• Tidak ada hasil yang ditemukan

Urgensi Pendidikan Zaman Keemasan Umat I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Urgensi Pendidikan Zaman Keemasan Umat I"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

URGENSI PENDIDIKAN ZAMAN KEEMASAN UMAT ISLAM BAGI PENGELOLAAN PENDIDIKAN DI ERA MODERN

Oleh : Ali Rohmad

A. Pendahuluan

Sebagai penyandang predikat “masa keemasan Islam”, tidak mengherankan bilamana kejayaan daulah Abbasiyah menarik perhatian sebagian generasi muda muslim dalam era globalisasi dan masa kemunduran peradaban umat Islam saat ini untuk dijadikan sasaran kajian ilmiah.

Melalui pendekatan sejarah pendidikan yang dibatasi pada aspek isi, sarana, sumber, dan manajemen pendidikan, hasil kajian ini dihadirkan dengan maksud menggali nilai-nilai dari masa kejayaan daulah Abbasiyah yang dianggap relevan guna merekayasa sumber daya manusia yang berkualitas dalam merespon tantangan kehidupan di masa datang.

Mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan masa kejayaan suatu bangsa dapat dipandang sebagai aktifitas yang sangat menarik perhatian mayoritas pelajar bilamana dibandingkan dengan harus mempelajari masa perjuangan dan masa kemundurannya. Sekalipun sebenarnya peristiwa-peristiwa dalam tiga masa tersebut seluruhnya penting untuk dipelajari.

(2)

kekuasaan”.1 Penilaian ini dapat dijadikan pijakan untuk mengatakan, bahwa kondisi umat Islam sebelum daulah Abbasiyah berada pada masa perjuangan Islam mencapai kemajuan, dan kondisi umat Islam setelah masa daulah Abbasiyah sampai jaman modern ini berada pada masa kemunduran Islam.

Bagi generasi muda muslim yang hidup dalam masa kemunduran umat Islam dalam era globalisasi ini, mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan Islam pada masa kejayaan daulah Abbasiyah jelas tidak akan dianggap kedaluwarsa, melainkan tetap akan dianggap penting guna mendapatkan nilai-nilai yang relevan untuk merekayasa sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu merespon tantangan kehidupan di masa datang. Dengan ini, penulis merasa optimis bahwa hasil kajian ini dapat menarik untuk didiskusikan lebih-lebih oleh kelompok calon sarjana yang tengah berkonsentrasi mempelajari ilmu-ilmu ketarbiyahan.

Pembahasan yang komprehensif dan argumentatif dengan menyajikan data yang relevan terhadap aspek isi, sarana, sumber, dan manajemen pendidikan dapat menjadikan urgensi kajian ini meningkat, baik dipandang secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis, urgensi kajian ini dapat meningkat dengan pertimbangan bahwa hasilnya dapat dimanfaatkan oleh para ahli pendidikan sebagai penambah khazanah ilmiah terutama mengenai keadaan pendidikan umat Islam masa kejayaan daulah Abbasiyah yang dapat dikaji lebih lanjut guna pengembangan ilmu-ilmu kependidikan agar di masa datang bisa tetap relevan dengan tuntutan perkembangan peradaban modern. Dan secara praktis, urgensi

1

(3)

kajian ini bisa meningkat dengan pertimbangan bahwa hasilnya dapat dimanfaatkan oleh pemerintah cq. menteri pendidikan nasional, para pendidik dan tenaga kependidikan, dan para tokoh masyarakat sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan baru untuk membina pendidikan Islam yang berlangsung di rumah tangga, sekolah, dan masyarakat supaya dapat mengembangkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia sesuai dengan tuntutan Allah swt dan tuntutan perkembangan peradaban modern.

B. Sekilas Masa Kejayaan Daulah Abbasiyah

Para pendiri dan para penguasa daulah Abbasiyah adalah keturunan al-Abbas paman Nabi saw. Daulah al-Abbasiyah secara resmi didirikan oleh Abdullah (Abu al Abbas as Shaffah) ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas pada akhir bulan Zulhijjah 132 H, setelah bersama para pengikutnya yang dipimpin Abu Muslim al-Khurasani berjuang dan berhasil menumbangkan daulah Umayyah.2

Baghdad yang dibangun oleh khalifah al-Mansur dalam “…waktu 4 tahun biaya sebesar 4.883.000 dirham, pengerahan 100.000 arsitek, tukang dan karyawan” 3dijadikan sebagai ibu kota pusat pemerintahan daulah Abbasiyah dan diberi predikat sebagai madinah al-Salam. Lapidus mencatat bahwa “…….Baghdad berkembang secara pesat melampaui maksud-maksud pendirinya dan ia berkembang dari sebuah pusat militer dan administratif menjadi kota

2

Vide, Yoesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiyah, vol. 1, 1st ed., Bulan Bintang, Jakarta, 1977, hal. 10-11.

3

(4)

besar”.4 Di sekitar Baghdad tumbuh dua pemukiman besar. Yang pertama, dinamai al-Harbiya, yakni merupakan perluasan perkampungan militer Abbasiyah dalam bentuk distrik-distrik mencapai bagian utara komplek Istana Khalifah. Yang kedua, dinamai al-Karkh, yakni pemukiman yang mencapai bagian selatan Istana Khalifah yang dihuni oleh ribuan pekerja bangunan yang didatangkan dari Iraq, Syiria, Mesir, dan Iran. Di sini terdapat beberapa pasar yang menyediakan barang kebutuhan para pekerja dan keluarganya, dan terdapat sejumlah workshop yang menghasilkan pakaian, alat-alat tulis, dan perkakas rumah tangga, juga terdapat sejumlah perusahaan yang mensuplai bahan-bahan bangunan untuk proyek konstruksi. Sehingga ketika itu, di samping menjadi pusat kota, Baghdad juga menjadi pusat metropolitan yang didiami penduduk campuran berbagai unsur kedaerahan dari segala lapisan dan penjuru.

Kekuasaan daulah Abbasiyah berlangsung lima setengah abad lamanya. Dalam rentang waktu yang panjang itu, daulah Abbasiyah dipimpin oleh 23 khalifah dengan pola pemerintahan yang berbeda-beda sesuai dangan perubahan sosial, politik, dan budaya. Dengan berdasarkan perubahan pola pemerintahan ini, menurut sejarahwan biasa mengklasifikasi masa daulah Abbasiyah itu menjadi lima periode:5

1. Periode pertama 132-232 H (750-847 M) : masa pengaruh Persia pertama. 2. Periode kedua 232-334 H (847-945 M) : masa pengaruh Turki pertama. 3. Periode ketiga 334-447 H (945-1055) : masa pengaruh Persia kedua.

4

Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian ke satu dan dua, 1st , ed., terjem. Ghufran A Mas’adi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hal. 103-104.

5

(5)

4. Periode keempat 447-590 H (1055-1194) : masa pengaruh Turki kedua.

5. Periode kelima 590-656 H (1194-1258) : masa bebas dari pengaruh manapun, tetapi kekuasaan khalifah hanya efektif di sekitar istana.

Menurut Yatim Abdullah, daulah Abbasiyah bisa mencapai masa keemasan pada masa periode pertama.6 Secara politis, para khalifah benar-benar menjadi tokoh yang kuat sekaligus merupakan pusat kekuasaan dan agama. Secara ekonomi, kemakmuran masyarakat bisa mencapai tingkat tertinggi. Secara kelilmuan, berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam umat Islam. Namun pada akhir periode pertama ini, secara politis, pemerintahan Abbasiyah mulai nampak menurun, sekalipun bidang filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.

Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas dan al Mansur, maka puncak keemasannya berada tujuh khalifah setelah kedua khalifah itu, Musta’shim, Wasiq, dan al-Mutawakkil. Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di masa khalifah al-Rasyid dan al-Makmun. Waktu itu menurut Ali, “Di bawah enam khalifah Abbasiyah yang pertama, tapi terutama di bawah Makmun kaum Muslimin merupakan barisan depan peradaban.”7Khuda Bukhsh seperti dikutip oleh Sjalabi berpendapat, bahwa “ Masa pemerintahan khalifah al-Makmun kelihatannya

6

Ibid, hal. 50-52.

7

(6)

merupakan masa yang paling gemilang dan menempati kedudukan yang paling atas, dibandingkan kepada masa pemerintahan khalifah-khalifah lainnya.”8

Maka tidak keliru bila dikatakan bahwa ketika itu daulah Abbasiyah menjadi “super power” bagi kehidupan seluruh umat manusia. Menurut catatan Depag RI, “ Baghdad menjadi pusat perhatian dunia pada saat itu, karena pengaruh politiknya, kemajuan perdagangannya, kemakmuran rakyatnya, dan ketinggian ilmu pengetahuan yang dicapai pada saat itu.”9 Akan tetapi kesuper powerannya itu tidak akan bisa disamakan dengan kesuper poweran negara-negara maju dalam era globalisasi awal millenium ketiga ini, terutama tampak dari tata nilai yang dianut dan karakter kepemimpinan pemerintahannya.

C. Isi Pendidikan Islam

Yang penulis maksud dengan isi pendidikan Islam ini adalah kelompok bidang studi yang dijadikan obyek kajian dalam proses belajar mengajar dalam lembaga-lembaga pendidikan masa kejayaan daulah Abbasiyah. Dengan kata lain adalah muatan kurikulum atau rencana pelajaran.

Dalam karya Sou’yb dicatat, bahwa “khalif-khalif yang pertama sesudah Abu Abbas adalah pangeran-pangeran yang bijaksana, yang mempergunakan kekuasaannya bagi kemakmuran umum dan kecerdasan bangsa Arab…..; lembaga-lembaga perguruan dan santunan didirikan; dan study tentang kesusasteraan, perdagangan, dan seluruh cabang ilmu pada masa damai, diemong

8

Ahmad Sjalabi, Sejarah Pendidikan Islam, 1st ed., Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hal. 362.

9

(7)

dengan langsung oleh pihak pemerintah”.10 Kutipan ini menunjukkan, bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan telah ditetapkan menjadi isi pendidikan Islam. Tentu saja penyajiannya dalam proses belajar mengajar diselaraskan dengan kondisi peserta didik dan jenis/jenjang pendidikan yang ditempuh. Lebih jauh dalam pandangan Sjalabi, “Rencana pelajaran itu haruslah berbagai rupa, selaras dengan hari depan murid-murid serta pekerjaan-pekerjaan yang menunggu mereka di masa depan”.11

Mengenai jenis cabang ilmu pengetahuan yang dijadikan sasaran kajian ketika itu, Sou’yb mencatat bahwa “Perkembangn yang teramat besar berlangsung dalam bidang matematik, ketabiban dan ilmu alam. Angka-angka Romawi yang kekok itu digantikan oleh angka-angka Arab yang kita gunakan sampai pada masa kini, dan tanda bagi zero (nol) dipergunakan buat pertama kalinya.”12 Di samping itu, al Qur’an, al-Hadist, penelitian, teologi, fiqih, tasawuf, tata bahasa, dan seni bahasa serta nada sajak, seni tari dan seni suara, filsafat, fisika, astronomi, sejarah, kemiliteran telah dijadikan sebagai isi pendidikan Islam.13 Berbagai bidang studi ini oleh Fahmi berdasarkan sumbernya diklasifikasikan ke dalam ilmu naqliyah dan ilmu ‘aqliyah, tanpa mendiskriminasikan di antara keduanya.14

Penetapan pendidikan Islam semacam itu, dan didukung oleh semangat belajar di kalangan umat Islam yang sangat menakjubkan, serta adanya kebebasan

(8)

bagi para siswa mempelajari ilmu apapun yang ia sukai, maka wajar bila pendidikan Islam waktu itu mampu mencetak banyak ulama’, filosof, saintis, dan sastrawan sebagai sumber daya manusia dibanggakan kualitasnya sepanjang zaman dalam berbagai ilmu pengetahuan, seperti bidang al-Qur’an ada musafir Ibn Jabir al Tabari; di bidang al-Hadist ada Imam Bukhari, Imam Muslim; di bidang fiqih ada Malik ibn Anas (w. 179 H); Muhammad ibn Idris al Syafi’i (w. 204 H), Ahmad ibn Hanbal (w. 242 H); di bidang bahasa ada Khalaf al Ahmar (w. 180 H), Sibawaihi (w. 180 H), al-Kisai (w. 189 H); di bidang tasawuf ada Ibrahim ibn Idham (w. 166 H), Rabiatul Adawiyah (w. 185 H), Abu Ali Syaqiq al-Balkhili (w. 194 H); di bidang seni tari dan seni suara ada Abu al-Farj al-Ashiyani (w. 335 H); di bidang filsafat ada al-Kindi (w. 252 H), Abu Nasr Farabi (w. 339 H); di bidang kedokteran ada ibn Masiwaihi (w. 243 H), al Razy (w. 320 H), ibn Sina (w. 428 H); di bidang-bidang lain.15

D. Sarana Pendidikan Islam

Yang penulis maksud dengan sarana pendidikan Islam ini adalah bentuk – bentuk lembaga yang dipakai sebagai media dan tempat berlangsungnya proses belajar mengajar pada masa Daulah Abbasiyah sehingga mampu melahirkan kelompok ulama’, filosof, saintis, dan sastrawan yang berkualitas prima.

Berbagai bentuk lembaga pendidikan Islam tersebut merupakan hasil pikiran masyarakat waktu itu dalam upaya merespon pelbagai tantangan dan kebutuhannya yang digerakkan oleh semangat ajaran Islam sebagai termaktub

15

(9)

dalam kitab suci Al-Qur’an dan Al-Sunnah Nabi saw. Sjalabi menjelaskan secara rinci mengenai macan-macam sarana pendidikan Islam, sebagian telah didirikan sejak sebelum masa Daulah Abbasiyah dan sebagian baru pertama kali didirikan pada masa Daulah Abbasiyah, yaitu kuttab, pendidikan rendah di istana-istana, kedai-kedai saudagar kitab, rumah-rumah ulama’, salon-salon kesusasteraan, padang pasir, masjid, madrasah, dan perpustakaan.16

Sesuai dengan maksud tersebut, berikut dijelaskan secara garis besar mengenai sarana pendidikan yang didirikan masa daulah Abbasiyah dan belum pernah ada sebelumnya.

1. Kedai-kedai saudagar kitab

Sjalabi menjelaskan bahwa, ”kedai-kedai kitab ini telah lahir sejak permulaan kerajaan Bani Abbas, kemudian tersiarlah dengan amat pesatnya di seluruh ibu kota dan di berbagai negeri dalam alam Islami”.17 Semula kedai-kedai kitab ini dibuka untuk urusan perniagaan, namun dalam perkembangannya oleh masyarakat juga dijadikan sebagai arena adu kecerdasan dan seminar keilmuan, serta pembahasan keilmuan, terutama ketika dikunjungi oleh para cerdik pandai dan ahli sastra, pelajar, dan ulama’. Lebih lanjut dikatakan bahwa “…:sidang-sidang ilmiah dikedai-kedai kitab itu terjadi setiap hari.”18

Para saudagar kitab bukan sekedar pencari laba dari usahanya, melainkan mayoritas terdiri dari sastrawan yang cerdas. Mereka memilih menjadi

16

Vide, Ahmad Sjalabi, op. cit, hlm. 33-133.

17

Ibid, hal. 53.

18

(10)

saudagar kitab agar mendapat kesempatan yang penuh untuk membaca kitab dan bergaul dengan para cerdik pandai. Di samping sebagai saudagar, ternyata di antara mereka ada yang bertindak sebagai penulis buku, dan penyalin buku bagi pemesannya dangan imbalan jasa rata rata satu dinar untuk sebuah buku. Dengan demikian, posisi kedai kitab dalam meningkatkan taraf kecerdasan masyarakat adalah amat penting.

2. Madrasah/sekolah

Hasjmy menyebutkan, bahwa orang yang mula-mula mendirikan madrasah/sekolah dalam bentuk yang ada sampai sekarang ini adalah Perdana Menteri Nizhamul Mulk (456-485 H). Madrasah yang ia dirikan disebut “madrasah al Nizhamiyah”. Di antaranya terdapat di Baghdad, Hara, Isfahan, Naisabur, Mausil. Madrasah yang ia dirikan berjenjang : tingkat rendah, menengah, dan tingkat tinggi yang mengajarkan banyak bidang ilmu, baik dalam kelompok naqliyah maupun aqliyah.19

Pada setiap madrasah dibangun sebuah aula untuk pelaksanaan majelis ta’lim yang dihadiri para ulama’ dan para pelajar, dan dibangun asrama sebagai tempat tinggal para pelajar selama menuntut ilmu, seta disediakan ruangan tempat tinggal bagi staf pengajar termasuk fasilitas-fasilitas bagi kehidupan yang layak dengan biaya dari sekolah atau hasil waqaf yang khusus diperuntukkan bagi kesejahteraan mereka dan para pegawainya.

Fahmi menyebutkan, bahwa setiap madrasah mempunyai perpustakaan yang besar yang dilengkapi buku-buku berbagai cabang ilmu pengetahuan

19

(11)

yang diatur sedemikian rupa guna memudahkan pembaca dan alat-alat tulis yang berupa tinta dan kertas, juga dilengkapi rumah sakit guna menjaga kesehatan pelajar.20

Dengan demikian dapat diketahui ciri-ciri utama madrasah masa itu, yakni terdapat ruang kuliah yang disebut iwan, asrama bagi pelajar, asrama bagi pengajar, perpustakaan, rumah sakit.

3. Bait al-Hikmah

Mengenai bait al-Hikmah ini, oleh Depag RI. dijelaskan, bahwa “lembaga ini merupakan suatu kombinasi dari perpustakaan, akademi dan biro penterjemahan yang dalam berbagai hal merupakan lembaga pendidikan terpenting”.21 Fahmi menyebutkan, bahwa bait al-Hikmah ini muncul pada waktu bercampurnya bermacam-macam bangsa dan peradapan pada masa kerajaan Abbasiyah dan pada masa bangkitnya gerakan intelektual yang mendorong umat Islam untuk memperoleh ilmu-ilmu pengetahuan zaman kuno.22

Syou’yb menjelaskan, bahwa “gedung ilmu (bait al-Hikmah), berisikan perpustakaan yang amat kaya raya, dibangun di dekat gedung observatorium Bagdad”.23 Tidak bisa dipungkiri, bahwa kontribusi bahasa Arab dan perhatian al-Makmun sebagai khalifah ke tujuh dalam daulah Abbasiyah terhadap peradaban dunia melalui bait al-Hikmah adalah amat besar, karena menurut Sjalabi di bait al-Hikmah ini “…telah dapat dipelihara untuk umat

20

vide, Asma Hasan Fahmi, op.cit, hal.44.

21

Depag RI., op. cit, hal. 7.

22

Asma Hasan Fahmi, op. cit, hal. 146.

23

(12)

manusia sejumlah besar dari peninggalan bangsa Yunani yang pokok-pokoknya sudah lenyap, sehingga dunia tak mungkin lagi sampai kepada peninggalan-peninggalan tersebut kecuali melalui terjemahan-terjemahan dalam bahasa Arab ini”.24

Dengan demikian, bait al-Hikmah bisa dinilai sebagai perpustakaan umum yang pertama kali terdapat dalam masyarakat muslim sekaligus sebagai Universitas dan sebagai yayasan ilmiah bagi aktifitas pendalam keagamaan, kesusasteraan, kefilsafatan, kesehatan yang didatangi para sarjana, ulama’, pelajar, sastrawan, dokter, dan lain-lain untuk bergumul dalam proses belajar mengajar.

E. Sumber Pendidikan Islam

Yang penulis maksud dengan sumber pendidikan ini adalah asal usul isi pendidikan yang dikaji dalam proses balajar mengajar oleh pendidik bersama peserta didik di masa kejayaan daulah Abbasiyah.

Untuk mendapatkan kejelasan mengenai sumber pendidikan Islam itu, dirasa perlu memperhatikan uraian Stoddard berikut ini.

Orang Arab tahu, bagaimana mengkonsolidasikan pemerintahan dan mengalihkannya ke tangan mereka. Mereka bukan bangsa yang haus darah, bukan bangsa yang gemar merampok dan memusnahkan. Sebaliknya, mereka adalah bangsa yang dianugerahi akhlak yang tinggi, watak mulia, cinta kepada ilmu. Memandang baik kenikmatan budi pekerti, kenikmatan yang sampai kepada mereka, dari peradaban yang lebih tua.

24

(13)

Tatkala terjadi antara yang menang dan yang kalah kesatuan perkawinan dan kepercayaan, tercapailah asimilasi diantara mereka. Asimilasi yang melahirkan kemajuan yang bernama sarasin, hasil perpaduan antara kecerdasan Yunani, Rumawi, dan Persi dengan ketinggian dan kecerdasan Arab yang berlandaskan spirit Islam.

Dalam tiga abad pertama sejarahnya (650-1000 M), bagian – bagian dunia yang dikuasai oleh Islam adalah bagian-bagian yang paling maju dan memiliki peradaban yang amat tinggi. Kerajaan penuh dengan kota-kota indah, penuh masjid megah, di mana-mana terdapat Universitas, di dalamnya tersimpan peradaban-peradaban dan hikmah-hikmah lama yang bernilai tinggi. Kecemerlangan Islam Timur merupakan yang kontras dengan dunia Nasrani Barat, yang tenggelam dalam malam kegelapan zaman.25

Dengan demikian dapat diketahui bahwa sumber pendidikan Islam waktu itu merupakan gabungan antara Islam Timur dan Barat; gabungan antara ilmu-ilmu naqliyah dengan aqliyah. Pertama-tama dikembangkan ilmu-ilmu-ilmu-ilmu naqliyah/keislaman yang disertai dengan penterjemahan ilmu-ilmu aqliyah dari Timur terutama Persi, India, Tiongkok, dan dari Barat terutama Yunani, Romawi. Kemudian muslimin terus bersemangat dalam penelitian, sehingga muncul “Zaman penciptaan karya-karya asli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan: kedokteran, astronomi, alkimia, ilmu bumi, ilmu pasti, filsafat, sejarah, etika, kesusasteraan.26 Bersamaan dengan itu, ilmu-ilmu pengetahuan agamapun waktu itu juga mengalami perkembangan yang pesat seperti ilmu tafsir, ilmu fiqh, ilmu hadits, dan sebagainya.

25

L. Stoddard, Dunia Baru Islam, n.n., n.p., n. d., hal. 13.

26

(14)

Kesuksesan umat Islam itu, mendorong Fahmi untuk meneliti dan berkesimpulan:”pada masa inilah terdapat kekayaan ilmu pengetahuan yang merupakan hasil karya orang-orang Islam, yang besar, yang untuk beberapa abad menjadi bahan studi orang-orang Barat, karena pada masa itu mereka dalam banyak hal tidak mempunyai ciptaan-ciptaan dan pembaharuan dalam bidang ilmu pengetahuan”.27

F. Manajemen Pendidikan Islam

Yang penulis maksud dengan menejemen pendidikan Islam ini adalah proses menejerial secara umum terhadap pemanfaatan segala sumber daya secara efektif lagi efisien untuk terlaksananya proses belajar mengajar dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam pada masa kejayaan Daulah Abbasiyah. Dan yang bisa dianggap sebagai menejer pendidikan Islam ketika itu terutama adalah khalifah, pejabat, dan tokoh-tokoh pendidikan.

Agar proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik, maka harus ada pembagian beban kerja dan aktifitas merealisasikannya di antara segenap personal sekaligus menerapkan prinsip-prinsip menejemen mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, sampai dengan penilaian.28

Memperhatikan keberhasilan yang gemilang dari pendidikan Islam masa kejayaan Daulah Abbasiyah dalam mencetak banyak ulama’, sarjana, saintis, filosof, dan sastrawan; maka amat khayal manakala ketika itu tidak diterapkan

27

Asma Hasan Fahmi, op. cit, hal. 19.

28

(15)

prinsip-prinsip manajemen pendidikan Islam. Akan tetapi untuk mendapatkan bukti-bukti sejarah berupa karya tulis mengenai manajemennya memang perlu perjuangan tersendiri.

Muhammad Bek al Khauduri seperti dikutip Sou’yb mencatat, bahwa “Tatkala Abu Ja’far al-Mansur selesai membangun kota Baghdad maka ia pun mengundang ulama’-ulama’ terkemuka dari berbagai kota, dan Abu Hanifah temasuk di antara yang diundang itu.”29 Catatan ini menunjukkan betapa pemimpin negara memiliki inisiatif lebih dahulu untuk menjalin silaturahmi dengan para ulama’ dari pelbagai penjuru kota sebagai pemimpin umat. Dan kalau yang diundang adalah para cerdik pandai lagi tokoh masyarakat, tentu saja yang mereka bicarakan adalah hal-hal yang terkait dengan tugas mereka sehari-hari yang dapat menjadi masukan bagi khalifah untuk menyusun perencanaan perkembangan kota Baghdad dari pelbagai segi kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Pertemuan seperti tersebut sampai dengan memasuki millinium ketiga ini senantiasa penting bagi semua pihak, bukan saja untuk menjalin keakraban, tetapi lebih jauh dari itu bisa dijadikan wahana untuk menepis terjadinya mis-komunikasi antar elemen bangsa yang amat rentan bagi munculnya gejala dis-integrasi dalam pemerintahan.

Secara ekonomi pemerintah Abbasiyah berhasil menciptakan kemakmuran yang luar biasa. Karena didukung dengan kondisi keamanan yang relatif stabil, maka hal ini bisa berkolerasi secara positif lagi signifikan terhadap menejemen pendidikan Islam di sana. Para khalifah bisa berkonsentrasi penuh terhadap proses

29

(16)

belajar mengajar. Sou’yb juga menjelaskan, bahwa “Apalagi masa sepuluh tahun yang terakhir pemerintahan Khalifah al-Mansur itu adalah masa aman-damai dan kemakmuran yang melimpah-limpah hingga seluruh perhatian telah lebih banyak tertuju bagi perkembangan ilmu, kesusasteraan dan kebudayaan.”30

Menurut catatan Hasjmy, “Khalifah Mansur betul-betul telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi ekonomi dan keuangan negara. …Pada waktu khalifah Mansur meninggal setelah memimpin negara selama 22 tahun, dalam kas negara tersisa sebanyak 810.000.000; dirham. …, sedangkan khalifah Harun al-Rasyid meninggalkan kekayaan negara dalam kas waktu beliau meninggal sebanyak lebih dari 900.000.000; dirham.”31 Perolehan devisa negara yang melimpah lagi luar biasa ini,”…karena para khalifah betul-betul memandang soal ekonomi dan keuangan negara sangatlah penting, sehingga dengan demikian pembangunan dalam segala cabang ekonomi dia pandang soal yang paling urgen.”32

Kekayaan negara yang melimpah itu tenyata tidak mendorong para khalifah menjadi sebagai koruptor kelas raksasa, melainkan menurut Ahmad Amin seperti dikutip Hasjmy mendorong mereka untuk “…berlomba-lomba dalam memberi kedudukan terhormat kepada para ulama’ dan para pujangga.”33 Sjalabi menjelaskan, bahwa ”Para muaddib (guru pribadi putra para pembesar) telah dapat menikmati kekayaan dan kemakmuran seperti yang dapat dinikmati oleh pembesar itu sendiri… Para ulama dan ahli-ahli bahasa dari golongan ini telah berada dalam kehidupan yang makmur. Mereka telah dapat menikmati taraf

30

Ibid, hal. 246.

31

A. Hasjmy, op.cit, hal.270-272.

32

Ibid.

33

(17)

keuangan yang menyenangkan lantaran para khalifah, sultan-sultan dan para pembesar sangat memperhatikan kepentingan-kepentingan mereka. Mereka memberikan hadiah-hadiah dan pemberian-pemberian yang tak putus-putusnya.”34

Perhatian kesejahteraan terhadap ulama’, pendidik, sarjana, filosof, sastrawan yang lebih dari cukup itu, bisa dipandang sebagai bagian dari menejemen pendidikan Islam ketika itu. Yang dengan langkah tersebut, perhatian para cerdik pandai itu bisa terpusat pada aktifitas keilmuan, bukan lagi memikirkan urusan perut seperti para pendidik di negeri antah-berantah dewasa ini yang suka ngojek mengajar ke sana ke mari dan banyak melaksanakan aktifitas di luar keilmuan.

Di samping kemapanan ekonomi, menurut Ali, “Pengganti-pengganti Mansur bukan saja pelindung-pelindung yang penuh kecintaan terhadap orang pelajar, yang berbondong-bondong datang ke ibu kota dari tiap penjuru, tapi mereka sendiripun adalah pembina yang rajin dari tiap cabang ilmu pengetahuan.”35 Sementara ketika kondisi politik Abbasiyah mulai ada tanda-tanda melemah, menurut catatan Fahmi, “Para ulama’ dan para cendekiawan tidak mengambil pusing dengan batas-batas negara yang telah ditetapkan oleh kekuasaan politik, dan dalam pandangan mereka batas-batas tersebut dapat dipersatukan oleh ilmu pengetahuan, sastra, dan agama, dan di sana tidak ada

34

Ahmad Sjalabi, op. cit, hal.232-234.

35

(18)

batas-batas yang menghambat produksi pikiran dalam semua negeri Islam, meskipun letaknya di antara satu sama lainnya berjauhan.”36

Dengan demikian dapat dimengerti bahwa dilihat dari teori menejemen sekarang, ternyata menejemen pendidikan Islam yang diterapkan masa kejayaan daulah Abbasiyah sesungguhnya adalah menejemen modern yang didukung oleh stabilitas keamanan pemerintahan yang mantap, devisa negara yang melimpah, sikap yang kondusif lagi kedermawanan dari para khalifah terhadap para cendekiawan, dan sikap ilmiah yang kuat dari para cendekiawan.

G. Konklusi

Kesimpulan dari uraian mengenai “Pendidikan Islam Pada Masa Kejayaan Daulah Abbasiyah” di atas adalah:

1. Masa keemasan daulah Abbasiyah bisa dicapai pada periode pertama 132-232 H, baik secara politis, ekonomi, maupun keilmuan. Masa puncak keemasannya berada pada tujuh khalifah setelah al-Mansur. Sedang puncak popularitasnya terletak pada masa ar-Rasyid dan al-Makmun.

2. Isi pendidikan Islam masa kejayaan daulah Abbasiyah dapat dibedakan menjadi dua kelompok, pertama adalah kelompok ilmu keislaman yang bersifat naqliyah dan kedua adalah ilmu kebudayaan yang bersifat ‘aqliyah. Keduanya diperlakukan secara konvergentif bukan diskriminatif, dan disajikan berdasarkan jenis dan jenjang pendidikan yang ditempuh peserta didik seta tugas masa depannya.

36

(19)

3. Sarana pendidikan Islam masa kejayaan daulah Abbasiyah terdiri dari kuttab, pendidikan rendah di istana-istana, kedei-kedei saudagar kitab, rumah-rumah ulama’, salon-salon kesusasteraan, padang pasir, masjid, madrasah, dan perpustakaan. Hampir seluruh sarana pendidikan ini telah didirikan sejak sebelum masa daulah Abbasiyah, kecuali kedei-kedei saudagar kitab, madrasah, dan perpustakaan.

4. Sumber pendidikan Islam masa kejayaan daulah Abbasiyah merupakan asimilasi dari tiga macam unsur, pertama adalah Islam beserta kebudayaan muslimin; kedua adalah kebudayaan Timur terutama Persia, India, dan China; ketiga kebudayaan Barat terutama kebudayaan Romawi dan Yunani.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Akibat hukum dari suatu akta yang se- harusnya dibuat dihadapan PPAT tetapi ka- rena penerima hak tidak memenuhi syarat mendapatkan suatu hak atas tanah maka ak- tanya harus

Kedudukan PPAT selaku pejabat umum dalam proses penerbitan sertifikat hak milik atas tanah yaitu dapat dikatakan sebagai pejabat perantara kepentingan antara pemegang

Measuring respiration profiles of soil microbial communities across Europe using MicroResp™ method.. Applied

pada Kinerja karyawan , dengan asumsi variabel bebas yang dianggap konstan. β2 = 0,223; berarti apabila variabel Seleksi meningkat, maka akan mengakibatkan peningkatan

Mungkin karena ini, satu kelas itu kan heterogen dan dia kan seharusnya diperlakukannya khusus tapi kalau misalnya guru mengikuti dia nanti teman-teman yang lain kan nggak

Bahwa pada saat sebelum operasi Cito Secsio Saria terhadap korban dilakukan para terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang