• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kota Pontianak

Dalam dokumen Spending Performance (Halaman 21-70)

BAB III TEMUAN LAPANGAN DAN ANALISIS PERMASALAHAN

A. Pelaksanaan Spending Performances Pada Daerah Sampel

7. Kota Pontianak

4. Kabupaten Jepara 9. Kota Gorontalo 5. Kabupaten Lamongan 10. Kota Makasar Sumber: Data primer yang diolah (2014)

Data primer kajian ini berasal dari hasil isian kuesioner yang dikirimkan kepada 10 daerah sampel tersebut di atas. Kuesioner yang telah diisi dikumpulkan dengan mekanisme kunjungan ke daerah sampel yang juga disertai pelaksanaan Focus Group Discussion dengan Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait.

Sedangkan data sekunder yang digunakan dalam kajian ini meliputi : a. Data APBD/APBD Perubahan;

b. Data Realisasi APBD; dan

6 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

4. MetodoLogi kajian

Kajian ini menggabungkan alat analisa kuantitatif dengan kualitatif. Analisa kuantitatif dilakukan dengan menggunakan alat statistik dengan cara memetakan daerah sampel menurut tingkat penyerapan belanja (spending performances)-nya.

Namun demikian, mengingat keterbatasan data dan dana yang ada maka analisis dalam kajian dalam buku ini dilakukan dengan metode sebagai berikut:

1. Data sekunder pada Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) digunakan sebagai bahan awal untuk melakukan analisis yang menggambarkan tingkat penyerapan belanja daerah.

2. Data sekunder pada SIKD tersebut kemudian dikonfirmasikan kepada daerah sampel kunjungan dan digunakan sebagai alat analisis deskriptif kualitatif untuk menggambarkan pengelolaan keuangan daerah dan penjelasan daerah terhadap kendala permasalahan pelaksanaannya.

3. Untuk analisis kualitatif yang bersumber dari hasil wawancara dijadikan sebagai pelengkap hasil analisis yaitu dengan cara menganalisis persepsi daerah terhadap penyerapan belanja daerah.

bAb II

KERANGKA TEORI

1. pengertian Spending perforManceS

Spending performances erat kaitannya dengan sistem penganggaran

yang berbasis kinerja (performance based budgeting). Penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) merupakan suatu pendekatan sistematis dalam penyusunan anggaran yang mengaitkan pengeluaran yang dilakukan organisasi sektor publik dengan kinerja yang dihasilkannya dengan menggunakan informasi kinerja. Performance

budgeting mengalokasikan sumber daya pada program, bukan unit

organisasi semata, dan memakai output measurement sebagai indikator kinerja organisasi. Pengkaitan biaya dengan output organisasi merupakan bagian integral dalam berkas atau dokumen anggaran.

Menurut Robinson and Last (2009), dikatakan bahwa

performance-based budgeting bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas

pengeluaran publik dengan mengaitkan pendanaan organisasi sektor publik dengan hasil yang dicapai dengan penggunaan informasi kinerja secara sistematik. Sedangkan Carter (1994), seperti dikutip Young (2003), menyatakan performance budget menggunakan pernyataan misi, tujuan dan sasaran untuk menjelaskan mengapa uang dikeluarkan. Penetapan misi, tujuan dan sasaran ini merupakan cara untuk mengalokasikan sumber daya untuk mencapai sasaran-sasaran tertentu berdasarkan tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang terukur. Performance budgeting dibedakan dari pendekatan tradisional karena berfokus pada hasil dari pengeluaran yang dilakukan, bukannya jumlah uang yang dikeluarkan.

8 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

Sejalan dengan Robinson dan Last, Young (2003) menyatakan 4 (empat) karakteristik performance-based budgeting, yaitu :

1. Performance-based budgeting menetapkan tujuan atau sekumpulan tujuan yang akan dikaitkan dengan atau yang digunakan untuk mengalokasikan pengeluaran uang.

2. Performance-based budgeting menyediakan informasi dan data mengenai kinerja dan hasil yang telah dicapai sehingga memungkinkan dilakukan perbandingan antara kemajuan yang aktual dengan yang direncanakan.

3. Dalam penyusunan anggaran penyesuaian terhadap program dilakukan untuk menutup setiap perbedaan yang terjadi antara target kinerja dan kinerja aktual.

4. Performance-based budgeting memberi peluang untuk dilakukannya evaluasi kinerja secara regular atau ad hoc yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan.

Lebih lanjut Robinson dan Last (2009) menyatakan penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) hanya dapat berhasil jika setiap satuan kerja yang melakukan pengeluaran anggaran (spending

agency) diharuskan untuk:

1. secara eksplisit mendefinisikan outcome yang pelayanannya diberikan kepada masyarakat, dan

2. menyediakan indikator kinerja kunci untuk mengukur efektifitas dan efisiensi pelayanannya untuk menteri keuangan dan pembuat keputusan politik kunci selama proses penyusunan anggaran.

Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa pengukuran kinerja sektor publik dilakukan untuk memenuhi tiga maksud. Pertama, pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk membantu memperbaiki kinerja pemerintah. Ukuran kinerja dimaksudkan untuk dapat membantu pemerintah berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja. Hal ini

pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas organisasi sektor publik. Kedua, ukuran kinerja sektor publik digunakan untuk pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan. Ketiga, ukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan. Kinerja adalah gambaran pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan /program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi (Bastian, 2006).

Adapun jika dihubungkan dengan pengklasifikasian belanja daerah berdasarkan klasifikasi ekonomi, unsur belanja menurut klasifikasi ekonomi yang merupakan kebocoran (leakages) yaitu belanja pegawai dan belanja lainnya lebih besar dibanding unsur belanja yang merupakan injeksi (belanja modal serta barang dan jasa). Hal ini menunjukkan bahwa, pembangunan lebih banyak digerakkan oleh belanja yang bersifat kebocoran atau konsumtif.

Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui dampak ekonomi dari belanja pemerintah. Dari perspektif ekonomi makro, belanja pegawai dan belanja lainnya disebut kebocoran, sementara belanja modal serta barang dan jasa disebut injeksi. Dengan pembagian demikian, hendak dianalisis lebih lanjut apakah pembangunan lebih banyak digerakkan oleh kebocoran yang bersifat konsumtif ataukah injeksi yang bersifat investasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa kegiatan pembangunan lebih banyak digerakkan oleh belanja pemerintah yang bersifat kebocoran (konsumtif). Penyebab utamanya adalah adanya diskresi dari sisi pendapatan pemerintah. Dengan pendapatan yang terbatas, sementara kebutuhan untuk membiayai birokrasi terus meningkat, menjadikan pemerintah lebih memilih mendahulukan belanja bagi birokrasi (kebocoran) dan membatasi belanja untuk kepentingan masyarakat (injeksi).

10 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

2. proSeS pengeLoLaan keuangan daerah

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dalam merencanakan alokasi belanja pada APBD agar lebih mengutamakan keberpihakan untuk kepentingan publik (belanja langsung) daripada kepentingan aparatur (belanja tidak langsung).

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut terlihat hubungan antara tiga cara mengukur efektivitas anggaran pembangunan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut, yaitu :

a. Dengan melihat seberapa besar pemerintah menentukan alokasi nilai belanja untuk kepentingan publik ternyata masih rendah efektivitasnya;

b. Dengan melihat seberapa besar nilai belanja untuk kepentingan publik tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik dengan optimal juga masih rendah efektivitasnya. Hal ini didasarkan pada rendahnya kemampuan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran belanja termasuk belanja modal sebagai bagian dari belanja pembangunan; c. Dengan melihat seberapa besar optimalisasi nilai belanja publik

mengakibatkan kegiatan-kegiatan ekonomi ikutan yang bermanfaat bagi masyarakat sehingga menambah kesejahteraan masyarakat juga masih rendah efektivitasnya. Belanja anggaran pembangunan hanya mampu mewujudkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi eksklusif dan belum berkualitas.

Pada prinsipnya desentralisasi ditujukan untuk efisiensi sektor publik dalam produksi dan distribusi pelayanan, meningkatkan kualitas pembuatan keputusan dengan menggunakan informasi lokal, meningkatkan akuntabilitas dan meningkatkan kemampuan respon terhadap kebutuhan dan kondisi lokal (Giannoni, 2002). Hal inilah yang mendorong desentralisasi diserahkan dan dilaksanakan pemerintahan

daerah yakni kabupaten/kota. Dalam rangka melaksanakan pembangunan daerah, setiap tahun APBD ditetapkan oleh Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD. APBD merupakan rencana kegiatan daerah yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran.

Dalam pengelolaan keuangan daerah terdapat rambu-rambu yang harus dipatuhi daerah sebagaimana tercantum dalam asas-asas umum pelaksanaan APBD, diantaranya yaitu:

a. Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan daerah dikelola dalam APBD. b. Setiap SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima

pendapatan daerah wajib melaksanakan pemungutan dan/atau penerimaan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

c. Penerimaan SKPD dilarang digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.

d. Penerimaan SKPD berupa uang atau cek harus disetor ke rekening kas umum daerah paling lama 1 (satu) hari kerja.

e. Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan baths tertinggi untuk setiap pengeluaran belanja.

f. Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja jika untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam APBD.

g. Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan jika dalam keadaan darurat, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran.

h. Kriteria keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

12 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

i. Setiap SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD. j. Pengeluaran belanja daerah menggunakan prinsip hemat, tidak

mewah, efektif, efisien dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam pengelolaan keuangan daerah di Indonesia terdapat dokumen-dokumen yang digunakan atau dihasilkan dalam proses penyusunan anggaran pemerintah daerah. yang dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.1

Proses Penyusunan Anggaran Pemerintah Daerah

10|P a g e

Dalam pengelolaan keuangan daerah di Indonesia terdapat dokumen-dokumen yang digunakan atau dihasilkan dalam proses penyusunan anggaran pemerintah daerah. yang dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.1

Proses Penyusunan Anggaran Pemerintah Daerah

Pengelolaan Keuangan Daerah

Perencanaan Pelaksanaan Penatausahaan Pertgjwban Pengawasan RPJMD RKPD KUA PPAS Nota Kesepakatan Pedoman Penyusunan RKA-SKPD RKA-SKPD RAPBD APBD Dasar Pelaksanaan Anggaran • Pendapatan • Belanja • Pembiayaan Pelaksanaan APBD Rancangan DPA-SKPD DPA-SKPD Verifikasi Laporan Realisasi Semester Pertama Perubahan APBD Penatausahaan Belanja Bendahara Pengeluaran Penatausahaan Pendapatan Bendahara Penerimaan Kekayaan dan Kewajiban daerah • Kas Umum • Piutang • Investasi • Barang • Dana Cadangan • Utang Akuntansi Keuangan Daerah Laporan Keuangan Pemerintah Daerah • Laporan Realisasi Anggaran • Neraca • Laporan Arus Kas • Catatan atas Laporan Keuangan Laporan Keuangan diaudit oleh BPK Rancangan Peraturan Daerah tentang Pertanggungjawaban APBD Akuntansi Keuangan Daerah • Pemberian Pedoman • Bimbingan • Supervisi • Konsultasi • Pendidikan • Pelatihan • Penelitian dan Pengembangan Pembinaan: Pengawasan terhadap pelaksanaan Perda tentang APBD Pengendalian Intern Pemeriksaan Ekstern Sumber : Mardiasmo (2005:5)

Untuk pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota), dokumen-dokumen tersebut meliputi Rencana Pembangunan Jangkan Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Sedangkan, pada tingkat satuan kerja pemerintah daerah (SKPD), dokumen-dokumen tersebut meliputi Rencana Stratejik (Renstra) SKPD, Rencana Kerja (Renja) SKPD dan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD. Untuk dapat dikatakan telah menerapkan penganggaran berbasis kinerja tidak hanya dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen tersebut, melainkan juga dengan adanya keselarasan substansi antar dokumen-dokumen tersebut yang dapat dilihat dari ada tidaknya indikator kinerja yang selaras dalam dokumen-dokumen tersebut. Pada SKPD, indikator-indikator kinerja yang dimuat dalam Renja SKPD haruslah mendukung pencapaian indikator kinerja yang termuat dalam Renstra SKPD. Dan selanjutnya, indikator kinerja Renja SKPD harus didukung oleh indikator-indikator kinerja yang dimuat dalam RKA SKPD. Adanya Sumber : Mardiasmo (2005:5)

Untuk pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota), dokumen-dokumen tersebut meliputi Rencana Pembangunan Jangkan Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Sedangkan, pada tingkat satuan kerja pemerintah daerah (SKPD),

dokumen-dokumen tersebut meliputi Rencana Stratejik (Renstra) SKPD, Rencana Kerja (Renja) SKPD dan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD. Untuk dapat dikatakan telah menerapkan penganggaran berbasis kinerja tidak hanya dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen tersebut, melainkan juga dengan adanya keselarasan substansi antar dokumen-dokumen tersebut yang dapat dilihat dari ada tidaknya indikator kinerja yang selaras dalam dokumen-dokumen tersebut.

Pada SKPD, indikator-indikator kinerja yang dimuat dalam Renja SKPD haruslah mendukung pencapaian indikator kinerja yang termuat dalam Renstra SKPD. Dan selanjutnya, indikator kinerja Renja SKPD harus didukung oleh indikator-indikator kinerja yang dimuat dalam RKA SKPD. Adanya keselarasan indikator kinerja ini secara logis akan dapat mengaitkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai yang dicantumkan dalam dokumen perencanaan strategis (Renstra SKPD) dengan kegiatan-kegiatan operasional yang dilaksanakan SKPD. Di samping persyaratan adanya indikator kinerja dan proses penyusunan anggaran yang memfasilitasi penggunaan indikator kinerja, persyaratan lainnya dalam penerapan penganggaran berbasis kinerja yang dikemukakan Robinson dan Last (2009) adalah klasifikasi pengeluaran berdasarkan program (program

budget) dan fleksibilitas yang lebih besar bagi manajer atau pejabat

pelaksana anggaran.

Program budget mengklasifikasikan pengeluaran anggaran berdasarkan

jenis pelayanan dan tujuan, bukan berdasarkan jenis input (gaji, bahan, perjalanan dinas dan sebagainya) sebagaimana pada traditional line-item

budgeting. Robinson dan Last (2009) menyatakan pada program budget

proses penyusunan anggaran harus berdasarkan pada program (program

based) yaitu satuan kerja harus mengajukan dan menyajikan anggarannya

dalam bentuk program dengan didukung biaya dan informasi kinerja. Senada dengan Robinson dan Last, Shah dan Shen (2007) menyatakan bahwa bertentangan dengan line-item budgeting, performance budgeting

14 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

menerapkan alokasi lumpsum untuk program-program bukan klasifikasi line item secara rinci (detailed line item classification). Terkait dengan ini, Rubin (2007) mengemukakan bahwa output model budgeting mengasumsikan bahwa manajer atau pelaksana anggaran akan menggunakan sumber daya yang mereka akan diminta bertanggung jawab bukan atas pelaksanaan anggaran sesuai dengan item-item pengeluaran yang dilakukan, melainkan atas kuantitas dan kualitas hasil yang dijanjikan dari paket sumber daya yang dialokasikan bagi mereka dalam anggaran. Pelaksanaan anggaran membutuhkan adanya fleksibilitas input dimana pejabat pelaksana anggaran harus diberi fleksibilitas yang lebih besar untuk memilih belanja-belanja yang dilakukannya untuk menghasilkan pelayanan dengan cara yang paling efisien. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi sejumlah batasan yang harus diikuti pada pengeluaran anggaran berdasarkan klasifikasi ekonomi (line item) pada traditional budgeting.

Dibandingkan dengan traditional line-item budgeting, performance

budgeting membenarkan untuk melakukan penggunaan sumber daya

fiskal secara lebih fleksibel dan meningkatkan akuntabilitas terhadap hasil. Shah dan Shen (2007) menyatakan performance budgeting meningkatkan fleksibilitas manajerial dengan memberi manajer departemen atau program alokasi lumpsum tetap (fixed lumpsum allocation) yang bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan untuk mencapai hasil yang sudah disetujui dalam pemberian pelayanan. Manajer publik menikmati peningkatan diskresi manajerial tapi diwajibkan bertanggung jawab atas apa yang mereka capai dalam kinerja pemberian pelayanan.

Namun, kedua persyaratan ini belum diakomodir oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia, terutama untuk penyusunan anggaran pemerintah daerah. Struktur anggaran yang digunakan dalam penyusunan APBD masih menggunakan 12 struktur line-item budgeting di mana anggaran disusun menurut klasifikasi belanja sampai dengan rincian objek belanja. Hal ini berimplikasi pada control yang ketat terhadap input yang

mengakibatkan kurangnya fleksibilitas bagi manajer (pengguna anggaran) dalam menggunakan anggarannya. Dengan demikian, ketentuan mengenai pengeluran anggaran yang diatur dalam peraturan perundangan yang ada belum mendukung fleksibilitas pengeluaran anggaran oleh pengguna anggaran sebagai pejabat yang mempunyai otoritas dalam melaksanakan pengeluaran anggaran.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah mengatur azas umum dalam pengelolaan keuangan daerah yang tertuang pada pasal (4) sebagai berikut:

(1) Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.

(2) Secara tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bahwa keuangan daerah dikelola secara tepat waktu dan tepat guna yang didukung dengan bukti¬bukti administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan.

(3) Taat pada peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bahwa pengelolaan keuangan daerah harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

(4) Efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil.

(5) Efisien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu.

(6) Ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemerolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga yang terendah.

16 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

(7) Transparan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah.

(8) Bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perwujudan kewajiban seseorang untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

(9) Keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya dan/atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang obyektif. (10) Kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tindakan atau

suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan proporsional.

(11) Manfaat untuk masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bahwa keuangan daerah diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode.

Anggaran kas telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pasal (125) dan pasal (126) sebagai berikut :

Pasal 125

(1) Kepala SKPD berdasarkan rancangan DPA-SKPD menyusun rancangan anggaran kas SKPD.

(2) Rancangan anggaran kas SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada PPKD selaku BUD bersamaan dengan rancangan DPA-SKPD.

(3) Pembahasan rancangan anggaran kas SKPD dilaksanakan bersamaan dengan pembahasan DPA-SKPD.

Pasal 126

(1) PPKD selaku BUD menyusun anggaran kas pemerintah daerah guna mengatur ketersediaan dana yang cukup untuk mendanai pengeluaran-pengeluaran sesuai dengan rencana penarikan dana yang tercantum dalam DPA-SKPD yang telah disahkan.

(2) Anggaran kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar yang digunakan guna mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode.

(3) Mekanisme pengelolaan anggaran kas pemerintah daerah ditetapkan dalam peraturan kepala daerah.

3. pengertian BeLanja daerah

Seluruh pendapatan daerah yang diperoleh baik dari daerahnya sendiri maupun transfer dan bantuan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan sebagainya akan digunakan untuk membiayai seluruh pengeluaran daerah itu baik melalui pos belanja daerah maupun pengeluaran pembiayaan. Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode anggaran yang bersangkutan.

Definisi dari belanja daerah menurut PP Nomor 58 Tahun 2005 pasal 20 adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah

18 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

dalam satu tahun. Definisi lainnya mengenai belanja seperti yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Kedua definisi tersebut menjelaskan bahwa transaksi belanja akan menurunkan ekuitas dana pemerintah daerah.

Belanja daerah sebagaimana dimaksud PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 26 ayat (1) menyebutkan bahwa Belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Belanja penyelenggaraan urusan wajib sebagaimana dimaksud diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat diwujudkan melalui prestasi kerja dalam pencapaian standar pelayanan minimal berdasarkan urusan wajib pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Menurut Halim (2003 : 145), belanja daerah adalah “pengeluaran yang dilakukan oleh Pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah di atasnya”. Menurut Halim dan Nasir (2006 : 44), belanja daerah adalah “semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurangan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan”. Dari semua definisi tersebut, terdapat dua hal utama yang patut untuk dilihat, yaitu bahwa belanja daerah adalah suatu bentuk kompensasi finansial yang mengurangi nilai kekayaan bersih suatu daerah dan yang kedua bahwa belanja daerah dilakukan berdasarkan kewenangan yang dimiliki sebagai bentuk tanggung jawab pelaksanaan pelayanan publik.

Untuk itulah, selain dari sisi ekonomi publik, maka belanja daerah harus digunakan untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan.

Terkait dengan bagaimana daerah melakukan pengeluaran APBD, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, mengatur beberapa hal yaitu :

Pasal 105A

(1) Dalam hal penetapan APBD mengalami keterlambatan kepala daerah melaksanakan pengeluaran setiap bulan setinggi-tingginya sebesar seperduabelas APBD tahun anggaran sebelumnya.

(2) Pengeluaran setinggi-tingginya untuk keperluan setiap bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibatasi hanya untuk belanja yang bersifat tetap seperti belanja pegawai, layanan jasa dan keperluan kantor sehari-hari.

Pasal 107A

Kepala daerah dapat melaksanakan pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) setelah peraturan kepala daerah tentang APBD tahun berkenaan ditetapkan.

Pasal 109

Pelampauan dari pengeluaran setinggi-tingginya sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 106 ayat (1) dapat dilakukan apabila ada kebijakan pemerintah untuk kenaikan gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah yang ditetapkan dalam undang-undang, kewajiban pembayaran pokok pinjaman dan bunga pinjaman

20 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik

yang telah jatuh tempo serta pengeluaran yang mendesak diluar kendali pemerintah daerah.

4. kLaSifikaSi BeLanja daerah

Berdasarkan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi,

Dalam dokumen Spending Performance (Halaman 21-70)

Dokumen terkait