• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spending Performance

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Spending Performance"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PELAKSANAAN

Spending

Performance

Dalam Mendanai Pelayanan Publik

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN

2014

(2)
(3)

LAPORAN PELAKSANAAN

Spending

Performance

(4)
(5)

RINGKASAN EKSEKUTIF

Kualitas belanja daerah dalam APBD selama ini dianggap masih lemah, yang ditandai dengan indikasi belanja tidak langsung selalu lebih besar daripada belanja langsung. Dari berbagai literatur dapat didefinisikan bahwa belanja langsung dianggap sebagai belanja pemerintah daerah yang mempunyai pengaruh penting terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah dan akan memiliki daya ungkit dalam menggerakkan roda perekonomian daerah.

Terkait dengan hal tersebut, perlu dilakukan kajian analisis tentang

spending performance APBD dalam mendanai pelayanan publik, yang

diharapkan mampu memberikan gambaran dan solusi mengenai permasalahan penyerapan belanja daerah dalam APBD, serta mengidentifikasi penetapan belanja APBD yang kurang proporsional antara belanja langsung dan tidak langsung.

Kajian analisis spending performance tersebut ditujukan untuk (1) mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dalam, terutama dilihat dari aspek cepat atau lambatnya waktu yang diperlukan dalam penyerapan belanja daerah.; (2) mengidentifikasi penetapan proporsi belanja APBD antara belanja langsung dan tidak langsung; (3) melakukan analisis dan menyusun rekomendasi terhadap spending performance APBD dalam mendanai pelayanan publik.

Sementara itu, metodologi kajian analisis ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisa kuantitatif dengan kualitatif. Data kuantitatif yang digunakan pada penelitian ini adalah (1) data sekunder pada Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) digunakan sebagai bahan awal untuk melakukan analisis yang menggambarkan tingkat penyerapan

(6)

iv Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

belanja daerah; dan (2) data sekunder pada SIKD tersebut kemudian dikonfirmasikan kepada daerah sampel kunjungan dan digunakan sebagai alat analisis deskriptif kualitatif untuk menggambarkan pengelolaan keuangan daerah dan penjelasan daerah terhadap kendala permasalahan pelaksanaannya. Selanjutnya, untuk analisis kualitatif dilakukan dengan cara wawancara, dan hasilnya dijadikan sebagai pelengkap hasil analisis yaitu dengan cara menganalisis persepsi daerah terhadap penyerapan belanja daerah.

Mengingat keterbatasan dana yang ada, maka kajian analisis kepada daerah sampling dilakukan terhadap 10 daerah yang dipilih secara

convenience sampling. Adapun ke-10 daerah sampling tersebut yaitu (1)

Provinsi Riau, (2) Provinsi Banten, (3) Kabupaten Tanah Laut, (4) Kabupaten Jepara, (5) Kabupaten Lamongan, (6) Kabupaten Badung, (7) Kota Pontianak, (8) Kota Palembang, (9) Kota Gorontalo, dan (10) Kota Makasar.

Dari hasil kajian, didapatkan kesimpulan sebagai berikut :

1. Gambaran penyerapan belanja daerah dari tahun ke tahun memiliki kemiripan dalam realisasinya, dimana realisasi penyerapan belanja daerah pada awal Triwulan I sampai dengan Triwulan III masih sangat rendah, dan baru meningkat realisasinya pada Triwulan IV sampai dengan akhir tahun.

2. Pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan publik (public oriented) tidak saja terlihat pada besarnya proporsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga dapat dilihat dari berapa besar tingkat penyerapan realisasi belanja daerah (spending performances) terutama belanja barang untuk pemeliharaan dan belanja modal dalam mendanai penyediaan sarana dan prasarana pelayanan dasar di daerah.

3. Besar kecilnya tingkat penyerapan belanja daerah dalam mendanai pelayanan publik sangat dipengaruhi oleh proses perencanaan

(7)

anggaran dan penetapan APBD di daerah. Keterlambatan daerah dalam menetapkan Perda APBD dapat menunda realisasi penyerapan belanja daerah.

4. Proporsi alokasi belanja barang untuk pemeliharaan dan belanja modal untuk penyediaan sarana dan prasarana layanan publik masih rendah dalam struktur APBD jika dibandingkan dengan alokasi untuk belanja pegawai sehingga kinerja spending performances dalam mendanai pelayanan publik masih belum optimal dan efektif.

5. Realisasi penyerapan belanja daerah sampai dengan akhir tahun anggaran masih di bawah target atau lebih rendah dibandingkan dengan anggaran APBD. Hal ini terutama karena belum cukup mampu untuk melakukan penyesuaian pada sisi belanja dalam menyikapi pelampauan pendapatan di APBD.

6. Kualitas belanja daerah dan APBD selama ini dianggap masih lemah yang ditandai dengan adanya alokasi belanja tidak langsung yang selalu lebih besar dari belanja langsung, serta penyerapan belanja daerah yang relatif rendah. Hal ini juga bisa dilihat dari tingkat penyerapan belanja daerah yang relatif rendah terutama untuk belanja modal dan belanja barang yang terkait dengan public service delivery. 7. Rendahnya realisasi belanja daerah yang didanai dari DAK tidak

hanya disebabkan oleh kurang berjalannya fungsi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di daerah dengan baik, namun juga dipengaruhi oleh adanya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat, terutama yang terkait dengan mekanisme perencanaan dan penganggaran, mekanisme transfer ke daerah, dan penetapan petunjuk teknis DAK yang terlambat sehingga mempengaruhi penyelesaian pekerjaan di daerah.

Beberapa hal yang perlu direkomendasikan untuk memperbaiki dan meningkatkan pelaksanaan spending performances dalam mendanai pelayanan publik di daerah adalah sebagai berikut :

(8)

vi Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

1. Pemerintah pusat perlu mendorong daerah untuk dapat meningkatkan proporsi alokasi belanja barang dan belanja modal dalam APBD, sehingga dapat mempercepat tersedianya sarana dan prasarana layanan publik yang memenuhi Standar Pelayanan Minimum (SPM). Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan cara membuat aturan dalam perencanaan anggaran di daerah, terutama terkait dengan batas minimal proporsi alokasi belanja barang dan belanja modal yang sifatnya mengikat daerah, serta menerapkan sanksi kepada daerah yang melanggar batasan tersebut.

2. Untuk mendorong percepatan penyerapan belanja daerah, pemerintah pusat perlu melanjutkan kebijakan pengenaan sanksi kepada pemda yang terlambat dalam menetapkan dan menyampaikan perda APBD 2013, serta memberikan reward kepada pemda yang tepat waktu dalam menetapkan dan menyampaikan perda APBD 2013. Penetapan Perda APBD di daerah secara tepat waktu serta pelaksanaan tender pada awal tahun anggaran diharapkan dapat mempercepat realisasi belanja daerah, terutama belanja modal dan belanja barang untuk layanan publik dan peningkatan perekonomian daerah.

3. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan spending performances yang mampu mendorong percepatan realisasi belanja daerah, maka : a. Pemerintah daerah perlu memprioritaskan alokasi belanja untuk

program/kegiatan dalam rangka penyediaan sarana dan prasarana layanan publik di daerah, dengan cara meningkatkan alokasi belanja barang dan belanja modal dalam APBD, dan mengurangi proporsi untuk belanja pegawai daerah dan belanja tidak langsung lainnya. Penganggaran belanja langsung dalam APBD digunakan untuk pelaksanaan urusan pemerintahan daerah, yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang dituangkan dalam bentuk program dan kegiatan, yang manfaat capaian kinerjanya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dalam rangka peningkatan

(9)

kualitas pelayanan publik dan keberpihakan pemerintah daerah kepada kepentingan publik.

b. Perlu mengusulkan secara resmi kepada Kementerian Dalam Negeri untuk menyusun ketentuan (Permendagri) tentang Pedoman Penyusunan APBD yang mengatur proporsi alokasi belanja barang untuk pemeliharaan infrastruktur dan belanja modal minimal ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 20 (dua puluh) persen dari total APBD guna mempercepat penyediaan sarana dan prasarana layanan publik dan peningkatan perekonomian daerah.

c. Pemerintah pusat perlu mendorong penyusunan peraturan perundang-undangan mengenai penerapan Middle Term

Expenditure Framework (MTEF) sehingga daerah dapat mengetahui

informasi transfer ke daerah yang meliputi alokasi DAU, DAK, DBH dan Dana Penyesuaian untuk kurun waktu 3 (tiga) tahun guna mempercepat penetapan APBD dan percepatan penyerapan belanja daerah.

4. Terkait dengan rendahnya penyerapan program/kegiatan yang didanai dari DAK, Kementerian Keuangan perlu mendorong Kementerian teknis untuk dapat menetapan petunjuk teknis pelaksanaan DAK berupa pedoman umum penggunaan DAK guna mencapai standar pelayanan minimum dan prioritas nasional, serta dibuat tidak terlalu rigid, tetapi dibuat lebih umum dan lebih fleksibel serta peruntukannya untuk jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, sehingga daerah lebih mudah dalam melaksanakan kegiatan DAK dan adanya kepastian kegiatan tersebut sesuai dengan petunjuk teknis DAK.

5. Pemerintah daerah perlu membentuk Tim Koordinasi di daerah sehingga memudahkan koordinasi antara SKPD dalam pengelolaan keuangan daerah baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun pertanggungjawaban APBD serta memudahkan daerah untuk menyelesaikan permasalahan di daerah terutama yang terkait dengan

(10)

viii Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

pelaksanaan spending performances dalam mendanai pelayanan publik di daerah.

(11)

KATA PENGANTAR

Salah satu tugas pemerintahan daerah adalah menyediakan dan membangun infrastruktur sarana dan prasarana layanan publik melalui pengaturan pola alokasi belanja daerah dalam APBD, yang diharapkan dapat mendorong peningkatan public services dan mampu mendorong peningkatan perekonomian daerah.

Secara ideal, porsi alokasi belanja tidak langsung terutama untuk membiayai belanja pegawai daerah yang tidak terlalu tinggi, serta alokasi belanja barang untuk pemeliharaan infrastruktur dan belanja modal daerah yang semakin meningkat akan mempercepat terciptanya wujud dan jenis pelayanan publik yang semakin baik, optimal dan efektif. Namun demikian, yang terjadi selama ini adalah realisasi belanja barang untuk pemeliharaan infrastruktur dan belanja modal pada akhir tahun seringkali masih di bawah target, atau lebih rendah apabila dibandingkan dengan anggarannya. Di samping itu, masih banyak daerah yang mengalokasikan porsi belanja pegawai yang lebih besar dari alokasi belanja barang untuk pemeliharaan infrastruktur dan belanja modal untuk pelayanan publik. Kondisi tersebut akan menyebabkan APBD tidak mampu untuk mendukung peningkatan kualitas layanan publik yang optimal. Hal ini berarti perlu dicari beberapa faktor penyebab mengapa hal tersebut terjadi, dan perlu dirumuskan upaya perbaikan dalam pola belanja daerah yang diarahkan untuk mendorong peningkatan pelayanan publik.

Sementara itu, adanya peningkatan alokasi pendapatan transfer dari pusat dan realisasi pendapatan daerah pada tahun anggaran berjalan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan realisasi belanjanya, perlu disikapi dengan percepatan penetapan APBD Perubahan. Hal ini

(12)

x Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

maksudkan agar pelampauan pendapatan daerah tersebut bisa semaksimal mungkin teralokasikan untuk belanja yang langsung berdampak pada peningkatan kuantitas dan kualitas layanan publik, dan dapat diselesaikan pada tahun berjalan.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan kajian mengenai pelaksanaan spending

performances dalam APBD. Atas izin dan ridha dari Tuhan Yang Maha

Kuasa, tulisan ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya dengan judul “Kajian Pelaksanaan Spending Performances dalam Mendanai Pelayanan Publik”, yang didalamnya berisi analisis mengenai pelaksanaan spending

performances yang tercermin dari realisasi penyerapan belanja di daerah,

serta kendala dan solusinya untuk memperbaiki kinerja penyerapan belanja daerah yang mampu meningkatkan wujud dan jenis pelayanan publik di daerah.

Kami mengharapkan agar buku ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dan mampu memberikan kontribusi yang optimal dalam pengambilan kebijakan sehingga tujuan dan cita-cita otonomi daerah dan desentralisasi fiskal khususnya serta tujuan pembangunan nasional pada umumnya dapat terwujud.

Jakarta, Desember 2014 Direktur Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah,

(13)

DAFTAR ISI

RINGKASAN EKSEKUTIF ...iii

KATA PENGANTAR ...ix

DAFTAR ISI ...xi

DAFTAR TABEL ...xiii

DAFTAR GAMBAR DAN GRAFIK ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1. Latar Belakang ...1

2. Tujuan ...4

3. Ruang Lingkup ...5

4. Metodologi Kajian ...6

BAB II KERANGKA TEORI ... 7

1. Pengertian Spending Performances ...7

2. Proses Pengelolaan Keuangan Daerah ...10

3. Pengertian Belanja Daerah ...17

4. Klasifikasi Belanja Daerah ...20

BAB III TEMUAN LAPANGAN DAN ANALISIS PERMASALAHAN PELAKSANAAN SPENDING PERFORMANCE DALAM MENDANAI PELAYANAN PUBLIK ... 23

A. Pelaksanaan Spending Performances Pada Daerah Sampel ...27

1. Provinsi Riau ...27

2. Provinsi Banten ...31

3. Kabupaten Badung ...36

4. Kabupaten Tanah Laut ...39

(14)

xii Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik 6. Kabupaten Lamongan ...46 7. Kota Pontianak ...50 8. Kota Palembang ...54 9. Kota Gorontalo ...59 10. Kota Makasar ...63

B. Analisis Permasalahan Pelaksanaan Spending Performances dalam mendanai Pelayanan Publik ...67

BAB IV PENUTUP ... 73

A. KESIMPULAN ...73

B. SARAN DAN REKOMENDASI ...75

DAFTAR PUSTAKA ... 78

(15)

DAFTAR TAbEl

Tabel 1.1 Daerah Sampel Kajian ...5

Tabel 3.1 Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Provinsi Riau ...29

Tabel 3.2 Realisasi Belanja Tahun 2013 Provinsi Banten ...34

Tabel 3.3 Realisasi Belanja Tahun 2013 Kabupaten Badung ...38

Tabel 3.4. Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kabupaten Tanah Laut ...41

Tabel 3.5 Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kabupaten Jepara ...44

Tabel 3.6 Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kabupaten Lamongan ...49

Tabel 3.7 Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kota Pontianak ...53

Tabel 3.8. Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kota Palembang ..56

Tabel 3.9 Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kota Gorontalo ....61

(16)

xiv Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

DAFTAR GRAFIK DAN GAMbAR

Gambar 2.1 Proses Penyusunan Anggaran Pemerintah Daerah ...12 Grafik 3.1 Volume APBD dan APBD-Perubahan Provinsi Riau Tahun 2013 ....27 Grafik 3.2 Volume APBD dan APBD-Perubahan Provinsi Banten Tahun

2013...32 Grafik 3.3 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kabupaten Badung Tahun

2013...36 Grafik 3.4 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kabupaten Tanah Laut Tahun

2013...39 Grafik 3.5 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kabupaten Jepara Tahun

2013...43 Grafik 3.6 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kabupaten Lamongan Tahun

2013...47 Grafik 3.7 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kota Pontianak Tahun

2013...51 Grafik 3.8. Volume APBD dan APBD-Perubahan Kota Palembang Tahun

2013...55 Grafik 3.9 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kota Gorontalo Tahun

2013...59 Grafik 3.10 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kota Makasar Tahun 2013 ..64 Grafik 3.11 Keterlambatan Penetapan dan Penyampaian APBD Tahun

(17)

bAb I

PENDAHUlUAN

1. Latar BeLakang

Sejak dilaksanakannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada tahun 2001, telah terjadi pergeseran kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya kewenangan daerah dalam memberikan pelayanan publik yang juga diiringi dengan meningkatnya pendanaan dari pusat ke daerah dalam rangka menyelenggarakan kegiatan pelayanan publik tersebut. Anggaran belanja daerah dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan searah dengan cakupan jenis dana yang di daerahkan maupun dari besaran alokasi dana yang didaerahkan. Belanja daerah tentu saja diprioritaskan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada.

Salah satu tugas penting dari pemerintahan daerah adalah menyediakan pelayanan dan membangun infrastruktur publik melalui alokasi dan pelaksanaan belanja pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Salah satu tolok ukur yang dapat digunakan untuk melihat kinerja belanja daerah yaitu didasarkan pada pendekatan tingkat penyerapan belanja. Semakin besar tingkat penyerapan, dianggap semakin optimal kinerja belanjanya, dan sebaliknya semakin rendah tingkat penyerapan semakin rendah pula kinerja belanja suatu pemerintah daerah. Penyerapan belanja APBD mengindikasikan kecepatan daerah dalam menggunakan

(18)

2 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

dananya untuk pelayanan ke masyarakat. Penyerapan belanja daerah yang lambat dan juga tidak tuntas (kurang jauh dari anggaran yang telah direncanakan) menunjukkan proses perencanaan yang kurang baik dan sekaligus mengakibatkan menumpuknya dana sebagai dana idle. Dana idle yang besar secara ekonomi kurang baik karena akan melewatkan kesempatan belanja daerah untuk menstimulasi perekonomian daerah.

Selain itu, kecilnya penyerapan anggaran dan kebiasaan pemda melakukan penyerapan belanja APBD di akhir tahun anggaran, sudah dipastikan akan mengganggu kinerja dan kualitas pelayanan publik yang seharusnya diberikan oleh pemda kepada masyarakat. Banyak proyek pembangunan infrastruktur di daerah yang belum terlaksana dan akan menghambat pertumbuhan ekonomi masyarakat. Selain itu, kualitas pelayanan publik akan menurun dan masyarakat pun dirugikan.

Berdasarkan data dan hasil kajian yang ada, seringkali ditemukan fakta bahwa realisasi belanja daerah pada APBD di akhir tahun seringkali di bawah target atau lebih rendah dibandingkan dengan anggarannya. Hal ini ditengarai rendahnya tingkat penyerapan APBD pada triwulan I dan II yang besarannya masih di bawah realisasi ideal, dan baru mengalami peningkatan persentase penyerapannya menjelang akhir tahun anggaran. Namun demikian di sisi lain, terdapat pula beberapa pemda yang penyerapan belanjanya ideal, dari triwulan ke triwulan peningkatannya wajar dan tidak terserap secara mencolok di triwulan IV.

Selain dari sisi penyerapan anggaran, tak kalah penting adalah memastikan sampai sejauh mana eksekusi atas rencana dan anggaran belanja yang dilaksanakan telah menjawab berbagai kebutuhan masyarakat akan infrastruktur publik, terutama untuk porsi belanja langsung. Keberpihakan pemda tersebut dapat dilihat, salah satunya pada komposisi belanja pada APBD-nya, apakah porsi terbesar APBD ada pada belanja langsung atau belanja tidak langsung.

(19)

Kualitas belanja daerah dalam APBD selama ini dianggap masih lemah dengan salah satu indikasi belanja tidak langsung selalu lebih besar daripada belanja langsung. Dari berbagai literatur dapat didefinisikan bahwa belanja langsung dianggap sebagai belanja pemerintah daerah yang mempunyai pengaruh penting terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah dan akan memiliki daya ungkit dalam menggerakkan roda perekonomian daerah.

Terkait dengan hal tersebut, kiranya perlu dilakukan analisis tentang spending performance APBD dalam mendanai pelayanan publik, yang diharapkan mampu memberikan gambaran dan solusi mengenai permasalahan penyerapan belanja daerah dalam APBD dan mengidentifikasi penetapan belanja APBD yang kurang proporsional antara belanja langsung dan tidak langsung.

Data dan hasil kajian yang telah ada akan dibandingkan antara pemda yang cepat dalam menyerap belanja dengan yang lambat dalam penyerapan belanjanya. Kemudian akan dibandingkan pula antara pemda yang satu dengan yang lain dalam hal proporsi dalam pengalokasian belanja langsung dan belanja tidak langsung. Kedua perbandingan ini akan dilakukan analisis dan pendalaman dengan mengunjungi beberapa daerah sampel.

Hasil penelitian dan analisis ini diharapkan dapat memotret baik pemda yang mampu menyerap dengan baik APBD-nya dengan yang tidak, sekaligus pemda yang proporsional maupun yang tidak dalam pengalokasian belanja langsung dan tidak langsung. Potret tersebut kemudian akan diidentifikasi, untuk mengetahui faktor-faktor penyebab dari “keberhasilan” atau “kegagalan” pemerintah daerah sehingga hasilnya akan dapat dijadikan rekomendasi kepada pemda baik yang menjadi sampel penelitian maupun pemda-pemda lain mengenai perbaikan dan peningkatan mengenai penyerapan belanja daerah dalam APBD dan

(20)

4 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

penetapan belanja APBD yang lebih proporsional antara belanja langsung dan tidak langsung.

Di samping itu dari sisi pemerintah pusat, rekomendasi hasil kajian ini juga penting untuk langkah perbaikan secara internal untuk penyempurnaan kebijakan hubungan keuangan pusat dan daerah khususnya yang mempengaruhi belanja di daerah.

2. tujuan

Kajian ini dilakukan dengan tujuan untuk :

a. Mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dalam kaitannya dengan spending performance APBD dalam mendanai pelayanan publik, terutama dilihat dari aspek cepat atau lambatnya waktu yang diperlukan dalam penyerapan belanja daerah.

b. Mengidentifikasi penetapan proporsi belanja APBD antara belanja langsung dan tidak langsung.

c. Melakukan analisis dan menyusun rekomendasi terhadap spending

performance APBD dalam mendanai pelayanan publik.

d. Mendukung tugas kerja Kementerian Keuangan, khususnya DJPK dalam menganalisis, memantau, dan mengevaluasi permasalahan yang terkait dengan spending performance APBD dalam mendanai pelayanan publik, sehingga diharapkan dapat memberikan rekomendasi yang komprehensif dan akurat bagi Pemerintah Pusat dalam menentukan kebijakan yang terkait dengan spending

(21)

3. ruang Lingkup

Dalam kajian ini dilakukan penelitian secara khusus terhadap 10 daerah yang dipilih secara convenience sampling. Adapun rincian daerah sampel adalah sebagai berikut :

Tabel 1.1 Daerah Sampel Kajian

No Nama Daerah Sampel No Nama Daerah Sampel

1. Provinsi Riau 6. Kabupaten Badung

2. Provinsi Banten 7. Kota Pontianak 3. Kabupaten Tanah Laut 8. Kota Palembang 4. Kabupaten Jepara 9. Kota Gorontalo 5. Kabupaten Lamongan 10. Kota Makasar Sumber: Data primer yang diolah (2014)

Data primer kajian ini berasal dari hasil isian kuesioner yang dikirimkan kepada 10 daerah sampel tersebut di atas. Kuesioner yang telah diisi dikumpulkan dengan mekanisme kunjungan ke daerah sampel yang juga disertai pelaksanaan Focus Group Discussion dengan Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait.

Sedangkan data sekunder yang digunakan dalam kajian ini meliputi : a. Data APBD/APBD Perubahan;

b. Data Realisasi APBD; dan

(22)

6 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

4. MetodoLogi kajian

Kajian ini menggabungkan alat analisa kuantitatif dengan kualitatif. Analisa kuantitatif dilakukan dengan menggunakan alat statistik dengan cara memetakan daerah sampel menurut tingkat penyerapan belanja (spending performances)-nya.

Namun demikian, mengingat keterbatasan data dan dana yang ada maka analisis dalam kajian dalam buku ini dilakukan dengan metode sebagai berikut:

1. Data sekunder pada Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) digunakan sebagai bahan awal untuk melakukan analisis yang menggambarkan tingkat penyerapan belanja daerah.

2. Data sekunder pada SIKD tersebut kemudian dikonfirmasikan kepada daerah sampel kunjungan dan digunakan sebagai alat analisis deskriptif kualitatif untuk menggambarkan pengelolaan keuangan daerah dan penjelasan daerah terhadap kendala permasalahan pelaksanaannya.

3. Untuk analisis kualitatif yang bersumber dari hasil wawancara dijadikan sebagai pelengkap hasil analisis yaitu dengan cara menganalisis persepsi daerah terhadap penyerapan belanja daerah.

(23)

bAb II

KERANGKA TEORI

1. pengertian Spending perforManceS

Spending performances erat kaitannya dengan sistem penganggaran

yang berbasis kinerja (performance based budgeting). Penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) merupakan suatu pendekatan sistematis dalam penyusunan anggaran yang mengaitkan pengeluaran yang dilakukan organisasi sektor publik dengan kinerja yang dihasilkannya dengan menggunakan informasi kinerja. Performance

budgeting mengalokasikan sumber daya pada program, bukan unit

organisasi semata, dan memakai output measurement sebagai indikator kinerja organisasi. Pengkaitan biaya dengan output organisasi merupakan bagian integral dalam berkas atau dokumen anggaran.

Menurut Robinson and Last (2009), dikatakan bahwa

performance-based budgeting bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas

pengeluaran publik dengan mengaitkan pendanaan organisasi sektor publik dengan hasil yang dicapai dengan penggunaan informasi kinerja secara sistematik. Sedangkan Carter (1994), seperti dikutip Young (2003), menyatakan performance budget menggunakan pernyataan misi, tujuan dan sasaran untuk menjelaskan mengapa uang dikeluarkan. Penetapan misi, tujuan dan sasaran ini merupakan cara untuk mengalokasikan sumber daya untuk mencapai sasaran-sasaran tertentu berdasarkan tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang terukur. Performance budgeting dibedakan dari pendekatan tradisional karena berfokus pada hasil dari pengeluaran yang dilakukan, bukannya jumlah uang yang dikeluarkan.

(24)

8 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

Sejalan dengan Robinson dan Last, Young (2003) menyatakan 4 (empat) karakteristik performance-based budgeting, yaitu :

1. Performance-based budgeting menetapkan tujuan atau sekumpulan tujuan yang akan dikaitkan dengan atau yang digunakan untuk mengalokasikan pengeluaran uang.

2. Performance-based budgeting menyediakan informasi dan data mengenai kinerja dan hasil yang telah dicapai sehingga memungkinkan dilakukan perbandingan antara kemajuan yang aktual dengan yang direncanakan.

3. Dalam penyusunan anggaran penyesuaian terhadap program dilakukan untuk menutup setiap perbedaan yang terjadi antara target kinerja dan kinerja aktual.

4. Performance-based budgeting memberi peluang untuk dilakukannya evaluasi kinerja secara regular atau ad hoc yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan.

Lebih lanjut Robinson dan Last (2009) menyatakan penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) hanya dapat berhasil jika setiap satuan kerja yang melakukan pengeluaran anggaran (spending

agency) diharuskan untuk:

1. secara eksplisit mendefinisikan outcome yang pelayanannya diberikan kepada masyarakat, dan

2. menyediakan indikator kinerja kunci untuk mengukur efektifitas dan efisiensi pelayanannya untuk menteri keuangan dan pembuat keputusan politik kunci selama proses penyusunan anggaran.

Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa pengukuran kinerja sektor publik dilakukan untuk memenuhi tiga maksud. Pertama, pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk membantu memperbaiki kinerja pemerintah. Ukuran kinerja dimaksudkan untuk dapat membantu pemerintah berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja. Hal ini

(25)

pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas organisasi sektor publik. Kedua, ukuran kinerja sektor publik digunakan untuk pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan. Ketiga, ukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan. Kinerja adalah gambaran pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan /program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi (Bastian, 2006).

Adapun jika dihubungkan dengan pengklasifikasian belanja daerah berdasarkan klasifikasi ekonomi, unsur belanja menurut klasifikasi ekonomi yang merupakan kebocoran (leakages) yaitu belanja pegawai dan belanja lainnya lebih besar dibanding unsur belanja yang merupakan injeksi (belanja modal serta barang dan jasa). Hal ini menunjukkan bahwa, pembangunan lebih banyak digerakkan oleh belanja yang bersifat kebocoran atau konsumtif.

Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui dampak ekonomi dari belanja pemerintah. Dari perspektif ekonomi makro, belanja pegawai dan belanja lainnya disebut kebocoran, sementara belanja modal serta barang dan jasa disebut injeksi. Dengan pembagian demikian, hendak dianalisis lebih lanjut apakah pembangunan lebih banyak digerakkan oleh kebocoran yang bersifat konsumtif ataukah injeksi yang bersifat investasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa kegiatan pembangunan lebih banyak digerakkan oleh belanja pemerintah yang bersifat kebocoran (konsumtif). Penyebab utamanya adalah adanya diskresi dari sisi pendapatan pemerintah. Dengan pendapatan yang terbatas, sementara kebutuhan untuk membiayai birokrasi terus meningkat, menjadikan pemerintah lebih memilih mendahulukan belanja bagi birokrasi (kebocoran) dan membatasi belanja untuk kepentingan masyarakat (injeksi).

(26)

10 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

2. proSeS pengeLoLaan keuangan daerah

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dalam merencanakan alokasi belanja pada APBD agar lebih mengutamakan keberpihakan untuk kepentingan publik (belanja langsung) daripada kepentingan aparatur (belanja tidak langsung).

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut terlihat hubungan antara tiga cara mengukur efektivitas anggaran pembangunan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut, yaitu :

a. Dengan melihat seberapa besar pemerintah menentukan alokasi nilai belanja untuk kepentingan publik ternyata masih rendah efektivitasnya;

b. Dengan melihat seberapa besar nilai belanja untuk kepentingan publik tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik dengan optimal juga masih rendah efektivitasnya. Hal ini didasarkan pada rendahnya kemampuan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran belanja termasuk belanja modal sebagai bagian dari belanja pembangunan; c. Dengan melihat seberapa besar optimalisasi nilai belanja publik

mengakibatkan kegiatan-kegiatan ekonomi ikutan yang bermanfaat bagi masyarakat sehingga menambah kesejahteraan masyarakat juga masih rendah efektivitasnya. Belanja anggaran pembangunan hanya mampu mewujudkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi eksklusif dan belum berkualitas.

Pada prinsipnya desentralisasi ditujukan untuk efisiensi sektor publik dalam produksi dan distribusi pelayanan, meningkatkan kualitas pembuatan keputusan dengan menggunakan informasi lokal, meningkatkan akuntabilitas dan meningkatkan kemampuan respon terhadap kebutuhan dan kondisi lokal (Giannoni, 2002). Hal inilah yang mendorong desentralisasi diserahkan dan dilaksanakan pemerintahan

(27)

daerah yakni kabupaten/kota. Dalam rangka melaksanakan pembangunan daerah, setiap tahun APBD ditetapkan oleh Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD. APBD merupakan rencana kegiatan daerah yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran.

Dalam pengelolaan keuangan daerah terdapat rambu-rambu yang harus dipatuhi daerah sebagaimana tercantum dalam asas-asas umum pelaksanaan APBD, diantaranya yaitu:

a. Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan daerah dikelola dalam APBD. b. Setiap SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima

pendapatan daerah wajib melaksanakan pemungutan dan/atau penerimaan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

c. Penerimaan SKPD dilarang digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.

d. Penerimaan SKPD berupa uang atau cek harus disetor ke rekening kas umum daerah paling lama 1 (satu) hari kerja.

e. Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan baths tertinggi untuk setiap pengeluaran belanja.

f. Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja jika untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam APBD.

g. Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan jika dalam keadaan darurat, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran.

h. Kriteria keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(28)

12 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

i. Setiap SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD. j. Pengeluaran belanja daerah menggunakan prinsip hemat, tidak

mewah, efektif, efisien dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam pengelolaan keuangan daerah di Indonesia terdapat dokumen-dokumen yang digunakan atau dihasilkan dalam proses penyusunan anggaran pemerintah daerah. yang dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.1

Proses Penyusunan Anggaran Pemerintah Daerah

10|P a g e

Dalam pengelolaan keuangan daerah di Indonesia terdapat dokumen-dokumen yang digunakan atau dihasilkan dalam proses penyusunan anggaran pemerintah daerah. yang dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.1

Proses Penyusunan Anggaran Pemerintah Daerah

Pengelolaan Keuangan Daerah

Perencanaan Pelaksanaan Penatausahaan Pertgjwban Pengawasan RPJMD RKPD KUA PPAS Nota Kesepakatan Pedoman Penyusunan RKA-SKPD RKA-SKPD RAPBD APBD Dasar Pelaksanaan Anggaran • Pendapatan • Belanja • Pembiayaan Pelaksanaan APBD Rancangan DPA-SKPD DPA-SKPD Verifikasi Laporan Realisasi Semester Pertama Perubahan APBD Penatausahaan Belanja Bendahara Pengeluaran Penatausahaan Pendapatan Bendahara Penerimaan Kekayaan dan Kewajiban daerah • Kas Umum • Piutang • Investasi • Barang • Dana Cadangan • Utang Akuntansi Keuangan Daerah Laporan Keuangan Pemerintah Daerah • Laporan Realisasi Anggaran • Neraca • Laporan Arus Kas • Catatan atas Laporan Keuangan Laporan Keuangan diaudit oleh BPK Rancangan Peraturan Daerah tentang Pertanggungjawaban APBD Akuntansi Keuangan Daerah • Pemberian Pedoman • Bimbingan • Supervisi • Konsultasi • Pendidikan • Pelatihan • Penelitian dan Pengembangan Pembinaan: Pengawasan terhadap pelaksanaan Perda tentang APBD Pengendalian Intern Pemeriksaan Ekstern Sumber : Mardiasmo (2005:5)

Untuk pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota), dokumen-dokumen tersebut meliputi Rencana Pembangunan Jangkan Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Sedangkan, pada tingkat satuan kerja pemerintah daerah (SKPD), dokumen-dokumen tersebut meliputi Rencana Stratejik (Renstra) SKPD, Rencana Kerja (Renja) SKPD dan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD. Untuk dapat dikatakan telah menerapkan penganggaran berbasis kinerja tidak hanya dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen tersebut, melainkan juga dengan adanya keselarasan substansi antar dokumen-dokumen tersebut yang dapat dilihat dari ada tidaknya indikator kinerja yang selaras dalam dokumen-dokumen tersebut. Pada SKPD, indikator-indikator kinerja yang dimuat dalam Renja SKPD haruslah mendukung pencapaian indikator kinerja yang termuat dalam Renstra SKPD. Dan selanjutnya, indikator kinerja Renja SKPD harus didukung oleh indikator-indikator kinerja yang dimuat dalam RKA SKPD. Adanya Sumber : Mardiasmo (2005:5)

Untuk pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota), dokumen-dokumen tersebut meliputi Rencana Pembangunan Jangkan Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Sedangkan, pada tingkat satuan kerja pemerintah daerah (SKPD),

(29)

dokumen-dokumen tersebut meliputi Rencana Stratejik (Renstra) SKPD, Rencana Kerja (Renja) SKPD dan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD. Untuk dapat dikatakan telah menerapkan penganggaran berbasis kinerja tidak hanya dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen tersebut, melainkan juga dengan adanya keselarasan substansi antar dokumen-dokumen tersebut yang dapat dilihat dari ada tidaknya indikator kinerja yang selaras dalam dokumen-dokumen tersebut.

Pada SKPD, indikator-indikator kinerja yang dimuat dalam Renja SKPD haruslah mendukung pencapaian indikator kinerja yang termuat dalam Renstra SKPD. Dan selanjutnya, indikator kinerja Renja SKPD harus didukung oleh indikator-indikator kinerja yang dimuat dalam RKA SKPD. Adanya keselarasan indikator kinerja ini secara logis akan dapat mengaitkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai yang dicantumkan dalam dokumen perencanaan strategis (Renstra SKPD) dengan kegiatan-kegiatan operasional yang dilaksanakan SKPD. Di samping persyaratan adanya indikator kinerja dan proses penyusunan anggaran yang memfasilitasi penggunaan indikator kinerja, persyaratan lainnya dalam penerapan penganggaran berbasis kinerja yang dikemukakan Robinson dan Last (2009) adalah klasifikasi pengeluaran berdasarkan program (program

budget) dan fleksibilitas yang lebih besar bagi manajer atau pejabat

pelaksana anggaran.

Program budget mengklasifikasikan pengeluaran anggaran berdasarkan

jenis pelayanan dan tujuan, bukan berdasarkan jenis input (gaji, bahan, perjalanan dinas dan sebagainya) sebagaimana pada traditional line-item

budgeting. Robinson dan Last (2009) menyatakan pada program budget

proses penyusunan anggaran harus berdasarkan pada program (program

based) yaitu satuan kerja harus mengajukan dan menyajikan anggarannya

dalam bentuk program dengan didukung biaya dan informasi kinerja. Senada dengan Robinson dan Last, Shah dan Shen (2007) menyatakan bahwa bertentangan dengan line-item budgeting, performance budgeting

(30)

14 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

menerapkan alokasi lumpsum untuk program-program bukan klasifikasi line item secara rinci (detailed line item classification). Terkait dengan ini, Rubin (2007) mengemukakan bahwa output model budgeting mengasumsikan bahwa manajer atau pelaksana anggaran akan menggunakan sumber daya yang mereka akan diminta bertanggung jawab bukan atas pelaksanaan anggaran sesuai dengan item-item pengeluaran yang dilakukan, melainkan atas kuantitas dan kualitas hasil yang dijanjikan dari paket sumber daya yang dialokasikan bagi mereka dalam anggaran. Pelaksanaan anggaran membutuhkan adanya fleksibilitas input dimana pejabat pelaksana anggaran harus diberi fleksibilitas yang lebih besar untuk memilih belanja-belanja yang dilakukannya untuk menghasilkan pelayanan dengan cara yang paling efisien. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi sejumlah batasan yang harus diikuti pada pengeluaran anggaran berdasarkan klasifikasi ekonomi (line item) pada traditional budgeting.

Dibandingkan dengan traditional line-item budgeting, performance

budgeting membenarkan untuk melakukan penggunaan sumber daya

fiskal secara lebih fleksibel dan meningkatkan akuntabilitas terhadap hasil. Shah dan Shen (2007) menyatakan performance budgeting meningkatkan fleksibilitas manajerial dengan memberi manajer departemen atau program alokasi lumpsum tetap (fixed lumpsum allocation) yang bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan untuk mencapai hasil yang sudah disetujui dalam pemberian pelayanan. Manajer publik menikmati peningkatan diskresi manajerial tapi diwajibkan bertanggung jawab atas apa yang mereka capai dalam kinerja pemberian pelayanan.

Namun, kedua persyaratan ini belum diakomodir oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia, terutama untuk penyusunan anggaran pemerintah daerah. Struktur anggaran yang digunakan dalam penyusunan APBD masih menggunakan 12 struktur line-item budgeting di mana anggaran disusun menurut klasifikasi belanja sampai dengan rincian objek belanja. Hal ini berimplikasi pada control yang ketat terhadap input yang

(31)

mengakibatkan kurangnya fleksibilitas bagi manajer (pengguna anggaran) dalam menggunakan anggarannya. Dengan demikian, ketentuan mengenai pengeluran anggaran yang diatur dalam peraturan perundangan yang ada belum mendukung fleksibilitas pengeluaran anggaran oleh pengguna anggaran sebagai pejabat yang mempunyai otoritas dalam melaksanakan pengeluaran anggaran.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah mengatur azas umum dalam pengelolaan keuangan daerah yang tertuang pada pasal (4) sebagai berikut:

(1) Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.

(2) Secara tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bahwa keuangan daerah dikelola secara tepat waktu dan tepat guna yang didukung dengan bukti¬bukti administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan.

(3) Taat pada peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bahwa pengelolaan keuangan daerah harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

(4) Efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil.

(5) Efisien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu.

(6) Ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemerolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga yang terendah.

(32)

16 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

(7) Transparan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah.

(8) Bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perwujudan kewajiban seseorang untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

(9) Keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya dan/atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang obyektif. (10) Kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tindakan atau

suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan proporsional.

(11) Manfaat untuk masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bahwa keuangan daerah diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode.

Anggaran kas telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pasal (125) dan pasal (126) sebagai berikut :

Pasal 125

(1) Kepala SKPD berdasarkan rancangan DPA-SKPD menyusun rancangan anggaran kas SKPD.

(33)

(2) Rancangan anggaran kas SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada PPKD selaku BUD bersamaan dengan rancangan DPA-SKPD.

(3) Pembahasan rancangan anggaran kas SKPD dilaksanakan bersamaan dengan pembahasan DPA-SKPD.

Pasal 126

(1) PPKD selaku BUD menyusun anggaran kas pemerintah daerah guna mengatur ketersediaan dana yang cukup untuk mendanai pengeluaran-pengeluaran sesuai dengan rencana penarikan dana yang tercantum dalam DPA-SKPD yang telah disahkan.

(2) Anggaran kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar yang digunakan guna mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode.

(3) Mekanisme pengelolaan anggaran kas pemerintah daerah ditetapkan dalam peraturan kepala daerah.

3. pengertian BeLanja daerah

Seluruh pendapatan daerah yang diperoleh baik dari daerahnya sendiri maupun transfer dan bantuan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan sebagainya akan digunakan untuk membiayai seluruh pengeluaran daerah itu baik melalui pos belanja daerah maupun pengeluaran pembiayaan. Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode anggaran yang bersangkutan.

Definisi dari belanja daerah menurut PP Nomor 58 Tahun 2005 pasal 20 adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah

(34)

18 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

dalam satu tahun. Definisi lainnya mengenai belanja seperti yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Kedua definisi tersebut menjelaskan bahwa transaksi belanja akan menurunkan ekuitas dana pemerintah daerah.

Belanja daerah sebagaimana dimaksud PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 26 ayat (1) menyebutkan bahwa Belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Belanja penyelenggaraan urusan wajib sebagaimana dimaksud diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat diwujudkan melalui prestasi kerja dalam pencapaian standar pelayanan minimal berdasarkan urusan wajib pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Menurut Halim (2003 : 145), belanja daerah adalah “pengeluaran yang dilakukan oleh Pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah di atasnya”. Menurut Halim dan Nasir (2006 : 44), belanja daerah adalah “semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurangan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan”. Dari semua definisi tersebut, terdapat dua hal utama yang patut untuk dilihat, yaitu bahwa belanja daerah adalah suatu bentuk kompensasi finansial yang mengurangi nilai kekayaan bersih suatu daerah dan yang kedua bahwa belanja daerah dilakukan berdasarkan kewenangan yang dimiliki sebagai bentuk tanggung jawab pelaksanaan pelayanan publik.

(35)

Untuk itulah, selain dari sisi ekonomi publik, maka belanja daerah harus digunakan untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan.

Terkait dengan bagaimana daerah melakukan pengeluaran APBD, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, mengatur beberapa hal yaitu :

Pasal 105A

(1) Dalam hal penetapan APBD mengalami keterlambatan kepala daerah melaksanakan pengeluaran setiap bulan setinggi-tingginya sebesar seperduabelas APBD tahun anggaran sebelumnya.

(2) Pengeluaran setinggi-tingginya untuk keperluan setiap bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibatasi hanya untuk belanja yang bersifat tetap seperti belanja pegawai, layanan jasa dan keperluan kantor sehari-hari.

Pasal 107A

Kepala daerah dapat melaksanakan pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) setelah peraturan kepala daerah tentang APBD tahun berkenaan ditetapkan.

Pasal 109

Pelampauan dari pengeluaran setinggi-tingginya sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 106 ayat (1) dapat dilakukan apabila ada kebijakan pemerintah untuk kenaikan gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah yang ditetapkan dalam undang-undang, kewajiban pembayaran pokok pinjaman dan bunga pinjaman

(36)

20 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

yang telah jatuh tempo serta pengeluaran yang mendesak diluar kendali pemerintah daerah.

4. kLaSifikaSi BeLanja daerah

Berdasarkan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan, serta jenis belanja.

Klasifikasi belanja daerah menurut jenis belanja terdiri dari:

1. Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang diberikan kepada DPRD, dan pegawai pemerintah daerah baik yang bertugas di dalam maupun di luar daerah sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Contoh: gaji dan tunjangan, honorarium, lembur, kontribusi sosial, dan lain-lain sejenis. 2. Belanja barang dan jasa adalah digunakan untuk pembelian barang

dan jasa yang habis pakai guna memproduksi barang dan jasa. Contoh: pembelian barang dan jasa keperluan kantor, jasa pemeliharaan, ongkos perjalanan dinas.

3. Belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/ pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, buku perpustakaan, dan hewan.

4. Belanja lain-lain (bunga; subsidi; hibah; bantuan sosial; belanja bagi hasil dan bantuan keuangan; dan belanja tidak terduga).

Klasifikasi belanja menurut jenis belanja tersebut juga dikenal dengan belanja berdasarkan klasifikasi ekonomi. Klasifikasi ekonomi membagi

(37)

belanja dalam 4 (empat) kelas, yaitu belanja pegawai, belanja modal, belanja barang dan jasa serta belanja lain-lain.

Dari kacamata definisi lain, belanja daerah menurut kelompok belanja berdasarkan Permendagri 13/2006 terdiri atas belanja tidak langsung dan belanja langsung. Kelompok belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Kelompok belanja langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal.

Menurut Halim (2004 : 18), belanja daerah digolongkan menjadi 4 (empat) yakni belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, dan belanja tak tersangka. Belanja aparatur daerah diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kategori yaitu belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/ pembangunan. Belanja pelayanan publik dikelompokkan menjadi 3 yakni belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal.

Dalam rangka memudahkan penilaian kewajaran biaya suatu program atau kegiatan, belanja menurut kelompok belanja terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Menurut Halim (2009) belanja tidak langsung merupakan belanja yang tidak memiliki keterkaitan secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan,terdiri dari belanja pegawai, belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Sedangkan belanja langsung merupakan belanja yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan

(38)

22 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

program dan kegiatan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja modal.

Belanja pegawai dan belanja lain-lain bersifat konsumtif, sementara belanja modal serta belanja barang dan jasa bersifat investasi, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Karena itu penggunaan klasifikasi ekonomi untuk menganalisis belanja dimaksudkan untuk mengetahui sampai sejauh mana belanja pemerintah untuk kepentingan pembangunan lebih didominasi belanja yang bersifat konsumsi atau investasi. Pergeseran dari belanja yang bersifat konsumsi ke belanja yang bersifat investasi merupakan indikasi yang baik, karena semakin besar belanja yang bersifat investasi untuk layanan publik memberi dampak yang baik pada pembentukan modal sosial. Semakin besar modal sosial, aksesibilitas masyarakat terhadap sumber-sumber kemajuan semakin besar pula.

Berdasarkan perspektif ekonomi makro, belanja konsumsi bersifat kebocoran dan belanja investasi bersifat injeksi. Perekonomian akan mencapai full capacity bila kebocoran (konsumsi) sama dengan injeksi (investasi). Dalam perspektif inilah klasifikasi ekonomi digunakan untuk menganalisis belanja daerah, khususnya belanja modal.

(39)

bAb III

TEMUAN lAPANGAN DAN ANAlISIS

PERMASAlAHAN PElAKSANAAN

SPENDING PERFORMANCE DAlAM

MENDANAI PElAYANAN PUblIK

Salah satu pilar penting dalam penyelenggaraan kebijakan otonomi daerah adalah desentralisasi fiskal yang dilaksanakan melalui kebijakan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Pendanaan pembangunan melalui transfer ke daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pendanaan pembangunan secara nasional. Pengelolaan pendanaan transfer ke daerah senantiasa didorong untuk memenuhi pelaksanaan tata kelola keuangan yang baik, memiliki kinerja terukur dan memiliki akuntabilitas terhadap masyarakat. Hasil akhir yang diharapkan adalah adanya peningkatan pelayanan publik. Hal ini sejalan dengan tujuan dilaksanakannya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang diharapkan dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap peningkatan perekonomian di daerah, yang ditandai dengan peningkatan pelayanan publik, baik secara kuantitas maupun kualitas yaitu sebuah pelayanan publik yang mampu memenuhi dua hal pokok yaitu pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada publik dan pelayanan yang memenuhi standar pelayanan minimum (minimum local public service

delivery standards). Dengan demikian, peningkatan pelayanan publik dapat

mendorong pembangunan ekonomi yang pada akhirnya kesejahteraan masyarakat (social welfare) akan menjadi lebih baik.

(40)

24 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

Pengelolaan keuangan daerah yang bertumpu pada kepentingan publik (public oriented) tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/ pengendalian keuangan daerah. Buruknya pengelolaan keuangan akan berimbas pada rendahnya kualitas dan kuantitas pelayanan publik yang disediakan. Jika pelayanan publik belum optimal, maka kesejahteraan rakyat akan sulit terwujud. Misal, jika Pemerintah Pusat gagal menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau, hak rakyat untuk hidup sehat dan terjangkau akan sulit diperoleh, yang berakibat pada kesejahteraan rakyat akan sulit dicapai.

Sejak diimplementasikannya otonomi daerah tahun 2001, anggaran transfer ke daerah senantiasa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Namun demikian, belum ada jaminan bahwa apakah anggaran transfer ke daerah yang besar itu sudah mencerminkan semakin baiknya pelayanan publik di daerah atau malah sebaliknya? Apakah pengelolaan keuangan daerah sudah dijalankan dengan baik? Hal tersebut tentu saja menjadi pendorong bagi kita untuk bekerja lebih keras lagi guna menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih, karena berangkat dari kesadaran bahwa pelayanan publik yang baik hanya dapat dicapai dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), dapat diartikan pula bahwa setiap rupiah dana yang dialokasikan harus dapat dikaitkan dengan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Setiap peningkatan besaran dana yang ditransfer ke daerah harus bisa dirasakan oleh masyarakat seperti tersedianya infrastruktur dan program-program kesejahteraan rakyat.

Selanjutnya, kebijakan desentralisasi fiskal tetap konsisten mencermati sisi belanja di daerah. Pemerintah Pusat sangat serius mendorong efektivitas dan efisiensi belanja daerah melalui mekanisme pengendalian belanja daerah. Mekanisme seperti penetapan sanksi keterlambatan

(41)

penyampaian APBD, penetapan indikator layanan publik dasar dalam pengalokasian DAK, dan pengendalian defisit secara nasional diharapkan dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan publik dasar.

Namun demikian, kualitas belanja daerah dan APBD selama ini dianggap masih lemah dengan salah satu indikasi belanja tidak langsung selalu lebih besar dari belanja langsung dan penyerapan belanja daerah yang relatif rendah. Hal ini juga bisa dilihat dari tingkat penyerapan belanja daerah yang relatif rendah terutama untuk belanja modal serta belanja barang dan jasa yang terkait dengan public service delivery. Tata kelola keuangan daerah yang baik bersumber dari kualitas APBD yang mencerminkan kehendak rakyat untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas, transparan, dan akuntabel. Namun, hal tersebut belum tergambar dari postur APBD yang ideal. Struktur belanja daerah masih didominasi oleh belanja pegawai, minimnya belanja infrastruktur, dan tingginya penggunaan sisa lebih perhitungan (SiLPA) anggaran daerah dari tahun sebelumnya. Jumlah belanja pegawai lebih besar dibanding belanja modal serta barang dan jasa dan jumlahnya semakin membesar. Belanja pegawai ditambah belanja lainnya, yang berarti jumlahnya semakin besar, adalah belanja yang bersifat konsumtif. Pada sisi lain, belanja modal serta belanja barang dan jasa bersifat investasi, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Dengan demikian, berdasarkan klasifikasi ekonomi tersebut, pendekatan yang dipilih pemerintah untuk menggerakkan pembangunan adalah pendekatan dari sisi konsumsi, bukan produksi. Pendekatan sisi konsumsi memang akan menghasilkan pertumbuhan, tetapi pertumbuhannya bersifat jangka pendek dan labil. Dampak negatifnya adalah masyarakat yang sesungguhnya merupakan kekuatan akan menjadi tergantung dan tidak berdaya. Dalam jangka panjang kondisi seperti sangat tidak menguntungkan. Peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak akan berlangsung dengan cepat dan berkesinambungan.

(42)

26 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

Efektivitas anggaran pembangunan mengukur keberhasilan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran pembangunan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Ada beberapa cara untuk mengukur keberhasilan tersebut, yaitu dengan melihat seberapa besar pemerintah menentukan alokasi nilai belanja untuk kepentingan publik, seberapa besar nilai belanja untuk kepentingan publik tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik dengan optimal, dan seberapa besar optimalisasi nilai belanja publik mengakibatkan kegiatan-kegiatan ekonomi ikutan yang bermanfaat bagi masyarakat sehingga menambah kesejahteraan masyarakat.

Dalam mengalokasikan komponen Belanja Langsung yang berupa Belanja Modal harus memperhatikan beberapa hal, yaitu mengarahkan Belanja Modal untuk pembangunan infrastruktur yang menunjang investasi di daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah, melakukan evaluasi dan pengkajian terhadap barang-barang inventaris yang tersedia baik dari sisi kondisi maupun umur ekonomisnya sehingga pengadaan barang inventaris dapat dilakukan secara selektif sesuai kebutuhan masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah. Kemudian menyusun Belanja Modal sebesar harga beli/bangun aset tetap ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan aset tetap tersebut sampai siap digunakan.

Anggaran belanja daerah akan mempunyai peran riil dalam peningkatan kualitas layanan publik dan sekaligus menjadi stimulus bagi perekonomian daerah apabila dapat terealisasi dengan baik. Seluruh pendapatan daerah yang diperoleh baik dari daerahnya sendiri maupun transfer dan bantuan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan sebagainya akan digunakan untuk membiayai seluruh pengeluaran daerah itu baik melalui pos belanja daerah maupun pengeluaran pembiayaan. Untuk itu, pemerintah terus mendorong agar proses penetapan Peraturan Daerah (Perda) APBD dapat dilakukan secara tepat waktu guna mempercepat realisasi belanja daerah. Keterlambatan realisasi belanja daerah dapat

(43)

27 Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan

berdampak pada penumpukan dana daerah yang belum terpakai. Pemerintah daerah harus mampu menciptakan belanja daerah yang berkualitas dengan berupaya secara konsisten mengarahkan sumber daya yang terbatas agar dapat digunakan secara terukur, efektif dan efisien untuk mencapai target yang ditetapkan.

a. peLakSanaan

Spending perforManceS

pada daerah SaMpeL

1. provinSi riau

Pada tahun 2013, APBD Provinsi Riau pada saat ditetapkan adalah sebesar Rp8,432 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya meningkat menjadi Rp8,915 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.1 di bawah ini.

Grafik 3.1

Volume APBD dan APBD-Perubahan Provinsi Riau Tahun 2013 (dalam miliar rupiah)

daerah dapat berdampak pada penumpukan dana daerah yang belum terpakai. Pemerintah daerah harus mampu menciptakan belanja daerah yang berkualitas dengan berupaya secara konsisten mengarahkan sumber daya yang terbatas agar dapat digunakan secara terukur, efektif dan efisien untuk mencapai target yang ditetapkan.

A. Pelaksanaan Spending Performances Pada Daerah Sampel 1. Provinsi Riau

Pada tahun 2013, APBD Provinsi Riau pada saat ditetapkan adalah sebesar Rp8,432 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya meningkat menjadi Rp8,915 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.1 di bawah ini.

Grafik 3.1

Volume APBD dan APBD-Perubahan Provinsi Riau Tahun 2013

(dalam miliar rupiah)

Sumber : Pemda Provinsi Riau dan Kementerian Keuangan (data diolah)

Dari data dimaksud, terdapat hal yang menarik, yaitu terjadinya pengurangan jumlah anggaran pada belanja modal pada saat APBD Perubahan disahkan, yaitu sekitar Rp90,06 miliar jika dibandingkan dengan pagu belanja modal pada APBD induk pada saat ditetapkan.

Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Provinsi Riau Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja lainnya yaitu sebesar 33,57%, dimana belanja hibah mendapatkan alokasi terbesar yaitu sebesar Rp1,541 triliun, kemudian belanja bagi hasil pendapatan sebesar Rp989,32 miliar, serta bantuan keuangan yaitu Sumber : Pemda Provinsi Riau dan Kementerian Keuangan (data diolah)

(44)

28 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

Dari data dimaksud, terdapat hal yang menarik, yaitu terjadinya pengurangan jumlah anggaran pada belanja modal pada saat APBD Perubahan disahkan, yaitu sekitar Rp90,06 miliar jika dibandingkan dengan pagu belanja modal pada APBD induk pada saat ditetapkan.

Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Provinsi Riau Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja lainnya yaitu sebesar 33,57%, dimana belanja hibah mendapatkan alokasi terbesar yaitu sebesar Rp1,541 triliun, kemudian belanja bagi hasil pendapatan sebesar Rp989,32 miliar, serta bantuan keuangan yaitu sebesar Rp420,23 miliar. Belanja modal dianggarkan sebesar 29,14 % dari total APBD dan belanja barang dan jasa hanya sebesar 22,29% dari total APBD. Sementara itu, untuk belanja pegawai tidak langsung dianggarkan dalam APBD hanya sebesar 11,09% dari total APBD untuk membayar gaji PNSD dan belanja pegawai langsung hanya sebesar 3,91%.

Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah Provinsi Riau telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan.

Namun demikian, dalam penyerapan belanja daerah, Provinsi Riau termasuk lambat dalam realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan anggaran masih rendah yaitu sebesar 5,15%, masih jauh di bawah realisasi belanja yang ideal yaitu 25%. Pada akhir Triwulan II, realisasi penyerapan belanja hanya sebesar 17,64%, kemudian pada Triwulan III sebesar 38,16%. Yang menarik adalah penyerapan belanja pada Triwulan IV yang mencapai 84,41%, dimana hanya dalam waktu 3 (tiga)

(45)

bulan, realisasi penyerapan belanjanya sekitar 46,25% jika dibandingkan dengan realisasi pada akhir Triwulan III. Dengan kata lain, pada kurun waktu Oktober s.d. Desember 2013, Provinsi Riau mampu menyerap belanja daerah sebesar Rp4,231 triliun.

Sementara itu, realisasi penyerapan belanja daerah untuk setiap jenis belanja dapat dilihat pada Grafik 3.2.

Tabel 3.1

Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Provinsi Riau (dalam miliar rupiah)

Jenis Belanja

Realisasi

Triwulan I Triwulan IIRealisasi Triwulan IIIRealisasi Triwulan IVRealisasi

Rupiah % Rupiah % Rupiah % Rupiah %

Belanja 459,20 5,15 1.572,38 17,64 3.402,12 38,16 7.525,28 84,41 Belanja Pegawai Tidak Langsung 145,86 14,75 366,51 37,05 599,44 60,60 877,50 88,72 Belanja Pegawai Langsung 34,71 9,97 83,43 23,96 183,80 52,79 319,82 91,85 Belanja Barang dan Jasa 51,84 2,61 329,80 16,59 716,07 36,03 1.667,28 83,89 Belanja modal 0,05 0,002 407,07 15,67 868,45 33,43 2.245,31 86,43 Belanja Lainnya 226,75 7,58 385,57 12,88 1.034,36 34,56 2.415,37 80,71 Sumber : Pemda Provinsi Riau dan Kementerian Keuangan (data diolah)

Berdasarkan tabel 3.1 di atas, dapat diketahui bahwa realisasi penyerapan belanja modal, belanja barang dan jasa, serta belanja lainnya memiliki tingkat kemiringan yang sangat curam. Artinya adalah untuk ketiga jenis belanja tersebut, realisasi penyerapan anggarannya relatif rendah sampai dengan akhir Triwulan III, kemudian mulai meningkat dengan sangat drastis sampai dengan Triwulan IV. Untuk jenis belanja pegawai langsung dan

(46)

30 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

belanja pegawai tidak langsung memiliki grafik dengan tingkat kemiringan yang relatif landai karena pembayaran gaji PNSD, honor, dan lembur dapat ditetapkan besaran dan waktu pembayarannya sesuai dengan target pada rencana penarikan dana setiap bulan.

Realisasi belanja pegawai langsung mencapai 9,97% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 23,96% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 52,79%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai langsung mencapai 91,85%. Sedangkan realisasi belanja pegawai tidak langsung mencapai 14,75% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 37,05% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 60,60%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai tidak langsung mencapai 88,72%.

Realisasi belanja barang dan jasa mencapai 2,61% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 16,59% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 36,03%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan jasa mencapai 83,89%.

Realisasi belanja modal mencapai 0,002% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 15,67% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 33,45%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal mencapai 86,43%.

Realisasi belanja lainnya mencapai 7,58% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 12,88% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 34,56%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja lainnya mencapai 80,71%.

(47)

Beberapa upaya telah dilakukan oleh Provinsi Riau untuk mempercepat penyerapan belanjanya, diantaranya adalah dengan melaksanakan rapat evaluasi dan monitoring penyerapan anggaran secara berkala serta pembentukan TEPPA di daerah. Monitoring dan evaluasi berkala dilakukan untuk memantau pelaksanaan penyerapan belanja pada masing-masing SKPD, yaitu meliputi progres pelaksanaannya, kendala apa yang dihadapi dan solusi apa yang telah dilakukan untuk mempercepat penyerapan belanja yang menjadi tanggung jawab SKPD. Selain itu, Pemerintah Provinsi Riau juga telah membentuk Tim Koordinasi yang bertugas mengkoordinasikan pengelolaan anggaran antar unit SKPD baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan anggaran maupun pembuatan laporan dan pertanggungjawaban anggaran. Melalui Tim Koordinasi, daerah mampu memetakan berbagai permasalahan dan mencari solusi pemecahannya sehingga kendala yang ada terutama yang terkait dengan penyerapan belanja daerah dapat diminimalisir. Tim ini juga melakukan evaluasi dan monitoring secara berkala terhadap penyerapan anggaran pada masing-masing SKPD sesuai target yang telah ditetapkan.

2. provinSi Banten

APBD Provinsi Banten tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar Rp6,052 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya meningkat menjadi Rp6,406 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.3 di bawah ini.

Gambar

Tabel 1.1  Daerah Sampel Kajian

Referensi

Dokumen terkait

tersebut berada pada Range nilai 4,22 ± 3,43 yang menunjukkan bahwa kemampuan kerja berada pada kategori baik. Hasil skor rata-rata jawaban mengenai kinerja karyawan

Kegiatan penelitian yang dilaksanakan di P2ET pada T.A 2017 sebanyak 5 (lima) kegiatan penelitian Penguatan Kompetensi (Tematik), 5 (lima) kegiatan unggulan, 1

Strategi yang mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (growth oriented strategy) dapat terjadi karena.. faktor kekuatan dan peluang yang jumlahnya besar. Kondisi

• Dilihat dari DP dan tingkat kesukaran soal ini dapat diterima • Option yang merupakan distractor yakni option A dan B sudah. memperoleh pemilih

Pada hasil uji menit ke-5 (grafik gambar no.2) dapat dilihat bahwa pada tiap-tiap vessel,hasil kadar zat aktif yang terlarut atau bioavailabilitas untuk sediaan Cimetidine paten

Pada bayi BBLR, kolonisasi jamur merupakan faktor risiko yang signifikan untuk terjadinya kandidiasis mukokutaneus dan infeksi jamur sistemik. Sepertiga bayi dengan kolonisasi

base pu Z Z Z = Ω (9) base base base MVA kV Z 2 = (10) Untuk mengetahui kondisi awal dari sistem distribusi 33 bus, maka sebelum pemasangan DG dilakukan simulasi aliran

Pengelolaan obat yang meliputi perencanaan, permintaan dan pendistribusian sudah memenuhi standar pengelolaan obat di Puskesmas kecuali penyimpanan obat masih belum