• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASALAH DAN STRATEGI MENERJEMAHKAN ISTIL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MASALAH DAN STRATEGI MENERJEMAHKAN ISTIL"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

MASALAH DAN STRATEGI

MENERJEMAHKAN ISTILAH BUDAYA

Makalah ini Disusun Guna Melengkapi Tugas Mata Kuliah Translation Studies

Dosen Pengampu: Ghofar M.Pd

Disusun oleh:

Tira Nur Fitria

(26.09.6.2.164)

Umi Rohmahwati

(26.09.6.2.172)

Yuliana Susilowati

(26.09.6.2.187)

PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS

FAKULTAS TARBIYAH DAN BAHASA

IAIN SURAKARTA

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

Judul makalah ini mengandung dua kata kunci, yaitu penerjemahan dan budaya. Ke duanya terkait satu sama lain. Ketika seseorang menerjemahkan suatu teks, dia tidak hanya mengalihkan pesan tetapi juga budaya. Proses pengalihan pesan teks bahasa sumber dipengaruhi oleh budaya penerjemah, yang tercermin dari cara dia dalam memahami, memandang, dan mengungkapkan pesan itu melalui bahasa yang dia gunakan.

Pengalihan pesan dalam proses penerjemahan selalu ditandai oleh perbedaan budaya bahasa sumber dan bahasa sasaran. Perbedaan ini secara langsung akan menempatkan penerjemah pada posisi yang dilematis. Di satu sisi, dia harus mengalihkan pesan teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran secara akurat. Di sisi lain dan dalam banyak kasus dia harus menemukan padanan yang tidak mungkin ada dalam bahasa sasaran. Sebagai akibatnya, persoalan ketaktakterjemahan linguistis dan kultural tidak dapat dihindari.

Pada hakekatnya, teori penerjemahan sudah menyediakan pedoman untuk mengatasi masalah-masalah penerjemahan. Namun, sebagai pedoman umum, teori penerjemahan tidak selalu dapat diterapkan untuk memecahkan persoalan ketak terjemahan yang timbul dalam peristiwa komunikasi interlingual tertentu. Bahkan, suatu padanan untuk suatu ungkapan dalam bahasa sumber yang sudah lazim digunakan, diterima dan dianggap benar oleh pembaca teks bahasa sasaran, apabila dianalisis secara mendalam, bukan merupakan padanan yang seratus persen benar.

(3)

BAB II

PEMBAHASAN

1. Hubungan antara Penerjemahan dan Budaya

Penerjemahan merupakan proses pengalihan pesan teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Tujuan praktis dari proses pengalihan pesan itu ialah untuk membantu pembaca teks bahasa sasaran dalam memahami pesan yang dimaksudkan oleh penulis asli teks bahasa sumber. Tugas pengalihan ini menempatkan penerjemah pada posisi yang sangat penting dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apabila ilmu pengetahuan dan teknologi dipahami sebagai bagian dari budaya, secara tidak langsung penerjemah turut serta dalam proses alih budaya.

Tujuan praktis penerjemahan diatas sering terlupakan oleh penerjemah. Ada terjemahan yang sudah secara setia menyampaikan pesan teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, tetapi bahasa yang dia digunakan tidak bisa dipahami oleh pembaca dengan baik. Ada pula terjemahan yang tampak “cantik” dan wajar, tetapi pesannya menyimpang jauh dari pesan teks aslinya. Jika kasus seperti ini sering terjadi, tujuan praktis penerjemahan itu tidak tercapai dengan baik. Terjemahan yang demikian dianggap telah menghianati tidak hanya penulis teks asli tetapi juga pembaca teks terjemahan (Damono, 2003). Tujuan penerjemahan pada dasarnya tidak hanya oleh ditentukan oleh penerjemah tetapi juga oleh klien (orang yang memberi tugas penerjemahan) dan pembaca teks bahasa sasaran.

Terjemahan merupakan alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, terjemahan bertujuan komunikatif yang ditetapkan oleh penulis teks bahasa sumber, penerjemah sebagai mediator, dan klien atau pembaca teks bahasa sasaran. Penetapan tujuan itu sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya serta ideologi penulis teks bahasa sumber, penerjemah, dan klien atau pembaca teks bahasa sasaran (Nababan, 2004).

(4)

yang sangat luas dan menyangkut semua aspek kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh aspek sosial (Snell-Hornby, 1995: 39).

Bahasa dan budaya, serta bahasa dan perilaku mempunyai hubungan yang sangat vital. Sementara itu, bahasa merupakan ungkapan tentang budaya dan diri penutur, yang memahami dunia melalui bahasa.

Penerjemahan juga merupakan tindak komunikasi interlingual, yang perwujudannya sangat dipengaruhi oleh budaya pengguna bahasa. Barangkali itu sebabnya pakar penerjemahan, House (2002), berpendapat bahwa seseorang tidak menerjemahkan bahasa tetapi budaya, dan dalam penerjemahan kita mengalihkan budaya bukan bahasa. Pendapat ini sejalan dengan pandangan bahwa budaya merupakan satuan terjemahan, bukan kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf atau teks, (Nord, 1997) yang seharusnya mendapatkan perhatian yang serius dari penerjemah.

2. Masalah yang Timbul dalam Penerjemahan karena Faktor Budaya

Sifat ketergantungan budaya pada harapan dan norma yang berlaku di masyarakat, dan perbedaan budaya teks bahasa sumber dari budaya teks bahasa sasaran membuat penerjemahan sangat sulit dilakukan. Nida (1975) mengatakan:

...translators are permanently faced with the problems of how to treat the cultural aspects implicit in a cource text (SL) and finding the most appropriate technique of successfully conveying these aspects in the target language (TL) (h. 130).

Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Dollerup dan Lindegard (1993):

Translators should strive to transmit an image of the source culture to the target receptors that corresponds to the image the target culture would claim for itself (h. 72).

Masalah yang timbul dalam penerjemahan dikaitkan dengan tiga faktor utama:

(5)

b. Faktor kebahasaan. Pada umumnya, sistem bahasa yang dilibatkan dalam penerjemahan berbeda satu sama lain. Secara morfologis dan sintaksis, bahasa Inggris, misalnya, berbeda dari bahasa Indonesia. Sebagai akibatnya, ada kalanya penerjemah dihadapkan pada masalah ketakterjemahan linguistis (linguistic untranslatability) (Catford, 1974).

c. Faktor budaya. Faktor budaya ini sebenarnya tumpang tindih dengan faktor kebahasaan apabila bahasa dipandang sebagai budaya atau bagian dari budaya.

3. Ketakterjemahan Budaya

Budaya di sini (Soemarno, 1997:1) berhubungan dengan cara makan, cara berbusana, adat istiadat, bahasa, upacara, peristiwa-peristiwa budaya sampai dengan hal-hal seperti lukisan, patung, ukiran, bangunan-bangunan dan sebagainya yang dianggap sebagai budaya. Perlu ditambahkan faktor budaya juga mencakup sikap atau cara pandang masyarakat terhadap alam, lingkungan sosial, kehidupan itu sendiri, dll.

Perbedaan budaya antara teks bahasa sumber dan bahasa sasaran menimbulkan ketakterjemahan budaya (cultural untranslatability). Ketakterjemahan budaya di sini dapat menyangkut masalah ekologi, budaya materi, budaya religi, budaya sosial, organisasi sosial, adat istiadat, kegiatan, prosedur, bahasa isyarat, dsb (Newmark, 1988: 95). Ketakterjemahan karena perbedaan budaya bahasa sumber dan bahasa sasaran dipengaruhi oleh:

1. Perbedaan Sudut Pandang. Perbedaan cara atau sudut pandang terhadap sesuatu tidak bisa dipisahkan dari budaya penutur suatu bahasa.

(6)

2. Ketiadaan Padanan. Ada kemungkinan bahwa suatu konsep yang terkait dengan budaya (baik abstrak maupun konkrit) dapat diungkapkan dalam bahasa sasaran tetapi konsep tersebut sama sekali tidak ada dalam budaya bahasa sasaran. Konsep yang berhubungan dengan ekologi (misalnya, musim semi) sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia. Namun, kita hanya mengenal musim kemarau dan musim penghujan. Dalam banyak kasus, konsep budaya yang dimaksud tidak mempunyai padanan dan tidak dikenal dalam budaya bahasa sasaran.

Contoh: Rumah Joglo, misalnya, tidak mempunyai padanan dalam bahasa Inggris dan konsep ini tidak dikenal dalam budaya penutur bahasa Inggris. Hal yang sama juga terjadi pada kata yang terkait dengan nama makanan (botok), nama organisasi sosial (Rukun Tetangga, Rukun Warga), kegiatan sosial (arisan).

Contoh-contoh masalah ketakterjemahan budaya seperti diuraikan di atas antara lain:

1. Kebogiro diterjemahkan oleh John McGlynn (1990) ke dalam bahasa Inggris menjadi

wedding songs. Dalam hal ini si penerjemah gagal memahami makna kultural kebogiro, yang berwujud bunyi-bunyian tanpa syair dalam kesenian khas masyarakat Jawa; sementara wedding songs sebagai padanannya dalam bahasa Inggris merupakan nyanyian dengan syair tertentu yang biasanya dilantunkan oleh paduan suara beserta umat dan imam pada acara pernikahan di gereja.

2. Supper (= the evening meal; meal eaten early in the evening if dinner is near noon, or late in the evening if dinner is at six o’clock or later)

Kebiasaan makan masyarakat Inggris meliputi empat jenis bersantap, yaitu breakfast,

lunch, dinner, dan supper. Sedangkan, masyarakat Indonesia hanya mengenal tiga jenis bersantap, yakni sarapan pagi, makan siang, dan makan malam sebagai padanan untuk masing-masing breakfast, lunch, dan dinner. Lalu, bagaimana kata supper seharusnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia? Ternyata, sampai saat ini belum ada padanan yang berterima untuk istilah tersebut dalam bahasa kita.

(7)

Panjenengan sampun dhahar menapa dereng? Sedangkan, seorang karyawan yang bertanya kepada sesama karyawan yang selevel dengannya dapat menggunakan kalimat Sampeyan mpun nedha napa dereng?, masing-masing sebagai terjemahan atas kalimat Have you already eaten your meal?

Sesuai dengan lingkup permasalahannya, Nida (1975:68-77) membedakan 5 (lima) jenis ketakterjemahan yang terkait dengan aspek budaya (cultural aspects):

1. Ketakterjemahan yang berhubungan dengan masalah ecological culture

Misalnya: pancuran (Indonesia) dan shower (Inggris). Kata pancuran tidak memiliki padanan dalam bahasa Inggris, dan demikian juga kata shower yang tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Kedua kata tersebut tentunya tidak dapat saling dipadankan satu dengan yang lainnya.

2. Ketakterjemahan yang berhubungan dengan masalah social culture

Misalnya: midodareni (Jawa). Istilah midodareni menggambarkan peristiwa budaya dalam adat istiadat Jawa, yakni sebuah acara ritual dalam perkawinan. Pada kesempatan tersebut si calon pengantin wanita dihiasi sedemikian rupa dan diisolasi dari calon pengantin pria. Peristiwa ini berlangsung pada malam hari, yaitu malam sebelum pesta perkawinan diselenggarakan. Dalam kenyataannya masyarakat Inggris tidak memiliki peristiwa budaya demikian, sehingga bahasa Inggris juga tidak mengakomodasi kosakata yang menggambarkan peristiwa tersebut. Oleh sebab itu, penerjemahan kata midodareni ke dalam bahasa Inggris biasanya dilakukan dengan menggunakan bantuan catatan kaki.

3. Ketakterjemahan yang berhubungan dengan masalah material culture

Misalnya: a) Stone water jar (Inggris) dan Kendi (Indonesia)

- stone water jar (in the Bible stories) is used to get water from the well.

- kendiis used as a container of drinking water.

Jadi, masing-masing stone water jar dan kendi memiliki makna yang berbeda, sehingga kedua istilah tersebut tidak berpadanan.

b) Rice. Kata rice dalam bahasa Inggris berpadanan dengan beberapa leksikon yang maknanya berbeda-beda dalam bahasa Indonesia, seperti padi, gabah, beras, nasi, lontong, aking, menir, dan sebagainya. Dengan demikian, penerjemahan kata rice ke dalam bahasa Indonesia dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda dengan makna aslinya dalam bahasa sumber.

(8)

Misalnya: lebaran (= a holiday following Ramadhan, the fasting month in the Islamic calendar, also known as Idul Fitri).

Kata lebaran tidak memiliki padanan dalam bahasa Inggris, sehingga penerjemahan kata tersebut ke dalam bahasa Inggris dapat dilakukan dengan penggunaan catatan kaki.

5. Ketakterjemahan yang berhubungan dengan masalah linguistic culture

Misalnya: When a man stays with a girl when does she say how much it costs? … Does

she say she loves him? … Yes, if he wants her to. (Jika seorang laki-laki bercengkerama dengan seorang gadis bilakah dia mengatakan harganya? … apakah dia mengatakan bahwa dia mencintainya? … Dia mengatakannya kalau dia mau).

Di sini kata dia mengacu baik pada a man maupun pada a girl, sehingga pembaca/pendengar teks terjemahan tersebut mengalami kesulitan memahami teks yang mengandung kata-kata beracuan ganda.

Mengingat masalah ketakterjemahan yang berkaitan dengan aspek budaya mengandung kompleksitas yang tinggi dan spesifik, seorang penerjemah dituntut untuk memiliki pemahaman, kesadaran, dan kecermatan yang tinggi pula terhadap seluk beluk budaya masyarakat penutur kedua bahasa – bahasa sumber dan bahasa sasaran – dalam kegiatan penerjemahan.

4. Strategi dan Tehnik Menerjemahkan Istilah Budaya.

Pakar penerjemahan menawarkan berbagai strategi untuk memecahkan masalah padanan yang disebabkan oleh faktor budaya (lihat Newmark, 1988; Baker, 1992; Hervey dan Higgins, 1992). Strategi-strategi yang ditawarkan perlu dicermati diterapkan secara seksama agar tidak bertentangan dengan tujuan penerjemahan itu sendiri. Transplantasi budaya yang ditawarkan oleh Hervey dan Higgins (1992), misalnya, cenderung menghasilkan saduran, bukan terjemahan. Demikian juga dengan konsep

addition of information harus dipahami sebagai upaya untuk membuat terjemahan mudah dipahami oleh pembaca sasaran tanpa mengaburkan pesan teks bahasa sumber.

Berikut ini tehnik-tehnik pada penerjemahan istilah budaya dalam teks:

1. Teknik peminjaman alamiah

(9)

BSu BSa

1 culinary kuliner Peminjaman alamiah

2 satay Sate Peminjaman alamiah

Teknik peminjaman alamiah dilakukan dengan mempertahankan BSu dalam teks terjemahan (BSa). Namun, peminjaman disertai penyesuaian lafal pada BSa. Hasil temuan diatas, kedua istilah tersebut dikenal dalam BSa, hanya saja dengan pelafalan yang disesuaiakan dengan BSa.

2. Teknik peminjaman murni

No Istilah Budaya Teknik Penerjemahan

Bsu Bsa

1 Batik Batik Peminjaman murni

2 solo batik carnival solo batik carnival Peminjaman murni

3 Warung warung Peminjaman murni

4 Hik hik Peminjaman murni

5 Jadah jadah Peminjaman murni

6 melting pot melting pot Peminjaman murni

Teknik peminjaman murni dilakukan dengan mempertahankan BSu sama persis pada teks BSa. Mengingat istilah yang diterjemahkan adalah istilah budaya, ada 2 kemungkinan yaitu (1) konsep budaya dalam BSa telah dikenal dengan baik atau ditemukan dalam teks BSu, (2) konsep budaya pada BSa tidak dikenal dalam BSu, sehingga diperlukan keterangan tambahan.

(10)

Warung HIK is something of a melting pot in fact – a place for people to chat, speak without censorship and kill time with help of a glass of hot ginger tea and snack such as fried peanuts, various satay or the grilled sticky rice cakes known as jadah. Adanya penjelasan tentang melting pot di kalimat selanjutnya dan dirasa dapat dipahami oleh pembaca, maka cukup diterjemahkan dengan apa adanya atau tidak diterjemahkan.

3. Teknik reduksi

No Istilah Budaya Teknik Penerjemahan

BSu BSa

1 the grilled sticky rice cakes known as jadah jadah bakar reduksi

Pada the grilled sticky rice cakes known as jadah yang diterjemahkan menjadi jadah bakar menggunakan teknik reduksi. Teknik tersebut dilakukan dengan penghilangan secara parsial tanpa menimbulkan distorsi makna. Frasa the grilled sticky rice cakes

dihilangkan karena maknanya dinilai sudah cukup terwakili dengan jadah bakar.

4. Teknik adaptasi

No Istilah Budaya Teknik Penerjemahan

BSu BSa

1 stalls Warung adaptasi

2 pushcarts gerobak dorong adaptasi

3 snack Camilan adaptasi

Teknik ini dikenal dengan adaptasi budaya. Hal ini dilakukan menggantikan istilah budaya dalam BSu dengan istilah budaya yang lebih akrad dikenal dalam BSa.

Stall secara harfiah berarti table or small open shop from which things are sold in the street’ atau stan, kios, took kecil dipinggir jalan. Akan tetapi dalam BSa ada istilah yang kebih familiar yaitu warung. Hal tersebut dilakukan agar mudah dipahami oleh pembaca sasaran.

(11)

Snack mengacu pada makanan ringan, sedangkan dalam BSa ada istilah yang lebih dikenal yaitu camilan.

5. Teknik penerjemahan harfiah

No Istilah Budaya Teknik Penerjemahan

BSu BSa

1 hot ginger tea teh jahe panas harfiah

Dalam contoh ini, penerjemah melakukan teknik harfiah. Teknik ini dilakukan dengan penyesuaian kaidah bahasa dalam BSa. Hot  panas, ginger  jahe, tea  teh; Dalam BSu modifier diletakkan terlebih dulu, sedangkan dalam BSa head didepan.

Teknik penerjemahan yang digunakan dalam teks ada lima yaitu: peminjaman murni, alamiah, reduksi, adaptasi dan penerjemahan harfiah. Secara keseluruhan, dalam kasus penerjemahan istilah budaya diatas, konsep budaya ditemukan dalam BSa, bahkan beberapa istilah budaya tersebut justru berasal dari BSa.

BAB III

PENUTUP

Dari penjelasan makalah diatas, dapat kita simpulkan bahwa:

1. Terdapat keterkaitan dan hubungan antara penerjemahan dan budaya

2. Ada tiga masalah yang timbul dalam penerjemahan karena faktor budaya

1. Kemampuan penerjemah.

2. Faktor kebahasaan.

3. Faktor budaya.

Cultural untranslatability atau ketakterjemahan karena perbedaan budaya bahasa sumber dan bahasa sasaran dipengaruhi oleh:

(12)

2. Ketiadaan Padanan.

3. Ketakterjemahan Budaya

5 (lima) jenis ketakterjemahan yang terkait dengan aspek budaya (cultural aspects): 1. Ketakterjemahan yang berhubungan dengan masalah ecological culture

2. Ketakterjemahan yang berhubungan dengan masalah social culture

3. Ketakterjemahan yang berhubungan dengan masalah material culture

4. Ketakterjemahan yang berhubungan dengan masalah religious culture

5. Ketakterjemahan yang berhubungan dengan masalah linguistic culture

4. Strategi dan Tehnik Menerjemahkan Istilah Budaya.

1. Teknik peminjaman alamiah

2. Teknik peminjaman murni

3. Teknik reduksi

4. Teknik adaptasi

5. Teknik penerjemahan harfiah

DAFTAR PUSTAKA

Baker, M. 1992. In Other Words: A Coursebook on Translation. London: Sage Publication.

Catford, J.C. 1974. A Linguistic Theory of Translation. London: Longman.

Damono, S.J. 2003. “Menerjemahkan Karya Sastra.” Makalah disajikan dalam Kongres Nasional Penerjemahan, di Tawangmangu, 15-16 September 2003.

Dollerup, C dan Lindegard, A. 1993. Teaching Translation and Interpreting 2. Philadelphia: John Benjamins.

Duff, A. 1984. The Third Language. Great Britain: Pergamon Press.

Goodenough, W.H. 1964. “Cultural Anthropology and Linguistics.” In Dell Hymes (ed.). Language in Culture and Society: A Reader in Linguistics and Anthropology. New York:

Harper & Crow.

(13)

Ricardi (ed.). Translation Studies: Perspective on an Emerging Discipline. Cambridge: Cambridge University Press.

Nababan, M.R. 2003. “Arah Penelitian Penerjemahan”, Makalah disajikan dalam Kongres Nasional Penerjemahan, di Tawangmangu, 15-16 September 2003.

Newmark, P. 1988. A Textbook of Translation. New York: Prentice-Hall International. Nida, E. 1975. Language Structure and Translation. Standford, California: Standford

University Press.

Nord, C. 1997. Translating as a Purposeful Activity: Functional Approaches Explained. Manchester, UK: St. Jerome Publishing

Snell-Hornby, M. 1995. Translation Studies: An Integrated Approach. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.

http://www.proz.com/translation-articles/articles/2074/1/Penerjemahan-dan-Budaya

http://languageaccesscentre.blogspot.com/2011/12/penerjemahan-istilah-budaya.html

Referensi

Dokumen terkait

Istilah-istilah yang Digunakan pada Acara Ritual Petik Pari oleh masyarakat Jawa di Desa Sumberpucung, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang (Kajian

Penelitian tesis ini bertujuan untuk mendeskripsikan salah satu rangkaian acara yang terdapat pada upacara perkawinan adat besar Angkola yakni acara marosong-osong

Acara adat-istiadat yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan masih ada di desa Tanjung Luar, yaitu adat-istiadat dengan penyelenggaraan acara ”Petik

alat musik yang terbuat dari tembaga.. Begitu juga dengan perlengkap-perlengkapan ritual dalam upacara perkawinan adat jawa yang terdiri dari air kembang setaman, ketan

Penelitian tentang upacara Bubak Kawah dan Tumplak Punjen dalam resepsi perkawinan adat Jawa Surakarta belum pernah dilakukan, terutama mengenai bentuk istilah

Konteks yang dimaksudkan adalah konteks situasi acara Nemokan pada adat perkawinan suku Jawa di masyarakat Desa Sukaramai Sei Bejangkar Kabupaten Batu Bara

Berdasarkan dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa mappacci merupakan salah satu ritual adat perkawinan yang turun-temurun dilakukan oleh masyarakat Bugis sebelum

Adapun penelitian ini bertujuan untuk menguraikan beberapa hal yang terdapat pada filosofi ritual pernikahan adat Jawa Malang, yaitu: 1 teks berupa istilah yang mengandung makna