4) Log Likelihood Prob > chid2

223,96 -11,234413 0.000

Sumber: Dat a primer, diolah

(11)

yaitu variabel modal. Variabel pembiayaan memiliki signifikasi sebesar 0,000. Variabel lingkungan memiliki signifikasi sebesar 0,086, yang berarti hanya signifikan pada t ingkat kepercayaan 10 persen. Sement ara variabel biaya t enaga kerja t idak signifikan. Peningkat an maupun penurunan dalam variabel biaya dana, pembiayaan dan modal akan mempengaruhi peningkat an maupun penurunan t ot al biaya sebesar koefisien masing-masing variabel.

Jika dilihat dari t anda koefisien est imasi untuk seluruh variabel bebas yang digunakan dalam model (TABEL-3), ada variabel yang mempunyai t anda negat if sehingga t idak sesuai dengan harapan t eorit is, namun variabel t ersebut tidak signifikan yaitu variabel biaya t enaga kerja. Variabel tersebut mempunyai nilai yang sangat besar dari t ingkat kepercayaan 1 persen, 5 persen bahkan 10 persen, maka t idak t erdapat pengaruh yang signifikan t erhadap t ot al biaya. Variabel lainnya sesuai dengan harapan t eorit is dan signifikan terhadap biaya t ot al yaitu biaya dana, besarnya pembiayaan yang disalurkan dan modal. Hal ini sekaligus menjelaskan bahwa variabel biaya dana, pembiayaan yang disalurkan dan besarnya modal merupakan fakt or penentu terhadap variabel biaya. Peningkat an maupun penurunan kedua nilai variabel t ersebut akan mempengaruhi peningkat an maupun penurunan t ot al biaya sebesar koefisien masing-masing variabel. Seluruh koefisien est imasi dalam model biaya t enaga kerja, biaya upah dan pembiayaan yang diberikan kepada nasabah diperoleh dalam bentuk logaritma natural, dengan demikian koefisien-koefisien est imasi t ersebut merupakan nilai elast isit as biaya t erhadap semua fakt or tersebut (Lifiana, 2012).

Pengaruh parsial biaya dana, pembiayaan dan modal dapat mendorong t erjadinya peningkat an biaya dari bank t ersebut. Sesuai dengan t eorit ikal, terjadinya peningkat an biaya dana sehubungan dengan pemberian bonus, adanya bagi hasil dan pemberian marjin kepada pihak ket iga/nasabah akan meningkatkan biaya t ot al LKM S. Hal yang sama t erjadi pada variabel pembiayaan dan besarnya modal yang dimiliki oleh LKM S. Besarnya pembiayaan yang diberikan kepada nasabah maka akan meningkat kan biaya t ot al LKM S. Semakin besar modal yang dimiliki mempunyai konsekuensi semakin besar pula biaya t ot al yang harus dit anggung oleh LKM S.

(12)

Sebagai lembaga intermediasi, akt ivit as ut amanya adalah menyalurkan pembiayaan kepada nasabahnya. Dari keseluruhan LKM S mempunyai nilai pembiayaan yang relat if besar dibandingkan dengan modal yang dimilikinya. Hal ini mengindikasikan seluruh LKM S sudah menjalankan fungsi intermediasinya. Semakin besar nilai pembiayaan maka akan mempengaruhi biaya t ot al. Nilai elast isit as variabel modal adalah sebesar 0,310. Art inya, ket ika ada kenaikan modal maka akan meningkat kan biaya t ot al sebesar 0,31 persen, ceter is par ibus. Besarnya modal akan mempengaruhi biaya t ot al karena harus mengeluarkan biaya pemeliharaan dari modal tersebut. M odal juga bisa dijadikan indikat or keberlanjut an LKM. Kecukupan modal akan meningkat kan kepercayaan dari peminjam (jika LKM S meminjam dana dari lembaga keuangan lainnya, misal bank komersial) dan penabung karena LKM S dianggap mampu menyediakan dana apabila mengalami kerugian at au untuk memperbesar usahanya (Ledger wood, 1999). Berdasarkan model t ersebut variabel biaya dana, pembiayaan dan modal yang memengaruhi biaya t ot al. Set elah melakukan pendugaan fungsi biaya secara ekonometrika, kemudian nilai-nilai residual dari pendugaan fungsi biaya t ersebut digunakan untuk menghitung nilai efisiensi.

Berdasarkan hasil perhitungan nilai efisiensi, secara keseluruhan LKM S sudah sangat efisien, dengan nilai efisiensi sebesar 99 persen pada t ahun 2013. Art inya, keseluruhan LKM S sudah mampu mengoptimalkan penggunaan variabel-variabel input dalam meminimumkan biaya. Hal ini mengindikasikan bahwa seluruh LKM S bisa beroperasi secara berkelanjut an.

TABEL-4. Tingkat Efisiensi LKM S M odel Cross Section

No Nama LKM S Tingkat Efisiensi Tahun 2013

1 Investa Mubarokah 0,994841

2 Istiqomah 0,994788

3 Mardlotillah 0,994788

4 KBMT El- Umma 0,994783

5 Al Amanah Sumedang 0,994779

6 Karya Insani 0,994769

7 W asilah 0,994768

8 Al Amanah Majalengka 0,994763 9 Al Kaut sar Sumedang 0,994763

10 Kop Baitul Ikhtiar 0,994743

11 As Salaam Sumedang 0,994737

12 Rabbani 0,994735

13 Ibaadurrahman 0,994734

14 Bina Insan Madani 0,994732

15 Mustama 0,994715

16 Maslahah 0,994712

17 Mitra Sadaya 0,994704

18 Mitrass 0,994704

19 Kop SiRaa 0,994700

Sumber: Dat a primer, diolah

4.2. Jangkauan Layanan LKM S

(13)

1. Masing-masing komponen dikorelasikan dengan komponen benchmark yaitu pengeluaran pakaian. Indikator yang berkorelasi dengan komponen benchmark dan mempunyai nilai signifikan yang akan digunakan untuk analisis komponen utama (TABEL-5).

TABEL-5. Nilai Korelasi M asing-M asing Indikator dengan total Pengeluaran Pakaian

No Indikat or

0,130 0,139 20 Kekurangan makanan

dalam bulan ini

-0,191 0,028

3 Persent asi t ingkat pendidikan

0,021 0,807 21 Kekurangan makanan

dalam t ahun ini

TABEL-5 menunjukkan komponen yang memiliki korelasi dan nilai signifikansi adalah komponen rasio bekerja dengan t idak bekerja, st atus kepemilikan t empat t inggal, kualit as bahan at ap, jumlah makanan yang t ersaji dalam dua hari, merasa kekuranganmakanan dalam sebulan, frekuensi pembelian beras, frekuensi pembelian minyak sayur, frekuensi pembelian gula, st ok makanan pokok, naiknya konsumsi karena peningkat an pendapat an, luas lahan yang dimiliki untuk usaha pert anian, harga lahan pert anian, dan harga kambing. Dengan demikian ada t iga belas komponen yang berkorelasi. Selanjutnya dilakukan proses fakt oring.

2. Proses Faktoring

(14)

KMO dan Barlett dengan nilai 0,709 yang artinya komponen-komponen yang digunakan dalam model sudah baik karena nilainya mencapai 0,7.

Proses selanjutnya, analisis nilai komunalit as dan matrik komponen. Pada umumnya nilai komunalit as indikator yang mendekati nilai 0 (kurang dari 0,1) akan dikeluarkan dari analisis (Henry

et al., 2003). Berdasarkan analisis t ersebut, ket iga belas komponen yang digunakan, sudah mencapai angka 0,5, berarti ketiga belas komponen yang masuk dalam indeks sudah baik. Selanjutkan dikelompokkan berdasarkan matrik komponen menjadi menjadi lima faktor, yaitu: variabel ketahanan pangan, variabel aset, variabel rawan pangan, variabel modal sumber daya manusia (human capital), dan variabel lain-lain.

Setelah ada lima faktor yang terbentuk, yang menyatakan bahwa satu atau lebih faktor yang terbentuk memang stabil dan bisa untuk mengeneralisasi populasinya, maka berdasarkan faktor tersebut disusun factor scores. Pembuatan factor scores t ersebut dilakukan untuk mendapatkan skor kemiskinan yang st andar. Berdasarkan faktor-faktor yang t erbentuk diperoleh nilai indeks kemiskinan masing-masing responden rumah tangga tani dari -1,81584 sampai 1,86946.

Pada GAMBAR-2 nampak bahwa sebaran indeks kemiskinan rumah tangga tani responden di Perdesaan Kabupaten Bogor terdist ribusi tidak merata. Berdasarkan sebaran tersebut, dilakukan kategorisasi nilai indeks yang menunjukkan posisi jangkauan LKMS. Adapun kategorisasi nilai indeks sebagai berikut:

1. jika nilai indeks kurang dari -0,91041 (nilai indeks rendah), artinya masyarakat yang berada pada kategori ini merupakan rumah tangga tani miskin

2. jika nilai indeks antara -0,91041 sampai 0,16785 (nilai indeks sedang), artinya masyarakat yang berada pada kat egori ini merupakan rumah tangga kelas menengah.

3. jika nilai indeks diatas 0,16785 (nilai indeks tinggi), art inya masyarakat yang berada pada kategori ini merupakan rumah tangga sejahtera.

GAM BAR-2: Distribusi Skor Kemiskinan Rumah tangga tani responden dari yang terendah sampai yang tertinggi di Perdesaan Kabupaten Bogor Berdasarkan Lima Komponen Utama.

Sumber: Dat a Primer, diolah

(15)

tersebut, jangkauan layanan LKMS lebih ditujukan kepada rumah tangga tani menengah ke atas atau nilai indeks yang mengarah kepada indeks sedang dan tinggi. Sementara rumah tangga tani miskin yang menjadi nasabah LKMS hanya 21,5%. Hal ini menunjukkan bahwa LKMS di daerah penelitian memberikan layanan keuangan lebih banyak kepada rumah tangga tani yang lebih sejahtera, dibandingkan dengan rumah tangga tani sekitarnya (bukan rumah tangga tani nasabah).

TABEL-6: Jangkauan Layanan LKM S berdasarkan Perhitungan I ndeks Kemiskinan Relatif (Rumah tangga Tani N asabah dan Bukan N asabah)

Kelompok Indeks Kemiskinan Relatif Bukan Nasabah Nasabah Total Rendah (Rumah tangga tani miskin) 17

(32,7)

17 (21,5)

34 (26) Sedang (Rumah tangga t ani menengah) 18

(34,6)

19 (24,1)

37 (28,2) Tinggi (Rumah tangga tani sejaht era) 17

(32,7)

5. KESIM PULAN DAN REKOM ENDASI

5.1. Kesimpulan

Beberapa kesimpulan yang diperoleh adalah seluruh LKMS dalam penelitian ini sudah efisien. Efisiensi merupakan proksi dari keberlanjutan. Berdasarkan hasil est imasi fungsi biaya nampak bahwa komponen input berupa biaya dana, variabel output berupa pembiayaan dan varibel lingkungan berupa variabel modal signifikan terhadap total biaya. Peningkatan maupun penurunan dalam variabel biaya dana, pembiayaan dan modal akan mempengaruhi peningkatan maupun penurunan total biaya sebesar koefisien masing-masing variabel. Berdasarkan besaran nilai koefisiennya, biaya dana merupakan variabel yang paling responsif terhadap variabel biaya total. Sementara variabel biaya tenaga kerja tidak signifikan mempengaruhi biaya total.

Setelah dilakukan estimasi fungsi biaya, nilai residual dari hasil est imasi digunakan untuk memperoleh nilai efisiensi. Nilai efisiensi rata-rata dari ke 19 LKMS adalah sebesar 99,48 persen. Nilai efisiensi biaya yang besar untuk seluruh LKMS sampel diduga karena LKMS mampu mengoptimalkan penggunaan sumber daya sehingga bisa meminimumkan biaya.

Namun di sisi lain, penelitian ini membuktikan jangkauan layanan keuangan LKMS lebih ditujukan kepada rumah tangga tani yang relatif sejahtera. Hal ini sejalan kajian empiris di beberapa negara dan model dari Hulme and Mosley (1996) bahwa adanya trade-off antara tujuan keberlanjutan pada lembaga keuangan mikro dengan jangkauan layanan keuangan bagi masyarakat miskin.

5.2. Rekomendasi

(16)

Sinerji lainnya juga bisa dilakukan oleh LKMS dengan Lembaga Amil Zakat/Badan Amil Zakat atau Badan W akaf Indonesia, yang menghimpun sumber-sumber dana masyarakat seperti halnya, zakat, infak, shadaqoh dan wakaf untuk pembiayaan baik dengan skim sosial maupun komersial.

6. DAFTAR PUSTAKA

Acharya, P., Acharya, U. (2006). Sust ainabilit y of Microfinance Institution from Small Farmers’Persepective: a. Case of Rural Nepal. International Review of Business Research Papers 2(2):117-126.

Ali, A.H., Abu-Hadi, A.O., Ali, A.Y.S. (2013). The Accessibility of M icrofinance for Small Businesses in M ogadishu, Somalia. International Journal of Humanities and Social Science 3(11): 172-180.

Armendariz, B., Morduch, J. (2005). The Economics of M icrofinance. London: The MIT Press Cambridge.

Aubert, C., De Janvry, A., Sadoulet E. (2009). Designing Credit Agent Incentives t o prevent Mission Drift in Pro-Poor Microfinance Institutions. Journal of Development Economics 90 (2009): 153-162.

[BPS] . (2014). Badan Pusat Statist ik. http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1488.

BPS dan Kementerian Sosial (2012), Analisis Kemiskinan Berdasarkan Data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011.

Buchori, A. (2012). Linkage Program Bank Syariah-BMT Solusi Financial Inclusion bagi UMK. Unpublished article, Bank Indonesia.

Charitonenko, S., Campion, A., Fernando N.A. (2004). Commerciali zation of Microfinance: Perspectives from South and Southeast Asia. Asian Development Bank.

Christen, R.P. (2000). Commercialization and Mission Drift: The Transformation of Microfinance in Latin America. Consultative Group to Assist the Poorest (CGAP) Occasional Paper No. 5. W ashington, DC: CGAP.

Conning, J. (1999). Outreach, Sustainability and Leverage in Monitored and Peer-Monitored Lending.

Journal of Development Economics 60 (1999)51-77.

Copestake, J. (2007). Mainst reaming Microfinance: Social Performance Management or Mission Drift.

World Development 10 (35): 1721-1738.

Cull, R., Demirguc-Kunt, A., Morduch, J. (2009). M icrofinance Tradeoffs Regulation, Competition, and Financing. Policy Research W orking Paper. The W orld Bank Development Research Group Finance and Privat e Sektor Team.

El-Komi, M., Croson, R. (2012). Experiment s in Islamic Microfinance. Journal of Economic Behavior &

Organization:1-53.

Ghalib, A.K. (2011). Estimating the Depth of M icrofinance Programme Outreach: Empirical Finding from Rural Pakistan. Brooks W orld Poverty Institut e Paper 154. The University of Maanchest er.

Godquin, M. (2004). Microfinance Repayment Performance in Bangladesh: How to Improve the Allocation of Loans by MFIs. W orld Development 32 (11): 1909-1926.

Gonzales-Vega, C., Schreiner, M., Meyer, R.L., Rodriguez, J., Navajas, S. (1997). BancoSol: The Challenge of Growth for M icrofinance Organizations. Dalam M icrofinance for The Poor? Schneider, H (ed). IFAD/OECD.

(17)

Hartarska, V., Shen, X., Mersland, R. (2013). Scale Economies and Input Price Elasticit ies in Microfinance Inst itutions. Journal of Banking & Finance (37) 118-131.

Hartono, E. (2009). Analisis Efisiensi Biaya Industri Perbankan Indonesia dengan Menggunakan M etode

parametrik Stochastic Frontier Analysis (studi pada perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode

2004-2007. Tesis. Universitas Diponegoro.

Henry, C., Sharma, M., Lapenu., C., Zeller, M. (2000). Microfinance Poverty Assessment Tool. Technical Tools Series No. 5. CGAP.

Hermes, N., Lensink, R., Meest ers, A. (2011). Outreach and Efficiency of Microfinance Institutions. World Development 39 (6): 938-918.

Huizinga, H.P., Nelissen, J.H.M, Vennet, R.V. (2001). Efficiency Effect s of Bank Mergers and Acquisit ions in Europe. Tinbergen Institute Discussion Paper. http://www.t inbergen.nl.

Hulme, D., Mosley, P.. (1996). Finance Againt s Povert y, Volume 2. London & New York: Routledge.

Hulme, D.. (2000). Impact Assessment Methodologies for Microfinance: Theory, Experience and Better Practice. World Development 28 (1): 79-98.

Hundak, K. (2012). W hat Next for Microfinance? How The Broader Financial Cont ext Matters for Effective Microfinance Outreach. Journal of Developmental Entrepreneurship 17 (4): 1-18.

Islam, A., Maitra, P. (2011). Health Shocks and Consumption Smoothing in Rural Households: Does Microcredit Have a Role to Play? Journal of Development Economics.

Kereta, B.B. (2007). Outreach and Financial Performance Analysis of Microfinance Institutions in Ethiopia. African Economic Confrence Paper, Unit ed Nations Conference Cent er (UNCC), Addis Ababa, Ethiopia.

Kumbhakar, SC., Lovell, CAK. (2000). Stochastic Frontier Analysis. Cambridge University Press.

Ledgerwood, J. (1999). Microfinance Handbook: An Institutional and Financial Perspective. W ashington DC, The W orld Bank.

Lifiana. (2012). Efisiensi Bank-Bank Merger dan Akuisisi di Indonesia.Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB.

McGuire, P.B., Convroy, J, D. (1997). Bank-NGO Linkage and the Transaction Costs of Lending to the Poor through Groups: Evidence from India and Philippines. DalamSchneider, H (ed), M icrofinance for The Poor. IFAD/OECD.

Mersland, R., Strom, R.O. (2010). Microfinance Mission Drift? World Development 38(1) 28-36.

Miyashita, Y. (2000). Microfinance and Poverty Alleviation: Lesson from Indonesia’s Village Banking Syst em. Pacific Rim Law & Policy Journal 10(1):147-189.

Mulyaningsih, Y., Nuryart ono, N., Oktaviani, R., Firdausy, C.M. (2015). Analisis Jangkauan (Outreach) LKMS bagi Rumah tangga Miskin Sektor Pertanian di Perdesaan Bogor Jawa Barat. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 20(3):182-190. http://journal.ipb.ac.id/imdex.php/JIPI. DOI:10.18343/jipi.20.3.182.

Mont gomery, H., W eiss, J. (2011). Can Commercially-orient ed Microfinance Help Meet the Millenium Development Goals? Evidence from Pakist an.W orld Development 39 (1): 87-109.

(18)

Munawar, A. (2010). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi K inerja K euangan BPR serta Interaksi Hubungan K inerja dan Jangkauannya (Studi terhadap Bank Perkreditan Rakyat Wilayah Jabodetabek, Jawa

Barat dan Banten). Tesis, Universitas Indonesia.

Nugroho, A.E. (2009). The Commercialization-Outreach Nexus of M icrofinance in Indonesia: The Case Study of M icrofinance Industry in Boyolali, Central Java. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan 17(2): 55-64.

Nuryartono, N., Anggraeni, T., Firdaus, R.S. (2012). Efficiency Level of BPR: Studi of Stochast ic Frontier Anlysis with an Approach of Time Varying Decay. International Research Journal of Finance and Economics 85:6-13.

Olivares, P.F. (2005). Commercializing Microfinance and Deepening Outreach? Empirical Evidence from Latin America. Journal of M icrofinance Vol 7(2).

Paxton, J., Cuevas, C.E. (2002). Outreach and Sustainability of Member-Based Rural Financial Intermediaries at The Triangle of M icrofinance, 2002. Dalam Zeller M & Meyer RL (ed). W ashingt on: The International Food Policy Research Institut e.

Todaro, M.P., Smith, S.C. (2009). Economic Development. Tent h Edition.

Varian, H.R. (1992). Microeconomic Analysis. Third Edition. London: W .W .Northon & Company.

Zeller, M., Meyer, R.L. (2002). Improving the Performance of Microfinance: Financial Sustainability, Outreach, and Impact . Dalam Zeller M and Meyer RL (ed). The Triangle of Microfinance. 2002. W ashington: The int ernational Food Policy Research Inst itute Berger and Mest er (1997).

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penulisan skripsi ini penulis memberikan judul “ Perancangan Tabung Pengolah Limbah Plastik Menjadi Bahan Bakar Terbarukan (Pirolisis) Kapasitas 50 kg/batch

Kinerja ekonomi Kalimantan Barat selama tahun tahun 2009 diperkirakan tumbuh 4,67% (y-o-y), lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan yang sama tahun sebelumnya sebesar

Selama lebih dari 2.000 tahun jintan hitam, tanaman dari keluarga Ranunculaceae (buttercup), secara tradisional telah digunakan oleh berbagai budaya diseluruh dunia

Judul Skipsi : Analisis Potensi Endapan Skarn Berdasarkan Zona Dan Karakteristik Batuan Kalk Silikat Pada Endapan Porfiri Cu-Au Batu Hijau, Sumbawa, Nusa

Rofi’uddin dan Zuhdi (2001) menyebutkan, menulis dapat dipandang sebagai rangkaian ak- tivitas yang bersifat fleksibel. Dengan menulis, seseorang dapat mengungkapkan

Perubahan fisik berupa peningkatan berat badan yang menyebabkan berkurangnya kepercayaan diri membuat wanita tidak dapat menyesuaikan diri dengan orang lain, karena

Karakter kuantitatif yang diamati pada bagian tongkol yaitu umur munculnya rambut, panjang tongkol, diameter tongkol, panjang tangkai tongkol, dan jumlah baris

Fokus masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Bagaimana kemampuan mengubah teks wawancara menjadi paragraf narasi sebelum menggunakan model