Fenomena Permukiman Padat Penduduk di Surabaya
Kepadatan penduduk adalah salah satu fenomena yang paling sering kita temui di kota-kota besar di Indonesia. Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan tingginya arus urbanisasi menjadi salah satu faktor utama penyebab terjadinya fenomena tersebut. Begitu juga yang terjadi di kota besar seperti Surabaya. Sebagai kota metropolitan kedua terbesar di Indonesia, data Badan Pusat Statistik Kota Surabaya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai kepadatan penduduk setiap tahunnya di Kota Surabaya. Menurut data kependudukan tahun 1990, kepadatan penduduk di Surabaya tercatat sebesar 7.568 jiwa/km2. Nilai ini terus bertambah hingga
berdasarkan data kependudukan tahun 2010, kepadatan penduduk di Surabaya tercatat sebesar 8.462 jiwa/km2. Dengan data tersebut, Kota Surabaya menduduki
peringkat ke-13 berdasarkan jumlah nilai kepadatan penduduk dari 92 kota besar lainnya yang ada di Indonesia.
Kepadatan penduduk di Kota Surabaya mayoritas diakibatkan oleh tingginya tingkat urbanisasi di wilayah ini. Sebagai ibukota provinsi Jawa Timur, maka tak heran Kota Surabaya menjadi pusat seluruh kegiatan di Provinsi Jawa Timur. Akibatnya, banyak masyarakat yang melakukan urbanisasi untuk mencari pekerjaan atau menimba banyak persoalan utama. Akibatnya, dengan kepadatan penduduk yang melebihi kapasitas, mengakomodir fenomena yaitu tidak meratanya penyediaan infrastruktur perkotaan dan permukiman penduduk.
pinggiran rel kereta api, sekitar pantai, tambak dan lain lain. Kawasan permukiman
Kondisi ini semakin diperburuk dengan sulit terjangkaunya penyediaan sarana dan prasarana kota. Fenomena ini banyak didapati pada permukiman kumuh yang didirikan di lahan illegal, seperti bantaran sungai atau pinggiran kereta api. Infrastruktur yang paling banyak menjadi masalah adalah drainase serta sanitasi dan persampahan. Salah satunya terjadi di permukiman kumuh di kawasan Bulak Banteng. Akibat dari tingginya kepadatan penduduk di wilayah tersebut, kualitas permukiman serta daya dukung lingkungan menurun. Hal ini dapat dilihat dengan menurunnya kualitas air sumur dan sumber air lainnya. Selain itu terbatasnya ketersediaan air bersih juga menyebabkan penduduk sekitar terpaksa menggunakan air sungai untuk kegiatan MCK atau membeli air bersih di pedagang air eceran.
Uniknya, mayoritas penduduk yang tinggal di kawasan permukiman kumuh ini adalah kaum pendatang yang berasal dari sekitar wilayah Surabaya. Bahkan menurut masyarakat sekitar, lingkungan di sekitar mereka mulai berubah menjadi kumuh setelah kedatangan para pendatang tersebut. Rata-rata pendatang ini melakukan urbanisasi ke Kota Surabaya dengan motif mencari lapangan pekerjaan. Namun, akibat penghasilan yang cenderung pas-pasan, para pendatang ini memilih untuk tinggal di lahan illegal dengan membangun rumah seadanya yang terkesan kumuh agar menghemat pembiayaan.