• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ni Made Dwi Maharani Dewi1 , Saortua Marbun2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ni Made Dwi Maharani Dewi1 , Saortua Marbun2"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Studi Kultural (2018) Volume III No.2: 85-89

Jurnal Studi Kultural

http://journals.an1mage.net/index.php/ajsk

Laporan Riset

Komodifikasi

Pura Keluarga

di Bali

Ni Made Dwi Maharani Dewi

1

, Saortua Marbun

2* Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Triatma Mulya

Informasi Artikel Abstrak

Sejarah artikel: Dikirim 14 Mei 2018 Direvisi 29 Juni 2018 Diterima 05 Juli 2018

Kata kunci:

Komodifikasi

Pura Keluarga

Hindu Bali Ideologi Pasar

1.

Introduksi

Agama Hindu adalah agama yang pertama kali masuk ke Nusantara dari India. Pedagang India yang menjual rempah-rempah dan sutra mencapai Nusantara dengan membawa Hinduisme. Saat ini, ada banyak bukti sejarah Hindu di Indonesia, terutama di Bali. Bali dikenal sebagai "Pulau Seribu Pura" (pulau seribu kuil) karena banyak tempat suci dibangun sebagai simbol kemuliaan Hindu.

Umat Hindu memelihara dan melestarikan warisan budaya leluhur mereka dengan membangun pura sebagai tempat pemujaan. Setiap rumah orang beragama Hindu di Bali memiliki pura keluarga yang digunakan untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan leluhur, sehingga jumlah pura di Bali mencapai ribuan. Keberadaan kuil keluarga sangat penting di setiap rumah karena semua orang yang beragama Hindu berkewajiban melestarikan warisan leluhur.

Sebelum Hinduisme memengaruhi Bali, penduduk lokal memiliki keyakinan animisme dan dinamisme. Animisme adalah pandangan yang mempercayai roh dan dinamisme adalah kepercayaan pada hal-hal yang memiliki kekuatan supranatural. Setelah kedatangan Hindu, kemudian ada perpaduan atau akulturasi antara kepercayaan pribumi dan keyakinan Hindu dari luar.

Hal itu menjadi awal pembentukan adat istiadat dan budaya baru yang dilestarikan secara terus menerus. Orang Bali kuno membuat pura "bebaturan" (batu bertumpuk), yang lain membuatnya dari pohon "dadab" dan beberapa menggunakan batu bata atau "pamor" untuk menjadi tempat menyembah kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Seiring dengan perkembangan zaman, bentuk-bentuk bangunan pura telah dibuat secara kreatif sebagaimana bentuk pura keluarga yang ada saat ini sehingga dapat dikatakan bahwa terjadi komodifikasi karena prosesnya

Kata Pura berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti kota atau benteng. Pura saat ini dalam konteks

Hinduisme di Bali berarti tempat ibadah kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Bait keluarga

dibangun agar setiap anggota keluarga dapat berdoa setiap hari. Pengusaha memproduksi, dan mendistribusikan bangunan pura keluarga dan menjualnya. Umat mendapatkan kenyamanan karena layanan dari para pembuat kuil.

Penduduk setempat berpendapat bahwa komodifikasi pura keluarga sangat berharga bagi pengusaha untuk mempromosikan ekonomi dan tradisi. Produksi dan distribusi pura keluarga di Bali menunjukkan dinamisme penetrasi kapitalis. Para pelaku bisnis pura keluarga bersaing memanfaatkan berbagai modal untuk menciptakan bangunan pura keluarga dengan kualitas, ukuran, dan harga bervariasi untuk memenuhi permintaan pasar lokal dan internasional. Memang, seseorang dapat menghasilkan, mendistribusikan, menjual, atau membayar, misalnya, pura keluarga, tetapi tidak ada yang dapat memproduksi, mendistribusikan, dan menjual atau membayar berkat ilahi.

© 2018 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

∗ Peneliti koresponden: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Triatma Mulya, www.triatma-mapindo.ac.id Jl. Kubu Gunung Tegal Jaya Dalung Badung Bali, Indonesia 80361 Mobile: +6285103437800 E-mail: saortuam@gmail.com.

(2)

yang mengikuti aturan atau prinsip pasar (Atmadja, dan Maryati, 2014) [1]. Namun, masyarakat setempat percaya komodifikasi itu tidak mengurangi kesucian pura keluarga.

Pura keluarga dapat digunakan sebagai tempat memuja jika pura tersebut sudah diupacarai atau disucikan. Adapun rangkaian ritual terebut yaitu, (1). Memangguh berasal dari kata “pangguh” artinya menemukan tanah baru yang sesuai untuk menjadi tempat pembangunan pura keluarga mengikuti arah mata angin yaitu Tenggara.

(2). Memirak berasal dari kata “pirak” artinya “menebus niskala” kepada Sedahan Karang atau Carik yakni pemilik tanah pekarangan sebelumnya. (3). Nyikut karang atau mengukur panjang dan lebar pekarangan yang akan digunakan sebagai lokasi pura keluarga dengan menggunakan pedoman "asta bumi" dan "asta kosala-kosali".

(4). Macaru berasal dari kata “car” artinya harmonis yang dimaksudkan untuk menciptakan keharmonisan antara Bhuana Agung dan Bhuana Alit sesuai dengan konsep Tri Hita Karana (tiga penyebab kesempurnaan). (5). Ngararuwak berasal dari kata “wak” yang artinya membuka atau menggali tanah untuk memasang pondasi.

(6). Mendem dasar atau meletakkan batu dasar dengan batu tiga warna (merah, merajah “Ang” simbol Dewa Brahma; hitam, merajah “Ung” simbol Dewa Wisnu; dan putih, merajah “Mang” simbol Dewa Siwa. (7). Mamakuh berasal dari kata “bakuh” yang artinya kuat yaitu mengokohkan pondasi, bangunan lanjutan, sendi-sendi, paku-paku, atap, dan bagian lainya.

(8). Ngurip berasal dari kata “urip” yang berarti hidup artinya menghidupkan bangunan dengan cara memohon restu Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujudnya sebagai Dewa Brahma, Dewa Siwa, dan Dewa Wisnu.

(9). Mendem pedagingan (menanam daging) berasal dari kata “daging” atau isi yang berarti jiwa bagi “palinggih”, yaitu “pancadatu”, bersamaan dengan memasang “orti”, yang berasal dari kata “orta” atau berita, mengandung simbol agar karya di Sanggah Pamrajan atau Pura Keluarga menjadi berita kepada seketurunan, dan (10).

Memasang palakerti yang asal kata pala” atau pahala,

“kerti” yang berarti perbuatan, mengandung simbol buah perbuatan yang patut menjadi contoh bagi keturunan selanjutnya. (11). Masang Bagia, asal kata “bagia” atau

“landuh” yang berarti makmur, mengandung simbol

mohon kemakmuran kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Pada waktu mendem pedagingan semua keluarga agar menyiapkan “takir” berisi: “kalpika, bija, jinah sesari” dengan maksud agar dikaruniai umur panjang atau yang disebut dengan “kalpika”, kemakmuran atau “bija” dan hasil kerja yang baik atau yang disimbolkan dengan “sesari”. (12).

Memasang ulap-ulap berasal dari kata “ulap” yang artinya panggil. Simbol ulap-ulap maksudnya memohon kehadiran Ida Bhatara agar berstana di pelinggih yang sudah disediakan. Setelah itu barulah dilaksanakan upacara melaspas, dan setelah itu dilanjutkan dengan upacara Ngenteg Linggih.

Citra 1. Pura Keluarga (Dewi, 2017)

Pada awalnya, menjual benda-benda suci untuk mendapatkan keuntungan dipandang sebagai dosa yang menghancurkan kesucian objek keagamaan. Akan tetapi, pada era globalisasi, banyak orang dengan berbagai cara untuk mendapatkan uang hingga simbol agama dikomodifikasi. Oleh karena itu, budaya dan agama harus dijaga karena tujuan utama agama adalah untuk mencapai kedamaian; membina hubungan harmonis antara manusia dan tuhan. Jika seorang hendak lebih dekat dengan tuhan maka ia akan membuat tempat untuk menyembah dalam bentuk pura atau pura keluarga (Wastika, 2005) [2].

Aktivitas produksi atau proses pembangunan pura keluarga dipandang sebagai bisnis yang baik. Selain menghasilkan keuntungan, orang-orang juga dapat berbakti kepada tuhan. Pura sebagai tempat ibadah bagi komunitas Hindu, tempat beribadah kepada Hyang Widhi. Tempat pemujaan memiliki gelar surga atau hyang.

(3)

Agung yang terletak di delapan sudut mata angin dan di Pusat Pulau Bali; (2). Pura Dang Kahyangan dibangun untuk menghormati jasa pandita (guru suci). Pura Dang Kahyangan dikelompokkan berdasarkan sejarah. Pura Dang Kahyangan tidak dapat dipisahkan dari Ajaran Rsi Rena dalam Agama Hindu;

(3). Pura Kahyangan Desa, pura di desa tradisional Kahyangan Tiga yaitu Pura Desa atau Bale Agung yang merupakan tempat pemujaan Hyang Widhi Prabhawa sebagai (representasi) Dewa Brahma dan Dewi Bhagawati; Pura Puseh adalah tempat pemujaan Dewa Wisnu; dan Pura Dalem adalah tempat pemujaan Siwa sebagai Pralina; (4). Pura Swagina dikelompokkan berdasarkan fungsi dan disebut sebagai kuil fungsional (Titib, 2008) [4].

Para pemuja kuil-kuil ini adalah mereka yang memiliki pekerjaan atau mata pencaharian yang dikenal dari semua tempat. Para pedagang beribadah di Pura Melanting; petani di Pura Subak, Pura Ulunsuwi, Pura Bedugul, dan Pura Uluncarik dan juga kuil-kuil di hotel, di kantor pemerintah dan swasta. Pura Kawitan adalah spesifik karena peminatnya ditentukan oleh asal-usul keturunan seseorang. Kuil-kuil ini termasuk kategori sanggah-pemrajan, pratiwi, "paibon”, “panti”, "dadia" atau "dalem dadia," "penataran dadia," "pedharman" dan sejenisnya.

Komodifikasi pura keluarga membuat beberapa orang khawatir karena harga bangunan dianggap mahal. Beberapa berpendapat bahwa komodifikasi dapat berguna untuk efisiensi waktu, menguntungkan orang-orang berbakat dan tenaga pembangun mendapatkan pekerjaan mereka. Pelaku bisnis memiliki kesempatan kerja yang berkelanjutan. Pekerjaan memproduksi dan distribusi menghasilkan keuntungan.

Bentuk dan ukiran bangunan bervariasi dari satu sama lain; perbedaannya ada pada tingkat kualitas, keindahan, dan keunikan yang secara langsung berkorelasi dengan harga. Bahan utama yang digunakan untuk membuat bangunan adalah semen, pasir, batu andesit, batu apung, batu hitam serta melibatkan jaringan tenaga produksi dan distribusi. Bisnis produksi bangunan pura keluarga mendapat manfaat dari nilai tambah pada bahan bangunan.

Masyarakat tidak dapat menghindari kewajiban untuk membangun pura keluarga berkaitan dengan gagasan melestarikan budaya dan memuja Hyang Widhi. Pasar menjadi peka terhadap tuntutan dan berkorelasi

dengan perundingan kapitalis berkelanjutan untuk mengeksploitasi emosi gengsi, budaya, agama, dan nilai bangunan dinegosiasikan menjadi satu komoditas bernama pura keluarga.

Ada tiga pertanyaan yang ditanyakan terkait komodifikasi pura keluarga. Pertama, apa pandangan masyarakat lokal tentang komodifikasi pura keluarga? Kedua, mengapa bangunan pura keluarga dikomodifikasikan? Ketiga, bagaimana pandangan ekonomi komodifikasi pura keluarga? Jawaban atas pertanyaan tersebut sangat berharga bagi penduduk setempat, pemimpin, dan generasi muda untuk mengetahui makna dan implikasi dari komodifikasi pura keluarga.

Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif. Informasi dan data dikumpulkan melalui wawancara dan observasi.

2.

Diskusi

Pura atau "phur" adalah sebentuk benteng atau kastil yang berfungsi sebagai pagar tembok yang mengelilingi bangunan dan halaman rumah. Benteng tersebut dimaknai sebagai pagar rohani bagi setiap orang yang beragama Hindu. Oleh karena itu, di setiap arah mata angin di Pulau Bali, sebidang pura agung dibangun yang tujuannya adalah untuk membentengi orang-orang dari serangan atau pengaruh yang tidak baik. Selain itu, untuk memperkuat iman agar tidak mudah dipengaruhi oleh paham yang berbeda dengan Hinduisme.

Ada sembilan pura besar di Pulau Bali terletak mengikuti arah mata angin. Pura Batur berada di Utara, "stana" Dewa Wishnu; Pura Besakih berada di tTimur laut, "stana" Dewa Sambhu; Pura Lempuyang terletak di Timur, "stana" Dewa Iswara; Pura Goa Lawah berada di Tenggara, "stana" Dewa Maheswara. Sembilan pura adalah benteng melindungi Pulau Bali dari hal-hal jahat yang tidak layak untuk pergi ke Bali. Sekarang kita tahu, Bali dikenal sebagai Pulau Seribu Pura.

(4)

Pandangan Terhadap Komodifikasi Pura Keluarga

Komodifikasi memudahkan para wirausahawan yang memiliki keahlian, sementara di pihak lain masyarakat dapat membayar jasa para pembuat pura keluarga. Para distributor dapat memanfaatkan pasar yang ada untuk mendapatkan keuntungan. Budaya pasar terbentuk menjadi solusi bagi masyarakat setempat untuk memiliki pura keluarga. Menurut seorang anggota masyarakat yang menjadi informan, komodifikasi pura keluarga membawa manfaat seperti lapangan pekerjaan, nilai ekonomi selain fungsi keagamaan.

Para informan yang mengkritik merasa kurang bahagia jika simbol-simbol ilahi diubah menjadi komoditas. Komodifikasi dapat diduga mengurangi tingkat kesucian, mengingat campur tangan ideologi kapitalisme. Meskipun komodifikasi itu berguna, ia pandang berisiko terhadap nilai kebudayaan jika tidak ada batasan yang mengendalikannya.

Menurut Ni Nyoman N.R.: "Karena zaman ini sudah berbeda dengan dahulu; dahulu orang berkebun, bertani, dan memancing, sehingga ada cukup waktu untuk membuat Pura Keluarga itu sendiri, sedangkan dewasa ini ada banyak pekerjaan yang membuat orang sulit untuk menuangkan seni membuat pura." (Badung, 13 Februari 2016) Sementara itu, menurut Kadek PIS: "Pura keluarga memiliki potensi bisnis, selama tidak mengubah fungsi pura keluarga, tidak ada masalah." (Denpasar, 17 Maret 2016)

Para responden berpendapat bahwa perubahan zaman menyebabkan perubahan pada pura keluarga. Komodifikasi pura keluarga dapat diterima oleh masyarakat setempat selama tidak menyimpang dari ajaran agama mereka, dan selama itu saling menguntungkan. Mereka optimis komodifikasi pura keluarga akan terus tumbuh dan berkembang di masa depan.

Proses komodifikasi mengonversikan apa saja agar menjadi komoditas atau barang, jasa yang bernilai ekonomi serta dapat ditukar dengan uang di pasar (Azhari, 2007) [5]. Komodifikasi memperlakukan produk, ide atau jasa sebagai komoditi yang tujuan utamanya adalah untuk diperdagangkan. Kegiatan tersebut tidak dapat dipisahkan dari gagasan kapitalis yang selalu menghubungkan semuanya dengan untung atau rugi (Wianti, Dharmawan, dan Kinseng, 2012) [6].

Ide dikonversi menjadi komoditas agar dapat dipertukarkan, diperjualbelikan di pasar (Pratama & Marbun, 2016) [7] untuk memperoleh laba. Dengan kata lain, komodifikasi adalah proses mengubah segalanya

menjadi komoditas, yang diproduksi untuk dijual. Komodifikasi diyakini mampu meningkatkan permintaan dan diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomi masyarakat.

Proses komodifikasi dapat memiliki impak positif maupun negatif. Impak positif, misalnya, meningkatkan peluang bisnis dan peluang kerja bagi masyarakat setempat; prospek ekonomi. Pekerja lokal yang terampil dalam industri kerajinan dan seni terlibat dalam memproduksi pura keluarga. Proses komodifikasi juga memperkuat struktur ekonomi.

Komodifikasi dapat berimpak negatif pada masyarakat lokal ketika kompetisi mendorong produsen untuk berpikir kreatif untuk menghasilkan pura keluarga untuk melayani kepentingan pasar, untuk memenuhi selera konsumen, misalnya, pelanggan menjadi korban komodifikasi ketika mereka cenderung mengkonsumsi komoditas terlepas dari nilai esensi budaya. Produsen dapat bersaing secara tidak adil ketika mereka tergoda oleh tarikan penghasilan semata. Komodifikasi sebagai praktik kapitalisme dicurigai karena kelihaiannya dalam upaya mengakumulasi modal.

Komodifikasi juga bisa menjadi pemangsa bagi pelestarian warisan kearifan lokal. Generasi muda saat ini cenderung dimanjakan oleh budaya industri. Budaya komodifikasi mengikis proses keberlanjutan budaya melalui pembelajaran dalam suasana keluarga atas nama efisiensi. Generasi penerus harus melestarikan budaya.

Pandangan ekonomi tentang pura keluarga. Dalam hal bisnis, kalkulasi keuntungan dimulai sejak negosiasi bahan yang digunakan hingga proses pembuatan dan perawatan pura keluarga. Setiap material memiliki harga yang berbeda ketika ia sudah menjadi bangunan pura keluarga. Jika bangunan terbuat dari pasir dan semen, biayanya mencapai Rp. 500.000,00 termasuk upah karyawan.

Harga di pasaran mencapai Rp. 750.000,00 - 1.000.000,00. Penjual mendapatkan Rp. 250.000,00 - 500.000,00 per bangunan pura keluarga. Sementara itu, jika bahan yang digunakan berasal dari batu lava yang diimpor dari Gunung Batur harganya hingga Rp. 5.000.000,00 termasuk upah kerja. Harga yang ditawarkan ke konsumen berkisar Rp. 7.000.000,00 - 10.000.000,00. Keuntungan penjual adalah Rp. 2.000.000,00 - 5.000.000,00 per unit.

(5)

keluarga di Kuta Utara. "Pura keluarga yang dibuat di Bali tidak hanya dijual ke pasar lokal tetapi juga di luar misalnya ke Pulau Jawa. Fasilitas lain seperti pintu berukir khas dari Bali (pintu, "gebog") dijual ke Inggris.

Pekerjaan satu unit pura keluarga membutuhkan waktu dua hari untuk diselesaikan jika pembangun fokus pada pekerjaan mereka. Harganya Rp. 40.000.000,00 - 50.000.000,00 per unit pura keluarga. Sanggah kemulan "Rong Tiga," atau sanggah yang memiliki tiga kamar di dalamnya dijual seharga Rp. 15.000.000,00 sedangkan untuk sanggah taksu harganya Rp. 7.000.000,00 - 8.000.000,00 per unit ".

Komodifikasi pura keluarga dilipatgandakan di pasar karena perilaku pelanggan di luar Pulau Bali. Pengusaha memiliki kesempatan untuk melayani pasar yang luas mulai dari keluarga hingga mencapai negara lain. Para penggemar seni tertarik pada karya asli dari Bali. Wajar dikatakan, bahwa peluang pasar terbuka karena tamu luar yang suka mengoleksi produk budaya dari Bali.

3.

Konklusi

Pura adalah kastil, pagar tembok yang mengelilingi halaman rumah yang memiliki makna spiritual sebagai perlindungan spiritual bagi setiap penganut Hindu. Komodifikasi bangunan pura keluarga diyakini memberikan kemudahan sehingga setiap keluarga dapat membayar para produsen. Komodifikasi pura keluarga memiliki impak positif selama didasarkan pada norma agama setempat.

Namun, impak negatif dari komodifikasi pura keluarga perlu mendapat perhatian misalnya mengantisipasi implikasinya terhadap proses pelestarian warisan budaya meski peluang bisnis dan nilai artistik secara ekonomi menjanjikan akumulasi modal. Tidak berlebihan mengatakan bahwa masa kini seseorang dapat menghasilkan, mendistribusikan dan menjual atau membayar, misalnya, pura keluarga, tetapi tidak ada yang dapat memproduksi, mendistribusikan, dan menjual atau membayar pahala ilahi.

Referensi

[1] Atmadja, N.B. dan Maryati, T. 2014. “Geria Pusat Industri Banten Ngaben di Bali Perspektif Sosiologi Komodifikasi Agama”. Jurnal Kawistara Vol 4, No 2.

[2] Wastika, D.N., 2005.Penerapan konsep tri hita karana dalam perencanaan perumahan di Bali”. Jurnal Permukiman Natah, 3(2), pp.62-105.

[3] Bali, Input. 2015. “Mengenal 4 Jenis Pura yang Ada di

Bali”. [online] Available at:

http://inputbali.com/budaya-bali/mengenal-4-jenis-pura-yang-ada-di-bali [Accessed 1 Jun. 2018].

[4] Titib, I.M. 2008. “Pengertian dan Fungsi Pura”.

[online] Available at:

https://singaraja.wordpress.com/2008/04/11/pengertia n-dan-fungsi-pura/ [Accessed 30 May 2018].

[5] Azhari, S.K. 2007. "Globalisme (Bangkitnya Ideologi Pasar)". Jurnal Sosioteknologi 6, no. 11. 273-275.

[6] Wianti, N.I., Dharmawan, A.H., and Kinseng, R. 2012. "Kapitalisme Lokal Suku Bajo." Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan 6, no. 1.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan Untuk Perubahan Modal Kerja Firma periode 2008-2009 maka rincian perubahan masing-masing pos aktiva lancar sebagai berikut : (1) Kas mengalami kenaikan

l. Mal fungsi dan kesalahan informasi; m. Perekaman keluaran informasi. Peraturan Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika Nomor KP. 006 Tahun 2008 tentang Standar Stasiun

lada akibat adanya minyak atsiri, yang terdiri dari beberapa jenis minyak terpene.. Lada memiliki rasa pedas, berbau khas,

Seems like it's getting harder to believe in anything. Than just to get lost in all my

56/POJK.04/2015 tanggal 23 Desember 2015 tentang Pembentukan dan Pedoman Penyusunan Piagam Unit Internal Audit, suatu perseroan bertugas menjalankan

At the supply store, ask for some assistance or begin pacing the aisles for the supplies listed on your sheet of paper. When you´ve finished grabbing everything you need, head to

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat disimpulkan bahwa rumusan masalah yang dihadapi perusahaan adalah sebagai berikut: Berapakah jumlah produksi optimum (Q)

Partai Persatuan Pembangunan sama kedudukannya dengan partai politik lainnya yang ada di Indonesia yang mana setiap partai politik mempunyai visi misi yang tertuang