• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inovasi Dan Kreatifitas Dalam Bidang Per

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Inovasi Dan Kreatifitas Dalam Bidang Per"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Inovasi Dan Kreatifitas Dalam Bidang

(2)

Disusun Oleh :

Leirry Rudolf W

IK-04

201421016

Informatika Komputer

POLINAS LP3I

MAKASSAR

2015

BAB I PENDAHULUAN

Pertanian merupakan bidang yang sangat penting untuk menunjang kehidupan umat manusia. Perkembangan pertanian diawali dari perubahan sosial yang terjadi di masyarakat prasejarah, yaitu perubahan dari budaya food gathering (berburu dan meramu) menjadi food producing

(bercocok tanam). Sejak periode bercocok tanam tersebut, bidang pertanian selalu mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Bahkan sejak revolusi industri di Inggris akhir abad ke-18, industri pertanian, termasuk juga industri pengolahan hasil pertanian dan industri pangan, berkembang dengan pesat.

(3)

Baik pengetahuan maupun ilmu dan teknologi adalah bentuk pemikiran (hasil berfikir) asosiatif yang menjalin dan menghubungkan suatu pikiran dan kenyataan atau pemikiran lain berdasarkan pengalaman yang berulang-ulang, baik tanpa maupun dengan pengalaman kausalitas hakiki dan universal yang disebut pengetahuan. Jika pemahaman kausalitas hakiki dan universal di sebut ilmu (science).

Antara ilmu dan teknologi yang dihasilkan terjadi kesenjangan antara penggunanya (petani). Akses petani terhadap informasi inovasi teknologi relatif terbatas sehingga diperlukan untuk sosialisasi dan memberikan pemahaman kepada petani. Pemahaman suatu inovasi teknologi tentu melalui suatu tahapan proses mental dari individu petani sampai mengambil keputusan untuk mengadopsinya. Untuk memahami individu dalam mengadopsi teknologi dimana melalui suatu proses mental maka dapat menggunakan pendekatan teori kognitif. Psikologi kognitif adalah satu pendekatan kajian yang bertujuan memahami bagaimana manusia menyusun dan melaksana aktivitas mental melibatkan proses perolehan, penyusunan, perwakilan, penyimpanan, pengambilan kembali dan penggunaan pengetahuan yang membolehkan menusia memahami dan menyelesaikan masalah demi menyesuaikan diri dengan tuntutan alam sekitar yang berubah-ubah dan merancang bagi menghadapi masa depan. Teori kognitif merupakan salah satu teori perilaku, teori ini menjelaskan bahwa individu yang bersangkutan memilih anternatif perilaku yang membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi yang bersangkutan (Walgito, 2006).

Dengan kemampuan memilih suatu teknologi yang bermanfaat bagi seorang petani menggunakan kekuatan berpikir senbagai bahan pertimbangannya. Kekuatan-kekuatan berpikir petani dalam memilih teknologi sebagai bentuk berperilakunya adalah syarat dengan pertimbangan-pertimbangan selektif.

Petani dalam memilih teknologi atau unsur-unsurnya tidak lepas dari interaksinya terhadap lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya. Oleh karenanya petani dalam memilih teknologi yang bermanfaat untuk diterapkan adalah melalui proses persepsi. Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Sedangkan penginderaan adalah merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penerima yaitu alat indera (Walgito, 2006).

BAB II PEMBAHASAN

INOVASI TEKNOLOGI DALAM BIDANG PERTANIAN UNTUK MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN

Perkembangan bidang pertanian yang begitu pesat, ternyata menimbulkan permasalahan tersendiri. Menurut Kasumbogo-Untung (2010), penerapan pertanian konvensional yang selama ini dilakukan antara lain:

1. Peningkatan erosi permukaan, banjir dan tanah longsor

2. Penurunan kesuburan tanah

3. Hilangnya bahan organik tanah

(4)

5. Peningkatan pencemaran air dan tanah akibat pupuk kimia, pestisida, limbah domestik

6. Eutrifikasi badan air

7. Residu pestisida dan bahan-bahan berbahaya lain di lingkungan dan makanan yang mengancam kesehatan masyarakat dan penolakan pasar

8. Pemerosotan keanekaragaman hayati pertanian, hilangnya kearifan tradisional dan budaya tanaman lokal

Penerapan pertanian konvensional pada awalnya mampu meningkatkan produktivitas pertanian dan pangan secara nyata, sehingga mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia. Tetapi ternyata diketahui kemudian efisiensi produksi semakin lama semakin menurun karena pengaruh umpan balik berbagai dampak samping yang merugikan.

Untuk memecahkan masalah-masalah tersebut, para pakar mengeluarkan gagasan mengenai pertanian berkelanjutan. Dengan konsep pertanian berkelanjutan diharapkan sistem pertanian dapat bertahan sesuai dengan perkembangan zaman, yaitu untuk memenuhi kebutuhan manusia pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Food and Agriculture Organization (FAO) mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai manajemen dan konservasi basis sumberdaya alam, dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan guna menjamin tercapainya dan terpuaskannya kebutuhan manusia generasi saat ini maupun mendatang. Pembangunan pertanian berkelanjutan menkonservasi lahan, air, sumberdaya genetik tanaman maupun hewan, tidak merusak lingkungan, tepat guna secara teknis, layak secara ekonomis, dan diterima secara sosial (FAO, 1989). Sedangkan Thrupp (1996) menjelaskan pertanian perkelanjutan sebagai praktek-praktek pertanian yang secara ekologi layak, secara ekonomi menguntungkan, dan secara sosial dapat dipertanggungjawabkan

(5)

Mengamati Segitiga Pilar Pertanian Berkelanjutan pada Gambar 1, sesungguhnya ada salah satu pilar yang tertinggal, yaitu Dimensi Teknologi. Teknologi mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan pertanian berkelanjutan. Teknologi berperan dalam menjaga ekologi agar dapat digunakan secara optimal pada saat ini, tetapi juga tetap memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang. Teknologi juga sangat berperan dalam Dimensi Ekonomi, terutama untuk menciptakan efisiensi produksi, serta meningkatkan nilai tambah, daya saing, dan laba hasil pertanian.

Pentingnya teknologi dalam pertanian berkelanjutan sebenarnya telah tersurat secara gamblang dalam definisi pertanian berkelanjutan menurut FAO (1989) dengan menyertakan kalimat ”….

tepat guna secara teknis….”. Oleh karena itu, makalah ini akan membicarakan lebih jauh mengenai peran teknologi dalam bidang pertanian untuk mendukung pertanian berkelanjutan, terutama dalam kaitannya dengan peningkatan nilai tambah, daya saing, dan laba hasil pertanian. FROM FARM TO TABLE

Untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian, teknologi diperlukan selama budidaya, penanganan pasca panen, dan pengolahan hasil pertanian. Untuk meningkatkan daya saing di mata konsumen dan laba dari produk-produk pertanian, teknologi juga diperlukan selama distribusi dan penjualan (penyajian). Dapat disimpulkan bahwa teknologi diperlukan sejak berada di lahan hingga disajikan di hadapan konsumen (from farm to table). Teknologi tersebut diperlukan untuk mendukung pelaksanaan setiap tahap farm to table, yaitu good farming practices (cara bertani yang baik), good handling practices (cara penanganan hasil panen yang baik), good manufacturing practices (cara pengolahan hasil pertanian yang baik), good distribution practices (cara pengangkutan hasil pertanian yang baik), dan good retailing practices (cara penyajian yang baik untuk konsumen).

Good Farming Practices

Pertanian berkelanjutan telah menjadi dasar penyusunan standar prosedur operasi Praktek Pertanian yang Baik (PPB) atau dikenal pula dengan istilah Good Agricultural Practices (GAP) (Achmad-Suryana, 2005). Menurut Anonim (2004), GAP merupakan rekomendasi yang dapat digunakan untuk membantu meningkatkan kualitas dan keamanan tanaman pertanian selama dibudidayakan. Dalam hal ini GAP dapat difokuskan menjadi dasar pelaksanaan Good Farming Practices (GFP). Good Farming Practices bertujuan untuk mendapatkan hasil panen yang baik atau bahan baku industri pertanian yang baik. Ciri-ciri keberhasilan Good Farming Practices

adalah hasil panennya secara kuantitas (jumlah); kualitas (nilai gizi dan keamanan); serta kontinuitas (ketersediaan) dapat diandalkan.

Beberapa tahun belakangan ini, untuk mencapai tujuan Good Farming Practices dikembangkan suatu teknologi rekayasan genetika, yang dikenal dengan nama Genetic Modified Organism

(6)

Sejalan dengan konsep pertanian berkelanjutan, di dalam Good Farming Practices juga ditekankan pentingnya aspek ekologi, terutama untuk menghindari penurunan kesuburan tanah pertanian. Penggunaan pupuk kimia yang selama ini diterapkan secara nyata telah merusak ekologi tanah, sehingga semakin lama kesuburan tanah semakin berkurang. Oleh karena itu, penggunaan pupuk organik kembali digalakkan. Salah satu kelemahan pupuk organik adalah bentuk dan ukurannya yang tidak teratur, sebab terbuat dari campuran kompos, kotoran hewan ternak, dan bahan lain, sehingga menghambat penerapannya di lapangan. Di sini salah satu peran teknologi menjadi cukup menonjol. Dengan adanya inovasi teknologi, telah diciptakan instalasi mesin Pupuk Organik Granul (POG). Inovasi teknologi ini mampu menjadikan pupuk organik yang tidak bentuk dan ukurannya tidak beraturan menjadi pupuk organik yang berbentuk butiran padat dengan ukuran 2-4 mm pada tingkat kekerasan tertentu, sehingga mempermudah penggunaannya di lapangan.

Kesadaran tentang pentingnya pertanian berkelanjutan sudah menjadi trend global. Bahkan akhir-akhir ini negara-negara yang tergabung dalam Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) menyepakati untuk melakukan pembangunan sektor pertanian secara berkelanjutan. Hal itu merupakan salah satu kesepakatan yang dihasilkan dalam Pertemuan Tingkat Menteri APEC tentang Ketahanan Pangan yang pertama (The 1st APEC Ministerial Meeting On Food Security) di selenggarakan Nigata, Jepang pada 16-17 Oktober 2010. Pada kesempatan itu disepakati deklarasi tentang ketahanan pangan di kawasan Asia Pasifik atau

Nigata Declaration on APEC Food Security yang mana Indonesia berhasil memasukkan dua hal terkait upaya pencapaian Ketahanan Pangan berkelanjutan. Kedua hal itu adalah pentingnya diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal dan pentingnya kerjasama regional dalam mengatasi permasalahan kerawanan pangan darurat di kawasan (Antara, 2010).

Langkah kembali kepada sumber daya lokal juga merupakan salah satu penerapan Good Farming Practices. Selama ini, akibat kebijakan era orde baru, tanaman pangan yang digalakkan untuk dibudidayakan hanya padi dan jagung. Tanaman pangan lain, seperti sagu, ketela pohon, ubi jalar, umbi-umbian seperti uwi, talas, suweg, garut, ganyong, gadung, pisang, sukun, labu kuning, dan sebagainya menjadi dianggap inferior dan dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Akibatnya, berbagai tanaman asli nusantara tersebut perlahan-lahan mulai menghilang. Padahal menurut Murdijati-Gardjito (2010a), potensi jenis pangan di Indonesia ini sangat menakjubkan, karena telah diidentifikasi, ada 77 macam tanaman sumber karbohidrat, 75 macam sumber lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 226 jenis sayuran, dan 110 jenis rempah-rempah.

Potensi yang melimpah tersebut sama sekali belum dioptimalkan oleh negara. Justru yang terjadi adalah impor bahan pangan, terutama impor tepung terigu untuk keperluan industri dalam negeri. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara pengimpor pangan terbesar no 2 di dunia dengan nilainya ± Rp 50 triliun atau setara dengan 5 milyar US Dollar (Kompas, 19/06/2010). Oleh sebab itu, alangkah baiknya apabila pertanian di Indonesia kembali membudidayakan potensi pangan nusantara. Setelah sumber daya lokal tersebut kembali digalakkan, selanjutnya inovasi dan teknologi berperan besar dalam mengolah ubi kayu, ubi jalar, dan umbi-umbian lain tersebut menjadi pangan yang setara dengan beras atau tepung terigu.

Good Handling Practices

(7)

Handling Practices merupakan salah satu usaha untuk meminimalkan kerusakan pada bahan pertanian pasca panen. Tahapan penanganan pasca panen hasil pertanian yang sering dilakukan antara lain sortasi, pembersihan/pencucian, dan grading. Inovasi teknologi tepat guna telah banyak diaplikasikan pada beberapa tahapan pasca panen, seperti pada proses pembersihan/pencucian dan proses grading.

Pencucian merupakan suatu upaya untuk membuang kotoran pada permukaan kulit buah atau sayuran, sekaligus dapat mengurangi residu pestisida dan hama penyakit yang terbawa, sebelum komoditi tersebut dikonsumsi atau diolah lebih lanjut. Pencucian dapat berfungsi juga untuk pre-cooling, yaitu untuk menurunkan suhu bahan pertanian, agar laju respirasi bahan pertanian tersebut semakin lambat, dan laju kerusakannya semakin lambat pula. Dalam skala industri, inovasi teknologi telah mempermudah proses pencucian buah atau sayuran ini. Hal ini terbukti dengan terciptanya alat pencuci buah atau alat pencuci sayuran. Tidak dapat dibayangkan jika tidak ada alat pencuci buah atau sayur, padahal suatu industri harus mencuci berton-ton buah atau sayur dalam sehari.

Inovasi teknologi tepat guna juga telah banyak diaplikasikan pada proses grading buah-buahan, contohnya pada buah jeruk. Jeruk dapat dipisahkan berdasarkan ukurannya dengan suatu mesin, dimana tingkat ukuran tiap grade dapat diatur. Mesin grading terdiri dari beberapa bagian yaitu

hopper, meja sortasi yang terdapat lubang untuk pengeluaran, penggerak dan transmisi, serta

frame. Alat grading buah jeruk ini bekerja berdasarkan prinsip gravitasi. Buah jeruk cukup dicurahkan pada hopper, selanjutnya buah menggelinding di dalam meja sortasi. Buah jeruk yang diameter vertikalnya lebih kecil dari diameter lubang, akan lolos atau jatuh akibat beratnya sendiri, sedangkan buah jeruk yang belum lolos akan menggelinding menuju lubang pengeluaran yang lebih besaur yang terdapat di bawahnya. Sekali lagi teknologi membuktikan pera strategisnya dalam bidang pertanian.

Good Manufacturing Practices

Good Manufacturing Practices (GMP), dikenal pula dengan nama Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB), merupakan sekumpulan ketentuan/pedoman untuk melaksanakan proses produksi dengan baik dan benar. Tujuan utama Good Manufacturing Practices adalah menciptakan produk olahan secara sensoris diterima dan aman apabila dikonsumsi. Inovasi dan teknologi merupakan tulang punggung dalam untuk mencapai tujuan tersebut.

Peranan inovasi dan teknologi untuk menciptakan produk olahan yang secara sensoris diterima konsumen dapat terlihat jelas pada pengolahan produk-produk pangan lokal, seperti sagu, ketela pohon, ubi jalar, dan umbi-umbian. Tujuan inovasi pengolahan bahan lokal tersebut, terutama untuk mensejajarkan nilainya dengan beras atau tepung terigu di mata konsumen. Teknologi penepungan merupakan salah satu contoh yang baik untuk diaplikasikan pada bahan lokal. Menurut Murdijati-Gardjito (2010b), dalam bentuk tepung akan mempunyai kadar air yang lebih rendah. Selain itu, tepung lebih mudah didistribusikan, lebih awet, serta lebih luwes penggunaannya, seperti bubur, puding, kue basah, kue kering, dan berbagai macam hidangan lain.

(8)

2008; Nwokocha., et al., 2009; Martinez, et al., 2009; Chong Li Choo, et al., 2010), serta penelitian mengenai umbi-umbian lainnya (Pe´rez, et al., 2005; Jaykodi, et al., 2007; Sutardi, et al., 2009). Harapannya, penelitian-penelitian tersebut dapat menghasilkan teknologi untuk memproduksi tepung secara optimal, dan selanjutnya tepung tersebut dapat diolah lebih lanjut menjadi produk yang secara sensoris dapat diterima oleh konsumen.

Peranan inovasi dan teknologi untuk menciptakan produk olahan yang aman untuk dikonsumsi juga signifikan. Inovasi tersebut diperlukan untuk menghilangkan mikroorganisme patogen atau senyawa berbahaya dalam bahan pertanian. Sejak ditemukan teknik sterilisasi dan pasteurisasi untuk menghilangkan mikrobia patogen pada produk pangan, teknologi untuk menciptakan produk yang aman terus berkembang. Tetapi teknologi yang dikembangkan masih melibatkan panas (thermal process). Kemudian, diketahui bahwa proses yang melibatkan panas dapat menurunkan nilai gizi atau mutu bahan pertanian, sehingga saat ini trend pengembangan teknologi tersebut mengarah pada proses-proses non-thermal (tidak melibatkan panas).

Salah satu contoh untuk proses non-thermal untuk menciptakan makanan yang aman dikonsumsi adalah High Hydrostatic Pressure (HHP). HHP salah satu metode untuk mengurangi populasi mikrobia dalam pangan dengan tekanan yang tinggi tanpa penambahan panas (Cheftel, 1995). Proses ini dapat mempertahankan kualitas sensoris bahan pangan, mempertahankan kesegaran alaminya, mempertahankan nilai gizinya, serta memperpanjang umur simpan bahan pangan. Contoh aplikasi HHP pada hasil pertanian antara lain kubis (Lin Li, et al., 2010); wortel,, apel, kacang hijau (Yucel, et al., 2010); raspberry, strawberry (Palazon, et al., 2004); dan sebagainya. Bahkan HHP dapat diaplikasikan juga pada susu (Dongsheng Guan, et al., 2005); yoghurt (Penna, et al., 2007); daging (Zhou, et al., 2010); keju (Delgado, et al., 2010); dan juice (Ferrari,

et al., 2010).

Selain HHP, contoh-contoh proses non-thermal yang telah ditemukan dan dapat diaplikasikan pada bidang pangan/pertanian antara lain light pulse (Barbosa, 1997); Radio Frequency Electric Fields (Gaveke, 2007); ultrasonic (Elvira, 2007); teknologi isotop dan radiasi (Anonim, 2010); HIPEF (high intensity pulsed electric field) (Morales, 2010); teknologi pasteurisasi dengan

electron beam (Salengke, 2011); dan sebagainya. Selanjutnya, berbagai teknologi non-thermal

tersebut diharapkan dapat dikembangkan lagi untuk menciptakan produk-produk olahan hasil pertanian yang aman dikonsumsi, dengan tetap mempertahankan nilai gizi dan mutunya.

Ketentuan Good Manufacturing Practices mulai diperkenalkan pada akhir Tahun 1980-an. Setelah itu Good Manufacturing Practices mengalami perkembangan menjadi HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), dan selanjutnya mengalami penyempurnaan menjadi ISO

22000:2005 tentang Sistem Manajemen Keamanan Pangan. Ketiga hal tersebut pada prinsipnya sama, yaitu untuk menciptakan dan menjamin keamanan produk pangan. Hal yang perlu ditekankan adalah ketiga pedoman tersebut tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik, tanpa dukungan teknologi.

(9)

inovasi teknologi harus mampu mendaur ulang limbah tersebut menjadi produk lain yang bermanfaat. Jika limbah yang dihasilkan ternyata tidak dapat didaur ulang, maka teknologi harus dapat menangani limbah tersebut agar tidak berbahaya bagi manusia. Hal ini sesuai dengan prinsip pengelolaan limbah yang harus dilakukan secara berurutan yaitu (a) minimalisasi limbah, (b) pemanfaatan limbah, dan (c) penanganan limbah.

Good Distribution Practices

Telah disebutkan di atas, bahwa bahan pertanian mudah mengalami kerusakan. Kerusakan bahan pertanian dapat disebabkan beberapa hal yaitu kerusakan fisiologis (kerusakan yang disebabkan oleh reaksi-reaksi yang diakibatkan oleh kerja enzim), mikrobiologis (kerusakan akibat serangan mikroorganisme), mekanis (kerusakan akibat tekanan sehingga menimbulkan luka atau memar), fisis (kerusakan akibat suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah), serta khemis (kerusakan alami akibat proses pemasakan buah). Good Distribution Practices diperlukan untuk meminimalkan kerusakan selama proses distibusi.

Pada prinsipnya, produk pertanian harus sampai di tangan konsumen dalam kondisi yang baik. Proses distribusi berresiko untuk mempercepat terjadinya kerusakan, sebab kemungkinan terjadinya tekanan mekanis yang dapat menyebabkan luka atau memar sangat besar. Oleh karena itu, diperlukan berbagai inovasi bahan pengemas dan pelindung, agar produk pertanian terhindar dari sinar matahari, tekanan mekanis, pukulan, getaran, maupun benturan yang dapat menyebabkan luka dan memar selama proses distribusi.

Waktu yang dibutuhkan selama perjalanan, juga berpengaruh terhadap kerusakan bahan pertanian. Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk proses distribusi, maka semakin besar juga kemungkinan terjadi penurunan mutu bahan pertanian. Hal ini disebabkan, bahan pertanian masih mengalami proses fisiologis, seperti respirasi dan transpirasi, meskipun bahan pertanian tersebut sudah lepas dari tanaman induknya (sudah dipanen) (Weichmann, 1987). Respirasi merupakan proses oksidasi substrat komplek menjadi lebih sederhana (Lambers, et al., 2005), sehingga semakin cepat respirasi akan semakin mempercepat kerusakan bahan pertanian. Kecepatan respirasi antara lain dipengaruhi oleh suhu, konsentrasi O2, konsentrasi CO2, serta

konsentrasi CO (Ryall dan Lipton, 1972). Berdasarkan pengertian tersebut, diperlukan inovasi dan teknologi untuk mengendalikan laju respirasi bahan pertanian selama distribusi. Inovasi teknologi mampu menjawab tantangan dengan terciptanya kontainer distribusi yang dapat diatur suhu, kelembaban udara, komposisi udara, bahkan tekanannya. Alat tersebut dikenal dengan nama Controlled Atmosphere Storage (CAS), Modified Atmosphere Storage (MAS), penyimpanan dengan pendinginan, dan penyimpanan hipobarik. Saat ini, teknologi tersebut telah digunakan secara luas karena terbukti efektif untuk mencegah kerusakan bahan pertanian selama distribusi.

Good Retailing Practices

(10)

Kesegaran produk pertanian sangat dipengaruhi oleh proses transpirasi (menguapnya air dari subtrat) yang masih berlangsung, meskipun bahan pertanian tersebut telah dipanen. Proses transpirasi berlangsung terus menerus dan akan berakhir apabila substrat dan air sudah habis (Sirivatanapa, 2006), sehingga menentukan kualitas dan masa simpan bahan hasil pertanian (Tan, 2007). Menurut Ben-Yehoshua (1987), transpirasi dapat menurunkan kualitas buah dan sayuran dengan terjadinya penurunan berat, pengkerutan, dan pelunakan. Penurunan kadar air 1-2% sudah mampu merubah kenampakan bahan pertanian, sedangkan penurunan kadar air 3-10% mengakibatkan penurunan kesegaran.

Salah satu contoh inovasi teknologi di bidang pertanian yang dapat menekan laju transpirasi tersebut adalah pelapisan lilin, sebab dengan pelapisan sebagian pori dan kulit tertutup oleh lapisan lilin. Selain itu, pengemasan lilin ternyata bermanfaat untuk menekan laju respirasi (Roosmani, 1973); memperpanjang umur simpan produk hortikultura, menutupi luka-luka goresan kecil (Pantastico, 1986); menurunkan resiko terjadinya memar dan abrasi pada permukaan buah (Buchner, et al., 2003), mencegah infeksi patogen (Loekas, 2006), sekaligus menimbulkan kesan yang lebih baik secara fisik karena lebih mengkilat (Prusky, et al., 1999). Produk pertanian yang dapat diperlakukan dengan pelapisan lilin antara lain alpukat, apel, cabai, jeruk, kentang, mangga, nanas, pepaya, pisang, starwberry, tomat, dan wortel. Hal yang perlu diperhatikan adalah pelapis lilin yang digunakan harus aman untuk dikonsumsi, mudah dibuat dan diaplikasin, serta murah harganya. Oleh karena itu, inovasi dan penelitian untuk membuat pelapis lilin produk pertanian masih terus dikembangkan.

Sementara itu, untuk mencegah kerusakan mekanis, diperlukan pengemas retail yang baik, yang mampu melindungi dari tekanan atau gesekan, sekaligus memperindah penampilan. Contoh pengemas retail yang dapat memenuhi kriteria tersebut adalah pengemas jaring-jaring polysteren

pada buah apel atau pir. Pengemas retail buah apel dan pir tersebut mungkin dapat dijadikan inspirasi untuk berinovasi menciptakan pengemas-pengemas retail bagi produk pertanian lainnya.

Seseorang menganggap baru, tetapi belum tentu ide yang sama itu baru bagi orang lain. Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa inovasi adalah suatu ide, perilaku, produk, informasi, dan pratek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima, dan digunakan/diterapkan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang mendorong terjadi perubahan-perubahan disegala aspek kehidupan masyarakat demi terwujudnya perbaikan mutu hidup setiap individu/warga masyarakat yang bersangkutan.

(11)

kebenaran inovasi tersebut melalui uji coba atau melihat kepada sesama petaninya yang telah mencoba.

Davidoff mengatakan bahwa stimulus yang diterima alat indera, kemuadian melalui persepsi sesuatu yang diindera tersebut menjadi sesuatu yang berarti setelah diorganisasikan dan diinterpretasikan (Walgito, 2006). Dengan demikian menurut Walgito (2006) persepsi merupakan proses pengorganisasian dan penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang terintegrated dalam diri individu.

Persepsi petani terhadap suatu inovasi teknologi baru (misalnya teknologi budidaya jagung Hibrida) adalah merupakan proses pengorganisasian dan interpretasi terhadap stimulus yang diterima oleh individu petani, sehingga inovasi teknologi tersebut merupakan yang berarti dan bermanfaat serta merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu sebelum mengambil kebutusan untuk berperilaku. Bentuk kebutusan berpelilaku adalah merupakan tindakan individu untuk menerpakna inovasi teknologi yang telah diyakini dan dibuktikan. Persepsi petani terhadap sesuatu inovasi teknologi baru dapat dipengaruhi oleh faktor internal (dari dalam diri individu) dan faktor eksternal (atau dari stimulus itu sendiri dan lingkungan). Suatu inovasi teknologi baru yang dipersepsi erat kaitannya terhadap kondisi lingkungan (agro-ekosistem) dan tingkat kesulitan untuk menerapkan teknologi tersebut. Penilaian terhadap tingkat kesulitan inovasi teknologi itu merupakan faktor-faktor internal individu dalam mempersepsikan kemampuan diri sendiri untuk melakukan tindakan atau penerapan sebagai pola perilakunya.

Secara psikologis persepsi individu petani terhadap suatu inovasi teknologi sangat dipengaruhi oleh kemampuan pemberian makna atau arti dari simbol-simbol teknologi itu, pengalaman individu, perasaan, keyakinan, pengetahuan tentang inovasi, kemampuan berfikir, sumber referensi dan dan motivasi untuk belajar. Faktor-faktor tersebut akan berpengaruh pada seorang individu petani dalam mengadakan atau melakukan persepsi terhadap inovasi teknologi. Belajar adalah memperoleh dan memperbaiki kemampuan untuk melaksanakan suatu pola sikap melalui pengalaman dan praktek (Van den Ban dan Hawkins, 2000).

Antara pengetahuan, sikap, kepribadian dan perilaku merupakan faktor yang saling terkait yang mengarahkan individu dalam melakukan suatu usaha yang bermanfaat bagi kehidupan dan masa depannya. Menurut Puspadi (2002), Perubahan-perubahan sikap petani menyebabkan perubahan kebutuhan petani. Kebutuhan petani saat ini adalah tingkat pendapatan yang layak dan ketersediaan uang segar sebagai instrumen untuk mengaktualisasikan dirinya, mengembangkan dirinya dan mempertahankan dirinya.

Petani banyak belajar dari pengalamannya sendiri maupun pengalaman orang lain tentang suatu inovasi teknologi dengan mencoba serangkain tindakan yang beragam. Tingkat tindakan yang dilakukan petani tergantung pada tingkat manfaat dan keuntungan yang akan diterima. Seorang petani dengan pendidikan yang rendah seringkali bersifat apatis terhadap inovasi sebagai akibat kegagalan yang dialaminya pada masa lampau, karena kurangnya pengetahuan tentang inovasi. Sifat-sifat apatis tersebut banyak dialami oleh sebagian besar petani lahan kering akibat kegagalan usahatani yang dialaminya yang disebabkan oleh faktor kondisi iklim yang tidak menentu.

(12)

pekerjaan-pekerjaan tertentu atau inovasi-inovasi yang spesifik (Van den Ban dan Hawkins, diterima individu petani melalui proses persepsi. Terbentuknya sikap seseorang menurut Mar’at (1984) yaitu dipengaruhi oleh faktor internal (fisiologis dan psikologis) dan faktor eksternal (pengalaman, situasi, norma-norma, hambatan dan dorongan).

Menurut Baron dan Byrne, Garungan dan Mayers, dan Allport dalam Azwar (2002; Walgito (2006), mengatakan bahwa sikap mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap yang saling menunjang, yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif. Komponen kognitif (komponen perceptual) yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan atau ide, keyakinan dan konsep. Komponen afektif (komponen emosional), yaitu menyangkut perasaan seseorang yang dihubungkan dengan keyakinan, seperti rasa senang atau tidak senang terhadap obyek sikap. Sedangkan komponen konatif (komponen perilaku), yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap obyek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau perilaku seseorang terhadap obyek sikap. Perilaku petani terhadap adopsi teknologi jika teknologi tersebut memberikan manfaat sesuai tujuan yang ingin dicapainya.

Kenyataan bahwa sikap petani terhadap suatu inovasi teknologi dipengaruhi oleh faktor internal individu (karakteristik kepribadian individu) dan faktor internal (faktor-faktor di luar diri individu). Akan tetapi yang lebih dominan mempengaruhi sikap dan keputusan petani terhadap suatu inovasi adalah faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor eksternal meliputi norma-norma, kebiasaan, komunikasi sosial, interaksi sosial, dan belajar sosial individu petani dalam sistem sosial. Proses belajar sosial yang sering dilakukan petani dalam menjaring informasi inovasi teknologi baru bersifat pembelajaran observasional. Menurut Teori Pembelajaran Sosial Bandura (1977), pengaruh modeling menghasilkan pembelajaran melalui fungsi informatik. Individu dapat mencapai gambaran simbolis tentang aktivitas-aktivitas yang berfungsi sebagai pemandu untuk pelaksanaan tindakan yang sesuai. Sikap petani terhadap inovasi teknologi juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan alam (agro-ekosistem dan agro-klimat), ini adalah salah satu faktor yang mungkin disebut Mar’at (1984) sebagai “hambatan” yang merupakan salah satu variabel eksternal yang menentukan sikap terutama kesesuaian teknologi tersebut terhadap kondisi ago-ekosistem dan agro-klimat setempat.

(13)

sikap individu biasanya konsisten satu dengan yang lain dan juga dalam tindakan konsisten satu dengan yang lain. Akan tetapi bagi petani sikap dan tindakan bisa konsisten apabila inovasi yang diyakininya dapat memberikan manfaat dan keuntungan, apabila suatu inovasi tersebut tidak memberikan manfaat maka sikapnya dapat berubah pada inovasi yang lain. Perubahan sikap dapat secara langsung maupun tidak langsung. Perubahan sikap secara langsung dalam arti adanya hubungan secara langsung antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, dan natara kelompok dengan kelompok. Sedangkan melalui hubungan tidak langsung adalah dengan perantaraan alat media komunikasi massa, baik cetak maupun elektronik (Walgito, 2006). Dalam psikologi komunikasi peranan media komunikasi (Rakhmat, 1989) menjelaskan bahwa media massa mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam perubahan sikap petani terhadap adopsi inovasi teknologi pertanian.

Dewasa ini banyak psikologi sosial berasumsi bahwa diantara faktor-faktor lain, perilaku dipengaruhi oleh tujuannya. Tujuan perilaku ini tidak hanya dipengaruhi oleh sikap seseorang, tetapi juga oleh harapan lingkungan sosialnya, terhadap perilaku tersebut, norma-norma subyektif, serta kemampuanya untuk melakukan perilaku itu, yaitu penilaian perilaku sendiri (Van den Ban dan Hawkins, 2000). Perubahan penerapan atau adopsi teknologi oleh petani dari sistem tradisional ke sistem modern merupakan salah satu bentuk yang namapk dari perubahan sikap dan perilaku petani. Perubahan sikap petani terhadap adopsi teknologi dipengaruhi oleh proses interkasi dan komunikasi dalam sistem sosial. Untuk memperoleh informasi seorang individu petani selalu mengadakan interkasi, komunikasi, dan belajar sosial tentang suatu teknologi yang dibutuhkan.

Teori Ronsenberg mengatakan bahwa sikap dapat berubah jika terjadi perubahan komponen kognitif dan komponen afektif. Apabila komponen kognitif berubah, maka komponen afektif akan berubah yang pada akhirnya perilaku juga berubah. Sebaliknya apabila komponen afektif, maka komponen kognitifnya juga berubah dan perilaku akan berubah (Walgito, 2006).

Afektif atau afek adalah suatu penilaian positif atau negatif terhadap suatu obyek (Azwar, 2002). Berkaitan dengan adopsi teknologi, seorang individu petani akan selalu menilai suatu inovasi teknologi terhadap kemampuannya, ksesuaian terhadap kondisi lingkungan, tujuan yang ingin dicapai serta norma-norma dalam masyarakat. Terdapat keterkaitan antara perilaku, karekateristik individu dan lingkungan. Sehubungan dengan hal tersebut Kurt Lewin merumuskan model hubungan perilaku yang mengatakan bahwa perilaku (B) adalah fungsi dari karakteristik individu (P) dan lingkungan (E) (Azwar, 2002; Walgito, 2006). Hal serupa juga dikemukakan oleh Ajzen dan Fishbein dalam Azwar (2002) yang mencoba melihat perilaku yang dilakukan atas kemauan sendiri dengan berdasarkan pada asumsi-asumsi (a) bahwa manusia umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal; (b) bahwa manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada; (c) bahwa secara eksplisit maupun implisit manusia memperhitungkan implikasi tindakan mereka.

2.3 Perilaku Petani Terhadap Adopsi Inovasi

Inovasi adalah suatu gagasan, praktek, atau obyek yang di rasa baru oleh seseorang. Ini merupakan suatu cara yang baru dalam melakukan sesuatu tindakan (Rogers, 1983). Aspek dari corak baru suatu inovasi dinyatakan dalam pengetahuan, sikap, atau suatu keputusan untuk menggunakannya.

(14)

tertentu. Cepat lambatnya proses adopsi akan tergantung dari sifat dinamika sasaran. Rogers (1983) adopsi adalah proses mental, dalam mengambil keputusan untuk menerima atau menolak ide baru dan menegaskan lebih lanjut tentang penerimaan dan penolakan ide baru tersebut. Adopsi juga dapat didefenisikan sebagai proses mental seseorang dari mendengar, mengetahui inovasi sampai akhirnya mengadopsi. Adopsi adalah suatu proses dimulai dan keluarnya ide-ide dari satu pihak, disampaikan kepada pihak kedua, sampai ide tersebut diterima oleh masyarakat sebagai pihak kedua. Selanjutnya menurut Mardikanto (1993) adopsi dalam penyuluhan pertanian dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan, sikap, maupun keterampilan pada diri seseorang setelah menerima “inovasi” yang disampaikan penyuluh kepada sasarannya. Penerimaan disini mengandung arti tidak sekedar “tahu” tetapi dengan benar-benar dapat dilaksanakan atau diterapkan dengan benar serta menghayatinya. Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain sebagai cerminan dari adanya perubahan sikap, pengetahuan, dan keterampilannya. Herianto (2005) menjelaskan dari sisi intensitas adopsi yaitu tingkat penggunaan inovasi. Adopsi suatu inovasi baru biasanya diukur dari persentase penerapan komponen inovasi dari usaha tani tertentu pada persatuan luas lahan. Bulu (2010) menjelaskan bahwa tingkat adopsi inovasi dapat diukur dari kualitas adopsi dan kuantitas adopsi. Kualitas adopsi diartikan sebagai ketepatan dalam menerapkan komponen inovasi dari usaha tani tertentu secara sempurna. Kuantitas adopsi adalah jumlah penerapan komponen inovasi dari usaha tani tertentu sesuai anjuran. Pada situasi kondisi tertentu atau kondisi dari pengadopsi itu sendiri yang tidak memungkinkan sehingga tidak semua komponen inovasi dari usaha tani tertentu dapat diadopsi.

Sehubungan dengan itu Rogers (1983) dan Ray, (1998), mengemukakan lima tahap proses adopsi yaitu: (1) Awareness (tahu dan sadar), pertama kali mendapat suatu ide dan praktek baru, (2) Interest (minat), mencari rintisan informasi, (3) Evaluation (evaluasi), menilai manfaat inovasi yaitu penilaian tentang untung ruginya sesuatu inovasi bila ia melaksanakannya (mudah dikerjakan), (4) Trial (mencoba), mencoba menerapkan ivovasi pada skala kecil, (5) Adoption (adopsi), menerapkan inovasi pada skala besar pada usahataninya. Lima tahap inovasi ini bukan merupakan pola kaku yang pasti diikuti oleh petani, tetapi sekedar menunjukkan adanya lima urutan yang sering ditemukan oleh peneliti maupun penyuluh. Peneliti menunjukkan perlunya waktu yang lama antara saat pertama kali petani mendengar suatu inovasi dengan saat melakukan adopsi.

Pengklasifikasian kelompok pengadopsi berikut persentasenya ditunjukkan dalam Gambar simpangan baku (standar deviasi) dari rata-rata dijadikan ukuran atau garis pembatas kelompok inovator, pengadopsi awal, mayoritas awal, mayoritas lambat dan kelompok lamban. Kategorisasi tersebut memberikan gambaran keragaman sikap dan perilaku individu petani dalam proses adopsi inovasi teknologi.

Sumber informasi yang digunakan dalam setiap tahap proses adopsi yang menunjukkan urutan peringkat dimana peranan media masa dan komunikasi sosial dalam proses adopsi teknologi. Komunikasi sosial hampir terdapat pada semua tahapan proses adopsi. Rogers (1983) mempertimbangkan bahwa tingkat adopsi dari suatu inovasi tergantung pada persepsi adopter tentang karakteristik teknologi tersebut. Lima atribut yang mendukung penjelasan tingkat adopsi dari suatu inovasi meliputi: (1) keuntungan relatif, (2) kecocokan, (3) kompleksitas, (4) trialabilitas, dan (5) observabilitas.

(15)

yang mana suatu inovasi dirasa konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu, dan potensi kebutuhan adopter. Kompleksitas: Kompleksitas merupakan tingkatan di mana suatu inovasi dirasa lebih lanjut secara relatif sukar untuk dipahami dan digunakan. Trialabilitas: "Trialabilitas merupakan tingkatan di mana suatu inovasi mungkin dicoba dengan pada suatu basis terbatas." Trialabilitas merupakan tingkatan di mana suatu inovasi mungkin dicoba pada suatu basis terbatas.

2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Inovasi

Ada beberapa hasil penelitian yang menunjukkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi. Suparlan (1981) menyatakan bahwa adopsi inovasi dipengaruhi oleh (a) tidak bertentangan dengan pola kebudayaan yang telah ada, (b) struktur sosial masyarakat dan pranata sosial, dan (c) persepsi masyarakat terhadap inovasi. Kecepatan proses adopsi dipengaruhi oleh klasifikasi pengadopsi, ciri-ciri pribadi, sosial, budaya dan lingkungan serta sumber informasi. Selain faktor-faktor yang telah diuraikan di atas Lionberger dalam Cambell dan Barker (1997) mengatakan bahwa faktor lain yang mempengaruhi adopsi teknologi antara lain, variabel internal (personal), variabel eksternal (situasional) dan variabel kelembagaan (pendukung). Menurut Bulu (2008), melaporkan bahwa faktor-faktor karekateristik pribadi, seperti sikap, motivasi, dan pengetahuan bukan lagi faktor dominan yang mempengaruhi tingkat adopsi inovasi. Lebih lanjut mengatakan bahwa faktor dominan yang mempengaruhi tingkat adopsi inovasi pertanian adalah faktor sosial (modal sosial). Modal sosial merupakan salah satu faktor utama yang mampu menggerakkan semua elemen dalam proses adopsi inovasi. Modal sosial yang semakin kuat secara konsisten meningkat adopsi inovasi pertanian. Sebaliknya tingkat adopsi inovasi yang semakin tinggi secara konsisten memperkuat modal sosial dalam proses adopsi inovasi pertanian. Dengan demikian antara modal sosial dan tingkat adopsi inovasi pertanian mempunyai hubungan timbal balik (saling mempengaruhi) (Bulu, 2008).

2.5 Proses Difusi Inovasi Sebagai suatu Jaringan

Difusi inovasi diartikan sebagai suatu proses dimana dikomunikasikannya inovasi kepada petani dalam suatu sistem sosial melalui saluran-saluran komunikasi tertentu, pada suatu kurung waktu tertentu pula (Ray, 1998). Dengan demikian difusi inovasi merupakan salah satu bentuk proses komunikasi antar pihak pengirim dan penerima informasi melalui jaringan tertentu baik jaringan komunikasi maupun kerjasama, sehingga dicapai pengertian yang sama mengenai informasi yang dikomunikasikan. Difusi adalah proses dimana inovasi dikomunikasikan melalui saluran-saluran tertentu dari waktu ke waktu diantara anggota sistem sosial (Van Den Ban dan Hawkins, 2000; Cruz, 1987 dalam Valera, 1987).

(16)

petani tertentu bergerak secara bertahap ke arah adopsi, tetapi bagaimana suatu inovasi dapat diadopsi oleh banyak petani. Kecepatan proses difusi inovasi sangat tergantung pada pemanfaatan modal sosial melalui jaringan-jaringan dalam pertukaran informasi inovasi. Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Valera et al., (1987), menunjukkan unsur-unsur yang rumit di dalam difusi dari gagasan baru; dimana inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu, dari waktu ke waktu di antara anggota suatu sistem sosial.

Saluran komunikasi digunakan oleh agen perubahan untuk menyebarkan suatu inovasi kepada para klien nya. Saluran media massa adalah yang sering dan paling cepat, merupakan suatu alat yang efisien untuk menjangkau sejumlah besar pendengar atau petani. Saluran hubungan antar pribadi (interpersonal), atau komunikasi tatap muka satu persatu dari klien, memang lebih efektif ketika orang ingin menciptakan suatu sikap baik ke arah suatu inovasi. Waktu adalah suatu faktor penting dalam proses difusi. Dimensi waktu di dalamnya meliputi:

•Proses keputusan inovasi (adopsi), dimana seseorang melalui pengetahuan pertama menyangkut inovasi sampai pada penolakan atau adopsi;

•Inovatif dari individu, merupakan hubungan kekeluargaan antara pengadopsi awal – pengadopsi akhir dimana seseorang mengadopsi suatu inovasi ketika membandingkan dengan anggota sistem sosial lain;

•Penentuan tingkat adopsi, di mana pada umumnya di ukur oleh banyaknya anggota sistem yang sudah mengadopsi inovasi itu.

Sistem sosial mengacu pada tempat atau masyarakat. Struktur sistem sosial dapat mempunyai suatu pengaruh penting atas gagasan baru. Struktur sistem sosial dapat menghalangi/merintangi atau memudahkan tingkat adopsi dan difusi dari gagasan baru. Norma-Norma, status sosial, peran, posisi, hirarki, dan seterusnya suatu sistem sosial dapat mempengaruhi perilaku dari individu. Model perubahan yang berpengaruh, merupakan kombinasi dari teori Rogers mengenai perilaku manusia dalam proses adopsi dan teori Lewis tentang keseimbangan (Berton, 1972 dalam Ray, 1998).

Inovasi Pertanian: Gabungan Akuakultur dan Hidroponik

(17)

Ratusan ikan tilapia berhabitat dalam puluhan akuarium di Institut Ekologi Air Tawar dan Perikanan Darat di Berlin. Deretan akuarium terletak di dalam rumah kaca yang juga menjadi tempat tumbuhnya tanaman tomat. Pendingin ruangan membuat suhu di dalam rumah kaca konstan pada angka 27 derajat Celsius - lingkungan yang kondusif bagi tomat dan tilapia. Tujuan dari proyek ini adalah untuk menumbuhkan sayuran dan mengembangbiakkan ikan pada kondisi

zero emission atau emisi nol.

Produksi pangan berteknologi tinggi

Tomat dan ikan dapat hidup dalam lingkungan artifisial yang menggunakan teknologi untuk memastikan hasil yang optimal.

Ikan dikembangbiakkan secara manusiawi, bela Werner Kloas yang membuat konsep proyek. Jumlah ikan di dalam akuarium disesuaikan dengan jumlah normal di habitat asli mereka.

Air dari akuarium memberi nutrisi bagi tomat

(18)

Jenis kultivasi dan pertanian semacam ini bukan sesuatu yang baru. Sayuran tumbuh dalam rumah kaca di berbagai penjuru dunia. Dan beternak ikan dalam akuarium juga bukan sesuatu yang revolusioner. Tapi apa yang baru adalah air dari akuarium digunakan untuk menumbuhkan tomat. Akuakultur, yakni peternakan organisme akuatik, dan hidroponik - menumbuhkan tanaman menggunakan solusi nutrisi mineral dalam air, tanpa tanah - selama ini merupakan domain yang terpisah, ungkap Kloas.

Pada intinya, proyek ini menggabungkan akuakultur dan hidroponik.

"Saat tanaman butuh air dan nutrisi, akan didapatkan dari akuarium," kata Kloas. Dua tahapan purifikasi air

Ikan mengeluarkan amonia, yang beracun bagi tilapia, sehingga airnya harus dirawat. Namun keuntungannya, air kotor dari akuarium justru menjadi pupuk ideal bagi tomat begitu kotoran ikan sudah difilter dan amonia dipisahkan secara kimiawi.

Di dalam rumah kaca, segala proses ini berlangsung otomatis. Air kotor dari akuarium masuk ke dalam pipa plastik berwarna putih. Pada tahap awal, kotoran ikan disaring keluar kemudian air dipurifikasi dalam sebuah biofilter.

Di dalam filter terdapat plastik-plastik kecil yang mengapung di atas air. Ukuran plastik hanya sebesar ujung jempol, namun permukaannya ampuh menyaring bakteri.

"Ini bakteri - Nitrosomonas dan Nitrobacter - yang lazim dijumpai di dalam air," pungkas Kloas. Proses nitrifikasi dilakukan oleh kedua kelompok bakteri tersebut. Nitritasi mengubah amonia menjadi nitrit. Dan nitratasi mengubah senyawa nitrit menjadi nitrat.

Dan nitrat merupakan komponen penting dan berharga bagi pupuk tanaman.

Air yang dirawat dalam akuarium dialirkan melalui pipa ke boks-boks tempat tanaman tomat tumbuh. Nitrat diekstrak dari air - sisa air terbuang melalui dedaunan sebagai uap air. Sejumlah perangkap dingin terpasang di langit-langit untuk memastikan kondensasi air kembali diarahkan ke akurium. Siklus ikan-tomat terpenuhi sudah.

Menghemat air

Tanaman tomat dalam rumah kaca tidak membutuhkan air tawar layaknya peternakan ikan dan penanaman sayuran konvensional.

"Dengan sebuah sistem siklus tertutup, kami hanya membutuhkan sekitar 10 persen air tawar per hari," tandas Werner Kloas. "Kami dapat menghemat begitu banyak air dan oleh karena itu tercipta sebuah sistem berkelanjutan."

Penutup

(19)

hebat, yakni adalah teknologi yang secara nyata bermanfaat, bukan semata teknologi ultra-maju hasil kreasipara ‘dewa iptek’.Sesungguhnya sistem inovasi merupakan langkah strategis dan wadah yang pas untuk budaya kerja baru tersebut bagi para pengembang teknologi di pusat maupun daerah. Skenario pembangunan pertanian daerah tentu perlu ikut mentranformasi diri agar cocok dengan skenario besar penguatan sistem inovasi nasional. Teknologi pertanian sering dipahami sebagai penggunaan mesin-mesin pertanian lapangan (mechanization) pada proses produksi pertanian, bahkan sering dipandang sebagai traktorisasi, Mekanisasi pertanian dalam arti luas bertujuan untuk meningkatkan produktifitas tenaga kerja, meningkatkan produktifitas lahan, dan menurunkan ongkos produksi.

Adapun keunggulan dari mekanisasi pertanian diantaranya dapat meningkatkan produktivitas pertanian melalui pengolahan lahan yang lebih baik, mengurangi kehilangan hasil serta meningkatkan ketepatan waktu dalam aktivitas pertanian selain keunggulan mekanisasi pertanian juga memiliki kelemhan yaitu membutuhkan modal yang besar, Kondisi Lahan di Indonesia yang bergelombang , kurangnya Tenaga Ahli mekanisasi pertanian dan dapat mengkibatkan berkurangnya lapangan pekerjaan.

SARAN

Referensi

Dokumen terkait

Dalarn hal ini terdapat kemiripan antara dua hal, yaitupikir 'pikiran' sesuatu yang abstrak berada dalam konsep disamakan dengan sesuatu yang konkret seperti halnya

Dari hasil pengolahan data dapat dilihat bahwa dengan nilai lift ratio yang besar berarti menandakan rule tersebut kemungkinan sangat besar terjadi, seperti dalam hal ini

Adapun saran yang akan penulis sampaikan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terutama dalam Periklanan Sosial Media Terhadap Keputusan Pembelian IndiHome

Dari data di atas, terdapat hal yang menarik yaitu pada saat belanja pegawai langsung, belanja pegawai tidak langsung, belanja barang dan jasa serta belanja lainnya terjadi

pembahasan dari hasil penelitian , pada setiap siklus maka dapat disimpulkan hasil penelitian tindakan kelas ini sebagai berikut : 1.Dengan penggunaan alat Bantu berupa

Dalam laboratorium Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang disebut “skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan

Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim diuji dengan cara mereaksikan larutan enzim dengan substrat pada suhu 50 o C selama 30 menit pada berbagai kondisi pH larutan bufer (pH

Ali Mahbubi, S.Pd MTsN Blitar 2/11/1975 Kota Kediri Jawa Timur NUPTK MASIH DIPERIKSA... Suwam